Isolasi Senyawa α-Amirin Dari Tumbuhan Beilschmiedia

advertisement
Akta Kimindo Vol. 3 No. 1 Oktober 2007: 27-32
Akta Kimindo Vol. 3 No. 1 Oktober 2007 : 27 - 32
AKTA KIMIA
INDONESIA
Isolasi Senyawa α-Amirin Dari Tumbuhan Beilschmiedia Roxburghiana
(Medang) Dan Uji Bioaktivitasnya ‡
Yulfi Zetra1,* dan Prita Prasetya1
1Laboratorium Kimia Organik
Jurusan Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Kampus ITS Keputih, Surabaya 60111
ABSTRAK
Senyawa terpenoid yaitu α-Amirin telah diisolasi dari ekstrak metanol kulit batang tumbuhan
Beilschmiedia roxburghiana (medang). Karakterisasi struktur yang dilakukan secara spektroskopi ultra
violet, infra merah, 13C-NMR dan 1H-NMR menunjukkan bahwa senyawa yang diperoleh merupakan suatu
triterpenoid pentasiklik dengan kerangka ursan. Uji bioaktivitas terhadap senyawa hasil isolasi, yaitu uji
toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dan insektisida terhadap larva instar III Aedes
aegypti menunjukkan bahwa senyawa α-Amirin bersifat aktif.
Kata kunci : - Beilschmiedia roxburghiana, α-Amirin, bioaktifitas
ABSTRACT
Terpenoid compound, α-Amirin was isolated from extracted methanol of skin plant of Beilschmiedia
roxburghiana (medang). Structure characterisation was conducted using UV spectrophotometer, IR
spectrophotometer, 13C-NMR dan 1H-NMR. Results showed that the extracted compound was triterpenoid
pentacyclic with ursan. Bioactivity of the isolated compound was examined by toxixity using Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT) method and insectiside on larva instar III Aedes aegypti. Results indicate that the αAmirin compound was active compound.
Keywords : -- Beilschmiedia roxburghiana, α-Amirin, bioactivity
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai salah satu negara yang
memiliki hutan tropis terluas di dunia, memiliki
keunggulan komparatif dari segi sumber daya
alam untuk dikelola dan dimanfaatkan.
Tumbuhan hutan tropis Indonesia lebih unggul
dalam merekayasa bahan-bahan kimia daripada
tanaman sejenis di tempat lain. Oleh karena itu
penemuan bahan-bahan kimia baru untuk
berbagai keperluan dari tumbuhan tropis
Indonesia sangat tinggi kemungkinannya.
‡
Makalah ini disajikan pada Seminar Nasional Kimia IX,
di Surabaya 24 Juli 2007.
* Corresponding author, Cellphone : 0816 5426946,
e-mail : [email protected]
© Kimia ITS – HKI Jatim
Beilschmiedia roxburghiana (medang)
merupakan salah satu jenis dari famili Lauraceae
yang telah dipilih untuk penelitian ini. Tumbuhan
ini banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis.
Secara
taksonomi,
tumbuhan
Beilschmiedia roxburghiana merupakan bagian
dari
divisio
Spermatophyta,
sub-divisio
Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo
Renales,
famili
Lauraceae
dan
genus
Beilschmiedia (Henk, 2003).
Penelitian terhadap spesies dari genus
Beilschmiedia telah melaporkan keberadaan
senyawa - senyawa metabolit sekunder. Adapun
jenis
senyawa
yang
pernah
dilaporkan
sebelumnya
meliputi:
alkaloid
glausin,
bisbenzilisokuinolin, isokoridin, trimetoksiaporfin,
isoboldin, trimetoksinoraporfin, dimetoksiaporfin
dan senyawa benzopiran.
Berdasarkan teori kekerabatan sesama
tumbuhan,
(Venkataraman,
1976)
mengemukakan bahwa spesies tumbuhan yang
termasuk dalam genus yang sama dari suatu
27
Zetra dan Prita - Isolasi Senyawa α-Amirin Dari Tumbuhan Beilschmiedia Roxburghiana (Medang)
famili tumbuhan tertentu akan mengandung
senyawa-senyawa kimia yang sama atau senyawa
kimia dengan kerangka struktur yang sama,
hanya saja intensitasnya bisa berbeda tergantung
dari ekositem dan tantangan alam yang dihadapi
oleh spesies tersebut.
Senyawa metabolit sekunder yang terdapat
dalam tanaman biasanya memiliki aktivitas
fisiologi tertentu, seperti: aktivitas insektisida,
antikanker, antifungal (sitotoksik) dan lain-lain.
Senyawa bioaktif yang mempunyai aktivitas
insektisida antara lain dari golongan terpenoid,
alkaloid dan flavonoid. Famili Lauraceae,
berdasarkan studi literatur diketahui memiliki
aktifitas insektisida dan sitotoksik. Pada
penelitian ini dilakukan dua uji bioaktivitas
terhadap senyawa hasil isolasi, yaitu uji toksisitas
(Brine Shrimp Lethality Test) dan insektisida
terhadap larva instar III Aedes aegypti. Uji ini
dimaksudkan sebagai uji pendahuluan terhadap
aktivitas fisiologinya.
Permasalahan
Permasalahan pada penelitian ini adalah
apakah akan ditemukan senyawa metabolit
sekunder
dari
tumbuhan
Beilschmiedia
roxburghiana (medang) dengan kerangka struktur
yang sama atau saling berhubungan dengan
struktur yang telah ditemukan sebelumnya.
Permasalahan kedua adalah apakah senyawa
tersebut memiliki bioaktivitas tertentu melalui uji
toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT) dan uji insektisida terhadap larva
instar III Aedes aegypti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Ekstraksi
Kulit batang tumbuhan Beilschmiedia
roxburghiana (medang) dikeringkan di udara
terbuka tanpa terkena sinar matahari secara
langsung dan dihaluskan. Serbuk diekstraksi
menggunakan pelarut metanol sebanyak 3 x 5 L
dalam kontainer maserasi. Setelah 2 hari, ekstrak
metanol ditampung lalu diuapkan pelarutnya
dengan rotary vacuum evaporator sehingga
diperoleh ekstrak pekat metanol (170 gram).
Setelah diperoleh ekstrak pekat, kemudian
dilakukan partisi dengan kloroform dan dihasilkan
12,6 gram ekstrak pekat kloroform.
Hasil Fraksinasi Ekstrak Kloroform
Ekstrak pekat kloroform sebanyak 2 x 6
gram
difraksinasi
menggunakan
metode
kromatografi cair kolom vakum (KCKV) dengan
eluen n-heksana dan diklorometana (1 : 9).
Metode ini digunakan karena cukup efisien dan
bisa memisahkan bahan dalam jumlah yang
cukup besar, antara 1-10 gram. KCKV ini
menghasilkan 4 fraksi; fraksi A (kuning), fraksi B (
kuning tua), fraksi C (oranye), fraksi D (oranye
tua). Masing-masing fraksi dipekatkan dengan
28
rotary vacuum evaporator dan diuji kandungan
senyawanya. Fraksi A memberikan hasil positif
terhadap pereaksi Lieberman Burchard, dengan
munculnya warna merah yang diindikasikan
mengandung senyawa terpenoid.
Hasil Fraksinasi dan Pemurnian Fraksi A
Fraksi A (930 mg) dipisahkan lebih lanjut
dengan metode kromatotron. Eluen yang
memberikan pemisahan terbaik adalah campuran
n-heksana dan CH2Cl2 (1 : 9). Senyawa target
berupa padatan berwarna putih. Padatan putih
tersebut direkristalisasi menggunakan pelarut nheksana p.a panas. Senyawa hasil rekristalisasi
berupa kristal putih sebanyak 50 mg (Senyawa I).
Identifikasi dan Penetapan Struktur
Spektrum ultra violet menunjukkan adanya
dua puncak pada panjang gelombang (λ) 229 nm
dan 272 nm. Puncak maksimum (λmax) pada 229
nm dan 272 nm menunjukkan adanya transisi
elektron π → π*. Puncak-puncak serapan pada
spektrum UV ini khas untuk senyawa terpenoid
yang memiliki kromofor berupa ikatan rangkap
(C=C) yang tidak terkonjugasi. Keberadaan
senyawa terpenoid ini telah dibuktikan melalui uji
kualitatif dengan pereaksi Lieberman Burchard
yang mengindikasikan bahwa senyawa I
merupakan golongan senyawa terpenoid.
Spektrum IR menunjukkan adanya pita
serapan pada bilangan gelombang 3422,8 cm-1;
2938,8 cm-1; 2864,5 cm-1; 1632,4 cm-1; 1460,0
cm-1; 1376,5 cm-1 dan 1055,5 cm-1. Pita serapan
pada bilangan gelombang 3422,8 cm-1
menunjukkan adanya vibrasi ulur gugus hidroksi
(OH) yang diperkuat dengan adanya vibrasi ulur
ikatan C-O pada bilangan gelombang 1055,5 cm1. Kedua serapan tersebut mengindikasikan
adanya gugus hidroksi (OH) yang terikat pada
atom karbon. Munculnya vibrasi ulur C-H alifatik
pada 2938,8 cm-1 dan 2864,5 cm-1 memberi
petunjuk kemungkinan adanya gugus metil (CH3)
dan metilena (CH2). Data ini diperkuat dengan
adanya vibrasi tekuk C-H pada bilangan
gelombang 1460,0 cm-1 dan 1376,5 cm-1 yang
mengidikasikan adanya gugus gem dimetil
sebagai ciri khas senyawa triterpenoid. Adanya
karbon ikatan rangkap (C=C) yang tidak
terkonjugasi seperti ditunjukkan oleh spektrum
UV diperkuat oleh data spektrum IR dengan
adanya vibrasi ulur (C=C) pada bilangan
gelombang 1632,4 cm-1. Berdasarkan data UV
dan IR, maka senyawa I diindikasikan sebagai
triterpenoid yang memiliki gugus hidroksi yang
terikat pada atom karbon, karbon ikatan rangkap
(C=C) yang tidak terkonjugasi, gugus metilena
(CH2), gugus metil (CH3) dan gem dimetil.
Hasil spektrum 13C-NMR menunjukkan
bahwa senyawa I memiliki 30 atom karbon yang
sesuai untuk senyawa triterpenoid pentasiklik.
Pita serapan gugus metil dan gem dimetil yang
© Kimia ITS – HKI Jatim
Akta Kimindo Vol. 3 No. 1 Oktober 2007: 27-32
khas untuk senyawa triterpenoid ini pada
spektrum IR didukung oleh data spektrum 13CNMR yang menunjukkan adanya 8 sinyal karbon
kuartet (CH3) pada pergeseran kimia (δ) 28,43
ppm; 12,17 ppm; 12,04 ppm; 18,97 ppm; 23,26
ppm; 28,43 ppm; 18,97 ppm dan 21,28 ppm.
Adanya karbon ikatan rangkap (C=C) yang
ditunjukkan oleh data spektrum UV dan IR
diperkuat dengan data spektrum 13C-NMR, yaitu
dengan adanya dua sinyal karbon yang
karakteristik pada pergeseran kimia (δ) 140,94
ppm dan 121,90 ppm. Kedua sinyal karbon ini
adalah khas untuk senyawa triterpenoid
pentasiklik yang memiliki karbon ikatan rangkap
pada C12 dan C13 (Pant, 1979). Selanjutnya, sinyal
karbon doublet pada δ 72,0 ppm adalah khas
untuk atom karbon yang mengikat gugus hidroksi
(OH). Sinyal ini karakteristik untuk senyawa
triterpenoid pentasiklik yang tersubtitusi gugus
hidroksi (OH) pada C3 (Pant, 1979). Sinyal karbon
doblet (CH) lainnya terdapat pada (δ) 56,24 ppm;
46,03 ppm dan 59,71 ppm. Data spektrum IR
yang menunjukkan adanya gugus metilena (CH2)
didukung oleh adanya sinyal karbon triplet (CH2)
pada pergeseran kimia (δ) 38,33 ppm; 18,96
ppm; 32,10 ppm; 23,26 ppm; 26,26 ppm; 31,42
ppm; 42,49 ppm dan 28,43 ppm. Sedangkan
sinyal karbon singlet berada pada (δ) 38,33 ppm;
39,96 ppm; 42,49 ppm dan 34,13 ppm. Adanya
gugus gem dimetil pada spektrum IR diperkuat
oleh data 13C-NMR dengan adanya pergeseran
kimia pada 38,33 ppm dengan intensitas lebih
tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa atom
karbon mengikat gugus gem dimetil. Data ini khas
untuk senyawa triterpenoid pentasiklik dengan
satu gugus gem dimetil yang tersubtitusi pada C4
(Lima, 2004). Berdasarkan analisis UV dan IR,
maka senyawa I dapat dihipotesiskan sebagai
senyawa triterpenoid pentasiklik yang memiliki 8
gugus metil dengan satu gugus gem dimetil, satu
karbon ikatan rangkap yang tidak terkonjugasi
dan satu atom karbon yang mengikat gugus
hidroksi.
Informasi yang diperoleh dari data
spektrum 1H-NMR senyawa I, menunjukkan
adanya 8 sinyal proton singlet untuk gugus metil
pada pergeseran kimia (δ) 0,99 ppm (3H,s); 0,79
ppm (3H,s); 0,94 ppm (3H,s); 1,01 ppm (3H,s);
1,06 ppm (3H,s); 0,80 ppm (3H,s); 0,79 ppm
(3H,s); dan 0,92 ppm (3H,s). Data ini mendukung
hasil spektrum IR dan adanya 8 sinyal proton
gugus metil yang diperoleh dari spektrum 13CNMR.
Sinyal proton ikatan rangkap yang
mendukung hasil spektrum UV dan IR muncul
pada (δ) 5,34 ppm (1H,t). Sinyal proton triplet ini
juga memperkuat hasil spektrum 13C-NMR
tentang keberadaan ikatan rangkap pada C12 dan
C13 yang khas untuk senyawa triterpenoid
pentasiklik (Pant, 1979). Adanya gugus hidroksi
(OH) yang ditunjukkan oleh data spektrum IR dan
13C-NMR didukung pula oleh data spektrum 1H© Kimia ITS – HKI Jatim
NMR dengan adanya sinyal proton pada (δ) 3,22
ppm (1H,dd). Sinyal proton doblet ini karakteristik
untuk senyawa triterpenoid pentasiklik yang
tersubtitusi gugus hidroksi (OH) pada C3 (Pant,
1979). Keberadaan gugus gem dimetil pada
spektrum IR dan 13C-NMR diperkuat dengan sinyal
proton singlet pada (δ) 0,99 ppm dan 0,79 ppm.
Kedua sinyal proton ini sesuai untuk proton gugus
gem dimetil pada C23 dan C24 (Lima, 2004). Hasil
spektrum 1H-NMR menunjukkan bahwa senyawa I
merupakan triterpenoid pentasiklik yang memiliki
8 gugus metil dengan satu gugus gem dimetil,
satu karbon ikatan rangkap dan satu gugus
hidroksi.
Hasil spektrum UV menunjukkan adanya
karbon ikatan rangkap (C=C) yang tidak
terkonjugasi. Hasil spektrum IR menunjukkan
adanya gugus hidroksi yang terikat pada atom
karbon, karbon ikatan rangkap, gugus metil, gem
dimetil dan metilena. Hasil spektrum 13C-NMR
menunjukkan adanya 30 atom karbon yang
sesuai untuk senyawa triterpenoid pentasiklik,
yang terdiri dari 8 gugus metil dengan satu gugus
gem dimetil sebagai ciri khas senyawa
triterpenoid, satu karbon ikatan rangkap dan satu
atom karbon yang mengikat gugus hidroksi. Hasil
spektrum 1H-NMR menunjukkan adanya 8 proton
gugus metil dengan satu gugus gem dimetil,
proton pada karbon ikatan rangkap dan proton
dari gugus hidroksi.
Sesuai dengan hasil analisis data spektrum
UV, IR, 13C-NMR dan 1H-NMR, maka senyawa I
dihipotesiskan sebagai senyawa golongan
triterpenoid pentasiklik yang memiliki satu karbon
ikatan rangkap pada C12 dan C13, satu gugus
hidroksi yang tersubtitusi pada C3 dan 8 gugus
metil dengan satu gugus gem dimetil yang
tersubtitusi pada C4. Kerangka dasar senyawa
triterpenoid pentasiklik yang memiliki 8 gugus
metil dengan satu gugus gem dimetil yang
tersubtitusi pada C4 adalah Ursan seperti pada
gambar 1 (Pant, 1979).
Berdasarkan uraian di atas, maka senyawa
I dapat disarankan sebagai senyawa α-Amirin
(Gambar 2) dengan kerangka dasar Ursan.
30
29
20
H
H
12
25
1
2
19
22
18
11
13
26
21
17
28
14
9
16
10
8
15
5
3
1
4
H
24
7
27
6
23
Gambar 1 : Kerangka dasar senyawa I
29
Zetra dan Prita - Isolasi Senyawa α-Amirin Dari Tumbuhan Beilschmiedia Roxburghiana (Medang)
CH 3
Senyawa I
30
120
20
29
19
21
12
22
13
18
11
25
17
CH 3
CH 3
26
9
CH 3
14
16
1
2
10
1
5
4
CH 3
7
80
60
40
20
8
HO
3
28
y = 54,359x - 51,138
100
Mortalitas (%)
H 3C
0
15
0.0
27
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
Log konsentrasi
H
6
CH 3
H 3C
23
24
Gambar 2 : Struktur senyawa α-Amirin
Uji Toksisitas dengan Metode Brine-Shrimp
Lethality Test (BSLT)
Uji toksisitas dengan metode Brine-Shrimp
Lethality Test (BSLT) dilakukan sebagai uji
pendahuluan untuk mengetahui bioaktivitas
senyawa secara in vivo. Dasar pengujian dengan
metode BSLT didasarkan pada kemampuan
senyawa untuk mematikan larva udang.
Senyawa I
120
Mortalitas (%)
100
y = 55,446x - 44,144
80
60
40
20
0
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
Log Konsentrasi
Gambar 3 : Hubungan antara konsentrasi
senyawa α-Amirin dengan % mortalitas
Berdasarkan grafik di atas, menunjukkan
bahwa senyawa α-Amirin memiliki LC50 sebesar
49,86 ppm.
Suatu senyawa dikatakan aktif pada uji
toksisitas metode BSLT dengan konsentrasi
maksimal 500 ppm, jika memiliki harga LC50 ≤
250 ppm (Meyer.,dkk, 1982).
Uji Insektisida Menggunakan Larva Instar III
Nyamuk Aedes aegypti
Uji insektisida menggunakan larva instar III
nyamuk Aedes aegypti dilakukan terhadap
senyawa α-Amirin hasil isolasi.
Gambar 4. Hubungan antara konsentrasi
ekstrak senyawa α-Amirin dengan % mortalitas
Nilai LC50 hasil perhitungan dari senyawa αAmirin berdasarkan grafik di atas sebesar 72,54
ppm. Suatu senyawa dikatakan aktif pada uji
insektisida larva instar III Aedes aegypti dengan
konsentrasi maksimal 1000 ppm, jika memiliki
harga LC50 ≤ 500 ppm dan (Meyer.,dkk, 1982).
Hasil LC50 dari senyawa α-Amirin
menunjukkan bahwa senyawa tersebut bersifat
aktif, yaitu dengan konsentrasi yang kecil sudah
bersifat toksik dan mematikan sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai anti mikroba.
KESIMPULAN
Senyawa α-Amirin berbentuk kristal putih
berhasil dipisahkan dari ekstrak metanol kulit
batang tumbuhan Beilschmiedia roxburghiana
(medang). Senyawa α-Amirin merupakan golongan
triterpenoid pentasiklik dengan kerangka dasar
ursan. Hasil uji toksisitas dengan BSLT dan
insektisida menggunakan larva instar III nyamuk
Aedes aegypti menunjukkan bahwa senyawa αAmirin bersifat aktif, dengan nilai LC50 sebesar
49,86 ppm dan 72,54 ppm.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Kepala Proyek Peningkatan
Penelitian Pendidikan Tinggi, Dirjen Dikti,
Depdiknas yang telah mensponsori pendanaan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bick, R.C., Sinchai, W., (1978), Alkaloids of the
Lauraceae, Heterocyclics, 9 (7), p.p. 903941.
Casida, J.E., Fang, N., (1988), Anticancer Action of
cube Insecticide Correlation for Rotenoid
Constituents Between Inhibition of NADH :
Ubiquinone Oxidoreductase and Induced
Ornithine
Decarboxylase
Activities,
Proccedings of The National Academy of
Sciences USA, 95, 3380–3384.
Duke, S.O., (1990), Natural Pesticides From
Plants, http:? Ww.hort. purdue. Edu/
30
© Kimia ITS – HKI Jatim
Akta Kimindo Vol. 3 No. 1 Oktober 2007: 27-32
newcrop/ proceedings 1990/ V1 – 511.
Html.
El Deeb, K., Rwaida, A., (2003), Phytochemical
and Pharmacological Studies of Maytenus
Forsskaoliana,
Saudi
Pharmaceutical
Journal, 4, p.p. 184-191, Saudi Arabia.
Henk, V.D., (2003), A Synopsis of The Genus
Beilschmiedia (Lauraceae) in Madagascar,
Missouri Botanical Garden, USA.
Lima, M., (2004), Phytochemical of Trattinnickia
buserifolia, T. rhifolia, and Dacryodes
© Kimia ITS – HKI Jatim
hopkinsii: Chemosystematic Impications,
Journal Brazilia Chem. Soc, 15 (3), p.p. 385394, Brazilia.
Pant,
P.,
(1979),
The
Triterpenoids,
Phytochemistry, vol. 18, p.p 1095-1108
Venkataraman, K. (1976), Recent Work On Some
Natural Phenolic Pigments, Phytoshemistry,
p.p.1571-1586.
31
Zetra dan Prita - Isolasi Senyawa α-Amirin Dari Tumbuhan Beilschmiedia Roxburghiana (Medang)
32
© Kimia ITS – HKI Jatim
Download