DP. Jilid 11, Bil. 2/2011 Pendidikan Sains KEMAMPUAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF PADA PEMBELAJARAN SAINS SD RAMDHAN WITARSA 1 YULI NURUL FAUZIAH 2 Pendahuluan Pelajaran sains sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa sehingga terwujud manusia seutuhnya. Sebagai bagian dari proses pendidikan nasional, pembelajaran sains di SD sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) agar dapat menumbuhkan kemampuan berpikir (BSNP, 2006). Dalam inkuiri, siswa diharapkan bisa kritis menemukan masalah dalam kehidupan dan mencari penyelesaian secara kreatif sebab banyak macam keterampilan proses sains seperti mengamati, menginterpretasi atau membuat hipotesis yang bisa dikuasai jika disertai dengan keterampilan berpikir. Oleh sebab itu, dalam pembelajaran sains, siswa perlu mendapatkan pembinaan atau latihan dalam berpikir, baik berpikir kritis, kreatif, logis atau cara berpikir yang lain. Oleh karena itu, diperlukan transformasi pendidikan sains yaitu dari belajar dengan menghafal menjadi belajar berpikir atau dari belajar yang dangkal menjadi mendalam atau kompleks (Suastra, 2008). Siswa harus diperkenalkan dengan sains sebagai mata pelajaran yang menarik karena bisa membantu untuk memahami tentang dunia dan diri sendiri dimana guru harus bisa merancang dan melaksanakan pembelajaran sains yang bisa meningkatkan daya imaginasi, kreatif, dan logis dalam berpikir. Pengembangan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa Pembelajaran, Pelaksanaan, dan Tugas Pembelajaran Guru dalam Rencana Salah satu keterampilan dasar yang perlu dikuasai siswa adalah keterampilan berpikir. Mengajarkan keterampilan berpikir kepada siswa bisa dilakukan dengan cara memadukannya dengan materi pembelajaran (kurikulum) agar dapat membantu siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif secara efektif (Sutrisno, 2008). Micheolis (1988 dalam Samion, 2002) membagi keterampilan berpikir (thinking skill) menjadi the lower dan the higher. Yang termasuk the lower adalah perception, association, dan concept attainment, sedangkan yang termasuk the higher adalah problem solving, critical thinking, dan creative thinking. Sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi, keterampilan berpikir kreatif tidak bisa dikuasai dengan tiba-tiba. Berdasarkan analisis faktor, Guilford (dalam Supriadi, 1994) menemukan ada lima sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration) dan perumusan 1 Ramdhan Witarsa adalah Dosen Luar Biasa di Jurusan Pedagogik FIP UPI Bandung dan juga seorang praktisi pendidikan. 2 Yuli Nurul Fauziah adalah Dosen Luar Biasa di Jurusan Pedagogik FIP UPI Bandung dan juga seorang praktisi pendidikan. 48 DP. Jilid 11, Bil. 2/2011 Pendidikan Sains kembali (redefinition). Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan. Keluwesan adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah. Orisinalitas adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak klise. Elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terinci. Redefinisi adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh orang banyak. Kreativitas merupakan kemampuan untuk menemukan hubungan baru, melihat subjek dari perspektif yang baru dan membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang sudah ada dalam pikiran (Evans, 1991). Siswa yang kreatif bisa menunjukkan hal-hal inovatif dalam mengajukan ide dan kelak bisa menjadi sumber daya yang bisa menciptakan suatu kreasi yang inovatif dan bisa bersaing dalam masyarakat teknologi (Ward,et.al, 2006). Rhodes (dalam Munandar, 2009) menyebutkan empat jenis definisi kreativitas sebagai Four P’s of Creativity yaitu person, process, product, and press. Kaitan dari keempat P ini adalah pribadi yang kreatif akan menghasilkan produk yang kreatif melalui proses yang kreatif pula dan dengan dibantu oleh dorongan. Pentingnya kreativitas dalam pendidikan tercermin dalam tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 11 Pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional antara lain adalah menghasilkan siswa yang kreatif. Selain itu dalam pasal 40 dinyatakan bahwa “Guru dan tenaga kependidikan berkewajiban untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”. Pembelajaran yang kreatif adalah pembelajaran yang mendorong siswanya untuk mengembangkan gagasan yang ada dengan menggunakan sumber belajar yang ada (Indrawati dan Setiawan, 2009). Munandar (1993 dalam Mariati, 2006) menjelaskan bahwa ada beberapa teknik yang dapat dikembangkan di sekolah untuk meningkatkan kreativitas seperti teknik sumbang saran (brainstorming), mengajukan pertanyaan divergen yang memacu gagasan dan bermain peran. Brainstorming adalah salah satu teknik yang paling populer untuk membangkitkan ide (Evans, 1991). Teknik ini berguna untuk membangun pola berpikir sehingga bisa melihat sesuatu dengan cara lain. Brainstorming bisa dilakukan secara berkelompok atau secara individual. Jika dilakukan secara berkelompok, maka ide salah satu anggota kelompok bisa merangsang ide dari anggota kelompok lain untuk melangkah ke tahap selanjutnya sehingga ide yang dibangun bisa lebih mendalam (http://www.mindtools.com/brainstm.html). Tetapi jika dilakukan secara individual, maka jangkauan ide bisa diperluas tanpa harus khawatir dengan ego atau pendapat orang lain sehingga proses kreatif bisa lebih bebas. Tujuan pembelajaran sains tidak sekedar agar siswa menguasai konten atau materi sains tetapi juga harus bisa menjadi wahana untuk mendidik anak agar menjadi manusia seutuhnya (Firman dan Widodo, 2008). Sikap ilmiah yang ditekankan dalam pembelajaran sains sangat penting untuk dikuasai siswa agar bisa membekali dirinya untuk menjadi manusia yang berguna baik bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Agar tujuan pembelajaran sains tercapai maka yang ditekankan dalam pembelajaran bukanlah belajar apa yang harus dipelajari (learning what to be learnt) melainkan belajar bagaimana belajar (learn how to learn). Berpikir berarti proses mental tingkat tinggi seperti memecahkan masalah, menjelaskan, berkreasi, menemukan konsep, mengingat, mengklasifikasikan, membuat simbol atau merencanakan (Siegler dan Alibali, 2005). Siswa SD kelas V yang berusia 49 DP. Jilid 11, Bil. 2/2011 Pendidikan Sains antara 10 dan 12 tahun, memiliki tahap perkembangan berpikir antara periode operasional konkrit dan periode operasional formal. Menurut Piaget (dalam Siegler dan Anibali, 2005), karakteristik berpikir anak pada periode operasional konkrit yaitu yang berusia antara 6 atau 7 sampai 11 atau 12 adalah bisa mengambil poin lain dari suatu masalah, bisa secara simultan menemukan perspektif lain dan bisa secara akurat menampilkan transformasi sebagaimana halnya situasi yang statis. Sedangkan anak pada periode operasional formal memiliki karakteristik berpikir yaitu bisa menjelaskan alasan suatu teori atau abstraksi sebaik realitas konkrit. Luasnya perspektif ini potensial untuk menyelesaikan macam-macam masalah. Kemampuan berpikir siswa SD kelas V diatas biasa menjadi modal untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif yaitu keterampilan berpikir yang memiliki ciri bisa mengajukan macam-macam solusi suatu permasalahan serta lancar mengajukan banyak ide yang sifatnya original secara individu. Pengembangan keterampilan berpikir kreatif melalui pembelajaran sains tidak bisa lepas dari kemampuan kognitif siswa secara umum dalam tahap usianya. Oleh karena itu, upaya-upaya dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif ini harus disesuaikan dengan tahap berpikir siswa. Tidak seperti pelajaran seni dimana kreativitas dikembangkan secara bebas, dalam sains siswa harus menguasai konsep terlebih dahulu sebelum kreativitasnya dikembangkan (Tapilouw, 1997). Jika konsep sudah dipahami, maka ide-ide kreatif bisa muncul dari siswa asalkan mendapatkan bimbingan yang tepat. Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah, ternyata pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif menemui banyak faktor baik yang menghambat maupun yang mendorong. Munandar (1999, dalam Rachmawati dan Kurniati, 2003) mengemukakan faktor penghambat pertumbuhan kreativitas siswa di sekolah antara lain: a. Sikap guru yang terlalu banyak mengontrol. b. Belajar dengan hapalan mekanis. c. Ketidakmampuan guru membantu siswa memahami dan menafsirkan kegagalan. d. Tekanan akan konformitas. Pengembangan keterampilan berpikir dalam pembelajaran tergantung kepada kreativitas guru. Dalam proses pembelajaran, komponen yang selama ini dianggap sangat mempengaruhi proses pendidikan adalah komponen guru, sebab guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa sebagai subjek dan objek belajar (Sanjaya, 2009). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa guru yang berkualitas akan menghasilkan siswa yang berkualitas sehingga rendahnya prestasi siswa menggambarkan rendahnya kualitas guru di Indonesia (Jalal,et.al, 2009). Kemampuan guru dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dalam pembelajaran dipengaruhi faktor-faktor antara lain: 1. Profesionalisme guru. Guru yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk mengajarkan keterampilan berpikir kreatif bisa dikatakan bahwa guru tersebut adalah seorang yang kreatif. Guru seperti ini memiliki wawasan ke depan dengan mempersiapkan siswanya untuk bisa lebih menghadapai kehidupannya di masa depan yang semakin kompetitif. Guru memiliki banyak peran dalam tugasnya. Selain sebagai pengajar, guru juga harus bisa menjadi fasilitator, pendidik, penyampai informasi, model bagi siswanya, evaluator atau pengayom. Agar dapat menjalankan multiperannya itu, guru harus dibekali dengan pendidikan yang memadai disertai dengan akhlak yang baik. Guru 50 DP. Jilid 11, Bil. 2/2011 Pendidikan Sains harus memiliki profesionalisme sebagai guru. Rochintaniawati (2010) menjelaskan lima aspek yang perlu dimiliki oleh guru untuk dapat dikatakan profesional, yaitu: pemahaman terhadap kurikulum (curriculum knowledge), pemahaman terhadap konten (content knowledge), pemahaman terhadap pedagogi (pedagogical knowledge), pemahaman terhadap konten pedagogi (pedagogical content knowledge) dan pemahaman terhadap siswa (knowing of learner). Kelima aspek profesionalisme guru tersebut bisa menjadikan guru sebagai pribadi yang secara profesional paham untuk menjadikan siswanya sebagai peserta didik yang kreatif seperti yang ada dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 11 Pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional antara lain adalah menghasilkan peserta didik yang kreatif. 2. Dorongan bagi guru agar bisa mengembangkan keterampilan berpikir kreatif siswa. Dalam melakukan tugasnya mengembangkan keterampilan berpikir kreatif, guru yang kreatif memerlukan dorongan. Dorongan bisa secara instrinsik berupa motivasi internal maupun ekstrinsik yang berasal dari lingkungan. Motivasi guru tidak bisa dipaksakan ada tetapi dengan iklim sekolah yang menunjang maka motivasi guru akan timbul. Begitu pula dengan siswa, agar motivasi kreatif siswa muncul maka guru harus menciptakan iklim kelas yang menunjang. Iklim kelas yang bisa diciptakan guru antara lain: a. Sikap guru. Guru harus lebih bersikap menumbuhkan motivasi dengan memberikan instruksi dengan mengarahkan daripada memberi instruksi langsung yang meminta siswa melakukan sesuatu yang diinginkan guru. b. Pengaturan ruang kelas. Kelas diatur dengan gaya terbuka yang memiliki struktur yang tidak kaku, tidak menekan kinerja siswa dan lebih banyak perhatian pada individu (Munandar, 2009). Kelas hendaknya merangsang visual dengan menampilkan hasil karya siswa dan boleh menggantinya dengan sesuai keinginan. Dalam kelas hendaknya ada pusat sains atau pusat bahasa yang akan mendorong siswa untuk bereksperimen dan membaca buku atau artikel yang menunjang. Guru yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk mengajarkan keterampilan berpikir kreatif bisa dikatakan bahwa guru tersebut adalah seorang yang kreatif. Beberapa hal yang bisa menumbuhkan kreativitas mengajar dikalangan guru seperti yang dijelaskan oleh Samion (2002) antara lain: a. Iklim mengajar yang memungkinkan guru meningkatkan pengetahuan dan kecakapan dalam aktivitasnya. b. Pemberian penghargaan dan dorongan semangat terhadap setiap upaya positif untuk meningkatkan prestasi mengajar guru. c. Kerjasama yang cukup baik antara guru untuk memecahkan masalah mengajar. d. Perbedaan status yang tidak terlalu tajam diantara guru sehingga terjalin hubungan yang lebih harmonis. e. Pemberian kepercayaan kepada guru untuk meningkatkan diri dan menunjukkan karya atau gagasan kreatifnya. f. Memberikan kewenangan kepada guru dalam proses pembelajaran di kelas. Melalui hal-hal di atas, maka diharapkan motivasi guru untuk mengembangkan keterampilan berpikir siswa akan meningkat. Kepala sekolah juga harus menghargai 51 DP. Jilid 11, Bil. 2/2011 Pendidikan Sains usaha guru dalam setiap tindakan kreatifnya yang positif dengan memberi kesempatan kepada setiap guru untuk berkreasi tanpa harus dituntut untuk melakukan suatu program dengan cara yang sama. Namun jika kurikulum sekolah terlalu padat maka guru tidak akan terlalu berpeluang untuk berkreasi. Dalam perencanaan pembelajaran, secara umum guru menggunakan metode ceramah, diskusi, percobaan, demonstrasi, penugasan, dan presentasi. Namun dari banyak metode yang digunakan tidak ditegaskan kegiatan yang bisa mengembangkan keterampilan berpikir kreatif kecuali hanya sebagian kecil saja. Sehingga memang guru tidak merencanakan secara khusus untuk melaksanakan pembelajaran yang akan mengembangkan keterampilan berpikir khususnya berpikir kreatif. Meskipun demikian, kedua guru mengakui bahwa keterampilan berpikir kreatif perlu diajarkan kepada siswa karena siswa akan lebih senang mengerjakan sesuatu dengan hasil lebih baik dan siswa akan bertambah luas wawasannya. Dalam setiap kegiatan pembelajarannya, terdapat penurunan frekuensi kemunculan aspek keterampilan berpikir kreatif yang dikembangkan guru. Aspek kelancaran (fluency) ternyata merupakan aspek paling dominan yang dikembangkan guru dalam setiap pembelajaran. Sedangkan pengembangan keterampilan berpikir kreatif siswa selama pembelajaran sains berlangsung yang dilakukan guru memiliki frekuensi terbesar pada pembelajaran selanjutnya. Pengembangan aspek kelancaran merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mendorong siswa untuk mengeluarkan ide, gagasan atau jawaban sebanyak-banyaknya. Pengembangan aspek ini paling banyak dilakukan oleh guru dengan cara mengajukan pertanyaan. Kemampuan guru dalam mengajukan pertanyaan merupakan kemampuan dasar guru dan mudah untuk dilakukan. Hampir sebagian besar guru menggunakan pertanyaan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif. Hanya sebagian kecil saja guru menunjukkan suatu kondisi yang harus ditanggapi siswa. Aspek keluwesan dan keaslian memerlukan kemampuan lebih dari guru untuk mengembangkannya. Untuk mengembangkan aspek keluwesan guru harus mampu membuat analogi-analogi atas suatu peristiwa untuk mendorong siswa membuat alternatif ide, jawaban atau gagasan. Jika kelancaran dan keluwesan dapat dikembangkan dengan baik, maka keaslian akan mengikuti. Sebab jika siswa lancar dan luwes mengemukakan ide maka dari sekian banyak ide akan muncul keaslian. Untuk mengembangkan aspek merinci, guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide sendiri dari awal. Kemudian siswa diminta untuk menjelaskan mengapa dia mengeluarkan ide tersebut atau lebih memperkaya ideidenya dengan informasi lain yang dimilikinya agar lebih jelas dan lebih baik. Sementara ini kesempatan yang diberikan guru agar siswa menjelaskan hasil diskusi atau percobaan, tidak dipergunakan untuk menjelaskan jawaban lebih rinci melainkan untuk memberitahu jawaban pertanyaan LKS atau menjelaskan hasil diskusi atau percobaan tanpa menjelaskan sebab akibat dari jawaban tersebut. Potensi siswa yang sesuai dalam tahap perkembangannya menurut Piaget (dalam Siegler dan Anibali, 2005) sudah bisa mengambil poin lain dari suatu masalah, bisa secara simultan menemukan perspektif lain, bisa secara akurat menampilkan transformasi sebagaimana halnya situasi yang statis dan bisa menjelaskan alasan suatu teori atau abstraksi sebaik realitas konkrit kurang dikembangkan. Walaupun guru berusaha melaksanakan inkuiri dalam pembelajarannya namun yang dilakukan bukan untuk menemukan melainkan untuk membuktikan suatu konsep. Siswa diberi informasi 52 DP. Jilid 11, Bil. 2/2011 Pendidikan Sains tentang suatu konsep dan dalam kondisi kurang paham harus membuktikan konsep tersebut dalam percobaan atau demonstrasi. Lembar kerja siswa dalam pembelajaran lebih merupakan petunjuk kerja dibandingkan untuk melatih berpikir. Langkah-langkah kerja serta alat dan bahan sudah tersusun, siswa tinggal membaca, dan melakukan kemudian mengisi soal-soal yang sifatnya bukan untuk membahas proses melainkan untuk menguji ingatan. Cara belajar seperti ini tidak akan mengembangkan keterampilan berpikir siswa karena menurut Mariati (2006), pendekatan pembelajaran yang harus dilakukan harus dua arah dimana siswa belajar aktif (active learning approach) dalam berpikir, merencanakan, dan bertindak. Salah satu hambatan pengembangan keterampilan berpikir kreatif adalah sarana dan prasarana dalam pembelajaran sains adalah praktikum. Dukungan kepada guru dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran ternyata bisa juga menjadi pendorong. Pemberian penghargaan yang tulus dari pimpinan atau rekan kerja dapat menjadi stimulus bagi guru dalam menjalankan tugasnya. Guru menjelaskan bahwa dukungan pimpinan sekolah dan orang tua siswa menjadi kendala dalam melaksanakan pembelajaran. Hal ini bisa menjadi alasan bahwa bagaimanapun pembelajaran yang dilakukan guru tetap saja tidak ada bedanya bagi guru sehingga guru tidak termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya. Kegiatan guru di luar sekolah seperti KKG ternyata tidak memberikan masukan yang berarti untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Sebab walaupun guru aktif dalam KKG namun pola pembelajaran yang dilakukan sama saja yaitu pola pembelajaran yang teacher centered. Khusus untuk keterampilan berpikir kreatif, walaupun guru menganggap penting, namun tidak menjadikan keterampilan berpikir sebagai prioritas. Hal ini terlihat dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan yaitu guru menjelaskan kemudian memberi LKS untuk dikerjakan siswa yang isinya tidak melatih kemampuan berpikir kecuali untuk menghapal. Kegiatan pembelajaran seperti ini akan membosankan bagi siswa sehingga minat siswa untuk belajar akan kurang. Dalam pemberian tugas pembelajaran, hanya guru memberi tugas kepada siswa untuk mengembangkan aspek fluency yaitu memberi tugas untuk menjelaskan hasil percobaan dengan pendapat sendiri dan tugas untuk mengembangkan aspek fluency dan flexibility yaitu siswa ditugaskan untuk membuat periskop dengan alat dan bahan yang dikreasikan sendiri. Pemberian tugas pembelajaran yang mengembangkan keterampilan berpikir kreatif ternyata berbanding lurus dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Tugas pembelajaran yang dominan baik dari guru berupa mengerjakan petunjuk kegiatan LKS yang sudah jadi dan dibuat guru. Adapun tugas pembelajaran kreatif yang diberikan guru merupakan ide spontan karena tidak ada dalam rencana pembelajaran. Penutup Pengembangan aspek keterampilan berpikir kreatif yaitu kelancaran dan elaborasi ada dalam rencana pembelajaran guru. Namun aspek keluwesan direncanakan guru dalam pembelajaran pertama, sedangkan aspek keaslian sama sekali tidak ada dalam rencana pembelajaran guru. Pengembangan keterampilan berpikir kreatif dalam pelaksanaan tiga kali pembelajaran oleh guru didapatkan rata-rata hanya sekitar 11 menit dan guru lainnya rata-rata hanya sekitar empat menit dari dua jam pelajaran yang dilakukan. Tugas pembelajaran dari guru dalam pembelajaran sains yang mengembangkan keterampilan berpikir kreatif hanya diberikan oleh guru. Latar belakang pendidikan guru, kegiatan guru di luar sekolah dan sertifikasi guru tidak 53 DP. Jilid 11, Bil. 2/2011 Pendidikan Sains mempengaruhi kegiatan pembelajaran guru dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif. Daftar Pustaka BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP. Doni, Hendrawan. (2008). Penerapan Model Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Aktivitas dan Pencapaian Kompetensi Belajar Siswa. Tesis Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Lampung: Tidak diterbitkan. Gunawan W, S. (2009). Analisis Kesesuaian RPP yamg Dibuat Guru SD dengan Pelaksanaan Pembelajaran Sains. Tesis pada Pascasarjana UPI Bandung: tidak diterbitkan. Haury, D.L. (1993) Teaching Science Through Inquiry. Tersedia:http:www.Ericfacility.net/database/ERIC CSMEE Diges (march.ed) 359-480.[15 April 2008]. Hinrichsen, J., & Jarrett, D. (1999). Science Inqury for the Classroom: a Literature Review. Portland: Northwest Regional Educational Laboratory. Hendracipta, N. (2008). Analisis Kemunculan Aspek Inkuiri pada Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran IPA. Tesis SPs UPI: tidak diterbitkan. National Research Council. (2000). National Science Educations Standards. Washington DC: National Academy Press http://books.nap.edu/html/inquirvaddendum/notice.html NSTA & AETS. (1998). Standars for Science Teacher Association Preparation. America. 54