KECERDASAN EMOSI DAN KEPRIBADIAN SEHAT DALAM KONTEKS BUDAYA JAWA DI YOGYAKARTA RINGKASAN DISERTASI Casmini 04/1574/PS PROGRAM DOKTOR PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011 1 ABSTRACT This research aims to explore the concept of emotional intelligence and healthy personality on the Javanese perspective of Yogyakarta. This research specially has the urgency in constructing the theory of emotional intelligence and healthy personality through discovering the fundamental concepts of Javanese culture which was as the development of Java indigenous psychology, and practically it can help the expected demand of personality development by indigenous Javanese. The research was conducted by collaborating two methods of research. Both were grounded theory method and test of internal and external concepts. Grounded theory was taken by in-depth interviews, FGDs, and observations. Triangulation of data was also used by proving the consistency of the concept as well as internal and external concept testing of emotional intelligence and healthy personality. The subjects were Javanese of Yogyakarta. 7 subjects of them were interviewed by in-depth interviews, 8 subjecs by FGD, 214 respondents to prove the concept consistency, and 280 subjects to test the internal and external validity of emotional intelligence and healthy personality concepts. The result of this research describes that the concept of emotional intelligence in a Western context was a "psychological trait" or even skill (softskills) that tends to be peripheral and neutral. Whreas, emotional intelligence in the context of Javanese culture was defined as a way of life that is born from the world-view of life, contains the value of ethical or moral imperatives, and has been central. Therefore based on this particulat view, emotional intelligence was an interpretation of waskitha ing nafsu namely the ability to manage the nafsu and the rasa. The indicators of the ability to manage the nafsu and the rasa are narima ing pandum, tata diri (self-regulation), niat and kehendak sajati (the true intention and desire), empathy and social harmony. Healthy personality in the context of Javanese culture is defined as a mature, adult and perfect personality. It leads to the life values that underlie the Javanese life which was neutral and peripheral but not central. It includes three main characters, namely pribadi sepuh (elderly personal), pribadi wutuh, and pribadi tangguh (powerful personal). Key words : emotional intelligence, healthy personality and Javanese culture. 2 KECERDASAN EMOSI DAN KEPRIBADIAN SEHAT DALAM KONTEKS BUDAYA JAWA DI YOGYAKARTA RINGKASAN DISERTASI 1. Latarbelakang dan Masalah Penelitian Terdapat tiga hal mengapa penelitian ini dilakukan, yaitu pertama; ciri khas suatu suku akan melekat pada orang-orang yang berasal dari suku tersebut dan akan terus dilestarikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi (Rahardjo, 2005). Salah satu ciri khas tersebut adalah bagaimana dan apa usaha suatu suku dalam meraih kecerdasan emosi dan keperibadian yang sehat, bahagia dan sejahtera. Implikasi dari keanekaragaman ini adalah kecerdasan emosi, kualifikasi keperibadian dan upaya mencapai keduanya harus dipahami dalam konteks budayanya sendiri. Selain itu evaluasi keperibadian sehat dapat dilakukan dengan pendekatan psikologi pribumi. Psikologi pribumi yang khas salah satunya adalah budaya Jawa, yang secara nyata dalam konteks keperibadian berakar pada epistemologi yang berbeda pada Psikologi Barat. Secara realistis, alasan untuk menerapkan psikologi Barat tanpa adanya sebuah sharing dengan budaya setempat merupakan keniscayaan yang selayaknya mendapat evaluasi secara seksama (Berry & Kim, 1993 ; Kim & Hwang 2006). Kedua; budaya Jawa di dalamnya memuat nilai-nilai budaya yang mendasari keperibadian orang Jawa dan masyarakat Jawa. Dalam kenyataan hidup masyarakat Jawa terdapat kepercayaan bahwa segala hidup manusia di dunia ini sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, sehingga muncul sikap rila, narima dan sabar yang sekaligus menjadi dasar budi pekerti orang-orang Jawa dan mendasari keperibadian mereka (De Jong dalam Martaniah, 1984; Mulder, 1996, 2001ª; Endraswara, 2003; Soesilo, 2003). Pemokusan kajian pada masyarakat Jawa ini berarti mengkaji kekayaan dan kekhasan budaya yang diharapkan dapat menjelaskan fenomena sosial di Indonesia (Martaniah 1984; Magnis-Suseno, 2001; Mulder, 2001) karena suku Jawa merupakan kelompok terbesar di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. Ketiga; metodologi yang selama ini dilakukan untuk mengkaji kecerdasan emosi dan keperibadian sehat dalam perspektif psikologi menunjukkan adanya dominasi penelitian yang menggunakan paradigma pendekatan kuantitatif positifistik (Worthen, Sanders & Fitzpatrick, 1997; Mertens, 1998; Cohen, Manion & Morison, 2000; Fraenkle & Wallen, 2000). Penelitian ini lebih memperhatikan studi secara sequential dari kualitatif ke kuantitatif. Hal ini dilakukan sebagai langkah penggalian konsep dan verifikasi konsep atau pemetaan konsep dalam masyarakat Jawa. Dengan demikian, penelitian ini menjawab kegelisahan akademik tentang bagaimana pemahaman orang Jawa tentang kecerdasan emosi dan keperibadian sehat. Berdasarkan telaah pustaka dan penelusuran penelitian, sebenanrya kajian Psikologi Indigenous telah dilakukan oleh oleh Jatman (1996), bahwa 3 (a) Konsep Jawa dalam wejangan Suryamentaram disebut “pangawikan pribadi” sebagai gagasan eksplisit dalam tradisi kepustakaan Jawa; (b) Psikologi Indonesia, dalam konteks tra-subjektif, historikal, dan nilai-nilai, selayaknya digunakan untuk menggali psikologi yang mengakar pada budaya masyarakat sendiri; (c) Konsep Jawa yang secara konsepsi teoritis menyangkut ‘aku’, ‘rasa’ dan ‘mawas diri’ memenuhi syarat formal dan material untuk studi psikologi sebagai Ilmu Jiwa Kramadangsa yang etnopsikologi Indonesia. Penelitian bernuansa indigenous dari Jatman (1996) di atas direspon oleh Prihartanti (2003) dengan judul: Kualitas Keperibadian ditinjau dari Konsep Rasa Suryomentaram dalam Perspektif Psikologi. Pendekatan Suryomentaram memiliki konsep yang lebih difokuskan pada kajian aspek psikologi positif. Jiwa adalah rasa, gerak manusia adalah suatu proses perluasan kesadaran menuju ke arah dimensi yang lebih tinggi, yaitu dari rasa kramadangsa menuju rasa manusia tanpa ciri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) ketangguhan, optimisme, keunggulan dan empati memiliki peran dalam menentukan kesejahteraan psikologis, (2) peningkatan kualitas keperibadian yang mencakup faktor ketangguhan, optimisme, keunggulan dan empati dapat dicapai melalui perilaku penyesuaian diri instropeksi sama dengan metode mawas diri yang dijelaskan dalam pendekatan Suryomentaram sebagai metode yang dapat membantu manusia menuju pertumbuhan dimensi keempat, yaitu tumbuhnya manusia tanpa ciri yang sehat dan sejahtera. Penelitian eksplorasi tentang keperibadian Jawa telah dilakukan Casmini (Casmini, 2006; 2008) yang menekankan pada kajian prinsip rukun dan hormat masyarakat Jawa. Hasil penelitian Casmini tersebut menunjukkan bahwa istilah kecerdasan emosi kurang dikenal oleh masyarakat Yogyakarta, mereka lebih memahaminya sebagai waskito ing nepsu, yang diekspresikan melalui bentuk simbol dalam kehidupannya. Kesadaran diri dimaknai sebagai kemampuan mawas diri, pengaturan diri sebagai tata (tata rasa dan basa), motivasi sebagai kehendak niat dan tekat sejati, empati sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan dirinya, serta keterampilan sosial sebagai bentuk keselarasan dan keseimbangan antara Allah, alam, dan aku. Penelitian ini memfokuskan pada fakta mencari konsep kecerdasan emosi dan keperibadian sehat pada masyarakat Jawa. Kerangka pemikiran dibangun untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, yaitu persepsi terhadap peristiwa hidup dan perilaku penyesuaian (Hall & Lindzey, 2005). Hal ini berarti bahwa konsep kecerdasan emosi dan keperibadian sehat dalam konteks budaya Jawa dapat dijelaskan melalui persepsi terhadap peristiwa-peristiwa hidup yang dialami dan perilaku penyesuaian yang dilakukan oleh individu Jawa. Nilai-nilai Jawa yang diaplikasikan oleh individu dan masyarakat Jawa dalam bentuk sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari telah melahirkan pemahaman secara individu dan kelompok masyarakat Jawa yaitu tentang 4 kecerdasan emosi dan keperibadian sehat. Akumulasi pemahaman ini akan melahirkan sebuah konsep kecerdasan emosi dan keperibadian sehat berdasarkan konteks budaya Jawa. Konsep-konsep tersebut meliputi simbolsimbol, baik dalam bahasa sebagai alat komunikasi maupun dalam sikap, perilaku sebagai wujud amaliah atau perbuatan yang tampak dalam sebuah fenomena, dan fakta dan peristiwa hidup yang dialami oleh individu Jawa. Fenomena, fakta dan peristiwa hidup mengandung sebuah makna bagi individu Jawa yang mengalaminya. Di sisi lain, nilai-nilai Jawa juga mendasari persepsi individu (organisme yang mempersepsi) terhadap peristiwa-peristiwa hidup yang terjadi pada dirinya. Peristiwa hidup tersebut meliputi peristiwa hidup yang menyenangkan dan peristiwa hidup yang menyedihkan. Peristiwa hidup pada diri individu inilah yang disebut pengalaman hidup pribadi yang dalam konteks ini adalah pengalaman dalam mencapai kecerdasan emosi dan keperibadian sehat yang dimanifestasikan melalui perilaku kecerdasan emosi dan keperibadian sehat. Pengalaman hidup yang terjadi pada diri individu Jawa terkait dengan emosi yang ada pada dirinya baik emosi positif maupun emosi negatif. Emosi tersebut membutuhkan sebuah pengelolaan untuk mencapai kesuksesan. Apabila individu Jawa berhasil dalam mengelola emosi dirinya maka dia dikatakan sebagai orang yang cerdas emosinya dan apabila tidak berhasil dalam hal oti maka ia akan dikatakan sebagai orang yang tidak cerdas emosinya. Orang yang cerdas emosinya tadi akan mampu melakukan penyesuaian diri dengan tepat baik terhadap diri maupun lingkungannya. Pengalaman hidup juga membentuk kualitas keperibadian. Kualitas keperibadian dapat dilihat melalui kemampuan untuk bertahan hidup dan kemampuan keberhasilan individu dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Keperibadian sehat dapat diidentifikasi melalui aspek-aspek positif yang menentukan derajat kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya yang dilakukan melalui interaksi secara terusmenerus. Penyesuaian diri individu dapat dilihat pada kemampuan seseorang atau individu Jawa dalam pengelolaan stres yang terkait dengan peristiwa hidup yang dialaminya, dan kemampuan memecahkan masalah yang hal itu menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dan berhasil dalam membangun hubungan dengan lingkungannya. Individu yang berhasil melakukan penyesuaian diri adalah pribadi yang mencapai derajat sehat, sedangkan individu yang tidak berhasil adalah pribadi yang tidak sehat. Berdasarkan kemampuan inilah, pengembangan potensi-potensi individu Jawa dapat diidentifikasi melalui pandangan hidup, tujuan hidup, dan strategi menghadapi peristiwa hidup. Meditasi merupakan salah satu sarana untuk mencapai kesempurnaan keperibadian individu Jawa, sehingga pengembangan potensi diri merupakan ukuran bagi seseorang apakah ia memiliki keperibadian sehat dan tidak sehat. Individu Jawa dapat meraih keberhasilan dalam pengelolaan emosi dan penyesuaian diri, merekalah 5 individu-individu yang dapat memperoleh kesuksesan hidup dan menikmati rasa bahagia dalam dirinya. Perilaku individu Jawa yang demikian akan nampak dalam pribadi yang teguh, tangguh, optimis dan empatik. 2. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat bottom up dengan menerapan prosedur sequentialed method design, yaitu data yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif grounded theory dilanjutkan dengan pendekatan kuantitatif yang merupakan serangkaian prosedur dalam menggali konsep kecerdasan emosi dan keperibadian sehat pada masyarakat Jawa di Yogyakarta. Hasil kualitatif merupakan hal yang utama, sedangkan hasil kuantitatif, dijadikan sebagai data evidensi (evidience) dalam penelitian ini. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, wawancara, FGD, observasi, kuisioner dan skala. Hasil-hasil penelitian dan karya-karya terdahulu tentang budaya Jawa dikaji melalui studi pustaka sehingga didapatkan sebuah kerangka teoritik mengenai kultur dan karakter masyarakat Jawa serta konsep kecerdasan emosi dan keperibadian sehat. Selanjutnya bahan dari studi pustaka dapat dijadikan sebuah konstruksi teoritis tentang karakter kecerdasan emosi dan keperibadian sehat Jawa berikut pengembangannya. Metode wawancara digunakan sebagai kontrol untuk mengatasi bahaya metode konstruksi teoritis untuk mendapatkan relevansinya dengan realitas-empiris. Observasi dilakukan secara tidak terstruktur untuk mendukung data konstruksi teoritis, khususnya mengenai makna kecerdasan emosi dan makna keperibadian sehat, upaya meraih kecerdasan emosi dan keperibadian sehat dalam budaya Jawa, dan pola tindakan individu Jawa dalam mempengaruhi pengambilan keputusan untuk cerdas emosi dan berkeperibadian sehat. Wawancara, FGD dan observasi dilakukan kepada kaum priyayi dan kaum abangan. Kaum priyayi diwakili oleh orang-orang yang memiliki konsen terhadap kebudayaan Jawa dengan tidak menentukan berdasarkan atas pertimbangan wilayah di mana mereka bertempat. Wawancara kepada wong cilik dan sekaligus secara bersamaan melakukan observasi terhadap masyarakat mereka dilakukan di Selopamioro, Imogiri yang berada di Kabupaten Bantul yang masih termasuk wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat desa yang dipilih masih mempunyai pemahaman yang cukup kental tentang budaya Jawa dan masih memegang kuat keyakinan tradisional yang menggambarkan masih kuatnya keterikatan dengan nilai-nilai tradisional budaya Jawa, sebagaimana terlihat dalam perilaku yang mengaplikasikan perilaku seperti ngruwat, kenduren, slametan, dan neton. Pengambilan subjek ini dilakukan dengan sampel teoritis (theoritical sampling), yaitu subjek akan dianggap cukup manakala data yang diperlukan dalam penelitian ini telah mengalami kejenuhan (saturated). Subjek dipilih dengan mempertimbangkan masyarakat umum non-kraton dengan kriteria- 6 kriteria berusia dewasa ≥ 22 tahun, laki-laki dan perempuan minimal berpendidikan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Subjek penelitian hingga eksplorasi data mengalami kejenuhan adalah 7 subjek yang digali informasinya melalui wawancara mendalam dan 8 subjek melalui FGD. Penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data-data berupa ungkapan-ungkapan lisan dan tulisan dari individu dan kelompok (Moleong, 1993). Teknik analisa data mendasarkan pada langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian kualitatif, yaitu mengumpulkan data, menilai atau menganalisis data, dan kemudian diakhiri dengan penarikan kesimpulan. Konsep-konsep yang tersusun melalui grounded theory dibuktikan konsistensi konsepnya terhadap subjek yang lebih luas. Pembuktian konsistensi konsep tidak mempertimbangkan jumlah subjek, akan tetapi mengggunakan pendekatan theoritical sampling dengan menitikberatkan pada konsistensi konsep yang disetujui dan atau yang tidak disetujui oleh subjek. Dengan demikian, dari setiap data yang masuk, dilakukan koding, penghitungan dan analisis konsep secara langsung, sehingga subjek akan dianggap cukup manakala data yang menginformasikan konsistensi konsep telah jenuh (saturated). Dalam konteks penelitian ini suatu data dikatakan atau dianggap telah mengalami kejenuhan ketika subjek bergerak pada 190 orang sampai 214 orang. Oleh karena itu subjek yang digunakan secara keseluruhan berjumlah 214 orang. Hasil dari konstruksi grounded theory diperkuat melalui tahap validitas internal dan eksternal konsep kecerdasan emosi dan konsep kepribadian sehat. Subjek penelitian pada validitas internal dan eksternal konsep dikenakan pada masyarkat Desa Purwomartani Kalasan Sleman sebagai keterwakilan sebagai wilayah yang mengalami heterogenitas. Kriteria subjek mempertimbangkan 1) Klasifikasi masyarakat Jawa Yogyakarta, menurut kajian antropologi dan sosiologi, 2) Masyarakat Jawa bukan Kraton yang mewakili wong cilik dan priyayi, 3) Masyarakat Jawa Yogyakarta yang anggotanya masih kental dengan budaya Jawa. 4) laki-laki dan perempuan, 5) Rentang usia dewasa dalam konteks Jawa yaitu telah menikah berkisar antara 16 tahun (perempuan) dan 19 tahun (laki-laki) sampai dengan 60 tahun, karena telah melewati beberapa pengalaman dalam mengelola emosi dan upaya mencapai keperibadian sehat, dan 6) Pendidikan minimal SLTP, karena diperlukan pengetahuan dan pemahaman bahasa yang memadai untuk dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan tujuan penelitian. Subjek penelitian diambil dengan menggunakan metode purposive random sampling secara variatif berdasarkan kriteria wong cilik dan priyayi yang berjumlah 280 orang. Pengambilan subjek ini sangat mempertimbangkan dipilihnya subjek yang bukan orang-orang darah biru. Yang dimaksudkan dengan istilah Jawa di Yogyakarta dalam penelitian ini adalah Jawa sebagai nama etnis, yang lebih dititik beratkan pada suku bangsa Jawa asli yang berada 7 di Yogyakarta. Proses pengambilan data penelitian ini dibantu oleh enumerator, yaitu orang-orang yang membantu peneliti dalam penyebaran skala penelitian. Penggunaan enumerator dimaksudkan agar jumlah subjek yang diteliti dapat terkumpul sesuai dengan target penelitian dan dapat tersebar secara relatif merata di semua dusun di Purwomartani Kalasan Sleman. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua macam skala dengan pertanyaan tertutup sebagai alat pengumpul data, yaitu; skala kecerdasan emosi dan skala keperibadian sehat berprespektif budaya Jawa yang dipilih jawabannya oleh subjek. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis faktor untuk melihat validitas internal konsep, sedangkan valiiditas eksternal konsep dilakukan dengan uji beda yaitu dengan uji independent t test bagi sampel yang berdistribusi normal dan yang tidak normal dengan Mann-Whitney test. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) versi 15.00. EKSPLORASI KONSEP KECERDASAN EMOSI DAN KEPRIBADIAN SEHAT Studi Pustaka, Wawancara mendalam, FGD dan Observasi Dan Penyebaran Kuesioner Kecerdasan Emosi dan Kepribadian Sehat Konstruk Konsep Kecerdasan Emosi dan Kepribadian sehat Penyusunan Skala Uji validasi internal dan eksternal konsep KE dan KS Gambar 3.1. Prosedur pelaksanaan penelitian menggali konsep kecerdasan emosi dan kepribadian sehat. 8 3. a. Temuan dan Pembahasan Kecerdasan Emosi Konsep kecerdasan emosi mengacu pada penjabaran persoalan nafsu, rasa dan emosi. Istilah-istilah kecerdasan emosi dalam konteks budaya Jawa meliputi waskita ing nepsu, landheping panggraito, lanthiping panggraito dan rasa pangrasa. Cerdas dalam bahasa Jawa identik dengan waskita, landhep, lanthip yang berarti wasis (lincah), dan prigel (cakap). serta emosi adalah panggraito. Kecerdasan emosi dalam bahasa Jawa disebutkan dengan waskita ing nepsu atau landeping atau lanthiping panggraito. Waskita ing nepsu adalah kemampuan seseorang dalam mengelola nafsu (emosi) sebagai sumber energi dan informasi dalam mencapai keseimbangan hidup. Landheping panggraito/lanthiping panggraito yaitu ketajaman dalam menggunakan perasaan dalam mencapai keselarasan kehidupan. Rasa pangrasa adalah kemampuan mengedepankan rasa untuk diri dan orang lain untuk mewujudkan keselarasan sosial. Kecerdasan emosi dalam makna nafsu dipahami sebagai potensi yang dapat dikelola ke arah kebaikan, karena nafsu bukan bermakna negatif semata seperti kemarahan, kesedihan, namun jika potensi marah dan sedih mendapat pengelolaan yang optimal pada diri manusia, semuanya akan mengarahkan manusia ke dalam kesuksesan hidup. Konsep pemanfaatan nafsu dalam diri manusia relevan dengan konsep psikologi Islam yang menyatakan bahwa setiap manusia memiliki nafsu yang diibaratkan seperti api, tidak boleh dipadamkan dan ditiadakan, akan tetapi dibutuhkan pengaturan untuk mendorong aktivitas-aktivitas demi terwujudnya cita-cita. Namun demikian nafsu juga tidak selalu berada dalam jalan positif, tetapi bisa berada dalam jalan yang negatif, mengenaskan dan bahkan lebih hina dari yang tidak mempunyai akal pikiran. Dengan demikian, pernyataan ini identik dengan pernyataan Heider bahwa emosi berkaitan dengan sikap yang bersifat positif atau negatif (Heider, 1991). Efek positif mendekatkan pada suatu objek dan efek negatif menjauhkan dari objek (Lazarus, 1991). Dalam firman Allah disebutkan yang artinya: Maka pernahkah kamu lihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (al-Jasiyah 22). Orang Jawa sering menyebut istilah nafsu ini dengan kata nepsu. Nafsu merupakan lawan kata dari nafsi. Nafsi berarti diri sendiri, kedirian seseorang sebagai dirinya sendiri; sedangkan nafsu berarti keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat (Herusatoto & Digdoatmadja, 2004). Wujud nafsi adalah sikap, pendapat, pendirian, keyakinan, sedangkan wujud nafsu adalah berkehendak, berkeinginan, berhasrat, dan mengharapkan. Perbedaan yang mencolok hanya pada sudut pandang penggunaannya. Nafsi dalam kondisi netral atau pasif, sedangkan nafsu dalam arti kondisi kausal (aktif) atau dalam arti kedirian yang negatif. Pengertian umum yang negatif yaitu dalam 9 pengertian sebagai pengendalian diri dan dalam makna positif adalah sebagai pengembangan diri. Proses akulturasi, sosialisasi dan internalisasi budaya cukup kuat berpengaruh terhadap simbolisasi dan pemaknaan konsep-konsep Jawa (Lonner & Malpass, 1994; Koentjaraningrat, 2004). Proses akulturasi, sosialisasi dan internalisasi budaya tersebut tampak pada temuan konsep unsurunsur nepsu dalam konteks Jawa yang identik dengan konsep Islam dalam perspektif kaum sufi. Konsep unsur-unsur nepsu dalam budaya Jawa meliputi empat sifat, yaitu a) aluwamah yaitu nafsu angkara murka yang dilambangkan dengan warna hitam, b) amarah yaitu orientasi pada sifat kemarahan, c) sufiah yaitu keinginan jasmaniah, dan d) muthmainah yaitu rasa terima kasih atas apa yang diberikan Tuhan ( W. Sugeng W. 11/3/2005 ; Woro, 1996). Penjabaran tentang nafsu ini relevan dengan kandungan Serat Dewa Ruci tentang hakekat warna cahaya hidup. Cahaya hidup ditunjukkan oleh Dewa Ruci kepada Bima berjumlah lima (cahya lima) atau disebut Pancamaya, yakni nafsu mutmainnah disimbolkan dengan cahaya putih, nafsu amarah disimbolkan dengan cahaya merah, nafsu sufiyah disimbolkan dengan cahaya kuning, nafsu lauwamah disimbolkan dengan cahaya hitam, dan penggabungan nafsu disimbolkan dengan cahaya gemerlapan (sinar zamrut). Kelima cahaya disebut dengan Nur Rajah Kalacaraka, yaitu daya atau kekuatan hidup yang berputar sepanjang masa. Dalam konteks Psikologi Islam, pembahasan tentang persoalan nafsu atau jiwa terkait dengan ruh, nafs, dan qalbu. Penjabaran tentang jiwa manusia menurut Al-Ghazali (dalam Nashori, 2003) meliputi hati, akal dan nafsu. Hati adalah raja, akal adalah perdana menterinya (wazir), nafs syahwat adalah tax collector (pengumpul pajak) dan nafs ghadhab diumpamakan sebagai polisi. Qalbu adalah alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai, yang memiliki karakter tidak konsisten, dan substansi yang mandiri berupa qalbu yang sudah baik disebut dengan bashirah. Selain nafsu, temuan konsep istilah kecerdasan emosi juga dimaknai dengan olah rasa. Temuan ini mendukung pandangan Wimbarti (dalam Djuwarijah, 2002), yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi dikenal dalam budaya Jawa dengan olah rasa. Dalam bahasa Indonesia, perkataan rasa mencakup baik dalam arti fisik (indera) maupun emosional (suka duka). Dalam Bahasa Jawa, perkataan ini juga berarti perasaan intuitif (bisikan kalbu) (Handayani & Novianto, 2004). Konsep rasa inilah yang dalam konteks Islam sufi identik dengan bashirah karena rasa merupakan pengalaman estetis yang dapat dijabarkan melalui jiwa yang dalam yaitu pengalaman spiritual. Deskripsi rasa dalam konteks Jawa misalnya dijabarkan oleh Suryomentaram (1989). Suryomentaram (1989) menggunakan istilah rasa 10 (bahasa Jawa= roso atau raos) untuk mendeskripsikan emosi. Defiisi lebih tentang rasa dijelaskan oleh Mulder (1985) sebagai perasaan batin (intuisi) yang merupakan milik setiap orang. Rasa berarti menembus ke yang hakiki. Dalam rasa terjadi suatu pertumbuhan atau pendalaman keperibadian (MagnisSuseno, 1984). Rasa sebagai pengalaman estetis berbeda dengan emosi, karena dalam rasa didapatkan kesungguhan pencerahan rohani dan pengalamanpengalaman inti dasariah (Wiryomartono, 1993). Orang Jawa, lebih mengedepankan “rasa” yang merupakan sarana untuk menangkap kebenarankebenaran alam batin (dunia subjektif). Kebenaran dalam arti Barat adalah dunia obyektif yang ditemukan dengan pikiran, sedangkan kebenaran dalam arti Jawa adalah dunia subjektif yang ditemukan melalui “rasa”. Semakin tajam “rasa” seseorang maka semakin dekat orang itu dengan sumber kebenaran sejati (Mulder,1999; 2001). Dengan demikian rasa dalam konteks Jawa bermakna lebih dari sekedar rasa yang diungkapkan sebagai feeling, emotion, sentimentality, lust, mood, atau sensation. Orang Jawa memaknai rasa sebagai pengecapan, perasaan, karakter manusia, pernyataan dari kodrat Illahi dan hati nurani (Jatman, 2008). Rasa dalam konteks Jawa mempunyai dua makna, yaitu kemampuan (Drijarkara, 1989) dan sebuah alat (Stange, 1998). Rasa bermakna kemampuan lebih mengacu kepada kebijaksanaan yang sangat tinggi, sehingga dengan rasa manusia dapat memahami tempatnya sendiri, dirinya sendiri, dan memberi penilaian terhadap segala sesuatu (Drijarkara, 1989). Rasa dalam makna sebuah alat merupakan organ kognitif, yakni rasa sebagai kemampuan menunjukkan tingkat kedalaman atau ketinggihan kualitas seseorang. Rasa adalah alat kesadaran yang membawa individu masuk dalam kesadaran di luar pikiran dan panca indera. Kemampuan rasa dapat menerobos lapisan luar, meraih inti kedalaman untuk menuju ke perkembangan lebih lanjut, dari tataran personal ke tataran transpersonal ( Barry McWaters dalam Noesjirwan, 2000). Rasa merupakan tolok ukur pragmatis dari segala mistik orang Jawa atau kejawen. Berdasarkan hasil wawancara, FGD dan kuisioner pembuktian konsistensi terbuka dapat dikatakan bahwa rasa akan membawa keadaan diri menjadi puas, tenang, tentram batin (tentrem ing manah), dan ketiadaan ketegangan. Karena rasa merupakan respon kejiwaan yang diterima oleh indera atau bagian tubuh dari suatu obyek tertentu, ia dapat juga dipandang sebagai unsur psikologis manusia pada ranah afektif yang digunakan untuk menangkap kebenaran batiniyah (Endraswara, 2006). Rasa dalam konteks Jawa, pertamatama merupakan kesadaran fisik di dalam badan, namun rasa yang kasar atau bertingkat rendah ini menjadi lebih halus dan secara progresif menembus melalui perasaan fisik batin ke dalam kesadaran emosi dan akhirnya memasuki rasa sejati yang merupakan kesadaran mistik dari getaran atau energi fundamental yang ada dalam seluruh kehidupan. 11 Kedalaman pemaknaan kecerdasan emosi Jawa (menyangkut dunia lahir dan batin manusia) menjadi penyebab sulitnya orang Jawa mendefinisikan kecerdasan emosi dalam definisi yang lugas. Sebagaimana perolehan data subjek dalam wawancara mendalam, observasi dan hasil pembuktian konsistensi konsep kecerdasan emosi menyatakan bahwa definisi kecerdasan emosi sulit diungkapkan dalam bentuk kalimat, tetapi dideskripsikan dalam bahasa simbol. Simbol-simbol definisi kecerdasan emosi yang muncul misalnya kayu cendana, mega, air, warna, dan lampu menunjukkan bahwa kedalaman pemaknaan orang Jawa tentang keperibadian manusia. Kesulitan mendefinisikan kecerdasan emosi dipengaruhi pula oleh lingkungan budaya atau konteks kultur Jawa itu sendiri. Jawa (baca: Yogyakarta) termasuk ke dalam budaya kolektif yang secara garis besar masyarakatnya mengungkapkan pesan-pesan mereka melalui bahasa dan ungkapan-ungkapan yang implisit, sehingga perilaku yang tampak belum tentu sesuai dengan maksud yang sebenarnya. Lebih lagi dalam budaya Jawa masih melekat label stereotip bahwa budaya Jawa halus dan sopan, namun lemah dan tidak suka berterus terang. Apa yang dikatakan oleh orang Jawa adalah kemunafikan dan kelemahan, bukan kejujuran dan keterus-terangan (Mulyana, 1999). Agaknya penjelasan tentang ketidak-terusterangan orang-orang Jawa dalam konteks sekarang telah mengalami pemudaran. Berdasarkan pengakuan subjek dalam kuisioner pembuktian konsistensi konsep tertutup dari 214 subjek di dapatkan bahwa berbasa-basi dalam rangka rukun dan hormat disetujui hanya oleh 81 orang (38 %) dan mereka setuju bahwa konsep tersebut adalah memang konsep Jawa. Penjelasan tentang pengaruh kultur dalam berkomunikasi oleh Hall (dalam Gudykunst & Kim, 1997) dikeemukakan bahwa sebuah konteks (context) memang memainkan peranan kunci dalam menjelaskan beberapa perbedaan komunikasi. Namun demikian, dalam konteks Jawa kekinian agaknya proses akulturasi dan sosialisasi budaya cukup memberikan pengaruh terhadap keperibadian orang-orang Jawa, sehingga memunculkan terjadinya pergeseran konsep tadi di mana sebagian besar orang Jawa sudah berterus terang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Temuan konsep tentang memudarnya basa-basi pada orang Jawa mendukung temuan Heppell (2004) tentang “Penyebab dan Akibat Perubahan Budaya Jawa di Yogyakarta” yang menyatakan bahwa selama dua belas tahun terakhir ini telah terjadi perubahan perilaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Generasi tua menyebutkan bahwa sering anak-anak muda sekarang ini menggunakan cara-cara baru dalam berinteraksi dengan teman-teman dan dengan masyarakat mereka, banyak orang muda yang tidak lagi menghormati orang tuanya dan norma-norma kebudayaan Jawa seperti sopan santun dalam berbicara, dan tampak perilaku generasi muda mempunyai kecenderungan lebih ekspresif, berani dan lugas (blak-blakan = Jawa) dalam 12 interaksi sosial. Hal ini senada pula dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Suraya (2003) yang mengatakan bahwa dengan adanya kemajuan teknologi dan arus globalisasi, maka terjadi perubahan dalam segala aspek kehidupan manusia dan berdampak pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hal itu terjadi tidak terkecuali pada masyarakat Yogyakarta. Indikasi untuk mengatakan seseorang memiliki kecerdasan emosi pada masyarakat Jawa mencakup aspek spiritual, individual dan sosial. Perihal yang paling mendasar adalah kesadaran diri yang dalam kontek budaya Jawa senada dengan ajaran Socrates (dalam Hall & Lindzey, 1993) “kenalilah dirimu”, yaitu kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu-waktu perasaan itu muncul. Goleman (1996) menyebutnya dengan kesadaran diri, yaitu perhatian secara terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang. Kesadaran dalam pemaknaan Jawa adalah penemuan ingsun atau dhiri yang sejati. Kesadaran ini ditemukan melalui pengalaman kesatuan mistis yaitu kawula lan gusti. Kesatuan kawula dan Gusti ini akan membuka realitas kesadaran diri manusia yang paling dalam dengan perwujudan awal berupa kawruh (tidak hanya sekedar pengetahuan), sebuah kejadian yang merubah diri manusia ke dalam hakikak eksistensinya. Secara riil, kesadaran diri ini dipraktekkan dengan membuat peralihan dari kesadaran yang berpusat pada pikiran pada kesadaran yang berpusat pada rasa. Penjelasan ini menunjukkan perbedaan dengan pandangan Barat yang mengandalkan pencarian kebenaran pada akal pikiran atau pikiran rasional saja. Sedangkan bagi orang Jawa, kebenaran sejati ditemukan melalui pengelolaan rasa, dan rasa inilah merupakan tolok ukur tertinggi bagi tercapainya tingkat kemajuan rohani manusia, yang menurut Jatman (2008) kebahagiaan hidup hanya dapat dicapai atau diraih dengan menata rasa. Kesadaran melalui rasa mengantarkan pribadi Jawa menjadi pribadi yang peka kepada dirinya dan situasi sosial, yaitu kemampuan dalam mengembangkan sikap empati kepada diri dan orang lain. Bangunan kesadaran diri akan menjadikan diri seseorang semakin terampil dalam membaca perasaan diri dan orang lain, dan ini dikenal dengan konsep tata. Kunci kemampuan untuk membaca perasaan orang lain ini ditandai dengan kemampuan dalam membaca isyarat non-verbal; nada bicara, gerak-gerik, atau mimik orang yang berkomunikasi. Sesungguhnya kebenaran emosional berada pada cara atau bagaimana mengatakan, bukan pada apa yang dikatakan. Secara nyata, kultur Jawa menghindari perilaku yang menunjukkan emosi secara eksplisit, lebih-lebih dengan kata-kata. Kenyataan ini seakanakan merupakan kesepakatan yang harus dipegang bersama untuk tetap menjaga harmoni dan keselarasan sosial. Konsep ciri-ciri kecerdasan emosi ini juga menunjukkan bahwa orang Jawa itu rila dan narima ing pandum, berarti bahwa orang Jawa berprinsip hidup sak madya dan mengindikasikan bahwa orang Jawa selalu berusaha menempatkan segala sesuatu dalam keadaan seimbang atau cenderung berada 13 di tengah. Dalam kondisi gembira mereka tidak mengekspresikan kegembiraan yang berlebihan dan dalam kondisi marah pun mereka tidak memperlihatkan kemarahannya secara meletup-letup serta, dan dalam kondisi sedih mereka tidak mengekspresikan dengan kesedihan yang mendalam. Hal ini membuat kesan bahwa orang Jawa terkesan tanpa emosi dan tampak datar, karena kuatnya mereka dalam mengendalikan dan mengontrol setiap dorongan emosi yang muncul (Prawitasari, 1991). Kecerdasan Emosi hanya dapat dicapai melalui proses pengembangan rasa melalui pendalaman ngelmu dan laku Jawa. Hal ini relevan dengan temuan Stange (1998) yang menyatakan bahwa “ilmu” yang utama adalah ngelmu. Dalam konteks Indenesia, istilah ilmu mendekati pengertian Barat tentang ilmu pengetahuan (knowledge), tetapi ilmu dalam konteks Jawa lebih merujuk pada gnosis (Bagus, 1996) yang lebih berorientasi pada mistik atau spiritual daripada intelektual semata. Ilmu dalam konteks Jawa memiliki hakekat bukan hanya pikiran saja yang “tahu”, melainkan keseluruhan tubuh dengan segenap organ di dalamnya juga “tahu”. Kesadaran pengetahuan yang demikian inilah yang mendasari teori mistik Jawa yang mendasarkan pada kesadaran dalam keperibadian. Dengan demikian untuk dapat melakukan pengukuran terhadap keperibadian orang Jawa dituntut untuk melakukan perenungan yang dalam. Dengan demikian, ngelmu dalam konteks keperibadian Jawa ini bertalian erat dengan “rasa”. Rasa menurut Stange (1998) merupakan alat atau sarana persepsi atau fungsi dari bisikan kalbu atau intuisi. Dalam bahasa Indonesia, perkataan rasa mencakup baik dalam arti fisik (indera) maupun dalam arti emosional (suka duka). Dalam bahasa Jawa, perkataan ini juga berarti perasaan intuitif (bisikan kalbu). Rasa adalah hal yang substansial dan hakekat dari apa yang diterima atau dipahami dan alat gerakan atau bagian tubuh yang menerimanya.Aliran Kejawen Sumarah, rasa dipandang sebagai alat atau unsur psikologis manusia yang bermakna alat (pikiran). Pikiran (mind) merupakan sarana yang digunakan untuk menangkap kebenaran-kebenaran alam batiniyah. Kedua, orang Jawa apabila ingin menjadi seorang yang cerdas emosinya (terkendali nafsu-nafsunya) harus menempuh laku (tapa). Laku tapa bagi orang Jawa bukanlah suatu tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sebuah media diri untuk menguasai tubuhnya sendiri, mengatur dan membudayakan dorongan-dorongannya dan bukan untuk meniadakannya. Tapa yang dapat dilakukan adalah pertama; tapa brata, yaitu sebagai upaya untuk mendapatkan pengalaman manunggaling kawula Gusti. Kedua; Tapa jasad, yakni laku badan jasmani. Di sini hati seseorang dikelola agar selalu ada dalam keadaan bebas dari sifat benci dan sakit hati, rela atas nasibnya, dan merasa dirinya lemah dan tak berdaya. Ketiga; Tapa budi, yakni laku batin atau laku tirakat dan perihatin, seperti berpuasa. Hati harus jujur, menjauhi berbuat dusta, dan 14 segala janji harus ditepatinya, Tapa hawa nafsu, yakni berjiwa sabar, alim, dan suka memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Deskripsi tentang dimensi kecerdasan emosi diperkuat oleh hasil validasi internal konsep dengan analisis faktor kecerdasan emosi yaitu bahwa seluruh faktor (narima ing pandum, tata diri, niat dan kehendak sejati, empati dan keselarasan sosial merupakan variabel pembentuk kecerdasan emosi. Deskripsi data hasil validitas eksternal konsep kecerdasan emosi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan dalam konstruk sosial, namun terdapat perbedaan kecerdasan emosi berdasarkan strata sosial Jawa (wong cilik dan priyayi), kecerdasan emosi wong cilik lebih tinggi dibandingkan priyayi. Berdasarkan usia pada uji validitas eksternal konsep juga menunjukkan perbedaan kecerdasan emosi antara kelompok dewasa awal, dewasa tengah dan dewasa akhir, semakin tua usianya maka semakin tinggi kecerdasan emosinya. Secara mendasar dapat dipahami bahwa konsep kecerdasan emosi dalam konteks Jawa bukan hanya sekedar merupakan psychological trait atau soft skill yang bersifat netral dan periferal. Kecerdasan emosi dalam konteks Jawa merupakan kemampuan seseorang dalam mengelola nafsu yang didasarkan pada nilai-nilai etis atau moral Jawa dan bersifat sentral. b. Keperibadian Sehat Keperibadian dalam konteks budaya Jawa dipahami sebagai dhiri (self), yaitu akumulasi dimensi lahir dan batin diri manusia. Dhiri yang tampak adalah jumlah keseluruhan dari bagian-bagian tubuh, yakni pikiran, penginderaan, hawa nafsu, ingatan dan sebagainya. Apa yang tampak dalam dhiri lahir merupakan sinkronisasi yang ada dalam dhiri batin. Dengan demikian, bagi orang Jawa keperibadian sehat adalah kesempurnaan dalam dimensi lahir dan batin sekaligus (Magnis-Suseno, 2001). Keperibadian sehat adalah keperibadian yang sehat secara lahir (jasmani) dan batin (rohani). Secara eksplisit keperibadian orang Jawa yang sehat adalah orang yang sehat badannya dan mampu menjaga nama dan kewibawaan secara utuh yang dalam kontek Jawa dikategorikan sebagai keperibadian sepuh, wutuh dan tangguh. Kategorisasi kepribadian sepuh, wutuh dan tangguh diperkuat melalui temuan hasil validitas internal konsep kepribadian sehat yang menunjukkan bahwa aspek sepuh, wutuh dan tangguh terbukti sebagai pembentuk dari variabel kepribadian sehat. Nilai variansi menunjukkan skor antara 0,462 – 0,726, yang dalam pendapat Hair dkk (1998), nilai komunalitas yang baik tidak kurang dari 0,5. Nilai o,462 merupakan nilai dari aspek niat dan kehendak sejati dan empati yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria komunalitas yang baik, namun mengingat kecilnya selisih antara nilai 15 komunalitas ( niat dan kehendak sejati selisih = 0,028 dan empati = 0,016 maka faktor tersebut dihapuskan dari variabel kecerdasan emosi. Visualisasi pemaparan kasepuhan, dideskripsikan dalam tabel 3 di bawah ini : kawutuhan dan kateguhan Tabel 3. Konseptualisasi Keperibadian Sehat dalam Konteks Budaya Jawa Konseptu alisasi Konsep-konsep Kasepuha n Memegang teguh kautaman. Jalma tan kena kinira (tidak memandang rendah dan remeh orang lain). Niat ingsun nebar gondo arum (bertekad menebarkan kebaikan). Merangkul semua tanpa pilih kasih. Arif lan wicaksana Adil kepada diri, alam dan Tuhan. Kautuhan Contoh kualitas KS Tinggi Mentalitas religius jujur disiplin adil rila Katresnan Resik lan sumarah lahir dan batin. Sehat fisik Mawas diri. Narima Olah rasa Produktifi tas Mampu rasa, karsa dan cipta. Menutup kejelekan dengan kebaikan. Menjaga nama dan kewibawaan diri secara utuh. Traping susilo dadi sanguning pasrawungan. Disenangi orang lain Berbudi alus Sopan Andhap ashor Tentrem ing manah Lurus, laras dan leres Rukun Bisa rumangsa Hormat 16 Wicara kang ngugemi Paugeran Keselarasan sosial Eling lan waspada Mulat sarira hangrasa wani. Kateguha n Berpikir positif Tidak mudah mengeluh. Rila Kuat godho mesu raga. Narima ing pandum Sabar Kuat godha (godaan) Menjalankan kehidupan dengan suka cita Sumarah (prasaja perbuatannya), sumareh (legawa / tidak menang sendiri) dan semanak (mempunyai rasa kepada sesama) Dapat meronce kehidupan menjadi kanugrahan. Pribadi sepuh adalah pribadi yang memiliki nilai sebagai manusia yang dihormati dan mampu menjaga fungsinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kekecewaan dan kesedihan dijadikan sebagai nugerah sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran bahwa hidup merupakan anugerah, amanah, tugas, takdir dan tidak kekal akan membentuk diri pribadi seseoarang menjadi sepuh. Dalam konteks menjalankan amanah dan tugas, individu Jawa akan berusaha untuk mengisi dengan hal-hal yang bersifat positif. Manusia wajib berusaha dengan sebaik-baiknya, karena amal yang dilakukan diyakini akan dipertanggungjawabkan di kehidupan kelak sesudah mati. Bukti riil sikap sehat orang Jawa yang sepuh ini adalah selalu menebarkan aroma keharuman nama dan menebarkan kebaikan kepada setiap orang (niat ingsun nebar gondo arum). Kasepuhan mengandung makna kompetitif yang lebih bersifat internal (persaingan dengan cara mengoptimalkan potensi pribadi) daripada eksternal (persaingan dengan cara usaha semata-mata untuk mengalahkan orang lain). Hal ini menunjukkan bahwa pribadi yang sehat dalam konteks 17 sepuh tidak bersifat egoistik atau tidak menjadikan orang lain sebagai obyek atau sarana dalam mencapai ambisi pribadi. Relasi subjek-obyek yang sarat dengan konflik akan berganti menjadi perdamaian dan sikap saling hormat-menghormati antar sesama manusia. Kompetitif model keperibadian sepuh akan meminimalisir terjadinya konflik dalam hubungan interpersonal dan akan mengurangi efek negatif pada individu itu sendiri. Orang yang berkeperibadian sepuh ini kemudian diistilahkan dengan “girilusi jalmo tan kena kiniro”. Secara etimologi, giri berarti gunung dan lusi berarti cacing. Giri lusi yang dimaksudkan adalah cacing mungggah gunung (cacing naik ke gunung), dan giri lusi jalmo tan kena kiniro berarti cacing naik ke gunung yang ternyata tidak dapat diremehkan. Makna yang terkandung adalah bahwa orang yang sehat pribadinya merupakan orang yang tidak mudah memandang rendah terhadap orang lain. Bagi orang Jawa, seorang yang berkeperibadian wutuh memiliki keperibadian yang alus atau berbudi halus, elegan, bertutur-kata lembut, sopan, dan mudah beradaptasi. Bagi mereka emosi-emosi seperti kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kemarahan, penyerahan, harapan dan rasa kasihan tidak seharusnya diperlihatkan di depan umum. Ketegangan pribadi dan sosial, konflik dan konfrontasi dengan sangat hati-hati akan dihindari oleh orang Jawa yang menganggap kerukunan atau keharmonisan sebagai sifat yang sangat penting. Hidup dalam harmoni berarti hidup dalam permufakatan, dalam kedamaian dan ketenangan tanpa konflik dan pertentangan. Ia hidup dalam satu agar masyarakat dapat saling tolong menolong satu sama lain. Orang yang pribadinya wutuh mampu mengikuti traping susilo dadi sanguine pasrawungan, yaitu mampu menjaga pusaka hubungan sosial. Pusaka hubungan sosial yang harus dipegang sebagai prinsip pergaulan adalah lurus, laras dan leres. Lurus bermakna bahwa orang Jawa yang sehat adalah orang yang tetap memegang teguh aturan agama Jawi dan aturan-aturan sosial yang menjadi kesepakatan orang Jawa yang tertulis dalam ngelmu kasampurnan. Laras bermakna bahwa orang Jawa senantiasa tetap terus sejalan dengan lingkungan sosial di mana tempat berada, dan leres berarti orang Jawa harus benar atau bener. Hal seperti ini disebut sebagai orang yang tidak menyalahi kodrat, yaitu mentaati aturan agama, dan mentaati aturan sosial. Pemaparan di atas relevan dengan pendapat Erich Fromm (dalam Hall dan Lindzey dan Hall, 1993) yang menyatakan bahwa oleh karena manusia adalah makhluk sosial, maka salah satu ciri pribadi yang sehat adalah adanya kemampuan untuk hidup dalam masyarakat sosial. Keperibadian seseorang merupakan hasil dari proses sosial di dalam masyarakat. Sifat-sifat seseorang, keinginan-keinginannya, dan kegelisahan-kegelisahan merupakan produk dari suatu budaya. Erich Fromm (dalam Hall dan Lindzey, 1993) menyatakan bahwa keperibadian 18 sehat adalah pribadi yang mampu hidup dalam masyarakat sosial yang ditandai oleh hubungan-hubungan yang manusiawi, diwarnai oleh solidaritas penuh cinta, dan tidak saling merusak atau menyingkirkan satu dengan lainnya. Pribadi tangguh adalah pribadi yang mampu menjalankan kehidupan dengan suka cita di tengah-tengah ujian dan nestapa hidup yang dialami. Orang dengan pribadi yang tangguh akan mampu meronce, merangkai peristiwa hidup dadi tumetese kanugrahan (menjadi sebuah anugerah Tuhan). Titik sentral kesejahteraan psikologis dalam pribadi tangguh terletak pada makna atau sikap tatag (tabah), yaitu mempunyai sikap keberanian, tidak memiliki rasa takut dan khawatir yang berlebihan, dan bersedia menerima kenyataan dengan apa adanya. Perwujudan takat adalah pribadi yang senantiasa tirakat. Tirakat berasal dari kata “takat” yang berarti tetap tegar dalam situasi apapun, baik dalam keadaan susah maupun sedih. Peribahasa Jawa mengatakan bahwa “tumetese kacuan dadio rumencenge kanugrahan”, hidup di dunia akan mengalami peristiwa hidup yang menyenangkan dan menyedihkan sekaligus. Hal yang menyenangkan dan menyedihkan menurut orang Jawa adalah bagaimana upayanya dalam menjalani dan merangkaikan kesenangan dan kesedihan menjadi sesuatu yang indah. Proses ini diyakini oleh orang Jawa dapat menjadikan seseorang dapat berfikir jernih, sehingga pengambilan solusi terhadap permasalahan dalam kehidupan menjadi mudah dilakukan. Konsep waspada menandakan bahwa orang Jawa penuh pertimbangan dalam memutuskan penyelesaian suatu masalah. Hal ini secara teoritis mengandung pengertian bahwa orang Jawa memiliki kemampuan analisis yang tinggi untuk sampai dilakukannya pengambilan keputusan. Cara untuk mencapai keadaan jiwa yang sehat dalam konteks budaya Jawa adalah dengan meniadakan faktor-faktor yang tidak sehat dengan kutub yang sebaliknya sebagaimana yang dilakukan oleh Abhidhamma (Lindzey dan Hall, 1993). Perilaku tersebut dilakukan dengan sebuah laku perihatin dan penanaman sikap rila, narima, sabar, eling, waspada, dan berbudi luhur. Faktor sehat yang terpenting dalam konteks budaya Jawa adalah penguasaan rasa sebagai bentuk pemahaman terhadap diri (insight), sebagai lawan dari delusi yaitu pemahaman yang tidak benar dengan perilaku nguja hawa nafsu. Kedua faktor ini dalam diri manusia tidak muncul dalam keadaan bersamaan, tetapi akan muncul satu persatu dan saling menentang. Mawas diri merupakan mindfullness dalam memahami hakekat dan keadaan diri yang membuat seseorang merasa tentram. Pemahaman diri dan sikap penuh perhatian merupakan faktor-faktor sehat yang utama yang apabila keduanya muncul dalam suatu keadaan jiwa, maka faktor-faktor sehat yang lain akan bermunculan juga. 19 Dua faktor kognitif, yakni mesu raga atau andhap ashoring manah akan menghambat sikap kumenthus, dan sikap alon-alon waton klakon akan menghambat sikap kecerobohan. Kedua sikap ini akan berhubungan dengan kejujuran, yaitu melakukan penilaian secara tepat. Sikap-sikap lainnya adalah eling/pracaya, yang merupakan lawan dari sikap egoisme, yaitu kepastian yang didasarkan pada persepsi yang tepat. Sikap mesu raga, alon-alon waton klakon, dan kejujuran serta eling/pracaya akan secara bersamaan membentuk kebajikan-kebajikan yang didasarkan pada ukuran norma pribadi dan masyarakat. Kelompok faktor tidak sehat yang terdiri dari jail, srei (iri hati), tamak, owel, ora duwe isin, grusa-grusu, ora kuat godho, adigang-adigung adiguna, blenjanji janji, dan kecerobohan dilawan oleh faktor-faktor legawa, rila lan narima ing pandum, dermawan, ashoring manah, setiti atiati, tatag, semanak, tepa salira, temen dan kaprayitnan. Sikap-sikap ini mencerminkan ketenangan secara fisik dan rasa yang terjadi karena berkurangnya perasaan-perasaan yang dirasakan mengikat. Faktor tidak sehat jail, tamak, owel, ora duwe isin, grusa-grusu, ora kuat godho dapat menyebabkan seseorang ingin menguasai segalanya dan kehidupan yang berorientasi materialistik. Namun sebaliknya, faktor-faktor sehat legawa, rila, narima ing pandum, setiti ati-ati, tatag, temen dan kaprayitnan akan membuat diri seseorang melakukan petung atau perhitungan yaitu menimbang-nimbang apa keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh. Faktor-faktor ini pula yang akan menetralisir diri sehingga akan berpikir dengan ketenangan, ketentraman, dan akan melakukan penentuan pilihan kehidupan dengan kematangan, serta berpikir dan bertindak secara leluasa dan menekan keadaan-keadaan seperti depresi. Faktor-faktor sehat ini dapat menyebabkan seseorang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri secara fisik dan psikis terhadap keadaan-keadaan (aku, alam dan Tuhan) yang terus mengalami dinamisasi kehidupan. Dalam diri manusia, secara implementatif, faktor-faktor sehat dan tidak sehat meliputi faktor kognitif dan faktor afektif. Kedua faktor ini dijelaskan dalam tabel berikut: Tabel 4. Faktor-faktor jiwa yang tidak sehat dan yang sehat Faktor-faktor yang tidak sehat Kognitif Delusi Pandangan yang salah Kumenthus Kecerobohan 20 Faktor yang sehat Mawas diri (Insight) Sikap penuh perhatian Mesu raga Alon-alon waton klakon Egoisme / Methakil Afektif Kekhawatiran Jail, Srei (iri hati) Tamak Owel Ora duwe isin Grusa-grusu Ora kuat godho Adigang adigung adiguna Blenjani janji Kecerobohan Eling / Pracaya Tentem ing manah Legawa (Sumareh) Rila, Narima ing pandum Dermawan Ashoring manah Setiti ngati-ati Tatag Semanak, Tepa salira Temen Kaprayitnan/ kawaspadan Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian sehat dalam konteks Jawa lebih bermaknakan kepribadian dewasa, kepribadian matang dan atau kepribadian sempurna. Konsep kepribadian sehat lebih mengacu kepada nilai-nilai etis yang bersifat sentral dan berbeda dengan kepribadian sehat dalam perspektif Barat yang lebih menggunakan rasionalitas dan kurang bersentuhan dengan nilai etis yang bersifat sentral. c. Titik Temu Konsep Kecerdasan Emosi dan Konsep Keperibadian Sehat Pertahanan sistem kultur pada masyarakat Jawa, dipertegas melalui konsep-konsep kecerdasan emosi dan keperibadian sehat yang secara mendasar menekankan konsep keselarasan atau harmoni. Keselarasan atau harmoni tersebut dalam konteks budaya Jawa memuat beberapa kompetensi, yaitu keselarasan atau harmoni spiritual, keselarasan atau harmoni ”rasa”, keselarasan atau harmoni sosial, dan keselarasan atau harmoni personal. Berdasarkan data kecerdasan emosi dan keperibadian sehat yang ditemukan dapat dikatakan bahwa konsep dalam konten definisi kecerdasan emosi dan keperibadian sehat dalam konteks Jawa mirip dengan definisi yang dikemukakan oleh Bar-On (2000) yang menyebutkan komponen kecerdasan emosi terdiri dari kompetensi emosional, kompetensi sosial dan kompentensi personal. Hal yang membedakan adalah kompetensi spiritual dan kompetensi rasa Jawa yang mendasari perilaku hidup orang dan masyarakat Jawa yang secara riil konsep kecerdasan emosi dan keperibadian sehat dalam kompetensi keselarasan rasa dan spiritual merupakan konsep yang khas Jawa yang tidak ditemukan pada budaya lain. Pemaparan konsep dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : 21 Tabel 7 Konseptualisasi Kecerdasan Emosi dan Keperibadian Sehat dalam Konteks Budaya Jawa Konseptualisasi Konsep-konsep Manunggaling kawula lan gusti. Keselarasan spiritual Contoh kualitas KE dan KS Tinggi Kesadaran kepada Sang Hyang Widhi Kesadaran, ketenangan, ketentraman batin. Eling akan Allah Tidak gelisah Waspada Tegar Pracaya atas bimbingan-Nya. Hati-hati Mituhu. Sepi ing pamrih Rame ing gawe Keselarasan rasa Mawas diri Kesadaran Iso rumangsa Tenang, tentram Mulat sarira hang rasa wani Ati segara Sejahtera Landeping panggraita Lantiping panggraita Rasa pangrasa Meper hawa nafsu Keselarasan sosial Tepa salira Tata krama Unggah-ungguh 22 Minim konflik Keselarasan personal Rame ing gawe Gotong royong Rukun, hormat Empan papan Sepi ing pamrih Rame ing gawe Ajining dhiri saka lathi, ajining salira saka busana. Aja dhumeh, aja gumunan, aja kagetan. Aja dumeh, tepa slira, ngerti kuwalat. Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, ngalurung tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Madhep mantep Setiti Rila Hati-hati Narima ing pandum Tidak grusu Sabar grusa- Tatag Tanggung jawab 4. Kesimpulan Konsep kecerdasan emosi dalam konteks budaya Jawa dipahami sebagai kemampuan dalam mengelola nafsu dan rasa yang diindikasikan dengan narima ing pandum sebagai wujud dari mawas dhiri, tata (tata rasa, tata raga dan tata basa), empati, niat dan kehendak sejati dan keselarasan sosial. Konsep ini mencakup aspek individual, sosial dan spiritual yang menggambarkan kesulitan-kesulitan dalam melakukan pemilahan antara konsep kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. 23 Konsep keperibadian sehat dalam konteks budaya Jawa bermakna kematangan pribadi, kedewasaan pribadi dan atau kesempurnaan pribadi, di dalamnya mencerminkan sehat batin sebagai cerminan dari sehat lahir. Sehat bagi orang Jawa dikonstruksikan dengan sehat dalam hubungan sosial, sehat secara sosial inilah yang mencerminkan bahwa sehat dalam diri pribadi baik secara fisik maupun psikis dan sehat secara etis. Kedua konsep (kecerdasan emosi dan kepribadian sehat) dalam konteks budaya Jawa dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam mengelola potensi pribadinya yang bukan hanya sekedar psychological trait dan atau soft skill yang bersifat netral, tetapi merupakan kemampuan seseorang yang berkaitan dengan perilaku yang melekat dengan nilai-nilai etis Jawa yang bersifat sentral dan periferal. DAFTAR PUSTAKA Bagus L. 1996. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Gramedia. Bar-On, R. 2000. Emotional and social intelligence: Insights from the emotional quotient inventory. In R. Bar-On & J.D.A. Parker (Eds.), The handbook of emotional intelligence (pp. 362-388). San Francisco: Jossey-Bass. Berry, J. W. & Kim, U., 1993. The way ahead from Indigenous Psychologies to a Universal Psychology. Dalam Uichol Kim & John W. Berry (Eds). Indigenous Psychologies, research, experience in cultural context. New Delhi : Sage Publication, 277-280. Casmini, 2006. Kecerdasan Emosional Dalam Prinsip Rukun dan Hormat Masyarakat Jawa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan, Proyek SP4 Pengembangan Jurusan Program Psikologi UGM. Casmini, 2008. Konsep Emotional Intelligence: “Waskita ing Nafsu” dalam Perspektif Orang Jawa di Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial. 2 (2), 85-116. Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K., 2000. Research methods in education. London: Routledge Falmer. Djuwarijah, 2002. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Agresivitas Remaja, Jurnal Psikologika, 13 (7), 53- 70. 24 Drijarkara, SJ. N., 1989. Filsafat Manusia, Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Endraswara, S. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya. Endraswara, S. 2006 Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Spiritual Jawa. Yogyakarta: NARASI. Fraenkel, J.R., & Wallen, N.E., 2000. How to design and evaluate research in education. Boston: McGraw Hill. Goleman, D. 1996, Emotional Intteligence : Kecerdasan Emosional, Mengapa EQ Lebih Penting Dari pada IQ. Jakarta : Gramedia. Gudykunst, W.B. & Kim, Y.Y. 1997. Communication with Strangers, An Approach to Intercultural Communication (third edition). McGraw-Hill, New York. Hair, J.F., Anderson, R.E., Tantham, R.L. and Black W.C. 1998, Multivariate Data Analysis, second edition, Prentice Hall International : UK. Hall, C. S., & Lindzey G. 1993. Teori-teori Psikodinamik (Klinis); Psikologi Kepribadian 1. (terj. A. Supratiknya). Yogyakarta: Kanisius. Heider, K. G., 1991, Landscape of Emotion : Mapping three Cultures of Emotion in Indonesia, New York, Cambridge University Press. Heppell. D.J. 2004. Penyebab dan akibat perubahan budaya di Yogyakarta. Laporan penelitian. Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMM. Herusatoto, B. & Digdoatmadja, S., 2004. Seks Para Leluhur Merancang Keturunan Berkualitas Lewat Tata Senggama Ala Leluhur Jawa. Yogyakarta: TINTA (Kelompok Penerbit Qalam). Jatman, D. 1999. Budaya. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Yayasan Benteng Jatman, D. 2008. Ilmu Jiwa Kaum Pribumi. Pidato Pengukuhan, disampaikan pada upacara peresmian penerimaan jabatan Guru Besar dalam Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Semarang. 25 Kim, U., Yang, K-S., & Hwang. K.K., 2006. Indigenous Cultural Psychology, Understanding People in Context. United State of America: Springer Science + Business Media, LLC. Koentjaraningrat, 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Cet. 20). Jakarta: Penerbit Djambatan. Lazarus, R.S., 1991. Emotion and Adaptation, New York: Oxford University Press. Lonner, W.J. & Malpass, R.S., 1994. Psychology and Culture. Boston: USA: Allyn and Bacon. Magnis-Suseno, F., 1984. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius: Yogyakarta. Magnis-Suseno, F., 2001. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama. Martaniah, S.M. 1984. Motif Sosial Remaja Suku Jawa dan Keturunan Cina di Beberapa SMA Yogyakarta. Suatu Studi Perbandingan. Disertasi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mertens, D.M. 1998. Research methods in educational and Psychology: Integrating diversity with quantitative and qualitative approaches. London: Sage. Moleong, L., 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Mulder, N. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Penjelajahan mengenai Hubungannya. Jakarta: Sinar Harapan. Mulder, N. 1996. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mulder, N. 2001. Mistisisme Jawa, Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: Percetakan LKiS. Mulyana, D. 1999. Nuansa-nuansa Komunikasi, Meneropong Politik & Budaya Komunikasi masyarakat Kontemporer, Bandung : Remaja Rosda Karya. Noesjirwan, F.J., 2000. Konsep manusia menurut Psikologi Transpersonal. Dalam Rendra (Ed). Metodologi Psikologi Islami. Yogyakarta: 26 Prawitasari, J. E., 1990, Ekspresi Wajah Untuk Mengungkap Emosi Dasar Manusia, Laporan Penelitian, Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM. Prihartanti, N. 2003, Kualitas Kepribadian Ditinjau dari Konsep rasa Suryomentaram Dalam Perspektif Psikologi. Disertasi. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Rahardjo, T., 2005. Menghargai Perbedaan Kultural. Editor Muamar Ramadhan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soesilo. 2003. Piwulang Ungkapan Orang Jawa. Jakarta: Yayasan Yusula. Stange, P. 1998. Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKiS. Suraya, 2003, Peranan Komunikasi dalam Penyatuan Budaya, Jurnal Universitas Paramadina Vol.3: No 1, September 2003, 124-135. Suryomentaram, G. 1989. Kawruh Jiwa. Jilid 1,2,3 dan 4. Jakarta: CV Haji Masagung. Wiryomartono B.P., 1993, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Kajian Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Worthen, B.R., Sanders, J.R., & Fitzpatrick, J.L. 1997. Program evaluation: Alternative approaches and practical guidelines. New York: Addison Wesley Longman. 27 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama lengkap : Casmini, S.Ag, M.Si. Tempat/tgl. Lahir : Batang, 5 Oktober 1971 Agama : Islam Alamat Rumah : Jl. Sambisari Kadirojo I RT 05 RW 02 Purwomartani Kalasan Sleman. Kantor/Unit Kerja : Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Alamat tempat kerja : Jl. Adisucipto Yogyakarta Pekerjaan : Dosen Nama Suami : Suparman, S.Ag. Anak : 1. Muhammad Bayu Irfan Pratama 2. Faqih Miftahul Ghana 3. Fikky Lutfia Septiana Pendidikan : No Jenjang Fakultas PT Thn lulus Jurusan 1. S1 Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga 1995 2. S2 Fakultas Psikologi UGM 2003 Pekerjaan dan Posisi 1. Fak. Dakwah UIN Dosen Tetap Sunan Kalijaga 1996 - sekarang 2. Fak. Teknologi Dosen LB Mineral UPN “Veteran” Yogyakarta 1999 – sekarang 28 BPAI (Bimbingan Penyuluhan Agama Islam) 3. CTSD UIN Sunan Tim CTSD Kalijaga 2005 - sekarang 4. PPTD IAIN Anggota Sunan Kalijaga 2001 - 2003 5. Pusat penelitian Anggota 2005 - 2008 UIN Sunan bidang penelitian Kalijaga pendidikan dan pengajaran 6. PPSDT Fak. Anggota Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2008 Penghargaan yang pernah diperoleh : No. Jenis Penghargaan 1 Dosen Terbaik Fak. Dakwah 2. Dosen IKD Dakwah Tertinggi Fak. Peringkat Tahun - 2004 III 2006 Pengalaman Riset : No Judul Riset Thn 1. Makna Simbol dalam Pewayangan : Studi Dakwah dalam Wayang Kulit (Skripsi S1). 1995 2. Perilaku Keagamaan Pekerja Malam di Terminal Umbulharjo Yogyakarta (Lembaga Penelitian IAIN Sunan Kalijaga) 2000 3. Pola Asuh Orangtua ditinjau dari Penghayatan Ayat-ayat AlQur’an dan Hadits yang Bernuansa Pendidikan, Jenis Kelamin dan Latar Belakang Pendidikan (Thesis S2). 2003 4. Kecerdasan Emosi dan Penyesuain Diri Mahasiswa Baru UIN Sunan Kalijaga Angkatan 2002/2003. (Lembaga Penelitian IAIN Sunan Kalijaga). 2003 29 5. Persepsi Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga terhadap Rencana Perubahan IAIN menjadi UIN (Lembaga Penelitian IAIN Sunan Kalijaga) 2004 6. Meta Analisis tentang Kecerdasan Kesuksesan dalam Hidup (Mandiri). dan 2005 7. Kecerdasan Emosional dalam Prinsip Rukun dan Hormat Masyarakat Jawa di Yogyakarta (SP4 Fak. Psikologi UGM). 2005 8. Pengasuhan Kecerdasan Emosional Pada Anak dalam Perspektif Islam (Pusat Penelitian UIN Sunan Kalijaga). 2005 9. Khitan Perempuan : Studi Pemikiran Mahmud Syaltut (PSW UIN Sunan Kalijaga). 2006 10. Evaluasi Pelaksanaan Sosialisasi Pembelajaran Mahasiswa Baru UIN Sunan Kalijaga 2005-2006 (Pusat Penelitian UIN Sunan Kalijaga) 2008 11. Konsep Kecerdasan Emosi, “Waskitha ing Nepsu” dalam Perspektif Masyarakat Jawa Yogyakarta (Mandiri) 2008 12. Pembelajaran Integrasi-Interkoneksi: Studi Analisis Kualitas Pembelajaran di UIN Sunan Kalijaga (Pusat penelitian UIN Sunan Kalijaga) 2009 13. Dinamika Psikologis Anggota Muhammadiyah Pasca Dikeluarkannya Fatwa Haram Merokok PP Muhammadiyah Majelis Tarjih (Pusat Penelitian UIN Sunan Kalijaga). 2010 14. Upaya Meraih Kepribadian Sehat Perspektif Masyarakat Jawa di Yogyakarta (Program Hibah Penelitian Doktor 2010) 2010 Emosional Publikasi Karya Ilmiah : No. Judul Penerbit/Jurnal 1 Keistimewaan Sholat psikologis dan agama ditinjau 2. Pernikahan Dini (Perspektif Psikologis dan Jurnal APLIKASIA, VOL. III, No. 1 Juni Agama) 30 dari aspek Jurnal HISBAH, Vol. 1, No.1, Januari – Desember 2002. 2002. 3. Puasa sebagai alternatif terapi (suatu tinjauan Jurnal HISBAH, Vol. 2, No. 1 Juni psikologi dan agama) 2003. 4. Pola asuh Orangtua: Ditinjau dari Penghayatan AKADEMIKA, ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang Bernuansa edisi 2. 2003 pendidikan, Jenis Kelamin dan Latar Belakang Pendidikan. 5. Pendidikan Anak: Pola Asuh Orangtua dalam Jurnal penelitian Agama, XII, (2), Perspektif islam 262-277. 6. Kecerdasan emosional dalam Perspektif Islam 7. Konsep Emotional Intelligence, “Waskitha ing Jurnal Sosiologi Nafsu” dalam Perspektif Orang Jawa di Agama, Vol.2, No.2, JuliYogyakarta Desember 2008. Jurnal Penelitian Agama, Vol. XV, No. 1, januari-April 2006. Pelatihan yang pernah diikuti No. Jenis Pelatihan Tempat dan Tahun 1. Training of Hinger Education (Kerjasama Canada – CTSD IAIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta /1999 2. TOT Hinger Education (Kerjasama Canada – CTSD IAIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta/ 2000 3. Pelatihan Metodologi Penelitian untuk Penelitian Keagamaan Yogyakarta/2001 4. Pelatihan education 5. Pelatihan active learning (Canada – UIN Syarif Hidayatullah) research management 31 of hinger NTU Singapura 2007 Jakarta/ 2009 Buku yang dipublikasikan 1. Khitan Perempuan: Studi pemikiran Mahmud Syaltut dalam buku Telaah Ulang Wacana Seksualitas dalam Islam (PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). 2. Maturasi Keberagamaan dalam Perspektif Psikologi dalam buku Metodologi Ilmu Dakwah (Penerbit LESFI Yogyakarta) 3. Sukses di Perguruan tinggi (CTSD UIN Sunan Kalijaga ) terbit 5 cetakan. 4. Emotional Parenting : Dasar-dasar Pendidikan anak dalam Perspektif Islam (Pilar Media Yogyakarta). 5. Panduan Pengembangan Calon Dosen dan Pegawai UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. 6. Modul Pengembangan Majlis Taklim berperspektif Kesetaraan Gender, Ekonomi dan Lingkungan hidup (PP Aisyiyah – Litbang Departemen Agama Islam) 7. Modul Pelatihan : Pengasuhan Anak dan Komunikasi Suami Istri Menuju Keluarga Sakinah, Cet. III, Januari 2011 (PP ‘Aisyiyah Majelis Tabligh) Pengalaman sebagai Pelatih 1. Pelatihan TOT Sukses di Perguruan Tinggi untuk Sosialisasi Mahasiswa Baru bagi Dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Angkatan 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, dan 2010). 2. Workshop Pengembangan Calon Dosen dan Pegawai UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Angkatan 2004, 2005, 2007, 2008, dan 2009). 3. Workshop Desain Pembelajaran (ISI Yogyakarta, 2006). 4. TOT Sosialisasi Pembelajaran Mahasiswa Baru di Perguruan Tinggi (STAIN Cirebon, 2006). 5. TOT Sosialisasi Pembelajaran Mahasiswa Baru di Perguruan Tinggi (STAIN Kudus, 2007). 6. Pelatihan Desain Pembelajaran Perguruan Tinggi (STAIN Kudus, 2007) 7. TOT Sosialisasi Pembelajaran Mahasiswa di Perguruan Tinggi (Fakultas Farmasi UMS, 2008). 8. Workshop Desain Pembelajaran Perguruan Tinggi (Farmasi UMS, 2008) 9. Workshop Strategi Pembelajaran (Farmasi UMS, 2009) 10. Pelatihan Quantum Teaching (Farmasi UMS, 2009) 11. Pelatihan Desain Pembelajaran bagi Guru Sekolah Menengah Atas (MAN Salatiga, 2008). 12. TOT Sukses di Sekolah Menengah Atas (MAN Salatiga, 2008) 13. TOT Social Skill (MAN Salatiga, 2010) 14. Pelatihan Desain Pembelajaran Perguruan Tinggi (UAD Yogyakarta, 2009). 15. Pelatihan Pelatih Muballighat ‘Aisyiyah Se Indonesia ( PP ‘‘Aisyiyah Yogyakarta, 2008). 32 16. Pelatihan Kader Dakwah ‘Aisyiyah Se Jawa Barat (Bandung, 2009). 17. Pelatihan Muballighat ‘Aisyiyah Se Kalimantan Timur (Samarinda, 2009). 18. Pelatihan Keluarga Sakinah ‘Aisyiyah Se DIY dan Jawa Tengah (PP “Aisyiyah Majlis Tabligh, 2007). 19. Pelatihan Keluarga Sakinah di PRA Warungboto Yogyakarta (PP ‘Aisyiyah Majlis Tabligh, 2007) 20. Pelatihan Keluarga Sakinah Aisyiyah Se Kabupaten Magelang (PW ‘Aisyiyah Magelang) 21. Pelatihan Penguatan Majlis Taklim berperspektif Kesetaraan Gender, Ekonomi dan Lingkungan Hidup (PP ‘Aisyiyah – Litbang Depag). Makalah di majalah 1. Memahami Makna Mawaddah dan Warahmah dalam berkeluarga (Suara ‘Aisyiah). 2. Momen Ramadlan Sebagai Wahana Mendidik Kepribadian anak (Suara ‘Aisyiah). 3. Memuliakan ibu Sepanjang Zaman (Suara ‘Aisyiah) UCAPAN TERIMA KASIH Dari lubuk hati yang paling dalam saya mengucapka terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: DEWAN PENGUJI Prof. Dr. M. Noor Rochman Hadjam (promotor) Dr. Subandi, MA. (ko-promotor) Dr. Kwartarini Wahyu y., MMed. Sc. (ko-promotor) 33 Prof. (ret) Dr. Sartini Nuryoto (anggota penguji) Prof. Dr. Th. Dicky Hastjarjo (anggota penguji) Prof. Dr. A. Supratiknya (anggota penguji) Dr. Murtini, SU. (anggota penguji) 34