JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT ISSN 1693-2889 Volume 14 Nomor 2 April 2015 SEMANGAT OTONOMI KHUSUS DAN SISTEM FEDERAL DALAM MEMPERTAHANKAN NKRI Frans Reumi1 ABSTRAK Penerapan desentralisasi mengandung prinsip sistem federal (federal arrangements) merupakan solusi yang tepat untuk menyelenggarakan pemerintahan negara Indonesia ialah negara kesatuan (unitary state) yang berbentuk Republik dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat yang majemuk (multikultural), serta kondisi geografis yang terdiri atas ribuan pulau sebagai pelaksanaan prinsip persatuan dalam keanekaragaman (unity in diversity) dalam rangka menjaga keutuhan negara (sovereigity) dan pemerataan kesejahteraan (prospherity).Negara Kesatuan RI yang menerapkan prinsip sistem federal, dapat ditemukan dalam UUD NRI 1945 dan dijabarkan pada beberapa materi muatan desentralisasi dalam UUNo. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004,dan diubah dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diterapkannya prinsip penyerahan sisa atau residu kewenangan (the reserve of powers) kepada Daerah dan sistem pemilihan langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sedangkan desentralisasi yang mengarah ke sistem federal berpengaruh positif dan negatif terhadap pelaksanaan fungsi dan tujuan negara, tercantum dalam pelaksanaan semangat UUOtonomi Khusus di Indonesia,yang mencerminkan sistem federal sebagai upaya mempertahankan NKRI dalam kehidupan berbangsa dannegara. Kata Kunci : Desentralisasi, Otonomi Khusus, Sistem Federal, NKRI . II.Pendahuluan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah diamandemen (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) tertulis secara tegas “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.Sedangkan pada ayat (3) UUD NRI 1945 tertulis “Negara Indonesia adalah negara hukum”.Artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) sebagainegara hukum (rechsstaat), tidak atas kekuasaan belaka (machtsstaat), demikian pula didalam UUD lain yang pernah berlaku yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) danUndang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dinyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah 1 Dosen dan Peneliti Utama Pada Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura Papua, Januari 2016. Hukum dan Masyarakat 2015 negara hukum.2 Dari hakikat prinsip yang dimuat dalam hukum dasar tersebut mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia adalah hukum yang dibuat oleh rakyat dan/atau melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari pusat sampai daerah dalam bentuk kodifikasi hukum dan berlaku unifikasi hukum dengan viksi hukum dalam politik hukum ketatanegaraan Indonesia. Indonesia sebagai negara kesatuan yang menerapkan beberapa prinsip sistem federal (an unitary state with some federal arrangement) menjadi dasar penyelenggaraan desentralisasi pada otonomi daerah dan otonomi khusus di Indonesia menjadi cair terhadap sentralisasi setelah era orde reformasi tahun 1998. Awal sistem desentralisasi dapat ditemukan dalamorde reformasi tahun 1998 dalam beberapa materi kebijakan desentralisasiyaitu dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang penggantinya yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diubah dengan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Misalnya : diterapkannya prinsip penyerahan sisa (residu) kewenangan (the reserve of powers) kepada Daerah dan sistem pemilihan langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan baik pusat maupun daerah diharuskan (wajib) sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukumm dasar tertinggi.Isu otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah akhir-akhir ini, antara lain dengan muncul perdebatan mengenai penyelenggaraan desentralisasi di beberapa daerah yang mendapat otonomi khusus di Indonesia. Misalnya Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Peraturan Daerah (Perda) bermasalah dan/atau diskriminasi, konflik pemilihan kepala daerah (Pilkada), masalah pengelolaan batas wilayah daerah, pemekaran daerah, dan isu tuntutan otonomi khusus di beberapa daerah pasca pemberian Otonomi Khusus terhadap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat. Adanya kesemua isu tersebut berawal dari masalah besar kecilnya pembagian kewenangan Pusat kepada Daerah dalam upaya penyelenggaraan otonomi daerah yang diharapkan kepada sistem 2 Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia Permata, Padang, 2013, hlm.21 101 Hukum dan Masyarakat 2015 pemerintahan NKRI yang berbentuk suatu Negara Kesatuan (a unitary state) dewasa ini.Adanya ketidak seimbangan dan ketidakmerataan pembangunan telah menjadi isu penting dalam setiap periode penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia sejak masa awal kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dengan awal orde reformasi tahun 1998 dan memasuki tahun 2000-an di era globalisasi berada dalam otoritas masing-masing rezim yaitu rezim orde lama, rezim orde baru, dan rezim orde reformsi. Ketidakmerataan pembangunan telah menumbuhkan perasaan tidak adil bagi masyarakat Indonesia yang multikultural di berbagai daerah. Perkembangan politik hukum ketatanegaraan dengan momentum jatuhnya pemerintahan Orde Baru Tahun 1998, dimanfaatkan oleh gerakan reformasi dibeberapa daerah untuk menggulirkan berbagai tuntutan, mulai dari permintaan otonomi yang lebih luas, penerapan sistem federal, hingga tuntutan untuk memisahkan diri dari NKRI. Misalnya : tuntutan beberapa daerah yang bergulir pada gerakan reformasi, seperti ungkapanTrabani Rabmengungkapkan Provinsi Irian (sekarang Papua), Daerah Istimewa Aceh, dan Riaumenuntut memisahkan diri dari NKRI sedangkan Provinsi Kalimantan Timur menuntut penerapan sistem federal.3Setelah Pemerintah dan DPR RI kemudian merespon dengan membentuk beberapa Undang-Undang seperti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menggantikan UU sebelumnya yaitu UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 telah membuka cakrawala baru dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia dan menggeser cara pandang Sentralistismenjadi Desentralistisdengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah. UU No. 22 Tahun 1999 mendefenisikan desentralisasi sebagai “penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI.” UU No. 22 Tahun 1999 dianggap lebih sebagai strategi Pemerintah untuk 3 Trabani Rab, 2002, “Kemerdekaan, Otonomi, atau Negara Federal : Suara Rakyat Daerah”, dalam : Ikrar Nusa Bhakti dan Irine H. Gayatri (eds), Kontroversi Negara Federal : Mencari Bentuk Negara Ideal Indonesia Masa Depan, Mizan Media utama,Bandung, hlm. 175. 102 Hukum dan Masyarakat 2015 mengatasi masalah dan isu-isu disintegrasi di Indonesia dalam era gerakan reformasi. Hal ini diperkuat dengan pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Timor Timur sebagaimana termuat dalam Pasal 118 ayat 1 UU No. 22 Tahun 1999. Walaupun telah mendapatkan status Otsus Provinsi Timor Timur berhasil melepaskan diri dari NKRI melalui referendum pada tahun 1999. Menyikapi semakin meningkat tuntutan dan gerakan di berbagai daerah kemudian Pemerintah memberikan status otonomi khusus terhadap dua wilayah yang potensi disintegrasinya cukup tinggi yaitu Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang ditetapkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya disebut Otsus NAD) sebelum berlakunya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyusul kemudian Provinsi Irian Jaya (Papua) diberikan Otonomi Khusus lewat UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papuadan UU No. 35 Tahun 2008bagi Provinsi Papua Barat (selanjutnya disebut Otsus Papua dan Papua Barat).Bagi Otsus Papua memberi kewenangan khusus yang lebih luas kepada Papua dan Papua Barat dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki daerah lainnya antara lain : a. Kewenangan membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mempunyai tugas dan wewenang antara lain : memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah Khusus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur. b. Kewenangan membentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua dan Peraturan Daerah Provinsi Papua (Perdasi) dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 23 Tahun 2014 dengan menerapkan kebijakan desentralisasi di Indonesia yang mengarah ke sistem federaljuga tercermin pada pemilihan sistem kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diatur oleh kedua UU tersebut. Menanggapi tentang mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) menurut Joko J. Prihatmokomenyebutkan bahwa sistem pilkada secara langsung ini lazim 103 Hukum dan Masyarakat 2015 digunakan di negara-negara yang menganut sistem federasi atau federal murni, antara lain di negara Amerika Serikat, Australia, dan Kanada. Tanggapan kritis lainnya oleh Ramlan Surbakti yang mengistilahkan pilkada langsung ini merupakan contoh yang paling kongkret untuk menjelaskan pandangan kebijakan desentralisasi di Indonesia menerapkan sistemfederal arrangements.Semangat desentralisasi yang mengandung federal arrangements merupakan sementara cara yang tepat dilakukan menyelenggarakan oleh pemerintahan Pemerintah Republik Indonesia untuk yang demokratis, dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI dan mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang sesuai amanat UUD NRI 1945. Perbedaan pemahaman dan timbulnya berbagai konflik kepentingan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, antar Pemerintah Daerah dan masyarakat merupakan proses adaptasi dalam proses demokrasi di Indonesia. Desentralisasi yang menerapkan prinsip-prinsip sistem federal juga tersirat dalam beberapa materi UU Otsus yang dipayungi oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, kini UU No. 23 Tahun 2014 implementasinya misalnya dalam UU No.18 Tahun 2001 tentang Otsus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) NAD sebagai fokus pada “lembaga yudikatif”untuk menyusun jenjang pemerintahan sendiri dan membentuk Qanun, yaitu Peraturan Daerah Provinsi NAD yang dapat menyampingkan peraturan perundangundangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogat legi generalis.Kewenangan lainnya Provinsi NAD melaksanakan peradilan Syariat Islam yang dilakukan oleh Mahkamah Syariyah. Mahkamah Syariyah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh dari pihak manapun dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dengan fokus pada “lembaga legislatif” untuk membentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), yaitu Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Kewenangan lain membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mempunyai tugas dan wewenang antara lain : memberikan 104 Hukum dan Masyarakat 2015 pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP); dan memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur. Kemudian materi kedua UU Otonomi Khusus yaitu UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 21 Tahun 2001 memiliki kesamaan ciri dengan sistem Negara federal sebagaimana tercermin pada negara-negara yang menganut sistem federal antara lain Amerika Serikat, India, dan Australia. A. BENTUK NEGERA 1. Negara Kesatuan dan Negara Federal Operasionalisasi konsep yuridis formal negara hukum Indonesia itu harus dimanifestasikan dalam kegiatan pembentukan hukum, penerapan, pelayanan hukum, penegakan hukum, dan pengembangan hukum di Indonesia. Semua negara yang dikenal di masa kini didirikan me njadi bentuknya sekarang melalui proses integrasi atau penggabungan bersama.Berangkat dari pemahaman regeringsvorm yang diterjemahkan sebagai bentuk pemerintahan dan staatvorm yang diartikan sebagai bentuk negara Sri Soemantri Martosoewignyomengatakan bentuk negara meliputi negara serikat dan negara kesatuan. 4Hendra Nurtjahjo mengatakan susunan negara ada yang berbentuk serikat dan ada juga susunan negara yang berbentuk kesatuan. 5 Menurut Soehino, negara ditinjau dari segi susunannya akan menghasilkan dua k emungkinan bentuk susunan negara, yaitu: 1) negara yang bersusunan tunggal, yang disebut negara kesatuan, dan 2) negara yang bersusunan jamak, yang disebut negara federasi. 6Ditinjau dari pendapat para pakar, terdapat 4 Martosoewigno, Sri Soemantri, “Bentuk Negara dan Implementasinya Berdasarkan UUD 1945”, dalam Padmo Wahjono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm, 40 5 Nurtjahjo, Hendra, Ilmu Negara-Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 43-45. 6 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2004, hlm, 224 105 Hukum dan Masyarakat 2015 perbedaan peristilahan yang sudah umum untuk maksud yang sama, ada yang menyebutkan bentuk negara, namun ada juga yang mengistilahkan susunan negara. Demikian pula ada yang menyebut negara serikat, namun ada pula yang mengistilahkannya sebagai negara federasi. Namun perbedaan istilah di atas, tentang bentuk negara dan susunan negara memiliki maksud yang sama, sehingga tidak mempermasalahkan terminology tersebut. Namun untuk menyelaraskan dengan obyek formal yang menjadi dasar normatif penulisan ini yaitu UUD NRI 1945 dan Pasal 1 ayat (1) yang menentukan “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”, memberi pemahaman bentuk negara adalah berbentuk republik, maka tulisan ini menggunakan istilah bentuk negara. Selaras dengan urgensi desentralisasi yang mengarah ke sistem federal dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan fungsi Negara yang memuat istilah federal. Dengan demikian maka: a) bentuk susunan negara meliputi negara kesatuan dan negara federasi, b) bentuk pemerintahan negara meliputi pemerintahan republik dan pemerintahan monarki. Sistem federal sedikitnya dilandasi oleh 5 prinsip biasanya terlihat pada ciri-ciri negara kesatuan dan negara federal sebagai berikut : a) Sistem penyerahan sisa atau residu kekuasaan (reserve of powers) kepada negara-negara bagian. b) Penerapan sistem subsidiaritas dalam hubungan pemerintahan negara federal dan negara-negara bagian. c) Hubungan kontraktual atau kesepakatan (contractual linkage) antar negara-negara bagian dan negara federal dalam pembagian kekuasaan (power sharing) dilandasi oleh kaidah pengaturan diri sendiri (self rule) dan pengaturan pembagian nilai (shared rule), d) Pengakuan terhadap pluralisme (pluralism), e) Prinsip unity in diversity (persatuan dalam keanekaragaman ). 2. Otonomi Daerah 106 Hukum dan Masyarakat 2015 Istilah Otonomi Daerah dan Desentralisasi sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Istilah otonomi lebih cenderung berada dalam aspek politik-kekuasaan negara (political aspect), sedangkan desentralisasi lebih cenderung berada dalam aspek administrasi negara (administrative aspect). Sebaliknya jika dilihat dari sharing of power (pembagian kekuasaan) kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pula pada pembicaraan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang dan/atau urusan kewenangan daerah, demikian pula sebaliknya. 7Syariff Saleh mengatakan otonomi itu sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Atas inisiatif dan kemauan sendiri, di mana hak tersebut diperoleh dari Pemerintah Pusat. 8Wayong mengemukakan bahwa otonomi daerah itu adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan berpemerintahan sendiri. 9Sugeng Istanto menyatakan bahwa otonomi diartikan sebagai hak atau wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.Berangkat dari hal tersebut maka inti pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka dan memajukan daerahnya. 10Di sini masyarakat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat, melainkan yang utama adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. 7 Surianingrat, Bayu, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu Analisis, Dewaruci Press, Jakarta, 1981, hlm, 24 8 Saleh, Syariff, Otonomi dan Daerah Otonom, Endang, Jakarta, 1953, hlm31 9 Wayong J. , Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Djambatan, Jakarta, 10 Wijaya, H.A.W, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm, 36 107 Hukum dan Masyarakat 2015 3. Desentralisasi Pengertian desentralisasi tidak ada yang tunggal, banyak definisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai desentralisasi. Menurut David K Hart banyaknya definisi tentang desentralisasi ini disebabkan karena ada beberapa disiplin ilmu dan teori yang memberikan perhatian terhadap desentralisasi antara lain seperti ilmu administrasi negara, Ilmu politik, dan teori administrasi. Istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin yang berarti “de” adalah lepas dari “centrum” adalah pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud dinalisasi ialah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah -daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom). Pengertian ini hampir sama dengan pendapat Amrah Muslimin yang menyebutkan desentralisasi ialah pelimpahan kewenangan pada badan -badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.Amrah Muslimin mengemukakan 3 (tiga) macam desentralisasi, 11yaitu : 1) Desentralisasi politik, sebagai pengakuan adanya hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri pada badan -badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu; 2) Desentralisasi fungsional, sebagai pengakuan adanya hak pada golongan-golongan yang mengurus satu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik serikat atau tidak pada suatu daerah tertentu, umpamanya subak di Bali; 3) Desentralisasi kebudayaan, yang mengakui adanya hak pada golongan kecil, masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (antara lain pendidikan dan agama). 12 Di dalam kepustakaan dikenal ada dua macam desentralisasi yaitu : 11 12 Muslimin Amrah, Ikhtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958, Djambatan, Jakarta Ibid, hlm, 15 108 Hukum dan Masyarakat 2015 1) Desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie), yaitu pemencaran kekuasaan dari atasan kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan (ambt) dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja. 2) Desentralisasi kenegaraan (staatkundige decentralisatie) yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya sebagai usaha mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Menurut Andi Mustani Pide, desentralisasi pada dasarnya adalah penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi atau lembaga atau pejabat yang lebih tinggi kepada institusi atau lembaga atau fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusa n tertentu têrsebut. 13Desentralisasi di negara kesatuan berarti adanya penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat sebagai badan publik nasional kepada pemerintah daerah sebagai badan publik lokal. Pada desentralisasi terjadi distribusi kekuasaan antara peme rintah pusat dengan pemerintah daerah. Distribusi kekuasaan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu distribusi kekuasaan berdasarkan wilayah atau distribusi kekuasaan berdasarkan fungsi-fungsi tertentu pemerintahan.Dengan demikian kekuasaan pemerintahan lokal mempunyai dua jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan desentralisasi atau otonomi dan kekuasaan tugas pembantuan (medebewind).Benyamin Hoessein dan Syarif Hidayat menyebutkan beberapa tujuan, dan alasan negara -negara berkembang menerapkan kebijakan desentralisasi. Berkaitan dengan tujuan desentralisasi, ada enam tujuan negara -negara berkembang menerapkan kebijakan desentralisasi yaitu: 1) untuk pendidikan politik, 2) untuk latihan kepemimpinan politik, 3) untuk memelihara stabilitas 13 Pide Andi Mustari, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, hlm 33-34 109 Hukum dan Masyarakat 2015 politik, 4) untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di Pusat, 5) untuk memperkuat akuntabilitas publik, dan 6) untuk meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan alasan desentralisasi, ada empat alasan penerapan kebijakndesentra1isasiyaitu: 1) untuk menciptakan efisiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan, 2) untuk memperluas otonomi daerah, 3) untuk beberapa kasus sebagai strategi untuk mengatasi instabilitas politik, dan 4) untuk meningkatkan keputusan partisipasi dan daerah.Berdasarkan masyarakat untuk dalam mempercepat alasan-alasan proses proses tersebut. pengambilan pembangunan Bayu Surianingrat mengatakan desentralisasi umumnya menyangkut 2 (dua) hal, yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional: 1) desentralisasi teritorial (territorial decentralization), yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie). Batas pengaturan tersebut adalah daerah; 2) desentralisasi fungsional (functionale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Walaupun desentralisasi menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun pelaksanaan desentralisasi masih saja menemukan kendala. Berkaitan dengan kendala desentralisasi, ada dua kendala penerapan desentralisasi yaitu: 1) berkaitan dengan skala besaran wilayah operasi pemerintah daerah yang mengakibatkan penyelenggaraan pemerintah daerah menjadi kurang efektif utamanya dalam menangani berbagai persoalan sosial dan ekonomi , dan 2) adanya ketidaktulusan di kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mendudukkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses pengambilan keputusan. B. Pembahasan 1. Desentralisasi Mencerminkan Sistem Federal 110 Hukum dan Masyarakat 2015 Secara normatif dalam teori pemerintahan, dikenal ada dua model formasi negara, diantaranya negara federal dan negara kesatuan. Secara etimologis, kata federal berasal dari bahasa latin feodus, artinya liga. Liga negara-negara kota yang otonom pada zaman Yunani Kuno dapat dipandang sebagai negara federal yang mula-mula ada. Bentuk model pemerintahan federal berasal dari pengalaman konstitusional Amerika Serikat. Menurut Sri Soemantri Martosoewignyo, berangkat dari pemahaman regeringsvorm yang diterjemahkan sebagai bentuk pemerintahan dan staatsvorm yang diartikan sebagai bentuk negara, yang dapat dibagi menjadi negara serikat dan negara kesatuan. Sedangkan Hendra Nurtjahjo, mengatakan bahwa susunan negara ada yang berbentuk serikat dan ada juga susunan negara yang berbentuk kesatuan. Menurut Soehino bahwa negara ditinjau dari segi susunannya akan menghasilkan dua kemungkinan bentuk susunan negara, yaitu negara yang bersusunan tunggal, yang disebut negara kesatuan dan negara yang bersusunan jamak, yang disebut negara federal. Beberapa segi positif dari konsep negara federal antara lain: Pertama,Federalisasi merupakan strategi yang paling tepat untuk membuka kekuasaan yang pada masa lalu amat tertutup. Masyarakat pada umumnya mendambakan keterbukaan, banyak mekanisme dan lembaga demokrasi yang dikembangkan dalam rangka membuka kekuasaan itu. Contohnya adalah perwakilan politik.Kedua,Federalisme dipandang sebagai usaha menyeimbangkan kekuatan budaya daerah, suku atau etnis yang ada dalam suatu negara.Ketiga,Di dalam sistem federal ada unsur-unsur yang dapat membantu menghindari kecenderungan ke arah intensifikasi ketimpangan ekonomi dan konflik konflik politik dan budaya yang menyertai.Keempat,Sebagai pilihan alternatif untuk menyelesaikan masalah disintegrasi bangsa.Pendapat Sri Soemantri mengatakan bahwa di samping ada segi positif pelaksanaan negara federal, juga ada sisi negatifnya atau kelemahan 111 Hukum dan Masyarakat 2015 mendasar dari sistem negara federal, yaitu memberikan kesempatan kepada semua Provinsi sebagai daerah otonom untuk menikmati hasil sumber daya alam daerahnya tanpa perlindungan undang-undang perimbangan keuangan. Dalam kondisi yang demikian, justru akan menimbulkan kecemburuan dan kesenjangan antara daerah yang kaya hasil bumi dengan daerah yang kering atau miskin. Jadi dalam pelaksanaannya, ternyata sistem negara federal juga harus dilihat sebagai sistem yang tidak sempurna dalam berbagai penyelesaian permasalahan yang di hadapi negara.Konsep negara kesatuan menurut C.F. Strong, dapat disebut negara unitaris atau eenheidstaat. Negara ini ditinjau dari segi susunannya bersifat tunggal, maksudnya negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari berbagai negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara. Adapun perkembangan desentralisasi di Indonesia secara historis khususnya melalui lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diubah dengan UU No. 23 Tahun 2014, tersirat bahwa selain untuk memperbaiki penyelenggaraan otonomi daerah, pembentukan ketiga undang-undang tersebut juga menjadi strategi bagi pemerintah untuk mencegah atau meredam berbagai gerakan dan tuntutan di daerah yang bermotif sosial, ekonomi maupun politik yang berujung pada potensi disintegrasi. Peningkatan derajat desentralisasi menurut para pakar sebagai wujud pergeseran dari sistem negara kesatuan kepada negara federal. Hal ini sejalan dengan pendapatJimly Asshiddiqie, yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berbentuk negara kesatuan (unitary state) dimana kekuasaan berada di pemerintah pusat, namun kewenangan batasannya (authority) dalam pemerintah Undang-Undang pusat Dasar ditentukan dan batasan- Undang-Undang. Kewenangan yang tidak disebutkan dalam undang-undang dasar dan undang-undang ditentukan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah sebagai sisa atau residu kewenangan (reserve of 112 Hukum dan Masyarakat 2015 powers). Dengan pengaturan-pengaturan konstitusional yang demikian itu, berarti NKRI diselenggarakan dengan federal arrangements atau pengaturan dengan beberapa prinsip federal.Dwi Andayani, dalam disertasinya menyimpulkan telah terjadi metamorfosa dan negara kesatuan ke negara federal. Metamorfosa itu semakin kuat dengan diberikannya status otonomi khusus bagi Provinsi Aceh Darusalam,Papua dan Papua Barat berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 (UU No. 11 Tahun 2006),UU No. 21 Tahun 2001dan UU No. 35 Tahun 2008.Menurut Ryaas Rasyid mengatakan bahwa NKRI cenderung mengarah pada federalism, hanya saja pemerintah tidak secara terangterangan atau malu menggunakan istilah negara bagian itu, pemberian otonomi khusus Aceh, Papua dan Papua Barat secara langsung maupun tidak langsung sudah mengarahkan NKRI menuju ke pembentukan negara bagian. Lebih lanjut, Ryaas Rasyid juga mengatakan bahwa kecenderungan itu semakin menguat dengan adanya MoU Helsinki untuk Aceh walau tidak disebutkan secara terang-terangan. Misalnya Perbandingan UU No. 32 Tahun 2004 dengan Ciri-Ciri Negara Federal yaitu 1) Pemberian otonomi yang seluas-luasnya, 2) Penyerahan Sisa atau Residu Kewenangan kepada Pemerintah Daerah, 3) Pemberian urusan pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat subsidiaritas,... 4) Pemberian Status Otonomi khusus Pasal 225 dan Pasal 226 serta Pasal 399 UU No.23 Tahun2014. Sedangkan dalam sistem federal Hans Kelsen, mengatakan perbedaan negara federal dengan negara kesatuan ditentukan oleh derajat desentralisasinya dan perbedaan antara satu negara kesatuan yang hanyalah pada derajat desentralisasinya (the degree of decentralization). Jadi prinsip pembagian urusan pemerintahan seluasluasnya tersebut menggambarkan desentralisasi mengarah ke sistem negara federal. 2.Semangat Dua UU Otonomi Khusus dengan Ciri-Ciri Negara Federal 113 Hukum dan Masyarakat 2015 UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 yang mengatur tentang pemberian status otonomi khusus di Indonesia, di mana pasal-pasal yang mengatur otonomi khusus dalam UU No. 22 Tahun 1999 meliputi Pasal 118 ayat (1) dan (2). Selain itu, UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemberian status otonomi khusus adalah Pasal 2 ayat (8), Pasal 225, Pasal 226 ayat (1) dan penjelasan Pasal 226 ayat (1) sesuai dengan penjelasan Pasa) 226 ayat (1) tersebut, dan Pasal 399 UU No. 23 Tahun 2014. Implementasi otonomi khusus diatur dengan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Naggroe Aceh Darussalam dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. 1) Semangat UU No. 18 Tahun 2001 Dengan Ciri-Ciri NegaraFederal Dalam UU No. 18 Tahun 2001, menempatkan titik berat otonomi khusus pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah kabupaten dan kota atau nama lain secara proporsional, diatur dalam peraturan daerah yang disebut Qanun. Muatan materi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang menunjukkan adanya kesamaan dengan sistem pembagian urusan pemerintahan di negara federal, adalah : Tabel : 1UU No. 18 Tahun 2001 dengan Ciri-Ciri Negara Federal No 1 Materi UU No. 18 Tahun 2001 Kewenangan membentuk lembaga peradilan yang bebas dan pengaruh pihak manapun, undang-undang ini memberikan kesenangan kepada Pemerintah Provinsi NAD untuk membentuk lembaga peradilan yang bebas dan pengaruh pihak manapun. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Provinsi NAD memiliki kewenangan yang sama dan sebenarnya merupakan Argumentasi Federalisme Dengan demikian kewenangan yang dimiliki oleh Provinsi NAD tersebut dapat dikatakan adalah kewenangan suatu negara atau merupakan kewenangan dalam negara federal. Hal ini merupakan suatu indikasi adanya suatu negara dalam negara. 114 Hukum dan Masyarakat 2015 2 3 kewenangan Pemerintah Pusat yaitu kewenangan di bidang yustisi atau peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004. Adapun pasal-pasal di dalam UU No. 18 Tahun 2001 yang menyatakan tentang kewenangan Provinsi NAD untuk membentuk lembaga peradilan sendiri tersebut adalah salah satunya Pasal 25 Ayat (1) „Peradilan syaniat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syari‟ah yang bebas dan pengaruh pihak manapun‟. Pasal ini ditindaklanjuti oleh Pasal 25 Ayat Kewenangan untuk menentukan bendera Daerah, undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menentukan bendera daerah. Pasal-pasal dalam undang-undang ini yang menyebutkan tentang pemberian kewenangan untuk menentukan lambang atau panji daerah adalah Pasal 18 Ayat (1) „Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menentukan lambang daerah, yang didalamnya termasuk alam atau panji kemegahan, yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam‟; Pasal 8 Ayat (2) „Lambang Daerah, yang didalamnya termasuk dalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diperlakukan sebagai bendera kedaulatan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam‟. Kewenangan memiliki jumlah anggota legislatif daerah yang berbeda, undangundang ini menyebutkan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari Ketentuan ini walaupun tidak mencerminkan kesamaan yang utuh dengan bendera yang dimiliki negara bagian dalam negara federal yang menunjukkan sovereignty atau kedaulatannya, namun paling tidak menyiratkan prinsip kewenangan negara bagian di negara federal dalam menampilkan simbol-simbol kedaulatan. Kewenangan jumlah legislative yang berbeda ini menyerupai kewenangan penetapan jumlah anggota legislative negara bagman di negara federal yang berbeda-beda antara masing-masing negara bagian. 115 Hukum dan Masyarakat 2015 4 5 yang ditetapkan undang-undang. Pasal yang mengatur tentang jumlah legislatif di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Pasal 9 Ayat (7) „Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan undang-undang. Kewenangan untuk menyusun jenjang pemerintahan sendiri, undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menyusun jenjang pemerintahan sendiri. Pasal-pasal dalam undang-undang ini yang menyebutkan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menyusun jenjang pemerintahan sendiri meliputi Pasal 2 Ayat (1) „Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibagi dalam Kabupaten/Sagoe atau nama lain dan Kota/Banda atau nama lain sebagai daerah otonom‟; untuk lebih menjelaskan pasal di atas lihat juga Pasal 2 Ayat (2), (3), (4), (5) dan Ayat (6). Kewenangan membentuk peraturan daerah yang dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain, undang-undang ini mengatur bahwa Provinsi NAD memiliki kewenangan membentuk Qanun yaitu peraturan daerah yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas „lex specialis derogaat legi generalis‟. Pasal-pasal dalam UU No. 18 Tahun 2001 yang menyebutkan kewenangan kepada Pemerintah NAD untuk membentuk Qanun adalah : Pasal 1 Angka 8 „Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang- Kewenangan seperti ini menyerupai kewenangan negara bagian untuk menata jenjang pemerintahan negara bagian. Untuk menggambarkan bahwa kondisi ini mencerminkan kesamaan ciri dengan sistem negara federal, dengan mengutip pendapat R. Kranenburg, yang mengatakan bahwa dalam negara serikat, negara-negara bagian memiliki kewenangan mengatur sendiri bentuk organisasi negaranya, meskipun masih harus dalam batas-batas yang ditentukan dalam konstitusi federalnya. Kewenangan yang dimiliki Provinsi NAD ini menyiratkan kesamaan dengan kewenangan dengan negaranegara bagian untuk membentuk konstitusi sendiri. Kesamaan ini dapat dijelaskan dengan mengacu kepada pendapat R. Kranenburg, yang mengatakan bahwa dalam negara serikat, negara-negara bagiannya mempunyai wewenang untuk membuat konstitusi sendiri (pouvoir constituent), meskipun masih harus dalam batas-batas yang ditentukan dalam konstitusi federalnya. 116 Hukum dan Masyarakat 2015 6 undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus‟. selanjutnya hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Umum undangundang tersebut. Kewenangan khusus tentang kepolisian daerah, undang-undang tersebut mengatur tugas fungsional kepolisian di bidang ketertiban dan ketentraman masyarakat diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi NAD. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut yang mengatur tentang penyelenggaraan kepolisian daerah di Provinsi NAD meliputi Pasal 21 Ayat (4), (5), dan (6) Hal lain terkait keberadaan Provinsi NAD selain beberapa muatan materi di dalam UU No. 1 8 Tahun 2001 yang memperkuat pandangan bahwa penyerahan kewenangan atau pembagian urusan pemerintahan di Indonesia dinilai telah mengarah ke sistem federal juga substansi MoU antara Pemerintah NKRI dengan GAM di Helsinki, Finlandia memberikan ruang yang sangat besar bagi pemerintah daerah Provinsi NAD diantaranya beberapa isi dari MoU Helsinki yang mencerminkan kesan tersebut, antara lain: a. Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh; b. Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh; c. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang Ketenituan ini menunjukkan perbedaan dengan sistem koordinasi Kepolisian Nasional yang selama ini bersifat terpusat baik dalam tugas struktural maupun fungsional. Demikian pula dengan beberapa pengaturan lainnya terkait penyelenggaraan kepolisian daerah di Provinsi NAD. Mekanisme penyelenggaraan kepolisian di tingkat daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2000 ini menyiratkan kesamaan denigani sistem pengaturan penyelenggaraan kepolisian di negara bagian pada negara federal yang memiliki kewenangan-kewenangan tertentu dalam penyelenggaraan tugas fungsional kepolisian. Demikian halnya dengan MoU antara Pemerintah NKRI dengan GAM yang ditandatangani pada tanggal 1 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. MoU tersebut merupakan landasan normatif bagi pembentukan RUU tentang Pemerintahan Aceh. Muatan materi di dalam MoU tersebut memberikan kesan sebagai proses pembentukan Negara Bagian Aceh (ciri negara federal) di wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berbagai keistimewaan yang diberikan kepada Provinsi NAD dalam Nota Kesepakatan (MoU) antara Pemerintah NKRI dan GAM. Kesan luasnya kewenangan yang dimiliki oleh Provinsi NAD tersebut di atas, semakin diperkuat dengan penggunaan beberapa istilah yang tidak lazim dan tidak sesuai dengan peristilahan 117 Hukum dan Masyarakat 2015 dan himne; sebagaimana diatur dalam peraturan d. Qanun Aceh akan disusun kembali perundang-undangan Nasional. untuk Aceh dengan menghormati Sebagaimana telah dikutip di bagian tradisi sejarah dan adat istiadat latar belakang penelitian ini , YusriI rakyat Aceh serta mencerminkan Ihza Mahendra mengungkapkan kebutuhan hukum terkini Aceh; bahwa beberapa istilah di dalam MoU e. Aceh berhak untuk menetapkan Helsinki yang tidak lazim digunakan tingkat suku bunga berbeda dengan dalam sistem perundang-undangan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Nasional. Contohnya istilah Republik Indonesia (Bank “Pemerintah Aceh” yang digunakan Indonesia); dalam MoU Helsinki tidak sesuai f. Aceh berhak menetapkan dan dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan memungut pajak daerah untuk UUD 1945, yang seharusnya istilah membiayai kegiatan-kegiatan yang digunakan adalah Pemerintah internal yang resmi; Provinsi. g. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara; h. Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai hak-hak sipil, politk dan mengenai hak-hak ekonomi serta sosial dan budaya. Setelah berlaku UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang telah mencerminkan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan daya juang tinggi. Artinya daya juang tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan “syai‟at Islam” yang kuat dalam NKRI. 2) Semangat UU No. 21 Tahun 2001 dengan Ciri-Ciri Sistem Federal UU No. 21 Tahun 2001 memberikan kewenangan khusus dan lebih luas kepada Provinsi Papua, sebagaimana dilandasi oleh beberapa ketentuan di dalam konsideran menimbang UU No. 21 Tahun 2001 yang menyebutkan dalam Konsideran Menimbang Huruf c, yaitu bahwa sistem pemerintahan 118 Hukum dan Masyarakat 2015 Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, Konsideran Menimbang Huruf d, yaitu bahwa integrasi bangsa dalam Wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah otonomi khusus. Lalu huruf f, g, h, dan I, yang Selanjutnya beberapa muatan materi UU No. 21 Tahun 2001, yang menunjukkan adanya kesamaan dengan sistem pembagian urusan pemerintahan di negara federal, adalah : Tabel : 2 Perbandingan UU No. 21 Tahun 2001 Dengan Ciri-Ciri Negara Federal No Materi UU No. 21 Tahun 2001 1 Kewenangan memiliki bendera daerah, undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Papua untuk memiliki bendera daerah. Ketentuan ini memiliki kesamaan dengan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD yang juga memberikan kewenangan yang sama kepada provinsi NAD. Pasal di dalam UU No. 21 Tahun 2001 yang menyebutkan tentang kewenangan Provinsi Papua untuk memiliki bendera daerah adalah: Pasal 2 Ayat (2) „Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan‟. 2 Penyerahan sisa kewenangan kepada pemerintah daerah, undang-undang tersebut mengatur bahwa kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan Argumentasi Federalisme Kewenangan untuk memiliki bendera Daerah ini walaupun tidak secara utuh menyerupai kewenangan negara-negara bagian memiliki bendera negaranya di negara federal sebagai simbol-simbol kedaulatannya namun paling tidak menyiratkan prinsip federal tersebut. Ketentuan ini selaras dengan ketentuan tentang sistem pembagian urusan pemerintahan yang diatur UU No. 32 Tahun 2004 yang mencerminkan kesamaan dengan sistem penyerahan 119 Hukum dan Masyarakat 2015 3 dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan yang menjadi milik Pemerintah Pusat yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal-pasal dalam undang-undang ini yang menyebutkan tentang sistem pembagian urusan pemerintahan untuk Provinsi Papua ini adalah Pasal 4 Ayat „Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, Papua ini adalah: PasaL 4 Ayat „Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan‟; Pasal 4 Ayat (2) „selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang ini. Kewenangan membentuk lembaga representasi rakyat, berdasarkan undang-undang ini Majelis Rakyat Papua (MRP) mempunyai tugas dan wewenang antara lain, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oteh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang sisa kewenangan atau kekuasaan (reserve of powers) di Negara Federal, sebagimana telah diuraikan di atas. Ketentuan ini menunjukan bahwa sisa atau residu kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah diserahkan kepada Provinsi Papua. Kewenangan MRP sebagai representasi kepentingan rakyat Papua sedikitnya menyiratkan kesamaan dengan sistem lembaga representasi rakyat di negara federal atau di negara Amerika Serikat yang dikenal sebagai hause of representatives. 120 Hukum dan Masyarakat 2015 4 5 diusulkan oleh DPRP, dan memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur. Tugas dan wewenang MRP tersebut menunjukan bahwa MRP adalah lembaga pemberi pertimbangan yang mempengaruhi pembuatan keputusan-keputusan eksekutif (Pemerintah Provinsi Papua) dan legislatif (DPRP). Pasal-pasal dalam undang-undang ini yang mengatur tentang keberadaan MRP adalah Pasal 1 Huruf g, Pasal 5 Ayat (2), Pasal 19 Ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 20 Ayat (1), (2), Pasal 21 Ayat (1), (2), Pasal 22 Ayat (1), (2). Kewenangan memiliki jumlah anggota legislatif daerah yang berbeda, undang-undang menyebutkan bahwa kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Papua (DPRP) yang berjumlah 1,25 (satu seperempat) kali dari jumlah DPRD sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal dalam undang-undang ini yang mengatur tentang jumlah anggota legislatif di Provinsi Papua adalah Pasal 6 Ayat (4) „Jumlah anggota DPRP adalah 1,25 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan‟. Kewenangan membentuk peraturan daerah yang bersifat khusus, undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Provinsi Papua untuk membentuk Peraturan Daerah Khusus Kewenangan jumlah legislatif yang berbeda ini menyerupai kewenangan penetapan jumlah anggota legislatif negara bagian di negara federal yang berbeda-beda antara masing-masing negara bagian. Kewenangan ini menyiratkan kesamaan ciri dengan kewenangan negara bagian dalam menyusun peraturan perundang-undangannya di negara federal, sebagaimana pendapat R. Kranenburg, yang mengatakan 121 Hukum dan Masyarakat 2015 (Perdasus), yaitu Peraturan Daerah Provinsi Papua daam rangka pelaksanaan undang-undang otonomi khusus Provinsi Papua. Pasal-pasal tersebut diantaranya Pasal 1 Huruf I, Pasal 1 Huruf j bahwa dalam negara serikat, negaranegara bagiannya mempunyai wewenang untuk membuat konstitusi meskipun masih harus dalam batasbatas yang ditentukan dalam konstitusi federalnya. 2. Analisis Berlakunya Sistem Federal Arrangements dalam Sistem PEMDA Kebijakan desentralisasi yang mengarah ke sistem federal berpengaruh positif dan negatif terhadap pelaksanaan fungsi negara. Pengaruh positif kebijakan desentralisasi yang mengarah ke sistem federal terhadap pelaksanaan fungsi negara terjadi peningkatan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang ditunjukkan dengan: 1) Pemberian kewenangan yang luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah; 2) Menguatnya legitimasi kepala daerah dan wakil kepala daerah di mata rakyat; 3) Pelaksanaan fungsi negara yang menjalankan prinsip check and balances; 4) Adanya pengakuan terhadap keanekaragaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 5) Meningkatnya kemandirian daerah dalam membangun wilayahnya dan mengelola rumah tangganya; 6) Meredanya tuntutan dan gerakan di daerah terhadap pemerintahan pusat. Adapun pengaruh negatif kebijakan desentralisasi yang mengarah ke sistem federal terhadap pelaksanaan fungsi negara adalah dengan terjadinya beberapa hal yang tidak sejalan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditunjukkan dengan: 122 Hukum dan Masyarakat 2015 1) Meningkatnya ego pemerintahan daerah akibat perbedaan pemahaman terhadap pemberian kewenangan yang luas, sehingga terjadinya konflik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 2) Meningkatnya konflik di daerah yang berujung kepada konflik fisik yang mengakibatkan korban jiwa; 3) Menguatnya eksklusivisme daerah atau sifat kedaerahan, bahkan primordialisme; 4) Lahirnya perda-perda bermasalah seperti perda retribusi dan pajak yang memberatkan masyarakat dan perda bernuansa syari‟ah yang berpotensi konflik horizontal; 5) Timbulnya sifat penguasaan yang berlebihan terhadap wilayah dan sumber daya alam yang seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya; 6) Adanya kebijakan desentralisasi legislatif dan yudikatif (badan peradilan) yang mengarah ke sistem federal dalam undang-undang Otonomi Khusus; 7) Merebaknya tuntutan di beberapa daerah untuk memperoleh status otonomi khusu seperti yang diberikan kepada Provinsi NAD, Papua dan Papua Barat. Derajat desentralisasi yang besar serta dilandasi prinsip otonomi seluas-luasnya di dalam UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 21 Tahun 2001 menunjukkan adanya proses demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia yang mengandung karakter prinsip federal arrangements, serta beberapa variable teori demokrasi yang tercermin dalam prinsip-prinsip desentralisasi dalam undang-undang di atas antara lain: 1) Mengakui adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat; 2) Adanya pemilihan umum yang Luber, Jurdil secara berkala dan berkesinambungan; 123 Hukum dan Masyarakat 2015 3) Adanya partisipasi politik yang luas dan otonom; 4) Terwujudnya mekanisme checks and balance di antara lembaga negara. Prinsip sistem federal tercermin dalam semangat materi muatan UU No. 21 Tahun 2001 yang menunjukan adanya kesamaan dengan sistem pembagian urusan pemerintahan di negara federal adalah : 1) Kewenangan memiliki bendera daerah, dalam Pasal 2 ayat (2). 2) Penyerahan sisa kewenangan kepada pemerintahan daerah selain kewenangan pemerintah (bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan, serta kewenangan tertentu dibidang lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan), dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). 3) Kewenangan membentuk lembaga representasi rakyat, dalam Pasal 1 huruf g, Pasal 5 ayat (2), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22 ayat (2). 4) Kewenangan memilih jumlah anggoa legislatif daerah, dalam Pasal 6 ayat 4. 5) Kewenangan membentuk Peraturan Daerah Khusus dalam Otsus Papua, dalam Pasal 1 huruf I dan huruf J. Pada dasarnya dari sisi politik ketatanegaraan ada dua alasan mengapa kebijakan desentralisasi di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan UU No. 23 Tahun 2014, serta UU Otonomi Khusus di Indonesia mengarah ke sistem federal, antara lain : Pertama,ketiga undang-undang tersebut merupakan upaya untuk mempertahankan keutuhan NKRI dari sejarah pembentukannya.Kedua, untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan mencapai kesejahteraan rakyat. Kebijakan desentralisasi yang mengarah ke sistem federa berpengaruh positif dan negatif terhadap pelaksanaan fungsi negara. a. Pengaruh positif kebijakan desentralisasi yang mengarah ke sistem federal terhadap pelaksanaan fungsi negara terjadi peningkatan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang ditunjukkan dengan: 124 Hukum dan Masyarakat 2015 1) Pemberian kewenangan yang luas kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah; 2) Menguatnya legitimasi Kepala daerah dan Wakil Kepala di mata rakyat; 3) Pelaksanaan fungsi negara yang menjalankan prinsip check and balances; 4) Adanya pengakuan terhadap keanekaragaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 5) meningkatnya kemandirian Daerah dalam membangun wilayahnya dan mengelolah rumah tangganya; 6) Meredanya tuntuntan dan gerakan di Daerah terhadap Pusat. b.Pengaruh negatif kebijakan desentralisasi yang mengarah ke sistem federal terhadap pelaksanaan fungsi dan tujuan negara adalah terjadi beberapa hal yang tidak sejalan terhadap UUD NRI 1945, yang ditunjukkan dengan : 1) Meningkatnya ego Pemerintah Daerah akibat perbedaan pemahaman terhadap pemberian kewenangan yang luas, sehingga terjadinya konflik kewenagan antara Pemerintah Pusat dan Daerah 2) Menguatnya ekslusivisme Daerah atau sifat kedaerahan, bahkan primordialisme 3) Lahirnya perda-perda bermasalah seperti perda retribusi dan pajak yang memberatkan masyarakat dan perda bernuansa Syariah Islam yang berpotensi konflik horizontal 4) Timbulnya sifat penguasaan yang berlebihan terhadap wilayah dan sumber daya alam yang seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya 5) Adanya kebijakan desentralisasi legislatif dan yudikatif (badan peradilan) yang mengarah ke sistem federal dalam Undang-Undang Otonomi Khusus. 6) Kebijakan tuntutan di beberapa daerah untuk memperoleh suatu otonomi khusus seperti yang diberikan kepada Provinsi NAD dan Provinsi Papua. C. Penutup Negara Republik Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang menerapkan prinsip sistem federal (an unitary state with some federal arrangements. Kebijakan desentralisasi yang mengandung federal arrangements 125 Hukum dan Masyarakat 2015 merupakan cara yang tepat dilakukan oleh pemerintahan yang demokratis, dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI dan mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat sesuai amanat UUD NRI 1945. Perbedaan pemahaman dan timbulnya berbagai konflik kepentingan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, antar Pemerintah daerah, antara Pemerintah Daerah dan masyarakat merupakan proses adaptasi dalam proses demokrasi di suatu negara terutama negara berkembang.Dari uraian di atas, maka paduan implementasi sistem federal arrangements dalam sistem pemerintahn daerah di Indonesia sebagai cara atau upaya untuk mempertahankan keutuhan NKRI dan mewujudkan pemerataan pembangunan serta kesejahteraan rakyat.Pengaturan desentralisasi dalam peraturan perundang-undangan sebagai wujud objektif semangat otonomi khusus dalam penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahann dalam sistem NKRI, sebagaimana tercantum dalam Pasal 225 dan Pasal 226 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kepada Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus sebagai bentuk pendelegasian pengaturan kewenangan kecuali enam (6) kewenangan pemerintah pusat dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal yang sama ayat yang berbeda diubah dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan. Sedangkan desentralisasi dalam UU No. 23 Tahun 2014 sebagai kebijakan penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarakan Asas Otonom, pengaturannya dalam 399 sebagai bentuk pendelegasian dalam UU No. 23 Tahun 2014, dengan komitmen Indonesia sebagai negara hukum konsisten dalam penyelenggaraan pemerintahan, harus dipertahankan bentuk Negara Kesatuan. Kebijakan desentralisasi yang mengarah ke sistem federa berpengaruh positif dan negatif terhadap pelaksanaan fungsi dan tujuan negara, tercantum dalam pelaksanaan semangat UU Otonomi Khusus Khusus Aceh (UU Pemerintahan Aceh), UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat mengarah ke-sistem federal sebagai upaya mempertahankan NKRI. 126 Hukum dan Masyarakat 2015 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Rozali,2000, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ahmad, Syed A.S.,2000, “Konsep Federalisme”, dalam: St. Sularto dan T. Jacob Koekerits (eds.), Federalisme Untuk Indonesia, Kompas, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly,2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Ni‟matul Huda (ed.), FH UII Press, Yogyakarta. Attamimi, A. Hamid S., 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Bennett, Walter Hartwell, 1964, American Theories of Federalism, University of Alabama Press, Alabama. Budiardjo, Miriam,, 2005, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Budisetyowati, Dwi Andayani, 2004, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Disertasi, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dam, Syamsumar, 2000, “Pengalaman Negara-negara ASEAN dalam Federal-isme”, dalam:St.Sularto dan T.Jacob Koekarits (eds.), Federalisme Untuk Indonesia, Kompas Jakarta. Dhakidae, Daniel, 2000, Federalisme Mungkinkah bagi Indonesia ?, dalam : St. Sularto dan Jakob Koekerits (eds.), Federalisme untuk Indonesia, Kompas, Jakarta. Duchacek, Ivo, 1970, Comparative Federalism : The Territorial Dimension of Politics, Holt, Rinehart and Winston, New York. Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009. Hadjon, Philipus M., 1987, Lembaga Terttinggi dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 : Suatu Analisisa Hukum dan Kenegaraan, Biru Ilmu, Surabaya. Hidayat, Syarif, 2005, “Desentralisasi dan Otonomi Daerah Masa Orde Baru (1966-1998)”, dalam: Anhar Gonggong (ed.), Pasang Surut Otonomi Daerah-Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Institute for Local Development dan Yayasan Tifa, Jakarta. King, Preston, 1982, Federalism dan Federation, Johns Hopkins University Press, Baltimore. Knight, Maurice, 2001, Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir di Amerika Serikat : Contoh bagi Indonesia, Program Pengelolaan Sumber Daya Alam (NRM) USAID-BAPPENAS dan USAID-CRC/URI, Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narrgansett, Rhode Island,USA. Kusumaatmadja, Mochtar, (tanpa tahun),Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. 127 Hukum dan Masyarakat 2015 Latif, Abdul, 2006, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi Manurut UUD 1945, Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Manan, Bagir, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya), Unsika, Karawang. ………………, 1994, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Prasojo, Eko, 2003, “Problem dan Perspektif Desentralisasi Politik di Indonesia”, dalam : Indra J. Pilliang dkk. (eds.), Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Divisi Kajian Demokrasi Lokal, Yayasan Harkat Bangsa. ………………., 2005, Federalisme dan Negara Federal-Sebuah Pengantar, Departemen Ilmu Aministrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. ……………….., 2006, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia: antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme, Pidato Pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap FISIP Universitas Indonesia, 13 September 2006, Depok. …………………, Ridwan M., I., dan Kurniawan, T., 2006, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah : antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI, Depok. Pratikno, 2003, “Desentralisasi : Pilihan yang Tidak Pernah Final”, dalam : Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Gadjah Mada, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Prihatmoko, Joko J., 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung : Filsofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Rab, Tabrani, 2002, “Kemerdekaan, Otonomi, atau Negara Federal: Suara Rakyat Daerah”, dalam: Ikrar Nusa Bhakti dan Irine H. Gayatri (eds.), Kontroversi Negara Federal: Mencari Bentuk Negara Ideal Indonesia Masa Depan, Mizan Media Utama, Bandung. Smith, Brian C., 1967, Field Administration : An Aspect of Decentralization, Routledge and Kegal Paul, London. ……………….., 1985, Decentralization : The Territorial Dimension of State, George Allen & Unwin, London. Soehino, 1993, Hukum Tata Negara Sistem Pemerintahan Negara, Liberty, Yogyakarta. Sularto, St. dan Koekerits, Jakob (eds.), 2000, Federalisme untuk Indonesia, Kompas, Jakarta. Sumaryadi, Nyoman, 2005, Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Citra Utama, Depok. Suny, Ismail, 1977, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta. 128 Hukum dan Masyarakat 2015 Syaukani, Gafar, A., dan Rasyid, R.,2004, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Utrecht, E.,1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. Wasistiono, Sadu, 2005, “Desentraliasai dan Otonomi Daerah Masa Reformasi (1999-2004)”, dalam : Anhar Gonggong (ed.), Pasang Surut Otonomi Daerah-Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Institute for Local Development, Jakarta 129