PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH

advertisement
PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA
BERBASIS MODAL SOSIAL
(Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, CiputatBanten)
NUR PUTRI AMANAH
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA
BERBASIS MODAL SOSIAL
(Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, CiputatBanten)
Oleh:
Nur Putri Amanah
I34053663
SKRIPSI
Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Abstract
Nur Putri Amanah. The Economic Empowerment of Household Work Group
Based on Social Capital. Supervised by Murdianto
Empowerment is an activity to make a powerless individual or group
becomes powerful. Empowerment is usually done by government, private, or
NGOs toward civil society, whom can not able to make themselves independent.
The process of empowerment is generally done by giving information and
knowledge, skills, as well as chances to implement those skills. However, that case
was not always occurring on the real life. The life of “Tahu-Tempe”craftsman
makers in Kedaung was one of the examples. They used their own social capital
as an apparatus to make their relatives powerful. This showed that civil society
was also able to execute the empowerment process to increase their independent
and prosperity.
Keywords: Empowerment, Social Capital, Prosperity
RINGKASAN
Nur Putri Amanah. Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga
Berbasis Modal Sosial. Dibimbing oleh Murdianto
Pelaksanaan kebijakan negara terkadang menyebabkan masyarakat bahkan
negara semakin bergantung dengan pihak lain, salah satunya adalah masyarakat
elit yang selalu menggantungkan hidupnya dengan produk luar negeri. Hal ini
mencerminkan masyarakat Indonesia yang tidak mandiri. Perekonomian nasional
Indonesia menjadi tidak tangguh dan tidak mandiri. Selain itu, usaha kecil dan
menengah di Indonesia masih kurang diperhatikan sehingga daya saing
internasional produk usaha kecil dan menengah tersebut masih lemah.
Keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian nasional merupakan hal yang
sangat penting. Hal ini dikarenakan, masyarakat (komunitas) memiliki modal
sosial yang dapat berfungsi sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat itu
sendiri sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya. Modal sosial yang
dimiliki masyarakat, seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong,
jaringan, kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan
ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab
terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi,
menguatnya keserasian masyarakat, dan menurunnya tingkat kekerasan dan
kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997 dalam Suharto, 2009). Modal sosial ini
juga dapat berfungsi sebagai pemicu pemberdayaan dalam suatu komunitas.
Modal sosial dikatakan sebagai pemicu pemberdayaan komunitas (dalam
penelitian ini kelompok usaha rumah tangga) karena dalam modal sosial terdapat
nilai-nilai gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial contohnya
pemberdayaan yang berlangsung diantara pengrajin tahu tempe di Kedaung.
Mereka menggunakan modal sosial yang mereka miliki untuk mengembangkan
usaha mereka. Hal ini juga dapat membuat anggota kelompok lain yang tidak
berdaya menjadi semakin berdaya. Selanjutnya pemberdayaan ini akan semakin
menguatkan modal sosial, karena anggota kelompok akan semakin tinggi rasa
kepercayaannya satu sama lain, dan merasa diri mereka merupakan suatu
kesatuan.
Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan bangunan modal sosial yang
dimiliki oleh kelompok usaha pengrajin tahu tempe yang masih bertahan sampai
saat ini yang berada di Kedaung, serta peran dari modal sosial tersebut dalam
proses pemberdayaan ekonomi kelompok. Selain itu peneliti juga mencoba untuk
mengetahui pengaruh proses pemberdayaan terhadap kesejahteraan. Penelitian ini
menggunakan metode wawancara mendalam dengan menggunakan panduan
pertanyaan. Panduan pertanyaan merupakan hal-hal yang akan diketahui sesuai
dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian. Hasil wawancara diolah
langsung dan diklasifikasikan agar lebih mudah mengetahui kecukupan data yang
diambil. Kemudian hasil tersebut disajikan dalam bentuk narasi, gambar, bagan,
dan grafik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial yang dimiliki oleh
pengrajin tahu tempe di Kedaung menjadi dasar bagi terlaksananya proses
pemberdayaan yang berlangsung diantara mereka. Norma kekeluargaan,
kebersamaan, toleransi dan kepercayaan menjadi pendorong bagi para pengrajin
untuk membuat saudara sekampungnya menjadi lebih berdaya dan mendapatkan
kehidupan yang lebih baik. Selain itu, norma-norma ini dapat memperluas
jaringan yang telah mereka miliki. Sehingga jaringan yang mereka miliki tidak
hanya terbatas pada komunitas pengrajin tahu tempe saja, akan tetapi juga dengan
pihak-pihak yang mendukung pengembangan usaha yang mereka miliki.
Proses pemberdayaan dimaksudkan untuk memberikan keterampilan
kepada orang-orang yang berasal dari daerah yang sama sebagai sasaran utama
sehingga terjadi peningkatan ekonomi. Dengan kata lain, mereka ikut membantu
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, mereka
menggunakan kemampuan dan modal yang mereka miliki sendiri untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan dirinya dan saudara sekampungnya.
Proses pemberdayaan ini memang memberikan hasil yang cukup
memuaskan. Para pengrajin yang terlibat langsung dalam proses pemberdayaan
mengalami peningkatan kesejahteraan. Mereka merasa bahwa keterampilan yang
mereka dapatkan merupakan keterampilan yang dapat memberikan keuntungan
bagi mereka. Hidup mereka lebih berkecukupan, mereka dapat membiayai
pendidikan bagi anak-anaknya, dapat memiliki rumah sendiri, dan dapat
membiayai keluarganya yang berada di daerah asal mereka. Semua ini membuat
mereka lebih merasa nyaman, aman, tenteram, bahagia, puas, merasa diterima,
dan diakui dalam komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mereka
mengalami peningkatan kesejahteraan baik kesejahteraan materi ataupun
kesejahteraan non-materi.
SKRIPSI
Judul
:
Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah
Tangga Berbasis Modal Sosial
Nama Mahasiswa
:
Nur Putri Amanah
NRP
:
I34053663
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Murdianto, MSi
NIP. 19630729 1992 031 001
Diketahui,
Ketua Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS
NIP. 19580827198303 1 001
Tanggal Lulus: __________________
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN
BERJUDUL
INI
SAYA
MENYATAKAN
“PEMBERDAYAAN
BAHWA
SKRIPSI
EKONOMI KELOMPOK
YANG
USAHA
RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL” BENAR-BENAR
MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI
MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI.
TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS
ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK MANAPUN KECUALI SEBAGAI
BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH SAYA.
DEMIKIAN
PERNYATAAN
SESUNGGUHNYA
DAN
SAYA
INI
SAYA
BERSEDIA
BUAT
DENGAN
MEMPERTANGGUNG
JAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Agustus 2009
Nur Putri Amanah
I34053663
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang, 30 Maret 1987. Penulis adalah anak
kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan suami isteri Faried Hidayat dan
Maryamah. Pada tingkat dasar, penulis bersekolah di SDN Ciputat IX.
Selanjutnya melanjutkan pendidikan ke SLTPN 85 Jakarta. Kemudian
melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 25 Pamulang.
Penulis memiliki hobi bermain musik dan membaca komik. Penulis aktif
di ekstrakurikuler paskibra pada saat SLTP dan aktif di Ikatan Remaja
Muhammadiyah pada saat SMA.
Setelah lulus dari SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, penulis
melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB.
Penulis mengambil Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada Fakultas Ekologi Manusia. Selama berada di IPB penulis aktif mengikuti
berbagai keorganisasian ataupun kepanitiaan seperti Himasiera sebagai sekretaris
I, Commnex 2008, Promosi KPM, Masa Pekenalan Departemen, dan Malam
Keakraban KPM. Penulis juga sempat mengikuti Training Basic Participatory
yang diselenggarakan oleh Corporate Forum Community Development (CFCD)
ketika Kuliah Kerja Profesi.
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal
Sosial”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dosen pembimbing yaitu Bapak Ir. Murdianto, MSi atas masukan, arahan
dan bimbingannya.
2. Anton Supriadi dan Cici Wardini, atas masukan dan kritik sehingga skripsi
ini dapat tersusun dengan lebih baik.
3. Agus Gumilar dan juga kepada seluruh keluarga atas segala doa dan
dukungannya, teman-teman atas bantuannya, dan pihak-pihak lain yang
telah membantu proses penyelesaian skripsi ini.
Penulis sadar bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat disusun secara
sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca senantiasa
Penulis harapkan, semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Agustus 2009
Nur Putri Amanah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………….
DAFTAR ISI …………………………..………………………………......
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
i
ii
iv
v
vi
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………….
1.1 Latar Belakang ………………………………………………..
1.2 Perumusan Masalah …………………………………………..
1.3 Pertanyaan Penelitian …………………………………………
1.4 Tujuan Penelitian ……………………………………………..
1.5 Kegunaan Penelitian ………………………………………….
1
1
3
3
4
4
BAB II. PENDEKATAN TEORITIS …………………………………..
2.1 Tinjauan Pustaka …………………………………………….
2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat ……………………………
2.1.1.1 Konsep Pemberdayaan ………………………..
2.1.1.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat …………..
2.1.1.3 Praktek Pemberdayaan Masyarakat …………..
2.1.2 Pemberdayaan Ekonomi Rakyat ………………………
2.1.3 Modal Sosial …………………………………………..
2.1.4 Kelompok Usaha Rumah Tangga ……………………..
2.1.5 Kesejahteraan ………………………………………….
2.2 Kerangka Pemikiran …………………………………………
2.2.1 Deskripsi dan Bagan Alur Berpikir ……………………
2.2.2 Hipotesis Pengarah …………………………………….
2.2.3 Definisi Konseptual ……………………………………
5
5
5
5
7
7
10
16
21
24
32
32
33
34
BAB III. PENDEKATAN LAPANGAN ……………………………….
3.1 Metode Penelitian ………………………………………….
3.2 Lokasi Penelitian …………………………………………...
3.3 Waktu Penelitian …………………………………………...
3.4 Penentuan Unit Analisis, Informan, dan Responden ………
3.4.1 Penentuan Unit Analisis ……………………………...
3.4.2 Penentuan Informan ………………………………….
3.4.3 Penentuan Responden ………………………………..
3.5 Metode Pengumpulan Data ………………………………...
3.6 Metode Analisis Data ………………………………………
36
36
37
37
37
37
38
38
38
39
BAB IV. PROFIL PAGUYUBAN ………………………........................
4.1 Sejarah Desa …………………………………………..........
4.2 Sejarah Paguyuban………………………………….............
4.2.1 Gambaran Umum …………………………………….
40
40
40
42
4.2.1 Visi dan Misi …………………………………………
4.2.3 Anggota ………………………………………………
4.2.4 Kegiatan ……………………………………………...
4.2.4.1 Bidang Sosial ………………………………..
4.2.4.2 Bidang Keagamaan ………………………….
4.2.4.3 Bidang Usaha ………………………………..
4.2.5 Manfaat ………………………………………………
BAB V. BANGUNAN MODAL SOSIAL ……………………………
42
43
43
44
44
45
45
46
BAB VI. MODAL SOSIAL, PENGEMBANGAN USAHA, DAN
KESEJAHTERAAN PENGRAJIN TAHU TEMPE ……... 65
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
…………………………… 84
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Perbandingan Modal Institusional dan Modal Relasional ..... 18
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Gambar 1.
Hal.
Skema Daur Hidup Pengembangan SDM dalam 14
Kelembagaan Kelompok Orang Miskin ................................
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Gambar 15.
Gambar 16.
Gambar 17.
Gambar 18.
Gambar 19.
Gambar 20.
Skema Daur Hidup Pengembangan Usaha Produktif dalam
Kelembagaan Kelompok Orang Miskin ……………………
Skema Daur Hidup Kelembagaan Kelompok Orang
Miskin ....................................................................................
Skema Pengklasifikasian Paduan Modal Institusional dan
Modal Relasional ...................................................................
Hierarki Kebutuhan Maslow .................................................
Bagan Kerangka Analisis …………………………………..
Bagan Jejaring Pak Maman Sebagai Pengrajin Tahu Lama..
Bagan Jejaring Pak Atang Sebagai Pengrajin Tahu Baru…..
Bagan Jejaring Pak Cariban Sebagai Pengrajin Tempe
Terlama di Kedaung ………………………………………..
Bagan Jejaring Mba Iis Sebagai Pengrajin Tempe Yang
Paling Baru di Kedaung ……………………………………
Bagan Jejaring Pak Daryono Sebagai Ketua Paguyuban …..
Bagan Jejaring Pengrajin Tahu Tempe …………………….
Bagan Proses Pemberdayaan Pengrajin Tahu Tempe ……...
Grafik Kesejahteraan Pak Cariban …………………………
Grafik Kesejahteraan Mbak Iis …………………………….
Grafik Kesejahteraan Pak Daryono ………………………...
Grafik Kesejahteraan Pak Maman ………………………….
Grafik Kesejahteraan Pak Atang …………………………...
Hierarki Kebutuhan Bapak Cariban, Pak Maman, dan Pak
Daryono ……………………………………………………
Hierarki Kebutuhan Bapak Atang dan Mbak Iis …………..
14
15
19
29
33
54
55
61
62
63
64
71
76
77
78
79
80
82
83
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Rencana Penyelesaian Skripsi …………………………....86
Lampiran 2. Matriks Metodologi Pengumpulan Data ………………………...87
Lampiran 3. Panduan Pertanyaan …………………………………………… 89
Lampiran 4. Dokumentasi ………………………………………………….... 91
Lampiran 5. Catatan Harian …………………………………………………...92
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pelaksanaan kebijakan negara terkadang menyebabkan masyarakat
bahkan negara semakin bergantung dengan pihak lain, salah satunya adalah
masyarakat perkotaan, misalnya Jakarta. Masyarakat Jakarta identik dengan
sifat yang konsumtif dan selalu membangga-bangakan produksi luar negeri.
Padahal di sisi lain di Jakarta terdapat komunitas-komunitas yang
memproduksi barang-barang kebutuhan masyarakat
Jakarta
tersebut,
misalnya komunitas pengrajin tahu tempe di Kedaung. Namun hal ini
terabaikan. Hal ini tidak dapat dihindari karena sifat masyarakat Indonesia
yang konsumtif. Hal ini juga yang membuat masyarakat Indonesia tidak
mandiri dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Perekonomian nasional
Indonesia menjadi tidak tangguh dan tidak mandiri. Selain itu, usaha kecil
dan menengah di Indonesia kurang diperhatikan sehingga daya saing produk
usaha kecil dan menengah di kancah internasional tersebut masih lemah. Pada
tahun 1994, nilai ekspor industri kecil (rumah tangga) dan menengah nasional
baru mencapai 11,1 persen dari total ekspor industri pengolahan di luar migas
atau 6,2 persen dari seluruh nilai ekspor. Berarti, ekspor kita sebagian
terbesar dilakukan oleh usaha besar (Kartasasmita, 1996). Daya saing
internasional produk usaha kecil dan menengah masih lemah. Padahal seperti
yang kita ketahui, usaha-usaha kecil inilah yang dapat berfungsi sebagai
pondasi bagi perekonomian nasional. Apabila usaha kecil (rumah tangga) ini
diperkuat maka perekonomian nasional akan semakin kuat.
Menurut Kartasasmita (1996) ekonomi nasional yang tangguh dan
mandiri hanya dapat terwujud apabila pelaku-pelakunya tangguh dan mandiri,
dan seluruh partisipasi masyarakat dikerahkan, yang berarti partisipasi
masyarakat yang seluas-luasnya. Masyarakat diikutsertakan dalam berbagai
aspek dengan tujuan melancarkan pembangunan serta pemerataan hasil
pembangunan tersebut. Keikutsertaan masyarakat diharapkan mampu
membuat masyarakat dapat memandirikan diri mereka sendiri.
Keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian nasional merupakan
hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan, masyarakat (komunitas)
memiliki modal sosial yang dapat berfungsi sebagai penguat komunitas itu
sendiri. Modal sosial yang dimiliki masyarakat, seperti kepercayaan,
kohesifitas, altruism, gotong royong, jaringan, kolaborasi sosial memiliki
pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam
mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan
publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya
keserasian masyarakat, dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan
(Blakeley dan Suggate, 1997 dalam Suharto, 2009). Modal sosial ini juga
dapat berfungsi sebagai pemicu pemberdayaan dalam suatu komunitas. Modal
sosial dikatakan sebagai pemicu pemberdayaan komunitas (dalam penelitian
ini kelompok usaha rumah tangga) karena dalam modal sosial terdapat nilainilai gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial. Hal ini dapat membuat
anggota kelompok lain yang tidak berdaya menjadi semakin berdaya.
Selanjutnya pemberdayaan ini akan semakin menguatkan modal sosial,
karena anggota kelompok akan semakin tinggi rasa kepercayaannya satu
sama lain, dan merasa diri mereka merupakan suatu kesatuan.
Peneliti bermaksud meneliti hal-hal yang terkait di atas pada salah satu
kelompok usaha rumah tangga yang masih bertahan sampai saat ini, yaitu
usaha pembuatan tahu tempe yang berada di Desa Kedaung, Ciputat. Peneliti
bermaksud untuk mengetahui konstruksi modal sosial kelompok usaha
pengrajin tahu tempe, serta peran dari modal sosial tersebut dalam proses
pemberdayaan ekonomi kelompok. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui
pengaruh proses pemberdayaan terhadap kesejahteraan.
1.2
Perumusan Masalah
Pertanyaan penelitian yang diajukan antara lain:
1. Bagaimana bangunan modal sosial kelompok usaha pengrajin tahu tempe
di Kedaung, Ciputat?
2. Bagaimana peran modal sosial dalam proses pemberdayaan ekonomi
kelompok usaha rumah tangga pengrajin tahu tempe di Kedaung, Ciputat
dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menjelaskan bangunan modal sosial kelompok usaha pengrajin tahu
tempe di Desa Kedaung, Ciputat.
2. Menjelaskan peran modal sosial dalam proses pemberdayaan ekonomi
kelompok usaha rumah tangga pengrajin tahu tempe di Kedaung, Ciputat
dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan.
1.4
Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti : dapat menambah wawasan mengenai pemberdayaan
ekonomi rakyat yang dilihat dari sisi lain yaitu modal sosial melalui
usaha rumah tangga serta korelasinya dengan kesejahteraan. Selain itu,
dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi praktek pemberdayaan.
2. Bagi akademisi: dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan pemberdayaan.
3. Bagi pemerintah: dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pembuatan kebijakan yang lebih valid tentang pemberdayaan
masyarakat.
4. Bagi masyarakat: dapat dijadikan sebagai bahan acuan yang berguna
untuk menambah wawasan mengenai pemberdayaan.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat
2.1.1.1 Konsep Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif
baru dalam pembangunan masyarakat (Hikmat, 2006). Pembangunan tidak
lagi berpusat pada pemerintah tetapi juga dilakukan oleh masyarakat itu
sendiri. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah seringkali terhambat
oleh karena pemerintah tidak mengetahui untuk siapa, apa pendekatan yang
sesuai, dan bagaimana caranya program pembangunan tersebut dilaksanakan.
Program pembangunan yang terpusat pada pemerintah seringkali mencapai
tujuannya secara makro namun pada hakikatnya komunitas yang berada di
tingkat mikro tidak mendapat pengaruh ataupun tidak dijangkau oleh
pembangunan tersebut.
Sosiologi struktural fungsionalis Parson menyatakan bahwa konsep
power dalam masyarakat adalah variabel jumlah. Power masyarakat adalah
kekuatan masyarakat secara keseluruhan yang disebut sebagai tujuan kolektif.
Misalnya, masyarakat diberdayakan berdasarkan kebutuhan yang mereka
rasakan. Weber dalam Hikmat (2006) mendefinisikan power sebagai
kemampuan seseorang atau individu atau kelompok untuk mewujudkan
keinginannya. Pada akhirnya kekuatan (power) adalah kemampuan untuk
mendapatkan atau mewujudkan tujuan (Hikmat, 2006).
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan.
Mandiri berarti masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya (baik secara
individu ataupun kolektif) melalui usaha yang dilakukan dan tidak bergantung
pada yang lain. Jaringan kerja merupakan kerangka kerjasama yang dilakukan
oleh stakeholder yaitu pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat sehingga
pembangunan tidak merugikan pihak manapun dan dapat memberikan hasil
yang merata yang merupakan konsep keadilan (kesejahteraan yang merata).
Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan semua pihak yang berkaitan
termasuk masyarakat itu sendiri. Masyarakat diberi kesempatan untuk ikut
merencanakan, melaksanakan, dan menilai.
Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai fokus
isu sentral pembangunan sementara itu strategi pemberdayaan meletakkan
partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi, dan sikap
kemandirian (Hikmat, 2006). Partisipasi masyarakat merupakan potensi yang
dapat digunakan untuk melancarkan pembangunan. Prinsip pembangunan
yang partisipatif menegaskan bahwa rakyat harus menjadi pelaku utama dalam
pembangunan dengan kata lain pembangunan tersebut bersifat bottom up (dari
bawah ke atas). Pemerintah tidak lagi berperan sebagai penyelenggara akan
tetapi telah bergeser menjadi fasilitator, mediator, koordinator, pendidik,
ataupun mobilisator. Adapun peran dari organisasi lokal, organisasi sosial,
LSM, dan kelompok masyarakat lebih dipacu sebagai agen pelaksana
perubahan dan pelaksana program.
2.1.1.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Ada tiga strategi utama pemberdayaan dalam praktek perubahan sosial,
yaitu tradisional, direct action (aksi langsung), dan transformasi (Hanna dan
Robinson, 1994 dalam Hikmat, 2006).
1. Strategi
tradisional
menyarankan
agar
mengetahui
dan
memilih
kepentingan terbaik secara bebas dalam berbagai keadaan. Dengan kata lain
semua pihak bebas menentukan kepentingan bagi kehidupan mereka sendiri
dan tidak ada pihak lain yang mengganggu kebebasan setiap pihak.
2. Strategi direct-action membutuhkan dominasi kepentingan yang dihormati
oleh semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut perubahan yang
mungkin terjadi. Pada strategi ini, ada pihak yang sangat berpengaruh dalam
membuat keputusan.
3. Strategi transformatif menunjukkan bahwa pendidikan massa dalam jangka
panjang dibutuhkan sebelum pengindentifikasian kepentingan diri sendiri.
2.1.1.3 Praktek Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui konsientisasi.
Proses konsientisasi diartikan sebagai proses pemberdayaan kolektif untuk
menentang pemegang kekuasaan melalui kesadaran berpolitik. Konsientisasi
merupakan proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan
hubungan-hubungan politis, ekonomi, dan sosial. Masyarakat dibangkitkan
pemahamannya akan kekuatan yang sebenarnya mereka miliki. Masyarakat
tidak hanya sebagai penerima program sementara mereka tidak mengetahui
tujuan dari program tersebut. Masyarakat juga dapat berperan sebagai
pembuat keputusan sendiri. Dengan cara ini orang akan mampu mengambil
tindakan sendiri untuk menentang unsur opresif dari realitasnya, termasuk
didalamnya pemecahan (pematahan) hubungan antara subjek dan objek untuk
kemudian membentuk esensi partisipasi yang sungguh-sungguh.
Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses
pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan
sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar
individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Masyarakat yang tidak
berdaya diberi ilmu pengetahuan, kesempatan bertindak, sehingga mereka
merasa mampu dan merasa pantas untuk dilibatkan. Kedua, menekankan pada
proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog. Kedua kecenderungan ini saling terkait
kadangkala keduanya bertukar posisi dalam prosesnya (Pranarka dan
Vidhyandika, 1996 dalam Hikmat, 2006).
Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007) pemberdayaan merupakan
sebuah proses sehingga mencakup tahapan-tahapan tertentu, yaitu penyadaran,
capacity building, dan pendayaan. Tahap penyadaran merupakan tahap
dimana target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk
pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mencapai
“sesuatu”. Misalnya pemberian pengetahuan yang bersifat kognisi, belief, dan
healing. Intinya target dibuat mengerti bahwa mereka perlu berdaya yang
dimulai dari dalam diri mereka sendiri.
Tahap
kedua
yaitu
“capacity
building”
atau
pengkapasitasan,
memampukan atau enabling. Target harus mempunyai kemampuan terlebih
dahulu sebelum mereka diberikan daya atau kuasa. Proses capacity building
terdiri atas tiga jenis, yaitu manusia, organisasi, dan sistem nilai.
Pengkapasitasan manusia misalnya training (pelatihan), workshop (loka latih),
dan
seminar.
Pengkapasitasan
organisasi
dilakukan
dalam
bentuk
restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut.
Namun pengkapasitasan organisasi ini jarang dilakukan karena ada anggapan
apabila pengkapasitasan manusia sudah dilakukan maka pengkapasitasan
organisasi akan berlaku dengan sendirinya. Jenis yang ketiga adalah
pengkapasitasan sistem nilai. Sistem nilai adalah “aturan main”. Dalam
cakupan organisasi sistem nilai berkenaan dengan Anggaran Dasar atau
Anggaran Rumah Tangga, atau sistem dan prosedur. Pada tingkat yang lebih
maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya organisasi, etika, dan good
governance. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target
dan membuatkan “aturan main”. Pengkapasitasan ini jarang dilakukan juga
karena sama dengan pengkapasitasan organisasi ada stereotype bahwa
pengkapasitasan
ini
dapat
terbentuk
dengan
sendirinya
setelah
pengkapasitasan manusia.
Tahap yang terakhir adalah pemberian daya atau “empowerment” dalam
makna sempit. Target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang sesuai
dengan kapasitas kecakapan yang telah dimiliki.
2.1.2 Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Sumodingrat
(1999)
menyatakan
bahwa
perekonomian
rakyat
merupakan padanan istilah ekonomi rakyat yang berarti perekonomian yang
diselenggarakan oleh rakyat. Perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat
merupakan usaha ekonomi yang menjadi sumber penghasilan keluarga.
Ekonomi rakyat berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Ekonomi rakyat
merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat itu sendiri dengan
menggunakan sumber daya yang mereka miliki dan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu pangan, sandang, dan papan. Sedangkan
ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan
rakyat.
Konsep ekonomi rakyat ini tidak membedakan antara ’rakyat’ dengan
’bukan rakyat’ karena akan menimbulkan asumsi tentang ’elite’. Istilah rakyat
dalam konsep ini berarti warga negara Indonesia secara menyeluruh yang
berperan dalam pembangunan dengan kesempatan dan peluang yang sama.
Menurut Mubyarto (1994) dalam Sumodiningrat (1999) istilah ekonomi
rakyat dapat diartikan ekonomi usaha kecil sebagai upaya pemihakan. Upaya
pemihakan disini dimaksudkan agar pembangunan dapat memberikan
kesejahteraan yang adil dan merata. Tidak hanya kelompok-kelompok tertentu
yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan, akan tetapi seluruh warga
negara yang mempunyai peran dapat juga menikmati hasil pembangunan.
Sedangkan Krisnamurthi (2002) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi rakyat banyak dan pengertian dari
ekonomi rakyat (banyak) adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang
banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi
oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang
disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga rakyat Indonesia.
Keith (1973) dalam Ismawan (2002) menyatakan penggolongan
kegiatan ekonomi rakyat, yaitu:
a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder: pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan (semua dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten), pengrajin
kecil, penjahit, produsen makanan kecil, dan semacamnya.
b) Kegiatan-kegiatan tersier: transportasi (dalam berbagai bentuk), kegiatan
sewa menyewa baik perumahan, tanah, maupun alat produksi.
c) Kegiatan-kegiatan distribusi: pedagang pasar, pedagang kelontong,
pedagang kaki lima, penyalur dan agen, serta usaha sejenisnya.
d) Kegiatan-kegiatan jasa lain: pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur,
montir, tukang sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya.
Ekonomi rakyat juga memiliki karakteristik meskipun sebenarnya
karakteristik ekonomi rakyat sangat beragam dan tergantung dari jenis
kegiatannya. Namun Ismawan (2002) menyebutkan bahwa ekonomi rakyat
memiliki lima karakteristik, yaitu:
1.
Informalitas, sebagian besar ekonomi rakyat melakukan kegiatannya di
luar kerangka legal dan pengaturan yang ada. Hal ini disebabkan dengan
rendahnya efektivitas kebijakan pemerintah sehingga ekonomi rakyat mampu
berkembang.
2.
Mobilitas, karakteristik ini merupakan dampak dari informalitas,
Informalitas
membawa
konsekuensi
tidak
adanya
jaminan
bagi
keberlangsungan aktivitas ekonomi rakyat. Sehingga ekonomi rakyat dapat
dengan mudah dimasuki dan ditinggalkan.
3.
Beberapa pekerjaan dilakukan oleh satu keluarga, aktivitas ekonomi
rakyat dilakukan oleh lebih dari satu pelaku yang berasal dari satu keluarga.
Hal ini disebabkan karena ketidakamanan dan keberlanjutan yang sulit
diramalkan dalam ekonomi rakyat. Apabila tidak terjadi sesuatu maka
akumulasi keuntungan pendapatan dari beberapa aktifitas ekonomi sangat
mereka butuhkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar.
4.
Kemandirian, karena kesalahan persepsi yang menganggap bahwa
ekonomi rakyat merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki resiko yang
tinggi sehingga berbagai pihak baik sengaja taupun tidak membatasi interaksi
dengan sektor ekonomi rakyat.
5.
Hubungan dengan sektor formal. Meskipun ekonomi rakyat identik
dengan informalitas, namun pada kenyataannya ekonomi rakyat berhubungan
dengan sektor formal. Contohnya saja, warung tegal menyediakan makanan
murah untuk karyawan perusahaan atau pabrik, penggunaan penjual koran
eceran oleh perusahaan penerbitan.
Pemberdayaan ekonomi rakyat dapat dilakukan dengan menggunakan
strategi yang berpusat pada upaya mendorong perubahan struktural yang
memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian
nasional. Perubahan struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi
tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dan
dari
ketergantungan
ke
kemandirian
(Kartasasmita,
1995
dalam
Sumodiningrat, 1999). Sehingga ekonomi rakyat dapat menjadi ekonomi yang
kuat, besar, dan modern, dan berdaya saing tinggi.
Praktek pemberdayaannya dapat dibedakan menjadi dua menurut
sasarannya (Sumodiningrat, 1999). Pertama, pemberdayaan masyarakat
modern yang telah maju lebih diarahkan pada penciptaan iklim yang
menunjang dan peluang untuk tetap maju, sekaligus pada penanaman
pengertian bahwa suatu saat mereka wajib membantu yang lemah. Kedua,
pemberdayaan masyarakat yang masih tertinggal tidak cukup hanya dengan
meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan usaha yang sama , dan
memberikan suntikan modal, tetapi juga dengan menjamin adanya kerja sama
dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dan yang lemah atau belum
berkembang. Pemberdayaan masyarakat perlu dilaksanakan dengan prinsipprinsip kemitraan yang saling menguntungkan.
Di aras masyarakat akar rumput (masyarakat miskin) pendekatan
masyarakat dapat dirangkum menjadi tiga daur hidup, yang disebut Tridaya1,
yaitu:
1.
Dasar hidup pengembangan sumber daya manusia dalam kelembagaan
kelompok orang miskin meliputi: proses penyadaran kritis dan pengembangan
kepemimpinan bersama atau kolektif, dilanjutkan dengan mengembangkan
perilaku wira usaha sosial agar mampu mengelola usaha bersama atau mikro.
1
Gugus Tugas II Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat. 2004. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta
Penyadaran
Diri
Kepemimpinan
Bersama
KLP
Usaha
Bersama
Mikro
Perilaku
Wirausaha
Sosial
Gambar 1. Skema Daur Hidup Pengembangan SDM dalam Kelembagaan
Kelompok Orang Miskin
2.
Daur hidup pengembangan usaha produktif dalam kelembagaan
kelompok orang miskin meliputi: pengaturan ekonomi rumah tangga (ERT)
agar mampu menabung bersama dalam kelompok yang akan digunakan untuk
modal usaha mersama dalam kegiatan usaha produktif.
Pengaturan
ERT
Menabung
Bersama
KLP
Usaha
Produktif
Modal
Bersama
Gambar 2. Skema Daur Hidup Pengembangan Usaha Produktif dalam
Kelembagaan Kelompok Orang Miskin
3.
Daur hidup kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: pengelolaan
organisasi yang akuntabilitas, kepemimpinan yang partisipatif, pengelolaan
keuangan yang transparan, dan pengembangan jejaring yang luas.
Pengelolaan
Organisasi
Kepemimpinan
Partisipatif
KLP
Pengembangan
Jaringan
Pengelolaan
Keuangan
Gambar 3. Skema Daur Hidup Kelembagaan Kelompok Orang Miskin
Kemudian
Sumodiningrat
(1999)
juga
merumuskan
indikator
keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program-program
pemberdayaan masyarakat ini, antara lain: (1) berkurangnya jumlah penduduk
miskin; (2)berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan
oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia; (3)
meningkatnya
kesejahteraan
kepedulian
masyarakat
keluarga miskin
di
terhadap
lingkungannya;
upaya
(4)
peningkatan
meningkatnya
kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha
produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok,
makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta makin luasnya interaksi
kelompok dengan kelompok lain di dalam masyarakat; serta (5) meningkatnya
kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh
peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan
pokok dan kebutuhan sosial dasarnya.
2.1.3 Modal Sosial
Putnam (1993) dalam Suharto (2009) mengartikan modal sosial sebagai
penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan kepercayaan yang
memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama.
Menurut Fukuyama (1995) dalam Suharto (2009), modal sosial adalah
kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas.
Definisi keduanya memiliki kaitan yang erat terutama menyangkut konsep
kepercayaan (trust). Selanjutnya Suharto (2009) mengartikan modal sosial
sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orangorang dalam suatu komunitas. Namun, pengukuran modal sosial jarang
melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan, hasil dari
interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar
warga masyarakat.
Modal sosial bukan merupakan entitas tunggal, Khrisna (2000)
menyatakannya sebagai aset sosial yang menghasilkan aliran manfaat. Aset
terdiri dari persediaan (stock) modal sosial, sedangkan manfaat sebagai aliran
(flow). Sementara itu, penelitian Wade (1994) dalam Khrisna (2000)
menunjukkan sebaliknya. Wade melihat bahwa sebuah masyarakat dapat
membawa persediaan modal sosial mereka untuk mengefektifkan atau tidak
mengefektifkan tugas mereka. Efisiensi penggunaan akan lebih tinggi ketika
tujuan sosial terdefinisi dengan baik dan secara obyektif disetujui. Modal
sosial akan efektif menarik anggota kelompok kepada tugas ketika orangorang dalam kelompok memiliki pandangan yang sama tentang dasar atau
kepentingan tugas bersama.
Modal
sosial
dibangun
berdasarkan
kesalingpercayaan
untuk
menghasilkan hasil positif bagi semua pihak. Prasangka budaya atau kognitif
tidak membatasi harapan yang menuntun untuk percaya. Akan tetapi
kesempatan institusional yang tersedia, cerminan masa lalu atau kondisi
struktural yang berlaku, bertindak sebagai batasan seberapa jauh seseorang
dapat meluaskan jangkauan kepercayaannya.
Khrisna (2000) menyatakan bahwa sebuah tindakan sosial yang sama
dapat dilakukan dengan dua kekuatan pendorong yang berbeda (lihat Tabel
1). Pertama, bersifat institusional, misalnya dorongan oleh peran pemimpin
yang diakui dalam komunitas tersebut untuk melakukan sutu tindakan
kolektif. Kekuatan pendorong
ini kemudian disebut modal institusional.
Modal institusional bersifat terstrukur. Peraturan dan tata cara yang ada untuk
membimbing perilaku individu, diatur oleh peran seseorang yang diakui
dengan baik. Kedua, bersifat relasional, misalnya karena dorongan norma dan
kepercayaan yang ada dalam komunitas yang mampu mendorong komunitas
untuk secara spontan melakukan tindakan sosial. Kekuatan pendorong ini
disebut modal relasional. Modal relasional lebih tidak berbentuk dan juga
lebih menyebar. Modal institusional dan rasional tidak mungkin ditemukan
secara empiris dalam bentuk murni mereka, kemungkinan besar merupakan
perwujudan campuran. Keduanya dibutuhkan untuk menopang modal sosial
(lihat Gambar 4).
Tabel 1. Perbandingan Modal Institusional dan Modal Relasional
Modal Institusional
Dasar
tindakan Transaksi
Modal Relasional
Hubungan/relasi
kolektif
Sumber motivasi
•Peran
•Kepercayaan
•Peraturan dan tatacara
•Nilai-nilai
•Sanksi
•Ideologi
Sifat motivasi
Perilaku maksimalisasi
Perilaku kepatutan
Contoh
Pasar, kerangka legal
Kekeluargaan,
keagamaan
etnis,
Modal Relasional
kuat
kuat
Modal
Institusional
lemah
lemah
(1)
(2)
Modal Sosial Tinggi
Organisasi kuat
Tugas:perluasan
Tugas:
jaringan aktivitas
intensifikasi
(3)
(4)
Asosiasi tradisional
Anomik, atomistik,
Tugas: mengenalkan
legitimasi,
amoral
peran, prosedur, dan
Tugas:Membantu
kemampuan
pengembangan struktur dan
norma
Gambar 4.
Skema Pengklasifikasian Paduan Modal Institusional dan Modal
Relasional
Kolom (1) menunjukkan keadaan yang paling menjanjikan, sementara
kolom (4) yang paling kecil harapannya, tetapi kedua kolom tersebut yang
paling merepresentasikan tipe ideal. Maksudnya, modal institusional dan
modal relasional dapat membentuk modal sosial yang tinggi atau tidak sama
sekali. Tugas yang dimaksudkan di dalam kolom ini merupakan suatu
kegiatan yang dapat dilakukan pada suatu kondisi dan merupakan tugas yang
dilakukan untuk menguatkan yang lemah. Misalnya pada kolom (2), kondisi
dimana modal institusional kuat akan tetapi modal relasionalnya lemah.
Kondisi ini menciptakan organsasi kuat. Namun untuk membuat kondisi ideal
atau menguatkan modal relasional maka dapat dilakukan tugas legitimasi dan
intensifikasi.
Modal sosial merupakan sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat dan
tidak akan pernah habis meskipun digunakan secara terus menerus, melainkan
akan semakin meningkat. Apabila tidak dipergunakan, modal sosial malah
akan rusak. Ridell (1997) dalam Suharto (2009) menyebutkan ada tiga
parameter modal sosial, yaitu:
1. Kepercayaan (trust)
Kepercayaan merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah
masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja
sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Adanya modal
sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang
kokoh, dan juga kehidupan sosial yang harmonis.
2. Norma-norma (norms)
Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh
sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan
moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik
profesional. Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk
dari kepercayaan sosial.
3. Jaringan-jaringan (network)
Jaringan
memfasilitasi
terjadinya
komunikasi
dan
interaksi,
memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama.
Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan sosial yang kokoh.
Menurut Putnam (1995), jaringan-jaringan sosial yang erat akan
memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat
dari partisipasinya itu.
Berdasarkan parameter yang telah disebutkan, ada beberapa indikator
kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial, antara lain (Spellerber, 1997;
Suharto, 2005b dalam Suharto, 2009):
1. Perasaan identitas
2. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alineasi
3. Sistem kepercayaan dan ideologi
4. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan
5. Ketakutan-ketakutan
6. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat
7. Persepsi mengenai akses dengan pelayanan, sumber, dan fasilitas
(misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan,
transportasi, jaminan sosial)
8. Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu
9. Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada
umumnya
10. Tingkat kepercayaan
11. Kepuasan dalam hidup dalam bidang-bidang kemasyarakatan lainnya
12. Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan.
2.1.4 Kelompok Usaha Rumah Tangga
Usaha rumah tangga dapat dimasukkan ke dalam golongan usaha kecil
maupun industri kecil, tergantung dari kesesuaian kriteria yang dimiliki oleh
usaha rumah tangga tersebut. Usaha kecil menurut Keputusan Presiden RI no.
99 tahun 1998 adalah:
“Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha
yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu
dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.”
Adapun kriteria usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 tentang
usaha kecil adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus
Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu
Milyar Rupiah)
3. Milik Warga Negara Indonesia
4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak
langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar
5. Berbentuk usaha orang perseorangan , badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Sedangkan pengertian industri kecil Menurut UU RI No. 5 tahun 1984
Pasal 1 tentang perindustrian, definisi industri adalah:
“ Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah,
bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang
dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan
rancang bangun dan perekayasaan industri”.
Sesuai dengan pasal 5 UU RI No. 5 Tahun 1984, Pemerintah
menetapkan sebagai berikut:
1. Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang masuk dalam
kelompok
industri
kecil,
termasuk
industri
yang
menggunakan
ketrampilan tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat
diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia
2. Pemerintah menetapkan jenis-jenis industri yang khusus dicadangkan bagi
kegiatan industri kecil yang dilakukan oleh masyarakat dari golongan
ekonomi lemah.
Menurut UU RI No. 9 tahun 1995 tentang Industri kecil, maka batasan
Industri Kecil didefinisikan sebagai berikut:
“Industri Kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk
memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara
komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp. 200
juta, dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rp. 1 milyar
atau kurang.”
Batasan mengenai skala usaha menurut BPS, yaitu berdasarkan kriteria
jumlah tenaga kerja, mulai dicobakan di lingkungan Depperindag, yaitu:
1. Industri mikro
: 1 – 4 orang
2. Industri kecil
: 5 – 19 orang
3. Industri menengah
: 20 – 99 orang
Menurut penjelasan atas Undang-Undang RI No. 9 tahun 1995 tentang
Industri Kecil Informal adalah:
“Usaha Kecil Informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum
tercatat, dan belum berbadan hukum, antara lain petani penggarap,
industri rumah tangga pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang
kaki lima,dan pemulung”.
2.1.5 Kesejahteraan
Kesejahteraan menurut Soembodo (2009) tidak hanya mengacu pada
pemenuhan kebutuhan fisik orang atau pun keluarga sebagai entitas, tetapi
juga kebutuhan psikologisnya. Suharto (2006) mengartikan kesejahteraan
sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk
pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya
kebutuhan material dan non-material. Pengertian ini disebut Soembodo
(2009)
sebagai
kesejahteraan
materi dan
kesejahteraan
non-materi.
Kesejahteraan materi, antara lain pendapatan, pengeluaran untuk pemenuhan
kebutuhan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Sedangkan kesejahteraan
non-materi, antara lain agama, interaksi sosial, dan hal-hal lain yang
menyangkut aspek psikososial seperti rasa bahagia, bangga, puas, tidak takut,
merasa sehat, merasa diterima, dan merasa diakui. Sedangkan menurut
Sadiwak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh
seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun
tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif
karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil
mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya
bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal
konsumsipun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya konsumennya.
BPS (1995) menyebutkan berbagai aspek mengenai indikator
kesejahteraan, antara lain:
1.
Kependudukan
Penanganan masalah kependudukan tidak hanya mengarahkan
pada upaya pengendalian jumlah penduduk akan tetapi mengarah juga
pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
2.
Kesehatan dan gizi
Kualitas fisik penduduk merupakan salah satu aspek penting
kesejahteraan, yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk
dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka
harapan hidup. Status kesehatan yang diukur melalui angka kesakitan
dan status gizi juga merupakan aspek penting yang turut mempengaruhi
kualitas fisik penduduk.
3.
Pendidikan
Tidak semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan
pendidikan dasar. Hal ini merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan kemiskinan. Dengan ini diasumsikan bahwa semakin
tinggi pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan
masyarakat tersebut semakin sejahtera.
4.
Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak
hanya untuk mencapai kepuasaan tetapi juga untuk memenuhi
perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat.
5.
Taraf dan pola konsumsi
Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik
untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu
dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut
adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok
penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan
pengeluaran akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah
tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diketahui tentang pola
konsumsi rumahtangga secara umum dengan menggunakan indikator
proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.
6.
Perumahan dan lingkungan
Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin
sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai
fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara
lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas
buang air besar rumahtangga, dan tempat penampungan kotoran akhir
(jamban).
7.
Sosial dan budaya
Semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk
melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang
tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat.
Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan
sosial budaya
yang mencermikan aspek kesejahteraan, seperti
melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan,
yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca
surat kabar.
Namun BPS (2008) dalam Munir (2008) memberikan gambaran
tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah
rumahtangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang
dimaksud adalah dengan mengukur pola konsumsi rumahtangga. Pola
konsumsi rumahtangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan
rumahtangga atau keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar
kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh
pengeluaran rumahtangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan
rumahtangga tersebut. Semakin besar pengeluaran maka dapat dikatakan
bahwa rumah tangga tersebut semakin sejahtera.
Pengukuran kesejahteraan dapat menggunakan tangga kesejahteraan,
dimana rumah tangga menggunakan ukuran kesejahteraannya sendiri dan
menempatkan dirinya di satu titik. Sehingga dapat diketahui tingkatan
kesejahteraannya. Selain itu, dapat juga menggunakan tangga kebutuhan
Maslow, sehingga dapat diketahui kebutuhan apa saja yang telah mereka
capai dan yang akan mereka capai.
Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow adalah sebagai berikut
(Hasibuan, 2001):
1) Psychological Needs (kebutuhan fisik) adalah kebutuhan yang paling
utama yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hidup, seperti makan, minum,
tempat tinggal, dan bebas dari penyakit. Selama kebutuhan ini belum
terpenuhi maka manusia tidak akan merasa tenang dan akan berusaha untuk
memenuhinya. Kebutuhan dan kepuasan biologis ini akan terpenuhi jika gaji
(upah) yang diberikan cukup besar. Jika gaji atau upah karyawan
ditingkatkan maka semangat kerja mereka akan meningkat,
2) Safety and Security Needs (kebutuhan keselamatan dan keamanan) yaitu
kebutuhan akan kebebasan dari ancaman jiwa dan harta di lingkungan kerja,
merupakan
tangga
kedua
dalam
susunan
kebutuhan.
Karyawan
membutuhkan rasa aman terhadap ancaman dan bahaya kehilangan pekerjaan
dan penghasilan,
3) Affiliation or Acceptence Needs (kebutuhan sosial) yaitu kebutuhan akan
perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan dia hidup dan bekerja,
kebutuhan akan perasaan dihormati, kebutuhan akan perasaan maju dan tidak
gagal, kebutuhan akan ikut serta. Pada tingkat ini apabila karyawan tidak
diterima menjadi anggota kelompok informal dalam perusahaan, maka ia
akan merasa terkucil dan tidak senang. Hal ini mengakibatkan karyawan
tidak bekerja dengan baik dan prestasinya menurun,
4) Esteem or Status Needs (kebutuhan akan penghargaan prestise) yaitu
kebutuhan akan penghargaan dari orang lain. Berarti bahwa setiap karyawan
yang bekerja dengan baik ingin mendapatkan pujian atau penghargaan atasan
atau rekan sekerjanya, dan
5) Self Actualization Needs
(kebutuhan aktualisasi diri) yaitu realisasi
lengkap potensi seseorang secara penuh. Untuk pemenuhan kebutuhan ini
biasanya seseorang bertindak bukan atas dorongan orang lain, tetapi atas
kesadaran dan keinginan diri sendiri. Dalam hal ini karyawan merasa telah
berhasil
menyelesaikan
pekerjaannya
dengan
mengerahkan
segala
kemampuan, ketrampilan dan potensi yang ada secara maksimum.
Maslow mengambarkan tingkat kebutuhan tersebut seperti pada
Gambar 5 dibawah ini:
Tingkat
Kebutuhan
5. Self actualization
4. Esteem or status
3. Affiliation or acceptence
2. Safety and security
1. Physicological
Pemuas Kebutuhan
Gambar 5. Hierarki Kebutuhan Maslow
Sumber: Hasibuan, 2001
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua
(keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya
dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang
lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari
cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa
sifat, jenis, dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan
yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Kebutuhan
manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal,
mental, intelektual, dan bahkan juga spiritual. Menarik pula untuk dicatat
bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia
dalam
kehidupan
organisasional,
teori
“klasik”
Maslow
semakin
dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau
“koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan“
yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai
tingkatan atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa
menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama,
kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada
pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha
memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini keamanan sebelum
kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang
ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman,
demikian pula seterusnya. Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman
tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan
“koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan
karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai
kebutuhan
manusia
berlangsung
secara
simultan.
Artinya,
sambil
memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin
menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin
berkembang.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa lebih tepat
apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan
bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a)
Kebutuhan yang suatu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan
timbul lagi di waktu yang akan datang.
b)
Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa
bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam
pemuasannya.
c)
Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam
arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat
sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih
bersifat teoritis, namun telah memberikan fondasi dan mengilhami bagi
pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan
berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Maslow dikutip oleh Stoner dan Freeman (1994) membagi kelima
jenjang tersebut menjadi dua kebutuhan yaitu kebutuhan tingkat tinggi dan
kebutuhan tingkat rendah. Yang termasuk kebutuhan tingkat tinggi adalah
kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri,
sedangkan kebutuhan tingkat rendah adalah kebutuhan fisiologis dan
kebutuhan rasa aman.
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Deskripsi dan Bagan Alur Berpikir
Masyarakat memiliki modal sosial yang meligkupi kehidupan mereka.
Modal sosial ini dapat diliat dari tiga aspek yaitu kepercayaan
(trust),
jaringan (network), dan norma-norma (norms). Modal sosial dapat digunakan
sebagai alat pemberdayaan bagi masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan yang
dilakukan dapat melalui tiga tahapan, yaitu tahap penyadaran, capacity
building, dan pendayaan. Tahapan Penyadaran dapat dilakukan dengan cara
pemberian pengetahuan berkaitan dengan usaha pembuatan tempe dan tahu.
Tahap capacity building dapat dilakukan dengan pemberian keterampilan,
dalam hal ini keterampilan membuat tahu dan tempe sampai individu yang
diberi keterampilan merasa dirinya mampu untuk membuat tahu dan tempe
sendiri tanpa bantuan dan dampingan. Tahap yang terakhir adalah pendayaan
dimana individu diberikan daya, kekuatan, otoritas, dan peluang untuk
melakukan usahanya sendiri sehingga individu tersebut menjadi mandiri.
Proses pemberdayaan ini pada akhirnya akan semakin menguatkan modal
sosial yang mereka miliki.
Proses pemberdayaan yang dilakukan oleh kelompok usaha pembuat
tahu dan tempe ini pada akhirnya dapat berimplikasi pada kesejahteraan
mereka sendiri. Kesejahteraan dapat dilihat dari sisi yaitu materi dan nonmateri. Kesejahteraan materi dapat dilihat dari tingkat pendapatan,
pengeluaran, pendidikan, kesehatan, dan alat transportasi yang dimiliki.
Sedangkan kesejahteraan non-materi dapat dilihat dari interaksi sosial, rasa
bahagia, puas, merasa aman, merasa diterima, merasa diakui, dan merasa
sehat.
Modal Sosial
- Kepercayaan
- Jaringan
- Norma
Pemberdayaan
Penyadaran
Pemberian
Pengetahuan
Capacity
building
Pemberian
Keterampilan
Kelompok Usaha Tahu Tempe
Kesejahteraan
Gambar 6. Bagan Kerangka Analisis
Pendayaan
-
Daya
Kekuasaan
Otoritas
Peluang
2.2.2 Hipotesis Pengarah
Proses pemberdayaan akan berlangsung secara efektif apabila modal
sosial yang dimiliki oleh masyarakat dimanfaatkan dengan baik. Masyarakat
tidak harus selalu mengandalkan bentuan pemerintah, swasta, atau LSM
untuk membuat hidup mereka lebih baik. Mereka dapat menggunakan apa
yang ada diantara mereka sebagai kekuatan untuk membangun dan
memandirikan diri mereka sendiri.
2.2.3 Definisi Konseptual
1. Modal Sosial: sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi
antara orang-orang dalam suatu komunitas
2. Kepercayaan (trust): harapan yang tumbuh di dalam sebuah
masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur,
dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama.
3. Jaringan (network): jaringan memfasilitasi terjadinya komunikasi
dan
interaksi,
memungkinkan
tumbuhnya
kepercayaan
dan
memperkuat kerjasama. Komunikasi dan interaksi yang dilakukan
oleh kelompok usaha pengrajin tahu tempe antara lain dengan
sesama mereka, pemasok, dan pasar.
4. Norma
(norms):
norma-norma
terdiri
dari
pemahaman-
pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang
diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang.
5. Pemberdayaan: usaha untuk membuat masyarakat yang tidak atau
kurang berdaya menjadi lebih berdaya.
6. Penyadaran : tahap dimana target yang hendak diberdayakan diberi
“pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka
mempunyai hak untuk mencapai “sesuatu”.
7. Pengkapasitasan: memampukan atau enabling. Target harus
mempunyai kemampuan terlebih dahulu sebelum mereka diberikan
daya atau kuasa.
8. Pendayaan: Target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau
peluang sesuai dengan kapasitas kecakapan yang telah dimiliki.
9. Kelompok Usaha Tahu Tempe: Usaha pembuatan tahu tempe
yang dilakukan dalam satu rumah atau oleh beberapa keluarga.
10. Kesejahteraan: Terpenuhinya kebutuhan seseorang, baik itu materi
ataupun non-materi.
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif merupakan penelitian aras mikro yang hanya meliput
sejumlah kecil orang atau kasus (peristiwa dan gejala) lokal, sehingga membatasi
peluang generalisasi2. Pendekatan kualitatif ini dipilih karena peneliti hanya
melakukan penelitian pada kelompok-kelompok usaha pengrajin tahu tempe yang
berada di Kedaung.
Adapun strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus, karena
peneliti bermaksud mempelajari lebih dalam tentang proses pemberdayaan
berbasis modal sosial yang terjadi pada kelompok usaha pengrajin tahu tempe di
Kedaung. Penelitian dimulai dengan melihat gambaran komunitas usaha pengrajin
tahu tempe secara menyeluruh kemudian dikerucutkan dengan melihat gambaran
kelompok secara lebih spesifik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
wawancara mendalam dan observasi langsung, dan studi literatur. Wawancara
mendalam dan observasi langsung digunakan pada saat peneliti ingin mengetahui
konstruksi modal sosial, proses pemberdayaan ekonomi rakyat berbasis modal
sosial yang berlangsung, serta pengaruh proses pemberdayaan tersebut terhadap
kesejahteraan kelompok usaha rumah tangga pembuat tempe dan tahu.
2
MT. Felix Sitorus, 1998, Metode Penelitian Kualitatif.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih yaitu Desa Kedaung, Ciputat. Lokasi ini
dipilih dengan pertimbangan: (1) Para pengrajin tahu tempe tersebut berasal dari
satu daerah yaitu pengrajin tahu berasal dari Tasikmalaya dan pengrajin tempe
berasal dari Pekalongan; (2) nilai-nilai di tingkat mereka menarik. Karena nilainilai kekeluargaan, kebersamaan, dan toleransi antar mereka masih sangat kuat di
tengah-tengah daerah perkotaan; (3) sesuai dengan objek kajian karena di desa ini
masih banyak masyarakat yang melakukan usaha rumah tangga; dan (4) strategis
dan mudah dijangkau oleh peneliti.
3.3 Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan kurang lebih satu bulan yaitu dari awal bulan
Mei 2009 sampai dengan awal bulan Juni 2009. Namun sebelumnya peneliti telah
melakukan pemetaan awal ke tempat penelitian pada tanggal 13 April 2009.
3.4 Penentuan Unit Analisis, Informan, dan Responden
3.4.1 Penentuan Unit Analisis
Unit analisis yang dipilih sebagai objek kajian adalah kelompok usaha
rumah tangga yang berada di Desa Kedaung, Ciputat yaitu kelompok usaha
rumah tangga pengrajin tahu tempe yang paling lama berada di daerah
tersebut dan kelompok usaha yang paling baru. Pemilihan ini dilakukan
secara sengaja karena pengusaha-pengusaha rumah tangga ini berkumpul di
suatu daerah di Desa Kedaung sehingga lebih mudah teridentifikasi
keberadaannya. Pemilihan ini juga dimaksudkan agar informasi yang digali
dapat lebih fokus dan lebih dalam.
3.4.2 Penentuan Informan
Informan yang dipilih yaitu orang yang mengetahui tentang keberadaan
usaha rumah tangga ini yaitu masyarakat yang tinggal di Desa Kedaung yang
merupakan kerabat peneliti, ketua RT, maupun pemuka agama. Informan
diharapkan mampu memberikan informasi tentang keberlangsungan usaha
pembuatan tahu tempe sebelum peneliti meneliti secara langsung serta
membantu peneliti dalam melakukan pendekatan kepada pengrajin tahu
tempe tersebut.
3.4.3 Penentuan Responden
Responden merupakan pengrajin tahu tempe yang berada dalam
kelompok usaha tahu tempe yang paling lama dan paling baru serta pihakpihak yang terlibat dalam proses pemberdayaan ekonomi usaha tahu tempe
tersebut. Responden dipilih dengan menggunakan snowball sampling.
Metode ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa peneliti dapat
menemukan kelompok usaha yang paling lama dan paling baru dalam
melakukan usaha di daerah Kedaung.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh peneliti adalah
pengambilan data primer di lapangan melalui wawancara mendalam, observasi
berperan serta, dan pengambilan data sekunder. Wawancara dilakukan kepada
responden dan informan. Informan yang akan diwawancarai antara lain salah satu
warga Desa Kedaung yang mengetahui usaha rumah tangga pembuat tahu dan
tempe, ketua RT, dan pemuka agama. Sedangkan responden yang akan
diwawancarai yaitu para pengrajin tahu tempe yang berada dalam kelompok usaha
tahu tempe yang paling lama dan paling baru. Teknik pengamatan berperan serta
dilakukan pada saat para pengusaha tersebut melakukan aktivitasnya yaitu dari
mulai membuat tahu tempe sampai memasarkannya.
3.6 Metode Analisis Data
Data hasil pengamatan dan wawancara disajikan dalam bentuk catatan
harian. Analisis data tersebut dilakukan dengan tiga cara yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data yang dimaksudkan
adalah
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan harian.
Data dapat disajikan dalam bentuk teks naratif dan juga matriks, grafik,
jaringan atau bagan apabila memungkinkan untuk menjelaskan pengaruh proses
pemberdayaan bagi kesejahteraan kelompok usaha pengrajin tahu tempe.
BAB IV
PROFIL PAGUYUBAN
4.1 Sejarah Desa
Nama Desa Kedaung berasal dari nama sebuah pohon yang dulu tumbuh
di atas tanah daerah ini. Sebelum masyarakat berdatangan dan mendirikan
pemukiman, daerah ini awalnya merupakan kebun pohon kedaung. Oleh karena
itu orang-orang menyebut daerah ini dengan sebutan kedaung. Namun lambat laun
kebun kedaung hilang dan berubah menjadi area padat pemukiman.
Dulu Kedaung termasuk ke dalam wilayah Jakarta Selatan, Propinsi DKI
Jakarta. Namun semenjak terjadi pemekaran propinsi dan Banten menjadi sebuah
propinsi, maka Kedaung termasuk ke dalam Propinsi Banten. Pertama kali
Kedaung ditempati oleh orang-orang Jakarta atau Suku Betawi. Sampai akhirnya
sebagian besar penduduknya merupakan Suku Betawi dan membentuk sebuah
forum yaitu Forum Betawi Rempug. Akan tetapi penduduk asli memilih untuk
mencari kehidupan di tempat lain. Penduduk asli berkurang atau bermigrasi dan
digantikan oleh para pendatang yang berasal dari Pekalongan dan Tasikmalaya.
Sekarang, sebagian besar penduduk Desa Kedaung merupakan orang-orang yang
berasal dari Suku Jawa dan Sunda.
4.2 Sejarah Paguyuban
Perkumpulan diantara para penduduk di Kedaung sebenarnya sudah ada
meskipun perkumpulan tersebut tidak secara resmi dibentuk dengan visi misi
secara tertulis. Namun tujuan dari masing-masing individu tercermin sebagai
tujuan bersama dalam perkumpulan tersebut. Para penduduk menginginkan
hubungan antara mereka dapat terjalin dengan baik, saling menghargai, dan saling
menghormati satu sama lain. Tujuan ini diwujudkan dalam bentuk kegiatankegiatan yang dapat dilakukan, antara lain pengajian rutin setiap minggu, arisan,
kerja bakti, tujuh belasan, dan lain sebagainya.
Para penduduk kemudian menginginkan agar perkumpulan ini diresmikan
sebagai sebuah paguyuban sebagai pengganti kopti. Kopti merupakan koperasi
pemerintahan yang berpusat di Kabupaten Tangerang. Sebenarnya kopti memiliki
peran yang cukup penting bagi penduduk Kedaung yang sebagian besar
merupakan pengrajin tahu tempe. Kopti dapat menjaga keseimbangan harga pasar.
Namun dalam perjalanannya, banyak aset-aset kopti yang hilang seperti tanah
ataupun tambak. Aset-aset ini merupakan milik dari anggota kopti namun ternyata
aset tersebut disalahgunakan oleh para pengurus periode terakhir. Akhirnya kopti
tersebut dibubarkan karena dianggap kurang bertanggung jawab.
Setelah kopti dibubarkan, distributor kedelai yang dipegang oleh China
dengan sewenang-wenang memainkan harga dan memberikan harga yang
setinggi-tingginya. Oleh karena itu para penduduk menginginkan adanya
paguyuban yang dapat menggantikan peran kopti tersebut. Paguyuban diresmikan
pada tangga 6 Maret 2009 dengan nama “Paguyuban Warga Pengrajin Tahu
Tempe (PWPTT)” (lihat Gambar 1 pada Lampiran 4). Nama tersebut diambil
karena yang menjadi anggota pertama paguyuban tersebut merupakan para
pengrajin tahu tempe. Meskipun begitu, tidak ada larangan bagi penduduk lain
yang bermata pencaharian selain pengrajin tahu tempe apabila mereka ingin
menjadi anggota paguyuban ini.
4.2.1 Gambaran Umum
Nama Paguyuban ini adalah Paguyuban Warga Pengrajin Tahu dan
Tempe atau disingkat PWPTT. Paguyuban ini berkedudukan di Tangerang
Selatan tepatnya di Jl. Pulo Samid Rt. 08/04. Prinsip yang menjadi landasan
paguyuban
ini
adalah
gotong
royong,
kebersamaan,
keterbukaan,
persaudaraan, dan transparan dalam menjalankan kegiatannya dan selalu
berpegang teguh pada prinsip amar ma ruf nahi munkar.
Adapun tujuan dari paguyuban antara lain:
1.
Meningkatkan persaudaraan, persatuan, dan kesatuan sesama pengrajin;
2.
Membangun jejaring, menyediakan dan mengelola usaha kedelai guna
meningkatkan kesejahteraan anggota.
4.2.2 Visi dan Misi
Visi
Menjadi paguyuban yang bermartabat yang senantiasa melindungi dan
mengayomi para warganya, jujur, amanah, dan transparan dalam menjalankan
kegiatannya.
Misi
1. Menjalankan usaha dibidang kedelai untuk memenuhi kebutuhan para
anggotanya;
2. Menjalankan usaha-usaha pendukung lainnya yang berkaitan dengan usaha
pokok para anggotanya;
3. Mempermudah usaha para anggota dengan menyediakan bahan baku dan
bahan pendukung lainnya dengan harga yang kompetitif;
4. Menjembatani kepentingan anggota dengan seluruh stakeholder untuk
mendapatkan manfaat saling menguntungkan bagi semua pihak.
4.2.3 Anggota
Anggota awal pada saat paguyuban baru terbentuk berjumlah 105
Kepala Keluarga. sekarang jumlah tersebut bertambah menjadi 124 Kepala
Keluarga atau sebanyak 128 jiwa. Jumlah ini dapat bertambah setiap waktu
karena paguyuban ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi
anggota paguyuban. Anggota paguyuban tidak hanya terbatas bagi pengrajin
tahu tempe saja atau terbatas bagi para penduduk Kedaung saja. Akan tetapi
penduduk yang bermata pencaharian selain pengrajin tahu tempe ataupun
orang lain yang bukan berasal dari Desa Kedaung dapat menjadi anggota
Paguyuban, yang terdiri dari :
-
96 orang pengrajin dan pedagang tahu tempe
-
22 orang pedagang sayur dan tukang ojek
-
10 orang profesi lain (pegawai, karyawan, dan buruh)
4.2.4 Kegiatan
Kegiatan yang dilakukan saat ini adalah kegiatan-kegiatan dalam bidang
sosial, rohani atau keagamaan, dan bidang usaha.
4.2.4.1 Bidang Sosial
Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang sosial antara lain
pembinaan kepada anggota paguyuban dan juga pemberian santunan kepada
anggota paguyuban yang mengalami musibah. Pembinaan yang diberikan
kepada anggota paguyuban dapat berupa himbauan untuk dapat tetap menjaga
dan melestarikan lingkungan sekitar pemukiman ataupun lingkungan usaha
sehingga kegiatan usaha yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan hidup. Selain himbauan tentang lingkungan hidup,
paguyuban juga memfasilitasi praktek nyata dari hanya sekedar himbauan.
Praktek nyata ini berupa kerja bakti yang dilakukan setiap bulannya.
Pemberian santunan dilakukan dengan menggunakan iuran wajib yang
dibayar oleh anggota paguyuban setiap bulannya. Besarnya iuran wajib
tersebut adalah seribu rupiah. Selain iuran wajib, santunan ini juga diambil
dari simpanan para anggota yang membeli kedelai di paguyuban. Setiap
pembelian kedelai anggota dikenakan biaya tambahan sebesar seratus rupiah
per kg.
4.2.4.2 Bidang Keagamaan
Anggota paguyuban seluruhnya memeluk agama Islam. Oleh karena itu
kegiatan-kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan
agama Islam. Kegiatan tersebut seperti pengajian dan majelis taklim yang
dilakukan secara rutin. Pengajian dilakukan setiap malam Jumat di Masjid
Jami’ Darussalam ataupun di rumah anggota paguyuban yang bersedia.
Majelis taklim dilakukan setiap minggu, tanpa ada ketetapan hari
tergantung kesepakatan anggota setiap minggunya. Majelis taklim ini dapat
dilakukan di Masjid jami’ Darussalam ataupun di rumah anggota paguyuban
yang bersedia sehingga setiap anggota dapat mengenal lebih dekat dengan
anggota yang lainnya.
4.2.4.3 Bidang Usaha (lihat Gambar 2 pada Lampiran 4)
Paguyuban menyediakan kedelai yang dapat dibeli oleh para anggota
yang mayoritas adalah para pengrajin tahu tempe. Paguyuban menyediakan
kedelai dalam jumlah yang cukup besar. Para pengrajin dapat mengambil atau
memesan kedelai terlebih dahulu sebanyak yang dibutuhkan. Pembayaran dari
pesanan tersebut dapat dilakukan sebulan kemudian ketika akan melakukan
pengambilan atau pemesanan berikutnya.
Selain itu paguyuban juga melakukan usaha simpan pinjam. Para
anggota yang membutuhkan biaya yang berkaitan dengan usahanya,
paguyuban membuka peluang untuk memberikan pinjaman. Pinjaman yang
diberikan diambil dari simpanan anggota.
4.2.5 Manfaat
Banyak sekali manfaat yang didapatkan oleh para anggota, antara lain
mendapatkan kemudahan dalam penyediaan bahan baku kegiatan usaha,
mendapatkan pencerahan dan menambah wawasan khususnya mental dan
spiritual, ataupun mendapatkan perhatian disaat tertimpa musibah.
BAB V
BANGUNAN MODAL SOSIAL
Norma-norma yang terdapat pada komunitas pengrajin tahu masih sarat
akan budaya yang mereka bawa dari daerah asal mereka. Meskipun mereka hidup
di tengah-tengah kota yang sudah sangat heterogen, yaitu terdiri dari berbagai
budaya, agama, pekerjaan, sampai gaya hidup namun keanekaragaman ini tidak
membuat keutuhan antar mereka menjadi rapuh. Mereka berkumpul di salah satu
titik di Desa Kedaung, sehingga orang lain dengan mudah mengidentifikasi
komunitas ini.
Pengrajin tahu berasal dari satu daerah yang sama yaitu Tasikmalaya.
Kehidupan mereka di Kedaung masih kental dengan budaya Sunda mereka.
Meskipun begitu mereka tidak pernah menutup budaya lain untuk masuk dalam
kehidupan mereka. Mereka hidup rukun dengan penduduk Kedaung yang berasal
dari suku Jawa, Betawi, Padang, bahkan China.
Norma kekeluargaan sangat dijunjung tinggi oleh para pengrajin tahu.
Mereka sangat menghargai orang-orang yang berasal dari kampung yang sama.
Bahkan mereka sangat peduli dengan orang-orang yang mereka sebut dengan
saudara sekampung itu. Mereka tidak pernah mempersoalkan tentang hubungan
darah. Mereka selalu menganggap orang-orang yang berasal dari kampung yang
sama merupakan saudara yang harus dibantu ketika mereka berada dalam
kesulitan.
Selain norma kekeluargaan tersebut, terdapat juga norma ataupun nilainilai yang lain yang berkembang diantara pengrajin tahu, diantaranya nilai-nilai
kebersamaan, toleransi, dan kepercayaan. Sebelumnya telah disebutkan bahwa
mereka menganggap saudara dengan sesamanya. Nilai-nilai kebersamaan
tercermin dari sikap mereka memperlakukan saudaranya, terutama yang belum
memiliki usaha atau penghasilan sendiri. Orang yang belum memiliki usaha atau
penghasilan sendiri tersebut diberi kesempatan untuk ikut dalam usaha pengrajin
yang telah memiliki usaha. Mereka diizinkan tinggal di tempat tinggal pengrajin
yang telah memiliki usaha sampai mereka mampu untuk mendapatkan tempat
tinggal sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Pak Man:
Waktu saya masih ikut usaha adik saya, saya numpang disana,
soalnya kan masih baru di Jakarta dan belum punya uang untuk
ngontrak apalagi beli rumah.
Para pengrajin yang menjadi tempat belajar bagi pengrajin baru tidak
pernah mengungkapkan bahwa mereka mengharapkan balas jasa dari pengrajin
yang baru belajar. Namun pengrajin baru tersebut merasa memiliki kewajiban
untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang yang telah memberinya
pengetahuan tentang usaha tahu. Hal tersebut dianggap sebagai balas budi karena
mereka telah diberi keterampilan sampai mereka mampu membuka usaha sendiri
dan mendapatkan penghasilan sendiri.
Pengrajin tahu tersebut saling mempercayai satu sama lain. Tidak pernah
ada kecurigaan diantara mereka. Itulah sebabnya mereka tidak ragu apabila ada
saudara sekampung yang ingin menumpang tinggal di rumah mereka.
Nilai-nilai toleransi diantara para pengrajin tahu ini cukup tinggi. Mereka
saling menghormati dan menghargai bukan hanya dengan sesama pengrajin tahu
akan tetapi juga dengan penduduk Kedaung yang lainnya. Mereka tidak pernah
merasa tersaingi satu sama lain meskipun jumlah mereka bertambah setiap
tahunnya. Mereka hidup rukun berdampingan bahkan mereka kerap mengadakan
acara-acara yang dapat menguatkan kebersamaan diantara mereka seperti acara
17-an, arisan, dan sekarang mereka membentuk Paguyuban yang telah dijelaskan
di bab sebelumnya. Mereka memiliki kesadaran dalam hal memilih wilayah
pemasaran hasil produksi mereka. Pengrajin tahu dan tempe yang baru akan
mencari daerah pemasaran dan pembeli dimana mereka telah ketahui bahwa
belum ada pengrajin yang memasarkan di daerah tersebut. Sehingga mereka tidak
merasa haknya diambil. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak pernah
merasa tersaingi satu sama lain.
Kehidupan bertetangga tidak selamanya rukun dan damai. Kadang-kadang
ada masalah yang muncul karena kesalahpahaman, kurang pengertian, kurang
toleransi, ataupun kurang bertanggungjawab. Begitu juga dalam kehidupan para
pengrajin tahu. Kehidupan sosial para pengrajin tahu memang terlihat sangat
harmonis sekarang ini. Mereka hidup rukun sebagai tetangga. Namun, tidak
menutup kemungkinan diantara mereka pernah terjadi suatu masalah. Para
pengrajin tahu ini pernah mengalami masalah dengan kopti. Mereka menuntut
tanggung jawab dari kopti akan simpanan-simpanan yang mereka masukkan.
Mereka melakukan demo di kantor kopti yang terletak di Kabupaten Tangerang
bersama dengan pengrajin tahu dan tempe yang lainnya. Akan tetapi aksi tersebut
dapat diredam dan dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Perwakilan dari
pihak pengrajin berunding dengan pihak kopti untuk mencari solusi yang terbaik.
Para pengrajin diwakili oleh Pak Cariban selaku pengrajin tertua dan Pak Daryono
yang sekarang menjadi ketua Paguyuban.
Norma-norma ataupun nilai-nilai yang berkembang diantara pengrajin tahu
juga berkembang diantara pengrajin tempe. Norma kekeluargaan juga sangat
kental diantara para pengrajin tempe sama seperti pangrajin tahu. Mereka selalu
menganggap orang yang berasal dari daerah asal yang sama yaitu Pekalongan
sebagai saudara tanpa mempersoalkan hubungan darah diantara mereka. Mereka
selalu membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh
tentang usaha tempe. Biasanya pengrajin yang sudah memiliki usaha
memperhatikan kehidupan saudara sekampungnya. Mereka mengajak orang-orang
yang tidak memiliki usaha ataupun berpenghasilan rendah di kampung.
Orang-orang yang diajak ataupun orang yang sengaja ingin mempelajari
keterampilan yang berhubungan dengan usaha tempe diizinkan untuk tinggal di
rumah pengrajin yang telah memiliki usaha. Mereka dibina, dibimbing, diberi
keterampilan sampai mereka memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Hal ini
mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan juga kepercayaan.
Selama pengrajin baru ‘menuntut ilmu’, pengrajin lama tidak pernah
meminta bayaran atas segala apa yang telah diberikan. Namun orang yang sudah
dibimbing tersebut tidak pernah melupakan begitu saja. Mereka biasanya lebih
mempererat hubungan dengan orang yang telah membimbing. Hubungan
persaudaraan mereka lebih terjaga dan lebih dekat dengan adanya proses tersebut.
Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Pak Cariban:
Saya pertama kali membuka usaha tempe ini disini. Sebelumnya
belum ada orang yang membuka usaha tempe. Setelah itu baru
orang-orang tinggal di rumah saya dan ikut usaha saya sampai
mereka bisa buka usaha sendiri. Saya tidak pernah meminta hasil
dari mereka setelah mereka punya usaha sendiri. Saya cuma
ngajarin ajah sampai mereka bisa.
Pernyataan ini juga dikuatkan oleh Mba Iis yang baru mulai menjalankan
usaha tempe:
Waktu saya masih ikut usaha keponakan saya, ya memang saya
hanya dapat bagian tergantung berapa yang saya bisa buat dan jual
karena saya kan ikut usaha orang. Tapi setelah saya buka usaha
sendiri, saya nggak punya kewajiban buat ngasih keponakan saya
itu.
Sama seperti dengan para pengrajin tahu, pengrajin tempe pun menjalin
hubungan yang baik antar pengrajin ataupun dengan penduduk yang lain. Mereka
juga tidak pernah merasa tersaingi satu sama lain. Hal ini dikarenakan mereka
telah memiliki wilayah pemasaran yang sudah mereka tentukan sendiri ketika
mereka mulai berusaha.
Meskipun begitu mereka juga tidak luput dari masalah-masalah yang
sempat mengganggu keharmonisan mereka. Selain masalah dengan Kopti bersama
dengan para pengrajin tahu, pengrajin tempe sempat terganggu ketika krisis
moneter pada tahun 1998. Harga kedelai melambung cukup tinggi. Mereka tidak
mendapat keuntungan selama beberapa lama. Namun mereka dapat tetap
melangsungkan produksi karena mereka masih diperbolehkan untuk memesan
kedelai di distributor kedelai.
Nilai-nilai
yang
berkaitan
dengan
kepercayaan
telah
diuraikan
sebelumnya, implikasi dari nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari cara mereka
belajar atau proses belajar yang terjadi antara pengrajin tahu ini. Apabila diantara
mereka tidak memiliki rasa percaya maka tidak akan terjalin kerjasama yang baik
diantara mereka. Pengrajin yang ingin belajar tanpa ragu menerima pengetahuan
yang diberikan begitu juga dengan pengrajin yang memberi pengetahuan. Mereka
dengan senang hati memberikan pengetahuan tanpa ada perasaan bahwa orang
yang dibimbing akan memberikan atau membawa hal-hal negatif.
Orang-orang tersebut bersedia diajak dan percaya bahwa mereka akan
diberikan pengetahuan yang dapat mereka gunakan untuk memajukan diri mereka
sendiri. Kepercayaan ini muncul karena mereka sudah cukup mengenal satu sama
lain. Mereka juga telah menjalin hubungan yang cukup baik di daerah asal
mereka. Selain itu, mereka juga sudah melihat saudara-saudara sekampung yang
diajak bekerja dan kemudian dapat berhasil sehingga kesejahteraannya meningkat.
Sikap percaya ini juga dicerminkan pada kegiatan atau kerja sama antara
pengrajin tahu dengan distributor kedelai. Para pengrajin tahu biasanya memesan
atau mengambil terlebih dahulu kedelai kepada distributor kedelai baik di
Paguyuban ataupun distributor lain. Mereka tidak dituntut untuk langsung
membayar kedelai tersebut. Mereka diberi kesempatan satu bulan atau sampai
mereka ingin memesan kedelai kembali. distributor kedelai tidak meminta
jaminan dalam kerja sama ini. Hal ini tidak hanya berlaku bagi para pengrajin
yang telah menjalankan usaha atau sudah melakukan kerja sama sebelumnya.
Pengrajin yang baru akan memulai usaha juga dapat menjalin kerja sama ini.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Atang:
lo buat beli kacangnya ga mahal, kan kita boleh ngambil dulu,
bayarnya ntar pas mau ngambil lagi.
Distributor kedelai ini begitu percaya dengan para pengrajin tahu dan
tempe karena distributor telah menjalin kerja sama dengan pengrajin-pengrajin
sebelumnya. Pengrajin-pengrajin tersebut selalu menepati waktu pembayaran,
mereka tidak pernah lari dari tanggung jawab untuk membayar kedelai yang sudah
mereka pesan. Oleh karena itu distributor percaya bahwa pengrajin yang lain juga
tidak akan lari dari tanggungjawabnya.
Kerja sama yang dilandasi dengan kepercayaan juga berlaku diantara
pengrajin tempe. Banyak pengrajin tempe baru bermunculan. Hal ini dikarenakan
usaha tempe tidak membutuhkan modal yang besar. Mbak Iis mengatakan:
Usaha tempe mah gampang mbak, kacangnya boleh ngambil dulu,
bayarnya bulan depan, terus alat-alatnya yang lain juga gampang.
Tanpa modal juga bisa usaha tempe, Mbak.
Mbak Iis mengatakan hal tersebut berdasarkan beberapa alasan. Pertama,
karena para pengrajin dapat mengambil kedelai terlebih dahulu di distributor
sebanyak yang dibutuhkan dan dapat membayarnya setelah mereka dapat menjual
tempe dan mendapatkan keuntungan. Kedua, karena alat-alat produksi mudah
dibuat antara lain tong untuk mencuci dan merebus kedelai, krei yang terbuat dari
bambu untuk mencetak tempe, dan penggiling kedelai. Oleh karena itu usaha ini
dapat dimulai dengan menggunakan modal yang rendah.
Pengrajin tempe menerapkan kerja sama semacam ini kepada beberapa
konsumennya. Memang tidak semua pengrajin tempe menerapkan kerja sama
seperti ini, hanya para pengrajin yang sudah mengenal karakteristik langganannya.
Biasanya pengrajin yang mengantarkan langsung pesanan konsumen yang
menerapkan kerja sama ini.
Pesanan konsumen diantarkan setiap harinya dan konsumen dapat
membayar pesanan tersebut pada bulan berikutnya. Kerja sama ini tidak
menggunakan jaminan apapun dan konsumen tidak pernah menuntut apabila
tempe yang sudah dibelinya tidak laku dijual. Pesanan yang sudah diantar ke
tangan konsumen merupakan hak konsumen sepenuhnya. Seperti apa yang
diutarakan oleh Pak Daryono:
Saya tiap hari nganter. Ada beberapa langganan yang bayarnya
bulan depan kayak warteg.
Kepercayaan ini tumbuh juga karena adanya tanggung jawab dan
kejujuran dari kedua belah pihak. Penjual tempe tidak pernah terlambat
mengantarkan tempenya dan menjual tempe dengan kualitas yang cukup baik.
Konsumen juga selalu membayar tepat waktu setiap bulannya.
Diantara mereka telah tumbuh rasa saling percaya yang sangat kuat, hal ini
ditandai oleh kejujuran, keteraturan, dan kerjasama yang terjalin antar mereka.
Kesalingpercayaan ini mempengaruhi jejaring kehidupan mereka.
Pengrajin tahu termasuk penduduk baru yang bermukim di Kedaung.
Pengrajin tahu pertama memulai usahanya pada tahun 1998, dengan kata lain
pengrajin ini datang 18 tahun setelah pengrajin tempe menjalankan usaha di
Kedaung. Pengrajin tahu ini memutuskan untuk membuka usaha tahu karena pada
saat itu belum ada penduduk yang membuka usaha tahu di daerah ini. Sedangkan
pengrajin tempe sudah banyak sekali.
Pengrajin tahu ini berasal dari Tasikmalaya dan orang-orang yang berasal
dari Tasikmalaya banyak yang belajar dengan pengrajin pertama. Namun usaha
ini tidak dapat berlangsung lama dan akhirnya berhenti berproduksi. Salah
seorang yang pernah ikut bekerja di usaha tersebut adalah Pak Maman yang
merupakan kakak dari pengrajin pertama ini.
Jejaring hubungan kemudian terbentuk karena adanya hubungan antara
pengrajin tahu dengan pihak-pihak yang lain
seperti distributor kedelai dan
konsumen. Pengrajin yang hingga kini masih menjalankan usahanya yaitu Pak
Maman dan Pak Atang. Pak Maman dan Pak Atang sama-sama berasal dari satu
daerah yang sama yaitu Tasikmalaya.
Paguyuban
Distributor
kedelai
Pak Maman
Pasar
Ciputat
Gambar 7. Bagan Jejaring Pak Maman Sebagai Pengrajin Tahu Lama
Pak Maman memulai usahanya pada Tahun 2000. Pak Maman memang
bukan pengrajin tahu pertama di Kedaung. Pengrajin tahu yang pertama kali
menjalankan usaha di Kedaung sudah tidak menjalankan usahanya karena
mengidap penyakit yang serius. Awalnya Pak Maman ikut usaha adiknya yang
merupakan pengrajin tahu pertama tersebut. Beliau belajar keterampilan membuat
tahu selama dua tahun. Setelah itu, Pak Maman memutuskan untuk membuka
usaha tahu sendiri.
Pak Maman memiliki lima orang karyawan. Pak Maman mengajak
saudara sekampungnya untuk membantu usahanya. Hal ini dikarenakan usaha
tahu tidak dapat dilakukan sendiri. Usaha tahu ini membutuhkan sumber daya
manusia lebih dari dua orang. Pak Maman mengajarkan keterampilan membuat
tahu kepada para karyawannya sampai karyawan-karyawannya itu mengerti tugas
masing-masing. Dengan kata lain Pak Maman termasuk dalam pemberdaya atau
orang yang memberdayakan bagi pengrajin tahu yang lainnya.
Pak Maman membeli kedelai pada distributor kedelai dan Paguyuban. Hal
ini dikarenakan, Pak Maman telah melakukan kerja sama dengan distributor
kedelai terlebih dahulu dan Paguyuban baru dapat menyediakan kedelai tahun ini.
Pak Maman belum bisa menghentikan kerja sama dengan distributor kedelai
secara sepenuhnya. Namun Pak Maman berniat untuk menghentikan kerja sama
tersebut secara perlahan demi kemajuan Paguyuban.
Pak Maman hanya menjual tahunya di Pasar Ciputat. Beliau memilih Pasar
Ciputat sebagai tempat pemasaran karena beliau sudah mempunyai daerah
berjualan di pasar tersebut.
Distributor
kedelai
Paguyuban
Pak Atang
Pasar
Ciputat
Penjual
eceran
Gambar 8. Bagan Jejaring Pak Atang Sebagai Pengrajin Tahu Baru
Sementara itu, Pak Atang memulai usahanya pada tahun 2005. Pak Atang
membeli kedelai di distributor kedelai dan juga Paguyuban. Alasannya tidak jauh
berbeda dengan Pak Maman. Pak Atang telah melakukan kerja sama terlebih
dahulu dengan distributor kedelai tersebut sehingga beliau tidak dapat dengan
serta merta menghentikan kerja sama tersebut.
Pak Atang mempelajari keterampilan usaha tahu ini dari Pak Maman dan
juga pengrajin yang lainnya. Setelah beliau mempunyai modal untuk membeli
alat-alat produksi dan juga berhasil untuk menghimpun saudara-saudaranya untuk
menjalankan usaha bersama, barulah beliau membuka usaha tahu ini. Pak Atang
merupakan pengrajin yang diberdayakan. Beliau memperoleh pengetahuan dari
orang lain yang kemudian dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Pak Atang juga menjual tahunya di Pasar Ciputat, selain itu Pak Atang
menerima pedagang eceran yang membeli langsung di pabrik. Pak Atang menjual
sendiri tahunya, dengan dibantu oleh keempat orang saudaranya. Namun letak
mereka terpisah-pisah di Pasar Ciputat tersebut.
Etnis tidak cukup berpengrauh dalam jejaring. Apabila dilihat mereka
memang hidup seperti berkelompok dimana para pengrajin tahu semuanya berasal
dari Tasikmalaya. Namun kenyataanya, mereka cukup terbuka dengan siapa saja
yang ingin mempelajari tentang usaha tahu. Akan tetap di Kedaung sudah
terbentuk suatu anggapan bahwa pengrajin tahu pasti orang yang berasal dari
Tasikmalaya.
Mereka juga tidak pernah membatasi siapa yang harus menjadi konsumen
mereka ataupun dengan siapa mereka pantas menjalin hubungan. Mereka menjalin
hubungan sosial dengan siapa saja terutama dengan para anggota paguyuban yang
juga merupakan warga kedaung. Jejaring yang terbentuk antara pengrajin tahu
dengan pihak-pihak yang lainnya merupakan suatu jejaring terbuka, siapa saja
dapat masuk dalam jejaring hubungan tersebut. Hal ini ditunjukkan pada kejadian
ketika peneliti pertama kali masuk dalam komunitas tersebut sampai akhirnya
mempelajari cara membuat tahu, mereka dengan senang hati menjamu peneliti
tanpa ada rasa sungkan.
Begitu juga dalam hal ekonomi, para pengrajin tahu ini hidup
berdampingan dengan para pengrajin tempe yang seluruhnya berasal dari
Pekalongan. Belum ada konflik antara mereka selama ini. Hal ini dikarenakan
mereka sadar bahwa mereka menjual hasil olahan yang berbeda dan mereka
berusaha untuk memberikan hasil yang terbaik.
Mereka juga tidak pernah merasa tersaingi dengan kelompok usaha keripik
tempe yang merupakan warga Kedaung. Mereka merasa memiliki pasar yang
berbeda sehingga mereka tidak pernah merasa bermasalah apabila ada warga lain
yang membuka usaha. Begitu juga dengan pengrajin tempe. Pengrajin tahu
menjalin hubungan yang sangat baik dengan parapengrajin tempe karena mereka
menggunakan kerja sama dengan distributor yang telah dijalin terlebih dahulu
oleh pengrajin tempe.
Pengrajin terlama di Kedaung berasal dari pengrajin tempe. Pengrajin
tempe pertama di Kedaung adalah Bapak Cariban. Beliau memulai usahanya pada
tahun 1980. Beliau memulai usaha di saat belum ada orang lain yang melakukan
usaha sejenis. Pak Cariban merupakan pengrajin tempe sejati, karena beliau sudah
sedari kecil berkecimpung dalam usaha tempe ini. Namun baru pada tahun 1980
beliau membuka usaha tempe sendiri.
Awalnya beliau memproduksi tempe sendiri. Tapi sekarang beliau sudah
mempunyai karyawan untuk menggantikan tugasnya. Pak Cariban membeli
kedelai di distributor kedelai karena beliau sudah dari memulai usaha membeli
kedelai di distributor kedelai ini. Meskipun begitu Pak Cariban memiliki
hubungan sosial yang sangat kuat dengan Paguyuban. Karena Pak Cariban
merupakan orang yang pertama kali membuka usaha tempe di daerah Kedaung
dan banyak orang yang belajar dengan Pak Cariban sehingga Pak Cariban
memiliki hubungan yang cukup baik dengan para pengrajin tempe yang lain yang
merupakan anggota dari paguyuban tersebut. Pak Cariban selalu mengajak dan
mau mengajarkan keterampilannya kepada saudara sekampungnya. Oleh sebab itu
pengrajin tempe di Kedaung selalu bertambah. Pak Cariban sama seperti Pak
Maman. Pak Cariban merupakan pemberdaya atau orang yang memberdayakan
pengrajin tempe yang lainnya sampai akhirnya mereka dapat menjalankan usaha
itu sendiri. Pak Daryono juga sudah termasuk pemberdaya karena beliau
merupakan ketua paguyuban yang sering kali memberikan pengetahuan dan
keterampilan kepada pengrajin yang lain. Berbeda dengan Mbak Iis. Beliau
merupakan orang yang diberdayakan karena beliau belum pernah memberikan
pengetahuan ataupun memberikan keterampilan kepada pengrajin yang lain.
Pak Cariban hanya fokus di Pasar Ciputat semenjak pertama kali memulai
usahanya. Pembeli di Pasar Ciputat beragam mulai dari ibu rumah tangga, penjual
gorengan, pemilik warung nasi, sampai penjual sayuran untuk dijual kembali.
Hubungan Pak Cariban dengan para pembeli di Pasar Ciputat dan distributor
kedelai merupakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dalam
hubungan ekonomi.
Berbeda dengan Pak Cariban, Mbak Iis dan Pak Daryono lebih memilih
untuk memasarkan hasil produksinya dengan cara berkeliling. Mbak Iis baru
memulai usahanya pada tahun 2005. Cara ini dilakukannya sejak memulai usaha.
Cara ini memang tidak mudah karena pada mulanya langganan atau pembeli harus
dicari sendiri. Namun lama kelamaan cara ini menjadi tidak begitu berat karena
beliau hanya tinggal mengantarkan saja ke tempat langganan sehingga hasil yang
di dapat setiap harinya lebih pasti dibanding dijual di pasar.
Alhamdulillah mbak sekarang mah sudah banyak langganan, jadi
suami saya tinggal nganter ajah ke tempat mereka. Kadang tempe
yang dibawa dilebihin jadi bisa dijual ke yang lain juga selain buat
pesanan orang.
Cara ini juga dipilih oleh Bapak Daryono selaku Ketua Paguyuban.
Saya lebih memilih berkeliling mbak, soalnya lebih sedikit
saingan dan lebih gampang dapat langganan. Kalau di pasar kan
pembeli yang nyamperin kita, nah itu ga tentu, kadang banyak yang
beli kadang sedikit, lebih susah mbak.
Mbak Iis mempunyai jaringan dengan rumah tangga, tukang gorengan,
tukang sayuran, warteg, distributor kedelai, dan paguyuban. Mbak Iis lagsung
menjual hasilnya kepada para langganannya. Mbak Iis mengantarkan langsung ke
tangan pembelinya. Berbeda dengan Pak Cariban, Mbak Iis melakukan hubungan
timbal balik dengan paguyuban. Mbak Iis membeli kedelai di paguyuban dan juga
distributor kedelai. Mbak Iis belum bisa menghentikan pembelian secara tiba-tiba
dengan distributor kedelai karena pertama kali memulai usaha Mbak Iis
mengambil kedelai di distributor kedelai. Namun Mbak Iis juga tidak mungkin
menghiraukan keberadaan paguyuban, karena dengan adanya paguyuban tersebut
pihak distributor kedelai tidak dapat memainkan harga dengan sewenang-wenang.
Begitu juga dengan Pak Daryono. Pak Daryono menjual langsung
tempenya kepada rumah tangga, pedagang makanan, dan tukang sayur. Selain itu,
Pak Daryono juga menjalin hubungan dengan beberapa anggota Polda, dealer
motor, dan anggota paguyuban. Hubungan dengan anggota Polda menyebabkan
terbentuknya paguyuban pengrajin tahu tempe. Pak Daryono mendapat dukungan
dari anggota Polda tersebut yang sekarang menjadi pengawas dan sekretaris
paguyuban. Selain sebagai pengrajin tempe, Pak Daryono juga menjadi perantara
bagi pembeli motor di salah satu dealer motor.
Sama halnya dengan pengrajin tahu, etnis tidak begitu berpengaruh dalam
kehidupan para pengrajin tempe. Memang seluruh pengrajin tempe di Kedaung
merupakan warga yang berasal dari Pekalongan. Hal ini dikarenakan, pengrajin
yang telah memiliki usaha di kota akan mengajak saudara sekampungnya. Namun
tidak menutup kemungkinan bagi orang yang berasal dari etnis lain untuk ikut
serta dalam usaha ini dan sejauh ini belum ada orang yang berasal dari etnis lain
yang ingin belajar usaha tempe.
Para pengrajin tempe ini juga tidak pernah membatasi kehidupan
sosialnya. Mereka sangat terbuka dengan siapa saja. Mereka juga tidak merasa
keberatan dengan kedatangan para pengrajin tahu yang memulai usaha di daerah
Kedaung. Mereka tidak pernah merasa bahwa lahan ekonomi mereka menjadi
berkurang. Hal ini dikarenakan beberapa hal diantaranya para pengrajin tempe
sudah mempunyai langganan sendiri, hasil produksi mereka juga berbeda dengan
para pengrajin tahu sehingga mereka tidak merasa tersaingi dan hidup dengan
harmonis.
Jejaring yang terbentuk antara pengrajin tempe dengan pihak-pihak lain
merupakan jejraing terbuka. Siapa saja dapat masuk ke dalam jejaring ini. Tidak
ada aturan yang mengikat diantara mereka dalam menjalin suatu hubungan.
Paguyuban
Pasar Ciputat
Pak Cariban
Distributor
kedelai
Gambar 9. Bagan Jejaring Pak Cariban Sebagai Pengrajin Tempe Terlama di Kedaung
Pasar Ciputat hanya sekedar tempat menjual tempe bagi Pak Cariban.
Sehingga hubungan yang terjalin merupakan hubungan yang searah meskipun di
Pasar Ciputat tersebut Pak Cariban mendapatkan penghasilan. Dengan distributor
kedelai dan paguyuban, hubungan Pak Cariban merupakan hubungan yang timbal
balik. Pak Cariban mendapat pasokan kedelai dari distributor kedelai. Sedangkan
dengan paguyuban, Pak Cariban merupakan orang yang paling berpengaruh
karena merupakan pengrajin pertama di daerah Kedaung dan paguyuban juga
selalu meminta pendapat Pak Cariban terkait dengan masalah-masalah yang
mereka hadapi.
Rumah
tangga
Paguyuban
Tukang
Gorengan
Mba Iis
distributor
kedelai
Warteg
Tukang
sayur
Gambar 10. Bagan Jejaring Mba Iis Sebagai Pengrajin Tempe Yang Paling Baru di
Kedaung
Mbak Iis menjual tempenya kepada beberapa pihak yaitu ibu rumah
tangga, tukang gorengan, tukang sayur, dan warteg. Hubungan ini hanya sekedar
hubungan jual beli oleh karena itu hubungan ini digambarkan sebagai hubungan
searah. Sementara itu hubungan dengan distributor kedelai merupakan hubungan
searah dimana Mbak Iis membutuhkan pasokan kedelai dan pasokan tersebut
didapat dari distributor. Sedangkan dengan paguyuban merupakan hubungan dua
arah, karena Mbak Iis memasok kedelai dari paguyuban dan juga sebagai
anggotadari paguyuban tersebut.
Beberapa
anggota Polda
Rumah
Tangga
Pedagang
makanan
Anggota
paguyuban
Pak Daryono
Tukang
sayur
Gambar 11. Bagan Jejaring Pak Daryono Sebagai Ketua Paguyuban
Pak Daryono menjalin hubungan searah dengan ibu rumah tangga, tukang
sayur, dan pedagang makanan. Hubungan tersebut hanya sebatas hubungan jual
beli. Pak Daryono menjalin hubungan yang baik dengan anggota paguyuban.
Anggota paguyuban banyak yang membeli kedelai di paguyuban dan Pak
Daryono juga berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk anggota
paguyuban. Sementara itu, Pak Daryono memperluas jaringannya dengan dealer
motor dan beberapa anggota Polda. Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya.
Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, sebenarnya jejaring-jejaring
yang telah digambarkan diatas saling berhubungan satu sama lain. Berikut gambar
jejaring pengrajin tahu tempe yang saling berhubungan:
Ibu RT
Tukang
Sayur
Mba’ Iis
Pedagang
Gorengan
P’ Daryono
Ps. Ciputat
Warteg
Paguyuban
P’ Cariban
distributor
kedelai
P’ Man
P’ Atang
Pengrajin
Tahu tempe
yg lain
Gambar 12. Bagan Jejaring Pengrajin Tahu Tempe
Apabila kita melihat gambar jejaring diatas, mungkin akan terlihat begitu
rumit. Namun sebenarnya, gambar jejaring tersebut menggambarkan bahwa
semua pihak yang terdapat dalam komunitas pengrajin tahu tempe tersebut saling
berhubungan satu sama lain. Mereka tidak melakukan hubungan yang lepas atau
tidak berhubungan. Hubungan yang mereka jalin merupakan suatu keterikatan
yang saling menyatu.
BAB VI
MODAL SOSIAL, PENGEMBANGAN USAHA, DAN KESEJAHTERAAN
PENGRAJIN TAHU TEMPE
Norma-norma atau nilai-nilai yang berkembang seperti yang telah
disebutkan pada bab sebelumnya yaitu kekeluargaan, kebersamaan, toleransi dan
kepercayaan menjadi dasar bagi terlaksananya proses pengembangan usaha yang
berlangsung diantara para pengrajin tahu. Usaha yang mereka miliki tidak lepas
dari peran norma yang telah mereka kembangkan semenjak mereka masih berada
di daerah asal mereka yaitu Tasikmalaya. Atas dasar norma-norma atau nilai-nilai
inilah, mereka merasa mempunyai kewajiban untuk membantu saudara
sekampungnya agar dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Mereka selalu merasa bahwa mereka merupakan satu keluarga, sehingga
mereka tidak pernah sungkan untuk memberi kepercayaan, menerima ajakan,
memberi keterampilan, dan juga menerima keterampilan tersebut. Oleh sebab itu,
satu persatu saudara sekampung mereka dengan cepat dapat menjadi pengrajin
tahu. Orang yang diajak juga tidak pernah merasa malu untuk belajar karena
mereka mengerti bahwa hal yang dilakukan adalah untuk menjadikan kehidupan
mereka lebih baik.
Norma-norma atau nilai-nilai yang terus menerus digunakan sebagai basis
dari pengembangan usaha para pengrajin tahu di Kedaung tidak pernah hilang
ataupun melemah. Norma atau nilai ini semakin kuat karena ketika mereka
berhasil mempunyai usaha sendiri dan berhasil mengembangkan usahanya rasa
diantara mereka yang menganggap bahwa mereka merupakan saudara semakin
bertambah. Begitu juga dengan kebersamaan, toleransi dan kepercayaan diantara
mereka.
Dapat dilihat hasil dari pengembangan usaha yang berlandaskan normanorma ataupun nilai-nilai yang berkembang diantara pengrajin tahu di Kedaung.
Mereka semakin rukun, harmonis, percaya, dan mereka tidak pernah melupakan
akan jasa dari orang yangtelah memberinya keterampilan. Usaha tahu ini juga
cukup berkembang di daerah Kedaung.
Keahlian membuat tahu merupakan keahlian yang dapat dimiliki oleh
siapa saja. Namun cara mereka meluaskan keahlian ini merupakan cara yang
cukup unik. Salah satunya adalah pada saat membuat orang-orang yang tadinya
tidak mempunyai usaha apa-apa atau pekerjaannya tidak memberikan hasil yang
maksimal menjadi mempunyai usaha sendiri dan cukup menjanjikan. Uniknya,
para pengrajin yang sudah merasa mapan dalam usahanya berusaha mengajak
orang lain atau saudara sekampung yang tidak mempunyai pekerjaan untuk ikut
dalam usahanya. Orang tersebut diberi keterampilan dari awal bagaimana
membuat tahu sampai mereka mengerti dan membuat sendiri. Awalnya mereka
hanya mendapat bagian sebanyak tahu yang dapat mereka buat dan jual. Seperti
yang dilakukan oleh Pak Maman ataupun Pak Atang. Pak Maman dan Pak Atang
menyatakan bahwa awalnya karyawan tidak memiliki keterampilan membuat
tahu. Namun Pak Maman dan Pak Atang membimbing mereka sampai mereka
bisa.
Para pengrajin tempe tidak serta merta mendapatkan keterampilan dalam
membuat tempe. Mereka mendapatkan keahlian itu dari orang lain yang sudah
terlebih dahulu menjalankan usaha tempe. Keahlian ini didapat sejak kecil karena
usaha turun temurun keluarga ataupun diajak oleh pengrajin lain yang sudah
sukses dalam usaha ini. Menurut Pak Daryono usaha ini seperti usaha membatik
di Yogyakarta. Keahlian yang di dapat merupakan keahlian yang biasa dimiliki
oleh orang Pekalongan.
Norma-norma atau nilai-nilai yang berkembang diantara mereka sama
dengan norma atau nilai yang berkembang diantara para pengrajin tahu. Hal ini
dikarenakan mereka hidup berdampingan. Mereka sudah menjadi satu kesatuan di
daerah Kedaung.
Sama halnya dengan pengrajin tahu, pengrajin tempe ini mengembangkan
usahanya dengan menggunakan norma-norma atau nilai-nilai yang mereka miliki.
Mereka juga selalu mengajak saudara sekampungnya untuk ikut membuka usaha
yang dirasa cukup menjanjikan ini. Mereka diberi keterampilan dengan cara ikut
serta atau membantu usaha pengrajin yang sudah memiliki usaha. Setelah itu
mereka dapat membuka usaha sendiri tanpa harus membayar biaya selama
‘menuntut ilmu’. Seperti apa yang dikatakan oleh Mbak Iis:
Dulu saya diajak oleh keponakan saya mbak. Pertama-tamanya cuma
bantu-bantu ajah. Nggak digaji kayak waktu saya di pabrik sih mbak,
jadi ya dapat bagiannya dari tempe yang saya buat dan yang laku dijual.
Lama-lama punya uang sendiri, baru buka usaha sendiri.
Pernyataan ini juga didukung oleh Pak Cariban yang usahanya biasa
dibantu oleh orang lain yang ingin belajar membuat tempe:
Banyak yang datang kesini buat belajar membuat tempe, habis itu pada
buka usaha sendiri.
Rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan kepercayaan diantara mereka tidak
pernah pudar. Rasa tersebut semakin kuat seiring dengan semakin berkembangnya
usaha tempe di Kedaung.
Tidak pernah ada persyaratan yang memberatkan ketika pengrajin tahu
yang sudah berhasil mengajak saudara sekampungnya untuk bermigrasi dan
belajar usaha tahu. Mereka hanya menyatakan satu syarat yaitu kemauan. Apabila
kemauan itu tidak dimiliki maka proses pembelajaran keterampilan tahu tersebut
tidak akan pernah terlaksana.
Begitu juga ketika saudara sekampungnya itu memutuskan untuk memulai
usaha. Mereka menggunakan pengetahuan yang telah mereka dapatkan. Mereka
juga menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang sudah menjalin hubungan
sebelumnya dengan pengrajin yang memberikan keterampilan. Biasanya mereka
menjalin hubungan dengan distributor kedelai yang sudah menjadi langganan
pengrajin sebelumnya.
Para pengrajin pemula ini dapat menggunakan kepercayaan yang telah
dibangun antara distributor kedelai dengan pengrajin sebelumnya sehingga
pengrajin pemula ini dapat menikmati fasilitas yang tidak jauh berbeda. Salah
satunya yaitu mereka dapat mengambil kedelai terlebih dahulu dan membayarnya
ketika mereka melakukan pengambilan kedelai untuk produksi selanjutnya.
Namun mereka tidak dapat mengambil dalam jumlah yang sangat besar.
Pengrajin tempe yang baru akan memulai usaha juga menggunakan
kepercayaan yang telah dibangun antara pengrajin tempe sebelumnya dengan
distributor kedelai dan juga dengan pengrajin yang lainnya. Distributor kedelai
tidak pernah khawatir akan pembayaran kedelai, karena pengrajin tempe sudah
lama menjalin hubungan dengan distributor kedelai dan tidak pernah mengalami
kemacetan.
Kepercayaan yang telah dibentuk oleh para pengrajin tempe yang lebih
dulu membuka usaha juga digunakan para pengrajin tempe pemula untuk
mendapatkan pengetahuan tambahan ataupun sekedar menjalin hubungan sosial
sehingga mereka dengan lebih mudah dapat diterima dalam komunitas tersebut.
Hubungan saudara ataupun sekampung digunakan oleh pengrajin tahu
dalam mengembangkan usahanya. Pengrajin tahu yang pertama kali membuka
usaha menjalin hubungan dengan distributor kedelai yang sudah cukup dikenal
dan telah menjalin kerja sama dengan pengrajin tempe yang terlebih dahulu
membuka usaha di Kedaung. Setelah usaha tersebut berkembang, pengrajin
tersebut mulai mengajak saudara sekampungnya. Orang yang diajak biasanya
orang memiliki hubungan yang cukup dekat. Begitu juga dengan orang yang ingin
belajar tanpa diajak, biasanya orang yang sudah mengenal pengrajin tahu yang
akan diikuti atau mengenalnya dari saudara sekampung yang lain. Setelah orangorang tersebut membuka usaha sendiri, mereka juga akan mengajak saudara
sekampungnya, begitu seterusnya. Sehingga usaha tahu di Kedaung ini bertambah
jumlahnya.
Pengrajin tempe juga menggunakan jaringan yang telah dijalin oleh
pengrajin sebelumnya sama seperti para pengrajin tahu, baik dengan distributor
kedelai ataupun dengan pihak-pihak lain yang dapat mendukung usaha tempe ini.
Jumlah pengrajin tempe lebih banyak dibandingkan dengan pengrajin tahu, hal ini
dikarenakan usaha tempe dapat dilakukan secara perorangan sehingga banyak
orang-orang Pekalongan yang diajak oleh pengrajin tempe yang telah berhasil di
Kedaung dan juga orang-orang yang berinisiatif sendiri untuk belajar usaha
tempe.
Pengrajin tahu tempe yang belum mempunyai keterampilan membuat tahu
tempe diajak atau ikut usaha orang lain atau saudaranya yang sudah memiliki
usaha tahu tempe. Setelah beberapa lama mereka mempelajari keterampilan
tersebut, akhirnya mereka dapat membuat tahu tempe tanpa harus dibimbing lagi.
Mereka ikut dalam usaha tersebut sampai mereka merasa mampu untuk membuka
usaha sendiri. Ketika mereka membuka usaha sendiri secara otomatis mereka akan
mendapatkan penghasilan sendiri.
Proses pemberdayaan dalam komunitas pengrajin tahu tempe dapat
digambarkan sebagai berikut:
Paguyuban
Pengrajin yang
terlebih dahulu
membuka usaha
Mengajak atau
membuka peluang
Membina atau
membimbing
Memberi kesempatan
membuka usaha
sendiri
Orang yang ingin
belajar
Usaha sendiri
Penghasilan sendiri
Gambar 13. Bagan Proses Pemberdayaan Pengrajin Tahu Tempe
Proses pemberdayaan yang terjadi di komunitas pengrajin tahu tempe
dimulai dari pemberian pengetahuan oleh pihak yang telah memiliki usaha kepada
pihak yang diajak atau pihak yang dengan sendirinya ingin mengetahui tentang
usaha tahu tempe tersebut. Pengetahuan yang diberikan dapat berupa petunjuk
tentang alat-alat yang dibutuhkan, penggunaannya, bahan yang dibutuhkan, dan
cara membuat tahu tempe. Setelah itu pihak yang ‘ditumpangi’ tersebut
memberikan kesempatan bagi pihak yang ‘menumpang’ untuk langsung ikut serta
dalam proses pembuatan tahu tempe. Proses ini berlangsung sampai mereka
merasa mengerti dan mampu membuat tahu atau tempe yang baik. Pihak yang
‘ditumpangi’ tidak mengikat pihak yang ‘menumpang’. Dengan kata lain, tidak
ada paksaan untuk terus membantu usaha tersebut. Mereka diberi kebebasan
apabila mereka ingin membuka usaha sendiri.
Paguyuban merupakan sebuah wadah yang mendukung terjadinya proses
pemberdayaan tersebut. Paguyuban tersebut dibentuk oleh para pengrajin tahu dan
tempe agar hubungan sosial mereka tetap terpelihara. Dengan tetap terpeliharanya
hubungan sosial diantara para pengrajin maka pengembangan usaha dapat
dilakukan dengan lebih mudah.
Pada umumnya proses pemberdayaan yang terjadi pada para pengrajin
tempe sama dengan para pengrajin tahu. Namun ada satu hal yang membedakan
antar keduanya. Pengrajin tempe dapat langsung membuka usahanya sendiri
setelah ia merasa mampu, tanpa harus mempertimbangkan berapa banyak pekerja
yang harus dimiliki untuk menjalankan usaha tersebut. Karena usaha tempe dapat
dilakukan sendiri. Sedangkan usaha tahu harus dilakukan oleh lebih dari satu
pekerja. Oleh karena itu usaha tahu biasanya dilakukan secara berkelompok.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Maman:
Alhamdulillah usaha ini sudah bisa ngambil orang buat jadi
karyawan dek, kalau tidak berarti saya harus gabung sama orang
lain jadi usaha bareng-bareng bukan usaha sendiri lagi.
Modal sosial yang berkembang diantara mereka, seperti nilai-nilai
kekeluargaan, kebersamaan, toleransi, kepercayaan, dan juga jejaring yang
tercipta ketika mereka berinteraksi menjadi dasar bagi mereka untuk melakukan
proses pemberdayaan. Mereka menggunakan kepercayaan yang sudah terbentuk
untuk mengajak saudara-saudaranya untuk lebih maju atau lebih baik
kehidupannya. Ketika mereka merasa kehidupan mereka berhasil, mereka tidak
langsung tinggi hati dan melupakan saudara-saudaranya di kampung yang tidak
memiliki penghasilan. Nilai-nilai kekeluargaan yang begitu kental diantara
mereka membuat mereka peduli dengan apa yang dihadapi oleh saudaranya.
Saudara mereka yang diajak merasa percaya bahwa kehidupan mereka akan lebih
baik apabila mereka mengikuti tuntunan dari para pengrajin yang sudah berhasil.
Mereka tidak pernah merasa keberatan untuk memberikan pengetahuan
mereka kepada saudara mereka yang diajak dan ingin belajar. Mereka juga tidak
keberatan untuk berbagi tempet tinggal. Dan mereka tidak pernah mengharapkan
imbalan atau bayaran dari apa yang telah mereka lakukan.
Bimbingan atau tuntunan tersebut mereka lakukan untuk mengangkat
kesejahteraan saudara-saudara sekampung mereka. Mereka merasa senang ketika
orang yang sudah dibimbng tersebut berhasil dan mampu mengangkat kehidupan
saudara yang lainnya.
Proses ini akan semakin menguatkan nilai-nilai yang telah mereka bina,
kepercayaan yang telah mereka bangun, dan juga ikatan yang sudah terjalin.
Mereka akan merasa tambah percaya satu sama lain, jaringan mereka akan
semakin luas, dan hubungan kekeluargaan antar mereka akan semakin erat.
Paguyuban memiliki peranan yang cukup penting dalam proses ini.
Paguyuban merupakan wadah yang dibentuk oleh para pengrajin untuk
mengembangkan usaha mereka. Dengan kata lain paguyuban merupakan wadah
bagi mereka untuk dapat mengakses kepentingan-kepentingan yang dapat
digunakan untuk mengembangkan usaha mereka, seperti jaringan-jaringan yang
telah dibangun oleh para pengrajin sebelumnya, kepercayaan yang sudah tertanam
antara pengrajin dengan distributor, dan norma-norma yang digunakan dalam
kehidupan mereka sehingga mereka dapat bekerja sama dengan baik.
Paguyuban secara tidak sengaja dibentuk oleh para pengrajin tahu tempe
terdahulu. Mereka saling membantu, bekerja sama, dan kerap melakukan kegiatan
secara bersama-sama. Nilai-nilai yang telah dibentuk itu menjadi nilai-nilai yang
terus digunakan sampai sekarang.
Kesejahteraan mempunyai arti yang lebih luas daripada sekedar
meningkatkan pendapatan atau tidak hanya melihat sisi ekonomi. Akan tetapi
kesejahteraan juga berkaitan dengan aspek psikologi. Oleh karena itu, belum ada
ukuran yang pasti untuk kesejahteraan.
Pengertian dan ukuran kesejahteraan yang berkembang diantara pengrajin
tahu tempe sangat beragam. Mulai dari memiliki rumah sendiri, dapat membiayai
anak sekolah, hidup nyaman, tenang, dan penghasilan yang lebih baik dari
sebelumnnya. Mbak Iis menyatakan:
Sejahtera itu kalau saya sudah punya rumah sendiri mbak, tapi
saya sekarang masih ngontrak dan masih harus membiayai adikadik saya dikampung. Jadi saya merasa bahwa hidup saya belum
sejahtera.
Pernyataan ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh Pak Atang:
Waduh, kalau dibilang sejahtera yah pasti belum soalnya saya kan
baru menjalankan usaha ini, jadi belum terlalu ngasih keuntungan
yang gede kayak orang yang sudah lebih dulu buka usaha. Sejahtera
kan bisa hidup enak, rumah bagus, punya penghasilan yang lebih.
Pernyataan diatas berbeda dengan Pak Maman, Pak Cariban, dan Pak
Daryono yang merasa bahwa hidup mereka sudah sejahtera. Pak Cariban
menyatakan:
Saya mah sudah sejahtera. Anak bisa sekolah semua. Bisa buka
usaha sendiri. Pendapatan lebih daripada sebelum jadi tukang
tempe.
Begitu juga dengan Pak Daryono yang dapat membiayai sekolah anakanaknya dan Pak Maman yang dapat menghidupi keluarganya di Tasikmalaya.
Secara nyata, kesejahteraan mereka itu tidak dapat dilihat secara langsung. Karena
lingkungan tempat tinggal mereka jauh dari ukuran sejahtera yang telah
dinyatakan oleh banyak ahli, yang dilihat dari jenis rumah, luas tanah, dan lain
sebagainya. Namun mereka bermukim di tempat seperti ini karena mereka tidak
ingin menunjukkan kepada orang-orang kota bahwa mereka berhasil. Padahal,
mereka memiliki rumah yang bagus, hidup berkecukupan, dan lingkungan yang
lebih nyaman di kampung mereka.
Posisi
kesejahteraan
mereka
dapat
digambarkan
dalam
tangga
kesejahteraan yang mereka tentukan sendiri. Nilai 1 menunjukkan bahwa mereka
sangat tidak sejahtera, 2 tidak sejahtera, 3 cukup sejahtera, 4 sejahtera, dan 5
sangat sejahtera.
Skor Kesejahteraan
5
4
3
2
1
Waktu
Sebelum
Usaha
(1975)
Mulai
Usaha
(1980)
Setelah
usaha
(2009)
Gambar 14. Grafik Kesejahteraan Pak Cariban
Pak Cariban memulai usahanya pada tahu 1980. Sebelumnya beliau masih
tinggal di Pekalongan. Beliau memulai usaha semenjak kecil. Beliau membantu
usaha orang tuanya di Pekalongan. Keadaan kehidupan beliau pada saat itu tidak
sejahtera karena beliau belum dapat mendapatkan penghasilan sendiri. Namun
pada tahun 1980 Pak Cariban bermigrasi ke Jakarta dan memulai usahanya di
Kedaung. Beliau memulai usaha tempe ini dari awal. Beliau mengambil kacang
kedelai di distributor kedelai dan beliau membuat alat-alat produksinya sendiri.
Kondisi kehidupan Pak Cariban masih tidak sejahtera. Karena beliau masih harus
bekerja keras untuk mendapatan hasil. Pada saat itu beliau masih mengontrak.
Beliau tidak dapat menumpang dengan siapapun karena beliau merupakan
pengrajin tempe pertama di Kedaung. Beliau hidup dengan fasilitas yang sangat
minim. Namun lambat laun usahanya itu membuahkan hasil. Beliau dapat
membeli rumah sendiri. Menyekolahkan anak-anaknya yang berjumlah sepuluh
orang. Beliau juga dapat membiayai hidup keluarganya di kampung. Hal semacam
ini dikenal dengan sebutan remitan. Menurut Connel (1976) yang dikutip oleh
Antari (2009), remitan merupakan uang atau barang yang dikirim oleh migran ke
daerah asal, sementara migran masih berada di tempat tujuan. Pak Cariban juga
merasa hidupnya lebih aman, tenteram, puas, dan merasa sehat.
Skor Kesejahteraan
5
4
3
2
1
Waktu
Sebelum
Usaha
(2000)
Mulai
Usaha
(2005)
Setelah
usaha
(2009)
Gambar 15. Grafik Kesejahteraan Mbak Iis
Apabila dibandingkan dengan Pak Cariban, Mba Iis memang baru
memulai usahanya. Sebelum menjadi pengrajin tempe, Mbak Iis bekerja sebagai
buruh pabrik di Pekalongan. Namun pekerjaan tersebut tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Mbak Iis tidak dapat membantu orang tuanya untuk membiayai
adik-adiknya. Setelah menikah, Mbak Iis mengikuti suaminya untuk tinggal di
Kedaung dan belajar usaha tempe dengan keponakannya. Setelah ia dan suaminya
merasa mampu untuk membuka usaha sendiri, akhirnya pada tahun 2005 Mbak Iis
memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Keadaan kehidupan Mbak Iis belum
sejahtera, karena bagi Mbak Iis sejahtera itu apabila ketika ia sudah bisa
mempunyai tempat tinggal sendiri. Sementara sekarang ini, ia masih menyewa
rumah orang lain untuk tinggal. Namun, keadaan kehidupan Mbak Iis meningkat
dari semenjak ia baru memulai usahanya, karena pada saat ia memulai usahanya ia
benar-benar tidak mempunyai modal apa-apa dan masih menumpang dengan
keponakannya.
Skor Kesejahteraan
5
4
3
2
1
Waktu
Sebelum
Usaha
(1995)
Mulai
Usaha
(2000)
Setelah
usaha
(2009)
Gambar 16. Grafik Kesejahteraan Pak Daryono
Skor Kesejahteraan
5
4
3
2
1
Waktu
Sebelum
Usaha
(1995)
Mulai
Usaha
(2000)
Setelah
usaha
(2009)
Gambar 17. Grafik Kesejahteraan Pak Maman
Pak Daryono dan Pak Maman sama-sama memulai usaha pada tahun
2000. Namun Pak Maman tidak pernah mengalami penurunan kesejahteraan,
sedangkan Pak Daryono pernah pada saat ia mulai membuka usahanya. Pak
Daryono menggunaan modal yang sudah dikumpulkan untuk membeli alat-alat
produksi dan juga membeli tempat tinggal yang mempunyai ruangan yang dapat
digunakan untuk produksi tempe. Namun setelah itu kesejahteraan Pak Daryono
terus meningkat, hal ini dikarenakan Pak Daryono juga mempunyai pekerjaan
sampingan yaitu sebagai perantara di salah satu dealer motor. Pak Daryono
merupakan pekerja keras. Beliau ingin memberikan kehidupan yang terbaik untuk
anak dan istrinya.
Berbeda dengan Pak Daryono, Pak Maman memulai usaha dengan modal
yang sudah belau persiapkan semenjak beliau ikut usaha adiknya. Kehidupannya
dulu belum sejahtera, namun sekarang beliau sudah dapat membiayai kehidupan
keluarganya yang berada di Pekalongan dan juga membeli rumah di Pekalongan.
Beliau menyatakan bahwa kehidupannya cukup sejahtera sekarang ini. Hidupnya
lebih terasa tenteram dan cukup puas karena kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi.
Skor Kesejahteraan
5
4
3
2
1
Waktu
Sebelum
Usaha
(2000)
Mulai
Usaha
(2005)
Setelah
usaha
(2009)
Gambar 18. Grafik Kesejahteraan Pak Atang
Pak Atang memulai usaha sama dengan Mbak Iis yaitu tahun 2000. Pak
Atang masih merasa bahwa kehidupannya tidak sejahtera. Namun ada
peningkatan sedikit apabila dibandingkan dengan sebelum beliau memulai usaha
tahu. Pak Atang menyatakan bahwa karena usahanya belum begitu lama sehingga
belum terlalu banyak keuntungan yang dapat diambil. Beliau juga masih harus
membagi penghasilannya dengan saudaranya yang lain yang mengelola usaha
tersebut.
Dari tangga kesejahteraan yang digambarkan dapat diketahui bahwa hanya
Pak Cariban yang berani menyatakan bahwa dirinya sudah berada dalam tingkatan
yang sejahtera. Hal ini dikarenakan Pak Cariban telah menjalani usahanya selama
29 tahun. Sementara, Pak Man dan Pak Daryono menempatkan dirinya di tingkat
cukup sejahtera. Sedangkan Mbak Iis masih menempatkan posisinya di tingkat
tidak sejahtera dan Pak Atang di tingkat sedikit diatas tidak sejahtera. Akan tetapi
dapat dilihat bahwa dari semua tangga kesejahteraan diatas terjadi peningkatan
antara sebelum memulai usaha dengan setelah menjalankan usaha. Hal ini
memperkuat pernyataan semua responden yang menyatakan bahwa usaha tahu
tempe ini cukup menjanjikan. Dengan kata lain proses pemberdayaan yang
berlangsung diantara pengrajin tahu tempe ternyata memberikan hasil dari segi
ekonomi. Keterampilan yang semakin meluas membuat orang yang awalnya tidak
memiliki keterampilan dan usaha yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya menjadikan mereka lebih berdaya dalam hal pemenuhan kehidupan dan
peningkatan kesejahteraan.
Dari grafik yang telah digambarkan, dapat diketahui bahwa para pengrajin
tahu tempe mempunyai ukuran yang berbeda berkaitan dengan tngkat
kesejahteraan masing-masing. Namun, apabila dilihat dengan menggunakan teori
kebutuhan Maslow, mereka menyatakan tingkatan yang sama. Kelima responden
menyatakan bahwa mereka berada di tingkat ketiga, yaitu kebutuhan sosial.
Mereka merasa bahwa mereka membutuhkan penerimaan dari para pengrajin lain
yang terlebih dahulu bermukim dan menjalankanusaha di Kedaung. Seperti apa
yang dikatakan oleh Pak Cariban:
Alhamdulillah, saya disini cukup dikenal dan dihargai oleh yang
lain. Tapi biar gimanapun perasaan takut ga diterima sama
masyarakat masih ada. Palagi klo dalam bersikap. Takut salah.
Begitu juga Pak Atang:
Saya kan masih baru ya perasaan takut ga diterima yah masih
ada. Makanya sekarang saya berusaha menjalin silaturahmi sama
pengrajin yang lain.
Tingkat
Kebutuhan
5. Self actualization
4. Esteem or status
3. Affiliation or acceptence
2. Safety and security
1. Psychological
Pemuas Kebutuhan
Gambar 19. Hierarki Kebutuhan Bapak Cariban, Pak Maman, dan Pak
Daryono
Tingkat
Kebutuhan
5. Self actualization
4. Esteem or status
3. Affiliation or acceptence
2. Safety and security
1. Psychological
Pemuas Kebutuhan
Gambar 20. Hierarki Kebutuhan Bapak Atang dan Mbak Iis
Gambar diatas menunjukkan bahwa pengrajin tahu tempe yang lama dan
baru berada dalam tingkatan yanng sama pada hirarki kebutuhan Maslow. Namun
Pak Cariban lebih mendekati tingkatan ke empat yaitu kebutuhan akan
penghargaan. Karena beliau sudah cukup lama bermukim di Kedaung sehingga
para pengrajin tahu tempe yang lain sudah cukup mengenal dan menerima
keberadaan beliau. Begitu juga dengan Pak Man dan Pak Daryono. Sedangkan
Pak Atang dan Mbak Iis, masih berada di awal tingkat ke tiga yaitu kebutuhan
sosial. Hal ini dikarenakan Pak Atang dan Mbak Iis belum lama berada di
Kedaung sehingga masih membutuhkan banyak waktu untuk dapat diterima oleh
pengrajin yang lain.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial yang dimiliki oleh
pengrajin tahu tempe di Kedaung menjadi dasar bagi terlaksananya proses
pemberdayaan yang berlangsung diantara mereka. Norma kekeluargaan,
kebersamaan, toleransi dan kepercayaan menjadi pendorong bagi para pengrajin
untuk membuat saudara sekampungnya menjadi lebih berdaya dan mendapatkan
kehidupan yang lebih baik. Selain itu, norma-norma ini dapat memperluas jejaring
yang telah mereka miliki, sehingga jaringan yang mereka miliki tidak hanya
terbatas pada komunitas pengrajin tahu tempe saja, akan tetapi juga dengan pihakpihak yang mendukung pengembangan usaha yang mereka miliki.
Proses pemberdayaan dimaksudkan untuk memberikan keterampilan
kepada orang-orang yang berasal dari daerah yang sama sebagai sasaran utama
sehingga terjadi peningkatan ekonomi. Dengan kata lain, mereka ikut membantu
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, mereka
menggunakan kemampuan dan modal yang mereka miliki sendiri untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan dirinya dan saudara sekampungnya.
Proses pemberdayaan ini memang memberikan hasil yang cukup
memuaskan. Para pengrajin yang terlibat langsung dalam proses pemberdayaan
mengalami peningkatan kesejahteraan. Mereka merasa bahwa keterampilan yang
mereka dapatkan merupakan keterampilan yang dapat memberikan keuntungan
bagi mereka. Hidup mereka lebih berkecukupan, mereka dapat membiayai
pendidikan bagi anak-anaknya, dapat memiliki rumah sendiri, dan dapat
membiayai keluarganya yang berada di daerah asal mereka. Semua ini membuat
mereka lebih merasa nyaman, aman, tenteram, bahagia, puas, merasa diterima,
dan diakui dalam komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mereka
mengalami peningkatan kesejahteraan baik kesejahteraan materi ataupun
kesejahteraan non-materi.
7.2 Saran
Saran yang diberikan dan dapat dijadikan bahan pertimbangan, yaitu
terutama untuk Paguyuban. Sebaiknya Paguyuban melakukan pembinaan atau
menerapkan proses pemberdayaan yang sudah berlangsung kepada masyarakat
Kedaung yang lain. Proses pemberdayaan seperti yang berlangsung di komunitas
pengrajin tahu tempe di Kedaung juga dapat diadopsi oleh kelompok lain untuk
memberdayakan diri mereka sendiri dan juga dapat diadopsi oleh institusi ketika
melakukan proses pemberdayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Antari, Ni Luh Sili. 2009. Pengaruh Pendapatan, Pendidikan, dan Remitan
terhadap Pengeluaran Konsumsi Pekerja Migran Nonpermanen di
Kabupaten Badung (Studi Kasus pada Dua Kecamatan di Kabupaten
Badung).
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/_6_%20naskah%20sili.pdf.
(diakses tanggal 30 Juni 2009)
Badan Pusat Statistik. 1995. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS
Bappekab. 2009. Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Terpadu Usaha
Kecil dan Menengah Koperasi Kabupaten Sidoarjo.
http://www.bappekab.sidoarjokab.go.id/?file=04-doc-hsl-kajian/ripukm.htm. (diakses tanggal 7 April 2009)
Gugus Tugas II Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat. 2004. Pemberdayaan Masyarakat dalam
Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta
Hasibuan, M.S.P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
Hikmat, Harry. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama
Ismawan, Bambang. 2002. Ekonomi Rakyat: Sebuah Pengantar dalam Jurnal
Ekonomi Rakyat Th.1-No.1. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1
/artikel_6.htm. (diakses tanggal 7 April 2009)
Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui
Kemitraan Guna Mewujudkan Ekonomi Nasional Yang Tangguh dan
Mandiri disampaikan pada Seminar Nasional Lembaga Pembinaan Usaha
Kecil Menengah dan Koperasi 7 November 1996 di Jakarta.
http://www.ginandjar.com/public/10PemberdayaanEkonomiRakyatMelalui
Kemitraan.pdf. (diakses tanggal 7 April 2009)
Khrisnamurti, Bayu. 2002. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Mencari Format
Kebijakan Optimal dalam Jurnal Ekonomi Rakyat Th.1-No.2.
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_6.htm. (diakses tanggal 7
April 2009)
Krishna, Anirudh. 2000. Creating and Harnessing Social Capital dalam Social
Capital a Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank
Munir, Misbahul. 2008. Pengaruh Konversi Lahan terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga Petani (kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan
Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Skripsi. Fakultas
Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soembodo, Benny. 2009. Aspirasi Sosial Budaya Masyarakat Pedesaan Terhadap
Kesejahteraan Keluarga. http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/
ASPIRASI%20SOSIAL%20BUDAYA%20MASYARAKAT%20PEDES
AAN.pdf. (diakses tanggal 7 April 2009)
Sadiwak, M. 1985. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi
Petani Transmigrasi di Delta Sumatera Selatan. Tesis. Fakultas
Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Stoner, J.A.F dan R.E. Freeman. 1994. Manajemen. Jilid 1. Edisi Kelima. Jakarta:
Intermedia.
Suharto,
Edi.
2009.
Modal
Sosial
dan
Kebijakan
Publik.
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/MODAL_SOSIAL_DAN_
KEBIJAKAN_SOSIAL.pdf. (diakses tanggal 7 April 2009)
Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT.
Garamedia Pustaka Utama
Wrihantolo, Randy R. dan Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2007. Manajemen
Pemberdayaan : Sebuah Pengantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan
Masyarakat. Jakarta: Elex Media Komputindo
Lampiran 1
Tabel Rencana Penyelesaian Skripsi
No
Kegiatan
April
1
I
2
Mei
3
4
1
Juni
2
3
Juli
4
1
2
Agustus
3
4
1
2
Proposal dan Kolokium
1. Penyusunan Draft Proposal, konsultasi, dan
revisi
2. Observasi Lapangan
3. Kolokium
II
Studi Lapangan
1. Pengumpulan Data
2. Analisis Data
III
Penulisan Laporan
1. Penyusunan Draft dan Revisi
2. Konsultasi Laporan
IV
Ujian Skripsi
1. Ujian
2. Perbaikan Skripsi
86
3
4
Lampiran 2
Matriks Metodologi Pengumpulan Data
No
1.
Masalah
Konteks umum lokasi
Data Yang Diperlukan
- Gambaran umum desa
Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data
-
Data sekunder
- Studi literatur : data desa
-
Data Primer
- Wawancara kepada responden
-
Data Primer
(sejarah desa, potensi
desa)
- Profil masyarakat
(jumlah penduduk, mata
pencaharian)
- Profil kelompok pembuat
tempe dan tahu (jumlah
pelaku usaha,
karakteristik pelaku
usaha)
2.
Konstruksi Modal Sosial
- Bentuk-bentuk modal
sosial (kepercayaan,
-
Wawancara
mendalam
kepada responden
jaringan, dan norma)
- Proses terbentuknya
87
modal sosial
3.
Peran Modal Sosial dalam
- Proses Pemberdayaan
Proses Pemberdayaan Ekonomi
- Pihak yang terlibat
Kelompok Usaha Rumah
- Peran modal sosial dalam
Tangga
4.
Pengaruh Proses Pemberdayaan
Terhadap Kesejahteraan
-
Data primer
-
Wawancara
mendalam
kepada responden
proses pemberdayaan
- Ukuran kesejahteraan
yang berkembang
-
Data primer
-
Wawancara
mendalam
kepada responden
diantara mereka
- Hasil pemberdayaan
(pemekaran usaha,
perluasan jaringan usaha,
peningkatan pendapatan)
88
Lampiran 3
PANDUAN PERTANYAAN
A.
Profil Komunitas
1. Kapankah pertama kali anda membuka usaha ini?
2. Dimana pertama kalinya anda membuka usaha ini?
3. Jika langsung di daerah ini, bagaimana keadaan daerah ini pada saat itu? Dan apa alasan membuka usaha di daerah ini?
4. Apa memang sudah banyak orang atau rumah tangga yang membuka usaha ini?
5. Kira-kira berapa banyak atau jumlah rumah tangga yang sudah memulai usaha ini pada saat anda memulai usaha?
6. Apakah terjadi perubahan dalam hal jumlah apabila dibandingkan dengan keadaan sekarang?
7. Apakah meningkat atau menurun?
8. Kira-kira berapa banyak jumlah usaha rumah tangga tempe tahu saat ini?
9. Dari sejumlah rumah tangga yang membuka usaha tempe tahu ini, sebagian besar pelaku usahanya berasal dari mana?
10. Warga asli daerah ini ataukah pendatang (berasal dari daerah yang lain)?
B.
Konstruksi Modal Sosial
1. Bagaimanakah kehidupan bertetangga di daerah ini?
2. Bagaimanakah hubungan yang terjalin antar pelaku usaha pembuat tempe tahu ini? baik dengan yang sudah lama membuka usaha
ataupun yang baru?
3. Selain dengan sesama pelaku usaha apakah anda mempunyai hubungan dengan yang lainnya? Misalnya dengan pemasok, pasar, bank,
atau yang lainnya?
4. Bagaimanakah hubungan yang terjalin tersebut?
5. Apakah hanya hubungan bisnis saja atau lebih dari itu?
6. Apakah alasan anda mau menjalin kerjasama dengan pihak-pihak tersebut?
7. Apakah ada aturan-aturan yang mengikat dalam hubungan-hubungan yang terjalin tersebut?
8. Apakah anda pernah melakukan kegiatan pinjam meminjam dengan mereka?
9. Untuk apa?
10. Bagaimana prosedur pengembaliannya?
11.Apakah ada aturan dalam kegiatan tersebut?
12.Bagaimana jika ada yang terlambat dalam melakukan pengembalian?
13.Apakah sanksinya?
89
C.
Peran Modal Sosial dalam Proses Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga
1. Pertama kali anda membuka usaha ini, apakah anda sudah memiliki keterampilan membuat tempe atau tahu?
2. Dari mana anda memperoleh keterampilan tersebut?
3. Siapa yang mengajarkan anda keterampilan ini?
4. Anda yang minta diajarkan atau anda diajak?
5. Apakah hubungan anda dengan pihak tersebut?
6. Bagaimana pihak tersebut mengajak anda untuk belajar keterampilan ini?
7. Mengapa anda tertarik dengan ajakannya?
8. Bagaimanakah hubungan anda dengan pihak yang mengajak tersebut?
9. Setelah menjalankan usaha ini, apakah pihak tersebut mempengaruhi anda?
10.Apakah ada hal-hal yang anda harus lakukan untuk mengganti jasanya?
11.Dari manakah modal yang anda dapatkan untuk membuka usaha ini pertama kali?
12.Apakah dari pihak yang mengajarkan atau ada sumber lain?
13. Berupa pinjaman ataukah anda memiliki modal sendiri?
14. Sejauh ini, bagaimanakah keadaaan usaha yang anda jalankan?
15.Apakah terjadi perubahan sumber daya, besar usaha, ataupun luas jaringan?
16.Bagaimanakah pengaruhnya dengan surpulus ekonomi?
D.
Pengaruh Proses Pemberdayaan Terhadap Kesejahteraan
1. Apakah pengertian kesejahteraan yang berkembang di antara pembuat tempe dan tahu?
2. Adakah ukuran-ukuran atau indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan tersebut? Misalnya jenis rumah, perhiasan yang
dipakai, kendaraan yang dimiliki, kesenangan, atau yang lainnya.
3. Apakah anda sudah merasa sejahtera?
4. Bagaimanakah keadaan yang anda rasakan sebelum memulai usaha?
5. Apakah anda merasa sejahtera pada saat itu?
6. Apakah perubahan yang terjadi setelah anda melakukan usaha?
90
Lampiran 4
Gambar 1. Sekretariat Paguyban Pengrajin Tahu Tempe
Gambar 2. Stok Kedelai Paguyuban untuk Dikirim Ke
Rumah Pembeli
91
Download