Abstract - Journal Unisma

advertisement
RUANG KAJIAN
ETIKA SOSIAL JAWA DAN PENGARUHNYA TERHADAP
TIPE KEPEMIMPINAN DAN SIKAP POLITIK MASYARAKAT JAWA
Oleh : Fadhillah
Abstract
Basically, every human wants a harmony life. It isn’t only limited to social life of Java
society, but also the society in general. This writing is a literary study about moral
perception that becomes the base of Java’s social ethic based on Java cosmology and its
influence to Java leadership’s type. The approaching metode used in this explanation is
descriptive and philosophical analysis.
Keywords: Social Ethic, Java, Cosmology, Leadership, and Politic
A. Pendahuluan
Untuk memahami tentang
etika sosial Jawa terdapat beberapa
aspek
filosofis,
yaitu
aspek
epistemologi, kosmologi dan aksiologi.
Aspek epistemologi Jawa dan “Orang
Jawa” adalah pemahaman konsep
tentang“Orang Jawa” dan “Etika Jawa
”. Aspek kosmologi Jawa meliputi
pandangan
masyarakat
Jawa
terhadap dunia dan alam sekitar.
Aspek
aksiologis
merupakan
pandangan moral Jawa yang meliputi
nilai-nilai baik dalam sikap lahir dan
sikap batin masyarakat Jawa. Ketiga
aspek tersebut merupakan satu
kesatuan yang perlu dijaga dalam
“Orang Jawa” dihubungkan dengan
pandangan hidupnya tentang moral
(etika Jawa); aspek geografis dan
historisnya antara lain
mengenai
Kerajaan-Kerajaan Jawa. Sedangkan
aspek etikanya antara lain dibahas
dari segi Kaidah dasar kehidupan
masyarakat Jawa (etika sosial Jawa)
yang dipengaruhi oleh Pandangan
Dunia Jawa (kosmologi Jawa) dan halhal penting yang berkaitan dengan
ruang lingkup Etika Jawa.
Secara
epistemologis,
menurut buku yang ditulis Franz
Magnis Suseno tersebut, yang disebut
dengan masyarakat Jawa adalah
orang yang bahasa ibunya adalah
bahasa Jawa. Orang jawa adalah
penduduk asli bagian tengah dan timur
pulau Jawa yang berbahasa Jawa.
Pengaruh letak geografis masyarakat
Jawa menghasilkan dua macam tipe
kebudayaan Jawa, yaitu kebudayaan
pesisir (pesisir utara) yang merupakan
hasil
dari
pengaruh
hubungan
perdagangan, pekerjaan nelayan, dan
pengaruh Islam yang lebih kuat dan
kebudayaan kejawen yang meliputi
kebudayaan
daerah-daerah
jawa
pedalaman.
Pusat
kebudayaan
kejawen antara lain dalam kota-kota
kerajaan Surakarta dan Yogyakarta,
dan di samping dua karesidenan
Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri, dan
Malang.
Pelapisan
sosial
dalam
masyarakat Jawa menghasilkan dua
golongan sosial: (1) wong cilik (orang
kecil), terdiri dari sebagian besar
massa petani dan mereka yang
berpendapatan rendah di kota. (2)
kaum priyayi dimana termasuk kaum
pegawai dan orang-orang intelektual.
kehidupan
bermasyarakat
dan
bernegara agar dapat berjalan secara
harmonis, selaras dan seimbang.
Dengan demikian ketiga aspek
tersebut merupakan unsur-unsur etika
sosial
Jawa
yang
berpengaruh
terhadap tipe kepemimpinan dan sikap
politik masyarakat Jawa.
Manfaat kajian ini diharapkan
dapat memberikan khasanah dalam
memahami unsur-unsur filosofis yang
menjadi
sumber
norma
etis
masyarakat Jawa dalam kehidupan
berbangsa
dan
bernegara.
Pemahaman ini juga bermanfaat
sebagai analisis kritis terhadap tipetipe kepemimpinan dan sikap politik
masyarakat Jawa, baik dari segi positif
maupun negatifnya.
B. Konsep tentang “Orang Jawa”
dan “Etika Jawa”
“Orang
Jawa”
(masrakat
Jawa) dalam buku Etika Jawa (sebuah
analisa filsafati tentang kebijaksanaan
Hidup) yang ditulis oleh Franz Magins
Suseno SJ, ,terjemahan dan saduran
buku yang berjudul “Javanische
Weischeit und Ethik”, diterbitkan oleh
R. Oldennbourg Verlag di Munchen
1981 hanya dipandang
sebagai
sebuah konstruksi teoritis ala Max
Weber. Untuk memahami konsep
tentang orang Jawa perlu mengetahui
profile tentang masyarakat Jawa yang
meliputi beberapa aspek , antara lain
aspek epistemologi, historis dan
aksiologis (Etic/ Etika). Namun fokus
kajian dalam buku tersebut adalah
dalam perspektif moral/etika Jawa.
Oleh karena itu, aspek epistemologi
37
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
dalam masyarakat. Dengan demikian
nilai etis bagi masyarakat jawa
cenderung bersifat relatif
(tidak
permanen) bagi golongan satu dengan
golongan lainnya.
Kecuali itu masih ada kelompok ketiga
yang kecil tetapi tetap mempunyai
prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum
ningrat (ndara). Disamping lapisanlapisan sosial-ekonomis ini masih
dibedakan dua kelompok atas dasar
keagamaan, kedua-duanya secara
nominal termasuk agama Islam, akan
tetapi golongan pertama dalam
kesadaran dan cara hidupnya lebih
ditentukan oleh tradisi-tradisi jawa praIslam, sedangkan golongan kedua
memahami diri sebagai orang Islam
dan berusaha untuk hidup menurut
ajaran Islam. Yang pertama dapat kita
sebut
Jawa
Kejawen,
dalam
kepustakaan,
kelompok
pertama
sering disebut abangan, kelompok
yang kedua disebut santri.
Kaum
priyayi
tradisional
hampir seluruhnya dianggap jawa
Kejawen, walaupun mereka secara
resmi mengakui Islam. Dari kalangan
mereka banyak berasal dari pengikutpengikut paguyuban, yaitu kelompokkelompok
yang
mengusahakan
kesempurnaan hidup manusia melalui
praktek asketis, meditasi dan mistik.
Kaum
priyayi adalah pembawa
kebudayaan kota jawa tradisional yang
mencapai tingkat yang sempurna
disekitar kraton Yogyakarta dan
Surakarta. Sampai sekarang dalam
kalangan kaum priyayi pelbagai
bentuk kesenian Jawa dikembangkan:
seni tari-tarian, gamelan, wayang dan
batik.
Pelapisan
sosial
tersebut
menjadi dasar analisis landasan etika
sosial Jawa yang dipengaruhi oleh
kosmologi Jawa. Sikap individu dalam
masyarakat Jawa tidak lepas dari
kedudukan (peran dan fungsinya)
C. Pandangan Dunia (Kosmologi )
Jawa Sebagai Sumber Etika
Jawa.
Kosmologi
Jawa
nampak
dalam pandangan dunia masyarakat
Jawa yang meliputi keseluruhan
semua keyakinan deskriptif tentang
realitas sejauh merupakan suatu
kesatuan dari padanya manusia
memberi struktur yang bermakna
kepada alam pengalamannya. Suatu
pandangan dunia merupakan orientasi
/kerangka acuan bagi manusia untuk
dapat mengerti masing-masing unsur
pengalamannya. Hal yang khas dalam
pandangan dunia Jawa ialah bahwa
realitas tidak dibagi dalam berbagai
bidang yang terpisah-pisah dan tanpa
hubungan satu sama lain, melainkan
bahwa realitas dilihat sebagai suatu
kesatuan menyeluruh. Dengan kata
lain dunia dipandang sebagai sebuah
sistem realitas yang unsur-unsurnya
saling berpengaruh. Bidang-bidang
realitas yang dalam alam pikiran Barat
dibedakan dengan tajam, yaitu dunia,
masyarakat, dan alam adikodrati bagi
orang Jawa bukanlah tiga bidang yang
relatif berdiri sendiri dan masingmasing mempunyai hukumnya sendiri,
melainkan merupakan satu kesatuan
dari pengalaman. Pada hakekatnya
orang Jawa tidak membedakan antara
sikap-sikap religius dan bukan religius,
dan interaksi-interaksi sosial sekaligus
merupakan sikap terhadap alam,
38
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
antara alam, masyarakat dan alam
adikodrati
yang
keramat,
yang
dilaksanakan dalam ritus, tanpa
refleksi eksplisit terhadap dimensi
batin sendiri; wujud ini lebih kuat di
desa dan dalam lapisan masyarakat
yang tidak bersastra, selanjutnya
sering disebut agama abangan.
Lingkaran
Kedua,
memuat
penghayatan
kekuasaan
politik
sebagai ungkapan alam numinous,
suatu segi yang oleh Clifford di
kesampingkan, barangkali karena segi
ini dalam lingkungan yang diselidikinya
di Jawa Timur sudah tidak memainkan
peranan
lagi;
Lingkaran
ketiga
berpusat pada pengalaman tentang
keakuan sebagai jalan persatuan
dengan yang numinous. Disini unsurunsur
dari
lingkungan
pertama
diterjemahkan
kedalam
dimensi
pengalaman kebatinan sendiri dan
sebaliknya
alam
lahir
distrukturalisasikan dengan bertolak
dari dimensi batin. Lingkaran keempat,
adalah penentuan semua lingkaran
pengalaman yang illahi, oleh takdir.
Walaupun
tujuan
resmi
terakhir usaha-usaha mistik Jawa
adalah pencapaian kesatuan hamba
dengan Tuhan, namun tekanan tidak
terletak
pada
pengalaman
transendensi itu sendiri. Demikian juga
pengalaman kesatuan dengan yang
ilahi mempunyai nilai pragmatis yang
di dalamnya keakuan individual
membulatkan
usahanya
untuk
mengontrol segala segi eksistensinya.
Tujuan terakhir usaha mistik Jawa
bukanlah teori tentang keakuan yang
Ilahi, bukan pula penyerahan terhadap
yang Ilahi sebagai sikap religius,
melainkan pembulatan antara teori
sebagaimana juga sikap terhadap
alam sekaligus mempunyai relevansi
sosial. Dengan demikian aspek
kosmologis
merupakan
landasan
aksiologis Etika Jawa.
Nilai pragmatis pandangan
dunia bagi orang Jawa adalah untuk
mencapai suatu keadaan psikis
tertentu,
yaitu
ketenangan,
ketentraman,
dan
keseimbangan
batin. Oleh karena itu, maka
pandangan dunia dan kelakuan dalam
dunia
tidak
dapat
dipisahkan
seluruhnya. Bagi orang Jawa suatu
pandangan dunia dapat diterima
semakin
semua
unsur-unsurnya
mewujudkan
satu
kesatuan
pengalaman yang harmonis, semakin
unsur-unsur itu cocok satu sama lain
(sreg), dan kecocokan itu merupakan
suatu
kategori
psikologis
yang
menyatakan
diri
tanpa
adanya
ketegangan dan gangguan batin.
Pandangan
dunia
Jawa
bukanlah suatu pandangan dunia
dengan ciri-ciri dan batas-batas yang
pasti melainkan suatu penghayatan
yang terungkap dalam pelabagai
lapisan masyarakat dalam wujudwujud dan dengan nada yang
berbeda-beda. Clifford Geertz secara
provokatif menyebut pandangan dunia
Jawa sebagai agama Jawa yang
kemudian diterangkan sebagai agama
abangan, agama santri, dan agama
priyayi, menurut lapisan-lapisan dalam
masyarakat dibedakan atas empat
titik berat dalam Pandangan Dunia
Jawa.
Lingkaran Pertama, bersifat
ekstrovert: intinya adalah sikap yang
terbuka terhadap dunia luar yang
dialami sebagai kesatuan numinous
39
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
antara
pribadi-pribadi
sehingga
hubungan sosial tetap kelihatan
selaras dan baik.
Ada dua tuntunan kerukunan,
pertama, dalam pandangan jawa
masalahnya
bukan
penciptaan
keadaan
keselarasan
sosial,
melainkan
lebih
untuk
tidak
mengganggu
keselarasan
yang
diandaikan
sudah ada. Dalam
perspektif Jawa ketenangan dan
keselarasan
sosial
merupakan
keadaan normal yang akan terdapat
dengan sendirinya selama tidak
digangggu, seperti juga permukaan
laut dengan sendirinya halus kalau
tidak diganggu oleh angin atau badanbadan yang menentang arus. Kedua,
prinsip kerukunan pertama-tama
tidak menyangkut suatu sikap batin
atau
keadaan
jiwa,
melainkan
penjagaan
keselarasan
dalam
pergaulan. Ungkapan Jawa untuk
keadaan tenang dan tentram dalam
masyarakat demikian adalah
“tata
tentrem tata raharja”. Dengan kata lain
etika Jawa lebih berorientasi pada
etika sosial.
Berlaku rukun bagi Orang
jawa biasanya nampak dalam sikap
mawas diri, hati-hati dalam situasisituasi
dimana
kepentingankepentingan yang berlawanan saling
berhadapan. Misalnya dalam soal
permintaan atau tawaran itu tak boleh
langsung ditolak, biasanya jawaban
yang tepat adalah suatu inggih yang
sopan dan tidak pernah langsung kata
mboten. Sikap hati-hati ini terkadang
menimbulkan kesan tidak tegas dalam
kepribadian Jawa dan menampakkan
sifat pura-pura (ethok-ethok).
dan iman itu menyatakan diri dalam
rasa, dalam perasaan realitas. Rasa
adalah tolok ukur pragmatis terhadap
arti segala usaha mistik Jawa.
D. Aspek Aksiologi Etika Sosial
Jawa
Magnis
Suseno
dalam
pembahasan utama buku Etika Jawa
menyebutkan
adanya dua kaidah
yang
paling
menentukan
pola
pergaulan dalam masyarakat jawa,
yaitu: Menghindari konflik dan
hormat kepada orang lain sesuai
dengan derajat/kedudukannya. Kaidah
pertama mengatakan bahwa dalam
setiap situasi
manusia hendaknya
bersikap sedemikian rupa, sehingga
tidak menimbulkan konflik, kaidah ini
sering
disebut
dengan
prinsip
kerukunan. Kaidah kedua menuntut,
agar manusia dalam cara bicara dan
membawa diri selalu menunjukan
sikap hormat terhadap orang lain,
sesuai
dengan
derajat
dan
kedudukannya, dan ini sering disebut
dengan prinsip hormat. Kedua
prinsip ini merupakan kerangka
normatif yang menentukan bentukbentuk konkret semua interaksi.
Prinsip kerukunan bertujuan untuk
mempertahankan masyarakat dalam
keadaan yang harmonis, keadaan
semacam itu disebut rukun. Rukun
berarti
berada dalam keadaan
selaras, tenang dan tentram, tanpa
pertentangan
dan
perselisihan,
bersatu dalam maksud untuk saling
membantu. Kata rukun juga menunjuk
pada cara bertindak, berlaku rukun
berarti menghilangkan tanda-tanda
ketegangan dalam masyarakat atau
40
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
eling lan waspada, bahwasanya
hendaknya
seseorang
tidak
melupakan asalnya yaitu sebagai
ciptaan Tuhan dan oleh karena itu ia
harus senantiasa bersikap mawas diri
(waspada).
Jika
seseorang
bergantung pada Tuhan, ia harus
mengikuti bimbingan Tuhan dan
percaya kepada-Nya (mituhu).
Sifat
keutamaan
dalam
perspektif etika sosial Jawa antara
lain meliputi: kemampuan untuk
mengatakan hal-hal yang tidak enak
secara tidak langsung (tidak berlaku
kasar , tidak suka dengan hal-hal yang
bersifat demonstratif dan spontan).
Selain itu dalam interaksi antar
individu
yang
bersifat
pribadi,
diutamakan penjajagan emosional
melalui sikap ethok-ethok (pura-pura).
Dalam interaksi sosial diperlukan tata
krama pergaulan yang tidak suka
mencampuri urusan orang lain.
Orang
Jawa
dalam
kehidupannya mempunyai etika yang
tidak hanya merupakan aturan-aturan
saja, akan tetapi harus dijalankan
dalam tingkah laku sehari-hari. Bagi
mereka yang tepenting bukanlah
kebenaran dan prinsip pribadi yag
ditonjolkan akan tetapi seseorang
harus bertingkahlaku sesuai dengan
realitas. Inti kisah Dewa Ruci adalah
kebijaksanaan mistik Jawa yang
dihadapi (tempat keberadaannya).
Poin-poin etika orang jawa tersebut
diantaranya sebagai berikut:
Seorang Jawa yang memiliki
kematangan moral, maka senantiasa
ia akan memiliki sikap dan budi luhur
(yaitu watak-watak utama orang jawa),
diantaranya:1).
sabar
yaitu
mempunyai napas panjang dalam
kesadaran bahwa pada waktunya
nasib yang baik pun akan tiba. 2).
Nrimo dan ikhlas. Ikhlas adalah
bersedia
untuk
melepaskan
individualitas
sendiri
dan
mencocokkan
diri
kedalam
keselarasan agung alam semesta
sebagaimana yang sudah ditentukan.
Sikap nrimo dan ikhlas merupakan
sikap positif, yaitu sebagai tanda
penyerahan
kekuasaan,
yaitu
kemampuan
untuk
melepaskan
sesuatu secara ikhlas dari pada
membiarkan sesuatu direbut begitu
saja secara pasif. Jadi ketika orang
Jawa diam ia bukan kalah dan
menyerah akan tetapi ia ikhlas
terhadap apa yang telah lepas. 3).
Jujur (temen), dimana kejujuran ini
tumbuh didalam keberanian dan
ketentraman hatinya, 4). Prasaja
(bersedia untuk menganggap diri lebih
rendah dari pada orang lain (andhap
asor), seseorang harus tahu akan
batasan-batasannya dalam situasi
keseluruhan
dalam
lingkungan
keberadaannya (tepa seliro). Sikap-
1. Sikap batin yang tepat, antara
lain meliputi prinsip hidup :
slamet, yaitu ketentraman batin yang
tenang, karena tak ada gangguan
perasaan. Untuk mencapai sikap batin
yang tepat, seseorang sebelumnya
harus mampu menjadi hakekat dirinya
yaitu hakekat akan dirinya sebagai
ciptaan
Tuhan
dan
diri
yang
bergantung pada Yang Ilahi, sehingga
dalam
menyelesaikan
dan
menghadapai
kehidupan
yang
dialaminya, maka seseorang harus
41
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
maka eksistensi manusia dalam
pandangan masyarakat Jawa adalah
bagaimana
peranan
dan
kepribadiannya diakui oleh orang lain.
Hal ini menjadi dasar
yang
menentukan hakekat hidup seseorang.
Dengan kata lain, walaupun manusia
sama-sama
memiliki
kepribadian
(pikiran dan
perasaan), namun
sebaliknya jika peranannya bagi orang
lain tidak diakui, bahkan dikucilkan
atau di-personanongrata-kan karena
dianggap telah cacat secara moral
sosial /budaya, maka secara esensi,
manusia tersebut tak
dianggap
sebagaimana manusia yang wajar
pada umumnya.
sikap budi luhur ini erupakan lawan
dari sikap-sikap negatif yang dibenci
orang jawa, seperti: 1).
Dahwen/
open: sikap suka mencampuri urusan
orang lain, 2). drengki (budi yang
rendah), 3). keirian (srei), 4). suka
main intrik (jail), dan kekasaran
(methakil).
Bagi orang Jawa budi luhur
sangat penting, karena dengan budi
luhur seseorang dapat menentukan
bagaimana ia harus bersikap tepat
pada tempat yang tepat. Prinsip Jawa
adalah
bagaimana
sesuatu
itu
dilakukan atau dikatakan itulah yang
menentukan, seperti ungkapan “ngono
yo ngono nanging mbok ojo ngono”.
Orang yang berbudi luhur tidak hanya
bersikap baik terhadap orang baik
tetapi juga terhadap orang buruk.
Sikap baik terhadap semua orang
merupakan
cermin
kepribadian
seseorang
yang
memanusiakan
manusia, meskipun manusia tak luput
dari kekurangan dan sifat buruk (tidak
terpuji),
namun
tetap
sebagai
manusia.
2. Tindakan yang Tepat.
Dengan memiliki sikap batin
yang tepat, maka seseorang secara
tiadak langsung akan memiliki sikap
terhadap dunianya secara tepat.
Prinsip orang jawa adalah, bahwa
manusia tidak boleh terlarut dalam
nafsu-nafsu
dunia
yang
jika
terpengaruh maka akan mengikatnya,
sehingga ia dapat melaksanakan
pemenuhan
tugasnya
untuk
memelihara
masyarakat.
Sikap
pemenuhan tugas ini tercermin dalam
sikap rame ing gawe yaitu manusia
hendaknya memenuhi kewajibankewajibannya dalam dunia. Sikap
rame ing gawe ini memiliki hubungan
erat dengan sikap sepi ing pamrih, Hal
ini dikarenakan dalam pandangan
orang jawa dunia yang chaos ini akan
stabil jika individu dalam masyarakat
melepaskan pamrihnya. Jadi sikap ini
juga bermakna sikap aktif untuk
melepaskan pamrih demi keselarasan
Sikap hidup terhadap orang
lain dlam filsafat Jawa terdapat dalam
pepatah agar kita harus “nguwongke”
(memanusiakan
manusia).
Sikap
“nguwongke”
(memanusiakan
manusia)
adalah
sikap
yang
memandang
manusia
sebagai
makhluk yang berpribadi, bukan
sebagai benda mati. Manusia punya
perasaan dan pikiran, sehingga
keberadaannya
dalam
kehidupan
harus dihargai sebagai makhluk hidup
yang berpribadi sesuai dengan
fungsi/perannya. Dalam perspektif ini,
42
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
masyarakat.
Inti
kematangan
seseorang dalam pandangan Jawa
adalah ada pada rasa, jika dapat
memiliki rasa yang tepat, maka akan
memunculkan sikap yang tepat
terhadap kosmos.
sosial. Setiap individu hendaknya
memenuhi
kewajibannya
pada
tempatnya masing-masing.
3. Tempat yang tepat.
Orang
Jawa
memandang
penting bahwa seseorang harus pada
posisi atau tempat yang tepat, kosmos
adalah suatu keseluruhan teratur
dimana setiap unsur mempunyai
tempatnya yang tepat dan selama
unsur-unsur tersebut berada pada
tempatnya
maka
akan
tercipta
ketenangan dan dunia akan aman.
Secara aksiologis etika Jawa bersifat
relatif, tergantung pada tempat. Apa
yang
harus
dilakukan
individu
ditentukan dan harus sesuai dengan
tempatnya dalam masyarakat dan
bukan kehendak pribadi yang harus
dilaksanakan akan tetapi tuntuan dari
tempat keberadaannya yang harus
menjadi sikapnya.
5. Etika Wayang
Wayang, terutama wayang
kulit Purwa, adalah ungkapan filsafat
Jawa yang membawa pesan moral
dalam cerita tentang tokoh, dengan
identifikasi diri terhadap pribadi-pribadi
tokoh wayang yang berbagai macam
nasibnya, yang kesemuanya memiliki
permasalahan untuk dipertanyakan.
Tokoh-tokoh seperti Salya, kesatria
yang melalui istrinya, Setyawati, harus
membunuh
mertuanya
karena
raksasa; Wibisana yang membela
kebenaran dengan memihak kepada
musuh atau Kumbakarna yang tetap
mempertahankan
nasionalismenya;
Karna yang berhutang budi kepada
Duryudana hingga harus memerangi
adik-adiknya sendiri atau Sanjaya,
kesatria
yang
berprinsip
harus
memihak Pandawa yang benar,
termasuk para pandawa yang tidak
terbebas dari kesalahan-kesalahan.
Etika wayang mengajarkan bahwa
etika Jawa bukanlah etika dalam
prinsip-prinsip mutlak, ia tergantung
pada kemungkinan takdirnya. “nrima
ing pandum” merupakan kesimpulan
tentang sikap hidup masyarakat jawa
dalam memahami dan menerima
nasib. Sikap hidup seperti ini pada
hakekatnya sama dengan makna
keterlemparan
manusia
sebagai
faktisitas
manusia
dalam
eksistensialisme Heidegger.
4. Pengertian yang tepat
Jika
seseorang
masih
mengikuti nafsu dan pamrih berarti ia
belum mengerti tempat/ posisinya
dalam kosmos. Seseorang dikatakan
belum memiliki pengertian yang tepat,
maksudnya adalah belum membuka
diri dalam rasa. Segala sesuatu harus
dirasakan. Jadi orang Jawa harus
memiliki rasa yang halus yang
terwujud
dalam
sikap
menjaga
perasaan orang lain, melalui tutur
bahasa krama, tarian, seni, batik, dll.
Semakin halus seseorang, maka akan
semakin mendalam pengertiannya dan
makin luhur sikap moralnya, semakin
indah
penampakannya
dalam
43
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
E. Pengaruh Pandangan Kosmologi
Jawa
Terhadap Sikap Dan
Tradisi
berkhianat,
maupun
orang
lain/anggota keluarga
yang telah
berbuat salah, yaitu dalam sikap
“mudah
memaafkan”
(
dengan
pepatah “ sing uwis-uwis” ) = yang
sudah-sudah, maksudnya : yang lalu
biarlah berlalu, yang penting masa kini
dan masa yang akan datang.
Pengaruh positif sikap ini mengandung
nilai moral masyarakat yang selalu
berlapang dada terhadap kesalahan
orang lain untuk selalu memaafkan
kesalahan orang lain, sehingga tak
perlu ada dendam. Dalam bidang
politik sikap tersebut berpengaruh
negatif, karena berhubungan dengan
“budaya patuh” kepada pemimpin.
Dalam
konteks
dan
konsep
kemewaktuan,
sikap
mudah
memaafkan dapat melanggengkan
kekuasaan
pemimpin
yang
dhalim/berkhianat, begitu juga sikap
1
terhadap musuh. ) Walaupun di sisi
lain bangsa Indonesia harus belajar
dari sejarah masa lalu demi masa
depan. Kenyataannya hal tersebut
sering dilupakan, sehingga tidak ada/
lemah dalam kontrol sosial terhadap
dinamika politik. Hal ini pula yang
menjadi salah satu penyebab bagi
kolonialisme mampu bertahan lama
menanamkan kekuasaannya pada
masyarakat Jawa. Di bawah ini
sebuah kutipan yang menjelaskan
tentang pengaruh “budaya patuh “
masyarakat Jawa, sebagai corak
kepemimpinan Jawa, yaitu sebagai
berikut:
Politik Kemasyarakat Jawa.
Sikap hidup terhadap orang
lain masyarakat Jawa bercorak
kosmologi
eksistensialis.
Secara
ontologis,
eksistensialisme
lebih
menekankan hakekat realitas yang
bersifat “temporer” (mewaktu) dengan
memahami
makna
“Ada”
dan
“Berada”-nya manusia. Sedangkan
secara aksiologis, eksistensialisme
Heidegger
mengungkap
nilai
kepribadian manusia /nilai moral
manusia dalam kaca mata sosial
budaya sebagai “keterlemparan” atas
ada dan beradanya manusia.
Sikap politik kepemimpinan
Jawa
juga
bercorak
kosmologi
eksistensialis
sebagaimana
pandangan Heidegger dalam Being
and
Time
tentang
konsep
kemewaktuan, meskipun berbeda
secara ontologis dalam memandang
hubungan antara manusia dengan
benda-benda sekitarnya. Heidegger
lebih
menempatkan
eksistensi
manusia lebih tinggi di tengah-tengah
ada-nya benda dan alam sekitar.
Sedangkan
kosmologi
Jawa
menempatkannya dalam hubungan
yang selaras dan seimbang. Namun
dari segi konsep kemewaktuan,
terdapat
persamaan
pandangan
tentang masa lalu.
Masyarakat Jawa memandang
masa
lalu,
termasuk
terhadap
musuh/penjajah,
pemimpin
yang
1
) Komunitas Kembang Merak (Agus Rois dkk),
2009, Jawa , Setelah Tafsir Kebudayaan),
hlm. 47.
44
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
“ Indonesia tidak pernah
berpeluang mengembangkan
tradisi pemerintahan yang
bertanggungjawab. Ia gamang
dengan
pelaksanaan
kekuasaan berdasarkan politik
yang sejati. Ia hanya diajar
melihat pemerintahan sebagai
pengandal kekuasaan belaka
2
dan penindas oposisi” )
sikap politik pemimpin Jawa yang
mengangap lawan politik sekaligus
sebagai musuh hidup.
E. Kesimpulan
Dari
uraian
dalam
pembahasan tersebut, maka dapat
disimpulkan, bahwa prinsip/ kaidah
moral antara orang Jawa dipengaruhi
oleh pandangan kosmologi mereka.
Orang Jawa lebih menjaga agar tidak
terjadi
konflik,
meskipun
harus
berpura-pura
dan
menyimpan
perasaan
tidak
enak,
agar
ketentraman dalam hubungan sosial
tetap terjaga. Jika ditinjau secara kritis
terdapat segi positif, maupun negatif
dalam aspek aksiologis etika Jawa
bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Segi positif yang menonjol
adalah terciptanya stabilitas politik
pemerintah
dengan
tipe
kepemimpinan Jawa yang dilandasi
oleh
prinsip
harmoni,
namun
berdampak negatif terhadap kontrol
masyarakat atas kelemahan seorang
pemimpin.
Prinsip budaya patuh dalam
masyarakat
terhadap
pemimpin
dilandasi oleh pandangan kosmologi
metafisik,
yaitu
“keselarasan”/
keharmonisan (harmoni dengan alam).
Jika ditinjau secara kritis budaya patuh
yang membabi buta dapat berdampak
buruk bagi kehidupan politik, sebab
prinsip ini dalam konteks politik
cenderung melahirkan “status quo”
dalam
kepemimpinan,
sehingga
menghambat
kemajuan
dan
perkembangan. Namun dalam hal
tertentu ada kalanya terdapat sikap
yang berlawanan dengan sikap
memaafkan dalam hubungan sosial
yang
menimbulkan
permusuhan
seumur hidup, yaitu terkandung dalam
ungkapan: “dadi banyu ora nyiduk,
dadi godong orang nyuwek” (jadi air
tidak akan mengambil, jadi daun tidak
akan nyobek), maksudnya tidak akan
bertegur sapa dan menganggap
keberadaan orang yang dibenci
seumur hidup, karena dendam atas
kesalahan yang tak dimaafkan. Sikap
tersebut dikenal dalam masyarakat
Jawa yang disebut : jothakan. Sikap ini
terkadang masih mewarnai dalam
Demikianlah garis besar etika
Jawa yang menjadi prinsip dan
pandangan hidup masyarakat Jawa
yang mempengaruhi sikap mereka
dalam pergaulan sehari-hari dan
pengaruhnya
terhadap
tipe
kepemimpinan Jawa. Pemahaman
tentang hal tersebut sangat penting
dalam rangka menjaga hubungan
yang harmonis dalam pergaulan dan
kepemimpinan.
2
) Ibid , hlm.47. ( Pengarang mengambil dari “
Menjadi Indonesia”, Parakitri T. Simbolon).
45
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
Daftar Pustaka :
Agus Rois dkk.(2009), Jawa ,
(Setelah Tafsir Kebudayaan),
Komunitas Kembang Merak ,
Yogyakarta.
Budi Hardiman (2003), Heidegger dan
Mistik Keseharian (Suatu Pengantar
Menuju Sein und Zeit).
Hadiwijono (2005), Sari Sejarah
Filsafat Barat 2. Kanisius, Yogyakarta.
Magins Suseno SJ. Franz (2003).,
Etika Jawa (sebuah analisa falsafi
tentang
kebijaksanaan
Hidup),
terjemahan dan saduran buku yang
berjudul “Javanische Weischeit und
Ethik, terbitan R. Oldennbourg Verlag,
Munchen 1981.
Magins Suseno SJ. Franz (2005),
Etika Dasar, cetakan ke 17, Kanisius,
Yogyakarta.
Soetrisno (2004), “Wayang Sebagai
Ungkapan Filsafat Jawa”, Adita
Pressindoesti”, Yogyakarta.
46
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2010
Download