Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 KARATERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN PANTAI DUMAI PADA MUSIM PERALIHAN PENELITIAN MANDIRI Oleh: NOIR P PURBA DAN ALEXANDER M. A. KHAN UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN BANDUNG 2010 Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 KARAKATERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN PANTAI DUMAI PADA MUSIM PERALIHAN1 Oleh : Noir P. dan Alexander M.A. Khan3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor, UBR 40600 Email : [email protected] & [email protected] Purba2 1 Tulisan diterbitkan pada jurnal Akuatika, Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran 2&3 ABSTRACT This research was conducted at coastal of Dumai on August 2004. The measurement of physics-chemist of water (temperature, dissolved oxygen and carbondioxide, salinity and pH) was carried out at 6 stations for 9 sampling. The aim of this research is to analyze the characteristic of Rupat strait while the result can give description the coastal of Dumai in oder to find a comprehensive method on managing water territory. The result of this research finds that the temperature is varied between 250 C0 32 C, dissolved oxygen is between 3,20 ppm up to 6,50 ppm, carbondioxide is from 6,20 ppm up to 13,20 ppm, while pH of the water is between 8,0-8,5. The salinity of Dumai strait is varied from 28-32 permil. The graphic portrays the correlation between temperature and dissolved oxygen is not equal to linear. In the morning the formula is Y = 10,02 – 0,15 X, in the middle day is Y = -16,47 – 0,72 X, afternoon is Y = 17,04 – 0.42 X, and in the night is Y = 34,74 – 1,09 X. Koefisien value of correlation shows that is no stronger correlation between temperature and dissolved oxygen. Henry law coud not be applied to the strait because the value is not same with the real measured in the field. The result shows unlinear absorbtion of dissolved gasses especially in Patra Dock and Port where have been contaminated considering to standart regulation stated by KLH. Keyword : physics and chemist parametrics, Henry law, and coastal of Dumai. ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di perairan pantai Dumai, Provinsi Riau, pada bulan Agustus 2004. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan (suhu, kandungan oksigen terlarut dan karbondioksida bebas, salinitas, dan pH) dilakukan di 6 (enam) stasiun dengan 9 (sembilan) kali pengukuran yang dipilih untuk mewakili karakteristik perairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisik-kimia perairan Selat Rupat sedangkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran karakteristik perairan perairan Dumai sehingga nantinya dapat dikelola dengan baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu berkisar antara 250 C hingga 320 C, sedangkan nilai kandungan oksigen terlarutnya berkisar antara 3,20 ppm hingga 6,50 ppm, karbondioksida bebas berkisar antara 6,20 ppm - 13,20 ppm, sedangkan pH Halaman 2 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 perairan berada pada kisaran nilai 8,0-8,5. Salinitas di perairan Dumai berkisar antara 28-32 permil. Grafik yang ditunjukkan bukanlah grafik linear dimana ketika suhu naik, kandungan oksigen terlarut tidak selamanya naik. Pada pagi hari, persamaan matematisnya adalah Y = 10,02 – 0,15 X, siang hari Y = -16,47 – 0,72 X, sore hari adalah Y = 17,04 – 0.42 X, dan malam hari Y = 34,74 – 1,09 X. Nilai koefisien korelasi (r) menunjukkan hubungan yang kurang kuat antara suhu dengan kandungan oksigen terlarut. Demikian juga dengan penggunaan hukum Henry yang tidak dapat diaplikasikan untuk perairan Dumai, dimana nilai yang ditunjukkan oleh hukum Henry tidak sama dengan perhitungan di lapangan. Hal ini juga menunjukkan tidak adanya kesetimbangan absorbsi gas-gas terlarut terutama kandungan oksigen terlarut untuk Stasiun Patra Dock (stasiun 5) dan Pelabuhan Dumai (stasiun 6) yang sudah tercemar sesuai dengan ketentuan baku mutu yang ditetapkan KLH. Kata kunci : parameter fisika-kimia, hukum Henry, dan perairan pantai Dumai. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Selat Rupat merupakan pemisah antara Pulau Sumatera dengan Pulau Rupat yang ada di utara. Perairan ini padat pelayaran baik nelayan maupun kapal-kapal yang berniaga. Perairan pantai Dumai ditumbuhi oleh hutan bakau dengan jenis yang mendominasi adalah Avicennia sp dan Sonneratia sp, sedangkan pada wilayah lain sudah dibangun berbagai industri dan pelabuhan. Pelabuhan dalam tahap pembangunan pada saat penelitian ini dilakukan adalah pelabuhan Semen Padang dan pangkalan Angkatan Laut. Sebelumnya sudah ada pelabuhan kapal, tempat perbaikan kapal, dan Pertamina. Dengan kondisi dinamis pelayaran dan aktivitas manusia di wilayah perairan ini, dimungkinkan untuk mengkaji kondisi oseanografi untuk mendukung kesinambungan eksosistem. Karakteristik perairan baik dari segi fisik maupun kimia dipengaruhi oleh banyakfaktor, baik yang berasal dari eksternal maupun yang berasal dari internal. Pengaruh eksternal berasal dari laut lepas yang mengelilinginya antara lain arus, pasang surut, gelombang, suhu, dan salinitas. Di wilayah selat Rupat, dinamika yang berlangsung di perairan ini sangat cepat dikarenakan oleh faktor seperti pasang-surut, pergerakan massa air baik dari daratan maupun dari wilayah lain, dan absorbsi dari atmosfer. Secara lebih detail, keadaan sebaran suhu secara horizontal di perairan Indonesia memperlihatkan variasi tahunan yang kecil, akan tetapi masih memperlihatkan adanya perubahan musiman. Hal ini disebabkan oleh posisi matahari dan massa air dari daerah lintang tinggi. Pada musim barat pemanasan terjadi di daerah Laut Arafura dan di pantai Barat Sumatera, dimana pada musim ini suhunya berkisar antara 29-300 C. Sementara itu, suhu permukaan di Laut Cina Selatan berkisar antara 26-270 C sebagai akibat masuknya air dingin dari daerah lintang yang lebih tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi hal sebaliknya. Pemanasan matahari Halaman 3 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 mengakibatkan peningkatan suhu di Laut Cina Selatan dan juga Samudra Pasifik, yakni berkisar antara 29-300 C (Soegiarto, 1975). Suhu permukaan laut terbuka berkisar antara –2º C sampai dengan 29º C. Variasi suhu harian (diurnal variation) di laut terbuka (open ocean) adalah kecil (jarang yang melebihi 0,3º C). Variasi tahunan di permukaan naik dari 2º C di daerah ekuator ke 8º C di lintang 40º dan berkurang ke arah kutub (karena panas diperlukan dalam proses pencarian atau pembekuan dimana es laut (sea-ice) terjadi. Variasi tahunan yang besar (10 – 15o C) dapat terjadi di perairan-perairan yang terlindung. Perubahan harian dari suhu cukup besar sampai ke kedalaman beberapa meter. Perubahan musiman cukup besar sampai ke kedalaman 100 – 300 m (Hadi, 2007). Karakteristik kimiawi, oksigen terlarut memegang peranan sangat penting dalam perairan dalam fungsinya sebagai salah satu yang dibutuhkan oleh organisme perairan. Salah satu yang memengaruhi kadar oksigen terlarut di perairan adalah suhu. Oksigen terlarut juga menentukan kuantitas organisme suatu perairan. Selain itu oksigen terlarut juga dipengaruhi faktor lain seperti tekanan uap air dan salinitas. Oksigen larut di kolom air dengan berbagai reaksi dan proses-proses kimia yang berlangsung di perairan, namun fluktuasi suhu akan menimbulkan perubahan konsentrasi oksigen terlarut di perairan. Selanjutnya, Nybakken (1998), menyatakan bahwa sistem karbondioksida (asam karbonat), ion bikarbonat merupakan suatu sistem kimia yang kompleks yang cenderung berada dalam keseimbangan. Oleh karena itu, jika gas CO2 dikeluarkan dari air laut, keseimbangan akan terganggu, sampai lebih banyak lagi CO 2 dihasilkan dan terbentuk keseimbangan baru. Kandungan karbondioksida di atmosfer sangat kecil yakni 0,03 %, sedangkan di perairan adalah 15 % dari semua gas-gas yang terlarut. Karbondioksida terabsorbsi dengan cepat dari udara ke perairan tetapi sangat lambat dari perairan ke atmosfer. Hal ini disebabkan di perairan karbondioksida membentuk ikatan karbonat (CaCO3) yang digunakan oleh organisme akuatik untuk membentuk skeleton. Selanjutnya, kadar oksigen terlarut berkisar 36 % dari gas-gas yang terlarut di perairan. Oksigen ini digunakan oleh organisme ataupun tumbuhan laut untuk melakukan aktivitas metabolismenya (Garrison, 2002). Perhitungan karbondioksida dapat dihitung dengan menggunakan winkler titration, dimana titrasi ini adalah metode tidak langsung dengan serangkaian reaksi redoks (Kegley, 1998). Air merupakan komponen ekologis yang mutlak diperlukan dari proses hidup dan kehidupan biota. Nilai guna air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh kualitasnya yang sangat berkaitan dengan semua aktivitas yang ada di sekitar perairan tersebut (Amrizal, 1991). Selanjutnya, kualitas air di sekitar muara sungai dan perairan pantai ditentukan oleh limbah-limbah yang terbuang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk bahan organik, anorganik, dan bahan-bahan tersuspensi (Ubbe, 1992) II. METODOLOGI 2. 1. Waktu dan Tempat Halaman 4 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2004 di perairan pantai Dumai, Propinsi Riau. Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Kimia Laut, Marine Station, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau (UR). 2.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1, sedangkan untuk bahannya adalah Botol CO2, ice box, pipet tetes, buret dan botol film, aquades, larutan indikator fenolftalein, dan larutan Na2CO3 untuk pengujian kadar karbondioksida, sedangkan kedalaman pengambilan sampel adalah 0 - 3 m. Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan No. Parameter Satuan Metode Alat 0 1. Suhu C Insitu Termometer 0/00 2. Salinitas Insitu Refraktometer 3. pH Unit Insitu pH test kit 4. Oksigen Terlarut ppm Insitu DO Meter 5. Karbondioksida ppm Titrasi Tetrimetrik Pada Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa pengukuran yang dilakukan tepat pada saat dilakukan survey lapangan (ril), namun untuk pengukuran karbondioksida selain dilakukan di lapangan juga dilakukan di laboratorium. Pengukuran parameter lainnya langsung dilakukan di stasiun masing-masing. Untuk membantu pengambilan data lapangan, pengukuran dilakukan diatas kapal. Dalam penelitian ini, perbandingan dilakukan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya di lokasi yang sama dan pustaka juga diperlukan untuk memperkuat pembahasan dan analisis data. 2.3. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dimana perairan Dumai dijadikan sebagai lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan di lapangan merupakan data primer yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif. 2.4. Lokasi Sampling Stasiun pengamatan ditetapkan sebanyak 6 stasiun yang dianggap dapat mewakili kondisi perairan tersebut (Selat Rupat). Stasiun tersebut membentang dari Pelabuhan Semen Padang (PSP) hingga ke Pelabuhan Dumai. Stasiun 1 terletak di PSP, Stasiun 2 terletak di perairan Marine Station Universitas Riau, Stasiun 3 berada di antara perairan Marine Station dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Stasiun 4 berada di TPI, stasiun 5 berada di wilayah Patra Dock, dan Stasiun 6 berada di Pelabuhan Dumai (Gambar 1). Halaman 5 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 Gambar 1. Lokasi penelitian beserta stasiun 2.5. Pengambilan dan Penanganan Sampel Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan water sampler untuk pengukuran kadar karbondioksida bebas diambil pada permukaan perairan (0-10 m). Pengambilan dilakukan pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Penentuan waktu ini dilakukan karena pada skala lokal dan dalam waktu yang relatif singkat, perbedaan nilai parameter yang diambil sangat berbeda akibat pergerakan massa air pasang dan surut yang melewati selat ini dalam dalam rentang waktu 6 jam untuk sekali pasang. Pada pagi hari pengambilan sampel dilakukan pada pukul 06.00-09.00 WIB, siang hari pada 11.00-14.00 WIB, sore pada 16.00-19.00 WIB, dan pada malam hari pada pukul 23.0002.00 WIB. Tiap-tiap waktu yang telah ditentukan, dilakukan pengambilan dan pengukuran sampel pada tiap stasiun. 2.6. Analisa Data Data pengamatan suhu dan oksigen terlarut serta parameter pendukung lainnya disajikan dalam bentuk tabel selanjutnya dianalisis dengan metode regresi dan dikonversikan ke dalam bentuk grafik. Penentuan gas terlarut secara teoritis dihitung dengan menggunakan hukum Henry untuk membuktikan data yang telah diambil di lapangan. [g] = k.P.O2 Dimana, g = Konsentrasi gas, K = Tetapan 1,28 mol-1/L.atm, dan P = Tekanan gas (atm). Pengukuran dengan menggunakan hukum Henry ini bertujuan untuk mengetahui apakah perhitungan dengan hukum ini pada kondisi ideal (25 0C) dapat digunakan untuk perairan kajian yakni perairan pantai Dumai yang relatif dinamis yakni massa air yang selalu bergerak, masuknya air tawar ke laut, limbah industri, dan pelayaran. Selain itu, untuk membuktikan apakah perairan ini dapat dianggap tercemar atau tidak dengan menghitung kandungan oksigen terlarut dan karbondioksida bebas. Pengukuran kandungan oksigen terlarut dimaksudkan karena O2 merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme organisme perairan. Keperluan organisme terhadap oksigen terlarut tergantung kepada jenis, studi, dan aktivitasnya (Odum dalam Yuanita, 1992). III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kondisi Umum Secara geografis kota Dumai berada pada 101024’14,39”-101027’53,24” LU dan 0 1 39’48”-1042’16” BT. Daerah ini merupakan daerah pesisir timur dari Pulau Sumatera yang berhadapan langsung dengan Pulau Rupat. Perairan Dumai merupakan selat yang berada di antara Pulau Rupat dan Pulau Sumatera. Perairan ini merupakan selat yang sempit dan ramai akan pelayaran terutama nelayan yang hidup di pesisir Dumai. Secara umum topografi wilayah Dumai dan sekitarnya mempunyai elevasi yang datar dengan kemiringan 30 dan keadaan pantai sekitar muara sungai landai. Musim yang ada di wilayah ini sama dengan wilayah lain di Indonesia pada umumnya yakni musim Halaman 6 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 kemarau dan musim hujan, sedangkan curah hujan berkisar antara 200-300 mm dengan hari hujan 10-15 hari (Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, 1986). Di perairan di sekitar Selat Rupat terdapat palung-palung yang relatif terjal. Perairan di sebelah barat, yaitu yang mengarah ke Selat Malaka memiliki dataran bawah lautnya relatif datar. Kedalaman perairan sebelah timur, selatan dan utara Pulau Rupat berkisar antara 10 sampai 30 m, sedangkan kedalaman perairan di sebelah timur laut dan timur berkisar antara 30 sampai >50 m. Kedalaman perairan tertinggi adalah 27 m terletak di Selat Rupat (PEMKAB Bengkalis, 2008). Selat Rupat memiliki luas 420 km2 dan dimanfaatkan sebagai daerah pelabuhan, jalur pelayaran, daerah penangkapan ikan oleh penduduk yang tinggal di tepi pantai. Beberapa perusahaan seperti Semen Padang, Chevron, Pertamina, Patra Dock, dan Angkatan Laut (LANAL) juga memanfaatkan perairan ini untuk bongkar muat dan pelayaran baik lokal maupun internasional. Kondisi ini menjadikan perairan ini sebagai jalur pelayaran yang padat. 3.2. Suhu Muka Laut Suhu Muka Laut (SML) merupakan gambaran adanya pertukaran panas dari atmosfer ke perairan dan demikian juga sebaliknya. SML juga menggambarkan apakah perairan masih dapat dihuni oleh organisme akuatik dimana sebagian besar organisme perairan permukaan dapat hidup pada kisaran 220 C- 290 C. Pengukuran terhadap suhu di perairan Dumai yang telah dilakukan, disajikan pada Tabel 2 berikut ini : No. Stasiun 1. Stasiun 1 2. Stasiun 2 3. Stasiun 3 4. Stasiun 4 5. Stasiun 5 6. Stasiun 6 Tabel 2. Suhu Muka Laut Suhu (0 C) Waktu (WIB) Rata-rata Minimum Maksimum Pagi 27,0 28,0 27,6 Siang 29,5 31,0 30,3 Sore 28,0 29,5 29,2 Malam 26,0 27,5 27,1 Pagi 27,0 30,0 28,0 Siang 30,0 31,0 30,3 Sore 28,0 30,0 28,9 Malam 25,0 27,5 26,7 Pagi 27,0 30,0 27,9 Siang 30,0 32,0 30,6 Sore 28,0 29,0 28,3 Malam 27,0 28,0 27,3 Pagi 27,0 30,0 28,6 Siang 30,5 31,0 30,8 Sore 28,0 29,0 28,5 Malam 26,5 28,0 27,4 Pagi 27,0 29,0 27,9 Siang 29,5 31,0 30,7 Sore 28,0 30,0 29,2 Malam 26,5 27,0 27,1 Pagi 27,0 30,0 28,1 Siang 29,0 31,5 30,2 Halaman 7 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 No. Stasiun Waktu (WIB) Sore Malam Suhu (0 C) Rata-rata Minimum Maksimum 28,5 29,5 28,9 27,0 28,0 27,3 Pada Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa pengukuran yang dilakukan secara harian menghasilkan nilai yang yang tidak sama. Hal ini disebabkan akibat perairan ini sangat sempit (selat) sehingga penjalaran massa air sangat cepat yang berasal dari perairan Malaka. Dalam skala global perubahan suhu harian tidak akan diperhitungkan secara lebih mendalam, tetapi dalam dalam skala regional dalam ruang yang lebih sempit, hal ini menjadi sangat berarti. Kondisi suhu ini juga dapat diartikan sebagai rata-rata suhu pada musim peralihan. BMG, 2004 menyatakan bahwa secara umum suhu muka laut di seluruh Indonesia sampai pada awal Agustus 2004 berada pada kondisi normal dengan kisaran antara 260 C -290 C, dimana wilayah perairan Indonesia sebelah selatan menunjukkan kondisi yang lebih dingin dibandingkan dengan yang berada di sebelah utara ekuator bumi. Agar lebih jelas, pada Gambar 2, digambarkan secara grafik visualisasi dari Tabel diatas. Grafik ini menunjukkan kondisi suhu di tiap stasiun pengamatan pada waktu pagi, siang, sore, dan malam hari. Gambar 2. Grafik suhu harian pada tiap stasiun pengamatan. Dari Gambar 2 diatas dapat diketahui bahwa suhu mulai dari pagi hari hingga malam hari mengalami kenaikan dan penurunan (fluktuatif). Suhu maksimum terdapat pada siang hari dan mancapai minimum pada malam hari. Selain itu, kondisi perairan ini juga merupakan kondisi suhu yang hampir sama dengan perairan lainnya yakni berkisar antara 280 C hingga 310 C dan rata-ratanya adalah 300 C. Penelitian yang dilakukan oleh LIPI di perairan Selat Malaka juga menunjukkan suhu yang hampir sama yakni 29-310 C. Masrikat (2003), menyatakan kisaran suhu perairan hampir sama ditemukan pada lapisan homogen yaitu sebesar 290 C dijumpai selama munson barat daya dan menurun hingga 240 C di bulan Juli-Agustus pada waktu terjadinya upwelling yang besar. Sedangkan salinitas tahunan dapat terjadi dengan nilai maksimum, Halaman 8 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 sementara nilai minimum terbatas musimtertentu. Salinitas dibawah 30‰ tidak terlihat dari bulan April hingga September, tetapi salinitas di atas 31‰ mungkin terjadi selama setahun. Hal ini menandakan bahwa suhu di perairan Dumai pada musim peralihan sangat tinggi. Hal ini selain disebabkan oleh musim, juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti pengamatan yang telah dilakukan, bahwa kekeruhan di perairan ini sangat tinggi akibat dasarnya yang sebagian besar terdiri dari lumpur sehingga panasnya terserap dan sulit untuk dilepaskan. Kemudian suhu dari daratan juga mempengaruhi suhu perairan mengingat pengukuran dilakukan tidak jauh dari pesisir pantai (100 m). 3. 3. Oksigen Terlarut Pengukuran terhadap oksigen terlarut yang telah dilakukan, mendapatkan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 3 berikut ini : No. Stasiun 1. Stasiun 1 2. Stasiun 2 3. Stasiun 3 4. Stasiun 4 5. Stasiun 5 6. Stasiun 6 Tabel 3. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut (ppm) Waktu (WIB) Rata-rata Minimum Maksimum Pagi 5,50 6,50 6,13 Siang 5,30 6,00 5,54 Sore 4,90 6,20 5,59 Malam 5,00 5,90 5,41 Pagi 5,80 6,30 6,01 Siang 5,40 6,30 5,73 Sore 4,90 6,20 5,13 Malam 4,70 5,70 5,93 Pagi 5,80 6,30 6,03 Siang 5,40 6,00 5,78 Sore 5,00 6,00 5,25 Malam 4,90 5,90 5,36 Pagi 5,80 6,20 5,91 Siang 5,20 5,90 5,65 Sore 4,40 5,60 5,21 Malam 4,90 5,70 5,24 Pagi 4,70 5,30 5,16 Siang 5,00 5,30 5,19 Sore 3,80 5,30 4,23 Malam 3,60 5,00 4,60 Pagi 4,80 5,50 5,14 Siang 3,20 5,00 4,59 Sore 4,20 5,40 4,70 Malam 4,00 5,50 4,75 Dari Tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa fluktuasi juga terjadi untuk kandungan oksigen terlarut. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapat bahwa kadar kandungan oksigen terlarut di tiap stasiun berbeda sesuai dengan karakteristik perairannya, dimana semakin kearah pelabuhan (stasiun 6), kadar kandungan oksigen Halaman 9 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 terlarut semakin rendah (pagi hari). Korelasinya adalah pembuangan limbah baik oleh kapal maupun pabrik akan mempercepat habisnya oksigen terlarut yang digunakan oleh bakteri untuk menguraikannya. Selain itu di stasiun lain, fluktuasi kadar kandungan oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh pemasukan massa air dari daratan seperti yang terjadi di stasiun 2 dimana di wilayah ini mengalir Sungai Mesjid (air tawar). Dari pengukuran yang telah dilakukan, didapat bahwa kandungan oksigen terendah didapat pada malam hari yang berada di stasiun 6. Hal ini disebabkan akibat sebagian industri membuang limbahnya ke laut pada malam hari dan juga tidak terjadi photosintetis oleh tumbuhan laut. KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah lebih besar dari 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KLH) No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut), sehingga apabila dilihat pada Tabel 3, di stasiun 6 (rerata) pada waktu siang hingga malam terdapat nilai oksigen terlarut yang lebih kecil dari baku mutu yang ditetapkan KLH. Stasiun 1 hingga 4, termasuk dalam pencemaran dengan tingkat rendah, sedangkan untuk stasiun 5 dan 6 termasuk dalam pencemaran dengan tingkat sedang. Berdasarkan kandungan oksigen terlarut, pencemaran dengan tingkat tinggi apabila nilai kandungan oksigen terlarutnya adalah 0 (nol). 3.4. Karbondioksida bebas Karbondioksida yang terdapat di perairan merupakan proses difusi CO2 dari udara dan hasil respirasi organisme akuatik. Selain itu, didasar perairan CO2 juga dihasilkan dari proses dekomposisi bahan-bahan organik. Karbondioksida bebas yang dianalisis adalah karbondioksida yang berada dalam bentuk gas yang terkandung dalam air sedangkan kandungan CO2 bebas di udara adalah sebesar 0,03 %. Hasil pengukuran terhadap karbondioksida bebas dapat dilihat pada Tabel 4, yang menggambarkan nilai pada waktu penelitian yang sama dengan kedua parameter yang dihitung (oksigen terlarut dan suhu). Tabel 4. Hasil pengukuran rata-rata karbondioksida bebas. Karbondioksida Bebas No. Stasiun Waktu (WIB) (ppm) Pagi 6,30 Siang 8,80 1. Stasiun 1 Sore 7,80 Malam 10,20 Rerata 8,28 Pagi 7,20 Siang 12,00 2. Stasiun 2 Sore 10,20 Malam 7,50 Rerata 9,23 3. Stasiun 3 Pagi 7,60 Halaman 10 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 No. 4. 5. 6. Stasiun Waktu (WIB) Siang Sore Malam Rerata Pagi Siang Stasiun 4 Sore Malam Rerata Pagi Siang Stasiun 5 Sore Malam Rerata Pagi Siang Stasiun 6 Sore Malam Rerata Karbondioksida Bebas (ppm) 7,60 8,80 7,60 7,90 7,60 7,00 7,80 9,00 7,85 12,00 12,10 10,20 7,20 10,38 13,20 13,20 10,40 10,80 11,90 Dari Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa kandungan karbondioksida bebas yang tertinggi adalah sebesar 13,20 ppm (stasiun 6). Nilai kandungan karbondioksida yang diukur pada suhu 250 C adalah sebesar 7,50 ppm. Pengukuran karbondioksida pada suhu yang dimaksud diatas dimaksudkan untuk menguji nilai kandungan karbondioksida menurut hukum Henry. Hubungan antara kandungan karbondioksida dengan oksigen terlarut adalah terbalik dimana jika karbondioksida tinggi maka kandungan oksigen terlarutnya rendah. Hal ini dibuktikan dari pengukuran terhadap kedua parameter perairan ini yakni rerata oksigen terlarut pada pagi hari adalah 5,72 ppm sedangkan kandungan karbondioksidanya berkisar 13,20 ppm pada stasiun 6 (pagi hari). 3.5. Salinitas dan pH Perairan Salinitas dan keasam-basaan perairan sangat penting untuk mengetahui karakteristik dari suatu perairan tersebut. Untuk kedua parameter ini, hasil pengukuran disajikan dalam bentuk tabel seperti yang terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pengukuran Salinitas dan pH Perairan Waktu No. Stasiun Parameter Keterangan Pagi Siang Sore Malam Salinitas 29 32 30 28 Permil 1. Stasiun 1 pH 8,0 8,0 8,5 8,5 Salinitas 29 31 28 29 Permil 2. Stasiun 2 pH 8,5 8,5 8,0 8,0 Halaman 11 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 No. Stasiun 3. Stasiun 3 4. 5. 6. Parameter Salinitas pH Salinitas Stasiun 4 pH Salinitas Stasiun 5 pH Salinitas Stasiun 6 pH Pagi 30 8,5 29 8,0 30 8,5 31 8,0 Waktu Keterangan Siang Sore Malam 30 31 30 Permil 8,5 8,0 8,5 29 30 29 Permil 8,0 8,0 8,5 30 31 30 Permil 8,0 8,0 8,0 31 29 30 Permil 8,5 8,0 8,5 Dari Tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa tidak terjadi nilai salinitas yang berbeda pada tiap stasiun, demikian juga dengan perbedaan waktu. Terdapatnya salinitas yang relatif rendah (28-31 permil), hal ini diakibatkan oleh masuknya air tawar yang berasal dari Sungai Mesjid (Stasiun 2) yang mempunyai salinitas rendah yang mempengaruhi kondisi perairan. Adriman (1995), menyatakan bahwa salinitas realtif rendah terdapat pada stasiun yang berdekatan dengan sungai atau muara sungai dan salinitas akan relatif meningkat dengan bertambah jauhnya dari muara sungai. Dari hasil pengukuran, didapat bahwa salinitas tertinggi pada Stasiun 1 yakni 32 permil (siang hari), sedangkan yang terendah adalah 28 permil dijumpai pada Stasiun 1 dan 2 pada malam dan siang hari. Masrikat (2003), menyatakan bahwa, suhu perairan di Selat Malaka ditemukan tertinggi pada permukaan perairan di stasiun 2 sebesar 31,34 °C dengan salinitas 26,48 ‰, sedangkan suhu terendah sebesar 28,95 °C dengan salinitas 32,86 ‰. Pengukuran salinitas ini hampir sama dengan pengukuran yang dilakukan oleh Siagian (2006), yang menyatakan bahwa salinitas di perairan Dumai mempunyai kisaran yakni 22,1 – 31,3 permil. Selanjutnya, hasil pengukuran pH pada tiap stasiun dengan menggunakan pH test kit, menggambarkan keseragaman nilai, yakni berada pada kisaran 8-8,5. Hal ini sesuai dengan keseragaman air laut secara umum yakni berada dikisaran 7 hingga 8,5. Nilai pH air yang normal adalah antara 6-8, sedangkan nilai pH air tercemar berbedabeda tergantung dari zat pencemarnya. Air Limbah industri bahan anorganik biasanya mengandung asam mineral yang cukup tinggi sehingga keasamaannya juga tinggi atau pHnya rendah. Sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KLH) No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut menyatakan bahwa pH untuk kehidupan biota laut adalah 6,5-8,5. III.6. Korelasi III.6.1. Korelasi kandungan oksigen terlarut dengan karbondioksida berdasarkan Hukum Henry (Henry Law). Pada kondisi ideal, pada suhu 25 0C, hukum Henry menjelaskan bahwa konstanta oksigen terlarut di perairan adalah 1,28 x 10 -3 mol/L atm, sedangkan tekanan uap air tersebut adalah 0,0313 atm. Jadi tekanan parsialnya adalah : (1,0-0,0313) x 0,2095 = 0,2029 atm Halaman 12 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 Maka kemolaran kandungan oksigen terlarut di perairan tersebut berdasarkan hukum Henry 1,28 x 10 -3 x 0,2029 = 2,60 x 10-4 mol/liter Menurut Henry, konsentrasi molar oksigen di perairan adalah gr/BM. Karena BM O2 = 32 gr/mol, maka : [O2(aq)] = 2,60 x 10-4 x 32 gr/mol, = 83,20 x 10-4 gr/l, = 8,32 mg/l. Dari hasil perhitungan hukum Henry diatas dibandingkan dengan pengukuran yang telah dilakukan pada suhu yang sama yakni 250 C didapat hasil 5,70 ppm (Tabel 3; stasiun 2 dan 4 pada malam hari) dan terdapat perbedaan yang cukup besar yakni 2,62 ppm. Hal ini dikarenakan oleh hukum Henry bahwa nilai tersebut terjadi pada kondisi ideal, sedangkan untuk perairan dengan karakteristik perairan Dumai, hukum ini tidak bisa diterapkan, namun nilai ini dapat digunakan seberapa besar perairan ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti zat pencemar. Selanjutnya, untuk karbondioksida juga terjadi hal yang demikian dimana dari hasil perhitungan dengan menggunakan hukum Henry yakni nilai karbondioksida adalah 5,042 mg/L, sedangkan pada pengukuran perairan adalah 7,50 ppm (Stasiun 2, malam hari). Hal ini juga disebabkan oleh perbedaan aplikasi antara hukum Henry dengan kondisi di lapangan dimana hukum Henry digunakan untuk kondisi ideal sedangkan di perairan Selat Rupat terdapat variabel lain seperti kekeruhan, massa air, dan pencemaran. Menurut Siagian (2006) bahwa perairan Selat Rupat sudah mengalami pencemaran akibat logam berat. Hal ini dibuktikan dengan kandungan logam Pb, Cd, Cu, Ni, dan Zn yang telah melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh KLH (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KLH) No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut). Untuk Pb, nilai mutu yang ditetapkan adalah lebih kecil dari 0,0075 ppm, sedangkan di perairan Dumai mencapai 1, 59 ppm. III.6.2. Korelasi Suhu dengan oksigen terlarut Hasil uji regresi linear sederhana nilai kandungan oksigen terlarut (Y) dengan nilai suhu(X) akan digambarkan dengan grafik (Gambar 3) untuk tiap waktu penelitian (pagi, siang, sore, dan malam hari). Untuk pagi hari, persamaan matematisnya adalah Y = 10,02 – 0,15 X, untuk siang hari Y = -16,47 – 0,72 X, sore hari adalah Y = 17,04 – 0.42 X, dan malam hari Y = 34,74 – 1,09 X. Selanjutnya, Koefisien Korelasi (r) dimana ukuran hubungan linier peubah X dan Y Nilai r berkisar antara (+1) sampai (-1) dimana nilai r yang (+) ditandai oleh nilai b yang (+) dan nilai r yang (-) ditandai oleh nilai b yang (-). Jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati +1 atau r mendekati -1 maka X dan Y memiliki korelasi linier yang tinggi. Jika nilai r = +1 atau r = -1 maka X dan Y memiliki korelasi linier sempurna. Halaman 13 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 Gambar 3. Grafik regresi linear untuk ke-4 waktu (1: pagi, 2: siang, 3: sore, dan 4: malam). Pada Gambar 3 diatas dapat dilihat bahwa baik pada pagi, siang, sore, dan malam hari nilai (r) yang hampir sama (0,01-0,32), menandakan hubungan antara kandungan oksigen terlarut dan suhu adalah kurang kuat dan kecil. Hal ini dikarenakan banyaknya variabel penentu nilai kedua parameter ini seperti tingkat pencemaran, aliran massa air laut, hingga kecerahan dan kekeruhan perairan. Pada pagi hari (Gambar 3.1.), menunjukkan bahwa hubungan antara suhu dan kandungan oksigen terlarut kurang kuat, yang berarti bahwa pada saat ini, suhu tidak menyebabkan penambahan atau pengurangan kadar okisigen terlarut di perairan Dumai. Nilai (r) yang merupakan koefisien korelasi adalah 0,112, yang menyatakan hubungan yang kurang kuat dan kecil. Pada Gambar 3.2. (siang hari), menandakan hubungan yang kurang kuat yang dibuktikan dengan nilai koefisien korelasinya (r) sebesar 0,392. Nilai menunjukkan bahwa 39,20 % oksigen terlarut dipengaruhi oleh faktor suhu perairan. Untuk sore hari (Gambar 3.3.), mempunyai hubungan yang kurang kuat dan kecil dengan nilai r sebesar 0,319 yang menandakan bahwa 31,90% oksigen terlarut dipengaruhi oleh faktor suhu perairan, sedangkan untuk malam hari, didapat nilai r yang kurang kuat (0,565). IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan antara lain : 1. Berdasarkan nilai kandungan oksigen terlarut, perairan Selat Rupat termasuk dalam pencemaran tingkat rendah (stasiun 1 hingga 4) yakni berkisar 5,13-6,13 Halaman 14 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 2. 3. 4. 5. ppm, sedangkan pencemaran tingkat sedang untuk stasiun 5 dan 6 berkisar pada 4,70 ppm, Nilai pH untuk perairan Dumai adalah berkisar 8,0-8,5 dan salinitasnya berkisar antara 28-31 permil. Kedua parameter ini masih mendukung untuk kehidupan biota laut yang ditentukan KLH melalui Keputusan Mentri Lingkungan Hidup (KLH) No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut menyatakan bahwa pH untuk kehidupan biota laut adalah 6,5-8,5, Kandungan oksigen terlarut masih mendukung untuk kehidupan organisme akuatik yakni lebih besar 5 ppm sesuai dengan ketentuan KLH, tetapi untuk stasiun 5 dan 6 digolongkan dalam tingkat pencemaran sedang, Hukum Henry dapat digunakan pada kondisi ideal yakni perairan tidak tercemar, sedangkan untuk perairan Dumai tidak dapat diaplikasikan. Hal ini terbukti dari besarnya perbedaan perhitungan yakni 2,62 ppm dimana dengan menggunakan hukum Henry perhitungannya adalah 8,32 ppm sedangkan pada perhitungan yang dilakukan di lapangan adalah 5, 70 ppm, Terdapat hubungan yang kurang kuat antara suhu dan kandungan oksigen terlarut yang dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi (r) yang tidak mendekati nilai 1 (lebih kecil dari 0,6). UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Musrifin Ghalib, M.Sc sebagai Staff Pengajar Ilmu Kelautan dalam bidang fisika laut, UR, yang telah membantu dalam pengerjaan penelitian ini, demikian juga dengan Bapak Syahril Nedi, M.Si, Staff Pengajar Ilmu Kelautan dalam bidang kimia laut, UR, yang telah memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang ditemukan Penulis selama berlangsungnya penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Yayat Dhahiyat yang telah membantu dalam penyempurnaan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Adriman, 1995. Kualitas Perairan Pesisir Dumai ditinjau dari Karakteristik Fisika Kimia dan Struktur Komunitas Hewan Benthos Makro. Thesis-Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 78 Halaman. Amrizal, 1991. Analisa Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, dan Oil Content di sekitar pembuangan Limbah Industri Kilang Minyak Sei-Pakning, Kabupaten Bengkalis. Skripsi Sarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Universitas Riau (UR). Pekanbaru. 29 Halaman (tidak diterbitkan). Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), 2004. Evaluasi Cuaca bulan Juli. Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, 1986. Kepanduan Bahari Indonesia. Jilid I, Edisi ke-2. Jakarta. Garrison, T. 2002. Oceanography-An Invititation to Marine Science. Media edition. Orange Coast College. Halaman 15 dari 16 Halaman Jurnal Akuatika Volume 1 No. 1 Maret 2010 ISSN 0853-2523 Hadi, S. 2007. Pengantar Oseanografi. Bahan Ajar. ITB Kegley, 1998. The Chemistry of Water. University Science Books Sausalito. California. KLH, 2004. Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, tentang Baku Mutu Air Laut. Mentri Negara Lingkungan Hidup. Manahan, S. 1991. Environmental Chemistry. Fourth Edition. University of Missouri, California. Masrikat, J. A. N. 2003. Distribusi, Densitas ikan dan Kondisi Fisik Oseanografi di Selat Malaka. Nedi, S. 2004. Buku Penuntun Praktikum Oseanografi Kimia. FPIK UR. Nybakken, 1998. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Jakarta. PEMKAB Bengkalis. 2008. Gambaran Umum Kabupaten Bengkalis. Kabupaten Bengkalis. Salmin, 2005. Oksigen terlarut dan kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai salah satu Indikator Kualitas Perairan Pesisir. Jurnal Oseana. LIPI. Jakarta. Siagian, S. 2006. Kandungan Logam Berat (Pb, Cd, Cu, Ni, dan Zn) dalam Air Laut dan Sedimen di Perairan Dumai, Provinsi Riau. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Soegiarto, 1975. Karakteristik Hidrografi Teluk Jakarta. Oseanologi LIPI. Ubbe, U., 1992. Analisis Limbah Logam Berat yang terdistribusi di Muara Sungai TalloUjung Pandang. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Ujung Pandang (UNHAS). 45 Hal (tidak dipublikasikan). Yuanita, F.A. 1992. Pengaruh limbah pabrik gula dan spritus terhadap struktur komunitas makrozoobenthos di sungai sekitar Madukismo, Yogyakarta. IPB. 1992. Halaman 16 dari 16 Halaman