pengaruh gaya kepemimpinan, kuasa pribadi pemimpin, sikap

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Tentang Kepemimpinan
2.1.1. Pengertian Kepemimpinan
Sebuah pepatah bijak mengatakan, anda bisa memaksa kuda ke dalam
sungai, tatapi anda tidak akan bisa memaksanya minum. Melalui pepatah ini juga
kita dapat menerangkan tentang perbedaan antara manajer dan pemimpin.
Manajer adalah orang yang punya kemampuan untuk memaksa pegawai bekerja.
Tetapi pemimpin mampu membuat pegawai bekerja tanpa merasa di tekan.
Melalui kepemimpinan, organisasi akan lebih maju, lebih termotivasi, berprestasi
dan unggul.
Menurut Sunarto (2005) menyatakan bahwa, ”Kepemimpinan adalah proses
memberi inspirasi kepada semua karyawan agar bekerja sebaik-baiknya
untuk mencapai hasil yang diharapkan”.
Menurut Siswandi (2007) menyatakan bahwa, ”Kepemimpinan sebagai
tindakan atau upaya untuk memotivasi atau mempengaruhi orang lain agar
mau bekerja atau bertindak kearah pencapaian tujuan organisasi yang telah
di tetapkan”.
Menurut Maxwell (1993) menyatakan bahwa, ”Kepemimpinan adalah
pengaruh”.
Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah
orang yang mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan. Orang yang
terpengaruh akan menjadi satu dengan pemimpinnya baik dari segi visi, tingkah
laku dan lain sebagainya. Persatuan ini akan mempermudah pemimpin membawa
pegawai untuk mencapai prestasi pribadi yang berdampak kepada keunggulan
organisasi.
2.1.2. Pengertian Gaya Kepemimpinan
Setiap pemimpin adalah unik dan berbeda dengan pemimpin lainnya.
Perbedaan tersebut akan terlihat pada cara bicara, tingkah laku, maupun cara
memperlakukan pegawainya.
Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Gaya artinya sikap, gerakan, tingkah
laku, sikap yang elok, gerak- gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan
untuk berbuat baik”.
Selanjutnya Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Gaya kepemimpinan adalah
sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan
agar sasaran organisasi tercapai, atau dapat pula dikatakan bahwa gaya
kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering
diterapkan oleh seorang pemimpin”.
Menurut
Thoha,
2003
menyatakan
bahwa,
”Gaya
kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang
tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat”.
2.1.3. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan
Para pemimpin yang mendatangkan hasil terbaik tidak tergantung selalu
pada satu gaya kepemimpinan tertentu, mereka cenderung menggunakan banyak
gaya kepemimpinan sesuai konteks dan kondisi yang berlaku pada saat itu. Ada
enam gaya kepemimpinan yaitu: pimpinan koersif, menuntut permintaannya di
penuhi sesegera mungkin. Pimpinan otoritatif menggerakkan orang menuju
sebuah visi. Pimpinan afiliatif, menciptakan ikatan emosi dan harmoni. Pimpinan
demokratif, membangun konsensus melalui partisipasi. Pimpinan pacesetting,
mengharapkan kesempurnaan dan pengarahan diri sendiri. Dan pimpinan
coaching, mengembangkan orang menuju masa depan. (Goleman, 2003)
Menurut Malahayati (2007) menyatakan bahwa, ”Gaya kepemimpinan
dapat di bedakan menjadi empat, diantaranya yaitu: gaya kepemimpinan
autokratis, gaya kepemimpinan birokratis, gaya kepemimpinan demokratis
dan gaya kepemimpinan bebas”.
White
(2006)
menyatakan,
Memberitahukan
(tell),
”Empat
melatih
gaya
(coaching),
kepemimpinan
memberi
yaitu:
dukungan
(supporting) dan mendelegasikan tanggung jawab (delegating)”.
Rivai
(2003)
menyatakan
bahwa,
”Ada
empat
tipe
atau
gaya
kepemimpinan: 1) mengarahkan, gaya ini sama dengan gaya otokratis, jadi
bawahan mengetahui secara persis apa yang diharapkan dari mereka,
2)
mendukung,
pemimpin
bersifat
ramah
terhadap
bawahan,
3) berpartisipasi, pemimpin bertanya dan menggunakan saran bawahan,
4) berorientasi pada tugas, pemimpin menyusun serangkaian tujuan yang
menantang untuk bawahannya
2.2. Teori Tentang Kuasa Pribadi
2.2.1. Pengertian Kuasa Pribadi
Kekuasaan merupakan kekuatan seseorang untuk mempengaruhi atau
memaksa orang lain sesuai dengan kehendaknya. Pemakaian kekuasaan yang baik
akan mendatangkan hasil yang baik, namun ketidakmampuan menggunakan
kekuasaan yang baik dengan sendirinya akan membuat kerugian baik bagi diri
sendiri maupun bagi organisasi.
Menurut Siswandi (2007) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan adalah
kemampuan aktual atau kemampuan potensial yang dapat di gunakan untuk
mempengaruhi orang lain sehingga orang lain tersebut akan bersikap atau
bertindak sesuai dengan yang di harapkan atau yang diinginkan”.
Selanjutnya menuut Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan tak lain
adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan
apa yang diinginkan oleh pihak lainnya”.
Kotter (2003) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan adalah suatu ukuran potensi
seseorang untuk membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan, dan
juga untuk menghindari dipaksa orang lain untuk melakukan apa yang tidak
ingin ia lakukan”.
Menurut Kaloh (2009) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan pribadi adalah
kekuasaan yang terdapat pada seseorang karena pribadinya mencerminkan
hal-hal yang di kagumi oleh pengikutnya”.
Selanjutnya menurut Thoha (2003) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan
merupakan sarana bagi pemimpin untuk mempengaruhi perilaku pengikutpengikutnya”.
Kaloh (2009) menyatakan bahwa. ”Seseorang dapat memiliki power dan
pengaruh jika yang bersangkutan memiliki kemampuan (ability), reputasi
(reputation), dan popularitas (popularity) yang dapat meyakinkan orang
lain untuk melakukan sesuatu”
2.2.2. Jenis-jenis Kekuasaan
Jenis-jenis kekuasaan yakni kekuasaan keahlian, kekuasaan resmi,
kekuasaan imbalan, kekuasaan paksaan, kekuasaan keteladanan, kekuasaan
informasi. (Kaloh, 2009).
Selain itu ada lima macam kekuasaan yang banyak di gunakan, yaitu:
Kekuasaan legitimasi, kekuasaan penghargaan, kekuasaan keahlian, kekuasaan
referensi dan kekuasaan paksaan. (Siswandi, 2007).
Selanjutnya menurut Siswandi (2007) menyatakan bahwa, ”Sumber
kekuasaan yaitu: 1) kekuasaan posisi yakni kekuasaan di peroleh karena
jabatan yang disandangnya; 2) Kekuasaan pribadi yakni kekuasaan
diperoleh karena karakteristik pribadi yang positif dengan sendirinya akan
memperoleh kekuasaan; 3) Kekuasaan keahlian yakni kekuasaan di peroleh
karena keahlian yang dimiliki oleh seseorang; 4) Kekuasaan kesempatan
yakni kekuasaan yang di peroleh di beri kesempatan untuk menduduki suatu
jabatan”.
2.3. Teori Tentang Sikap
2.3.1. Pengertian Sikap
Sikap merupakan reaksi kita terhadap setiap rangsangan yang ada, baik dari
dalam diri kita maupun dari luar diri kita. Sikap kita akan menentukan tindakan
yang akan kita ambil, sehingga keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung
pada pada sikapnya.
Menurut Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Sikap adalah suatu kesiapan
untuk menanggapi, suatu kerangka yang utuh untuk menetapkan keyakinan
atau pendapat yang khas serta sikap juga pernyataan evaluatif, baik yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai objek, orang atau
peristiwa”.
Menurut Sunarto (2005) menyatakan bahwa, ”Sikap pada dasarnya
merupakan prinsip yang diambil individu berdasarkan kepribadiannya,
keyakinan dan perasaannya yang menyangkut suatu gagasan, situasi atau
lingkungan yang dihadapinya.”
Menurut Sobur (2003) menyatakan bahwa, ”Sikap pada dasarnya meliputi
rasa suka dan tidak suka, penilaian serta reaksi menyenangkan atau tidak
menyenangkan terhadap objek, orang, situasi, dan mungkin aspek-aspek
lain dunia, termasuk ide abstrak dan kebijakan sosial”.
Selanjutnya Maxwel (1993) menyatakan bahwa, ”Para pemimpin besar
mengerti bahwa sikap-sikap yang benar akan mendatangkan suasana yang
tepat pula, yang memungkinkan di berikannya tanggapan- tanggapan yang
benar dari orang-orang lain”.
2.3.2. Komponen Sikap
Faktor-faktor dalam penilaian sikap memiliki tiga komponen yaitu:
a. Komponen afektif
Komponen ini menyangkut perasaan yang dirasakan oleh seseorang mengenai
gagasan, situasi maupun lingkungan yang di hadapinya.
b. Komponen kognitif
Komponen ini menyangkut pengetahuan seseorang mengenai sesuatu yang
terkait dengan gagasan, situasi maupun lingkungannya yang dihadapinya.
c. Komponen intense
Komponen ini menyangkut harapan dari seseorang akibat dari gagasan, situasi
maupun lingkungan yang dihadapinya. (Ruslan, 1998).
Menurut Sobur (2003) menyatakan bahwa, ”Sikap mengandung 3
komponen dasar yaitu kognitif (keyakinan), afektif (emosi/perasaan), dan
konatif (tindakan)”.
Selanjutnya ketiga komponen tersebut dibedakan menjadi, komponen
kognitif adalah kepercayaan (belief) seseorang terhadap objek sikap. Belief
bergantung pada sistem sikap, yang merupakan evaluative belief mencakup ciriciri menyenangkan atau tidak menyenangkan, menguntungkan atau tidak
menguntungkan, berkualitas baik atau buruk, dan belief tentang cara merespon
yang sesuai dan tidak sesuai terhadap objek. Komponen afektif menunjuk pada
emosionalitas
terhadap
objek.
Objek
dirasakan
sebagai
sesuatu
yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Dan
komponen konatif adalah kecenderungan tindakan seseorang, baik positif maupun
negatif, terhadap objek sikap. (Sobur, 2003)
2.3.3. Faktor-faktor Pembentukan Sikap
Menurut Hudaniah (2003) menyatakan bahwa ”Sikap bukan merupakan
suatu pembawaan, melainkan hasil interaksi dinamis antara individu dengan
lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis”.
Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap,
diantaranya adalah:
a. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan kita
akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai
tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang
berkaitan dengan objek psikologi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan
sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena
itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang
melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih
lama berbekas. Namun, individu biasanya tidak melepaskan pengalaman yang
sedang dialaminya dari pengalaman-pengalaman yang terdahulu, yang
relevan.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang
ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, biasanya
orang yang dianggap penting bagi individu adalah orangtua, orang yang status
sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, isteri
atau suami, dan lain-lain. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki
sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya
penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.
c.
Pengaruh kebudayaan
Kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang
menggambarkan sejarah reinforcement (penguat, ganjaran) yang kita alami.
Kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat
reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk
sikap dan perilaku yang lain. Kebudayaan juga telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya. Hanya kepribadian individu yang telah mapan dan kuat yang
dapat memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap
individual.
d. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah, dan lainnya mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi
sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi
sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi
tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai
sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Walaupun pengaruh
media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung,
namun dalam proses pembentukan dan perubahan sikap, peranan media massa
tidak kecil artinya. Dalam pemberitaan di surat kabar maupun di radio atau
media komunikasi lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya di sampaikan
secara objektif seringkali dimasuki unsur subjektivitas penulis berita, baik
secara sengaja maupun tidak. Hal ini seringkali berpengaruh terhadap sikap
pembaca atau pendengarnya, sehingga dengan hanya menerima berita-berita
yang sudah dimasuki unsur subjektif itu, terbentuklah sikap tertentu.
(Sedarmayanti, 2004)
2.3.4. Perubahan Sikap
Pada hakikatnya sikap itu merupakan cerminan dari persepsi seseorang,
sikap dapat berubah sesuai dengan perubahan persepsi seseorang juga. Perubahan
sikap tidak hanya tergantung dari sifat sikap yang dibawa seseorang tetapi juga
dari ciri-ciri lain yaitu berita yang persuasif dan ciri-ciri badan yang
menyampaikan informasi itu, atau sumber informasi. Perubahan sikap dipengaruhi
oleh: (a) Sistem sikap (b) kepribadian dan (c) afiliasi individu dalam kelompok
(Mujiyati, 2004).
Selanjutnya menurut Mujiyati (2004) menyatakan bahwa, ”Ada tiga proses
sosial yang berperan dalam proses perubahan sikap yaitu kesediaan
(compliance),
identifikasi
(identification)
dan
internalisasi
(internalization)”.
Menurut Hudaniah (2003) menyatakan bahwa, “Perubahan sikap ditentukan
oleh dua faktor, yaitu: a) Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara
individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak
semua yang datang akan diterima atau ditolak. b) Faktor eksternal, yaitu
keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk
mengubah sikap”.
Dari uraian di atas diketahui bahwa perubahan sikap pada dasarnya
dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri individu dan ada faktor di luar diri
individu yang keduanya saling berinteraksi, proses ini akan berlangsung selama
perkembangan sesorang individu. Sikap dapat pula dinyatakan sebagai hasil
belajar, artinya semakin banyak seseorang mempunyai pengetahuan akan
berpengaruh terhadap tanggapannya terhadap sesuatu. Perubahan tanggapannya
akan berimbas terhadap perubahan sikapnya.
2.4. Teori Tentang Kepribadian
2.4.1. Pengertian Kepribadian
Menurut Sedarmayanti (2004) menyatakan bahwa, ”Kepribadian adalah
pola menyeluruh semua kemampuan, perilaku, perbuatan serta kebiasaan
seseorang, baik dari segi jasmani, mental, rohani, maupun emosi, yang
ditata dalam suatu cara yang khas dengan mendapat pengaruh dari luar”.
Menurut
Alma
(2005)
menyatakan
bahwa,
“Kepribadian
adalah
keseluruhan karakteristik diri seseorang, bisa berbentuk pikiran, perasaan,
kata hati, temperamen dan watak”.
Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Kepribadian adalah sifat hakiki yang
tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakan
dirinya dari orang atau bangsa lain”.
2.4.2. Karakteristik Kepribadian
Menurut Sedarmayanti (2004) menyatakan bahwa, “Hal-hal yang
terkandung di dalam kepribadian meliputi: diri, kecerdasan, penampilan,
kesehatan, keahlian, pengetahuan, pengendalian emosi, sikap, karakter,
peranan, perawakan.”
Selanjutnya ada delapan karakteristik kepribadian dari seorang wirausaha
sukses yakni:
1. Desire for responsibility yakni memiliki rasa tanggung jawab atas usaha-usaha
yang dilakukannya.
2. Preference for moderate risk yakni memilih resiko yang moderat dan telah
diperhitungkan dan tidak mengambil resiko yang terlalu rendah atau terlalu
tinggi.
3. Confidence in their ability to succees yakni percaya bahwa dirinya bisa meraih
kesuksesan yang diinginkannya.
4. Desire for immediate feedback yakni memiliki keinginan untuk segera
mendapatkan umpan balik.
5. High level of energy yakni memiliki semangat dan energi yang tinggi untuk
bekerja keras mencapai tujuannya.
6. Future orientation yakni berorientasi pada masa depan dan jangka panjang.
7. Skill of organizing yakni mempunyai ketrampilan mengorganisir sumbersumber daya untuk mencapai tujuannya.
8. Value of achievement over money yakni lebih menghargai prestasi
dibandingkan uang, karena uang akan mengalir masuk dengan sendirinya jika
seorang wirausaha mempunyai prestasi yang bagus. (Suryana 2006).
Riyanti (2003) menyatakan bahwa, ”Ada tiga tipe kepribadian yakni the
climber, the champer dan the quitter. The climber adalah orang yang
memiliki ketahanan tinggi dalam menghadapi rintangan, ia tidak mudah
menyerah dan terus bertahan meskipun gagal berkali-kali. The champer
adalah orang yang mendaki pada ketinggian tertentu dan berhenti karena ia
merasa sudah puas dengan apa yang dicapainya dan ia tidak mau berusaha
lagi agar bisa lebih berhasil. Tipe quitter adalah orang yang mudah
menyerah bila menghadapi kegagalan, ia penakut dan tidak mau mengambil
resiko untuk mulai berusaha lagi. Rintangan membuatnya tidak mau
mencoba lagi”.
2.5. Teori Tentang Budaya Organisasi
2.5.1. Pengertian Budaya Organisasi
Menurut Wibowo (2006) menyatakan bahwa, “Budaya organisasi adalah
norma-norma dan kebiasaan yang diterima sebagai suatu kebenaran oleh
semua orang dalam organisasi”.
Selanjutnya menurut Mathis (2006) menyatakan bahwa, “Budaya organisasi
adalah sebuah pola dari nilai-nilai dan kepercayaan yang disepakati bersama
yang memberikan arti kepada anggota dari organisasi tersebut dan aturanaturan berperilaku”.
Luthans (2006) menyatakan bahwa, ”Budaya organisasi sebagai pola
asumsi dasar - diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok
tertentu saat mereka menyesuaikan diri dengan masalah-masalah eksternal
dan integrasi internal - yang telah bekerja cukup baik serta dianggap
berharga, dan karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang
benar untuk menyadari, berpikir, dan merasakan hubungan dengan masalah
tersebut”.
Menurut Rivai (2003) menyatakan bahwa, “Budaya organisasi adalah
bagaimana organisasi belajar berhubungan dengan lingkungan yang
merupakan penggabungan dari asumsi, perilaku, cerita, mitos, ide,
metafora, dan ide lain untuk menentukan apa arti bekerja dalam suatu
organisasi”.
Sunarto (2005) menyatakan bahwa, ”Budaya organisasi sebagai keyakinan,
sikap, dan nilai yang umumnya dimiliki, yang timbul dalam suatu
organisasi; dikemukakan dengan lebih sederhana, budaya adalah cara kami
melakukan sesuatu di sekitar sini”.
Budaya organisasi tidak pernah kekurangan definisi. Budaya organisasi
dijelaskan, misalnya, sebagai nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi,
falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan
pelanggan, cara pekerjaan dilakukan ditempat itu, dan asumsi dan kepercayaan
dasar yang terdapat di antara anggota organisasi (Robbins, 2001).
Budaya organisasi telah didefinisikan oleh beberapa ahli, antara lain sebagai
berikut:
a. Peter F. Druicker dalam buku Robert G. Owens, Organizational Behaviour in
Education. Organizational culture is the body of solutions to external and
internal problems that has worked consistenly for a group and that is
therefore taught to new members as the correct way to perceive, think about,
anda feel in relation to those problems.
(Budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan
internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok
yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang
tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalahmasalah terkait diatas).
b. Phiti Sithi Amnuai dalam tulisannya, How to Build a Coorporation Culture,
mendefinisikan budaya organisasi sebagai berikut:
Organizational culture is a set of basic assumptions and beliefs that are
shared by members of an organization, being developed as they learn to cope
with problems of external adaptation and internal integration.
(Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian dikembangkan dan
diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah
integrasi internal). (Tika, 2006)
2.5.2. Pembentukan Budaya Organisasi
Budaya perusahaan memiliki unsur-unsur pembentuk yang akan mewarnai
budaya yang dicitrakannya. Unsur-unsur itu adalah sebagai berikut:
a. Pekerja, pengusaha, dan lingkungan
Sebagai subjek yang menjalankan perusahaan, pekerja dan pengusaha
merupakan unsur yang paling menentukan profil dan sifat budaya perusahaan.
b. Alat produksi/aset
Perusahaan yang masih mengandalkan tenaga kerja (padat karya) tentunya
berbeda kultur budaya perusahaannya dibandingkan dengan indsutri
manufaktur yang padat energi atau modal.
Demikian juga antara bagian
administrasi dan produksi. Ada nuansa subkultur berbeda pada lingkungan
yang berlainan.
c. Sistem dan prosedur
Sistem dan prosedur mengatur tata laksana pengelolaan perusahaan seharihari. Untuk menciptakan budaya berorientasi best practice company, system
dan prosedur harus disesuaikan dengan tantangan, peluang, dan sasaran
perusahaan. Harus ada sinergi antara budaya perusahaan dengan aturan main
pada perusahaan.
d. Wewenang dan otoritas
Wewenang, otoritas tugas, jabatan, dan gaya pribadi akan mewarnai budaya
perusahaan.
Struktur usaha yang memiliki pola distribusi wewenang dan
otoritas merata akan menciptakan budaya egalitarian, berbeda dengan otoritas
terpusat. Pada perilaku individu, khususnya yang memiliki peran sentral (key
position) akan mewarnai budaya kerja perusahaan yang bersangkutan. (Ghani,
2003)
Menurut Ndraha (2003) menyatakan bahwa, ”Terbentuknya budaya tidak
dalam sekejap, tidak bisa dikarbid. Pembentukan budaya memerlukan
waktu bertahun bahkan puluhan dan ratusan tahun. Pembentukan budaya
diawali oleh (para) pendiri (founder)”.
Hal ini dapat di lihat proses pembentukan budaya organisasi mengikuti alur
sebagai berikut:
a. Para pendiri dan pimpinan lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai,
perspektif, artefak ke dalam organisasi dan menanamkannya kepada
karyawan.
b. Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain
untuk memecahkan masalah-masalah pokok organisasi yakni masalah
integrasi internal dan adaptasi eksternal. (Sobirin, 2007)
Secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh jadi menjadi
seorang pencipta budaya baru (culture creator) dengan mengembangkan berbagai
cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan individual seperti persoalan
identitas diri, kontrol, dan pemenuhan kebutuhan serta bagaimana agar bisa
diterima oleh lingkungan organisasi yang diajarkan kepada generasi penerus.
Selanjutnya Wibowo (2006) menyatakan bahwa, “Budaya organisasi sangat
mempengaruhi kinerja sebuah organisasi, oleh karena itu budaya organisasi
perlu selalu di sesuaikan dengan perkembangan yang di hadapi organisasi”.
Untuk hal itu organisasi harus selalu membentuk budaya yang lebih baik
dan stategis sehingga mampu menciptakan suatu keunggula organisasi.
Menurut Tika (2006) menyatakan bahwa, “Proses pembentukan budaya
organisasi ini bisa cepat dan bisa pula berangsur- angsur dengan
menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan budaya organisasi
melalui gaya kepemimpinan dan iklim kerja berdasarkan prinsip sama rata,
sama rasa, dan sama kuasa”.
2.5.3. Karakteristik Budaya Organisasi
Budaya organisasi mempunyai beberapa karakteristik penting diantaranya:
1. Aturan perilaku yang diamati. Ketika anggota organisasi berinteraksi satu
sama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang
berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku.
2. Norma. Ada standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa banyak
pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak perusahaan menjadi “jangan
melakukan terlalu banyak; jangan terlalu sedikit”.
3. Nilai dominan. Orang mendukung dan berharap peserta membagi-bagikan
nilai utama.
4. Filosopis. Terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi
mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diberlakukan.
5. Aturan. Terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan.
6. Iklim Organisasi. Ini merupakan keseluruhan “perasaan” yang disampaikan
dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan cara
organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar. (Luthans,
2006)
Hasil riset terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer yang
merupakan hakikat dari budaya organisasi. Ketujuh karakteristik tersebut yaitu:
a. Inovasi dan pengambilan resiko, sejauh mana para karyawan didorong untuk
inovatif dan mengambil resiko.
b. Perhatian, sejauh mana karyawan diharapkan memperhatikan presisi
(kecermatan dan analisis).
c. Orientasi hasil, sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil, bukan pada
teknik dan proses.
d. Orientasi orang, sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek
keberhasilan orang-orang di dalam organisasi.
e. Orientasi tim, sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan kepada tim
bukannya individu-individu.
f. Keagresifan, sejauh mana orang-orang itu agresif (kreatif) dan kompetitif.
g. Kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya
status quo.
Tiap karakteristik ini berada pada suatu kesatuan, dari tingkat yang rendah ke
tingkat yang lebih tinggi. Menilai suatu organisasi dengan menggunakan tujuh
karakter ini akan menghasilkan gambaran mengenai budaya organisasi (Rivai,
2003).
2.5.4. Fungsi Budaya Organisasi
Semua organisasi pastilah mempunyai budaya dalam organisasinya. Budaya
ini akan membawa organisasi mampu mencapai hasil kerja yang maksimal atau
kurang maksimal, tentunya dengan budaya organisasi yang baik pasti akan
membawa keungulan bagi organisasi. Budaya dalam suatu organisasi melakukan
sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu:
a. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya
menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi
lain.
b. Budaya memberikan identitas bagi angota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dan pada
kepentingan individu.
d. Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta
membentuk sikap dan perilaku pegawai. (Rivai, 2003)
Berdasarkan fungsi budaya tersebut dapat dilihat bahwa budaya bernilai
untuk organisasi atau pegawai, budaya meningkatkan komitmen organisasi dan
konsistensi dan perilaku pegawai. Ada beberapa arti penting (fungsi) budaya
organisasi bagai kehidupan organisasi sendiri yaitu sebagai berikut:
a. Budaya sebagai pembeda antara kita dengan mereka.
Bentuk perusahan dan cara perusahaan hadir ditengah bisnis mungkin bisa
sama, demikian juga produk yang dijual hampir tidak berbeda. Namun, bukan
berarti perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa dibedakan. Salah satu cara
membedakannya adalah dengan memahami budaya masing-masing. Budaya
organisasi bisa membedakan siapa orang luar dan siapa yang dianggap orang
dalam, siapa yang menjadi bagian dari mereka dan siapa yang bukan.
b. Budaya sebagai pembentuk identitas diri.
Sebagaimana kita ketahui organisasi sering disebut sebagai artificial being,
bisa diperlakukan seolah-olah seperti seorang manusia, organisasi juga
dianggap mempunyai tata nilai, karakter, dan identitas diri. Identitas
organisasi identik dengan budaya organisasi.
c. Budaya sebagai perekat organisasi.
Salah satu alasan mengapa para praktisi bisnis begitu antusias menerapkan
konsep budaya organisasi tidak lama setelah konsep tersebut diperkenalkan
adalah kemampuan dan kekuatan budaya untuk meningkatkan kohesivitas
karyawan dan menyatukan berbagai komponen organisasi yang memiliki cara
pandang berbeda.
d. Budaya sebagai alat kontrol.
Bisa dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan
social control system
yang cukup efektif bukan hanya untuk aktivitas-aktivitas yang tidak rutin dan
tidak bisa diprediksi tetapi juga bagi aktivitas yang sesungguhnya
dikendalikan dengan sistem pengendalian informal. (Sobirin, 2007)
2.5.5. Unsur-unsur Budaya Organisasi
Unsur-unsur yang terkandung dalam budaya organisasi yaitu sebagai
berikut:
a. Asumsi Dasar
Dalam budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai
pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku.
b. Keyakinan
Keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi
mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau moto, asumsi dasar,
tujuan umum organisasi, filosofi usaha, dan prinsip-prinsip usaha.
c. Pemimpin
Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh pemimpin
organisasi
d. Pedoman mengatasi masalah
Dalam organisasi terdapat dua masalah pokok yang sering muncul, yakni
masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Kedua masalah
tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama
oleh anggota organisasi.
e. Berbagi nilai (sharing value)
Dalam organisasi perlu berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau
apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang.
f. Pewarisan (learning process)
Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi perlu
diwariskan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman
untuk bertindak dan berperilaku dalam organisasi tersebut.
g. Penyesuaian (adaptation)
Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang
berlaku pada kelompok tersebut, dan adaptasi organisasi terhadap perubahan
lingkungan. (Tika, 2006).
2.6. Teori Tentang Prestasi Kerja
2.6.1. Pengertian Prestasi Kerja
Menurut Ruky (2001) menyatakan bahwa, ”Prestasi kerja adalah catatan
tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau
kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu”.
Selanjutnya menurut Hasibuan (2002) menyatakan bahwa, ”Prestasi kerja
adalah suatu hasil kerja yang di capai seseorang dalam melaksanakan tugastugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,
pengalaman, dan kesungguhan, serta disiplin waktu”.
Menurut Rivai (2008), “Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai
oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian
tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak
bertentangan dengan moral atau etika”.
Menurut Bernardin dan Russel (2006) bahwa, ”Performance is defined as
the record of outcomes produced on a specified job function or activities
during a specified time priod”.
(Prestasi kerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi suatu
pekerjaan tertentu atau kegiatan selama priode waktu tertentu).
2.6.2. Penilaian Prestasi Kerja
Panggabean (2004) menyatakan bahwa, ”Penilaian prestasi merupakan
sebuah proses formal untuk melakukan peninjuan ulang dan evaluasi
prestasi kerja seseorang secara periodik”.
Menurut Manullang (2001) menyatakan bahwa, ”Penilaian prestasi adalah
suatu metode bagi manajemen untuk membuat suatu analisa yang adil dan
jujur tentang nilai karyawan bagi organisasi”.
Menurut Mangkunegara (2009), “Penilaian prestasi kerja adalah suatu
proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang
pegawai melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya”.
2.6.3. Tujuan dan Manfaat Penilaian Prestasi Kerja
Tujuan
penilaian
prestasi
kerja
adalah
untuk
memperbaiki
atau
meningkatkan prestasi organisasi melalui peningkatan prestasi sumber daya
manusia organisasi.
Menurut Mangkunegara (2009), ”Secara lebih spesifik, tujuan dari penilaian
prestasi kerja adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan saling pengertian antar pegawai tentang persyaratan
prestasi.
2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang pegawai, sehingga mereka
termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya
berprestasi sama seperti prestasi yang terdahuku.
3. Memberikan peluang kepada pegawai untuk mendiskusikan keinginan
dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau
terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.
4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga
pegawai termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengmbangan yang sesuai dengan
kebutuhan pelatihan khusunya rencana diklat dan kemudian menyetujui
rencana itu jika tidak ada lagi hal-hal yang ingin diubah.”
Untuk menciptakan organisasi yang unggul dan mampu melayani dengan
baik di butuhkan organisasi yang memiliki pegawai yang berprestasi baik.
Menurut Manullang (2001) menyatakan bahwa, ”Manfaat prestasi kerja
adalah untuk perbaikan prestasi kerja, penyesuaian-penyesuaian
kompensasi, keputusan- keputusan penempatan (promosi, transfer, dan
demosi), kebutuhan-kebutuhan latihan dan pengembangan, perencanaan dan
pengembangan karir, penyimpanganproses staffing, ketidak akuratan
informasi, kesalahan-kesalahan desain pekerjaan, kesempatan kerja yang
adil, tantangan- tantangan eksternal”.
Menurut Mangkuprawira (2004), ”Penilaian prestasi kerja pegawai
memiliki manfaat ditinjau dari beragam perspektif pengembangan
organisasi, khususnya manajemen sumber daya manusia sebagai berikut:
1. Perbaikan prestasi kerja
Umpan balik prestasi kerja bermanfaat bagi pegawai, manajer dan
spesialis personal dalam bentuk kegiatan yang tepat untuk memperbaiki
prestasi kerja
2. Penyesuaian kompensasi
Penilaian prestasi kerja membantu pengambilan keputusan menentukan
siapa yang seharusnya menerima peningkatan pembayaran dalam
bentuk upah dan bonus.
3. Keputusan penempatan
4.
5.
6.
7.
8.
Promosi, transfer, dan penurunan jabatan biasanya didasarkan pada
prestasi kerja masa lalu dan antisipatif lainnya misalnya dalam bentuk
penghargaan.
Kebutuhan pelatihan dan pengembangan
Prestasi kerja mengindikasikan sebuah kebutuhan dan melakukan
pelatihan kembali. Setiap pegawai hendaknya mampu mengembangkan
diri.
Perencanaan dan pengembangan karir
Umpan balik prestasi kerja membantu proses pengambilan keputusan
tentang karir spesifik pegawai.
Defisiensi proses penempatan staf
Baik buruknya prestasi kerja berimplikasi dalam hal kekuatan dan
kelemahan dalam prosedur penempatan staf di departemen Sumber
Daya Manusia.
Ketidak akuratan informasi
Prestasi kerja buruk dapat mengindikasikan kesalahan dalam informasi
analisis pekerjaan, rencana Sumber Daya Manusia atau hal lain dari
sistem manajemen personal. Hal demikian akan mengarah pada ketidak
tepatan dalam keputusan gaji pegawai, pelatihan dan keputusan
konseling.
Kesalahan rancang pekerjaan
Prestasi kerja buruk mungkin sebagai sebuah gejala dari rancang
pekerjaan yang keliru. Lewat penilaian dapat didiagnosa kesalahankesalahan tersebut.
9. Kesempatan kerja sama
Penilaian prestasi kerja kerja yang akurat secara aktual menghitung
kaitannya dengan prestasi kerjadapat menjamin bahwa keputusan
penempatan internal bukanlah sesuatu yang bersifat diskriminatif.
10. Tantangan-tantangan ekternal
Kadang-kadang prestasi kerja kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan pekerjaan, seperti keluarga, financial kesehatan atau masalamasalah lainnya. Jika masalah-masalah tersebut tidak diatasi melalui
penilaian, departmen Sumber Daya Manusia mungkin mampu
menyediakan bantuannya.
11. Umpan balik pada Sumber Daya Manusia
Prestasi kerja yang baik ataupun buruk diseluruh organisasi
mengindikasikan bagaimana baik ataupun buruknya fungsi departmen
SDM diterapkan.”
2.6.4. Faktor-faktor Penilaian Prestasi Kerja
Menurut Simamora (2004) “Ada 3 hal yang dimasukkan dalam penilaian
prestasi kerja, yaitu tingkat kedisiplinan, tingkat kemampuan, serta prilakuprilaku inovatif dan spontan”.
Menurut Werther dan Davis (2003) menyatakan bahwa, ”Penilaian prestasi
kerja yang dilakukan agar dapat lebih dipercaya dan objektif, maka perlu
dilakukan batasan atau faktor-faktor penilaian prestasi kerja sebagai berikut:
1. Performance, yaitu hasil atau pencapaian tugas dalam jabatan
2. Competency, kemahiran atau penguasaan pekerjaan sesuai dengan
tuntutan jabatan
3. Job behavior, kesediaan untuk menampilkan perilaku dan mentalitas
yang mendukung peningkatan prestasi kerja.
4. Potency, yaitu kemampuan pribadi yang akan dikembangkan.”
Menurut Sutrisno (2009), ”Pengukuran prestasi kerja diarahkan pada enam
aspek yaitu:
1. Hasil kerja: tingkat kuantitas maupun kualitas yang telah dihasilkan dan
sejauh mana pengawasan dilakukan.
2. Pengetahuan pekerjaan: tingkat pengetahuan yang terkait dengan tugas
pekerjaan yang akan berpengaruh langsung terhadap kuantitas dan
kualitas dari hasil kerja.
3. Inisiatif: tingkat inisiatif selama menjalankan tugas pekerjaan
khususnya dalam hal penanganan masalah-masalah yang timbul.
5. Kecakapan mental: tingkat kemampuan dan kecepatan dalam menerima
instruksi kerja dan menyesuaikan dengan cara kerja serta situasi kerja
yang ada.
6. Sikap: tingkat semangat kerja serta sikap positif dalam melaksanakan
tugas pekerjaan.
7. Disiplin waktu dan absensi: tingkat ketepatan waktu dan tingkat
kehadiran.”
Indikator-indikator dalam penilaian prestasi kerja menurut Mangkunegara
(2009) adalah: mutu pekerjaan, kejujuran, inisiatif, kehadiran, sikap, kerjasama,
pengetahuan, tanggung-jawab terhadap pekerjaan dan pemanfaatan waktu kerja.
Terdapat dua syarat utama yang diperlukan guna melakukan penilaian
terhadap prestasi kerja menurut Gomes (2003) yakni:
1. Adanya kiteria prestasi kerja yang dapat diukur secara objektif
2. Adanya efektifitas dalam proses evaluasi.
Kriteria prestasi kerja dapat diukur secara objektif, untuk pengembangannya
diperlukan kualifikasi-kualifikasi tertentu. “Ada tiga kualifikasi penting bagi
pengembangan kriteria prestasi kerja yang dapat diukur secara objektif meliputi:
1) relevancy, 2) reliability dan 3) discrimination” (Gomes, 2003).
Untuk mengadakan penilaian terhadap prestasi kerja ini, maka penilai harus
menetapkan penilaian dimana kriteria penilaian ini mencakup dalam unsur-unsur
prestasi kerja. Unsur-unsur itu adalah sebagai berikut:
1. Kerjasama
2. Tanggung jawab
3. Kedisiplinan
4. Kepemimpinan
5. Kualitas kerja (Siswanto, 2001).
2.6.5. Metode Penilaian Prestasi Kerja
Handoko (2002) mengelompokkan penilaian prestasi kerja sebagai berikut:
1. Metode penilaian yang berorientasi pada masa lalu, kemudian dibagi atas:
a. Rating
Scales,
pengukuran
dilakukan
berdasarkan
skala
prestasi
(kuantitatif dan kualitatif) yang sudah berlaku.
b. Checklist, pengukuran dilakukan berdasarkan daftar isian yang berisi
berbagai ukuran karakteristik prestasi seorang karyawan.
c. Critical review method, pengukuran dilakukan dengan langsung meninjau
lapangan agar mendapatkan informasi langsung dari atasan.
d. Performance test and observation, pengukuran dilakukan bila jumlah
pekerja terbatas. Test yang dilakukan bisa berbentuk keterampilan dan
pengetahuan.
e. Comparative
evaluation
approach,
pengukuran
dilakukan
dengan
membandingkan prestasi seorang pegawai dengan pegawai lainnya.
2. Future –oriented appraisal method, merupakan metode penilaian berorientasi
pada prestasi pegawai dimasa yang akan datang berdasarkan potensi dan
penentuan tujuan prestasi dimasa depan yang dibagi menjadi:
a. Self appraisal, dilakukan secara mandiri oleh pegawai untuk mengevaluasi
pengembangan diri.
b. Management by objectives, pengukuran dilakukan berdasarkan tujuantujuan pekerjaan yang terukur dan disepakati bersama antara pegawai dan
atasan
c. Psychological appraisal, penilaian ini pada umumnya dilakukan oleh para
psikolog untuk menilai petensi pegawai dimasa yang akan datang
d. Assessment center, bentuk penilaian yang distandarisasikan dimana
tergantung pada tipe berbagai penilai.
2.7. Kerangka Berpikir
Kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting bagi suatu organisasi.
Jatuh bangun suatu organisasi tergantung pada keberadaan kepemimpinan yang
merupakan sebuah ungkapan tentang bagaimana pentingnya peran seorang
pemimpin dalam suatu organisasi. Menjalankan roda organisai tentunya
membutuhkan pemimpin yang cakap, tanpa ada pemimpin yang baik niscaya
organisasi akan mengalami kemunduran dan begitu pula sebaliknya.
Seorang pemimpin dapat memiliki pengaruh kepada orang lain dan hal ini
terlepas apakah seseorang punya kedudukan formal atau tidak, tetapi jika
seseorang mampu mempengaruhi orang lain serta orang lain tersebut mau
mengikutinya maka seseorang tersebut sudah layak di sebut sebagai seorang
pemimpin.
Dalam hal mempengaruhi orang lain seorang pemimpin mempunyai gaya
atau cara tersendiri, sesuai dengan kepribadian atau kondisi pengikut yang sedang
dia pimpin. Setiap gaya punya kelebihan maupun kelemahannya masing- masing.
Gaya yang terbaik adalah gaya yang sesuai dengan kepribadian pemimpin,
keinginan pengikut dan kondisi yang sesuai pada saat itu.
Selanjutnya Goleman (2003) menyatakan bahwa, ”Para pemimpin yang
menggunakan gaya yang secara positif mempengaruhi suasana kerja sudah pasti
akan mendapatkan hasil keuangan yang lebih baik daripada para pemimpin yang
gaya kepemimpinannya berakibat negatif”.
Hal ini menunjukkan bahwa gaya yang terbaik adalah gaya yang
meningkatkan prestasi pegawai sehingga membuat organisasi menjadi produktif.
Selain itu kekuasaan seorang pemimpin juga berpengaruh terhadap prestasi
pegawai. Menurut Siswandi (2007) menyatakan bahwa, ”Kekuasaan adalah
kemampuan aktual atau kemampuan potensial yang dapat di gunakan untuk
mempengaruhi orang lain sehingga orang lain tersebut akan bersikap atau
bertindak sesuai dengan yang di harapkan atau yang diinginkan”.
Kaloh (2009) menyatakan bahwa, “Kekuasaan pribadi mencakup kekuasaan
keahlian, kekuasaan keteladanan, dan kekuasaan koneksi. Kekuasaan keahlian
secara positif berkaitan dengan tingkat prestasi pegawai”.
Salah satu hal yang tak kalah pentingnya dalam kepemimpinan adalah
sikap.
Rivai (2003) menyatakan bahwa, ”Sikap adalah suatu kesiapan untuk
menanggapi, suatu kerangka yang utuh untuk menetapkan keyakinan atau
pendapat yang khas serta sikap juga pernyataan evaluatif, baik yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai objek, orang atau
peristiwa.”
Menurut maxwell (2001) menyatakan bahwa, ”Sikap-sikap kita menentukan
apa yang kita lihat dan bagaimana kita menangani perasaan-perasaan kita”.
Selanjutnya melalui penelitian Lembaga Carnegie terhadap sepuluh ribu
orang tentang kesuksesan berprestasi, menyimpulkan bahwa 15 persen prestasi
mereka adalah karena berkat latihan teknis 85 persen karena kepribadian dan ciri
khas utama kepribadian dalam penelitian tersebut adalah sikap. (Maxwell, 2001)
Dari hal ini terungkap tentang pengaruh yang penting dari sikap seorang
pemimpin terhadap prestasi pegawai yang dia pimpin.
Gaya Kepemimpinan
Kuasa Pribadi Pemimpin
Prestasi Kerja
Sikap Pemimpin
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Hipotesis Pertama
Menurut
Alma
(2005)
menyatakan
bahwa,
“Kepribadian
adalah
keseluruhan karakteristik diri seseorang, bisa berbentuk pikiran, perasaan,
kata hati, temperamen dan watak”.
Kepribadian merupakan suatu konsep yang luas dan dapat diartikan
sebagai suatu cara mengumpulkan dan mengelompokkan konsistenan
organisasi dan reaksi khas individu terhadap situasi yang terjadi. Kepribadian
seorang pemimpin akan senantiasa mempengaruhi gaya kepemimpinan yang akan
diterapkan dalam lingkungan pekerjaannya. Kenyataan bahwa kepribadian
seorang pemimpin membantu membentuk gaya kepemimpinannya tidaklah berarti
bahwa gaya tersebut tidak dapat diubah. Pemimpin belajar bahwa gaya tertentu
memberikan hasil lebih baik bagi mereka daripada gaya lainnya. Jikalau suatu
gaya ternyata tidak cocok, pemimpin dapat mengubahnya.
Budaya organisasi pada dasarnya mewakili norma-norma perilaku yang
diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hirarki
organisasi. Artinya, setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda, dan hal
inilah yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lain. Perbedaan
budaya organisasi juga mengharuskan setiap anggota organisasi tersebut dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal yang sama juga harus diterapkan
oleh seorang pemimpin yang berada di lingkungan organisasi tersebut.
Berdasarkan kondisi ini seorang pemimpin diharapkan dapat menerapkan gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan budaya organisasi tertentu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepribadian dan budaya
organisasi adalah dua faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan seseorang.
Kepribadian yang baik dari seorang pemimpin diharapkan dapat membawa
organisasi ke arah yang baik pula.
Berdarkan uraian tersebut di atas, maka kerangka berpikir dalam penelitian
ini dapat di gambarkan sebagai berikut.
Kepribadian
Gaya Kepemimpinan
Budaya Organisasi
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Hipotesis Kedua
2.8. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir, maka dihipotesiskan sebagai berikut:
1. Gaya kepemimpinan, kuasa pribadi (personality power) pemimpin, sikap
pemimpin berpengaruh terhadap prestasi kerja pegawai pada Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Utara.
2. Kepribadian dan budaya organisasi berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan
pada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Utara.
Download