PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, CiputatBanten) NUR PUTRI AMANAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, CiputatBanten) Oleh: Nur Putri Amanah I34053663 SKRIPSI Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Abstract Nur Putri Amanah. The Economic Empowerment of Household Work Group Based on Social Capital. Supervised by Murdianto Empowerment is an activity to make a powerless individual or group becomes powerful. Empowerment is usually done by government, private, or NGOs toward civil society, whom can not able to make themselves independent. The process of empowerment is generally done by giving information and knowledge, skills, as well as chances to implement those skills. However, that case was not always occurring on the real life. The life of “Tahu-Tempe”craftsman makers in Kedaung was one of the examples. They used their own social capital as an apparatus to make their relatives powerful. This showed that civil society was also able to execute the empowerment process to increase their independent and prosperity. Keywords: Empowerment, Social Capital, Prosperity RINGKASAN Nur Putri Amanah. Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial. Dibimbing oleh Murdianto Pelaksanaan kebijakan negara terkadang menyebabkan masyarakat bahkan negara semakin bergantung dengan pihak lain, salah satunya adalah masyarakat elit yang selalu menggantungkan hidupnya dengan produk luar negeri. Hal ini mencerminkan masyarakat Indonesia yang tidak mandiri. Perekonomian nasional Indonesia menjadi tidak tangguh dan tidak mandiri. Selain itu, usaha kecil dan menengah di Indonesia masih kurang diperhatikan sehingga daya saing internasional produk usaha kecil dan menengah tersebut masih lemah. Keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian nasional merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan, masyarakat (komunitas) memiliki modal sosial yang dapat berfungsi sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat itu sendiri sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya. Modal sosial yang dimiliki masyarakat, seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan, kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat, dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997 dalam Suharto, 2009). Modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai pemicu pemberdayaan dalam suatu komunitas. Modal sosial dikatakan sebagai pemicu pemberdayaan komunitas (dalam penelitian ini kelompok usaha rumah tangga) karena dalam modal sosial terdapat nilai-nilai gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial contohnya pemberdayaan yang berlangsung diantara pengrajin tahu tempe di Kedaung. Mereka menggunakan modal sosial yang mereka miliki untuk mengembangkan usaha mereka. Hal ini juga dapat membuat anggota kelompok lain yang tidak berdaya menjadi semakin berdaya. Selanjutnya pemberdayaan ini akan semakin menguatkan modal sosial, karena anggota kelompok akan semakin tinggi rasa kepercayaannya satu sama lain, dan merasa diri mereka merupakan suatu kesatuan. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan bangunan modal sosial yang dimiliki oleh kelompok usaha pengrajin tahu tempe yang masih bertahan sampai saat ini yang berada di Kedaung, serta peran dari modal sosial tersebut dalam proses pemberdayaan ekonomi kelompok. Selain itu peneliti juga mencoba untuk mengetahui pengaruh proses pemberdayaan terhadap kesejahteraan. Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam dengan menggunakan panduan pertanyaan. Panduan pertanyaan merupakan hal-hal yang akan diketahui sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian. Hasil wawancara diolah langsung dan diklasifikasikan agar lebih mudah mengetahui kecukupan data yang diambil. Kemudian hasil tersebut disajikan dalam bentuk narasi, gambar, bagan, dan grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial yang dimiliki oleh pengrajin tahu tempe di Kedaung menjadi dasar bagi terlaksananya proses pemberdayaan yang berlangsung diantara mereka. Norma kekeluargaan, kebersamaan, toleransi dan kepercayaan menjadi pendorong bagi para pengrajin untuk membuat saudara sekampungnya menjadi lebih berdaya dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, norma-norma ini dapat memperluas jaringan yang telah mereka miliki. Sehingga jaringan yang mereka miliki tidak hanya terbatas pada komunitas pengrajin tahu tempe saja, akan tetapi juga dengan pihak-pihak yang mendukung pengembangan usaha yang mereka miliki. Proses pemberdayaan dimaksudkan untuk memberikan keterampilan kepada orang-orang yang berasal dari daerah yang sama sebagai sasaran utama sehingga terjadi peningkatan ekonomi. Dengan kata lain, mereka ikut membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, mereka menggunakan kemampuan dan modal yang mereka miliki sendiri untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dirinya dan saudara sekampungnya. Proses pemberdayaan ini memang memberikan hasil yang cukup memuaskan. Para pengrajin yang terlibat langsung dalam proses pemberdayaan mengalami peningkatan kesejahteraan. Mereka merasa bahwa keterampilan yang mereka dapatkan merupakan keterampilan yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka. Hidup mereka lebih berkecukupan, mereka dapat membiayai pendidikan bagi anak-anaknya, dapat memiliki rumah sendiri, dan dapat membiayai keluarganya yang berada di daerah asal mereka. Semua ini membuat mereka lebih merasa nyaman, aman, tenteram, bahagia, puas, merasa diterima, dan diakui dalam komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengalami peningkatan kesejahteraan baik kesejahteraan materi ataupun kesejahteraan non-materi. SKRIPSI Judul : Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial Nama Mahasiswa : Nur Putri Amanah NRP : I34053663 Disetujui, Dosen Pembimbing Ir. Murdianto, MSi NIP. 19630729 1992 031 001 Diketahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827198303 1 001 Tanggal Lulus: __________________ LEMBAR PERNYATAAN DENGAN BERJUDUL INI SAYA MENYATAKAN “PEMBERDAYAAN BAHWA SKRIPSI EKONOMI KELOMPOK YANG USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL” BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI. TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH SAYA. DEMIKIAN PERNYATAAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA INI SAYA BERSEDIA BUAT DENGAN MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAAN INI. Bogor, Agustus 2009 Nur Putri Amanah I34053663 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang, 30 Maret 1987. Penulis adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan suami isteri Faried Hidayat dan Maryamah. Pada tingkat dasar, penulis bersekolah di SDN Ciputat IX. Selanjutnya melanjutkan pendidikan ke SLTPN 85 Jakarta. Kemudian melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 25 Pamulang. Penulis memiliki hobi bermain musik dan membaca komik. Penulis aktif di ekstrakurikuler paskibra pada saat SLTP dan aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah pada saat SMA. Setelah lulus dari SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Penulis mengambil Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia. Selama berada di IPB penulis aktif mengikuti berbagai keorganisasian ataupun kepanitiaan seperti Himasiera sebagai sekretaris I, Commnex 2008, Promosi KPM, Masa Pekenalan Departemen, dan Malam Keakraban KPM. Penulis juga sempat mengikuti Training Basic Participatory yang diselenggarakan oleh Corporate Forum Community Development (CFCD) ketika Kuliah Kerja Profesi. KATA PENGANTAR Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga Berbasis Modal Sosial”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dosen pembimbing yaitu Bapak Ir. Murdianto, MSi atas masukan, arahan dan bimbingannya. 2. Anton Supriadi dan Cici Wardini, atas masukan dan kritik sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan lebih baik. 3. Agus Gumilar dan juga kepada seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya, teman-teman atas bantuannya, dan pihak-pihak lain yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini. Penulis sadar bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat disusun secara sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca senantiasa Penulis harapkan, semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Agustus 2009 Nur Putri Amanah DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………. DAFTAR ISI …………………………..………………………………...... DAFTAR TABEL ………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… i ii iv v vi BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………. 1.1 Latar Belakang ……………………………………………….. 1.2 Perumusan Masalah ………………………………………….. 1.3 Pertanyaan Penelitian ………………………………………… 1.4 Tujuan Penelitian …………………………………………….. 1.5 Kegunaan Penelitian …………………………………………. 1 1 3 3 4 4 BAB II. PENDEKATAN TEORITIS ………………………………….. 2.1 Tinjauan Pustaka ……………………………………………. 2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat …………………………… 2.1.1.1 Konsep Pemberdayaan ……………………….. 2.1.1.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat ………….. 2.1.1.3 Praktek Pemberdayaan Masyarakat ………….. 2.1.2 Pemberdayaan Ekonomi Rakyat ……………………… 2.1.3 Modal Sosial ………………………………………….. 2.1.4 Kelompok Usaha Rumah Tangga …………………….. 2.1.5 Kesejahteraan …………………………………………. 2.2 Kerangka Pemikiran ………………………………………… 2.2.1 Deskripsi dan Bagan Alur Berpikir …………………… 2.2.2 Hipotesis Pengarah ……………………………………. 2.2.3 Definisi Konseptual …………………………………… 5 5 5 5 7 7 10 16 21 24 32 32 33 34 BAB III. PENDEKATAN LAPANGAN ………………………………. 3.1 Metode Penelitian …………………………………………. 3.2 Lokasi Penelitian …………………………………………... 3.3 Waktu Penelitian …………………………………………... 3.4 Penentuan Unit Analisis, Informan, dan Responden ……… 3.4.1 Penentuan Unit Analisis ……………………………... 3.4.2 Penentuan Informan …………………………………. 3.4.3 Penentuan Responden ……………………………….. 3.5 Metode Pengumpulan Data ………………………………... 3.6 Metode Analisis Data ……………………………………… 36 36 37 37 37 37 38 38 38 39 BAB IV. PROFIL PAGUYUBAN ………………………........................ 4.1 Sejarah Desa ………………………………………….......... 4.2 Sejarah Paguyuban…………………………………............. 4.2.1 Gambaran Umum ……………………………………. 40 40 40 42 4.2.1 Visi dan Misi ………………………………………… 4.2.3 Anggota ……………………………………………… 4.2.4 Kegiatan ……………………………………………... 4.2.4.1 Bidang Sosial ……………………………….. 4.2.4.2 Bidang Keagamaan …………………………. 4.2.4.3 Bidang Usaha ……………………………….. 4.2.5 Manfaat ……………………………………………… BAB V. BANGUNAN MODAL SOSIAL …………………………… 42 43 43 44 44 45 45 46 BAB VI. MODAL SOSIAL, PENGEMBANGAN USAHA, DAN KESEJAHTERAAN PENGRAJIN TAHU TEMPE ……... 65 BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN …………………………… 84 DAFTAR TABEL Tabel 1. Perbandingan Modal Institusional dan Modal Relasional ..... 18 DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar 1. Hal. Skema Daur Hidup Pengembangan SDM dalam 14 Kelembagaan Kelompok Orang Miskin ................................ Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Skema Daur Hidup Pengembangan Usaha Produktif dalam Kelembagaan Kelompok Orang Miskin …………………… Skema Daur Hidup Kelembagaan Kelompok Orang Miskin .................................................................................... Skema Pengklasifikasian Paduan Modal Institusional dan Modal Relasional ................................................................... Hierarki Kebutuhan Maslow ................................................. Bagan Kerangka Analisis ………………………………….. Bagan Jejaring Pak Maman Sebagai Pengrajin Tahu Lama.. Bagan Jejaring Pak Atang Sebagai Pengrajin Tahu Baru….. Bagan Jejaring Pak Cariban Sebagai Pengrajin Tempe Terlama di Kedaung ……………………………………….. Bagan Jejaring Mba Iis Sebagai Pengrajin Tempe Yang Paling Baru di Kedaung …………………………………… Bagan Jejaring Pak Daryono Sebagai Ketua Paguyuban ….. Bagan Jejaring Pengrajin Tahu Tempe ……………………. Bagan Proses Pemberdayaan Pengrajin Tahu Tempe ……... Grafik Kesejahteraan Pak Cariban ………………………… Grafik Kesejahteraan Mbak Iis ……………………………. Grafik Kesejahteraan Pak Daryono ………………………... Grafik Kesejahteraan Pak Maman …………………………. Grafik Kesejahteraan Pak Atang …………………………... Hierarki Kebutuhan Bapak Cariban, Pak Maman, dan Pak Daryono …………………………………………………… Hierarki Kebutuhan Bapak Atang dan Mbak Iis ………….. 14 15 19 29 33 54 55 61 62 63 64 71 76 77 78 79 80 82 83 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Tabel Rencana Penyelesaian Skripsi …………………………....86 Lampiran 2. Matriks Metodologi Pengumpulan Data ………………………...87 Lampiran 3. Panduan Pertanyaan …………………………………………… 89 Lampiran 4. Dokumentasi ………………………………………………….... 91 Lampiran 5. Catatan Harian …………………………………………………...92 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan kebijakan negara terkadang menyebabkan masyarakat bahkan negara semakin bergantung dengan pihak lain, salah satunya adalah masyarakat perkotaan, misalnya Jakarta. Masyarakat Jakarta identik dengan sifat yang konsumtif dan selalu membangga-bangakan produksi luar negeri. Padahal di sisi lain di Jakarta terdapat komunitas-komunitas yang memproduksi barang-barang kebutuhan masyarakat Jakarta tersebut, misalnya komunitas pengrajin tahu tempe di Kedaung. Namun hal ini terabaikan. Hal ini tidak dapat dihindari karena sifat masyarakat Indonesia yang konsumtif. Hal ini juga yang membuat masyarakat Indonesia tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Perekonomian nasional Indonesia menjadi tidak tangguh dan tidak mandiri. Selain itu, usaha kecil dan menengah di Indonesia kurang diperhatikan sehingga daya saing produk usaha kecil dan menengah di kancah internasional tersebut masih lemah. Pada tahun 1994, nilai ekspor industri kecil (rumah tangga) dan menengah nasional baru mencapai 11,1 persen dari total ekspor industri pengolahan di luar migas atau 6,2 persen dari seluruh nilai ekspor. Berarti, ekspor kita sebagian terbesar dilakukan oleh usaha besar (Kartasasmita, 1996). Daya saing internasional produk usaha kecil dan menengah masih lemah. Padahal seperti yang kita ketahui, usaha-usaha kecil inilah yang dapat berfungsi sebagai pondasi bagi perekonomian nasional. Apabila usaha kecil (rumah tangga) ini diperkuat maka perekonomian nasional akan semakin kuat. Menurut Kartasasmita (1996) ekonomi nasional yang tangguh dan mandiri hanya dapat terwujud apabila pelaku-pelakunya tangguh dan mandiri, dan seluruh partisipasi masyarakat dikerahkan, yang berarti partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. Masyarakat diikutsertakan dalam berbagai aspek dengan tujuan melancarkan pembangunan serta pemerataan hasil pembangunan tersebut. Keikutsertaan masyarakat diharapkan mampu membuat masyarakat dapat memandirikan diri mereka sendiri. Keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian nasional merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan, masyarakat (komunitas) memiliki modal sosial yang dapat berfungsi sebagai penguat komunitas itu sendiri. Modal sosial yang dimiliki masyarakat, seperti kepercayaan, kohesifitas, altruism, gotong royong, jaringan, kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat, dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997 dalam Suharto, 2009). Modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai pemicu pemberdayaan dalam suatu komunitas. Modal sosial dikatakan sebagai pemicu pemberdayaan komunitas (dalam penelitian ini kelompok usaha rumah tangga) karena dalam modal sosial terdapat nilainilai gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial. Hal ini dapat membuat anggota kelompok lain yang tidak berdaya menjadi semakin berdaya. Selanjutnya pemberdayaan ini akan semakin menguatkan modal sosial, karena anggota kelompok akan semakin tinggi rasa kepercayaannya satu sama lain, dan merasa diri mereka merupakan suatu kesatuan. Peneliti bermaksud meneliti hal-hal yang terkait di atas pada salah satu kelompok usaha rumah tangga yang masih bertahan sampai saat ini, yaitu usaha pembuatan tahu tempe yang berada di Desa Kedaung, Ciputat. Peneliti bermaksud untuk mengetahui konstruksi modal sosial kelompok usaha pengrajin tahu tempe, serta peran dari modal sosial tersebut dalam proses pemberdayaan ekonomi kelompok. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui pengaruh proses pemberdayaan terhadap kesejahteraan. 1.2 Perumusan Masalah Pertanyaan penelitian yang diajukan antara lain: 1. Bagaimana bangunan modal sosial kelompok usaha pengrajin tahu tempe di Kedaung, Ciputat? 2. Bagaimana peran modal sosial dalam proses pemberdayaan ekonomi kelompok usaha rumah tangga pengrajin tahu tempe di Kedaung, Ciputat dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Menjelaskan bangunan modal sosial kelompok usaha pengrajin tahu tempe di Desa Kedaung, Ciputat. 2. Menjelaskan peran modal sosial dalam proses pemberdayaan ekonomi kelompok usaha rumah tangga pengrajin tahu tempe di Kedaung, Ciputat dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan. 1.4 Kegunaan Penelitian 1. Bagi peneliti : dapat menambah wawasan mengenai pemberdayaan ekonomi rakyat yang dilihat dari sisi lain yaitu modal sosial melalui usaha rumah tangga serta korelasinya dengan kesejahteraan. Selain itu, dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi praktek pemberdayaan. 2. Bagi akademisi: dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pemberdayaan. 3. Bagi pemerintah: dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan yang lebih valid tentang pemberdayaan masyarakat. 4. Bagi masyarakat: dapat dijadikan sebagai bahan acuan yang berguna untuk menambah wawasan mengenai pemberdayaan. BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat 2.1.1.1 Konsep Pemberdayaan Konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat (Hikmat, 2006). Pembangunan tidak lagi berpusat pada pemerintah tetapi juga dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah seringkali terhambat oleh karena pemerintah tidak mengetahui untuk siapa, apa pendekatan yang sesuai, dan bagaimana caranya program pembangunan tersebut dilaksanakan. Program pembangunan yang terpusat pada pemerintah seringkali mencapai tujuannya secara makro namun pada hakikatnya komunitas yang berada di tingkat mikro tidak mendapat pengaruh ataupun tidak dijangkau oleh pembangunan tersebut. Sosiologi struktural fungsionalis Parson menyatakan bahwa konsep power dalam masyarakat adalah variabel jumlah. Power masyarakat adalah kekuatan masyarakat secara keseluruhan yang disebut sebagai tujuan kolektif. Misalnya, masyarakat diberdayakan berdasarkan kebutuhan yang mereka rasakan. Weber dalam Hikmat (2006) mendefinisikan power sebagai kemampuan seseorang atau individu atau kelompok untuk mewujudkan keinginannya. Pada akhirnya kekuatan (power) adalah kemampuan untuk mendapatkan atau mewujudkan tujuan (Hikmat, 2006). Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Mandiri berarti masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya (baik secara individu ataupun kolektif) melalui usaha yang dilakukan dan tidak bergantung pada yang lain. Jaringan kerja merupakan kerangka kerjasama yang dilakukan oleh stakeholder yaitu pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat sehingga pembangunan tidak merugikan pihak manapun dan dapat memberikan hasil yang merata yang merupakan konsep keadilan (kesejahteraan yang merata). Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan semua pihak yang berkaitan termasuk masyarakat itu sendiri. Masyarakat diberi kesempatan untuk ikut merencanakan, melaksanakan, dan menilai. Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu sentral pembangunan sementara itu strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi, dan sikap kemandirian (Hikmat, 2006). Partisipasi masyarakat merupakan potensi yang dapat digunakan untuk melancarkan pembangunan. Prinsip pembangunan yang partisipatif menegaskan bahwa rakyat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan dengan kata lain pembangunan tersebut bersifat bottom up (dari bawah ke atas). Pemerintah tidak lagi berperan sebagai penyelenggara akan tetapi telah bergeser menjadi fasilitator, mediator, koordinator, pendidik, ataupun mobilisator. Adapun peran dari organisasi lokal, organisasi sosial, LSM, dan kelompok masyarakat lebih dipacu sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana program. 2.1.1.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat Ada tiga strategi utama pemberdayaan dalam praktek perubahan sosial, yaitu tradisional, direct action (aksi langsung), dan transformasi (Hanna dan Robinson, 1994 dalam Hikmat, 2006). 1. Strategi tradisional menyarankan agar mengetahui dan memilih kepentingan terbaik secara bebas dalam berbagai keadaan. Dengan kata lain semua pihak bebas menentukan kepentingan bagi kehidupan mereka sendiri dan tidak ada pihak lain yang mengganggu kebebasan setiap pihak. 2. Strategi direct-action membutuhkan dominasi kepentingan yang dihormati oleh semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut perubahan yang mungkin terjadi. Pada strategi ini, ada pihak yang sangat berpengaruh dalam membuat keputusan. 3. Strategi transformatif menunjukkan bahwa pendidikan massa dalam jangka panjang dibutuhkan sebelum pengindentifikasian kepentingan diri sendiri. 2.1.1.3 Praktek Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui konsientisasi. Proses konsientisasi diartikan sebagai proses pemberdayaan kolektif untuk menentang pemegang kekuasaan melalui kesadaran berpolitik. Konsientisasi merupakan proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan hubungan-hubungan politis, ekonomi, dan sosial. Masyarakat dibangkitkan pemahamannya akan kekuatan yang sebenarnya mereka miliki. Masyarakat tidak hanya sebagai penerima program sementara mereka tidak mengetahui tujuan dari program tersebut. Masyarakat juga dapat berperan sebagai pembuat keputusan sendiri. Dengan cara ini orang akan mampu mengambil tindakan sendiri untuk menentang unsur opresif dari realitasnya, termasuk didalamnya pemecahan (pematahan) hubungan antara subjek dan objek untuk kemudian membentuk esensi partisipasi yang sungguh-sungguh. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Masyarakat yang tidak berdaya diberi ilmu pengetahuan, kesempatan bertindak, sehingga mereka merasa mampu dan merasa pantas untuk dilibatkan. Kedua, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Kedua kecenderungan ini saling terkait kadangkala keduanya bertukar posisi dalam prosesnya (Pranarka dan Vidhyandika, 1996 dalam Hikmat, 2006). Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007) pemberdayaan merupakan sebuah proses sehingga mencakup tahapan-tahapan tertentu, yaitu penyadaran, capacity building, dan pendayaan. Tahap penyadaran merupakan tahap dimana target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mencapai “sesuatu”. Misalnya pemberian pengetahuan yang bersifat kognisi, belief, dan healing. Intinya target dibuat mengerti bahwa mereka perlu berdaya yang dimulai dari dalam diri mereka sendiri. Tahap kedua yaitu “capacity building” atau pengkapasitasan, memampukan atau enabling. Target harus mempunyai kemampuan terlebih dahulu sebelum mereka diberikan daya atau kuasa. Proses capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu manusia, organisasi, dan sistem nilai. Pengkapasitasan manusia misalnya training (pelatihan), workshop (loka latih), dan seminar. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut. Namun pengkapasitasan organisasi ini jarang dilakukan karena ada anggapan apabila pengkapasitasan manusia sudah dilakukan maka pengkapasitasan organisasi akan berlaku dengan sendirinya. Jenis yang ketiga adalah pengkapasitasan sistem nilai. Sistem nilai adalah “aturan main”. Dalam cakupan organisasi sistem nilai berkenaan dengan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga, atau sistem dan prosedur. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya organisasi, etika, dan good governance. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan “aturan main”. Pengkapasitasan ini jarang dilakukan juga karena sama dengan pengkapasitasan organisasi ada stereotype bahwa pengkapasitasan ini dapat terbentuk dengan sendirinya setelah pengkapasitasan manusia. Tahap yang terakhir adalah pemberian daya atau “empowerment” dalam makna sempit. Target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang sesuai dengan kapasitas kecakapan yang telah dimiliki. 2.1.2 Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Sumodingrat (1999) menyatakan bahwa perekonomian rakyat merupakan padanan istilah ekonomi rakyat yang berarti perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat. Perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat merupakan usaha ekonomi yang menjadi sumber penghasilan keluarga. Ekonomi rakyat berbeda dengan ekonomi kerakyatan. Ekonomi rakyat merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat itu sendiri dengan menggunakan sumber daya yang mereka miliki dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu pangan, sandang, dan papan. Sedangkan ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat. Konsep ekonomi rakyat ini tidak membedakan antara ’rakyat’ dengan ’bukan rakyat’ karena akan menimbulkan asumsi tentang ’elite’. Istilah rakyat dalam konsep ini berarti warga negara Indonesia secara menyeluruh yang berperan dalam pembangunan dengan kesempatan dan peluang yang sama. Menurut Mubyarto (1994) dalam Sumodiningrat (1999) istilah ekonomi rakyat dapat diartikan ekonomi usaha kecil sebagai upaya pemihakan. Upaya pemihakan disini dimaksudkan agar pembangunan dapat memberikan kesejahteraan yang adil dan merata. Tidak hanya kelompok-kelompok tertentu yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan, akan tetapi seluruh warga negara yang mempunyai peran dapat juga menikmati hasil pembangunan. Sedangkan Krisnamurthi (2002) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi rakyat banyak dan pengertian dari ekonomi rakyat (banyak) adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga rakyat Indonesia. Keith (1973) dalam Ismawan (2002) menyatakan penggolongan kegiatan ekonomi rakyat, yaitu: a) Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder: pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan (semua dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten), pengrajin kecil, penjahit, produsen makanan kecil, dan semacamnya. b) Kegiatan-kegiatan tersier: transportasi (dalam berbagai bentuk), kegiatan sewa menyewa baik perumahan, tanah, maupun alat produksi. c) Kegiatan-kegiatan distribusi: pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, penyalur dan agen, serta usaha sejenisnya. d) Kegiatan-kegiatan jasa lain: pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir, tukang sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya. Ekonomi rakyat juga memiliki karakteristik meskipun sebenarnya karakteristik ekonomi rakyat sangat beragam dan tergantung dari jenis kegiatannya. Namun Ismawan (2002) menyebutkan bahwa ekonomi rakyat memiliki lima karakteristik, yaitu: 1. Informalitas, sebagian besar ekonomi rakyat melakukan kegiatannya di luar kerangka legal dan pengaturan yang ada. Hal ini disebabkan dengan rendahnya efektivitas kebijakan pemerintah sehingga ekonomi rakyat mampu berkembang. 2. Mobilitas, karakteristik ini merupakan dampak dari informalitas, Informalitas membawa konsekuensi tidak adanya jaminan bagi keberlangsungan aktivitas ekonomi rakyat. Sehingga ekonomi rakyat dapat dengan mudah dimasuki dan ditinggalkan. 3. Beberapa pekerjaan dilakukan oleh satu keluarga, aktivitas ekonomi rakyat dilakukan oleh lebih dari satu pelaku yang berasal dari satu keluarga. Hal ini disebabkan karena ketidakamanan dan keberlanjutan yang sulit diramalkan dalam ekonomi rakyat. Apabila tidak terjadi sesuatu maka akumulasi keuntungan pendapatan dari beberapa aktifitas ekonomi sangat mereka butuhkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar. 4. Kemandirian, karena kesalahan persepsi yang menganggap bahwa ekonomi rakyat merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki resiko yang tinggi sehingga berbagai pihak baik sengaja taupun tidak membatasi interaksi dengan sektor ekonomi rakyat. 5. Hubungan dengan sektor formal. Meskipun ekonomi rakyat identik dengan informalitas, namun pada kenyataannya ekonomi rakyat berhubungan dengan sektor formal. Contohnya saja, warung tegal menyediakan makanan murah untuk karyawan perusahaan atau pabrik, penggunaan penjual koran eceran oleh perusahaan penerbitan. Pemberdayaan ekonomi rakyat dapat dilakukan dengan menggunakan strategi yang berpusat pada upaya mendorong perubahan struktural yang memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional. Perubahan struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dan dari ketergantungan ke kemandirian (Kartasasmita, 1995 dalam Sumodiningrat, 1999). Sehingga ekonomi rakyat dapat menjadi ekonomi yang kuat, besar, dan modern, dan berdaya saing tinggi. Praktek pemberdayaannya dapat dibedakan menjadi dua menurut sasarannya (Sumodiningrat, 1999). Pertama, pemberdayaan masyarakat modern yang telah maju lebih diarahkan pada penciptaan iklim yang menunjang dan peluang untuk tetap maju, sekaligus pada penanaman pengertian bahwa suatu saat mereka wajib membantu yang lemah. Kedua, pemberdayaan masyarakat yang masih tertinggal tidak cukup hanya dengan meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan usaha yang sama , dan memberikan suntikan modal, tetapi juga dengan menjamin adanya kerja sama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dan yang lemah atau belum berkembang. Pemberdayaan masyarakat perlu dilaksanakan dengan prinsipprinsip kemitraan yang saling menguntungkan. Di aras masyarakat akar rumput (masyarakat miskin) pendekatan masyarakat dapat dirangkum menjadi tiga daur hidup, yang disebut Tridaya1, yaitu: 1. Dasar hidup pengembangan sumber daya manusia dalam kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: proses penyadaran kritis dan pengembangan kepemimpinan bersama atau kolektif, dilanjutkan dengan mengembangkan perilaku wira usaha sosial agar mampu mengelola usaha bersama atau mikro. 1 Gugus Tugas II Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2004. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta Penyadaran Diri Kepemimpinan Bersama KLP Usaha Bersama Mikro Perilaku Wirausaha Sosial Gambar 1. Skema Daur Hidup Pengembangan SDM dalam Kelembagaan Kelompok Orang Miskin 2. Daur hidup pengembangan usaha produktif dalam kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: pengaturan ekonomi rumah tangga (ERT) agar mampu menabung bersama dalam kelompok yang akan digunakan untuk modal usaha mersama dalam kegiatan usaha produktif. Pengaturan ERT Menabung Bersama KLP Usaha Produktif Modal Bersama Gambar 2. Skema Daur Hidup Pengembangan Usaha Produktif dalam Kelembagaan Kelompok Orang Miskin 3. Daur hidup kelembagaan kelompok orang miskin meliputi: pengelolaan organisasi yang akuntabilitas, kepemimpinan yang partisipatif, pengelolaan keuangan yang transparan, dan pengembangan jejaring yang luas. Pengelolaan Organisasi Kepemimpinan Partisipatif KLP Pengembangan Jaringan Pengelolaan Keuangan Gambar 3. Skema Daur Hidup Kelembagaan Kelompok Orang Miskin Kemudian Sumodiningrat (1999) juga merumuskan indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat ini, antara lain: (1) berkurangnya jumlah penduduk miskin; (2)berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia; (3) meningkatnya kesejahteraan kepedulian masyarakat keluarga miskin di terhadap lingkungannya; upaya (4) peningkatan meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta makin luasnya interaksi kelompok dengan kelompok lain di dalam masyarakat; serta (5) meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya. 2.1.3 Modal Sosial Putnam (1993) dalam Suharto (2009) mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Menurut Fukuyama (1995) dalam Suharto (2009), modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas. Definisi keduanya memiliki kaitan yang erat terutama menyangkut konsep kepercayaan (trust). Selanjutnya Suharto (2009) mengartikan modal sosial sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orangorang dalam suatu komunitas. Namun, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan, hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Modal sosial bukan merupakan entitas tunggal, Khrisna (2000) menyatakannya sebagai aset sosial yang menghasilkan aliran manfaat. Aset terdiri dari persediaan (stock) modal sosial, sedangkan manfaat sebagai aliran (flow). Sementara itu, penelitian Wade (1994) dalam Khrisna (2000) menunjukkan sebaliknya. Wade melihat bahwa sebuah masyarakat dapat membawa persediaan modal sosial mereka untuk mengefektifkan atau tidak mengefektifkan tugas mereka. Efisiensi penggunaan akan lebih tinggi ketika tujuan sosial terdefinisi dengan baik dan secara obyektif disetujui. Modal sosial akan efektif menarik anggota kelompok kepada tugas ketika orangorang dalam kelompok memiliki pandangan yang sama tentang dasar atau kepentingan tugas bersama. Modal sosial dibangun berdasarkan kesalingpercayaan untuk menghasilkan hasil positif bagi semua pihak. Prasangka budaya atau kognitif tidak membatasi harapan yang menuntun untuk percaya. Akan tetapi kesempatan institusional yang tersedia, cerminan masa lalu atau kondisi struktural yang berlaku, bertindak sebagai batasan seberapa jauh seseorang dapat meluaskan jangkauan kepercayaannya. Khrisna (2000) menyatakan bahwa sebuah tindakan sosial yang sama dapat dilakukan dengan dua kekuatan pendorong yang berbeda (lihat Tabel 1). Pertama, bersifat institusional, misalnya dorongan oleh peran pemimpin yang diakui dalam komunitas tersebut untuk melakukan sutu tindakan kolektif. Kekuatan pendorong ini kemudian disebut modal institusional. Modal institusional bersifat terstrukur. Peraturan dan tata cara yang ada untuk membimbing perilaku individu, diatur oleh peran seseorang yang diakui dengan baik. Kedua, bersifat relasional, misalnya karena dorongan norma dan kepercayaan yang ada dalam komunitas yang mampu mendorong komunitas untuk secara spontan melakukan tindakan sosial. Kekuatan pendorong ini disebut modal relasional. Modal relasional lebih tidak berbentuk dan juga lebih menyebar. Modal institusional dan rasional tidak mungkin ditemukan secara empiris dalam bentuk murni mereka, kemungkinan besar merupakan perwujudan campuran. Keduanya dibutuhkan untuk menopang modal sosial (lihat Gambar 4). Tabel 1. Perbandingan Modal Institusional dan Modal Relasional Modal Institusional Dasar tindakan Transaksi Modal Relasional Hubungan/relasi kolektif Sumber motivasi •Peran •Kepercayaan •Peraturan dan tatacara •Nilai-nilai •Sanksi •Ideologi Sifat motivasi Perilaku maksimalisasi Perilaku kepatutan Contoh Pasar, kerangka legal Kekeluargaan, keagamaan etnis, Modal Relasional kuat kuat Modal Institusional lemah lemah (1) (2) Modal Sosial Tinggi Organisasi kuat Tugas:perluasan Tugas: jaringan aktivitas intensifikasi (3) (4) Asosiasi tradisional Anomik, atomistik, Tugas: mengenalkan legitimasi, amoral peran, prosedur, dan Tugas:Membantu kemampuan pengembangan struktur dan norma Gambar 4. Skema Pengklasifikasian Paduan Modal Institusional dan Modal Relasional Kolom (1) menunjukkan keadaan yang paling menjanjikan, sementara kolom (4) yang paling kecil harapannya, tetapi kedua kolom tersebut yang paling merepresentasikan tipe ideal. Maksudnya, modal institusional dan modal relasional dapat membentuk modal sosial yang tinggi atau tidak sama sekali. Tugas yang dimaksudkan di dalam kolom ini merupakan suatu kegiatan yang dapat dilakukan pada suatu kondisi dan merupakan tugas yang dilakukan untuk menguatkan yang lemah. Misalnya pada kolom (2), kondisi dimana modal institusional kuat akan tetapi modal relasionalnya lemah. Kondisi ini menciptakan organsasi kuat. Namun untuk membuat kondisi ideal atau menguatkan modal relasional maka dapat dilakukan tugas legitimasi dan intensifikasi. Modal sosial merupakan sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat dan tidak akan pernah habis meskipun digunakan secara terus menerus, melainkan akan semakin meningkat. Apabila tidak dipergunakan, modal sosial malah akan rusak. Ridell (1997) dalam Suharto (2009) menyebutkan ada tiga parameter modal sosial, yaitu: 1. Kepercayaan (trust) Kepercayaan merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh, dan juga kehidupan sosial yang harmonis. 2. Norma-norma (norms) Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial. 3. Jaringan-jaringan (network) Jaringan memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan sosial yang kokoh. Menurut Putnam (1995), jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu. Berdasarkan parameter yang telah disebutkan, ada beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial, antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b dalam Suharto, 2009): 1. Perasaan identitas 2. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alineasi 3. Sistem kepercayaan dan ideologi 4. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan 5. Ketakutan-ketakutan 6. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat 7. Persepsi mengenai akses dengan pelayanan, sumber, dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial) 8. Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu 9. Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya 10. Tingkat kepercayaan 11. Kepuasan dalam hidup dalam bidang-bidang kemasyarakatan lainnya 12. Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan. 2.1.4 Kelompok Usaha Rumah Tangga Usaha rumah tangga dapat dimasukkan ke dalam golongan usaha kecil maupun industri kecil, tergantung dari kesesuaian kriteria yang dimiliki oleh usaha rumah tangga tersebut. Usaha kecil menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.” Adapun kriteria usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil adalah sebagai berikut: 1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha 2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah) 3. Milik Warga Negara Indonesia 4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar 5. Berbentuk usaha orang perseorangan , badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Sedangkan pengertian industri kecil Menurut UU RI No. 5 tahun 1984 Pasal 1 tentang perindustrian, definisi industri adalah: “ Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri”. Sesuai dengan pasal 5 UU RI No. 5 Tahun 1984, Pemerintah menetapkan sebagai berikut: 1. Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang masuk dalam kelompok industri kecil, termasuk industri yang menggunakan ketrampilan tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia 2. Pemerintah menetapkan jenis-jenis industri yang khusus dicadangkan bagi kegiatan industri kecil yang dilakukan oleh masyarakat dari golongan ekonomi lemah. Menurut UU RI No. 9 tahun 1995 tentang Industri kecil, maka batasan Industri Kecil didefinisikan sebagai berikut: “Industri Kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rp. 1 milyar atau kurang.” Batasan mengenai skala usaha menurut BPS, yaitu berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja, mulai dicobakan di lingkungan Depperindag, yaitu: 1. Industri mikro : 1 – 4 orang 2. Industri kecil : 5 – 19 orang 3. Industri menengah : 20 – 99 orang Menurut penjelasan atas Undang-Undang RI No. 9 tahun 1995 tentang Industri Kecil Informal adalah: “Usaha Kecil Informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat, dan belum berbadan hukum, antara lain petani penggarap, industri rumah tangga pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima,dan pemulung”. 2.1.5 Kesejahteraan Kesejahteraan menurut Soembodo (2009) tidak hanya mengacu pada pemenuhan kebutuhan fisik orang atau pun keluarga sebagai entitas, tetapi juga kebutuhan psikologisnya. Suharto (2006) mengartikan kesejahteraan sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Pengertian ini disebut Soembodo (2009) sebagai kesejahteraan materi dan kesejahteraan non-materi. Kesejahteraan materi, antara lain pendapatan, pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Sedangkan kesejahteraan non-materi, antara lain agama, interaksi sosial, dan hal-hal lain yang menyangkut aspek psikososial seperti rasa bahagia, bangga, puas, tidak takut, merasa sehat, merasa diterima, dan merasa diakui. Sedangkan menurut Sadiwak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsipun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya konsumennya. BPS (1995) menyebutkan berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan, antara lain: 1. Kependudukan Penanganan masalah kependudukan tidak hanya mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk akan tetapi mengarah juga pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. 2. Kesehatan dan gizi Kualitas fisik penduduk merupakan salah satu aspek penting kesejahteraan, yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Status kesehatan yang diukur melalui angka kesakitan dan status gizi juga merupakan aspek penting yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk. 3. Pendidikan Tidak semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinan. Dengan ini diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera. 4. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk mencapai kepuasaan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. 5. Taraf dan pola konsumsi Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diketahui tentang pola konsumsi rumahtangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. 6. Perumahan dan lingkungan Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar rumahtangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban). 7. Sosial dan budaya Semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencermikan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar. Namun BPS (2008) dalam Munir (2008) memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumahtangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan mengukur pola konsumsi rumahtangga. Pola konsumsi rumahtangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumahtangga atau keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumahtangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumahtangga tersebut. Semakin besar pengeluaran maka dapat dikatakan bahwa rumah tangga tersebut semakin sejahtera. Pengukuran kesejahteraan dapat menggunakan tangga kesejahteraan, dimana rumah tangga menggunakan ukuran kesejahteraannya sendiri dan menempatkan dirinya di satu titik. Sehingga dapat diketahui tingkatan kesejahteraannya. Selain itu, dapat juga menggunakan tangga kebutuhan Maslow, sehingga dapat diketahui kebutuhan apa saja yang telah mereka capai dan yang akan mereka capai. Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow adalah sebagai berikut (Hasibuan, 2001): 1) Psychological Needs (kebutuhan fisik) adalah kebutuhan yang paling utama yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hidup, seperti makan, minum, tempat tinggal, dan bebas dari penyakit. Selama kebutuhan ini belum terpenuhi maka manusia tidak akan merasa tenang dan akan berusaha untuk memenuhinya. Kebutuhan dan kepuasan biologis ini akan terpenuhi jika gaji (upah) yang diberikan cukup besar. Jika gaji atau upah karyawan ditingkatkan maka semangat kerja mereka akan meningkat, 2) Safety and Security Needs (kebutuhan keselamatan dan keamanan) yaitu kebutuhan akan kebebasan dari ancaman jiwa dan harta di lingkungan kerja, merupakan tangga kedua dalam susunan kebutuhan. Karyawan membutuhkan rasa aman terhadap ancaman dan bahaya kehilangan pekerjaan dan penghasilan, 3) Affiliation or Acceptence Needs (kebutuhan sosial) yaitu kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan dia hidup dan bekerja, kebutuhan akan perasaan dihormati, kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal, kebutuhan akan ikut serta. Pada tingkat ini apabila karyawan tidak diterima menjadi anggota kelompok informal dalam perusahaan, maka ia akan merasa terkucil dan tidak senang. Hal ini mengakibatkan karyawan tidak bekerja dengan baik dan prestasinya menurun, 4) Esteem or Status Needs (kebutuhan akan penghargaan prestise) yaitu kebutuhan akan penghargaan dari orang lain. Berarti bahwa setiap karyawan yang bekerja dengan baik ingin mendapatkan pujian atau penghargaan atasan atau rekan sekerjanya, dan 5) Self Actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri) yaitu realisasi lengkap potensi seseorang secara penuh. Untuk pemenuhan kebutuhan ini biasanya seseorang bertindak bukan atas dorongan orang lain, tetapi atas kesadaran dan keinginan diri sendiri. Dalam hal ini karyawan merasa telah berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan mengerahkan segala kemampuan, ketrampilan dan potensi yang ada secara maksimum. Maslow mengambarkan tingkat kebutuhan tersebut seperti pada Gambar 5 dibawah ini: Tingkat Kebutuhan 5. Self actualization 4. Esteem or status 3. Affiliation or acceptence 2. Safety and security 1. Physicological Pemuas Kebutuhan Gambar 5. Hierarki Kebutuhan Maslow Sumber: Hasibuan, 2001 Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis, dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual, dan bahkan juga spiritual. Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan“ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya. Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang. Berdasarkan pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa : a) Kebutuhan yang suatu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang. b) Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya. c) Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu. Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fondasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif. Maslow dikutip oleh Stoner dan Freeman (1994) membagi kelima jenjang tersebut menjadi dua kebutuhan yaitu kebutuhan tingkat tinggi dan kebutuhan tingkat rendah. Yang termasuk kebutuhan tingkat tinggi adalah kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri, sedangkan kebutuhan tingkat rendah adalah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman. 2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1 Deskripsi dan Bagan Alur Berpikir Masyarakat memiliki modal sosial yang meligkupi kehidupan mereka. Modal sosial ini dapat diliat dari tiga aspek yaitu kepercayaan (trust), jaringan (network), dan norma-norma (norms). Modal sosial dapat digunakan sebagai alat pemberdayaan bagi masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan yang dilakukan dapat melalui tiga tahapan, yaitu tahap penyadaran, capacity building, dan pendayaan. Tahapan Penyadaran dapat dilakukan dengan cara pemberian pengetahuan berkaitan dengan usaha pembuatan tempe dan tahu. Tahap capacity building dapat dilakukan dengan pemberian keterampilan, dalam hal ini keterampilan membuat tahu dan tempe sampai individu yang diberi keterampilan merasa dirinya mampu untuk membuat tahu dan tempe sendiri tanpa bantuan dan dampingan. Tahap yang terakhir adalah pendayaan dimana individu diberikan daya, kekuatan, otoritas, dan peluang untuk melakukan usahanya sendiri sehingga individu tersebut menjadi mandiri. Proses pemberdayaan ini pada akhirnya akan semakin menguatkan modal sosial yang mereka miliki. Proses pemberdayaan yang dilakukan oleh kelompok usaha pembuat tahu dan tempe ini pada akhirnya dapat berimplikasi pada kesejahteraan mereka sendiri. Kesejahteraan dapat dilihat dari sisi yaitu materi dan nonmateri. Kesejahteraan materi dapat dilihat dari tingkat pendapatan, pengeluaran, pendidikan, kesehatan, dan alat transportasi yang dimiliki. Sedangkan kesejahteraan non-materi dapat dilihat dari interaksi sosial, rasa bahagia, puas, merasa aman, merasa diterima, merasa diakui, dan merasa sehat. Modal Sosial - Kepercayaan - Jaringan - Norma Pemberdayaan Penyadaran Pemberian Pengetahuan Capacity building Pemberian Keterampilan Kelompok Usaha Tahu Tempe Kesejahteraan Gambar 6. Bagan Kerangka Analisis Pendayaan - Daya Kekuasaan Otoritas Peluang 2.2.2 Hipotesis Pengarah Proses pemberdayaan akan berlangsung secara efektif apabila modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat dimanfaatkan dengan baik. Masyarakat tidak harus selalu mengandalkan bentuan pemerintah, swasta, atau LSM untuk membuat hidup mereka lebih baik. Mereka dapat menggunakan apa yang ada diantara mereka sebagai kekuatan untuk membangun dan memandirikan diri mereka sendiri. 2.2.3 Definisi Konseptual 1. Modal Sosial: sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas 2. Kepercayaan (trust): harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. 3. Jaringan (network): jaringan memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Komunikasi dan interaksi yang dilakukan oleh kelompok usaha pengrajin tahu tempe antara lain dengan sesama mereka, pemasok, dan pasar. 4. Norma (norms): norma-norma terdiri dari pemahaman- pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. 5. Pemberdayaan: usaha untuk membuat masyarakat yang tidak atau kurang berdaya menjadi lebih berdaya. 6. Penyadaran : tahap dimana target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mencapai “sesuatu”. 7. Pengkapasitasan: memampukan atau enabling. Target harus mempunyai kemampuan terlebih dahulu sebelum mereka diberikan daya atau kuasa. 8. Pendayaan: Target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang sesuai dengan kapasitas kecakapan yang telah dimiliki. 9. Kelompok Usaha Tahu Tempe: Usaha pembuatan tahu tempe yang dilakukan dalam satu rumah atau oleh beberapa keluarga. 10. Kesejahteraan: Terpenuhinya kebutuhan seseorang, baik itu materi ataupun non-materi. BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan penelitian aras mikro yang hanya meliput sejumlah kecil orang atau kasus (peristiwa dan gejala) lokal, sehingga membatasi peluang generalisasi2. Pendekatan kualitatif ini dipilih karena peneliti hanya melakukan penelitian pada kelompok-kelompok usaha pengrajin tahu tempe yang berada di Kedaung. Adapun strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus, karena peneliti bermaksud mempelajari lebih dalam tentang proses pemberdayaan berbasis modal sosial yang terjadi pada kelompok usaha pengrajin tahu tempe di Kedaung. Penelitian dimulai dengan melihat gambaran komunitas usaha pengrajin tahu tempe secara menyeluruh kemudian dikerucutkan dengan melihat gambaran kelompok secara lebih spesifik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi langsung, dan studi literatur. Wawancara mendalam dan observasi langsung digunakan pada saat peneliti ingin mengetahui konstruksi modal sosial, proses pemberdayaan ekonomi rakyat berbasis modal sosial yang berlangsung, serta pengaruh proses pemberdayaan tersebut terhadap kesejahteraan kelompok usaha rumah tangga pembuat tempe dan tahu. 2 MT. Felix Sitorus, 1998, Metode Penelitian Kualitatif. 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih yaitu Desa Kedaung, Ciputat. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan: (1) Para pengrajin tahu tempe tersebut berasal dari satu daerah yaitu pengrajin tahu berasal dari Tasikmalaya dan pengrajin tempe berasal dari Pekalongan; (2) nilai-nilai di tingkat mereka menarik. Karena nilainilai kekeluargaan, kebersamaan, dan toleransi antar mereka masih sangat kuat di tengah-tengah daerah perkotaan; (3) sesuai dengan objek kajian karena di desa ini masih banyak masyarakat yang melakukan usaha rumah tangga; dan (4) strategis dan mudah dijangkau oleh peneliti. 3.3 Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan kurang lebih satu bulan yaitu dari awal bulan Mei 2009 sampai dengan awal bulan Juni 2009. Namun sebelumnya peneliti telah melakukan pemetaan awal ke tempat penelitian pada tanggal 13 April 2009. 3.4 Penentuan Unit Analisis, Informan, dan Responden 3.4.1 Penentuan Unit Analisis Unit analisis yang dipilih sebagai objek kajian adalah kelompok usaha rumah tangga yang berada di Desa Kedaung, Ciputat yaitu kelompok usaha rumah tangga pengrajin tahu tempe yang paling lama berada di daerah tersebut dan kelompok usaha yang paling baru. Pemilihan ini dilakukan secara sengaja karena pengusaha-pengusaha rumah tangga ini berkumpul di suatu daerah di Desa Kedaung sehingga lebih mudah teridentifikasi keberadaannya. Pemilihan ini juga dimaksudkan agar informasi yang digali dapat lebih fokus dan lebih dalam. 3.4.2 Penentuan Informan Informan yang dipilih yaitu orang yang mengetahui tentang keberadaan usaha rumah tangga ini yaitu masyarakat yang tinggal di Desa Kedaung yang merupakan kerabat peneliti, ketua RT, maupun pemuka agama. Informan diharapkan mampu memberikan informasi tentang keberlangsungan usaha pembuatan tahu tempe sebelum peneliti meneliti secara langsung serta membantu peneliti dalam melakukan pendekatan kepada pengrajin tahu tempe tersebut. 3.4.3 Penentuan Responden Responden merupakan pengrajin tahu tempe yang berada dalam kelompok usaha tahu tempe yang paling lama dan paling baru serta pihakpihak yang terlibat dalam proses pemberdayaan ekonomi usaha tahu tempe tersebut. Responden dipilih dengan menggunakan snowball sampling. Metode ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa peneliti dapat menemukan kelompok usaha yang paling lama dan paling baru dalam melakukan usaha di daerah Kedaung. 3.5 Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh peneliti adalah pengambilan data primer di lapangan melalui wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan pengambilan data sekunder. Wawancara dilakukan kepada responden dan informan. Informan yang akan diwawancarai antara lain salah satu warga Desa Kedaung yang mengetahui usaha rumah tangga pembuat tahu dan tempe, ketua RT, dan pemuka agama. Sedangkan responden yang akan diwawancarai yaitu para pengrajin tahu tempe yang berada dalam kelompok usaha tahu tempe yang paling lama dan paling baru. Teknik pengamatan berperan serta dilakukan pada saat para pengusaha tersebut melakukan aktivitasnya yaitu dari mulai membuat tahu tempe sampai memasarkannya. 3.6 Metode Analisis Data Data hasil pengamatan dan wawancara disajikan dalam bentuk catatan harian. Analisis data tersebut dilakukan dengan tiga cara yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data yang dimaksudkan adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan harian. Data dapat disajikan dalam bentuk teks naratif dan juga matriks, grafik, jaringan atau bagan apabila memungkinkan untuk menjelaskan pengaruh proses pemberdayaan bagi kesejahteraan kelompok usaha pengrajin tahu tempe. BAB IV PROFIL PAGUYUBAN 4.1 Sejarah Desa Nama Desa Kedaung berasal dari nama sebuah pohon yang dulu tumbuh di atas tanah daerah ini. Sebelum masyarakat berdatangan dan mendirikan pemukiman, daerah ini awalnya merupakan kebun pohon kedaung. Oleh karena itu orang-orang menyebut daerah ini dengan sebutan kedaung. Namun lambat laun kebun kedaung hilang dan berubah menjadi area padat pemukiman. Dulu Kedaung termasuk ke dalam wilayah Jakarta Selatan, Propinsi DKI Jakarta. Namun semenjak terjadi pemekaran propinsi dan Banten menjadi sebuah propinsi, maka Kedaung termasuk ke dalam Propinsi Banten. Pertama kali Kedaung ditempati oleh orang-orang Jakarta atau Suku Betawi. Sampai akhirnya sebagian besar penduduknya merupakan Suku Betawi dan membentuk sebuah forum yaitu Forum Betawi Rempug. Akan tetapi penduduk asli memilih untuk mencari kehidupan di tempat lain. Penduduk asli berkurang atau bermigrasi dan digantikan oleh para pendatang yang berasal dari Pekalongan dan Tasikmalaya. Sekarang, sebagian besar penduduk Desa Kedaung merupakan orang-orang yang berasal dari Suku Jawa dan Sunda. 4.2 Sejarah Paguyuban Perkumpulan diantara para penduduk di Kedaung sebenarnya sudah ada meskipun perkumpulan tersebut tidak secara resmi dibentuk dengan visi misi secara tertulis. Namun tujuan dari masing-masing individu tercermin sebagai tujuan bersama dalam perkumpulan tersebut. Para penduduk menginginkan hubungan antara mereka dapat terjalin dengan baik, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain. Tujuan ini diwujudkan dalam bentuk kegiatankegiatan yang dapat dilakukan, antara lain pengajian rutin setiap minggu, arisan, kerja bakti, tujuh belasan, dan lain sebagainya. Para penduduk kemudian menginginkan agar perkumpulan ini diresmikan sebagai sebuah paguyuban sebagai pengganti kopti. Kopti merupakan koperasi pemerintahan yang berpusat di Kabupaten Tangerang. Sebenarnya kopti memiliki peran yang cukup penting bagi penduduk Kedaung yang sebagian besar merupakan pengrajin tahu tempe. Kopti dapat menjaga keseimbangan harga pasar. Namun dalam perjalanannya, banyak aset-aset kopti yang hilang seperti tanah ataupun tambak. Aset-aset ini merupakan milik dari anggota kopti namun ternyata aset tersebut disalahgunakan oleh para pengurus periode terakhir. Akhirnya kopti tersebut dibubarkan karena dianggap kurang bertanggung jawab. Setelah kopti dibubarkan, distributor kedelai yang dipegang oleh China dengan sewenang-wenang memainkan harga dan memberikan harga yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu para penduduk menginginkan adanya paguyuban yang dapat menggantikan peran kopti tersebut. Paguyuban diresmikan pada tangga 6 Maret 2009 dengan nama “Paguyuban Warga Pengrajin Tahu Tempe (PWPTT)” (lihat Gambar 1 pada Lampiran 4). Nama tersebut diambil karena yang menjadi anggota pertama paguyuban tersebut merupakan para pengrajin tahu tempe. Meskipun begitu, tidak ada larangan bagi penduduk lain yang bermata pencaharian selain pengrajin tahu tempe apabila mereka ingin menjadi anggota paguyuban ini. 4.2.1 Gambaran Umum Nama Paguyuban ini adalah Paguyuban Warga Pengrajin Tahu dan Tempe atau disingkat PWPTT. Paguyuban ini berkedudukan di Tangerang Selatan tepatnya di Jl. Pulo Samid Rt. 08/04. Prinsip yang menjadi landasan paguyuban ini adalah gotong royong, kebersamaan, keterbukaan, persaudaraan, dan transparan dalam menjalankan kegiatannya dan selalu berpegang teguh pada prinsip amar ma ruf nahi munkar. Adapun tujuan dari paguyuban antara lain: 1. Meningkatkan persaudaraan, persatuan, dan kesatuan sesama pengrajin; 2. Membangun jejaring, menyediakan dan mengelola usaha kedelai guna meningkatkan kesejahteraan anggota. 4.2.2 Visi dan Misi Visi Menjadi paguyuban yang bermartabat yang senantiasa melindungi dan mengayomi para warganya, jujur, amanah, dan transparan dalam menjalankan kegiatannya. Misi 1. Menjalankan usaha dibidang kedelai untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya; 2. Menjalankan usaha-usaha pendukung lainnya yang berkaitan dengan usaha pokok para anggotanya; 3. Mempermudah usaha para anggota dengan menyediakan bahan baku dan bahan pendukung lainnya dengan harga yang kompetitif; 4. Menjembatani kepentingan anggota dengan seluruh stakeholder untuk mendapatkan manfaat saling menguntungkan bagi semua pihak. 4.2.3 Anggota Anggota awal pada saat paguyuban baru terbentuk berjumlah 105 Kepala Keluarga. sekarang jumlah tersebut bertambah menjadi 124 Kepala Keluarga atau sebanyak 128 jiwa. Jumlah ini dapat bertambah setiap waktu karena paguyuban ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi anggota paguyuban. Anggota paguyuban tidak hanya terbatas bagi pengrajin tahu tempe saja atau terbatas bagi para penduduk Kedaung saja. Akan tetapi penduduk yang bermata pencaharian selain pengrajin tahu tempe ataupun orang lain yang bukan berasal dari Desa Kedaung dapat menjadi anggota Paguyuban, yang terdiri dari : - 96 orang pengrajin dan pedagang tahu tempe - 22 orang pedagang sayur dan tukang ojek - 10 orang profesi lain (pegawai, karyawan, dan buruh) 4.2.4 Kegiatan Kegiatan yang dilakukan saat ini adalah kegiatan-kegiatan dalam bidang sosial, rohani atau keagamaan, dan bidang usaha. 4.2.4.1 Bidang Sosial Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang sosial antara lain pembinaan kepada anggota paguyuban dan juga pemberian santunan kepada anggota paguyuban yang mengalami musibah. Pembinaan yang diberikan kepada anggota paguyuban dapat berupa himbauan untuk dapat tetap menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar pemukiman ataupun lingkungan usaha sehingga kegiatan usaha yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Selain himbauan tentang lingkungan hidup, paguyuban juga memfasilitasi praktek nyata dari hanya sekedar himbauan. Praktek nyata ini berupa kerja bakti yang dilakukan setiap bulannya. Pemberian santunan dilakukan dengan menggunakan iuran wajib yang dibayar oleh anggota paguyuban setiap bulannya. Besarnya iuran wajib tersebut adalah seribu rupiah. Selain iuran wajib, santunan ini juga diambil dari simpanan para anggota yang membeli kedelai di paguyuban. Setiap pembelian kedelai anggota dikenakan biaya tambahan sebesar seratus rupiah per kg. 4.2.4.2 Bidang Keagamaan Anggota paguyuban seluruhnya memeluk agama Islam. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan agama Islam. Kegiatan tersebut seperti pengajian dan majelis taklim yang dilakukan secara rutin. Pengajian dilakukan setiap malam Jumat di Masjid Jami’ Darussalam ataupun di rumah anggota paguyuban yang bersedia. Majelis taklim dilakukan setiap minggu, tanpa ada ketetapan hari tergantung kesepakatan anggota setiap minggunya. Majelis taklim ini dapat dilakukan di Masjid jami’ Darussalam ataupun di rumah anggota paguyuban yang bersedia sehingga setiap anggota dapat mengenal lebih dekat dengan anggota yang lainnya. 4.2.4.3 Bidang Usaha (lihat Gambar 2 pada Lampiran 4) Paguyuban menyediakan kedelai yang dapat dibeli oleh para anggota yang mayoritas adalah para pengrajin tahu tempe. Paguyuban menyediakan kedelai dalam jumlah yang cukup besar. Para pengrajin dapat mengambil atau memesan kedelai terlebih dahulu sebanyak yang dibutuhkan. Pembayaran dari pesanan tersebut dapat dilakukan sebulan kemudian ketika akan melakukan pengambilan atau pemesanan berikutnya. Selain itu paguyuban juga melakukan usaha simpan pinjam. Para anggota yang membutuhkan biaya yang berkaitan dengan usahanya, paguyuban membuka peluang untuk memberikan pinjaman. Pinjaman yang diberikan diambil dari simpanan anggota. 4.2.5 Manfaat Banyak sekali manfaat yang didapatkan oleh para anggota, antara lain mendapatkan kemudahan dalam penyediaan bahan baku kegiatan usaha, mendapatkan pencerahan dan menambah wawasan khususnya mental dan spiritual, ataupun mendapatkan perhatian disaat tertimpa musibah. BAB V BANGUNAN MODAL SOSIAL Norma-norma yang terdapat pada komunitas pengrajin tahu masih sarat akan budaya yang mereka bawa dari daerah asal mereka. Meskipun mereka hidup di tengah-tengah kota yang sudah sangat heterogen, yaitu terdiri dari berbagai budaya, agama, pekerjaan, sampai gaya hidup namun keanekaragaman ini tidak membuat keutuhan antar mereka menjadi rapuh. Mereka berkumpul di salah satu titik di Desa Kedaung, sehingga orang lain dengan mudah mengidentifikasi komunitas ini. Pengrajin tahu berasal dari satu daerah yang sama yaitu Tasikmalaya. Kehidupan mereka di Kedaung masih kental dengan budaya Sunda mereka. Meskipun begitu mereka tidak pernah menutup budaya lain untuk masuk dalam kehidupan mereka. Mereka hidup rukun dengan penduduk Kedaung yang berasal dari suku Jawa, Betawi, Padang, bahkan China. Norma kekeluargaan sangat dijunjung tinggi oleh para pengrajin tahu. Mereka sangat menghargai orang-orang yang berasal dari kampung yang sama. Bahkan mereka sangat peduli dengan orang-orang yang mereka sebut dengan saudara sekampung itu. Mereka tidak pernah mempersoalkan tentang hubungan darah. Mereka selalu menganggap orang-orang yang berasal dari kampung yang sama merupakan saudara yang harus dibantu ketika mereka berada dalam kesulitan. Selain norma kekeluargaan tersebut, terdapat juga norma ataupun nilainilai yang lain yang berkembang diantara pengrajin tahu, diantaranya nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan kepercayaan. Sebelumnya telah disebutkan bahwa mereka menganggap saudara dengan sesamanya. Nilai-nilai kebersamaan tercermin dari sikap mereka memperlakukan saudaranya, terutama yang belum memiliki usaha atau penghasilan sendiri. Orang yang belum memiliki usaha atau penghasilan sendiri tersebut diberi kesempatan untuk ikut dalam usaha pengrajin yang telah memiliki usaha. Mereka diizinkan tinggal di tempat tinggal pengrajin yang telah memiliki usaha sampai mereka mampu untuk mendapatkan tempat tinggal sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Pak Man: Waktu saya masih ikut usaha adik saya, saya numpang disana, soalnya kan masih baru di Jakarta dan belum punya uang untuk ngontrak apalagi beli rumah. Para pengrajin yang menjadi tempat belajar bagi pengrajin baru tidak pernah mengungkapkan bahwa mereka mengharapkan balas jasa dari pengrajin yang baru belajar. Namun pengrajin baru tersebut merasa memiliki kewajiban untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang yang telah memberinya pengetahuan tentang usaha tahu. Hal tersebut dianggap sebagai balas budi karena mereka telah diberi keterampilan sampai mereka mampu membuka usaha sendiri dan mendapatkan penghasilan sendiri. Pengrajin tahu tersebut saling mempercayai satu sama lain. Tidak pernah ada kecurigaan diantara mereka. Itulah sebabnya mereka tidak ragu apabila ada saudara sekampung yang ingin menumpang tinggal di rumah mereka. Nilai-nilai toleransi diantara para pengrajin tahu ini cukup tinggi. Mereka saling menghormati dan menghargai bukan hanya dengan sesama pengrajin tahu akan tetapi juga dengan penduduk Kedaung yang lainnya. Mereka tidak pernah merasa tersaingi satu sama lain meskipun jumlah mereka bertambah setiap tahunnya. Mereka hidup rukun berdampingan bahkan mereka kerap mengadakan acara-acara yang dapat menguatkan kebersamaan diantara mereka seperti acara 17-an, arisan, dan sekarang mereka membentuk Paguyuban yang telah dijelaskan di bab sebelumnya. Mereka memiliki kesadaran dalam hal memilih wilayah pemasaran hasil produksi mereka. Pengrajin tahu dan tempe yang baru akan mencari daerah pemasaran dan pembeli dimana mereka telah ketahui bahwa belum ada pengrajin yang memasarkan di daerah tersebut. Sehingga mereka tidak merasa haknya diambil. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak pernah merasa tersaingi satu sama lain. Kehidupan bertetangga tidak selamanya rukun dan damai. Kadang-kadang ada masalah yang muncul karena kesalahpahaman, kurang pengertian, kurang toleransi, ataupun kurang bertanggungjawab. Begitu juga dalam kehidupan para pengrajin tahu. Kehidupan sosial para pengrajin tahu memang terlihat sangat harmonis sekarang ini. Mereka hidup rukun sebagai tetangga. Namun, tidak menutup kemungkinan diantara mereka pernah terjadi suatu masalah. Para pengrajin tahu ini pernah mengalami masalah dengan kopti. Mereka menuntut tanggung jawab dari kopti akan simpanan-simpanan yang mereka masukkan. Mereka melakukan demo di kantor kopti yang terletak di Kabupaten Tangerang bersama dengan pengrajin tahu dan tempe yang lainnya. Akan tetapi aksi tersebut dapat diredam dan dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Perwakilan dari pihak pengrajin berunding dengan pihak kopti untuk mencari solusi yang terbaik. Para pengrajin diwakili oleh Pak Cariban selaku pengrajin tertua dan Pak Daryono yang sekarang menjadi ketua Paguyuban. Norma-norma ataupun nilai-nilai yang berkembang diantara pengrajin tahu juga berkembang diantara pengrajin tempe. Norma kekeluargaan juga sangat kental diantara para pengrajin tempe sama seperti pangrajin tahu. Mereka selalu menganggap orang yang berasal dari daerah asal yang sama yaitu Pekalongan sebagai saudara tanpa mempersoalkan hubungan darah diantara mereka. Mereka selalu membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang usaha tempe. Biasanya pengrajin yang sudah memiliki usaha memperhatikan kehidupan saudara sekampungnya. Mereka mengajak orang-orang yang tidak memiliki usaha ataupun berpenghasilan rendah di kampung. Orang-orang yang diajak ataupun orang yang sengaja ingin mempelajari keterampilan yang berhubungan dengan usaha tempe diizinkan untuk tinggal di rumah pengrajin yang telah memiliki usaha. Mereka dibina, dibimbing, diberi keterampilan sampai mereka memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Hal ini mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan juga kepercayaan. Selama pengrajin baru ‘menuntut ilmu’, pengrajin lama tidak pernah meminta bayaran atas segala apa yang telah diberikan. Namun orang yang sudah dibimbing tersebut tidak pernah melupakan begitu saja. Mereka biasanya lebih mempererat hubungan dengan orang yang telah membimbing. Hubungan persaudaraan mereka lebih terjaga dan lebih dekat dengan adanya proses tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Pak Cariban: Saya pertama kali membuka usaha tempe ini disini. Sebelumnya belum ada orang yang membuka usaha tempe. Setelah itu baru orang-orang tinggal di rumah saya dan ikut usaha saya sampai mereka bisa buka usaha sendiri. Saya tidak pernah meminta hasil dari mereka setelah mereka punya usaha sendiri. Saya cuma ngajarin ajah sampai mereka bisa. Pernyataan ini juga dikuatkan oleh Mba Iis yang baru mulai menjalankan usaha tempe: Waktu saya masih ikut usaha keponakan saya, ya memang saya hanya dapat bagian tergantung berapa yang saya bisa buat dan jual karena saya kan ikut usaha orang. Tapi setelah saya buka usaha sendiri, saya nggak punya kewajiban buat ngasih keponakan saya itu. Sama seperti dengan para pengrajin tahu, pengrajin tempe pun menjalin hubungan yang baik antar pengrajin ataupun dengan penduduk yang lain. Mereka juga tidak pernah merasa tersaingi satu sama lain. Hal ini dikarenakan mereka telah memiliki wilayah pemasaran yang sudah mereka tentukan sendiri ketika mereka mulai berusaha. Meskipun begitu mereka juga tidak luput dari masalah-masalah yang sempat mengganggu keharmonisan mereka. Selain masalah dengan Kopti bersama dengan para pengrajin tahu, pengrajin tempe sempat terganggu ketika krisis moneter pada tahun 1998. Harga kedelai melambung cukup tinggi. Mereka tidak mendapat keuntungan selama beberapa lama. Namun mereka dapat tetap melangsungkan produksi karena mereka masih diperbolehkan untuk memesan kedelai di distributor kedelai. Nilai-nilai yang berkaitan dengan kepercayaan telah diuraikan sebelumnya, implikasi dari nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari cara mereka belajar atau proses belajar yang terjadi antara pengrajin tahu ini. Apabila diantara mereka tidak memiliki rasa percaya maka tidak akan terjalin kerjasama yang baik diantara mereka. Pengrajin yang ingin belajar tanpa ragu menerima pengetahuan yang diberikan begitu juga dengan pengrajin yang memberi pengetahuan. Mereka dengan senang hati memberikan pengetahuan tanpa ada perasaan bahwa orang yang dibimbing akan memberikan atau membawa hal-hal negatif. Orang-orang tersebut bersedia diajak dan percaya bahwa mereka akan diberikan pengetahuan yang dapat mereka gunakan untuk memajukan diri mereka sendiri. Kepercayaan ini muncul karena mereka sudah cukup mengenal satu sama lain. Mereka juga telah menjalin hubungan yang cukup baik di daerah asal mereka. Selain itu, mereka juga sudah melihat saudara-saudara sekampung yang diajak bekerja dan kemudian dapat berhasil sehingga kesejahteraannya meningkat. Sikap percaya ini juga dicerminkan pada kegiatan atau kerja sama antara pengrajin tahu dengan distributor kedelai. Para pengrajin tahu biasanya memesan atau mengambil terlebih dahulu kedelai kepada distributor kedelai baik di Paguyuban ataupun distributor lain. Mereka tidak dituntut untuk langsung membayar kedelai tersebut. Mereka diberi kesempatan satu bulan atau sampai mereka ingin memesan kedelai kembali. distributor kedelai tidak meminta jaminan dalam kerja sama ini. Hal ini tidak hanya berlaku bagi para pengrajin yang telah menjalankan usaha atau sudah melakukan kerja sama sebelumnya. Pengrajin yang baru akan memulai usaha juga dapat menjalin kerja sama ini. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Atang: lo buat beli kacangnya ga mahal, kan kita boleh ngambil dulu, bayarnya ntar pas mau ngambil lagi. Distributor kedelai ini begitu percaya dengan para pengrajin tahu dan tempe karena distributor telah menjalin kerja sama dengan pengrajin-pengrajin sebelumnya. Pengrajin-pengrajin tersebut selalu menepati waktu pembayaran, mereka tidak pernah lari dari tanggung jawab untuk membayar kedelai yang sudah mereka pesan. Oleh karena itu distributor percaya bahwa pengrajin yang lain juga tidak akan lari dari tanggungjawabnya. Kerja sama yang dilandasi dengan kepercayaan juga berlaku diantara pengrajin tempe. Banyak pengrajin tempe baru bermunculan. Hal ini dikarenakan usaha tempe tidak membutuhkan modal yang besar. Mbak Iis mengatakan: Usaha tempe mah gampang mbak, kacangnya boleh ngambil dulu, bayarnya bulan depan, terus alat-alatnya yang lain juga gampang. Tanpa modal juga bisa usaha tempe, Mbak. Mbak Iis mengatakan hal tersebut berdasarkan beberapa alasan. Pertama, karena para pengrajin dapat mengambil kedelai terlebih dahulu di distributor sebanyak yang dibutuhkan dan dapat membayarnya setelah mereka dapat menjual tempe dan mendapatkan keuntungan. Kedua, karena alat-alat produksi mudah dibuat antara lain tong untuk mencuci dan merebus kedelai, krei yang terbuat dari bambu untuk mencetak tempe, dan penggiling kedelai. Oleh karena itu usaha ini dapat dimulai dengan menggunakan modal yang rendah. Pengrajin tempe menerapkan kerja sama semacam ini kepada beberapa konsumennya. Memang tidak semua pengrajin tempe menerapkan kerja sama seperti ini, hanya para pengrajin yang sudah mengenal karakteristik langganannya. Biasanya pengrajin yang mengantarkan langsung pesanan konsumen yang menerapkan kerja sama ini. Pesanan konsumen diantarkan setiap harinya dan konsumen dapat membayar pesanan tersebut pada bulan berikutnya. Kerja sama ini tidak menggunakan jaminan apapun dan konsumen tidak pernah menuntut apabila tempe yang sudah dibelinya tidak laku dijual. Pesanan yang sudah diantar ke tangan konsumen merupakan hak konsumen sepenuhnya. Seperti apa yang diutarakan oleh Pak Daryono: Saya tiap hari nganter. Ada beberapa langganan yang bayarnya bulan depan kayak warteg. Kepercayaan ini tumbuh juga karena adanya tanggung jawab dan kejujuran dari kedua belah pihak. Penjual tempe tidak pernah terlambat mengantarkan tempenya dan menjual tempe dengan kualitas yang cukup baik. Konsumen juga selalu membayar tepat waktu setiap bulannya. Diantara mereka telah tumbuh rasa saling percaya yang sangat kuat, hal ini ditandai oleh kejujuran, keteraturan, dan kerjasama yang terjalin antar mereka. Kesalingpercayaan ini mempengaruhi jejaring kehidupan mereka. Pengrajin tahu termasuk penduduk baru yang bermukim di Kedaung. Pengrajin tahu pertama memulai usahanya pada tahun 1998, dengan kata lain pengrajin ini datang 18 tahun setelah pengrajin tempe menjalankan usaha di Kedaung. Pengrajin tahu ini memutuskan untuk membuka usaha tahu karena pada saat itu belum ada penduduk yang membuka usaha tahu di daerah ini. Sedangkan pengrajin tempe sudah banyak sekali. Pengrajin tahu ini berasal dari Tasikmalaya dan orang-orang yang berasal dari Tasikmalaya banyak yang belajar dengan pengrajin pertama. Namun usaha ini tidak dapat berlangsung lama dan akhirnya berhenti berproduksi. Salah seorang yang pernah ikut bekerja di usaha tersebut adalah Pak Maman yang merupakan kakak dari pengrajin pertama ini. Jejaring hubungan kemudian terbentuk karena adanya hubungan antara pengrajin tahu dengan pihak-pihak yang lain seperti distributor kedelai dan konsumen. Pengrajin yang hingga kini masih menjalankan usahanya yaitu Pak Maman dan Pak Atang. Pak Maman dan Pak Atang sama-sama berasal dari satu daerah yang sama yaitu Tasikmalaya. Paguyuban Distributor kedelai Pak Maman Pasar Ciputat Gambar 7. Bagan Jejaring Pak Maman Sebagai Pengrajin Tahu Lama Pak Maman memulai usahanya pada Tahun 2000. Pak Maman memang bukan pengrajin tahu pertama di Kedaung. Pengrajin tahu yang pertama kali menjalankan usaha di Kedaung sudah tidak menjalankan usahanya karena mengidap penyakit yang serius. Awalnya Pak Maman ikut usaha adiknya yang merupakan pengrajin tahu pertama tersebut. Beliau belajar keterampilan membuat tahu selama dua tahun. Setelah itu, Pak Maman memutuskan untuk membuka usaha tahu sendiri. Pak Maman memiliki lima orang karyawan. Pak Maman mengajak saudara sekampungnya untuk membantu usahanya. Hal ini dikarenakan usaha tahu tidak dapat dilakukan sendiri. Usaha tahu ini membutuhkan sumber daya manusia lebih dari dua orang. Pak Maman mengajarkan keterampilan membuat tahu kepada para karyawannya sampai karyawan-karyawannya itu mengerti tugas masing-masing. Dengan kata lain Pak Maman termasuk dalam pemberdaya atau orang yang memberdayakan bagi pengrajin tahu yang lainnya. Pak Maman membeli kedelai pada distributor kedelai dan Paguyuban. Hal ini dikarenakan, Pak Maman telah melakukan kerja sama dengan distributor kedelai terlebih dahulu dan Paguyuban baru dapat menyediakan kedelai tahun ini. Pak Maman belum bisa menghentikan kerja sama dengan distributor kedelai secara sepenuhnya. Namun Pak Maman berniat untuk menghentikan kerja sama tersebut secara perlahan demi kemajuan Paguyuban. Pak Maman hanya menjual tahunya di Pasar Ciputat. Beliau memilih Pasar Ciputat sebagai tempat pemasaran karena beliau sudah mempunyai daerah berjualan di pasar tersebut. Distributor kedelai Paguyuban Pak Atang Pasar Ciputat Penjual eceran Gambar 8. Bagan Jejaring Pak Atang Sebagai Pengrajin Tahu Baru Sementara itu, Pak Atang memulai usahanya pada tahun 2005. Pak Atang membeli kedelai di distributor kedelai dan juga Paguyuban. Alasannya tidak jauh berbeda dengan Pak Maman. Pak Atang telah melakukan kerja sama terlebih dahulu dengan distributor kedelai tersebut sehingga beliau tidak dapat dengan serta merta menghentikan kerja sama tersebut. Pak Atang mempelajari keterampilan usaha tahu ini dari Pak Maman dan juga pengrajin yang lainnya. Setelah beliau mempunyai modal untuk membeli alat-alat produksi dan juga berhasil untuk menghimpun saudara-saudaranya untuk menjalankan usaha bersama, barulah beliau membuka usaha tahu ini. Pak Atang merupakan pengrajin yang diberdayakan. Beliau memperoleh pengetahuan dari orang lain yang kemudian dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pak Atang juga menjual tahunya di Pasar Ciputat, selain itu Pak Atang menerima pedagang eceran yang membeli langsung di pabrik. Pak Atang menjual sendiri tahunya, dengan dibantu oleh keempat orang saudaranya. Namun letak mereka terpisah-pisah di Pasar Ciputat tersebut. Etnis tidak cukup berpengrauh dalam jejaring. Apabila dilihat mereka memang hidup seperti berkelompok dimana para pengrajin tahu semuanya berasal dari Tasikmalaya. Namun kenyataanya, mereka cukup terbuka dengan siapa saja yang ingin mempelajari tentang usaha tahu. Akan tetap di Kedaung sudah terbentuk suatu anggapan bahwa pengrajin tahu pasti orang yang berasal dari Tasikmalaya. Mereka juga tidak pernah membatasi siapa yang harus menjadi konsumen mereka ataupun dengan siapa mereka pantas menjalin hubungan. Mereka menjalin hubungan sosial dengan siapa saja terutama dengan para anggota paguyuban yang juga merupakan warga kedaung. Jejaring yang terbentuk antara pengrajin tahu dengan pihak-pihak yang lainnya merupakan suatu jejaring terbuka, siapa saja dapat masuk dalam jejaring hubungan tersebut. Hal ini ditunjukkan pada kejadian ketika peneliti pertama kali masuk dalam komunitas tersebut sampai akhirnya mempelajari cara membuat tahu, mereka dengan senang hati menjamu peneliti tanpa ada rasa sungkan. Begitu juga dalam hal ekonomi, para pengrajin tahu ini hidup berdampingan dengan para pengrajin tempe yang seluruhnya berasal dari Pekalongan. Belum ada konflik antara mereka selama ini. Hal ini dikarenakan mereka sadar bahwa mereka menjual hasil olahan yang berbeda dan mereka berusaha untuk memberikan hasil yang terbaik. Mereka juga tidak pernah merasa tersaingi dengan kelompok usaha keripik tempe yang merupakan warga Kedaung. Mereka merasa memiliki pasar yang berbeda sehingga mereka tidak pernah merasa bermasalah apabila ada warga lain yang membuka usaha. Begitu juga dengan pengrajin tempe. Pengrajin tahu menjalin hubungan yang sangat baik dengan parapengrajin tempe karena mereka menggunakan kerja sama dengan distributor yang telah dijalin terlebih dahulu oleh pengrajin tempe. Pengrajin terlama di Kedaung berasal dari pengrajin tempe. Pengrajin tempe pertama di Kedaung adalah Bapak Cariban. Beliau memulai usahanya pada tahun 1980. Beliau memulai usaha di saat belum ada orang lain yang melakukan usaha sejenis. Pak Cariban merupakan pengrajin tempe sejati, karena beliau sudah sedari kecil berkecimpung dalam usaha tempe ini. Namun baru pada tahun 1980 beliau membuka usaha tempe sendiri. Awalnya beliau memproduksi tempe sendiri. Tapi sekarang beliau sudah mempunyai karyawan untuk menggantikan tugasnya. Pak Cariban membeli kedelai di distributor kedelai karena beliau sudah dari memulai usaha membeli kedelai di distributor kedelai ini. Meskipun begitu Pak Cariban memiliki hubungan sosial yang sangat kuat dengan Paguyuban. Karena Pak Cariban merupakan orang yang pertama kali membuka usaha tempe di daerah Kedaung dan banyak orang yang belajar dengan Pak Cariban sehingga Pak Cariban memiliki hubungan yang cukup baik dengan para pengrajin tempe yang lain yang merupakan anggota dari paguyuban tersebut. Pak Cariban selalu mengajak dan mau mengajarkan keterampilannya kepada saudara sekampungnya. Oleh sebab itu pengrajin tempe di Kedaung selalu bertambah. Pak Cariban sama seperti Pak Maman. Pak Cariban merupakan pemberdaya atau orang yang memberdayakan pengrajin tempe yang lainnya sampai akhirnya mereka dapat menjalankan usaha itu sendiri. Pak Daryono juga sudah termasuk pemberdaya karena beliau merupakan ketua paguyuban yang sering kali memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada pengrajin yang lain. Berbeda dengan Mbak Iis. Beliau merupakan orang yang diberdayakan karena beliau belum pernah memberikan pengetahuan ataupun memberikan keterampilan kepada pengrajin yang lain. Pak Cariban hanya fokus di Pasar Ciputat semenjak pertama kali memulai usahanya. Pembeli di Pasar Ciputat beragam mulai dari ibu rumah tangga, penjual gorengan, pemilik warung nasi, sampai penjual sayuran untuk dijual kembali. Hubungan Pak Cariban dengan para pembeli di Pasar Ciputat dan distributor kedelai merupakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dalam hubungan ekonomi. Berbeda dengan Pak Cariban, Mbak Iis dan Pak Daryono lebih memilih untuk memasarkan hasil produksinya dengan cara berkeliling. Mbak Iis baru memulai usahanya pada tahun 2005. Cara ini dilakukannya sejak memulai usaha. Cara ini memang tidak mudah karena pada mulanya langganan atau pembeli harus dicari sendiri. Namun lama kelamaan cara ini menjadi tidak begitu berat karena beliau hanya tinggal mengantarkan saja ke tempat langganan sehingga hasil yang di dapat setiap harinya lebih pasti dibanding dijual di pasar. Alhamdulillah mbak sekarang mah sudah banyak langganan, jadi suami saya tinggal nganter ajah ke tempat mereka. Kadang tempe yang dibawa dilebihin jadi bisa dijual ke yang lain juga selain buat pesanan orang. Cara ini juga dipilih oleh Bapak Daryono selaku Ketua Paguyuban. Saya lebih memilih berkeliling mbak, soalnya lebih sedikit saingan dan lebih gampang dapat langganan. Kalau di pasar kan pembeli yang nyamperin kita, nah itu ga tentu, kadang banyak yang beli kadang sedikit, lebih susah mbak. Mbak Iis mempunyai jaringan dengan rumah tangga, tukang gorengan, tukang sayuran, warteg, distributor kedelai, dan paguyuban. Mbak Iis lagsung menjual hasilnya kepada para langganannya. Mbak Iis mengantarkan langsung ke tangan pembelinya. Berbeda dengan Pak Cariban, Mbak Iis melakukan hubungan timbal balik dengan paguyuban. Mbak Iis membeli kedelai di paguyuban dan juga distributor kedelai. Mbak Iis belum bisa menghentikan pembelian secara tiba-tiba dengan distributor kedelai karena pertama kali memulai usaha Mbak Iis mengambil kedelai di distributor kedelai. Namun Mbak Iis juga tidak mungkin menghiraukan keberadaan paguyuban, karena dengan adanya paguyuban tersebut pihak distributor kedelai tidak dapat memainkan harga dengan sewenang-wenang. Begitu juga dengan Pak Daryono. Pak Daryono menjual langsung tempenya kepada rumah tangga, pedagang makanan, dan tukang sayur. Selain itu, Pak Daryono juga menjalin hubungan dengan beberapa anggota Polda, dealer motor, dan anggota paguyuban. Hubungan dengan anggota Polda menyebabkan terbentuknya paguyuban pengrajin tahu tempe. Pak Daryono mendapat dukungan dari anggota Polda tersebut yang sekarang menjadi pengawas dan sekretaris paguyuban. Selain sebagai pengrajin tempe, Pak Daryono juga menjadi perantara bagi pembeli motor di salah satu dealer motor. Sama halnya dengan pengrajin tahu, etnis tidak begitu berpengaruh dalam kehidupan para pengrajin tempe. Memang seluruh pengrajin tempe di Kedaung merupakan warga yang berasal dari Pekalongan. Hal ini dikarenakan, pengrajin yang telah memiliki usaha di kota akan mengajak saudara sekampungnya. Namun tidak menutup kemungkinan bagi orang yang berasal dari etnis lain untuk ikut serta dalam usaha ini dan sejauh ini belum ada orang yang berasal dari etnis lain yang ingin belajar usaha tempe. Para pengrajin tempe ini juga tidak pernah membatasi kehidupan sosialnya. Mereka sangat terbuka dengan siapa saja. Mereka juga tidak merasa keberatan dengan kedatangan para pengrajin tahu yang memulai usaha di daerah Kedaung. Mereka tidak pernah merasa bahwa lahan ekonomi mereka menjadi berkurang. Hal ini dikarenakan beberapa hal diantaranya para pengrajin tempe sudah mempunyai langganan sendiri, hasil produksi mereka juga berbeda dengan para pengrajin tahu sehingga mereka tidak merasa tersaingi dan hidup dengan harmonis. Jejaring yang terbentuk antara pengrajin tempe dengan pihak-pihak lain merupakan jejraing terbuka. Siapa saja dapat masuk ke dalam jejaring ini. Tidak ada aturan yang mengikat diantara mereka dalam menjalin suatu hubungan. Paguyuban Pasar Ciputat Pak Cariban Distributor kedelai Gambar 9. Bagan Jejaring Pak Cariban Sebagai Pengrajin Tempe Terlama di Kedaung Pasar Ciputat hanya sekedar tempat menjual tempe bagi Pak Cariban. Sehingga hubungan yang terjalin merupakan hubungan yang searah meskipun di Pasar Ciputat tersebut Pak Cariban mendapatkan penghasilan. Dengan distributor kedelai dan paguyuban, hubungan Pak Cariban merupakan hubungan yang timbal balik. Pak Cariban mendapat pasokan kedelai dari distributor kedelai. Sedangkan dengan paguyuban, Pak Cariban merupakan orang yang paling berpengaruh karena merupakan pengrajin pertama di daerah Kedaung dan paguyuban juga selalu meminta pendapat Pak Cariban terkait dengan masalah-masalah yang mereka hadapi. Rumah tangga Paguyuban Tukang Gorengan Mba Iis distributor kedelai Warteg Tukang sayur Gambar 10. Bagan Jejaring Mba Iis Sebagai Pengrajin Tempe Yang Paling Baru di Kedaung Mbak Iis menjual tempenya kepada beberapa pihak yaitu ibu rumah tangga, tukang gorengan, tukang sayur, dan warteg. Hubungan ini hanya sekedar hubungan jual beli oleh karena itu hubungan ini digambarkan sebagai hubungan searah. Sementara itu hubungan dengan distributor kedelai merupakan hubungan searah dimana Mbak Iis membutuhkan pasokan kedelai dan pasokan tersebut didapat dari distributor. Sedangkan dengan paguyuban merupakan hubungan dua arah, karena Mbak Iis memasok kedelai dari paguyuban dan juga sebagai anggotadari paguyuban tersebut. Beberapa anggota Polda Rumah Tangga Pedagang makanan Anggota paguyuban Pak Daryono Tukang sayur Gambar 11. Bagan Jejaring Pak Daryono Sebagai Ketua Paguyuban Pak Daryono menjalin hubungan searah dengan ibu rumah tangga, tukang sayur, dan pedagang makanan. Hubungan tersebut hanya sebatas hubungan jual beli. Pak Daryono menjalin hubungan yang baik dengan anggota paguyuban. Anggota paguyuban banyak yang membeli kedelai di paguyuban dan Pak Daryono juga berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk anggota paguyuban. Sementara itu, Pak Daryono memperluas jaringannya dengan dealer motor dan beberapa anggota Polda. Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, sebenarnya jejaring-jejaring yang telah digambarkan diatas saling berhubungan satu sama lain. Berikut gambar jejaring pengrajin tahu tempe yang saling berhubungan: Ibu RT Tukang Sayur Mba’ Iis Pedagang Gorengan P’ Daryono Ps. Ciputat Warteg Paguyuban P’ Cariban distributor kedelai P’ Man P’ Atang Pengrajin Tahu tempe yg lain Gambar 12. Bagan Jejaring Pengrajin Tahu Tempe Apabila kita melihat gambar jejaring diatas, mungkin akan terlihat begitu rumit. Namun sebenarnya, gambar jejaring tersebut menggambarkan bahwa semua pihak yang terdapat dalam komunitas pengrajin tahu tempe tersebut saling berhubungan satu sama lain. Mereka tidak melakukan hubungan yang lepas atau tidak berhubungan. Hubungan yang mereka jalin merupakan suatu keterikatan yang saling menyatu. BAB VI MODAL SOSIAL, PENGEMBANGAN USAHA, DAN KESEJAHTERAAN PENGRAJIN TAHU TEMPE Norma-norma atau nilai-nilai yang berkembang seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya yaitu kekeluargaan, kebersamaan, toleransi dan kepercayaan menjadi dasar bagi terlaksananya proses pengembangan usaha yang berlangsung diantara para pengrajin tahu. Usaha yang mereka miliki tidak lepas dari peran norma yang telah mereka kembangkan semenjak mereka masih berada di daerah asal mereka yaitu Tasikmalaya. Atas dasar norma-norma atau nilai-nilai inilah, mereka merasa mempunyai kewajiban untuk membantu saudara sekampungnya agar dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka selalu merasa bahwa mereka merupakan satu keluarga, sehingga mereka tidak pernah sungkan untuk memberi kepercayaan, menerima ajakan, memberi keterampilan, dan juga menerima keterampilan tersebut. Oleh sebab itu, satu persatu saudara sekampung mereka dengan cepat dapat menjadi pengrajin tahu. Orang yang diajak juga tidak pernah merasa malu untuk belajar karena mereka mengerti bahwa hal yang dilakukan adalah untuk menjadikan kehidupan mereka lebih baik. Norma-norma atau nilai-nilai yang terus menerus digunakan sebagai basis dari pengembangan usaha para pengrajin tahu di Kedaung tidak pernah hilang ataupun melemah. Norma atau nilai ini semakin kuat karena ketika mereka berhasil mempunyai usaha sendiri dan berhasil mengembangkan usahanya rasa diantara mereka yang menganggap bahwa mereka merupakan saudara semakin bertambah. Begitu juga dengan kebersamaan, toleransi dan kepercayaan diantara mereka. Dapat dilihat hasil dari pengembangan usaha yang berlandaskan normanorma ataupun nilai-nilai yang berkembang diantara pengrajin tahu di Kedaung. Mereka semakin rukun, harmonis, percaya, dan mereka tidak pernah melupakan akan jasa dari orang yangtelah memberinya keterampilan. Usaha tahu ini juga cukup berkembang di daerah Kedaung. Keahlian membuat tahu merupakan keahlian yang dapat dimiliki oleh siapa saja. Namun cara mereka meluaskan keahlian ini merupakan cara yang cukup unik. Salah satunya adalah pada saat membuat orang-orang yang tadinya tidak mempunyai usaha apa-apa atau pekerjaannya tidak memberikan hasil yang maksimal menjadi mempunyai usaha sendiri dan cukup menjanjikan. Uniknya, para pengrajin yang sudah merasa mapan dalam usahanya berusaha mengajak orang lain atau saudara sekampung yang tidak mempunyai pekerjaan untuk ikut dalam usahanya. Orang tersebut diberi keterampilan dari awal bagaimana membuat tahu sampai mereka mengerti dan membuat sendiri. Awalnya mereka hanya mendapat bagian sebanyak tahu yang dapat mereka buat dan jual. Seperti yang dilakukan oleh Pak Maman ataupun Pak Atang. Pak Maman dan Pak Atang menyatakan bahwa awalnya karyawan tidak memiliki keterampilan membuat tahu. Namun Pak Maman dan Pak Atang membimbing mereka sampai mereka bisa. Para pengrajin tempe tidak serta merta mendapatkan keterampilan dalam membuat tempe. Mereka mendapatkan keahlian itu dari orang lain yang sudah terlebih dahulu menjalankan usaha tempe. Keahlian ini didapat sejak kecil karena usaha turun temurun keluarga ataupun diajak oleh pengrajin lain yang sudah sukses dalam usaha ini. Menurut Pak Daryono usaha ini seperti usaha membatik di Yogyakarta. Keahlian yang di dapat merupakan keahlian yang biasa dimiliki oleh orang Pekalongan. Norma-norma atau nilai-nilai yang berkembang diantara mereka sama dengan norma atau nilai yang berkembang diantara para pengrajin tahu. Hal ini dikarenakan mereka hidup berdampingan. Mereka sudah menjadi satu kesatuan di daerah Kedaung. Sama halnya dengan pengrajin tahu, pengrajin tempe ini mengembangkan usahanya dengan menggunakan norma-norma atau nilai-nilai yang mereka miliki. Mereka juga selalu mengajak saudara sekampungnya untuk ikut membuka usaha yang dirasa cukup menjanjikan ini. Mereka diberi keterampilan dengan cara ikut serta atau membantu usaha pengrajin yang sudah memiliki usaha. Setelah itu mereka dapat membuka usaha sendiri tanpa harus membayar biaya selama ‘menuntut ilmu’. Seperti apa yang dikatakan oleh Mbak Iis: Dulu saya diajak oleh keponakan saya mbak. Pertama-tamanya cuma bantu-bantu ajah. Nggak digaji kayak waktu saya di pabrik sih mbak, jadi ya dapat bagiannya dari tempe yang saya buat dan yang laku dijual. Lama-lama punya uang sendiri, baru buka usaha sendiri. Pernyataan ini juga didukung oleh Pak Cariban yang usahanya biasa dibantu oleh orang lain yang ingin belajar membuat tempe: Banyak yang datang kesini buat belajar membuat tempe, habis itu pada buka usaha sendiri. Rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan kepercayaan diantara mereka tidak pernah pudar. Rasa tersebut semakin kuat seiring dengan semakin berkembangnya usaha tempe di Kedaung. Tidak pernah ada persyaratan yang memberatkan ketika pengrajin tahu yang sudah berhasil mengajak saudara sekampungnya untuk bermigrasi dan belajar usaha tahu. Mereka hanya menyatakan satu syarat yaitu kemauan. Apabila kemauan itu tidak dimiliki maka proses pembelajaran keterampilan tahu tersebut tidak akan pernah terlaksana. Begitu juga ketika saudara sekampungnya itu memutuskan untuk memulai usaha. Mereka menggunakan pengetahuan yang telah mereka dapatkan. Mereka juga menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang sudah menjalin hubungan sebelumnya dengan pengrajin yang memberikan keterampilan. Biasanya mereka menjalin hubungan dengan distributor kedelai yang sudah menjadi langganan pengrajin sebelumnya. Para pengrajin pemula ini dapat menggunakan kepercayaan yang telah dibangun antara distributor kedelai dengan pengrajin sebelumnya sehingga pengrajin pemula ini dapat menikmati fasilitas yang tidak jauh berbeda. Salah satunya yaitu mereka dapat mengambil kedelai terlebih dahulu dan membayarnya ketika mereka melakukan pengambilan kedelai untuk produksi selanjutnya. Namun mereka tidak dapat mengambil dalam jumlah yang sangat besar. Pengrajin tempe yang baru akan memulai usaha juga menggunakan kepercayaan yang telah dibangun antara pengrajin tempe sebelumnya dengan distributor kedelai dan juga dengan pengrajin yang lainnya. Distributor kedelai tidak pernah khawatir akan pembayaran kedelai, karena pengrajin tempe sudah lama menjalin hubungan dengan distributor kedelai dan tidak pernah mengalami kemacetan. Kepercayaan yang telah dibentuk oleh para pengrajin tempe yang lebih dulu membuka usaha juga digunakan para pengrajin tempe pemula untuk mendapatkan pengetahuan tambahan ataupun sekedar menjalin hubungan sosial sehingga mereka dengan lebih mudah dapat diterima dalam komunitas tersebut. Hubungan saudara ataupun sekampung digunakan oleh pengrajin tahu dalam mengembangkan usahanya. Pengrajin tahu yang pertama kali membuka usaha menjalin hubungan dengan distributor kedelai yang sudah cukup dikenal dan telah menjalin kerja sama dengan pengrajin tempe yang terlebih dahulu membuka usaha di Kedaung. Setelah usaha tersebut berkembang, pengrajin tersebut mulai mengajak saudara sekampungnya. Orang yang diajak biasanya orang memiliki hubungan yang cukup dekat. Begitu juga dengan orang yang ingin belajar tanpa diajak, biasanya orang yang sudah mengenal pengrajin tahu yang akan diikuti atau mengenalnya dari saudara sekampung yang lain. Setelah orangorang tersebut membuka usaha sendiri, mereka juga akan mengajak saudara sekampungnya, begitu seterusnya. Sehingga usaha tahu di Kedaung ini bertambah jumlahnya. Pengrajin tempe juga menggunakan jaringan yang telah dijalin oleh pengrajin sebelumnya sama seperti para pengrajin tahu, baik dengan distributor kedelai ataupun dengan pihak-pihak lain yang dapat mendukung usaha tempe ini. Jumlah pengrajin tempe lebih banyak dibandingkan dengan pengrajin tahu, hal ini dikarenakan usaha tempe dapat dilakukan secara perorangan sehingga banyak orang-orang Pekalongan yang diajak oleh pengrajin tempe yang telah berhasil di Kedaung dan juga orang-orang yang berinisiatif sendiri untuk belajar usaha tempe. Pengrajin tahu tempe yang belum mempunyai keterampilan membuat tahu tempe diajak atau ikut usaha orang lain atau saudaranya yang sudah memiliki usaha tahu tempe. Setelah beberapa lama mereka mempelajari keterampilan tersebut, akhirnya mereka dapat membuat tahu tempe tanpa harus dibimbing lagi. Mereka ikut dalam usaha tersebut sampai mereka merasa mampu untuk membuka usaha sendiri. Ketika mereka membuka usaha sendiri secara otomatis mereka akan mendapatkan penghasilan sendiri. Proses pemberdayaan dalam komunitas pengrajin tahu tempe dapat digambarkan sebagai berikut: Paguyuban Pengrajin yang terlebih dahulu membuka usaha Mengajak atau membuka peluang Membina atau membimbing Memberi kesempatan membuka usaha sendiri Orang yang ingin belajar Usaha sendiri Penghasilan sendiri Gambar 13. Bagan Proses Pemberdayaan Pengrajin Tahu Tempe Proses pemberdayaan yang terjadi di komunitas pengrajin tahu tempe dimulai dari pemberian pengetahuan oleh pihak yang telah memiliki usaha kepada pihak yang diajak atau pihak yang dengan sendirinya ingin mengetahui tentang usaha tahu tempe tersebut. Pengetahuan yang diberikan dapat berupa petunjuk tentang alat-alat yang dibutuhkan, penggunaannya, bahan yang dibutuhkan, dan cara membuat tahu tempe. Setelah itu pihak yang ‘ditumpangi’ tersebut memberikan kesempatan bagi pihak yang ‘menumpang’ untuk langsung ikut serta dalam proses pembuatan tahu tempe. Proses ini berlangsung sampai mereka merasa mengerti dan mampu membuat tahu atau tempe yang baik. Pihak yang ‘ditumpangi’ tidak mengikat pihak yang ‘menumpang’. Dengan kata lain, tidak ada paksaan untuk terus membantu usaha tersebut. Mereka diberi kebebasan apabila mereka ingin membuka usaha sendiri. Paguyuban merupakan sebuah wadah yang mendukung terjadinya proses pemberdayaan tersebut. Paguyuban tersebut dibentuk oleh para pengrajin tahu dan tempe agar hubungan sosial mereka tetap terpelihara. Dengan tetap terpeliharanya hubungan sosial diantara para pengrajin maka pengembangan usaha dapat dilakukan dengan lebih mudah. Pada umumnya proses pemberdayaan yang terjadi pada para pengrajin tempe sama dengan para pengrajin tahu. Namun ada satu hal yang membedakan antar keduanya. Pengrajin tempe dapat langsung membuka usahanya sendiri setelah ia merasa mampu, tanpa harus mempertimbangkan berapa banyak pekerja yang harus dimiliki untuk menjalankan usaha tersebut. Karena usaha tempe dapat dilakukan sendiri. Sedangkan usaha tahu harus dilakukan oleh lebih dari satu pekerja. Oleh karena itu usaha tahu biasanya dilakukan secara berkelompok. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Maman: Alhamdulillah usaha ini sudah bisa ngambil orang buat jadi karyawan dek, kalau tidak berarti saya harus gabung sama orang lain jadi usaha bareng-bareng bukan usaha sendiri lagi. Modal sosial yang berkembang diantara mereka, seperti nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan, toleransi, kepercayaan, dan juga jejaring yang tercipta ketika mereka berinteraksi menjadi dasar bagi mereka untuk melakukan proses pemberdayaan. Mereka menggunakan kepercayaan yang sudah terbentuk untuk mengajak saudara-saudaranya untuk lebih maju atau lebih baik kehidupannya. Ketika mereka merasa kehidupan mereka berhasil, mereka tidak langsung tinggi hati dan melupakan saudara-saudaranya di kampung yang tidak memiliki penghasilan. Nilai-nilai kekeluargaan yang begitu kental diantara mereka membuat mereka peduli dengan apa yang dihadapi oleh saudaranya. Saudara mereka yang diajak merasa percaya bahwa kehidupan mereka akan lebih baik apabila mereka mengikuti tuntunan dari para pengrajin yang sudah berhasil. Mereka tidak pernah merasa keberatan untuk memberikan pengetahuan mereka kepada saudara mereka yang diajak dan ingin belajar. Mereka juga tidak keberatan untuk berbagi tempet tinggal. Dan mereka tidak pernah mengharapkan imbalan atau bayaran dari apa yang telah mereka lakukan. Bimbingan atau tuntunan tersebut mereka lakukan untuk mengangkat kesejahteraan saudara-saudara sekampung mereka. Mereka merasa senang ketika orang yang sudah dibimbng tersebut berhasil dan mampu mengangkat kehidupan saudara yang lainnya. Proses ini akan semakin menguatkan nilai-nilai yang telah mereka bina, kepercayaan yang telah mereka bangun, dan juga ikatan yang sudah terjalin. Mereka akan merasa tambah percaya satu sama lain, jaringan mereka akan semakin luas, dan hubungan kekeluargaan antar mereka akan semakin erat. Paguyuban memiliki peranan yang cukup penting dalam proses ini. Paguyuban merupakan wadah yang dibentuk oleh para pengrajin untuk mengembangkan usaha mereka. Dengan kata lain paguyuban merupakan wadah bagi mereka untuk dapat mengakses kepentingan-kepentingan yang dapat digunakan untuk mengembangkan usaha mereka, seperti jaringan-jaringan yang telah dibangun oleh para pengrajin sebelumnya, kepercayaan yang sudah tertanam antara pengrajin dengan distributor, dan norma-norma yang digunakan dalam kehidupan mereka sehingga mereka dapat bekerja sama dengan baik. Paguyuban secara tidak sengaja dibentuk oleh para pengrajin tahu tempe terdahulu. Mereka saling membantu, bekerja sama, dan kerap melakukan kegiatan secara bersama-sama. Nilai-nilai yang telah dibentuk itu menjadi nilai-nilai yang terus digunakan sampai sekarang. Kesejahteraan mempunyai arti yang lebih luas daripada sekedar meningkatkan pendapatan atau tidak hanya melihat sisi ekonomi. Akan tetapi kesejahteraan juga berkaitan dengan aspek psikologi. Oleh karena itu, belum ada ukuran yang pasti untuk kesejahteraan. Pengertian dan ukuran kesejahteraan yang berkembang diantara pengrajin tahu tempe sangat beragam. Mulai dari memiliki rumah sendiri, dapat membiayai anak sekolah, hidup nyaman, tenang, dan penghasilan yang lebih baik dari sebelumnnya. Mbak Iis menyatakan: Sejahtera itu kalau saya sudah punya rumah sendiri mbak, tapi saya sekarang masih ngontrak dan masih harus membiayai adikadik saya dikampung. Jadi saya merasa bahwa hidup saya belum sejahtera. Pernyataan ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh Pak Atang: Waduh, kalau dibilang sejahtera yah pasti belum soalnya saya kan baru menjalankan usaha ini, jadi belum terlalu ngasih keuntungan yang gede kayak orang yang sudah lebih dulu buka usaha. Sejahtera kan bisa hidup enak, rumah bagus, punya penghasilan yang lebih. Pernyataan diatas berbeda dengan Pak Maman, Pak Cariban, dan Pak Daryono yang merasa bahwa hidup mereka sudah sejahtera. Pak Cariban menyatakan: Saya mah sudah sejahtera. Anak bisa sekolah semua. Bisa buka usaha sendiri. Pendapatan lebih daripada sebelum jadi tukang tempe. Begitu juga dengan Pak Daryono yang dapat membiayai sekolah anakanaknya dan Pak Maman yang dapat menghidupi keluarganya di Tasikmalaya. Secara nyata, kesejahteraan mereka itu tidak dapat dilihat secara langsung. Karena lingkungan tempat tinggal mereka jauh dari ukuran sejahtera yang telah dinyatakan oleh banyak ahli, yang dilihat dari jenis rumah, luas tanah, dan lain sebagainya. Namun mereka bermukim di tempat seperti ini karena mereka tidak ingin menunjukkan kepada orang-orang kota bahwa mereka berhasil. Padahal, mereka memiliki rumah yang bagus, hidup berkecukupan, dan lingkungan yang lebih nyaman di kampung mereka. Posisi kesejahteraan mereka dapat digambarkan dalam tangga kesejahteraan yang mereka tentukan sendiri. Nilai 1 menunjukkan bahwa mereka sangat tidak sejahtera, 2 tidak sejahtera, 3 cukup sejahtera, 4 sejahtera, dan 5 sangat sejahtera. Skor Kesejahteraan 5 4 3 2 1 Waktu Sebelum Usaha (1975) Mulai Usaha (1980) Setelah usaha (2009) Gambar 14. Grafik Kesejahteraan Pak Cariban Pak Cariban memulai usahanya pada tahu 1980. Sebelumnya beliau masih tinggal di Pekalongan. Beliau memulai usaha semenjak kecil. Beliau membantu usaha orang tuanya di Pekalongan. Keadaan kehidupan beliau pada saat itu tidak sejahtera karena beliau belum dapat mendapatkan penghasilan sendiri. Namun pada tahun 1980 Pak Cariban bermigrasi ke Jakarta dan memulai usahanya di Kedaung. Beliau memulai usaha tempe ini dari awal. Beliau mengambil kacang kedelai di distributor kedelai dan beliau membuat alat-alat produksinya sendiri. Kondisi kehidupan Pak Cariban masih tidak sejahtera. Karena beliau masih harus bekerja keras untuk mendapatan hasil. Pada saat itu beliau masih mengontrak. Beliau tidak dapat menumpang dengan siapapun karena beliau merupakan pengrajin tempe pertama di Kedaung. Beliau hidup dengan fasilitas yang sangat minim. Namun lambat laun usahanya itu membuahkan hasil. Beliau dapat membeli rumah sendiri. Menyekolahkan anak-anaknya yang berjumlah sepuluh orang. Beliau juga dapat membiayai hidup keluarganya di kampung. Hal semacam ini dikenal dengan sebutan remitan. Menurut Connel (1976) yang dikutip oleh Antari (2009), remitan merupakan uang atau barang yang dikirim oleh migran ke daerah asal, sementara migran masih berada di tempat tujuan. Pak Cariban juga merasa hidupnya lebih aman, tenteram, puas, dan merasa sehat. Skor Kesejahteraan 5 4 3 2 1 Waktu Sebelum Usaha (2000) Mulai Usaha (2005) Setelah usaha (2009) Gambar 15. Grafik Kesejahteraan Mbak Iis Apabila dibandingkan dengan Pak Cariban, Mba Iis memang baru memulai usahanya. Sebelum menjadi pengrajin tempe, Mbak Iis bekerja sebagai buruh pabrik di Pekalongan. Namun pekerjaan tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan. Mbak Iis tidak dapat membantu orang tuanya untuk membiayai adik-adiknya. Setelah menikah, Mbak Iis mengikuti suaminya untuk tinggal di Kedaung dan belajar usaha tempe dengan keponakannya. Setelah ia dan suaminya merasa mampu untuk membuka usaha sendiri, akhirnya pada tahun 2005 Mbak Iis memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Keadaan kehidupan Mbak Iis belum sejahtera, karena bagi Mbak Iis sejahtera itu apabila ketika ia sudah bisa mempunyai tempat tinggal sendiri. Sementara sekarang ini, ia masih menyewa rumah orang lain untuk tinggal. Namun, keadaan kehidupan Mbak Iis meningkat dari semenjak ia baru memulai usahanya, karena pada saat ia memulai usahanya ia benar-benar tidak mempunyai modal apa-apa dan masih menumpang dengan keponakannya. Skor Kesejahteraan 5 4 3 2 1 Waktu Sebelum Usaha (1995) Mulai Usaha (2000) Setelah usaha (2009) Gambar 16. Grafik Kesejahteraan Pak Daryono Skor Kesejahteraan 5 4 3 2 1 Waktu Sebelum Usaha (1995) Mulai Usaha (2000) Setelah usaha (2009) Gambar 17. Grafik Kesejahteraan Pak Maman Pak Daryono dan Pak Maman sama-sama memulai usaha pada tahun 2000. Namun Pak Maman tidak pernah mengalami penurunan kesejahteraan, sedangkan Pak Daryono pernah pada saat ia mulai membuka usahanya. Pak Daryono menggunaan modal yang sudah dikumpulkan untuk membeli alat-alat produksi dan juga membeli tempat tinggal yang mempunyai ruangan yang dapat digunakan untuk produksi tempe. Namun setelah itu kesejahteraan Pak Daryono terus meningkat, hal ini dikarenakan Pak Daryono juga mempunyai pekerjaan sampingan yaitu sebagai perantara di salah satu dealer motor. Pak Daryono merupakan pekerja keras. Beliau ingin memberikan kehidupan yang terbaik untuk anak dan istrinya. Berbeda dengan Pak Daryono, Pak Maman memulai usaha dengan modal yang sudah belau persiapkan semenjak beliau ikut usaha adiknya. Kehidupannya dulu belum sejahtera, namun sekarang beliau sudah dapat membiayai kehidupan keluarganya yang berada di Pekalongan dan juga membeli rumah di Pekalongan. Beliau menyatakan bahwa kehidupannya cukup sejahtera sekarang ini. Hidupnya lebih terasa tenteram dan cukup puas karena kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Skor Kesejahteraan 5 4 3 2 1 Waktu Sebelum Usaha (2000) Mulai Usaha (2005) Setelah usaha (2009) Gambar 18. Grafik Kesejahteraan Pak Atang Pak Atang memulai usaha sama dengan Mbak Iis yaitu tahun 2000. Pak Atang masih merasa bahwa kehidupannya tidak sejahtera. Namun ada peningkatan sedikit apabila dibandingkan dengan sebelum beliau memulai usaha tahu. Pak Atang menyatakan bahwa karena usahanya belum begitu lama sehingga belum terlalu banyak keuntungan yang dapat diambil. Beliau juga masih harus membagi penghasilannya dengan saudaranya yang lain yang mengelola usaha tersebut. Dari tangga kesejahteraan yang digambarkan dapat diketahui bahwa hanya Pak Cariban yang berani menyatakan bahwa dirinya sudah berada dalam tingkatan yang sejahtera. Hal ini dikarenakan Pak Cariban telah menjalani usahanya selama 29 tahun. Sementara, Pak Man dan Pak Daryono menempatkan dirinya di tingkat cukup sejahtera. Sedangkan Mbak Iis masih menempatkan posisinya di tingkat tidak sejahtera dan Pak Atang di tingkat sedikit diatas tidak sejahtera. Akan tetapi dapat dilihat bahwa dari semua tangga kesejahteraan diatas terjadi peningkatan antara sebelum memulai usaha dengan setelah menjalankan usaha. Hal ini memperkuat pernyataan semua responden yang menyatakan bahwa usaha tahu tempe ini cukup menjanjikan. Dengan kata lain proses pemberdayaan yang berlangsung diantara pengrajin tahu tempe ternyata memberikan hasil dari segi ekonomi. Keterampilan yang semakin meluas membuat orang yang awalnya tidak memiliki keterampilan dan usaha yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menjadikan mereka lebih berdaya dalam hal pemenuhan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan. Dari grafik yang telah digambarkan, dapat diketahui bahwa para pengrajin tahu tempe mempunyai ukuran yang berbeda berkaitan dengan tngkat kesejahteraan masing-masing. Namun, apabila dilihat dengan menggunakan teori kebutuhan Maslow, mereka menyatakan tingkatan yang sama. Kelima responden menyatakan bahwa mereka berada di tingkat ketiga, yaitu kebutuhan sosial. Mereka merasa bahwa mereka membutuhkan penerimaan dari para pengrajin lain yang terlebih dahulu bermukim dan menjalankanusaha di Kedaung. Seperti apa yang dikatakan oleh Pak Cariban: Alhamdulillah, saya disini cukup dikenal dan dihargai oleh yang lain. Tapi biar gimanapun perasaan takut ga diterima sama masyarakat masih ada. Palagi klo dalam bersikap. Takut salah. Begitu juga Pak Atang: Saya kan masih baru ya perasaan takut ga diterima yah masih ada. Makanya sekarang saya berusaha menjalin silaturahmi sama pengrajin yang lain. Tingkat Kebutuhan 5. Self actualization 4. Esteem or status 3. Affiliation or acceptence 2. Safety and security 1. Psychological Pemuas Kebutuhan Gambar 19. Hierarki Kebutuhan Bapak Cariban, Pak Maman, dan Pak Daryono Tingkat Kebutuhan 5. Self actualization 4. Esteem or status 3. Affiliation or acceptence 2. Safety and security 1. Psychological Pemuas Kebutuhan Gambar 20. Hierarki Kebutuhan Bapak Atang dan Mbak Iis Gambar diatas menunjukkan bahwa pengrajin tahu tempe yang lama dan baru berada dalam tingkatan yanng sama pada hirarki kebutuhan Maslow. Namun Pak Cariban lebih mendekati tingkatan ke empat yaitu kebutuhan akan penghargaan. Karena beliau sudah cukup lama bermukim di Kedaung sehingga para pengrajin tahu tempe yang lain sudah cukup mengenal dan menerima keberadaan beliau. Begitu juga dengan Pak Man dan Pak Daryono. Sedangkan Pak Atang dan Mbak Iis, masih berada di awal tingkat ke tiga yaitu kebutuhan sosial. Hal ini dikarenakan Pak Atang dan Mbak Iis belum lama berada di Kedaung sehingga masih membutuhkan banyak waktu untuk dapat diterima oleh pengrajin yang lain. BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial yang dimiliki oleh pengrajin tahu tempe di Kedaung menjadi dasar bagi terlaksananya proses pemberdayaan yang berlangsung diantara mereka. Norma kekeluargaan, kebersamaan, toleransi dan kepercayaan menjadi pendorong bagi para pengrajin untuk membuat saudara sekampungnya menjadi lebih berdaya dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, norma-norma ini dapat memperluas jejaring yang telah mereka miliki, sehingga jaringan yang mereka miliki tidak hanya terbatas pada komunitas pengrajin tahu tempe saja, akan tetapi juga dengan pihakpihak yang mendukung pengembangan usaha yang mereka miliki. Proses pemberdayaan dimaksudkan untuk memberikan keterampilan kepada orang-orang yang berasal dari daerah yang sama sebagai sasaran utama sehingga terjadi peningkatan ekonomi. Dengan kata lain, mereka ikut membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, mereka menggunakan kemampuan dan modal yang mereka miliki sendiri untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dirinya dan saudara sekampungnya. Proses pemberdayaan ini memang memberikan hasil yang cukup memuaskan. Para pengrajin yang terlibat langsung dalam proses pemberdayaan mengalami peningkatan kesejahteraan. Mereka merasa bahwa keterampilan yang mereka dapatkan merupakan keterampilan yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka. Hidup mereka lebih berkecukupan, mereka dapat membiayai pendidikan bagi anak-anaknya, dapat memiliki rumah sendiri, dan dapat membiayai keluarganya yang berada di daerah asal mereka. Semua ini membuat mereka lebih merasa nyaman, aman, tenteram, bahagia, puas, merasa diterima, dan diakui dalam komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengalami peningkatan kesejahteraan baik kesejahteraan materi ataupun kesejahteraan non-materi. 7.2 Saran Saran yang diberikan dan dapat dijadikan bahan pertimbangan, yaitu terutama untuk Paguyuban. Sebaiknya Paguyuban melakukan pembinaan atau menerapkan proses pemberdayaan yang sudah berlangsung kepada masyarakat Kedaung yang lain. Proses pemberdayaan seperti yang berlangsung di komunitas pengrajin tahu tempe di Kedaung juga dapat diadopsi oleh kelompok lain untuk memberdayakan diri mereka sendiri dan juga dapat diadopsi oleh institusi ketika melakukan proses pemberdayaan. DAFTAR PUSTAKA Antari, Ni Luh Sili. 2009. Pengaruh Pendapatan, Pendidikan, dan Remitan terhadap Pengeluaran Konsumsi Pekerja Migran Nonpermanen di Kabupaten Badung (Studi Kasus pada Dua Kecamatan di Kabupaten Badung). http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/_6_%20naskah%20sili.pdf. (diakses tanggal 30 Juni 2009) Badan Pusat Statistik. 1995. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS Bappekab. 2009. Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Terpadu Usaha Kecil dan Menengah Koperasi Kabupaten Sidoarjo. http://www.bappekab.sidoarjokab.go.id/?file=04-doc-hsl-kajian/ripukm.htm. (diakses tanggal 7 April 2009) Gugus Tugas II Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2004. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta Hasibuan, M.S.P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hikmat, Harry. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Ismawan, Bambang. 2002. Ekonomi Rakyat: Sebuah Pengantar dalam Jurnal Ekonomi Rakyat Th.1-No.1. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1 /artikel_6.htm. (diakses tanggal 7 April 2009) Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui Kemitraan Guna Mewujudkan Ekonomi Nasional Yang Tangguh dan Mandiri disampaikan pada Seminar Nasional Lembaga Pembinaan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi 7 November 1996 di Jakarta. http://www.ginandjar.com/public/10PemberdayaanEkonomiRakyatMelalui Kemitraan.pdf. (diakses tanggal 7 April 2009) Khrisnamurti, Bayu. 2002. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Mencari Format Kebijakan Optimal dalam Jurnal Ekonomi Rakyat Th.1-No.2. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_6.htm. (diakses tanggal 7 April 2009) Krishna, Anirudh. 2000. Creating and Harnessing Social Capital dalam Social Capital a Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank Munir, Misbahul. 2008. Pengaruh Konversi Lahan terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani (kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Skripsi. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Soembodo, Benny. 2009. Aspirasi Sosial Budaya Masyarakat Pedesaan Terhadap Kesejahteraan Keluarga. http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/ ASPIRASI%20SOSIAL%20BUDAYA%20MASYARAKAT%20PEDES AAN.pdf. (diakses tanggal 7 April 2009) Sadiwak, M. 1985. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Petani Transmigrasi di Delta Sumatera Selatan. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor Stoner, J.A.F dan R.E. Freeman. 1994. Manajemen. Jilid 1. Edisi Kelima. Jakarta: Intermedia. Suharto, Edi. 2009. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/MODAL_SOSIAL_DAN_ KEBIJAKAN_SOSIAL.pdf. (diakses tanggal 7 April 2009) Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Garamedia Pustaka Utama Wrihantolo, Randy R. dan Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2007. Manajemen Pemberdayaan : Sebuah Pengantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Elex Media Komputindo Lampiran 1 Tabel Rencana Penyelesaian Skripsi No Kegiatan April 1 I 2 Mei 3 4 1 Juni 2 3 Juli 4 1 2 Agustus 3 4 1 2 Proposal dan Kolokium 1. Penyusunan Draft Proposal, konsultasi, dan revisi 2. Observasi Lapangan 3. Kolokium II Studi Lapangan 1. Pengumpulan Data 2. Analisis Data III Penulisan Laporan 1. Penyusunan Draft dan Revisi 2. Konsultasi Laporan IV Ujian Skripsi 1. Ujian 2. Perbaikan Skripsi 86 3 4 Lampiran 2 Matriks Metodologi Pengumpulan Data No 1. Masalah Konteks umum lokasi Data Yang Diperlukan - Gambaran umum desa Sumber Data Teknik Pengumpulan Data - Data sekunder - Studi literatur : data desa - Data Primer - Wawancara kepada responden - Data Primer (sejarah desa, potensi desa) - Profil masyarakat (jumlah penduduk, mata pencaharian) - Profil kelompok pembuat tempe dan tahu (jumlah pelaku usaha, karakteristik pelaku usaha) 2. Konstruksi Modal Sosial - Bentuk-bentuk modal sosial (kepercayaan, - Wawancara mendalam kepada responden jaringan, dan norma) - Proses terbentuknya 87 modal sosial 3. Peran Modal Sosial dalam - Proses Pemberdayaan Proses Pemberdayaan Ekonomi - Pihak yang terlibat Kelompok Usaha Rumah - Peran modal sosial dalam Tangga 4. Pengaruh Proses Pemberdayaan Terhadap Kesejahteraan - Data primer - Wawancara mendalam kepada responden proses pemberdayaan - Ukuran kesejahteraan yang berkembang - Data primer - Wawancara mendalam kepada responden diantara mereka - Hasil pemberdayaan (pemekaran usaha, perluasan jaringan usaha, peningkatan pendapatan) 88 Lampiran 3 PANDUAN PERTANYAAN A. Profil Komunitas 1. Kapankah pertama kali anda membuka usaha ini? 2. Dimana pertama kalinya anda membuka usaha ini? 3. Jika langsung di daerah ini, bagaimana keadaan daerah ini pada saat itu? Dan apa alasan membuka usaha di daerah ini? 4. Apa memang sudah banyak orang atau rumah tangga yang membuka usaha ini? 5. Kira-kira berapa banyak atau jumlah rumah tangga yang sudah memulai usaha ini pada saat anda memulai usaha? 6. Apakah terjadi perubahan dalam hal jumlah apabila dibandingkan dengan keadaan sekarang? 7. Apakah meningkat atau menurun? 8. Kira-kira berapa banyak jumlah usaha rumah tangga tempe tahu saat ini? 9. Dari sejumlah rumah tangga yang membuka usaha tempe tahu ini, sebagian besar pelaku usahanya berasal dari mana? 10. Warga asli daerah ini ataukah pendatang (berasal dari daerah yang lain)? B. Konstruksi Modal Sosial 1. Bagaimanakah kehidupan bertetangga di daerah ini? 2. Bagaimanakah hubungan yang terjalin antar pelaku usaha pembuat tempe tahu ini? baik dengan yang sudah lama membuka usaha ataupun yang baru? 3. Selain dengan sesama pelaku usaha apakah anda mempunyai hubungan dengan yang lainnya? Misalnya dengan pemasok, pasar, bank, atau yang lainnya? 4. Bagaimanakah hubungan yang terjalin tersebut? 5. Apakah hanya hubungan bisnis saja atau lebih dari itu? 6. Apakah alasan anda mau menjalin kerjasama dengan pihak-pihak tersebut? 7. Apakah ada aturan-aturan yang mengikat dalam hubungan-hubungan yang terjalin tersebut? 8. Apakah anda pernah melakukan kegiatan pinjam meminjam dengan mereka? 9. Untuk apa? 10. Bagaimana prosedur pengembaliannya? 11.Apakah ada aturan dalam kegiatan tersebut? 12.Bagaimana jika ada yang terlambat dalam melakukan pengembalian? 13.Apakah sanksinya? 89 C. Peran Modal Sosial dalam Proses Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Rumah Tangga 1. Pertama kali anda membuka usaha ini, apakah anda sudah memiliki keterampilan membuat tempe atau tahu? 2. Dari mana anda memperoleh keterampilan tersebut? 3. Siapa yang mengajarkan anda keterampilan ini? 4. Anda yang minta diajarkan atau anda diajak? 5. Apakah hubungan anda dengan pihak tersebut? 6. Bagaimana pihak tersebut mengajak anda untuk belajar keterampilan ini? 7. Mengapa anda tertarik dengan ajakannya? 8. Bagaimanakah hubungan anda dengan pihak yang mengajak tersebut? 9. Setelah menjalankan usaha ini, apakah pihak tersebut mempengaruhi anda? 10.Apakah ada hal-hal yang anda harus lakukan untuk mengganti jasanya? 11.Dari manakah modal yang anda dapatkan untuk membuka usaha ini pertama kali? 12.Apakah dari pihak yang mengajarkan atau ada sumber lain? 13. Berupa pinjaman ataukah anda memiliki modal sendiri? 14. Sejauh ini, bagaimanakah keadaaan usaha yang anda jalankan? 15.Apakah terjadi perubahan sumber daya, besar usaha, ataupun luas jaringan? 16.Bagaimanakah pengaruhnya dengan surpulus ekonomi? D. Pengaruh Proses Pemberdayaan Terhadap Kesejahteraan 1. Apakah pengertian kesejahteraan yang berkembang di antara pembuat tempe dan tahu? 2. Adakah ukuran-ukuran atau indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan tersebut? Misalnya jenis rumah, perhiasan yang dipakai, kendaraan yang dimiliki, kesenangan, atau yang lainnya. 3. Apakah anda sudah merasa sejahtera? 4. Bagaimanakah keadaan yang anda rasakan sebelum memulai usaha? 5. Apakah anda merasa sejahtera pada saat itu? 6. Apakah perubahan yang terjadi setelah anda melakukan usaha? 90 Lampiran 4 Gambar 1. Sekretariat Paguyban Pengrajin Tahu Tempe Gambar 2. Stok Kedelai Paguyuban untuk Dikirim Ke Rumah Pembeli 91