KARATERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN PANTAI DUMAI PADA

advertisement
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
KARATERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN PANTAI DUMAI
PADA MUSIM PERALIHAN
PENELITIAN MANDIRI
Oleh:
NOIR P PURBA
DAN
ALEXANDER M. A. KHAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
BANDUNG
2010
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
KARAKATERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN PANTAI DUMAI
PADA MUSIM PERALIHAN1
Oleh :
Noir P.
dan Alexander M.A. Khan3
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
Kampus Jatinangor, UBR 40600
Email : [email protected] & [email protected]
Purba2
1
Tulisan diterbitkan pada jurnal Akuatika, Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
2&3
ABSTRACT
This research was conducted at coastal of Dumai on August 2004. The
measurement of physics-chemist of water (temperature, dissolved oxygen and
carbondioxide, salinity and pH) was carried out at 6 stations for 9 sampling. The aim of
this research is to analyze the characteristic of Rupat strait while the result can give
description the coastal of Dumai in oder to find a comprehensive method on managing
water territory.
The result of this research finds that the temperature is varied between 250 C0
32 C, dissolved oxygen is between 3,20 ppm up to 6,50 ppm, carbondioxide is from
6,20 ppm up to 13,20 ppm, while pH of the water is between 8,0-8,5. The salinity of
Dumai strait is varied from 28-32 permil. The graphic portrays the correlation between
temperature and dissolved oxygen is not equal to linear. In the morning the formula is Y
= 10,02 – 0,15 X, in the middle day is Y = -16,47 – 0,72 X, afternoon is Y = 17,04 – 0.42 X,
and in the night is Y = 34,74 – 1,09 X. Koefisien value of correlation shows that is no
stronger correlation between temperature and dissolved oxygen. Henry law coud not be
applied to the strait because the value is not same with the real measured in the field.
The result shows unlinear absorbtion of dissolved gasses especially in Patra Dock and
Port where have been contaminated considering to standart regulation stated by KLH.
Keyword : physics and chemist parametrics, Henry law, and coastal of Dumai.
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di perairan pantai Dumai, Provinsi Riau, pada bulan
Agustus 2004. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan (suhu, kandungan oksigen
terlarut dan karbondioksida bebas, salinitas, dan pH) dilakukan di 6 (enam) stasiun
dengan 9 (sembilan) kali pengukuran yang dipilih untuk mewakili karakteristik
perairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisik-kimia
perairan Selat Rupat sedangkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran karakteristik perairan perairan Dumai sehingga nantinya dapat dikelola
dengan baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu berkisar antara 250 C hingga 320 C,
sedangkan nilai kandungan oksigen terlarutnya berkisar antara 3,20 ppm hingga 6,50
ppm, karbondioksida bebas berkisar antara 6,20 ppm - 13,20 ppm, sedangkan pH
Halaman 2 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
perairan berada pada kisaran nilai 8,0-8,5. Salinitas di perairan Dumai berkisar antara
28-32 permil. Grafik yang ditunjukkan bukanlah grafik linear dimana ketika suhu naik,
kandungan oksigen terlarut tidak selamanya naik. Pada pagi hari, persamaan
matematisnya adalah Y = 10,02 – 0,15 X, siang hari Y = -16,47 – 0,72 X, sore hari adalah
Y = 17,04 – 0.42 X, dan malam hari Y = 34,74 – 1,09 X. Nilai koefisien korelasi (r)
menunjukkan hubungan yang kurang kuat antara suhu dengan kandungan oksigen
terlarut. Demikian juga dengan penggunaan hukum Henry yang tidak dapat
diaplikasikan untuk perairan Dumai, dimana nilai yang ditunjukkan oleh hukum Henry
tidak sama dengan perhitungan di lapangan. Hal ini juga menunjukkan tidak adanya
kesetimbangan absorbsi gas-gas terlarut terutama kandungan oksigen terlarut untuk
Stasiun Patra Dock (stasiun 5) dan Pelabuhan Dumai (stasiun 6) yang sudah tercemar
sesuai dengan ketentuan baku mutu yang ditetapkan KLH.
Kata kunci : parameter fisika-kimia, hukum Henry, dan perairan pantai Dumai.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perairan Selat Rupat merupakan pemisah antara Pulau Sumatera dengan Pulau
Rupat yang ada di utara. Perairan ini padat pelayaran baik nelayan maupun kapal-kapal
yang berniaga. Perairan pantai Dumai ditumbuhi oleh hutan bakau dengan jenis yang
mendominasi adalah Avicennia sp dan Sonneratia sp, sedangkan pada wilayah lain
sudah dibangun berbagai industri dan pelabuhan. Pelabuhan dalam tahap
pembangunan pada saat penelitian ini dilakukan adalah pelabuhan Semen Padang dan
pangkalan Angkatan Laut. Sebelumnya sudah ada pelabuhan kapal, tempat perbaikan
kapal, dan Pertamina. Dengan kondisi dinamis pelayaran dan aktivitas manusia di
wilayah perairan ini, dimungkinkan untuk mengkaji kondisi oseanografi untuk
mendukung kesinambungan eksosistem.
Karakteristik perairan baik dari segi fisik maupun kimia dipengaruhi oleh
banyakfaktor, baik yang berasal dari eksternal maupun yang berasal dari internal.
Pengaruh eksternal berasal dari laut lepas yang mengelilinginya antara lain arus,
pasang surut, gelombang, suhu, dan salinitas. Di wilayah selat Rupat, dinamika yang
berlangsung di perairan ini sangat cepat dikarenakan oleh faktor seperti pasang-surut,
pergerakan massa air baik dari daratan maupun dari wilayah lain, dan absorbsi dari
atmosfer.
Secara lebih detail, keadaan sebaran suhu secara horizontal di perairan
Indonesia memperlihatkan variasi tahunan yang kecil, akan tetapi masih
memperlihatkan adanya perubahan musiman. Hal ini disebabkan oleh posisi matahari
dan massa air dari daerah lintang tinggi. Pada musim barat pemanasan terjadi di daerah
Laut Arafura dan di pantai Barat Sumatera, dimana pada musim ini suhunya berkisar
antara 29-300 C. Sementara itu, suhu permukaan di Laut Cina Selatan berkisar antara
26-270 C sebagai akibat masuknya air dingin dari daerah lintang yang lebih tinggi,
sedangkan pada musim timur terjadi hal sebaliknya. Pemanasan matahari
Halaman 3 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
mengakibatkan peningkatan suhu di Laut Cina Selatan dan juga Samudra Pasifik, yakni
berkisar antara 29-300 C (Soegiarto, 1975).
Suhu permukaan laut terbuka berkisar antara –2º C sampai dengan 29º C. Variasi
suhu harian (diurnal variation) di laut terbuka (open ocean) adalah kecil (jarang yang
melebihi 0,3º C). Variasi tahunan di permukaan naik dari 2º C di daerah ekuator ke 8º C
di lintang 40º dan berkurang ke arah kutub (karena panas diperlukan dalam proses
pencarian atau pembekuan dimana es laut (sea-ice) terjadi. Variasi tahunan yang besar
(10 – 15o C) dapat terjadi di perairan-perairan yang terlindung. Perubahan harian dari
suhu cukup besar sampai ke kedalaman beberapa meter. Perubahan musiman cukup
besar sampai ke kedalaman 100 – 300 m (Hadi, 2007).
Karakteristik kimiawi, oksigen terlarut memegang peranan sangat penting dalam
perairan dalam fungsinya sebagai salah satu yang dibutuhkan oleh organisme perairan.
Salah satu yang memengaruhi kadar oksigen terlarut di perairan adalah suhu. Oksigen
terlarut juga menentukan kuantitas organisme suatu perairan. Selain itu oksigen
terlarut juga dipengaruhi faktor lain seperti tekanan uap air dan salinitas. Oksigen larut
di kolom air dengan berbagai reaksi dan proses-proses kimia yang berlangsung di
perairan, namun fluktuasi suhu akan menimbulkan perubahan konsentrasi oksigen
terlarut di perairan. Selanjutnya, Nybakken (1998), menyatakan bahwa sistem
karbondioksida (asam karbonat), ion bikarbonat merupakan suatu sistem kimia yang
kompleks yang cenderung berada dalam keseimbangan. Oleh karena itu, jika gas CO2
dikeluarkan dari air laut, keseimbangan akan terganggu, sampai lebih banyak lagi CO 2
dihasilkan dan terbentuk keseimbangan baru.
Kandungan karbondioksida di atmosfer sangat kecil yakni 0,03 %, sedangkan di
perairan adalah 15 % dari semua gas-gas yang terlarut. Karbondioksida terabsorbsi
dengan cepat dari udara ke perairan tetapi sangat lambat dari perairan ke atmosfer. Hal
ini disebabkan di perairan karbondioksida membentuk ikatan karbonat (CaCO3) yang
digunakan oleh organisme akuatik untuk membentuk skeleton. Selanjutnya, kadar
oksigen terlarut berkisar 36 % dari gas-gas yang terlarut di perairan. Oksigen ini
digunakan oleh organisme ataupun tumbuhan laut untuk melakukan aktivitas
metabolismenya (Garrison, 2002). Perhitungan karbondioksida dapat dihitung dengan
menggunakan winkler titration, dimana titrasi ini adalah metode tidak langsung dengan
serangkaian reaksi redoks (Kegley, 1998).
Air merupakan komponen ekologis yang mutlak diperlukan dari proses hidup
dan kehidupan biota. Nilai guna air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh
kualitasnya yang sangat berkaitan dengan semua aktivitas yang ada di sekitar perairan
tersebut (Amrizal, 1991). Selanjutnya, kualitas air di sekitar muara sungai dan perairan
pantai ditentukan oleh limbah-limbah yang terbuang baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam bentuk bahan organik, anorganik, dan bahan-bahan tersuspensi
(Ubbe, 1992)
II. METODOLOGI
2. 1. Waktu dan Tempat
Halaman 4 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2004 di perairan pantai Dumai,
Propinsi Riau. Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Kimia Laut, Marine
Station, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau (UR).
2.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1, sedangkan
untuk bahannya adalah Botol CO2, ice box, pipet tetes, buret dan botol film, aquades,
larutan indikator fenolftalein, dan larutan Na2CO3 untuk pengujian kadar
karbondioksida, sedangkan kedalaman pengambilan sampel adalah 0 - 3 m.
Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan
No.
Parameter
Satuan Metode
Alat
0
1.
Suhu
C
Insitu
Termometer
0/00
2.
Salinitas
Insitu
Refraktometer
3.
pH
Unit
Insitu
pH test kit
4.
Oksigen Terlarut ppm
Insitu
DO Meter
5.
Karbondioksida ppm
Titrasi
Tetrimetrik
Pada Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa pengukuran yang dilakukan tepat pada
saat dilakukan survey lapangan (ril), namun untuk pengukuran karbondioksida selain
dilakukan di lapangan juga dilakukan di laboratorium. Pengukuran parameter lainnya
langsung dilakukan di stasiun masing-masing. Untuk membantu pengambilan data
lapangan, pengukuran dilakukan diatas kapal. Dalam penelitian ini, perbandingan
dilakukan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya di lokasi yang sama dan
pustaka juga diperlukan untuk memperkuat pembahasan dan analisis data.
2.3. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dimana
perairan Dumai dijadikan sebagai lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan di lapangan
merupakan data primer yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
2.4. Lokasi Sampling
Stasiun pengamatan ditetapkan sebanyak 6 stasiun yang dianggap dapat
mewakili kondisi perairan tersebut (Selat Rupat). Stasiun tersebut membentang dari
Pelabuhan Semen Padang (PSP) hingga ke Pelabuhan Dumai. Stasiun 1 terletak di PSP,
Stasiun 2 terletak di perairan Marine Station Universitas Riau, Stasiun 3 berada di
antara perairan Marine Station dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Stasiun 4 berada
di TPI, stasiun 5 berada di wilayah Patra Dock, dan Stasiun 6 berada di Pelabuhan
Dumai (Gambar 1).
Halaman 5 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
Gambar 1. Lokasi penelitian beserta stasiun
2.5. Pengambilan dan Penanganan Sampel
Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan water sampler untuk
pengukuran kadar karbondioksida bebas diambil pada permukaan perairan (0-10 m).
Pengambilan dilakukan pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Penentuan waktu ini
dilakukan karena pada skala lokal dan dalam waktu yang relatif singkat, perbedaan nilai
parameter yang diambil sangat berbeda akibat pergerakan massa air pasang dan surut
yang melewati selat ini dalam dalam rentang waktu 6 jam untuk sekali pasang. Pada
pagi hari pengambilan sampel dilakukan pada pukul 06.00-09.00 WIB, siang hari pada
11.00-14.00 WIB, sore pada 16.00-19.00 WIB, dan pada malam hari pada pukul 23.0002.00 WIB. Tiap-tiap waktu yang telah ditentukan, dilakukan pengambilan dan
pengukuran sampel pada tiap stasiun.
2.6. Analisa Data
Data pengamatan suhu dan oksigen terlarut serta parameter pendukung lainnya
disajikan dalam bentuk tabel selanjutnya dianalisis dengan metode regresi dan
dikonversikan ke dalam bentuk grafik. Penentuan gas terlarut secara teoritis dihitung
dengan menggunakan hukum Henry untuk membuktikan data yang telah diambil di
lapangan.
[g] = k.P.O2
Dimana, g = Konsentrasi gas,
K = Tetapan 1,28 mol-1/L.atm, dan
P = Tekanan gas (atm).
Pengukuran dengan menggunakan hukum Henry ini bertujuan untuk
mengetahui apakah perhitungan dengan hukum ini pada kondisi ideal (25 0C) dapat
digunakan untuk perairan kajian yakni perairan pantai Dumai yang relatif dinamis
yakni massa air yang selalu bergerak, masuknya air tawar ke laut, limbah industri, dan
pelayaran. Selain itu, untuk membuktikan apakah perairan ini dapat dianggap tercemar
atau tidak dengan menghitung kandungan oksigen terlarut dan karbondioksida bebas.
Pengukuran kandungan oksigen terlarut dimaksudkan karena O2 merupakan salah satu
komponen utama bagi metabolisme organisme perairan. Keperluan organisme terhadap
oksigen terlarut tergantung kepada jenis, studi, dan aktivitasnya (Odum dalam Yuanita,
1992).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kondisi Umum
Secara geografis kota Dumai berada pada 101024’14,39”-101027’53,24” LU dan
0
1 39’48”-1042’16” BT. Daerah ini merupakan daerah pesisir timur dari Pulau Sumatera
yang berhadapan langsung dengan Pulau Rupat. Perairan Dumai merupakan selat yang
berada di antara Pulau Rupat dan Pulau Sumatera. Perairan ini merupakan selat yang
sempit dan ramai akan pelayaran terutama nelayan yang hidup di pesisir Dumai. Secara
umum topografi wilayah Dumai dan sekitarnya mempunyai elevasi yang datar dengan
kemiringan 30 dan keadaan pantai sekitar muara sungai landai. Musim yang ada di
wilayah ini sama dengan wilayah lain di Indonesia pada umumnya yakni musim
Halaman 6 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
kemarau dan musim hujan, sedangkan curah hujan berkisar antara 200-300 mm
dengan hari hujan 10-15 hari (Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, 1986).
Di perairan di sekitar Selat Rupat terdapat palung-palung yang relatif terjal.
Perairan di sebelah barat, yaitu yang mengarah ke Selat Malaka memiliki dataran bawah
lautnya relatif datar. Kedalaman perairan sebelah timur, selatan dan utara Pulau Rupat
berkisar antara 10 sampai 30 m, sedangkan kedalaman perairan di sebelah timur laut
dan timur berkisar antara 30 sampai >50 m. Kedalaman perairan tertinggi adalah 27 m
terletak di Selat Rupat (PEMKAB Bengkalis, 2008). Selat Rupat memiliki luas 420 km2
dan dimanfaatkan sebagai daerah pelabuhan, jalur pelayaran, daerah penangkapan ikan
oleh penduduk yang tinggal di tepi pantai. Beberapa perusahaan seperti Semen Padang,
Chevron, Pertamina, Patra Dock, dan Angkatan Laut (LANAL) juga memanfaatkan
perairan ini untuk bongkar muat dan pelayaran baik lokal maupun internasional.
Kondisi ini menjadikan perairan ini sebagai jalur pelayaran yang padat.
3.2. Suhu Muka Laut
Suhu Muka Laut (SML) merupakan gambaran adanya pertukaran panas dari
atmosfer ke perairan dan demikian juga sebaliknya. SML juga menggambarkan apakah
perairan masih dapat dihuni oleh organisme akuatik dimana sebagian besar organisme
perairan permukaan dapat hidup pada kisaran 220 C- 290 C. Pengukuran terhadap suhu
di perairan Dumai yang telah dilakukan, disajikan pada Tabel 2 berikut ini :
No.
Stasiun
1.
Stasiun 1
2.
Stasiun 2
3.
Stasiun 3
4.
Stasiun 4
5.
Stasiun 5
6.
Stasiun 6
Tabel 2. Suhu Muka Laut
Suhu (0 C)
Waktu (WIB)
Rata-rata
Minimum Maksimum
Pagi
27,0
28,0
27,6
Siang
29,5
31,0
30,3
Sore
28,0
29,5
29,2
Malam
26,0
27,5
27,1
Pagi
27,0
30,0
28,0
Siang
30,0
31,0
30,3
Sore
28,0
30,0
28,9
Malam
25,0
27,5
26,7
Pagi
27,0
30,0
27,9
Siang
30,0
32,0
30,6
Sore
28,0
29,0
28,3
Malam
27,0
28,0
27,3
Pagi
27,0
30,0
28,6
Siang
30,5
31,0
30,8
Sore
28,0
29,0
28,5
Malam
26,5
28,0
27,4
Pagi
27,0
29,0
27,9
Siang
29,5
31,0
30,7
Sore
28,0
30,0
29,2
Malam
26,5
27,0
27,1
Pagi
27,0
30,0
28,1
Siang
29,0
31,5
30,2
Halaman 7 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
No.
Stasiun
Waktu (WIB)
Sore
Malam
Suhu (0 C)
Rata-rata
Minimum Maksimum
28,5
29,5
28,9
27,0
28,0
27,3
Pada Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa pengukuran yang dilakukan secara
harian menghasilkan nilai yang yang tidak sama. Hal ini disebabkan akibat perairan ini
sangat sempit (selat) sehingga penjalaran massa air sangat cepat yang berasal dari
perairan Malaka. Dalam skala global perubahan suhu harian tidak akan diperhitungkan
secara lebih mendalam, tetapi dalam dalam skala regional dalam ruang yang lebih
sempit, hal ini menjadi sangat berarti. Kondisi suhu ini juga dapat diartikan sebagai
rata-rata suhu pada musim peralihan. BMG, 2004 menyatakan bahwa secara umum
suhu muka laut di seluruh Indonesia sampai pada awal Agustus 2004 berada pada
kondisi normal dengan kisaran antara 260 C -290 C, dimana wilayah perairan Indonesia
sebelah selatan menunjukkan kondisi yang lebih dingin dibandingkan dengan yang
berada di sebelah utara ekuator bumi.
Agar lebih jelas, pada Gambar 2, digambarkan secara grafik visualisasi dari Tabel
diatas. Grafik ini menunjukkan kondisi suhu di tiap stasiun pengamatan pada waktu
pagi, siang, sore, dan malam hari.
Gambar 2. Grafik suhu harian pada tiap stasiun pengamatan.
Dari Gambar 2 diatas dapat diketahui bahwa suhu mulai dari pagi hari hingga
malam hari mengalami kenaikan dan penurunan (fluktuatif). Suhu maksimum terdapat
pada siang hari dan mancapai minimum pada malam hari. Selain itu, kondisi perairan
ini juga merupakan kondisi suhu yang hampir sama dengan perairan lainnya yakni
berkisar antara 280 C hingga 310 C dan rata-ratanya adalah 300 C. Penelitian yang
dilakukan oleh LIPI di perairan Selat Malaka juga menunjukkan suhu yang hampir sama
yakni 29-310 C. Masrikat (2003), menyatakan kisaran suhu perairan hampir sama
ditemukan pada lapisan homogen yaitu sebesar 290 C dijumpai selama munson barat
daya dan menurun hingga 240 C di bulan Juli-Agustus pada waktu terjadinya upwelling
yang besar. Sedangkan salinitas tahunan dapat terjadi dengan nilai maksimum,
Halaman 8 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
sementara nilai minimum terbatas musimtertentu. Salinitas dibawah 30‰ tidak
terlihat dari bulan April hingga September, tetapi salinitas di atas 31‰ mungkin terjadi
selama setahun. Hal ini menandakan bahwa suhu di perairan Dumai pada musim
peralihan sangat tinggi. Hal ini selain disebabkan oleh musim, juga dipengaruhi oleh
faktor lain seperti pengamatan yang telah dilakukan, bahwa kekeruhan di perairan ini
sangat tinggi akibat dasarnya yang sebagian besar terdiri dari lumpur sehingga
panasnya terserap dan sulit untuk dilepaskan. Kemudian suhu dari daratan juga
mempengaruhi suhu perairan mengingat pengukuran dilakukan tidak jauh dari pesisir
pantai (100 m).
3. 3. Oksigen Terlarut
Pengukuran terhadap oksigen terlarut yang telah dilakukan, mendapatkan hasil
seperti yang disajikan pada Tabel 3 berikut ini :
No.
Stasiun
1.
Stasiun 1
2.
Stasiun 2
3.
Stasiun 3
4.
Stasiun 4
5.
Stasiun 5
6.
Stasiun 6
Tabel 3. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut (ppm)
Waktu (WIB)
Rata-rata
Minimum Maksimum
Pagi
5,50
6,50
6,13
Siang
5,30
6,00
5,54
Sore
4,90
6,20
5,59
Malam
5,00
5,90
5,41
Pagi
5,80
6,30
6,01
Siang
5,40
6,30
5,73
Sore
4,90
6,20
5,13
Malam
4,70
5,70
5,93
Pagi
5,80
6,30
6,03
Siang
5,40
6,00
5,78
Sore
5,00
6,00
5,25
Malam
4,90
5,90
5,36
Pagi
5,80
6,20
5,91
Siang
5,20
5,90
5,65
Sore
4,40
5,60
5,21
Malam
4,90
5,70
5,24
Pagi
4,70
5,30
5,16
Siang
5,00
5,30
5,19
Sore
3,80
5,30
4,23
Malam
3,60
5,00
4,60
Pagi
4,80
5,50
5,14
Siang
3,20
5,00
4,59
Sore
4,20
5,40
4,70
Malam
4,00
5,50
4,75
Dari Tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa fluktuasi juga terjadi untuk kandungan
oksigen terlarut. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapat bahwa kadar
kandungan oksigen terlarut di tiap stasiun berbeda sesuai dengan karakteristik
perairannya, dimana semakin kearah pelabuhan (stasiun 6), kadar kandungan oksigen
Halaman 9 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
terlarut semakin rendah (pagi hari). Korelasinya adalah pembuangan limbah baik oleh
kapal maupun pabrik akan mempercepat habisnya oksigen terlarut yang digunakan
oleh bakteri untuk menguraikannya. Selain itu di stasiun lain, fluktuasi kadar
kandungan oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh pemasukan massa air dari daratan
seperti yang terjadi di stasiun 2 dimana di wilayah ini mengalir Sungai Mesjid (air
tawar). Dari pengukuran yang telah dilakukan, didapat bahwa kandungan oksigen
terendah didapat pada malam hari yang berada di stasiun 6. Hal ini disebabkan akibat
sebagian industri membuang limbahnya ke laut pada malam hari dan juga tidak terjadi
photosintetis oleh tumbuhan laut. KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut
adalah lebih besar dari 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut
(Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KLH) No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut), sehingga apabila dilihat pada Tabel 3, di stasiun 6 (rerata) pada waktu siang
hingga malam terdapat nilai oksigen terlarut yang lebih kecil dari baku mutu yang
ditetapkan KLH. Stasiun 1 hingga 4, termasuk dalam pencemaran dengan tingkat
rendah, sedangkan untuk stasiun 5 dan 6 termasuk dalam pencemaran dengan tingkat
sedang. Berdasarkan kandungan oksigen terlarut, pencemaran dengan tingkat tinggi
apabila nilai kandungan oksigen terlarutnya adalah 0 (nol).
3.4. Karbondioksida bebas
Karbondioksida yang terdapat di perairan merupakan proses difusi CO2 dari
udara dan hasil respirasi organisme akuatik. Selain itu, didasar perairan CO2 juga
dihasilkan dari proses dekomposisi bahan-bahan organik. Karbondioksida bebas yang
dianalisis adalah karbondioksida yang berada dalam bentuk gas yang terkandung dalam
air sedangkan kandungan CO2 bebas di udara adalah sebesar 0,03 %. Hasil pengukuran
terhadap karbondioksida bebas dapat dilihat pada Tabel 4, yang menggambarkan nilai
pada waktu penelitian yang sama dengan kedua parameter yang dihitung (oksigen
terlarut dan suhu).
Tabel 4. Hasil pengukuran rata-rata karbondioksida bebas.
Karbondioksida Bebas
No. Stasiun Waktu (WIB)
(ppm)
Pagi
6,30
Siang
8,80
1.
Stasiun 1 Sore
7,80
Malam
10,20
Rerata
8,28
Pagi
7,20
Siang
12,00
2.
Stasiun 2 Sore
10,20
Malam
7,50
Rerata
9,23
3.
Stasiun 3 Pagi
7,60
Halaman 10 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
No.
4.
5.
6.
Stasiun
Waktu (WIB)
Siang
Sore
Malam
Rerata
Pagi
Siang
Stasiun 4 Sore
Malam
Rerata
Pagi
Siang
Stasiun 5 Sore
Malam
Rerata
Pagi
Siang
Stasiun 6 Sore
Malam
Rerata
Karbondioksida Bebas
(ppm)
7,60
8,80
7,60
7,90
7,60
7,00
7,80
9,00
7,85
12,00
12,10
10,20
7,20
10,38
13,20
13,20
10,40
10,80
11,90
Dari Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa kandungan karbondioksida bebas yang
tertinggi adalah sebesar 13,20 ppm (stasiun 6). Nilai kandungan karbondioksida yang
diukur pada suhu 250 C adalah sebesar 7,50 ppm. Pengukuran karbondioksida pada
suhu yang dimaksud diatas dimaksudkan untuk menguji nilai kandungan
karbondioksida menurut hukum Henry. Hubungan antara kandungan karbondioksida
dengan oksigen terlarut adalah terbalik dimana jika karbondioksida tinggi maka
kandungan oksigen terlarutnya rendah. Hal ini dibuktikan dari pengukuran terhadap
kedua parameter perairan ini yakni rerata oksigen terlarut pada pagi hari adalah 5,72
ppm sedangkan kandungan karbondioksidanya berkisar 13,20 ppm pada stasiun 6
(pagi hari).
3.5. Salinitas dan pH Perairan
Salinitas dan keasam-basaan perairan sangat penting untuk mengetahui
karakteristik dari suatu perairan tersebut. Untuk kedua parameter ini, hasil pengukuran
disajikan dalam bentuk tabel seperti yang terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pengukuran Salinitas dan pH Perairan
Waktu
No. Stasiun Parameter
Keterangan
Pagi Siang Sore Malam
Salinitas
29
32
30
28
Permil
1. Stasiun 1
pH
8,0
8,0
8,5
8,5
Salinitas
29
31
28
29
Permil
2. Stasiun 2
pH
8,5
8,5
8,0
8,0
Halaman 11 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
No.
Stasiun
3.
Stasiun 3
4.
5.
6.
Parameter
Salinitas
pH
Salinitas
Stasiun 4
pH
Salinitas
Stasiun 5
pH
Salinitas
Stasiun 6
pH
Pagi
30
8,5
29
8,0
30
8,5
31
8,0
Waktu
Keterangan
Siang Sore Malam
30
31
30
Permil
8,5
8,0
8,5
29
30
29
Permil
8,0
8,0
8,5
30
31
30
Permil
8,0
8,0
8,0
31
29
30
Permil
8,5
8,0
8,5
Dari Tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa tidak terjadi nilai salinitas yang berbeda
pada tiap stasiun, demikian juga dengan perbedaan waktu. Terdapatnya salinitas yang
relatif rendah (28-31 permil), hal ini diakibatkan oleh masuknya air tawar yang berasal
dari Sungai Mesjid (Stasiun 2) yang mempunyai salinitas rendah yang mempengaruhi
kondisi perairan. Adriman (1995), menyatakan bahwa salinitas realtif rendah terdapat
pada stasiun yang berdekatan dengan sungai atau muara sungai dan salinitas akan
relatif meningkat dengan bertambah jauhnya dari muara sungai.
Dari hasil pengukuran, didapat bahwa salinitas tertinggi pada Stasiun 1 yakni 32
permil (siang hari), sedangkan yang terendah adalah 28 permil dijumpai pada Stasiun 1
dan 2 pada malam dan siang hari. Masrikat (2003), menyatakan bahwa, suhu perairan
di Selat Malaka ditemukan tertinggi pada permukaan perairan di stasiun 2 sebesar
31,34 °C dengan salinitas 26,48 ‰, sedangkan suhu terendah sebesar 28,95 °C dengan
salinitas 32,86 ‰. Pengukuran salinitas ini hampir sama dengan pengukuran yang
dilakukan oleh Siagian (2006), yang menyatakan bahwa salinitas di perairan Dumai
mempunyai kisaran yakni 22,1 – 31,3 permil.
Selanjutnya, hasil pengukuran pH pada tiap stasiun dengan menggunakan pH
test kit, menggambarkan keseragaman nilai, yakni berada pada kisaran 8-8,5. Hal ini
sesuai dengan keseragaman air laut secara umum yakni berada dikisaran 7 hingga 8,5.
Nilai pH air yang normal adalah antara 6-8, sedangkan nilai pH air tercemar berbedabeda tergantung dari zat pencemarnya. Air Limbah industri bahan anorganik biasanya
mengandung asam mineral yang cukup tinggi sehingga keasamaannya juga tinggi atau
pHnya rendah. Sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KLH) No. 51
tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut menyatakan bahwa pH untuk kehidupan biota
laut adalah 6,5-8,5.
III.6. Korelasi
III.6.1. Korelasi kandungan oksigen terlarut dengan karbondioksida berdasarkan
Hukum Henry (Henry Law).
Pada kondisi ideal, pada suhu 25 0C, hukum Henry menjelaskan bahwa konstanta
oksigen terlarut di perairan adalah 1,28 x 10 -3 mol/L atm, sedangkan tekanan uap air
tersebut adalah 0,0313 atm. Jadi tekanan parsialnya adalah :
(1,0-0,0313) x 0,2095 = 0,2029 atm
Halaman 12 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
Maka kemolaran kandungan oksigen terlarut di perairan tersebut berdasarkan hukum
Henry
1,28 x 10 -3 x 0,2029 = 2,60 x 10-4 mol/liter
Menurut Henry, konsentrasi molar oksigen di perairan adalah gr/BM. Karena BM O2 =
32 gr/mol, maka :
[O2(aq)]
= 2,60 x 10-4 x 32 gr/mol,
= 83,20 x 10-4 gr/l,
= 8,32 mg/l.
Dari hasil perhitungan hukum Henry diatas dibandingkan dengan pengukuran
yang telah dilakukan pada suhu yang sama yakni 250 C didapat hasil 5,70 ppm (Tabel 3;
stasiun 2 dan 4 pada malam hari) dan terdapat perbedaan yang cukup besar yakni 2,62
ppm. Hal ini dikarenakan oleh hukum Henry bahwa nilai tersebut terjadi pada kondisi
ideal, sedangkan untuk perairan dengan karakteristik perairan Dumai, hukum ini tidak
bisa diterapkan, namun nilai ini dapat digunakan seberapa besar perairan ini
dipengaruhi oleh faktor lain seperti zat pencemar.
Selanjutnya, untuk karbondioksida juga terjadi hal yang demikian dimana dari
hasil perhitungan dengan menggunakan hukum Henry yakni nilai karbondioksida
adalah 5,042 mg/L, sedangkan pada pengukuran perairan adalah 7,50 ppm (Stasiun 2,
malam hari). Hal ini juga disebabkan oleh perbedaan aplikasi antara hukum Henry
dengan kondisi di lapangan dimana hukum Henry digunakan untuk kondisi ideal
sedangkan di perairan Selat Rupat terdapat variabel lain seperti kekeruhan, massa air,
dan pencemaran. Menurut Siagian (2006) bahwa perairan Selat Rupat sudah mengalami
pencemaran akibat logam berat. Hal ini dibuktikan dengan kandungan logam Pb, Cd, Cu,
Ni, dan Zn yang telah melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh KLH (Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup (KLH) No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut).
Untuk Pb, nilai mutu yang ditetapkan adalah lebih kecil dari 0,0075 ppm, sedangkan di
perairan Dumai mencapai 1, 59 ppm.
III.6.2. Korelasi Suhu dengan oksigen terlarut
Hasil uji regresi linear sederhana nilai kandungan oksigen terlarut (Y) dengan
nilai suhu(X) akan digambarkan dengan grafik (Gambar 3) untuk tiap waktu penelitian
(pagi, siang, sore, dan malam hari). Untuk pagi hari, persamaan matematisnya adalah Y
= 10,02 – 0,15 X, untuk siang hari Y = -16,47 – 0,72 X, sore hari adalah Y = 17,04 – 0.42 X,
dan malam hari Y = 34,74 – 1,09 X. Selanjutnya, Koefisien Korelasi (r) dimana ukuran
hubungan linier peubah X dan Y Nilai r berkisar antara (+1) sampai (-1) dimana nilai r
yang (+) ditandai oleh nilai b yang (+) dan nilai r yang (-) ditandai oleh nilai b yang (-).
Jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati +1 atau r mendekati -1 maka X dan Y
memiliki korelasi linier yang tinggi. Jika nilai r = +1 atau r = -1 maka X dan Y memiliki
korelasi linier sempurna.
Halaman 13 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
Gambar 3. Grafik regresi linear untuk ke-4 waktu (1: pagi, 2: siang, 3: sore, dan 4:
malam).
Pada Gambar 3 diatas dapat dilihat bahwa baik pada pagi, siang, sore, dan malam
hari nilai (r) yang hampir sama (0,01-0,32), menandakan hubungan antara kandungan
oksigen terlarut dan suhu adalah kurang kuat dan kecil. Hal ini dikarenakan banyaknya
variabel penentu nilai kedua parameter ini seperti tingkat pencemaran, aliran massa air
laut, hingga kecerahan dan kekeruhan perairan. Pada pagi hari (Gambar 3.1.),
menunjukkan bahwa hubungan antara suhu dan kandungan oksigen terlarut kurang
kuat, yang berarti bahwa pada saat ini, suhu tidak menyebabkan penambahan atau
pengurangan kadar okisigen terlarut di perairan Dumai. Nilai (r) yang merupakan
koefisien korelasi adalah 0,112, yang menyatakan hubungan yang kurang kuat dan kecil.
Pada Gambar 3.2. (siang hari), menandakan hubungan yang kurang kuat yang
dibuktikan dengan nilai koefisien korelasinya (r) sebesar 0,392. Nilai menunjukkan
bahwa 39,20 % oksigen terlarut dipengaruhi oleh faktor suhu perairan. Untuk sore hari
(Gambar 3.3.), mempunyai hubungan yang kurang kuat dan kecil dengan nilai r sebesar
0,319 yang menandakan bahwa 31,90% oksigen terlarut dipengaruhi oleh faktor suhu
perairan, sedangkan untuk malam hari, didapat nilai r yang kurang kuat (0,565).
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan antara lain :
1. Berdasarkan nilai kandungan oksigen terlarut, perairan Selat Rupat termasuk
dalam pencemaran tingkat rendah (stasiun 1 hingga 4) yakni berkisar 5,13-6,13
Halaman 14 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
2.
3.
4.
5.
ppm, sedangkan pencemaran tingkat sedang untuk stasiun 5 dan 6 berkisar pada
4,70 ppm,
Nilai pH untuk perairan Dumai adalah berkisar 8,0-8,5 dan salinitasnya berkisar
antara 28-31 permil. Kedua parameter ini masih mendukung untuk kehidupan
biota laut yang ditentukan KLH melalui Keputusan Mentri Lingkungan Hidup
(KLH) No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut menyatakan bahwa pH
untuk kehidupan biota laut adalah 6,5-8,5,
Kandungan oksigen terlarut masih mendukung untuk kehidupan organisme
akuatik yakni lebih besar 5 ppm sesuai dengan ketentuan KLH, tetapi untuk
stasiun 5 dan 6 digolongkan dalam tingkat pencemaran sedang,
Hukum Henry dapat digunakan pada kondisi ideal yakni perairan tidak tercemar,
sedangkan untuk perairan Dumai tidak dapat diaplikasikan. Hal ini terbukti dari
besarnya perbedaan perhitungan yakni 2,62 ppm dimana dengan menggunakan
hukum Henry perhitungannya adalah 8,32 ppm sedangkan pada perhitungan
yang dilakukan di lapangan adalah 5, 70 ppm,
Terdapat hubungan yang kurang kuat antara suhu dan kandungan oksigen
terlarut yang dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi (r) yang tidak mendekati
nilai 1 (lebih kecil dari 0,6).
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Musrifin
Ghalib, M.Sc sebagai Staff Pengajar Ilmu Kelautan dalam bidang fisika laut, UR, yang
telah membantu dalam pengerjaan penelitian ini, demikian juga dengan Bapak Syahril
Nedi, M.Si, Staff Pengajar Ilmu Kelautan dalam bidang kimia laut, UR, yang telah
memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang ditemukan Penulis selama
berlangsungnya penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. Yayat Dhahiyat yang telah membantu dalam penyempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adriman, 1995. Kualitas Perairan Pesisir Dumai ditinjau dari Karakteristik Fisika Kimia
dan Struktur Komunitas Hewan Benthos Makro. Thesis-Program Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor. 78 Halaman.
Amrizal, 1991. Analisa Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, dan Oil Content di sekitar
pembuangan Limbah Industri Kilang Minyak Sei-Pakning, Kabupaten Bengkalis.
Skripsi Sarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Universitas
Riau (UR). Pekanbaru. 29 Halaman (tidak diterbitkan).
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), 2004. Evaluasi Cuaca bulan Juli.
Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, 1986. Kepanduan Bahari Indonesia. Jilid I, Edisi ke-2.
Jakarta.
Garrison, T. 2002. Oceanography-An Invititation to Marine Science. Media edition.
Orange Coast College.
Halaman 15 dari 16 Halaman
Jurnal Akuatika
Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523
Hadi, S. 2007. Pengantar Oseanografi. Bahan Ajar. ITB
Kegley, 1998. The Chemistry of Water. University Science Books Sausalito. California.
KLH, 2004. Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, tentang Baku Mutu
Air Laut. Mentri Negara Lingkungan Hidup.
Manahan, S. 1991. Environmental Chemistry. Fourth Edition. University of Missouri,
California.
Masrikat, J. A. N. 2003. Distribusi, Densitas ikan dan Kondisi Fisik Oseanografi di Selat
Malaka.
Nedi, S. 2004. Buku Penuntun Praktikum Oseanografi Kimia. FPIK UR.
Nybakken, 1998. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Jakarta.
PEMKAB Bengkalis. 2008. Gambaran Umum Kabupaten Bengkalis. Kabupaten Bengkalis.
Salmin, 2005. Oksigen terlarut dan kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai salah satu
Indikator Kualitas Perairan Pesisir. Jurnal Oseana. LIPI. Jakarta.
Siagian, S. 2006. Kandungan Logam Berat (Pb, Cd, Cu, Ni, dan Zn) dalam Air Laut dan
Sedimen di Perairan Dumai, Provinsi Riau. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Riau.
Soegiarto, 1975. Karakteristik Hidrografi Teluk Jakarta. Oseanologi LIPI.
Ubbe, U., 1992. Analisis Limbah Logam Berat yang terdistribusi di Muara Sungai TalloUjung Pandang. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Ujung
Pandang (UNHAS). 45 Hal (tidak dipublikasikan).
Yuanita, F.A. 1992. Pengaruh limbah pabrik gula dan spritus terhadap struktur komunitas
makrozoobenthos di sungai sekitar Madukismo, Yogyakarta. IPB. 1992.
Halaman 16 dari 16 Halaman
Download