BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Tentang Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian Kepemimpinan Sebuah pepatah bijak mengatakan, anda bisa memaksa kuda ke dalam sungai, tatapi anda tidak akan bisa memaksanya minum. Melalui pepatah ini juga kita dapat menerangkan tentang perbedaan antara manajer dan pemimpin. Manajer adalah orang yang punya kemampuan untuk memaksa pegawai bekerja. Tetapi pemimpin mampu membuat pegawai bekerja tanpa merasa di tekan. Melalui kepemimpinan, organisasi akan lebih maju, lebih termotivasi, berprestasi dan unggul. Menurut Sunarto (2005) menyatakan bahwa, ”Kepemimpinan adalah proses memberi inspirasi kepada semua karyawan agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang diharapkan”. Menurut Siswandi (2007) menyatakan bahwa, ”Kepemimpinan sebagai tindakan atau upaya untuk memotivasi atau mempengaruhi orang lain agar mau bekerja atau bertindak kearah pencapaian tujuan organisasi yang telah di tetapkan”. Menurut Maxwell (1993) menyatakan bahwa, ”Kepemimpinan adalah pengaruh”. Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan. Orang yang terpengaruh akan menjadi satu dengan pemimpinnya baik dari segi visi, tingkah laku dan lain sebagainya. Persatuan ini akan mempermudah pemimpin membawa pegawai untuk mencapai prestasi pribadi yang berdampak kepada keunggulan organisasi. 2.1.2. Pengertian Gaya Kepemimpinan Setiap pemimpin adalah unik dan berbeda dengan pemimpin lainnya. Perbedaan tersebut akan terlihat pada cara bicara, tingkah laku, maupun cara memperlakukan pegawainya. Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Gaya artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak- gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik”. Selanjutnya Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai, atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin”. Menurut Thoha, 2003 menyatakan bahwa, ”Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat”. 2.1.3. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan Para pemimpin yang mendatangkan hasil terbaik tidak tergantung selalu pada satu gaya kepemimpinan tertentu, mereka cenderung menggunakan banyak gaya kepemimpinan sesuai konteks dan kondisi yang berlaku pada saat itu. Ada enam gaya kepemimpinan yaitu: pimpinan koersif, menuntut permintaannya di penuhi sesegera mungkin. Pimpinan otoritatif menggerakkan orang menuju sebuah visi. Pimpinan afiliatif, menciptakan ikatan emosi dan harmoni. Pimpinan demokratif, membangun konsensus melalui partisipasi. Pimpinan pacesetting, mengharapkan kesempurnaan dan pengarahan diri sendiri. Dan pimpinan coaching, mengembangkan orang menuju masa depan. (Goleman, 2003) Menurut Malahayati (2007) menyatakan bahwa, ”Gaya kepemimpinan dapat di bedakan menjadi empat, diantaranya yaitu: gaya kepemimpinan autokratis, gaya kepemimpinan birokratis, gaya kepemimpinan demokratis dan gaya kepemimpinan bebas”. White (2006) menyatakan, Memberitahukan (tell), ”Empat melatih gaya (coaching), kepemimpinan memberi yaitu: dukungan (supporting) dan mendelegasikan tanggung jawab (delegating)”. Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Ada empat tipe atau gaya kepemimpinan: 1) mengarahkan, gaya ini sama dengan gaya otokratis, jadi bawahan mengetahui secara persis apa yang diharapkan dari mereka, 2) mendukung, pemimpin bersifat ramah terhadap bawahan, 3) berpartisipasi, pemimpin bertanya dan menggunakan saran bawahan, 4) berorientasi pada tugas, pemimpin menyusun serangkaian tujuan yang menantang untuk bawahannya 2.2. Teori Tentang Kuasa Pribadi 2.2.1. Pengertian Kuasa Pribadi Kekuasaan merupakan kekuatan seseorang untuk mempengaruhi atau memaksa orang lain sesuai dengan kehendaknya. Pemakaian kekuasaan yang baik akan mendatangkan hasil yang baik, namun ketidakmampuan menggunakan kekuasaan yang baik dengan sendirinya akan membuat kerugian baik bagi diri sendiri maupun bagi organisasi. Menurut Siswandi (2007) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan adalah kemampuan aktual atau kemampuan potensial yang dapat di gunakan untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang lain tersebut akan bersikap atau bertindak sesuai dengan yang di harapkan atau yang diinginkan”. Selanjutnya menuut Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan tak lain adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan oleh pihak lainnya”. Kotter (2003) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan adalah suatu ukuran potensi seseorang untuk membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan, dan juga untuk menghindari dipaksa orang lain untuk melakukan apa yang tidak ingin ia lakukan”. Menurut Kaloh (2009) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan pribadi adalah kekuasaan yang terdapat pada seseorang karena pribadinya mencerminkan hal-hal yang di kagumi oleh pengikutnya”. Selanjutnya menurut Thoha (2003) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan merupakan sarana bagi pemimpin untuk mempengaruhi perilaku pengikutpengikutnya”. Kaloh (2009) menyatakan bahwa. ”Seseorang dapat memiliki power dan pengaruh jika yang bersangkutan memiliki kemampuan (ability), reputasi (reputation), dan popularitas (popularity) yang dapat meyakinkan orang lain untuk melakukan sesuatu” 2.2.2. Jenis-jenis Kekuasaan Jenis-jenis kekuasaan yakni kekuasaan keahlian, kekuasaan resmi, kekuasaan imbalan, kekuasaan paksaan, kekuasaan keteladanan, kekuasaan informasi. (Kaloh, 2009). Selain itu ada lima macam kekuasaan yang banyak di gunakan, yaitu: Kekuasaan legitimasi, kekuasaan penghargaan, kekuasaan keahlian, kekuasaan referensi dan kekuasaan paksaan. (Siswandi, 2007). Selanjutnya menurut Siswandi (2007) menyatakan bahwa, ”Sumber kekuasaan yaitu: 1) kekuasaan posisi yakni kekuasaan di peroleh karena jabatan yang disandangnya; 2) Kekuasaan pribadi yakni kekuasaan diperoleh karena karakteristik pribadi yang positif dengan sendirinya akan memperoleh kekuasaan; 3) Kekuasaan keahlian yakni kekuasaan di peroleh karena keahlian yang dimiliki oleh seseorang; 4) Kekuasaan kesempatan yakni kekuasaan yang di peroleh di beri kesempatan untuk menduduki suatu jabatan”. 2.3. Teori Tentang Sikap 2.3.1. Pengertian Sikap Sikap merupakan reaksi kita terhadap setiap rangsangan yang ada, baik dari dalam diri kita maupun dari luar diri kita. Sikap kita akan menentukan tindakan yang akan kita ambil, sehingga keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung pada pada sikapnya. Menurut Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Sikap adalah suatu kesiapan untuk menanggapi, suatu kerangka yang utuh untuk menetapkan keyakinan atau pendapat yang khas serta sikap juga pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai objek, orang atau peristiwa”. Menurut Sunarto (2005) menyatakan bahwa, ”Sikap pada dasarnya merupakan prinsip yang diambil individu berdasarkan kepribadiannya, keyakinan dan perasaannya yang menyangkut suatu gagasan, situasi atau lingkungan yang dihadapinya.” Menurut Sobur (2003) menyatakan bahwa, ”Sikap pada dasarnya meliputi rasa suka dan tidak suka, penilaian serta reaksi menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap objek, orang, situasi, dan mungkin aspek-aspek lain dunia, termasuk ide abstrak dan kebijakan sosial”. Selanjutnya Maxwel (1993) menyatakan bahwa, ”Para pemimpin besar mengerti bahwa sikap-sikap yang benar akan mendatangkan suasana yang tepat pula, yang memungkinkan di berikannya tanggapan- tanggapan yang benar dari orang-orang lain”. 2.3.2. Komponen Sikap Faktor-faktor dalam penilaian sikap memiliki tiga komponen yaitu: a. Komponen afektif Komponen ini menyangkut perasaan yang dirasakan oleh seseorang mengenai gagasan, situasi maupun lingkungan yang di hadapinya. b. Komponen kognitif Komponen ini menyangkut pengetahuan seseorang mengenai sesuatu yang terkait dengan gagasan, situasi maupun lingkungannya yang dihadapinya. c. Komponen intense Komponen ini menyangkut harapan dari seseorang akibat dari gagasan, situasi maupun lingkungan yang dihadapinya. (Ruslan, 1998). Menurut Sobur (2003) menyatakan bahwa, ”Sikap mengandung 3 komponen dasar yaitu kognitif (keyakinan), afektif (emosi/perasaan), dan konatif (tindakan)”. Selanjutnya ketiga komponen tersebut dibedakan menjadi, komponen kognitif adalah kepercayaan (belief) seseorang terhadap objek sikap. Belief bergantung pada sistem sikap, yang merupakan evaluative belief mencakup ciriciri menyenangkan atau tidak menyenangkan, menguntungkan atau tidak menguntungkan, berkualitas baik atau buruk, dan belief tentang cara merespon yang sesuai dan tidak sesuai terhadap objek. Komponen afektif menunjuk pada emosionalitas terhadap objek. Objek dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Dan komponen konatif adalah kecenderungan tindakan seseorang, baik positif maupun negatif, terhadap objek sikap. (Sobur, 2003) 2.3.3. Faktor-faktor Pembentukan Sikap Menurut Hudaniah (2003) menyatakan bahwa ”Sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan hasil interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis”. Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, diantaranya adalah: a. Pengalaman pribadi Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan kita akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih lama berbekas. Namun, individu biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedang dialaminya dari pengalaman-pengalaman yang terdahulu, yang relevan. b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, biasanya orang yang dianggap penting bagi individu adalah orangtua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, isteri atau suami, dan lain-lain. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. c. Pengaruh kebudayaan Kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguat, ganjaran) yang kita alami. Kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain. Kebudayaan juga telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya. Hanya kepribadian individu yang telah mapan dan kuat yang dapat memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual. d. Media massa Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lainnya mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Walaupun pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung, namun dalam proses pembentukan dan perubahan sikap, peranan media massa tidak kecil artinya. Dalam pemberitaan di surat kabar maupun di radio atau media komunikasi lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya di sampaikan secara objektif seringkali dimasuki unsur subjektivitas penulis berita, baik secara sengaja maupun tidak. Hal ini seringkali berpengaruh terhadap sikap pembaca atau pendengarnya, sehingga dengan hanya menerima berita-berita yang sudah dimasuki unsur subjektif itu, terbentuklah sikap tertentu. (Sedarmayanti, 2004) 2.3.4. Perubahan Sikap Pada hakikatnya sikap itu merupakan cerminan dari persepsi seseorang, sikap dapat berubah sesuai dengan perubahan persepsi seseorang juga. Perubahan sikap tidak hanya tergantung dari sifat sikap yang dibawa seseorang tetapi juga dari ciri-ciri lain yaitu berita yang persuasif dan ciri-ciri badan yang menyampaikan informasi itu, atau sumber informasi. Perubahan sikap dipengaruhi oleh: (a) Sistem sikap (b) kepribadian dan (c) afiliasi individu dalam kelompok (Mujiyati, 2004). Selanjutnya menurut Mujiyati (2004) menyatakan bahwa, ”Ada tiga proses sosial yang berperan dalam proses perubahan sikap yaitu kesediaan (compliance), identifikasi (identification) dan internalisasi (internalization)”. Menurut Hudaniah (2003) menyatakan bahwa, “Perubahan sikap ditentukan oleh dua faktor, yaitu: a) Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. b) Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk mengubah sikap”. Dari uraian di atas diketahui bahwa perubahan sikap pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri individu dan ada faktor di luar diri individu yang keduanya saling berinteraksi, proses ini akan berlangsung selama perkembangan sesorang individu. Sikap dapat pula dinyatakan sebagai hasil belajar, artinya semakin banyak seseorang mempunyai pengetahuan akan berpengaruh terhadap tanggapannya terhadap sesuatu. Perubahan tanggapannya akan berimbas terhadap perubahan sikapnya. 2.4. Teori Tentang Kepribadian 2.4.1. Pengertian Kepribadian Menurut Sedarmayanti (2004) menyatakan bahwa, ”Kepribadian adalah pola menyeluruh semua kemampuan, perilaku, perbuatan serta kebiasaan seseorang, baik dari segi jasmani, mental, rohani, maupun emosi, yang ditata dalam suatu cara yang khas dengan mendapat pengaruh dari luar”. Menurut Alma (2005) menyatakan bahwa, “Kepribadian adalah keseluruhan karakteristik diri seseorang, bisa berbentuk pikiran, perasaan, kata hati, temperamen dan watak”. Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakan dirinya dari orang atau bangsa lain”. 2.4.2. Karakteristik Kepribadian Menurut Sedarmayanti (2004) menyatakan bahwa, “Hal-hal yang terkandung di dalam kepribadian meliputi: diri, kecerdasan, penampilan, kesehatan, keahlian, pengetahuan, pengendalian emosi, sikap, karakter, peranan, perawakan.” Selanjutnya ada delapan karakteristik kepribadian dari seorang wirausaha sukses yakni: 1. Desire for responsibility yakni memiliki rasa tanggung jawab atas usaha-usaha yang dilakukannya. 2. Preference for moderate risk yakni memilih resiko yang moderat dan telah diperhitungkan dan tidak mengambil resiko yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. 3. Confidence in their ability to succees yakni percaya bahwa dirinya bisa meraih kesuksesan yang diinginkannya. 4. Desire for immediate feedback yakni memiliki keinginan untuk segera mendapatkan umpan balik. 5. High level of energy yakni memiliki semangat dan energi yang tinggi untuk bekerja keras mencapai tujuannya. 6. Future orientation yakni berorientasi pada masa depan dan jangka panjang. 7. Skill of organizing yakni mempunyai ketrampilan mengorganisir sumbersumber daya untuk mencapai tujuannya. 8. Value of achievement over money yakni lebih menghargai prestasi dibandingkan uang, karena uang akan mengalir masuk dengan sendirinya jika seorang wirausaha mempunyai prestasi yang bagus. (Suryana 2006). Riyanti (2003) menyatakan bahwa, ”Ada tiga tipe kepribadian yakni the climber, the champer dan the quitter. The climber adalah orang yang memiliki ketahanan tinggi dalam menghadapi rintangan, ia tidak mudah menyerah dan terus bertahan meskipun gagal berkali-kali. The champer adalah orang yang mendaki pada ketinggian tertentu dan berhenti karena ia merasa sudah puas dengan apa yang dicapainya dan ia tidak mau berusaha lagi agar bisa lebih berhasil. Tipe quitter adalah orang yang mudah menyerah bila menghadapi kegagalan, ia penakut dan tidak mau mengambil resiko untuk mulai berusaha lagi. Rintangan membuatnya tidak mau mencoba lagi”. 2.5. Teori Tentang Budaya Organisasi 2.5.1. Pengertian Budaya Organisasi Menurut Wibowo (2006) menyatakan bahwa, “Budaya organisasi adalah norma-norma dan kebiasaan yang diterima sebagai suatu kebenaran oleh semua orang dalam organisasi”. Selanjutnya menurut Mathis (2006) menyatakan bahwa, “Budaya organisasi adalah sebuah pola dari nilai-nilai dan kepercayaan yang disepakati bersama yang memberikan arti kepada anggota dari organisasi tersebut dan aturanaturan berperilaku”. Luthans (2006) menyatakan bahwa, ”Budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar - diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat mereka menyesuaikan diri dengan masalah-masalah eksternal dan integrasi internal - yang telah bekerja cukup baik serta dianggap berharga, dan karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang benar untuk menyadari, berpikir, dan merasakan hubungan dengan masalah tersebut”. Menurut Rivai (2003) menyatakan bahwa, “Budaya organisasi adalah bagaimana organisasi belajar berhubungan dengan lingkungan yang merupakan penggabungan dari asumsi, perilaku, cerita, mitos, ide, metafora, dan ide lain untuk menentukan apa arti bekerja dalam suatu organisasi”. Sunarto (2005) menyatakan bahwa, ”Budaya organisasi sebagai keyakinan, sikap, dan nilai yang umumnya dimiliki, yang timbul dalam suatu organisasi; dikemukakan dengan lebih sederhana, budaya adalah cara kami melakukan sesuatu di sekitar sini”. Budaya organisasi tidak pernah kekurangan definisi. Budaya organisasi dijelaskan, misalnya, sebagai nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan, cara pekerjaan dilakukan ditempat itu, dan asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi (Robbins, 2001). Budaya organisasi telah didefinisikan oleh beberapa ahli, antara lain sebagai berikut: a. Peter F. Druicker dalam buku Robert G. Owens, Organizational Behaviour in Education. Organizational culture is the body of solutions to external and internal problems that has worked consistenly for a group and that is therefore taught to new members as the correct way to perceive, think about, anda feel in relation to those problems. (Budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalahmasalah terkait diatas). b. Phiti Sithi Amnuai dalam tulisannya, How to Build a Coorporation Culture, mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut: Organizational culture is a set of basic assumptions and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaptation and internal integration. (Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal). (Tika, 2006) 2.5.2. Pembentukan Budaya Organisasi Budaya perusahaan memiliki unsur-unsur pembentuk yang akan mewarnai budaya yang dicitrakannya. Unsur-unsur itu adalah sebagai berikut: a. Pekerja, pengusaha, dan lingkungan Sebagai subjek yang menjalankan perusahaan, pekerja dan pengusaha merupakan unsur yang paling menentukan profil dan sifat budaya perusahaan. b. Alat produksi/aset Perusahaan yang masih mengandalkan tenaga kerja (padat karya) tentunya berbeda kultur budaya perusahaannya dibandingkan dengan indsutri manufaktur yang padat energi atau modal. Demikian juga antara bagian administrasi dan produksi. Ada nuansa subkultur berbeda pada lingkungan yang berlainan. c. Sistem dan prosedur Sistem dan prosedur mengatur tata laksana pengelolaan perusahaan seharihari. Untuk menciptakan budaya berorientasi best practice company, system dan prosedur harus disesuaikan dengan tantangan, peluang, dan sasaran perusahaan. Harus ada sinergi antara budaya perusahaan dengan aturan main pada perusahaan. d. Wewenang dan otoritas Wewenang, otoritas tugas, jabatan, dan gaya pribadi akan mewarnai budaya perusahaan. Struktur usaha yang memiliki pola distribusi wewenang dan otoritas merata akan menciptakan budaya egalitarian, berbeda dengan otoritas terpusat. Pada perilaku individu, khususnya yang memiliki peran sentral (key position) akan mewarnai budaya kerja perusahaan yang bersangkutan. (Ghani, 2003) Menurut Ndraha (2003) menyatakan bahwa, ”Terbentuknya budaya tidak dalam sekejap, tidak bisa dikarbid. Pembentukan budaya memerlukan waktu bertahun bahkan puluhan dan ratusan tahun. Pembentukan budaya diawali oleh (para) pendiri (founder)”. Hal ini dapat di lihat proses pembentukan budaya organisasi mengikuti alur sebagai berikut: a. Para pendiri dan pimpinan lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai, perspektif, artefak ke dalam organisasi dan menanamkannya kepada karyawan. b. Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan masalah-masalah pokok organisasi yakni masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal. (Sobirin, 2007) Secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh jadi menjadi seorang pencipta budaya baru (culture creator) dengan mengembangkan berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan individual seperti persoalan identitas diri, kontrol, dan pemenuhan kebutuhan serta bagaimana agar bisa diterima oleh lingkungan organisasi yang diajarkan kepada generasi penerus. Selanjutnya Wibowo (2006) menyatakan bahwa, “Budaya organisasi sangat mempengaruhi kinerja sebuah organisasi, oleh karena itu budaya organisasi perlu selalu di sesuaikan dengan perkembangan yang di hadapi organisasi”. Untuk hal itu organisasi harus selalu membentuk budaya yang lebih baik dan stategis sehingga mampu menciptakan suatu keunggula organisasi. Menurut Tika (2006) menyatakan bahwa, “Proses pembentukan budaya organisasi ini bisa cepat dan bisa pula berangsur- angsur dengan menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan budaya organisasi melalui gaya kepemimpinan dan iklim kerja berdasarkan prinsip sama rata, sama rasa, dan sama kuasa”. 2.5.3. Karakteristik Budaya Organisasi Budaya organisasi mempunyai beberapa karakteristik penting diantaranya: 1. Aturan perilaku yang diamati. Ketika anggota organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku. 2. Norma. Ada standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak perusahaan menjadi “jangan melakukan terlalu banyak; jangan terlalu sedikit”. 3. Nilai dominan. Orang mendukung dan berharap peserta membagi-bagikan nilai utama. 4. Filosopis. Terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diberlakukan. 5. Aturan. Terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan. 6. Iklim Organisasi. Ini merupakan keseluruhan “perasaan” yang disampaikan dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan cara organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar. (Luthans, 2006) Hasil riset terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer yang merupakan hakikat dari budaya organisasi. Ketujuh karakteristik tersebut yaitu: a. Inovasi dan pengambilan resiko, sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko. b. Perhatian, sejauh mana karyawan diharapkan memperhatikan presisi (kecermatan dan analisis). c. Orientasi hasil, sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil, bukan pada teknik dan proses. d. Orientasi orang, sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek keberhasilan orang-orang di dalam organisasi. e. Orientasi tim, sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan kepada tim bukannya individu-individu. f. Keagresifan, sejauh mana orang-orang itu agresif (kreatif) dan kompetitif. g. Kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo. Tiap karakteristik ini berada pada suatu kesatuan, dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Menilai suatu organisasi dengan menggunakan tujuh karakter ini akan menghasilkan gambaran mengenai budaya organisasi (Rivai, 2003). 2.5.4. Fungsi Budaya Organisasi Semua organisasi pastilah mempunyai budaya dalam organisasinya. Budaya ini akan membawa organisasi mampu mencapai hasil kerja yang maksimal atau kurang maksimal, tentunya dengan budaya organisasi yang baik pasti akan membawa keungulan bagi organisasi. Budaya dalam suatu organisasi melakukan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu: a. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lain. b. Budaya memberikan identitas bagi angota organisasi. c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dan pada kepentingan individu. d. Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta membentuk sikap dan perilaku pegawai. (Rivai, 2003) Berdasarkan fungsi budaya tersebut dapat dilihat bahwa budaya bernilai untuk organisasi atau pegawai, budaya meningkatkan komitmen organisasi dan konsistensi dan perilaku pegawai. Ada beberapa arti penting (fungsi) budaya organisasi bagai kehidupan organisasi sendiri yaitu sebagai berikut: a. Budaya sebagai pembeda antara kita dengan mereka. Bentuk perusahan dan cara perusahaan hadir ditengah bisnis mungkin bisa sama, demikian juga produk yang dijual hampir tidak berbeda. Namun, bukan berarti perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa dibedakan. Salah satu cara membedakannya adalah dengan memahami budaya masing-masing. Budaya organisasi bisa membedakan siapa orang luar dan siapa yang dianggap orang dalam, siapa yang menjadi bagian dari mereka dan siapa yang bukan. b. Budaya sebagai pembentuk identitas diri. Sebagaimana kita ketahui organisasi sering disebut sebagai artificial being, bisa diperlakukan seolah-olah seperti seorang manusia, organisasi juga dianggap mempunyai tata nilai, karakter, dan identitas diri. Identitas organisasi identik dengan budaya organisasi. c. Budaya sebagai perekat organisasi. Salah satu alasan mengapa para praktisi bisnis begitu antusias menerapkan konsep budaya organisasi tidak lama setelah konsep tersebut diperkenalkan adalah kemampuan dan kekuatan budaya untuk meningkatkan kohesivitas karyawan dan menyatukan berbagai komponen organisasi yang memiliki cara pandang berbeda. d. Budaya sebagai alat kontrol. Bisa dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan social control system yang cukup efektif bukan hanya untuk aktivitas-aktivitas yang tidak rutin dan tidak bisa diprediksi tetapi juga bagi aktivitas yang sesungguhnya dikendalikan dengan sistem pengendalian informal. (Sobirin, 2007) 2.5.5. Unsur-unsur Budaya Organisasi Unsur-unsur yang terkandung dalam budaya organisasi yaitu sebagai berikut: a. Asumsi Dasar Dalam budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku. b. Keyakinan Keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau moto, asumsi dasar, tujuan umum organisasi, filosofi usaha, dan prinsip-prinsip usaha. c. Pemimpin Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh pemimpin organisasi d. Pedoman mengatasi masalah Dalam organisasi terdapat dua masalah pokok yang sering muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama oleh anggota organisasi. e. Berbagi nilai (sharing value) Dalam organisasi perlu berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang. f. Pewarisan (learning process) Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi perlu diwariskan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperilaku dalam organisasi tersebut. g. Penyesuaian (adaptation) Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang berlaku pada kelompok tersebut, dan adaptasi organisasi terhadap perubahan lingkungan. (Tika, 2006). 2.6. Teori Tentang Prestasi Kerja 2.6.1. Pengertian Prestasi Kerja Menurut Ruky (2001) menyatakan bahwa, ”Prestasi kerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu”. Selanjutnya menurut Hasibuan (2002) menyatakan bahwa, ”Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang di capai seseorang dalam melaksanakan tugastugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan, serta disiplin waktu”. Menurut Rivai (2008), “Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika”. Menurut Bernardin dan Russel (2006) bahwa, ”Performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activities during a specified time priod”. (Prestasi kerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama priode waktu tertentu). 2.6.2. Penilaian Prestasi Kerja Panggabean (2004) menyatakan bahwa, ”Penilaian prestasi merupakan sebuah proses formal untuk melakukan peninjuan ulang dan evaluasi prestasi kerja seseorang secara periodik”. Menurut Manullang (2001) menyatakan bahwa, ”Penilaian prestasi adalah suatu metode bagi manajemen untuk membuat suatu analisa yang adil dan jujur tentang nilai karyawan bagi organisasi”. Menurut Mangkunegara (2009), “Penilaian prestasi kerja adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang pegawai melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya”. 2.6.3. Tujuan dan Manfaat Penilaian Prestasi Kerja Tujuan penilaian prestasi kerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi organisasi melalui peningkatan prestasi sumber daya manusia organisasi. Menurut Mangkunegara (2009), ”Secara lebih spesifik, tujuan dari penilaian prestasi kerja adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan saling pengertian antar pegawai tentang persyaratan prestasi. 2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang pegawai, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama seperti prestasi yang terdahuku. 3. Memberikan peluang kepada pegawai untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang. 4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga pegawai termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya. 5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengmbangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan khusunya rencana diklat dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada lagi hal-hal yang ingin diubah.” Untuk menciptakan organisasi yang unggul dan mampu melayani dengan baik di butuhkan organisasi yang memiliki pegawai yang berprestasi baik. Menurut Manullang (2001) menyatakan bahwa, ”Manfaat prestasi kerja adalah untuk perbaikan prestasi kerja, penyesuaian-penyesuaian kompensasi, keputusan- keputusan penempatan (promosi, transfer, dan demosi), kebutuhan-kebutuhan latihan dan pengembangan, perencanaan dan pengembangan karir, penyimpanganproses staffing, ketidak akuratan informasi, kesalahan-kesalahan desain pekerjaan, kesempatan kerja yang adil, tantangan- tantangan eksternal”. Menurut Mangkuprawira (2004), ”Penilaian prestasi kerja pegawai memiliki manfaat ditinjau dari beragam perspektif pengembangan organisasi, khususnya manajemen sumber daya manusia sebagai berikut: 1. Perbaikan prestasi kerja Umpan balik prestasi kerja bermanfaat bagi pegawai, manajer dan spesialis personal dalam bentuk kegiatan yang tepat untuk memperbaiki prestasi kerja 2. Penyesuaian kompensasi Penilaian prestasi kerja membantu pengambilan keputusan menentukan siapa yang seharusnya menerima peningkatan pembayaran dalam bentuk upah dan bonus. 3. Keputusan penempatan 4. 5. 6. 7. 8. Promosi, transfer, dan penurunan jabatan biasanya didasarkan pada prestasi kerja masa lalu dan antisipatif lainnya misalnya dalam bentuk penghargaan. Kebutuhan pelatihan dan pengembangan Prestasi kerja mengindikasikan sebuah kebutuhan dan melakukan pelatihan kembali. Setiap pegawai hendaknya mampu mengembangkan diri. Perencanaan dan pengembangan karir Umpan balik prestasi kerja membantu proses pengambilan keputusan tentang karir spesifik pegawai. Defisiensi proses penempatan staf Baik buruknya prestasi kerja berimplikasi dalam hal kekuatan dan kelemahan dalam prosedur penempatan staf di departemen Sumber Daya Manusia. Ketidak akuratan informasi Prestasi kerja buruk dapat mengindikasikan kesalahan dalam informasi analisis pekerjaan, rencana Sumber Daya Manusia atau hal lain dari sistem manajemen personal. Hal demikian akan mengarah pada ketidak tepatan dalam keputusan gaji pegawai, pelatihan dan keputusan konseling. Kesalahan rancang pekerjaan Prestasi kerja buruk mungkin sebagai sebuah gejala dari rancang pekerjaan yang keliru. Lewat penilaian dapat didiagnosa kesalahankesalahan tersebut. 9. Kesempatan kerja sama Penilaian prestasi kerja kerja yang akurat secara aktual menghitung kaitannya dengan prestasi kerjadapat menjamin bahwa keputusan penempatan internal bukanlah sesuatu yang bersifat diskriminatif. 10. Tantangan-tantangan ekternal Kadang-kadang prestasi kerja kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan pekerjaan, seperti keluarga, financial kesehatan atau masalamasalah lainnya. Jika masalah-masalah tersebut tidak diatasi melalui penilaian, departmen Sumber Daya Manusia mungkin mampu menyediakan bantuannya. 11. Umpan balik pada Sumber Daya Manusia Prestasi kerja yang baik ataupun buruk diseluruh organisasi mengindikasikan bagaimana baik ataupun buruknya fungsi departmen SDM diterapkan.” 2.6.4. Faktor-faktor Penilaian Prestasi Kerja Menurut Simamora (2004) “Ada 3 hal yang dimasukkan dalam penilaian prestasi kerja, yaitu tingkat kedisiplinan, tingkat kemampuan, serta prilakuprilaku inovatif dan spontan”. Menurut Werther dan Davis (2003) menyatakan bahwa, ”Penilaian prestasi kerja yang dilakukan agar dapat lebih dipercaya dan objektif, maka perlu dilakukan batasan atau faktor-faktor penilaian prestasi kerja sebagai berikut: 1. Performance, yaitu hasil atau pencapaian tugas dalam jabatan 2. Competency, kemahiran atau penguasaan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jabatan 3. Job behavior, kesediaan untuk menampilkan perilaku dan mentalitas yang mendukung peningkatan prestasi kerja. 4. Potency, yaitu kemampuan pribadi yang akan dikembangkan.” Menurut Sutrisno (2009), ”Pengukuran prestasi kerja diarahkan pada enam aspek yaitu: 1. Hasil kerja: tingkat kuantitas maupun kualitas yang telah dihasilkan dan sejauh mana pengawasan dilakukan. 2. Pengetahuan pekerjaan: tingkat pengetahuan yang terkait dengan tugas pekerjaan yang akan berpengaruh langsung terhadap kuantitas dan kualitas dari hasil kerja. 3. Inisiatif: tingkat inisiatif selama menjalankan tugas pekerjaan khususnya dalam hal penanganan masalah-masalah yang timbul. 5. Kecakapan mental: tingkat kemampuan dan kecepatan dalam menerima instruksi kerja dan menyesuaikan dengan cara kerja serta situasi kerja yang ada. 6. Sikap: tingkat semangat kerja serta sikap positif dalam melaksanakan tugas pekerjaan. 7. Disiplin waktu dan absensi: tingkat ketepatan waktu dan tingkat kehadiran.” Indikator-indikator dalam penilaian prestasi kerja menurut Mangkunegara (2009) adalah: mutu pekerjaan, kejujuran, inisiatif, kehadiran, sikap, kerjasama, pengetahuan, tanggung-jawab terhadap pekerjaan dan pemanfaatan waktu kerja. Terdapat dua syarat utama yang diperlukan guna melakukan penilaian terhadap prestasi kerja menurut Gomes (2003) yakni: 1. Adanya kiteria prestasi kerja yang dapat diukur secara objektif 2. Adanya efektifitas dalam proses evaluasi. Kriteria prestasi kerja dapat diukur secara objektif, untuk pengembangannya diperlukan kualifikasi-kualifikasi tertentu. “Ada tiga kualifikasi penting bagi pengembangan kriteria prestasi kerja yang dapat diukur secara objektif meliputi: 1) relevancy, 2) reliability dan 3) discrimination” (Gomes, 2003). Untuk mengadakan penilaian terhadap prestasi kerja ini, maka penilai harus menetapkan penilaian dimana kriteria penilaian ini mencakup dalam unsur-unsur prestasi kerja. Unsur-unsur itu adalah sebagai berikut: 1. Kerjasama 2. Tanggung jawab 3. Kedisiplinan 4. Kepemimpinan 5. Kualitas kerja (Siswanto, 2001). 2.6.5. Metode Penilaian Prestasi Kerja Handoko (2002) mengelompokkan penilaian prestasi kerja sebagai berikut: 1. Metode penilaian yang berorientasi pada masa lalu, kemudian dibagi atas: a. Rating Scales, pengukuran dilakukan berdasarkan skala prestasi (kuantitatif dan kualitatif) yang sudah berlaku. b. Checklist, pengukuran dilakukan berdasarkan daftar isian yang berisi berbagai ukuran karakteristik prestasi seorang karyawan. c. Critical review method, pengukuran dilakukan dengan langsung meninjau lapangan agar mendapatkan informasi langsung dari atasan. d. Performance test and observation, pengukuran dilakukan bila jumlah pekerja terbatas. Test yang dilakukan bisa berbentuk keterampilan dan pengetahuan. e. Comparative evaluation approach, pengukuran dilakukan dengan membandingkan prestasi seorang pegawai dengan pegawai lainnya. 2. Future –oriented appraisal method, merupakan metode penilaian berorientasi pada prestasi pegawai dimasa yang akan datang berdasarkan potensi dan penentuan tujuan prestasi dimasa depan yang dibagi menjadi: a. Self appraisal, dilakukan secara mandiri oleh pegawai untuk mengevaluasi pengembangan diri. b. Management by objectives, pengukuran dilakukan berdasarkan tujuantujuan pekerjaan yang terukur dan disepakati bersama antara pegawai dan atasan c. Psychological appraisal, penilaian ini pada umumnya dilakukan oleh para psikolog untuk menilai petensi pegawai dimasa yang akan datang d. Assessment center, bentuk penilaian yang distandarisasikan dimana tergantung pada tipe berbagai penilai. 2.7. Kerangka Berpikir Kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting bagi suatu organisasi. Jatuh bangun suatu organisasi tergantung pada keberadaan kepemimpinan yang merupakan sebuah ungkapan tentang bagaimana pentingnya peran seorang pemimpin dalam suatu organisasi. Menjalankan roda organisai tentunya membutuhkan pemimpin yang cakap, tanpa ada pemimpin yang baik niscaya organisasi akan mengalami kemunduran dan begitu pula sebaliknya. Seorang pemimpin dapat memiliki pengaruh kepada orang lain dan hal ini terlepas apakah seseorang punya kedudukan formal atau tidak, tetapi jika seseorang mampu mempengaruhi orang lain serta orang lain tersebut mau mengikutinya maka seseorang tersebut sudah layak di sebut sebagai seorang pemimpin. Dalam hal mempengaruhi orang lain seorang pemimpin mempunyai gaya atau cara tersendiri, sesuai dengan kepribadian atau kondisi pengikut yang sedang dia pimpin. Setiap gaya punya kelebihan maupun kelemahannya masing- masing. Gaya yang terbaik adalah gaya yang sesuai dengan kepribadian pemimpin, keinginan pengikut dan kondisi yang sesuai pada saat itu. Selanjutnya Goleman (2003) menyatakan bahwa, ”Para pemimpin yang menggunakan gaya yang secara positif mempengaruhi suasana kerja sudah pasti akan mendapatkan hasil keuangan yang lebih baik daripada para pemimpin yang gaya kepemimpinannya berakibat negatif”. Hal ini menunjukkan bahwa gaya yang terbaik adalah gaya yang meningkatkan prestasi pegawai sehingga membuat organisasi menjadi produktif. Selain itu kekuasaan seorang pemimpin juga berpengaruh terhadap prestasi pegawai. Menurut Siswandi (2007) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan adalah kemampuan aktual atau kemampuan potensial yang dapat di gunakan untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang lain tersebut akan bersikap atau bertindak sesuai dengan yang di harapkan atau yang diinginkan”. Kaloh (2009) menyatakan bahwa, “Kekuasaan pribadi mencakup kekuasaan keahlian, kekuasaan keteladanan, dan kekuasaan koneksi. Kekuasaan keahlian secara positif berkaitan dengan tingkat prestasi pegawai”. Salah satu hal yang tak kalah pentingnya dalam kepemimpinan adalah sikap. Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Sikap adalah suatu kesiapan untuk menanggapi, suatu kerangka yang utuh untuk menetapkan keyakinan atau pendapat yang khas serta sikap juga pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai objek, orang atau peristiwa.” Menurut maxwell (2001) menyatakan bahwa, ”Sikap-sikap kita menentukan apa yang kita lihat dan bagaimana kita menangani perasaan-perasaan kita”. Selanjutnya melalui penelitian Lembaga Carnegie terhadap sepuluh ribu orang tentang kesuksesan berprestasi, menyimpulkan bahwa 15 persen prestasi mereka adalah karena berkat latihan teknis 85 persen karena kepribadian dan ciri khas utama kepribadian dalam penelitian tersebut adalah sikap. (Maxwell, 2001) Dari hal ini terungkap tentang pengaruh yang penting dari sikap seorang pemimpin terhadap prestasi pegawai yang dia pimpin. Gaya Kepemimpinan Kuasa Pribadi Pemimpin Prestasi Kerja Sikap Pemimpin Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Hipotesis Pertama Menurut Alma (2005) menyatakan bahwa, “Kepribadian adalah keseluruhan karakteristik diri seseorang, bisa berbentuk pikiran, perasaan, kata hati, temperamen dan watak”. Kepribadian merupakan suatu konsep yang luas dan dapat diartikan sebagai suatu cara mengumpulkan dan mengelompokkan konsistenan organisasi dan reaksi khas individu terhadap situasi yang terjadi. Kepribadian seorang pemimpin akan senantiasa mempengaruhi gaya kepemimpinan yang akan diterapkan dalam lingkungan pekerjaannya. Kenyataan bahwa kepribadian seorang pemimpin membantu membentuk gaya kepemimpinannya tidaklah berarti bahwa gaya tersebut tidak dapat diubah. Pemimpin belajar bahwa gaya tertentu memberikan hasil lebih baik bagi mereka daripada gaya lainnya. Jikalau suatu gaya ternyata tidak cocok, pemimpin dapat mengubahnya. Budaya organisasi pada dasarnya mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hirarki organisasi. Artinya, setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda, dan hal inilah yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lain. Perbedaan budaya organisasi juga mengharuskan setiap anggota organisasi tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal yang sama juga harus diterapkan oleh seorang pemimpin yang berada di lingkungan organisasi tersebut. Berdasarkan kondisi ini seorang pemimpin diharapkan dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan budaya organisasi tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepribadian dan budaya organisasi adalah dua faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan seseorang. Kepribadian yang baik dari seorang pemimpin diharapkan dapat membawa organisasi ke arah yang baik pula. Berdarkan uraian tersebut di atas, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat di gambarkan sebagai berikut. Kepribadian Gaya Kepemimpinan Budaya Organisasi Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Hipotesis Kedua 2.8. Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir, maka dihipotesiskan sebagai berikut: 1. Gaya kepemimpinan, kuasa pribadi (personality power) pemimpin, sikap pemimpin berpengaruh terhadap prestasi kerja pegawai pada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Utara. 2. Kepribadian dan budaya organisasi berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan pada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Utara.