D_762010701_BAB III

advertisement
BAB III
MISTISISME SEBAGAI TIPE PERKEMBANGAN
SOSIOLOGIS AGAMA
Dalam bab sebelumnya telah dibangun perspektif
teoritis tentang gerakan keagamaan sebagai tipe khusus
gerakan sosial. Perspektif itu ditopang oleh tiga pemahaman
konseptual, yaitu tindakan sosial, perilaku kolektif, dan
gerakan sosial berorientasi nilai. Kerangka konseptual
tersebut diperlukan untuk mendeksripsikan fenomena
gerakan keagamaan sebagai sebuah fenomena sosial.
Selanjutnya,
mempertimbangkan
aspek
pengalaman
keagamaan dan kepercayaan fundamental yang menjadi
komponen utama dalam mobilisasi perilaku kolektif yang
diteliti, maka bab ini berisikan uraian teoritis tentang
mistisisme sebagai tipe khusus perkembangan sosiologis
gereja. Uraian ini dimulai dengan pengertian mistisisme,
kemudian dilanjutkan dengan pengalaman mistik, tradisi
mistik Kristen, mistisisme tindakan sosial, dan ditutup dengan
elaborasi dimensi-dimensi sosial mistisisme.
1. Pengertian Mistisisme
Di dalam Webster’s New World Dictionary kata
mistisisme (mysticism) menunjuk pada doktrin-doktrin atau
kepercayaan para mistikus, secara khusus doktrin atau
kepercayaan bahwa manusia dapat mencapai penyatuan yang
akrab dengan Tuhan melalui kontemplasi dan kasih, tanpa
dimediasi oleh kemampuan akali. Mistisisme juga menunjuk
pada doktrin apapun yang menyatakan kemungkinan untuk
71
72 Redefinisi Tindakan Sosial …
memperoleh pengetahuan akan kebenaran-kebenaran
spiritual melalui intuisi.1
Secara etimologi kata mistisisme berasal dari dua kata,
yaitu mistik dan isme. Kata mistik berasal dari bahasa Yunani
myo yang artinya saya menutup mulut atau mata. Pengertian
kata ini menunjuk pada ibadah-ibadah inisiasi di dalam kultuskultus yang misterius. Dalam perkembangan mistisisme
terkemudian, khususnya dalam tradisi Barat, pengertian
hurufiah tersebut bergeser. Pada akhir abad ke-5 Dionisius
memakai kata mistisisme untuk menunjuk pada orang-orang
yang mempunyai pengalaman-pengalaman khusus yang
menimbulkan kondisi-kondisi kesadaran akan
suatu
2
perjumpaan dengan realitas Ilahi.
Pengertian-pengertian tersebut di atas adalah
pengertian umum yang bisa ditemukan pada kebanyakan
literatur mistisisme dari agama apapun, khususnya yang
masuk dalam rumpun spiritualitas semit.3 Gershom G.
Scholem dalam bukunya Major Trends in Jewish Mysticism
menguraikan karakteristik mistisisme Yahudi dengan bertolak
dari definisi Rufus Jones yang mengatakan bahwa mistisisme
adalah sebuah tipe keagamaan yang memberi tekanan pada
kesadaran akan hubungan dengan Tuhan yang terjadi secara
langsung dan adanya kesadaran yang mendalam akan
kehadiran Tuhan.4 Ernst Troeltsch dalam bukunya The Social
Teaching of the Christian Churches mengkaji mistisisme
sebagai salah satu tipe perkembangan sosiologis gereja
dengan bertolak dari definisi umum pengalaman mistik
1 David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary (New York: Simon and
Schuster, 1984), 942.
2 Dorothee Soelle, The Silent Cry: Mysticism and Resistence (Minneapolis:
Fortress Press, 2001), 16.
3 Philip K. Hitti, History of The Arabs, diterjemahkan oleh Lukman Yasin &
Dedy S. Riyadi (Jakarta: Serambi, 2005), 36.
4 Gershom G. Scholem, Major Trends In Jewish Mysticism (Jerusalem:
Schocken Publishing House, 1941), 4.
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 73
sebagai sebuah pengalaman keagaman yang langsung, yang
tidak dimediasi oleh lembaga agama, doktrin, dan teks suci.5
Dorothee Soelle dalam bukunya The Silent Cry: Mysticism and
Resistance menghubungkan antara mistisisme Kristen dan
resistensinya di tengah realitas sosio-politik dengan mengacu
pada definisi skolastik dari Thomas Aquinas yang mengatakan
bahwa mistisisme adalah cognitio dei experimentalis
(pengetahuan atau pengenalan akan Tuhan dari dan melalui
pengalaman).6 Annemarie Schimmel dalam bukunya Mystical
Dimensions of Islam mengelaborasi dimensi-dimensi mistik
dalam Islam berdasarkan pengertian bahwa mistisisme
mengandung sesuatu yang misterius, yang tidak dapat dicapai
dengan pikiran biasa atau dengan upaya-upaya intelektual.
Baginya mistisisme adalah sebuah arus spiritual yang luar
biasa yang ada pada semua agama. Pengalaman mistik
didefinisikannya sebagai kesadaran akan Realitas Yang Satu
yang menjadi tujuan akhir kehidupan manusia. Realitas Yang
Satu itu tidak dapat dipahami atau dijelaskan dengan persepsi
normal. Hanya dengan kebijaksaaan jiwa (gnosis) dan
penyucian diri maka beberapa aspek dari Realitas itu dapat
diserapi.7 William James dalam bukunya Perjumpaan dengan
Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia, mengatakan
bahwa pengalaman mistik adalah pengalaman religius
manusia yang berakar dan berpusat pada keadaan kesadaran
mistis. Menurutnya ada empat karakter khas yang
menentukan sebuah keadaan kesadaran mistis, yaitu tidak
5 Ernst Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches V.2 (Chicago:
The Univ. of Chicago Press, 1981), 730.
6 Soelle,The Silent Cry…, 45.
7 Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: Univ. Of
North Carolina, 1985),17.
74 Redefinisi Tindakan Sosial …
bisa diungkapkan, kualitas noetik, situasi transien, dan
kepasifan.8
Mistisisme sebenarnya bukanlah sebuah agama di
dalam dirinya sendiri, tetapi sebagai elemen yang paling vital
di dalam semua agama yang muncul sebagai reaksi terhadap
formalitas yang dingin dan kemandegan agama.9 Sifat
keagamaan mistisisme bersumber dari segala perasaan dan
pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh
manusia memahami dirinya sendiri saat berhadapan dengan
apapun yang dianggapnya sebagai yang ilahiah. Jadi sifat
keagamaan mistisisme paralel dengan pengalaman,
penghayatan, dan tindakan keagamaan yang sifatnya sangat
unik dan personal dalam keterlibatan seseorang dengan
sesuatu yang dianggapnya suci.10
Mistisisme bukan sebuah sistem filsafat, walau ia
mempunyai doktrin-doktrinnya sendiri tentang skema dari
berbagai hal. Mistisisme lebih merupakan sebuah perilaku
pikiran (attitude of mind); sebuah kecenderungan yang dibawa
lahir oleh jiwa manusia yang selalu berupaya untuk
mentransendensikan akal budinya hingga mencapai sebuah
pengalaman yang langsung akan Tuhan serta kepercayaan
akan kemungkinan terjadinya penyatuan jiwa manusia dengan
realitas ultim. Penyatuan yang dimaksud adalah penyatuan
supernatural, yang terjadi ketika kehendak manusia menyatu
dengan kehendak yang ilahi. Apabila agama pada umumnya
memisahkan yang ilahi dari manusia, maka pengalaman
mistik lebih dari itu, ia menginginkan penyatuan yang intim
dengan Yang Ilahi, suatu penetrasi dari Yang Ilahi ke dalam
jiwa dan suatu penyangkalan individualitas dengan semua
8 William James, Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius
Manusia (Bandung: PT Mizan Pustaka., 2004), 505 – 508.
9 Margaret Smith, An Introduction to Mysticsm (New York: Oxford University
Press., 1977), 3.
10 James, Perjumpaan dengan Tuhan…, 92.
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 75
model tindakannya, pemikirannya, dan perasaannya, di dalam
substansi yang Ilahi. Di sinilah manusia mencoba untuk
melampaui semua yang bersifat fenomenal, di luar dari semua
bentuk realitas yang lebih rendah untuk menjadi Ada itu
sendiri.11
Menurut Smith secara umum mistisisme sebagai
sebuah paham keagamaan mendalilkan artikel-artikel iman
tertentu untuk menjadi dasar asumsi-asumsinya, yaitu:
pertama, kepercayaan bahwa jiwa dapat melihat dan merasa
secara spiritual. Itulah yang disebut dengan inner sense atau
intuisi, yang dengannya mana manusia dapat menerima dan
merasakan secara langsung kehadiran dan pengetahuan
tentang Tuhan. Kedua, keyakinan bahwa manusia ikut serta
dalam sifat sifat Ilahi dan bahwa manusia memiliki hubungan
eksistensial dan natural dengan Penciptanya. Hal ini terjadi
karena di dalam setiap jiwa manusia terdapat pancaran Ilahi
(divine spark) atau benih Ilahi (Divine Seed). Ketiga,
kepercayaan bahwa tak seorang pun dapat mencapai
pengetahuan tentang Tuhan kecuali dengan penyucian diri
(purifikasi). Keempat, keyakinan bahwa cinta kasih adalah
jalan dan pemandu (guide) menuju pada persekutuan yang
akrab dengan Tuhan.12
Dari paparan tersebut di atas menjadi jelas bahwa
mistisisme merupakan fenomena keagamaan yang bersifat
umum. Artinya, dia dapat ditemukan dalam setiap agama
dengan ciri-ciri yang umum maupun khusus. Hal ini sesuai
dengan hasil investigasi di bidang agama yang menemukan
bahwa mistisisme merupakan salah satu elemen dari setiap
agama yang hidup. Di dalam sejarah Keristenan misalnya,
Troeltsch menyebut adanya tiga tipe perkembangan sosiologis
11
12
Smith, An Introduction to Mysticsm …, 3-4.
Ibid., 4-6.
76 Redefinisi Tindakan Sosial …
gereja, yaitu tipe gereja, tipe sekte, dan tipe mistisisme. Tipe
gereja adalah jenis perkembangan sosiologis kekristenan yang
bersifat kelembagaan, yang bertolak dari ajaran tentang
persekutuan orang percaya yang mendapat berkat dan
anugerah keselamatan sebagai hasil penebusan oleh Yesus
Kristus. Sekte adalah sebuah masyarakat yang terbentuk
secara sukarela (voluntary society) yang terdiri dari orangorang beriman yang kuat dan terikat satu dengan yang lain
oleh fakta bahwa mereka semua telah mengalami kelahiran
baru. Sedangkan mistisisme menunjuk pada religiositas yang
didasarkan pada ragam pengalaman akan Tuhan yang bersifat
langsung dan batiniah.13
Sejalan dengan itu, Dorothee Soelle, yang bertolak dari
definisi skolastik yang mengatakan bahwa mistisisme adalah
paham cognitio Dei experimentalis, membagi dua cara
pemahaman dan pengenalan akan Tuhan. Cara yang pertama
adalah melalui akal dan penalaran atas ajaran-ajaran yang
secara dogmatis telah terlegitimasi dan secara hirarkis
terpimpin. Sedangkan cara yang kedua adalah berdasarkan
eksperimen dan pengalaman pribadi yang tidak terbatasi oleh
doktrin-doktrin resmi dan obligasi-obligasi kelembagaan.
Sehubungan dengan itu Soelle menegaskan juga tiga elemen
agama, seperti yang dikatakan oleh Baron van Hugel, yaitu
elemen institusional, intelektual, dan mistikal.14
William James
juga membedakan antara agama
institusional dan agama personal. Agama institusional
menyangkut pemujaan (ritus), ajaran (teologi), prosedur
dalam berhubungan dengan Tuhan, dan organisasi sosialnya.
Sedangkan agama personal menyangkut watak batin manusia
seperti kesadaran, rasa kesepian, ketidakberdayaan, dan rasa
13
14
Troeltsch, The Social Teaching of the Christian …, 993.
Soelle, The Silent Cry… , 45-49.
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 77
ketidaklengkapan; dengan penekanan utama pada pertolongan
Tuhan.15
Dari referensi tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa apakah ia tersembunyi atau tidak, disadari atau tidak,
diakui atau tidak, setiap agama mempunyai dimensi mistik.
Atau dengan kata lain, pengalaman mistik adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari pengalaman keagamaan seseorang.
2. Pengalaman Mistik
Sebelumnya telah dikatakan bahwa mistisisme berakar
pada pengalaman akan Tuhan yang bersifat langsung dan
batiniah. Troeltsch menyebutnya sebagai direct religious
experience dan Soelle, bertolak dari definisi Thomas Aquinas,
menyebutnya sebagai cognitio dei experimentalis. Dari nuansa
pengertian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
pengalaman keagamaan yang dimaksud itu tidak datang dari
teks-teks suci, dogma, atau institusi keagamaan tertentu, tetapi
datang dari gerak hati atau intuisi seseorang. Kalau demikian
maka pertanyaan yang muncul ialah pengalaman yang seperti
apakah yang menjadi sumber mistisisme tersebut?
William James mengatakan bahwa setiap orang
memiliki kesadaran normal yang dialami pada saat terjaga.
Kesadaran ini dapat juga disebut sebagai kesadaran rasional.
Tetapi kesadaran normal atau kesadaran rasional bukanlah
satu-satunya kesadaran yang dimiliki oleh manusia. Ia
hanyalah satu jenis dari beberapa kesadaran lain yang ada.
Pada diri manusia terdapat juga bentuk-bentuk kesadaran
potensial yang sama sekali berbeda dengan kesadaran normal
atau kesadaran rasional. Salah satu kesadaran yang berbeda
dengan kesadaran normal atau kesadaran rasional itu adalah
15
James, Perjumpaan dengan Tuhan…, 89-90.
78 Redefinisi Tindakan Sosial …
kesadaran mistis.16 Atas dasar itu James menegaskan bahwa
pengalaman mistik sebagai sebuah pengalaman religius
pribadi berakar dan berpusat pada keadaan kesadaran mistis
tersebut. Untuk dapat menentukan keadaan kesadaran mistis,
ada empat karakter khas yang harus ditemukan, yaitu:
pertama, pengalaman itu sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Tidak ada uraian manapun yang memadai untuk
mengisahkannya dalam kata-kata. Alih-alih ia dianggap
sebagai keadaan intelek, keadaan kesadaran mistis lebih
merupakan situasi keadaan perasaan. Kedua, adanya kualitas
noetik. Situasi mistik adalah juga situasi yang menghasilkan
pengetahuan. Dalam situasi ini seseorang mendapatkan
wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali
dalam ranah kemampuan intelektual yang bersifat diskursif.
Semuanya merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan
yang penuh dengan makna dan arti, tetapi tidak bisa dikatakan
meskipun tetap dirasakan. Umumnya pengalaman ini
membawa perasaan tentang adanya otoritas yang melampaui
ruang dan waktu. Dalam hal ini keadaan kesadaran mistis
dapat menimbulkan pencerahan dan kesadaran akan
keberadaan Tuhan Yang Maha kuasa. Ketiga, terjadi dalam
situasi transien. Kesadaran mistis biasanya terjadi tanpa
direncanakan dan hanya dalam waktu singkat. Ia tidak bisa
dipertahankan atau diperpanjang dalam waktu yang cukup
lama. Keempat, berlakunya kepasifan total yang diawali
dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan
diakhiri dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar
biasa.17
16Selain kesadaran mistis, James juga setuju dengan seorang ahli psikiatri
dari Kanada, Dr. R.M. Bucke yang menyebut adanya “kesadaran kosmik” pada
manusia. Kesadaran kosmik adalah kesadaran tentang kosmos, yaitu kesadaran
mengenai kehidupan dan tatanan alam semesta. Ibid., 523.
17 Ibid.,515-516.
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 79
Soelle menyebut bahwa pengalaman
mistik
berhubungan erat dengan apa yang disebutnya sebagai
mystical sensibility yang memampukan seseorang menyadari
dan mengakui sebuah pengalaman - bahkan pengalaman
sehari-harinya - sebagai sebuah pengalaman kehadiran dan
perjumpaan dengan Tuhan.18 Selanjutnya menurut Soelle ada
situasi-situasi kehidupan tertentu yang dapat menimbulkan
mystical sensibility seseorang. Situasi-situasi tersebut oleh
Soelle disebut sebagai places of mystical experiences yang
terdiri dari alam (nature), erotisisme, penderitaan (suffering),
perjamuan suci (holy communion), dan kegembiraan (joy).19
Ragam pengalaman yang asli tentang perjumpaan atau
kehadiran Tuhan yang tidak dimediasi oleh doktrin, teks suci,
atau sakramen bersumber dan berakar pada sensibilitas
mistik tersebut.
Troeltsch menganggap sumber pengalaman mistik ada
pada pengalaman keagamaan (religious experience) yang
bersifat langsung dan yang terekspresi melalui luapan
kegembiraan (ecstasy), penglihatan (vision), halusinasi
(hallucination), pengalaman keagamaan yang subjektif
batiniah, dan dalam pemusatan (concentration) atas sisi
pengalaman religius yang emosional dan intuitif.20
Pengalaman mistik mewakili suatu fenomena yang sama, yaitu
sebuah pengalaman keagamaan yang didasarkan pada
hubungan dengan Tuhan yang langsung dan vital. Hubungan
ini dimungkinkan oleh adanya eksistensi ilahi di dalam hati
batin manusia. Troeltsch menyebutnya sebagai benih Ilahi
(Divine seed).21
Soelle, The Silent Cry… , 17-22.
Ibid.,97-98.
20 Troeltsch, The Social Teaching of the Christian …, 731.
21 Ibid.,738.
18
19
80 Redefinisi Tindakan Sosial …
Pengalaman-pengalaman yang digambarkan di atas
itulah yang dimaksud dengan pengalaman mistik. Pada
dasarnya ia merupakan kesadaran tentang kehadiran Tuhan.
Ada yang menyebutnya pengalaman yang melampaui batasbatas konsep, kategori, pengalaman-pengalaman yang tak
terbatas. Menurut Heuken pengalaman mistik dapat
berlangsung apabila seseorang bergeser dari modus aktif
kepada modus reseptif.22 Dalam fenomenologi agama
pengalaman mistik ini dikenal sebagai sebuah fakta yang
penuh dengan makna bagi kehidupan keagamaan. Pengalaman
mistik berhubungan dengan kondisi-kondisi psikologis yang
melibatkan jenis kesadaran tertentu di mana simbol-simbol
inderawi dan pengertian-pengertian dari pemikiran abstrak
maupun diskursif tidak memadai dan tidak berarti. Dalam
kondisi seperti ini seseorang merasa jiwanya disatukan dalam
suatu kontak langsung dengan kenyataan yang menguasainya.
Ia merasa bahwa dirinya memiliki persepsi yang lebih
mendalam dan penerangan yang lebih besar dalam
pengalamannya akan kenyataan yang agung tersebut, apapun
namanya. Namun demikian, pengalaman mistik bukanlah
sejenis pengalaman gaib dan paranormal. Pengalaman itu
merupakan pengamatan langsung atas sesuatu yang kekal,
entah dipahami dalam pengertian-pengertian yang bersifat
pribadi seperti dalam agama teistik, ataupun hanya sekedar
keadaan kesadaran tertentu. Pengalaman ini bisa juga disebut
pengalaman suprarasional, metaempiris, intuitif, dan unitif
terhadap sesuatu yang tak ber-ruang, tak berwaktu, tak bisa
mati, dan kekal. Indikasi umum akan pengalaman mistik atau
pengalaman keagamaan ini adalah hilangnya rasa kepribadian
atau kesadaran ego dalam suatu keseluruhan yang lebih besar,
22
2002), 17.
Adolf Heuken, Spiritualitas Kristiani (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 81
di mana pada saat itu seseorang merasakan dirinya
dipindahkan mengatasi dimensi ruang dan waktu ke suatu kekini-an yang abadi, di mana kematian tidak dipersoalkan lagi
dan keadaan kodrati manusia menjadi sesuatu yang tak
binasa.
3. Tradisi Mistik Kristen
Telah dikatakan sebelumnya bahwa mistisisme
merupakan salah satu elemen agama. Yang lain mengatakan
bahwa mistisisme adalah salah satu tipe perkembangan
sosiologis agama. Ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah
salah satu dari enam cara beragama manusia di dalam
Dari nuansa pengertian tersebut dapat
sejarahnya.23
disimpulkan bahwa pengalaman mistik adalah suatu fenomena
keagamaan yang universal. Jika demikian maka pertanyaannya
adalah bagaimanakah tradisi mistisisme itu lahir dan
berkembang di dalam Kekristenan? Pertama-tama harus
diakui bahwa dalam tradisi Kristen, pengalaman mistik
merupakan sebuah kumpulan dari berbagai gambaran yang
saling melengkapi satu dengan yang lain yang membentuk
sebuah konfigurasi yang menarik dan tidak jarang menjadi
sebuah kontroversi. Oleh sebab itu adalah penting untuk
menelusuri tradisi Mistik Kristen secara singkat.
Menurut Smith kalau kita hendak menulusuri tradisi
mistik dalam Perjanjian Baru maka tulisan-tulisan rasul
Paulus dan rasul Yohanes adalah sumber yang paling
gamblang. Baginya, rasul Paulus adalah seorang mistik yang
dipengaruhi oleh filsafat Yunani, Yudaisme, dan tulisan-tulisan
23 Lih. Dale Cannon, Enam Cara Beragama (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA,
McGill Project., 2002). Menurut Dale Cannon cara beragama secara mistik adalah
salah satu dari enam cara manusia menghubungkan dirinya dengan Tuhan. Cara yang
lain yang dimaksudkannya adalah: cara perbuatan benar (way of right action), cara
ketaatan (way of devotion),), cara penelitian akal (way of reasoned inquiry), cara ritual
suci (way of sacred rite), dan cara mediasi samanik (way of shamanic mediation).
82 Redefinisi Tindakan Sosial …
dari Philo.24 Perjanjian Baru mencatat bahwa rasul Paulus
pernah mengalami pengalaman mistik ketika ia melihat terang
Kristus dalam perjalanan memasuki kota Damsyik. Sesudah itu
ia menjalani cara hidup furgativa, yaitu salah satu tingkat
dalam praktek mistik keagamaan di mana seseorang
mengalami pertobatan hati dengan mengakui segala dosa dan
kelemahan diri serta menerima rahmat Ilahi untuk berpaling
dari kehidupan yang berdosa kepada kehidupan yang penuh
cinta pada kehendak Tuhan (Kisah Para Rasul 9:1-31). Dalam
surat-suratnya Paulus antara lain menampakkan pandangan
mistiknya melalui pemahaman bahwa Tuhan ada di dalam
semua, dan jiwa manusia sangat membutuhkan suatu
hubungan dengan Tuhan. Hubungan itu dapat diperoleh bukan
lagi melalui mediasi hukum agama Yahudi (Torat), melainkan
melalui persekutuan mistik dengan Kristus yang telah mati
dan bangkit sebagai wujud penyataan Tuhan di antara
manusia. Salah pemikiran mistik Paulus nampak dalam katakatanya, “aku hidup, tetapi bukan aku sendiri yang hidup,
melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Galatia 2: 20)
Dalam Fenomenologi agama, pemahaman mistik seperti ini
merupakan kombinasi antara jenis pengalaman mistik yang
ekstasis dan teistik. Yang pertama adalah ketika jiwa
merasakan dirinya disatukan dengan realitas Yang Ilahi.
Sedangkan yang kedua adalah ketika jiwa berpartisipasi dalam
sifat-sifat Yang Ilahi melalui cinta dan bakti.25
Tokoh mistisisme Perjanjian Baru yang berikutnya
adalah rasul Yohanes, yang tulisan-tulisannya dipengaruhi
oleh filsafat Plato dan Philo. Mistisismenya secara signifikan
dapat terlihat dalam doktrin tentang Logos yang dipakainya
untuk memahami manifestasi Tuhan di dalam dunia, atau
24
25
Smith, An Introduction to Mysticsm…, 25.
Dhavamony, Fenomenologi Agama …, 288.
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 83
inkarnasi Tuhan di dalam Yesus Kristus. Dalam filsafat Yunani
– khususnya dalam pemikiran Plato yang kemudian lebih
dipertegas oleh Plotinos – logos adalah satu dari tiga fungsi
jiwa. Dalam jiwa manusia terdapat bagian keinginan yang
disebut epitimia, bagian energik yang disebut timos, dan
bagian rasional yang disebut logos. Logos sebagai fungsi jiwa
yang tertinggi adalah
manifestasi dari sebuah sumber
transendental, sumber asal usul dan sumber bagi segala yang
ada, yaitu yang mutlak dan absolut. Plotinos menyebutnya
sebagai Yang Satu (to Hen) atau kemungkinan pertama dan
terdalam dari segala ada dan pemikiran. Yang Satu itu tidak
dapat dipahami sebagai sesuatu yang ada, melainkan adi-Ada,
itulah Yang Tak Berhingga dan Absolut, yang dalam bahasa
agama disebut Godhead (Ketuhanan). Dari Yang Satu, yang
adi-Ada, dan yang Absolut itu keluarlah – melalui semacam
emanasi dan radiasi – Nus atau Roh, yang dalam istilah Plato
disebut cosmos noetos atau dunia pemikiran atau Logos. Pada
gilirannya Nus atau Roh mengeluarkan serta memancarkan
Jiwa (Psyche) untuk terciptanya manusia dan alam semesta,
sehingga jiwa atau psyche memiliki eksistensi ilahi. Inilah yang
menjadi dasar bagi pemahaman tentang keberadaan benih
Ilahi (Divine seed) atau pecikan logos.26
Dalam antropologi Stoa setiap orang dipandang
memiliki logos spermatikos atau benih akal universal. Artinya
bahwa manusia sebagai makhluk rohani memiliki
kesanggupan untuk bersatu dengan Roh Abadi atau Yang
Ilahi.27 Ketika kekristenan mulai memasuki dunia intelektual
dan spiritual Yunani, Yohanes memakai hirarki metafisik ini
untuk menjelaskan hubungan mistik antara manusia dengan
Tuhan melalui Yesus Kristus; bahwa Yesus adalah Logos yang
26 P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia (Yogyakarta:
Kanisus., 2000), 35-36.
27 Heuken, Spiritualitas Kristiani…, 33.
84 Redefinisi Tindakan Sosial …
menjadi manusia. Pemakaian pemikiran Yunani oleh rasul
Yohanes misalnya terdapat dalam Yohanes 1: 1-18 tentang
Firman yang menjadi manusia atau dalam I Yohanes 3: 9
tentang benih Ilahi yang ada pada setiap manusia.
Tradisi mistik Perjanjian Baru tersebut bersumber
dari kehidupan Yesus Kristus dengan murid-muridNya.
Keempat penulis Injil menunjukkan dengan tegas berbagai
pengalaman mistik Yesus bersama murid-muridNya. Narasinarasi mistik dalam kitab Injil menjadi sumber utama tradisi
mistik kekristenan yang kemudian secara lambat laun
berkembang melalui Origenes dengan teologi cinta kasih, para
Bapak Kapadokia dan Dionisius dengan teologi misteri, sampai
pada Augustinus dengan teologi rahmatnya.28
Dari perspektif yang berbeda, Troeltsch melihat
adanya dua corak tradisi mistik dalam Perjanjian Baru yang
telah menjadi sumber Mistisisme Kristen sepanjang
sejarahnya, yaitu apa yang disebutnya entusiasme pneumatik
jemaat Kristen mula-mula dan Kristologi mistik Paulus. Yang
disebut pertama nampak melalui karunia-karunia spiritual
seperti bahasa lidah, kuasa mengusir setan, dan keseluruhan
aktivitas spiritual mereka di tengah-tengah berbagai tekanan
dan hambatan yang datang dari agama Yahudi dan penguasa
Romawi. Yang disebut kedua mulai muncul ketika Paulus
mengambil alih kultus Kristus dalam gereja mula-mula – yang
telah menjadi sebuah bentuk agama yang telah terobjekkan di
dalam ibadah, tradisi, dan organisasi – dan menginspirasinya
dengan sebuah teologi mistik yang dalam dan penuh gairah,
yang juga mempergunakan terminologi-terminologi purba
dari misteri-misteri agama pagan.29 Misalnya Perjamuan
Kudus, bagi Paulus itu telah menjadi sebuah penyatuan
28 Arthur Cushman McGiffert, A History of Christian Thought (New York:
Charles Scribner’s Sons., 1932), 177-291.
29Troeltsch, The Social Teaching of the Christian …,733
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 85
mistikal dan substansial dengan Kristus yang mati dan bangkit
(Roma 6:1-14). Demikian juga Baptisan, ia telah menjadi
sebuah kematian yang aktual dan kebangkitan kembali
bersama Kristus. Itu berarti Kristus telah menjadi sebuah
atmosfir kehidupan yang baru yang di dalamnya orang
percaya hidup, merasa, berpikir dan menjadi seorang pribadi
spiritual yang baru atau ciptaan baru (Efesus 4:17-32).
4. Tradisi Mistik Tindakan Sosial
William Johnston mengamati adanya fenomena
perkembangan Teologi Mistik di zaman modern. Memasuki
abad ke-20 terjadi perkembangan baru, yang disebutnya
Mistisisme keterlibatan sosial.30 Mistisisme ini dapat dilihat
melalui kehidupan para aktivis gerakan sosial yang hatinya
cerah menyala-nyala dengan kobaran cinta kasih di tengahtengah persoalan-persoalan sosial, seperti kemiskinan,
ketidakadilan, perang, pelanggaran hak-hak sipil,
dan
pengrusakan lingkungan alam. Para aktivis gerakan sosial ini
mengalami malam gelap karena harus menanggung banyak
penderitaan di tengah keterlibatan sosial mereka. Mereka
mengungkapkan cinta dan iman mereka dengan berunjuk rasa
di jalan, menumpahkan darah sendiri di instalasi nuklir,
mengutuk struktur yang jahat, menentang pemerintahan yang
menindas, masuk penjara, mengalami siksaan dan bahkan mati
karena keyakinan iman dan gerakan sosial mereka.
Soele juga melihat dalam konteks Kekristenan, pada
abad 19 dan 20, telah terjadi perkembangan besar dalam
tradisi mistiknya, yaitu ketika orang-orang Kristen menjadi
sadar akan matra sosial agama mereka. Orang Kristen sadar
akan keteladan Yesus Kristus yang berempati dengan
30 William Johnston, Teologi Mistik: Ilmu Cinta, diterjemahkan oleh Willie
Koen (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2001), 345-364.
86 Redefinisi Tindakan Sosial …
penderitaan dunia; penderitaan kaum miskin dan tertindas.
Itulah sebabnya muncul kesadaran mistik baru, yaitu bahwa
mistikus tidak selamanya harus hidup menyendiri di gua-gua,
gunung-gunung, atau di balik tembok biara gereja, tetapi
mistikus yang sejati adalah mereka yang juga memiliki dan
menunjukan imannya melalui aksi solidaritas dengan semua
penderitaan manusia di dunia ini dan berjuang menentang
semua bentuk ketidakadilan, penindasan, dan kejahatan
sosial.31 Kobaran cinta dan keyakinan iman mendorong para
mistikus Kristen modern untuk ikut turun ke jalan dalam aksiaksi unjuk rasa, mengutuk struktur yang menindas,
menghadapi pemerintah-pemerintah yang otoriter dan korup,
dan akhirnya pergi ke penjara dan mati sebagai martir
kemanusiaan. Seperti para mistikus abad pertengahan yang
mengosongkan dirinya dan masuk dalam malam gelap yang
menyedihkan di dalam keheningan bilik-bilik biara, para
mistikus kristen modern juga mengosongkan dirinya dari
berbagai kepentingan diri sendiri dan mengalami malam
gelap di tempat-tempat kumuh, sel-sel penjara, dan tempattempat pengasingan. Oleh sebab itu, baginya mistisime adalah
pengungkapan resistensi manusia terhadap problem-problem
sosial politik di dalam masyarakatnya.
5. Dimensi-Dimensi Sosial Mistisisme
Fenomena mistisme adalah bagian dari fenomena
sosial. Secara sosiologis gerakan-gerakan mistik keagamaan
berbeda dengan format-format agama yang berlaku dominan
di dalam masyarakat. Perbedaan ini bukan hanya berdasarkan
status minoritas mereka tetapi juga oleh karena perbedaanperbedaan yang begitu jelas dalam hal doktrin, praktek hidup,
etos sosial, dan format asosiasi. Saat ini, gerakan-gerakan
31
Soelle, The Silent Cry…,193-194.
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 87
mistik keagamaan dapat dengan mudah dibedakan dari
generalitas masyarakat sekuler oleh karena etos sosial dan
tingkah laku mereka.
Komunitas-komunitas mistisisme yang muncul
belakangan ini memiliki karakter dan sifat-sifat tersendiri
yang berbeda satu sama lain, baik secara ideologis maupun
kelembagaan. Namun demikian secara umum mereka
cenderung bersifat eksklusifistik, mengambil posisi protes
terhadap tradisi-tradisi dominan dalam masyarakat, dan
menolak pola-pola kepercayaan dan tingkah laku sebelumnya.
Komunitas-komunitas mistis memelihara tingkat ketegangan
dengan masyarakat luas sebagai ekspresi ketidakpedulian
(indifference)
terhadap
masyarakat,
jikalau
bukan
permusuhan.32
Komunitas mistis merupakan sebuah organisasi
sukarela dalam pengertian bahwa individu harus mengambil
komitmen yang tegas terhadap standar-standar tingkah laku
pengakuan-pengakuan iman kelompok mistisnya. Orangorang harus memenuhi beberapa eksaminasi dan harus bisa
menerima tindakan disipliner dan bahkan pengucilan jika
mereka melanggar norma-norma yang berlaku di dalam
komunitasnya.33 Dalam hal ini, bagi individu-individu,
keanggotaan di dalam komunitas-komunitas mistis tersebut
dapat menjadi sumber utama identitas sosialnya.
Terhadap komunitas-komunitas mistis sering diberi
sebutan sekte karena sikapnya yang sektarian. Banyak tulisan
teologis tentang gerakan mistis sebagai sekte berangkat dari
asumsi-asumsi normatif teologis yang mengarah pada
penghakiman dan pembuktian bahwa kelompok-kelompok
tersebut telah terdistorsi (menyimpang) dari agama yang
32Bryan Wilson, The Social Dimension of Sectarianism (New York: Oxford
University Press, 1990), 2.
33Ibid.,3.
88 Redefinisi Tindakan Sosial …
benar. Namun demikian sekarang ini sudah mulai
bermunculan tulisan-tulisan sosiologis yang memakai istilah
sekte dalam arti yang netral, tanpa konotasi evaluatif dan
emosional.34 Sekte dilihat sebagai fenonena sosial, sebagai
bidang studi sosiologis yang sama dengan organisasiorganisasi voluntir lainnya atau sama dengan kelas-kelas
sosial, birokrasi, atau keluarga. Dalam translasi sosiologis,
konsep sekte kemudian menjadi konsep tentang minoritasminoritas keagamaan dan divisi-divisi dalam ragam budaya
dan tradisi-tradisi keagamaan.
Pergeseran dari pendekatan teologis yang bersifat
normatif konfesional ke pendekatan sosiologis yang positivis
telah memberikan prospek bagi pemahaman purbasangka
tentang sekte-sekte mistis. Studi-studi modern tentang
mistisisme berada dalam posisi ini. Sekte-sekte mistisisme
dilihat sebagai fenomena yang tidak memerlukan
pertimbangan nilai eksplisit tentang apakah mereka memiliki
kepercayaan dan praktek hidup yang benar atau tidak.
Sosiolog mistisisme kontemporer menghindari
sumber-sumber informasi dan data dari penggalan-penggalan
dan kesaksian-kesaksian yang bias yang diberikan oleh para
oponen kelompok mistisisme tersebut. Sebaliknya sosiolog
lebih mengutamakan informasi-informasi yang tersedia di
dalam sekte-sekte mistis itu sendiri, baik lisan maupun tulisan.
Informasi-informasi ini kemudian dikaji dalam konteks
struktur sosial masyarakat di sekitarnya.35 Untuk itu maka
salah satu cara yang dipakai adalah observasi partisipan yang
dengannya sosiolog ikut serta di dalam aktivitas-aktivitas
sekte mistis tersebut sampai ia memperoleh pemahaman yang
utuh dan objektif. Dalam hal ini biasanya kesulitan pertama
34
35
Ibid., 5.
Ibid., 8-9.
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 89
adalah bagaimana mendapat kepercayaan dan penerimaan
dari suatu sekte sehingga bisa diikutsertakan dalam ragam
kegiatan mereka.
Untuk mengkaji sekte mistis sebagai sebuah entitas
sosial yang total, sosiologi perlu memperhatikan tidak hanya
aspek-aspek struktural di dalam masyarakat, tetapi juga
ajaran-ajaran dan sumber-sumbernya, asal mula gerakannya
sebagai sebuah komunitas yang terpisah dari arus utama,
sejarah
perkembangannya,
karakter
transimisi
kepemimpinannya, daya tariknya, metode rekruitmen anggota
baru, motif-motif konversi anggota-anggotanya, komposisikomposisi sosial konstituennya, kontrol sosialnya, struktur
ekonominya, posisi-posisi gendernya, kapasitas untuk
memobilisasi dan memotivasi anggota-anggotanya, hubungan
antara ideologi dengan organisasi, etos sosial, dan
hubungannya dengan struktur sosial masyarakat yang lebih
luas.36
Pada sisi yang lain, sosiolog yang tertarik di bidang
gerakan-gerakan mistik keagamaan mendapat tantangan
untuk mengamati dan menganalisis bagaimana gerakangerakan mistik dapat muncul di tengah masyarakat,
bagaimana gerakan mistik tersebut berinteraksi dengan
lingkungan sosial dan kulturalnya, dan faktor-faktor apa yang
membuatnya berhasil atau sebaliknya gagal.37 Sosiologi fokus
pada keberadaan komunitas-komunitas mistisisme sebagai
subkultur-subkultur atau unit-unit sosial yang termarginal
yang berada dalam konflik dengan masyarakat luas. Sosiologi
mengkaji ragam cara yang dipakai untuk membentuk
organisasi-organisasi mistis dan pemeliharaan kelangsungan
hidupnya. Dinamika internal yang menjadikannya sebagai
Ibid., 11.
John A. Saliba, Understanding New Religious Movements (Walnut Creek
CA: Altamira Press, 2003), 127.
36
37
90 Redefinisi Tindakan Sosial …
unit-unit sosial yang dapat bertahan dieksplorasi, termasuk di
dalamnya struktur politik dan ekonominya dan tipe
kepemimpinan karismatik yang memberikan legitimasi ilahi
bagi
kepercayaan-kepercayaan
dan
praktek-praktek
keagamaan yang ada. Dalam kaitan dengan hal tersebut
sosiologi juga berkepentingan dengan tingkat-tingkat dan tipetipe komitmen yang harus dimiliki oleh mereka yang ikut serta
dalam gerakan mistik tersebut. Selain itu, sosiologi juga perlu
mengamati korelasi sosial dan faktor-faktor kultural yang
mempengaruhi kebijakan-kebijakan rekruitmen anggota. Hal
yang tidak kalah pentingnya juga adalah melihat konflik yang
ada antara gerakan mistisisme dengan tradisi-tradisi
keagamaan arus utama dan dampak dari konflik tersebut
terhadap keduanya.38
Dengan demikian menjadi jelas bahwa dimensi
sosiologis dari mistisisme adalah karena sebagai sebuah
fenomena sosial ia terbentuk dari format perilaku sosial
manusia dan ekspresi dari dinamisme keagamaan, sosial, dan
kultural. Itulah sebabnya penelitian dan pembahasan dimensi
sosiologis dari mistisisme tidak pertama-tama didedikasikan
pada investigasi psikologis personal. Artinya, secara sosiologis
penelitian tentang mistisisme tidak berfokus pada eksplanasieksplanasi individual tetapi pada eksplanasi struktural.
6. Kesimpulan
Dari beberapa konsep dan teori tentang mistisisme
yang dipandang dari sudut teologis dan sosiologis serta oleh
tinjauan historis tentang perkembangan tradisi mistik dalam
kekristenan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat enam
indikator utama mistisisme Kristen.
38
Ibid.,128.
Mistisisme Sebagai Tipe Perkembangan… 91
1) Pengalaman mistik adalah sebuah pengalaman keagamaan
atau pengalaman akan Tuhan yang bersifat langsung dan
batiniah. Sebuah pengalaman akan kehadiran Tuhan dan
perjumpaan denganNya tanpa dimediasi oleh bentukbentuk objektif pelayanan gereja. Pengalaman kehadiran
itu terjadi dalam kondisi mental yang konkret melalui
mimpi, halusinasi, penglihatan, ketabahan dalam
penderitaan (suffering), dan pengalaman batin. Itulah
sebabnya mistisisme yakin bahwa pengetahuan dan
pengenalan manusia akan Tuhan serta perasaan
keagamaanya terletak pada intuisi. Dan pengalaman
keagamaan atau pengalaman akan Tuhan selalu bersifat
subjektif, langsung, dan batiniah.
2) Mistisisme sebagai sebuah praxis filosofis meyakini bahwa
dalam jiwa manusia terdapat eksistensi ilahi dengan apa
yang disebut sebagai benih Ilahi (Divine seed) atau
pancaran Ilahi (Divine Spark). Keyakinan ini mengartikan
bahwa manusia ikut serta dalam sifat-sifat Tuhan seperti
kesucian, kekudusan, kekekalan, dan cinta kasih. Inilah
yang menyebabkan adanya kesadaran akan Tuhan di
dalam hati batin manusia dan yang dapat memotivasi
manusia untuk mencari dan menyatukan eksistensinya
dengan Tuhan.
3) Cara atau jalan yang terbaik untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan dan menyatukan eksistensi denganNya
adalah pengosongan diri (self annihilation) dan penyucian
hati dari segala kejahatan (purification). Cara ini dapat
dilakukan melalui doa kontemplasi, meditasi, puasa,
praktek asketik, dan kehidupan yang penuh dengan cinta
kasih.
4) Kepastian keselamatan personal tidak diperoleh melalui
sakramen mekanis, tetapi melalui pengalaman spiritual
92 Redefinisi Tindakan Sosial …
yang bersifat batiniah. Itulah sebabnya karya penebusan
dan penyelamatan dipahami sebagai sebuah proses yang
akan mencapai titik puncaknya pada saat jiwa dan
kehendak manusia mengalami iluminasi oleh Roh Tuhan,
dan melahirkan perasaan damai, sukacita, dan
kegembiraan yang luar biasa (ecstasy)
5) Mistisisme menganut paham gereja sebagai sebuah
persekutuan spiritual yang tidak dibatasi oleh signalsignal eksternal, obligasi-obligasi organisasi dan
sektarian. Itulah sebabnya ia dapat lebih apresiatif dan
positif terhadap semua perasaan dan tradisi keagamaan.
6) Mistisisme adalah sebuah fenomena sosial karena ia
terbentuk dari format perilaku sosial manusia dan
ekspresi dari dinamisme keagamaan, sosial, dan kultural.
---
Download