PTH - inasnacc inasnacc

advertisement
Daftar Isi
Laporan Penelitian
Korelasi antara Tipe Hematoma Intrakranial dengan Kejadian dan Beratnya Post
Traumatic Headache (PTH)
Radian Ahmad Halimi, Iwan Fuadi, Tatang Bisri ....................................................................
1–7
Laporan Kasus
Tatalaksana Anestesi pada Pendarahan Intraserebral Spontan Non Trauma
Muhammad Dwi Satriyanto, Siti Chasnak Saleh ......................................................................
8–16
Penatalaksanaan Perioperatif Hipofisektomi Transsphenoidal: Pendekatan Endoskopik
Endonasal
Sandhi Christanto, Bambang Suryono, Tatang Bisri, Siti Chasnak Saleh ................................... 17–27
Pengananan Anestesi pada Operasi Olfactory Groove Meningioma
Silmi Adriman, Dewi Yulianti Bisri, Sri Rahardjo, A. Himendra Wargahadibrta ....................... 28–33
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing
Wahyu Sunaryo Basuki, Bambang Suryono, Siti Chasnak Saleh ................................................... 34–42
Tatalaksana Anestesi pada Microvascular Decompression (MVD)
Bau Indah Aulyan Syah, Siti Chasnak Saleh, Sri Rahardjo .......................................................
43–9
Kerusakan Barier Pertahanan Alamiah: Sawar Darah Otak
Ardana Tri Arianto, MH Soedjito ............................................................................................. 50–60
Tinjauan Pustaka
Terapi Hipotermia pada Stroke Hemoragik
Bau Indah Aulyan Syah, Iwan Fuadi, Sri Rahardjo....................................................................
61–8
Interaksi Otak-Paru pada Neurocritical Care
Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri ..............................................................................................
69–77
Korelasi antara Tipe Hematoma Intrakranial dengan Kejadian dan Beratnya Post
Traumatic Headache (PTH)
Radian Ahmad Halimi, Iwan Fuadi, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung–Indonesia
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Keluhan sakit kepala setelah cedera otak traumatik (COT) disebut sebagai Post
Traumatic Headache (PTH), yang dapat terjadi setelah cedera otak ringan, sedang atau berat. Tujuan penelitian ini
untuk menemukan korelasi antara tipe hematoma intrakranial dengan kejadian dan beratnya PTH.
Subjek dan Metode: Penelitian observasional cohort prospektif pada 31 pasien, umur13–59 tahun, laki-laki
dan perempuan, yang mengalami COT ringan atau sedang. Pengambilan sampel secara consequetive sampling.
Parameter yang dicatat adalah umur, jenis kelamin, berta badan, Glasgow Coma Scale (GCS), tipe hematoma
intrakranial, kejadian PTH dan beratnya PTH dengan menggunakan skor numeric rating scale (NRS). Analisis
korelasi linier dengan dua variable dengan analisis korelasi Spearman. Korelasi dianggap signifikan bila koefisien
korelasi (R) > 0,4 dan p<0,05.
Hasil: Seratus persen pasien subdural hematoma (SDH) dan Intracerebral Hematoma (ICH) mengalami post
traumatic headache dan hanya 70,6% pada pasien EDH. Pasien dengan depressed fractur tanpa perdarahan
intrakranial mengalami PTH sebanyak 33,3%.
Simpulan: Perdarahan yang terjadi dibawah duramater menunjukkan kejadian PTH yang paling tinggi.
Kata kunci: Cedera otak traumatik, hematoma intrakranial, numeric rating scale, post traumatic headache
JNI 2015; 4 (1): 01–7
The Correlation between Type of Intracranial Hematoma with The Incidence and Severity
of Post Traumatic Headache (PTH)
Abstract
Background and Objective: Headache occurs after Traumatic Brain Injury (TBI) is known as Post Traumatic
Headache (PTH), which could manifest after a mild, moderate, or severe head injury. The aim of this study is to
evaluate the correlation between type of intracranial hematoma with the incidence and severity of PTH.
Subject and Method: This prospective observational cohort study was performed in 31 patients aged from 13–59
years old with mild or moderate TBI usig a consequetive sampling retrieval. Parameters recorded in this study
were age, gender, weight, GCS, type of hematoma intracranial, the incidence of PTH, and severity of pain of PTH
using the numeric rating score (NRS) score. Linear correlation analysis of two variables was calculated using
Spearman correlation analysis. The correlation is significant if the correlation coefficient (R) > 0.4 and p < 0.05.
Result: One hundred percent of subdural hematoma (SDH) and intracerebral hematoma (ICH) patients were
experienced PTH and only 70,6% in epidural hematoma (EDH) patients. PTH also found in 33.3% of patient with
depressed fracture without intracranial bleeding.
Conclusion: Hematoma under duramater causes the highest incidence of PTH.
Key words: intracranial hematoma, numeric rating scale, traumatic brain injury, post traumatic headache
JNI 2015; 4 (1): 01–7
1
2
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Cedera otak traumatik (COT) merupakan
penyebab utama kematian dan kecacatan pada
masyarakat Barat.1 Kejadian COT memiliki
insidensi yang tinggi terutama pada usia
muda.2 The Center for Disease Control (CDC)
melaporkan bahwa pada pasien dengan COT
terhitung sekitar 1,4 juta pasien perlu dirujuk ke
ruang gawat darurat, 275.000 ribu pasien perlu
dilakukan rawat inap di rumah sakit, dan 52.000
pasien meninggal setiap tahunnya.3 Angka
kejadian keseluruhan COT di Amerika Serikat
terhitung 538,2 per 100.000 populasi atau sekitar
1,5 juta kasus baru di tahun 2003. Telah dilaporkan
angka kejadian yang lebih rendah di negara
Eropa (235 per 100.000) dan Australia (322 per
100.000).4 Pada daerah industri seperti Amerika,
sebanyak 45% mekanisme penyebab COT adalah
akibat kecelakaan kendaraan bermotor, 30%
karena mekanisme jatuh, 10% akibat kecelakaan
kerja, 10% kecelakaan rekreasi, dan 3% karena
kecelakaan akibat kekerasan.5 Berdasarkan
tingkat keparahannya COT dibagi menjadi derajat
ringan, sedang, dan berat. Tingkat keparahan
COT ini tentu mempengaruhi beratnya gangguan
neurologis dan fungsionalnya. Di Amerika
Serikat angka kejadian kecacatan jangka panjang
akibat COT berkisar antara 3,2–5,2 juta penduduk
atau 1–2% dari total populasi, dengan insidensi
terjadinya cedera kepala berat adalah 10%, 10%
mengalami cedera kepala sedang, dan 80%
mengalami cedera kepala derajat ringan.6 Saat
ini penatalaksanaan COT dilakukan berdasarkan
konsep COT primer atau sekunder.
Terapi pembedahan karena adanya lesi pada
otak merupakan terapi inisial pada COT primer.
Identifikasi, pencegahan, dan penatalaksanaan
terhadap COT sekunder merupakan fokus prinsip
pada manajemen neurointensif.4 Pada pasien COT
primer dengan lesi intrakranial, dapat dilakukan
terapi konservatif atau terapi pembedahan,
tergantung pada jumlah volume perdarahannya.
Adanya hematoma dan edema pada COT dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Selain itu adanya mekanisme kaskade cedera
molekuler saat awal terjadinya trauma yang
kemudian berkembang hingga beberapa hari, dan
diikuti oleh edema otak, peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan terjadinya
kematian pada sel dan mengeksaserbasi cedera
kepala.4 Suatu studi prospektif menunjukkan
bahwa pada satu tahun setelah terjadinya COT,
72,6% pasien mengeluh nyeri kepala dimana
47,2% pasien mengeluh nyeri ringan, dan 25,4%
pasien mengeluh nyeri derajat sedang hingga
berat.7 Keluhan nyeri kepala yang timbul setelah
terjadinya COT dikenal sebagai Post Traumatic
Headache (PTH) yang dapat terjadi setelah
cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Gejala
PTH biasanya hilang dalam 3 bulan, namun pada
beberapa kejadian telah dilaporkan gejala tersebut
ada yang menetap.8 Secara keseluruhan angka
kejadian PTH terjadi sekitar 4% dari seluruh nyeri
kepala simptomatis. Suatu penelitian menyatakan
bahwa 31,3–90% pasien mengalami nyeri kepala
hingga 1 bulan, 47–78% hingga 3 bulan, 8,4–35%
hingga 1 tahun, dan 25% pasien hingga 4 tahun.5
Didapatkan beberapa jenis nyeri kepala yang
terjadi setelah COT antara lain; nyeri kepala tipe
migraine, nyeri kepala tipe tension, nyeri kepala
tipe cervicogenic dan nyeri kepala tipe rebound.
Pada kebanyakan pasien, PTH dapat sembuh
spontan dalam beberapa bulan, akan tetapi,
ada sebagian kasus PTH yang menetap.9 Suatu
penelitian melaporkan bahwa 87,3% pasien
dengan PTH mengeluh nyeri kepala tipe tension
10% yang terjadi setiap harinya dengan intensitas
nyeri derajat sedang (verbal rating scale adalah
6).1 Kriteria diagnostik PTH tidak memerlukan
fenotip nyeri kepala secara spesifik. Kualitas nyeri
kepala dalam bentuk apapun dapat diterima untuk
dilakukannya diagnosis, karena tidak terdapat
karakteristik PTH dengan bentuk yang khusus.1
Post Traumatic Headache merupakan suatu
permasalahan medis dan sosioekonomi serius,
yang memerlukan penanganan tepat dan adekuat
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya nyeri
kepala kronis.1 Suatu penelitian menunjukkan
bahwa ketika PTH dapat terdiagnosa dengan
cepat dan penatalaksanaan PTH dilakukan secara
adekuat, maka pada kebanyakan pasien dengan
gejala PTH dapat disembuhkan. Apabila PTH
tidak dapat disembuhkan maka akan dimodulasi
dan menetap hingga waktu yang lama.10 Antara
kejadian trauma dan dimulainya nyeri kepala akan
Korelasi antara Tipe Hematoma Intrakranial dengan Kejadian dan Beratnya Post Traumatic
Headache (PTH)
berkorelasi dengan waktu dilakukannya terapi.11
Berdasarkan data-data diatas maka rentang waktu
dari mulai terjadinya hematoma, edema, iskemia
hingga dimulainya terapi, akan sangat berperan
dalam menentukan hasil luaran pasien, yang
biasanya dinilai dengan Glasgow Outcome Scale
(GOS) atau GOSE (extended GOS), dengan salah
satu parameter dari GOSE adalah gangguan
fungsi kognitif dan PTH.9 Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui korelasi antara tipe hematoma
intrakranial dengan kejadian dan beratnya PTH.
II. Subjek dan Metode
Penelitian observasional kohort prospektif
dilakukan pada 31 pasien yang menjalani operasi
kraniotomi di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung, dengan kriteria inklusi pasien pria
atau wanita dengan cedera kepala derajat ringan
atau sedang, umur antara 13 hingga 59 tahun,
pada pemeriksaan CT-scan kepala didapatkan
hematoma intrakranial, hematoma ekstra aksial,
atau fraktura terdepresi, dan mendapatkan
kembali kesadarannya setelah terapi pembedahan
kraniotomi. Kriteria eksklusi adalah pasien yang
memiliki cedera servikal, riwayat nyeri kepala
berulang sebelum terjadinya trauma, dan yang
sedang dalam pengaruh alkohol atau intoksikasi
obat-obatan. Kriteria pengeluaran adalah pasien
yang tidak mendapatkan kembali kesadarannya
setelah lebih dari 2 minggu pascakraniotomi,
meninggal selama masa penelitian, dan dengan
gangguan fungsi kognitif yang dinilai dengan
menggunakan skoring Mini Mental State
Examination (MMSE).
Parameter yang dicatat pada penelitian ini
adalah usia, jenis kelamin, berat badan, GCS,
tipe hematoma intrakranial, rentang waktu dari
mulai terjadinya COT hingga dilakukannya
terapi pembedahan kraniotomi, angka kejadian
PTH yang dinilai setelah pasien sadar penuh dan
dinilai hingga 1 minggu, derajat beratnya PTH
dinilai dengan menggunakan skor numeric rating
scale (NRS). Dilakukan analisis korelasi linear
dua variabel yang dihitung berdasarkan analisis
korelasi Spearman. Hubungan korelasi bermakna
bila koefisien korelasi (R) >0,4 dan nilai p <0,05.
3
III. Hasil Penelitian
Data hasil penelitian terlihat pada tabel-tabel
dibawah ini.
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel
n(%)
Umur Pasien
(tahun)
Berat Badan
(Kg)
Jenis
Kelamin
Laki-laki
22 (71,0%)
Perempuan
9 (29,0%)
Rentang
Waktu (jam)
NRS Score
GCS Pasien
PTH
PTH (+)
PTH (-)
Rerata (SD)
26,96
(12,06)
60,77 (7,92)
Median
25
60
13,09 (5,78)
11,32 (1,97)
12,00
5,00
11,00
22 (71%)
9 (29,0%)
Keterangan: NRS: Numeric Rating Scale; GCS: Glasgow
Coma Scale; PTH: Post Traumatic Headache
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien
dalam penelitian ini adalah 26,96 tahun dengan
usia termuda 14 tahun dan usia tertua 52 tahun.
Rata-rata berat badan pada pasien ini adalah 60,77
kg dengan berat badan terendah adalah 48 kg
dan berat badan tertinggi adalah 80 kg. Sebagian
besar jenis kelamin pada penelitian ini adalah
laki-laki, rentang GCS pada penelitian ini adalah
9 pada rentang bawah dan 15 pada rentang atas.
Selain itu rentang waktu kejadian pada penelitian
ini adalah 6 jam hingga 12 hari, dengan rentang
penilaian NRS berkisar antara 0 hingga 8, dan
sebagian besar pasien mengalami PTH.
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah pasien dengan
EDH sebanyak 17 (54,8%) pasien merupakan
jumlah terbanyak dengan angka kejadian PTH
sebanyak 12 (70,58%) pasien. Jumlah pasien
dengan SDH sebanyak 5 (16,1%) pasien memiliki
angka kejadian PTH sebanyak 5 (100%). Jumlah
pasien dengan ICH sebanyak 2 (6,5%) memiliki
angka kejadian PTH sebanyak 2 (100%) pasien,
pasien dengan fraktura terdepresi sebanyak 3
4
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 2. Kejadian PTH Berdasarkan Jenis Diagnosa Preoperatif
Diagnosa Preoperatif
EDH
SDH
ICH
Diagnosa
Fraktura Terdepresi
Fraktura Terdepresi + ICH
EDH + SDH
EDH +ICH
Total
Count
% within total
Total
Count
% within total
Count
17
54,8%
5
PTH (+)
12
70,6%
5
% within total
Count
% within total
Count
% within total
Count
% within total
Count
% within total
Count
% within total
31
100,0%
16,1%
2
6,5%
3
9,7%
2
6,5%
1
3,2%
1
3,2%
23
74%
100%
2
100%
1
33,3%
1
50%
1
100%
1
100%
8
26%
PTH (-)
p-value
5
29,4%
0
0%
0
0%
2
66,7%
1
50%
0
0%
0
0%
0,994
Keterangan:Nilai p pada variabel kategorik dengan uji Chi-Square. Dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov atau uji Fisher
Exact apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi.Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda * menunjukkan p value
<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik.
EDH: Epidural Hematoma; SDH: Subdural Hematoma; ICH: Intrakranial Hematoma
Tabel 3. Derajat berat PTH berdasarkan nilai skor
NRS
Variabel
Skor NRS
Nilai p
Diagnosa Preoperatif
0,25
EDH
5,27 (1,34)
Mean (SD)
6,00
Median
4,00
Range
SDH
5, 80 (1,64)
Mean (SD)
5, 00
Median
4, 00
Range
ICH
Mean (SD)
Median
Range
7,00 (1,41)
7,00
2,00
Keterangan: Untuk data numerik Nilai p dihitung
berdasarkan uji ANOVA apabila data berdistribusi normal
serta alternatif uji Krusskall Wallis apabila data tidak
berdistribusi normal. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai
p<0,05. EDH: Epidural Hematoma; SDH: Subdural
Hematoma; ICH: Intrakranial Hematoma; NRS: Numeric
Rating Scale
(9,7%) dengan angka kejadian PTH sebanyak 1
(33,33%) orang. Jumlah pasien dengan diagnosa
campuran antara fraktura terdepresi dengan ICH
sebanyak 2 (6,5%) orang dengan angka kejadian
PTH sebanyak 1 (50%) pasien, sedangkan jumlah
pasien dengan diagnosa EDH kombinasi dengan
SDH sebanyak 1 (3,2%) pasien dengan kejadian
PTH sebesar 1 (100%) pasien, dan diagnosa EDH
kombinasi dengan ICH sebanyak 1 (3,2%) pasien
dengan kejadian PTH sebesar 1(100%) pasien.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai
p sebesar 0,99 (nilai p >0,05), maka hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara diagnosa preoperatif dengan kejadian
PTH. Kejadian PTH pada SDH dan ICH 100%
sedangkan pada EDH 70,6%, fraktura terdepresi
33,3%.
IV. Pembahasan
Nyeri kepala adalah gambaran yang menonjol
untuk pasen dengan cedera kepala ringan dan
sindroma pascaconcusio, terutama pada cedera
Korelasi antara Tipe Hematoma Intrakranial dengan Kejadian dan Beratnya Post Traumatic
Headache (PTH)
5
akibat kecelakaan lalulintas. Keluhan yang paling
menetap setelah cedera adalah sakit kepala dan
sakit leher. Kondisi yang sangat sakit ini dapat
terjadi dalam kombinasi dengan keluhan kognitif
seperti berkurangnya perhatian, gangguan
memori, kecepatan berpikir lambat, melengkapi
gambaran sindroma pascaconcusio yang menetap.
Nyeri dapat mengganggu tidur dan menimbulkan
depresi, mempengaruhi efisiensi kognitif dan
gangguan kognitif yang tidak dapat didiagnosa
meningkatkan depresi dan kecemasan, yang
mana dapat meningkatkan kondisi nyeri.12
dan lebih lama dari 30 hari pada 24,3% kasus.13
PTH adalah nama umum untuk nyeri yang
terlokalisir pada kepala dan leher, terjadi setelah
trauma kepala dengan penyebab dan patogenesis
yang bervariasi. Sakit kepala umumnya
disebabkan karena cedera scalp, struktur
intrakranial dan leher. Sulit untuk memisahkan
apakah PTH betul-betul disebabkan karena faktor
organik atau psikogenik. Kemungkinan kedua
faktor tersebut terlibat tapi dengan perbedaan
derajat beratnya penyakit.13 Penyebab PTH dapat
dilihat pada tabel 4 dan tabel 5.14
Post-traumatic headache (PTH) adalah satu
dari beberapa gejala sindroma pascatrauma.
Karena itu, mungkin dihubungkan dengan
gangguan somatik, psikologik atau kognitif.
Penyebab simptom (keluhan) ini pada seseorang
dengan cedera otak traumatik ringan atau cedera
whiplash (hentakan) masih kontroversi dalam hal
penjelasan dari mulai kerusakan neuron sampai
pura-pura sakit. PTH dapat dibagi atas tensiontype, migrain, atau cervicogenic headache.
Patogenesis PTH masih belum diketahui dengan
betul, tapi mungkin dari jalur sakit kepala.
Masalahnya, timbul dari meningkatnya PTH
setelah cedera ringan, sehingga sulit untuk
menentukan hubungan kausa-efek. Terbukti ada
hubungan terbalik antara beratnya cedera otak
dengan kejadian PTH, terutama tipe kronis.
Faktor psikologis dipercaya memegang peranan
dalam penyebab, dan terapi PTH kronis.13
Evaluasi seseorang dengan PTH masih sulit.
Walaupun kebanyakan kasus PTH sembuh
dalam 6–12 bulan, banyak pasien dengan sakit
kepala berlarut-larut dan menetap. Disebabkan
karena umumnya PTH tidak ditemukan hal yang
objektif, sehingga sering kontroversial apakah
keluhan (simptom) itu nyata, psikogenik, atau
mengarang-ngarang. Walaupun ketentuan kriteria
International Headache Society (IHS) bahwa
PTH mempunyai onset dalam 1 minggu setelah
trauma, tapi telah diketahui ada yang dimulai
dalam waktu yang lebih lambat.13
Dari review beberapa penulis, kronik PTH
terlihat hanya dalam kasus yang sangat jarang
dan selalu dihubungkan dengan lesi intrakranial
organik. Kalau betul akibat organis, disini
pentingnya dan merupakan salah satu alasan
dilakukan proteksi otak perioperatif bukan saja
pada pasien dengan cedera kepala berat, tetapi
juga pada pasien dengan cedera kepala ringan.9
Relatif sedikit informasi tentang karakteristik
sakit kepala pada sindroma pascatrauma (posttraumatic syndrome). Secara definisi, sakit kepala
yang berkembang dalam waktu 1 minggu setelah
cedera kepala (atau dalam waktu 1 minggu setelah
pemulihan kesadaran) disebut sebagai PTH. Pada
edisi pertama klasifikasi International Headache
Society (HIS), waktu interval antara trauma dan
permulaan sakit kepala adalah 14 hari, berkurang
1 minggu dalam edisi terakhir. Dari penelitian ini,
seperempat pasien mengalami simptom hanya
setelah 30 hari dari cedera kepala.13
Migrain tanpa aura (39%) dan headache sakit
kepala tipe tension kronis (34,1%). Interval waktu
antara saat terjadinya cedera otak dengan onset
sakit kepala kurang dari 7 hari ada 48,7% kasus
Walaupun serabut yang sensitif berada dalam
titik lesi dan regenerasi anomali umum pada
sakit kepala lokal, ini mungkin sebagian dari
penjelasan untuk sakit kepala yang dimulainya
terlambat dari tipe sakit kepala yang lain seperti
migrain dan sakit kepala tipe tension.9 Beberapa
penulis percaya bahwa PTH adalah manifestasi
disfungsi otak diperburuk oleh cedera otot
skelet. Sakit kepala akut bisa diprovokasi oleh
lesi pada jaringan scalp. Stimulus pada jaringan
otot skelet dapat memprovokasi perubahan
neuroplastik pada neuron dari nukleus trigeminal
caudal, yang memicu fenomena wind up dan
sensibilisasi. Dengan stimulus kontinyu ada
peningkatan sensitivitas neuron cornu dorsalis,
6
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 4. Penyebab Sekunder dari PTH akut
Kondisi
Epidural hematoma
Subdural hematoma
Intracerebral hematoma
Kontusio serebral
Pemeriksaan
CT-scan
CT-scan
CT-scan
CT-scan
Trombosis sinus venosus serebral Magnetic Resonance
venography,
angiography
Diseksi vaskuler
MRI, angiography
Fraktur servical spine
CT-scan
Diagnosis
Lucid interval diikuti ngantuk, coma
Geriatri
Focal neurological defisit
Perburukan secara bertahap, gejala neurologik
focal.
Sakit kepala hebat, papil edema, negatif CT
Defisit neurologic fokal
Spasme leher, mielopathi
Dikutip dari: Levin M, Ward TN. 14
Tabel 5. Penyebab Traumatik dari Sakit Kepala
yang Menetap
Trombosis vena serebral
Disautonomic cephalalgia
Hidrosefalus
Hipotensi intrakranial (kebocoran CSF)
Hipertensi intrakranial (pseudotumor cerebri)
Neuralgia (oksipital, supraorbita)
Neuroma
Kejang pascatrauma
Subdural hematoma
Cedera temporomandibula
Whiplash atau cedera cervical spine
Dikutip dari: Levin M, Ward TN.14
memprovokasi peningkatan aktivitas spontan,
mengurangi ambang nyeri dan merubah proses
stimulus aferent yang mana dapat menerangkan
sumber dan rumatan PTH.13
Setelah suatu cedera kepala berat, pasien mungkin
mengalami sakit kepala akibat dari oprasi pada
tulang kepalanya atau atau masih ada kumpulan
kecil darah atau cairan diruang intrakranial.
Sakit kepala juga bisa setelah cedera kepala
ringan, sedang atau cedera kepala berat, setelah
penyembuhan tahap pertama telah berlangsung.
Sakit kepala ini dapat disebabkan oleh berbagai
kondisi antara lain perubahan dalam otak akibat
cedera, cedera leher dan tulang kepala yang belum
pulih seluruhnya, tegangan dan stres, atau efek
samping pengobatan.8,15-17 Klasifikasi beratnya
cedera kepala difokuskan pada 3 parameter yaitu:
1) lama dan dalamnya kehilangan kesadaran (loss
of consciousness/LOC), 2) lamanya gangguan
memori yang dihubungkan dengan kejadian
(amnesia retrograde dan anterograde, PTA
posttraumatic amnesia), dan 3) Skor Glasgow
Coma Scale (GCS). Cedera kepala ringan
didefinisikan apabila: LOC < 30 menit, PTA < 24
jam, GCS >13.18
V. Simpulan
Intrakranial hematoma tipe SDH dan ICH
mempunyai kejadian PTH 100% sedangkan pada
EDH 70,6% dan fraktura terdepresi 33,3% maka
walaupun secara statistik tidak signifikan tapi
secara klinis semakin cedera tersebut mengenai
jaringan otak maka makin sering kejadian PTH.
Daftar Pustaka
1. Obermann M, Keidel M, Diener HC. Post
traumatic headache: is it for real? Crossfire
debates on headache: pro. Headache Currents
2010; 710–15.
2. Bullock MR, Chestnut R, Ghajaar J, Gordon
D, Harti R, Newell DW, et al. Introduction.
Neurosurgery 2006; 58 (suppl3):S1–3.
3. Bullock MR, Chestnut R, Ghajaar J, Gordon
D, Harti R, Newell DW, et al. Surgical
management of acute epidural hematomas.
Korelasi antara Tipe Hematoma Intrakranial dengan Kejadian dan Beratnya Post Traumatic
Headache (PTH)
Neuro Surgery 2006; 58 (Suppl3): S2:7–15.
4. Finkel AG.
Concussion
and
post
traumatic headache. Information For
Health
Care
Professionals.
(www.
AmericanHeadacheSociety.org).
5. SeifertTD, Evans RW. Post traumatic headache:
a review. Curr Pain Headache Rep 2010.
6. Heegaard W, Biros M. Traumatic brain injury.
Emerg Med Clin N Am 2007; 25:655–78.
7. Sherman KB, Bell KR. Traumatic brain
injury and pain. Phys Med Rehabil Clin N
Am 17 2006:473–90.
8. Lew HL, Lin PH, Fuh JL, Wang SJ, Clark
DJ, Walker WC. Characteristic and treatment
of headache after traumatic brain injury.
American Journal of Physical Medicine and
Rehabilitation 2006: 619–27.
9. DeGuise E, LeBlanc J, Feyz M, Meyer K,
Duplantie J, Thomas H, et al. Long term
outcome after severe traumatic brain injury:
the McGill interdisciplinary prospective
study. J Head Trauma Rehabil 2008;(5):
294–303.
10. Zasler N. Post traumatic headache: Clinical
caveats. Rev Cubana Neurol Neuroar 2014;
4(2):105–8.
11. Martins HAL, Ribas VR, Martins BBM, Ribas
RMG, Valenca MM. Post traumatic headache.
Arq Neuropsiquiatr 2009; 67(1):43–45.
7
12. Sherman KB, Goldberg M, Bell KR.
Traumatic brain injury and pain. Phys Med
Rehabil Clin N Am 2006;17: 473–90
13. De Lima Martin HA, Ribas VR, Martins
BBM, Ribas RMG, Valenca MM. Posttraumatic headache. Arq Neuropsiquiatr
2009;67(1):43–45.
14. Levin M, Ward TN. Headache. Dalam:
Silver JM, McAllister TW, Yudofsky SC,
eds. Textbook of traumatic brain injury, 2nd
ed. Washington: American Psychiatric Pub
Inc;2011,343–50
15. Hoge CW, McGurk D, Thomas JL, Cox AL,
Engel CC, Castro C A. Mild traumatic brain
injury in U.S. Soldiers returning from Iraq. N
Engl J Med 2008; 358(5): 453–63.
16. Marcus DA. Disability and chronic
posttraumatic headache. Headache 2003;
43(2): 117–21.
17. Mihalik JP, Stump JE. Collins MW, Lovell
MR, Field M, Maroon JC. Posttraumatic
migraine characteristics in athletes following
sports-related cocussion. J Neurosurg
2005;102(5):850–55.
18. McAllister TW. Mild brain injury. Dalam:
Silver JM, McAllister TW, Yudofsky SC,
eds. Textbook of traumatic brain injury, 2nd
ed. Washington: American Psychiatric Pub
Inc;2011,239–57.
Tatalaksana Anestesi pada Pendarahan Intraserebral Spontan Non Trauma
Muhammad Dwi Satriyanto**), Siti Chasnak Saleh**)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Eka Hospital Pekanbaru Riau
**)
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo–Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya
*)
Abstrak
Pendarahan Intraserebral (PIS) adalah ekstravasasi darah yang masuk kedalam parenkim otak, yang dapat
berkembang ke ruang ventrikel dan subarahnoid, yang terjadi secara spontan dan bukan disebabkan oleh trauma
(non traumatis) dan salah satu penyebab tersering pada pasien yang dirawat di unit perawatan kritis saraf.
Kejadian PIS berkisar 10–15% dari semua stroke dengan angka kematian tertinggi tingkat dari subtipe stroke
dan diperkirakan 60% tidak bertahan lebih dari satu tahun. Laki-laki 18 tahun, datang dengan keluhan penurunan
kesadaran setelah sebelumnya merasakan lemas pada anggota gerak kanan yang terjadi tiba-tiba saat mengendarai
kendaraan. Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran GCS E3M5V2 dengan hemodinamik cukup stabil, dan terdapat
hemiplegi dextra. Pasien dirawat di perawatan intensif selama 4 hari, karena kesadaran menurun menjadi E2M4V2
maka dilakukan MSCT ulangan, dan ditemukan PIS bertambah (kurang lebih 30cc) dibandingkan dengan MSCT
sebelumnya dengan midline shift lebih dari 5mm. Diputuskan untuk dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi
segera dengan pemeriksaan penunjang yang cukup. Tindakan kraniotomi evakuasi pada pasien PIS menjadi
tantangan bagi seorang spesialis anestesiologi, sehingga diperlukan pengetahuan akan patofisiologi, mortalitas
PIS dan tindakan anestesi yang harus dipersiapkan dan dikerjakan dengan tepat.
Kata Kunci: perdarahan intraserebral spontan/non trauma, tatalaksana anestesi
JNI 2015;4 (1): 08–16
Anesthesia Management in Spontaneous-Non Traumatic Intracerebral Hemorrhage
Abstract
Intracerebral hemorrhage (ICH) is the extravasations of blood into the brain parenchyma, which may develop into
ventricular and subarachnoid space, that occurs spontaneously and not caused by trauma (non-traumatic), and one
of the most common causes in patients treated in the neurological critical care unit. ICH represents approximately
10–15% of all strokes with the highest mortality rates of all stroke subtypes and about 60% of patients with ICH
may not survive within the first year. A 18 years old male with loss of consciousness after suffering from sudden
right limb weakness while driving a vehicle. On examination, the level of consciousness (GCS) was E3M5V2
with stable hemodynamic and right hemiplegia. Patients was managed in intensive care unit (ICU) for 4 (four)
days, and because of the decreasing level of consciousness to E2M4V2, the MSCt test was performed and the
result revealed an ICH (approximately 30cc) compared to the previous MSCt with more than 5mm midline shift.
Immediate craniotomy evacuation was then performed. Craniotomy evacuation in ICH patients is challenging for
an anesthesiologist.Therefor, require a thorough understanding of the pathophysiology as well as mortality of ICH
and anesthetic management should be prepared and done properly.
Key words: anesthesia management, spontaneous / non traumatic intracerebral hemorrhage
JNI 2015;4 (1): 08–16
8
Tatalaksana Anestesi pada Pendarahan Intraserebral Spontan Non Trauma
I. Pendahuluan
Perdarahan intraserebral (PIS) spontan atau
nontraumatik adalah ekstravasasi darah yang
masuk kedalam parenkim otak dan dapat
berkembang ke ruang ventrikel dan subarahnoid,
yang terjadi spontan dan bukan disebabkan
oleh trauma (non traumatis). PIS merupakan
salah satu penyebab tersering pada pasien
yang dirawat di unit perawatan kritis saraf.
Dari semua stroke, 10–30% adalah PIS yang
mempunyai angka kematian tertinggi dari
subtipe stroke. Diperkirakan sekitar 50–60%
dari pasien dengan PIS tidak bertahan lebih dari
satu tahun dan dikatakan juga hanya 30% masih
dapat hidup selama 6 bulan setelah kejadian.1-3
PIS secara umum diklasifikasikan menjadi
primer dan sekunder. PIS Primer, didefinisikan
sebagai pendarahan spontan dari arteriol kecil
klasik yang rusak karena hipertensi kronis di
regio subkortikal otak atau amiloid angiopathy
di regio kortikal otak. PIS primer diperkirakan
sekitar 80% dari semua kasus, sedangkan PIS
sekunder merupakan perdarahan sebagai hasil
dari beberapa keadaan patologik vaskular yang
mendasarinya atau penyebab lainnya, yaitu
arteriovenous malformation (AVM), neoplasma
intrakranial, angioma kavernos, angioma vena,
trombosis venaserebral, koagulopati (baik
primer atau karena obat, seperti pada pasien
terapi warfarin kronis), vaskulitis, kokain atau
penggunaan alkohol dan
berubah menjadi
stroke hemoragik
dari stroke iskemik.3-8
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kejadian
PIS diperkirakan 10–20 kasus per 100.000
penduduk per tahun, yang tampaknya meningkat
dengan usia (diatas usia 45 tahun) dan lebih
umum pada laki-laki. Orang Afrika Amerika
dan orang Jepang di Jepang telah diidentifikasi
memiliki insiden lebih tinggi secara signifikan
terhadap PIS. Berdasarkan pada teori bahwa
prevalensi PIS lebih tinggi pada hipertensi, yang
merupakan faktor risiko yang diketahui untuk
terjadinya PIS, antara kedua populasi tersebut
dan dibandingkan dengan kulit putih maka dapat
dijelaskan bahwa kejadian PIS terjadi lebih
tinggi. Menariknya, ada beberapa data mengenai
populasi di Jepang bahwa kolesterol serum
9
yang rendah dapat menjadi faktor risiko yang
relevan sebagai predisposisi terjadinya PIS.1-2
Tanda klasik dari PIS adalah serangan sakit kepala
yang mendadak, penurunan kesadaran, adanya
defisit fokal neurologis yang makin memburuk.
mual muntah, dan peningkatan tekanan darah,
dapat juga terjadi kejang. PIS yang luas dapat
menimbulkan letargi, stupor dan koma.2,4,7
II. Kasus
Laki-laki 18 tahun dengan PIS pada regio
temporoparietal sinistra telah dilakukan tindakan
kraniotomi evakuasi sito pada tanggal 19
September 2011.
Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan (alloanamnesateman pasien) penurunan kesadaran. Keluhan
tambahan: ketika sedang naik motor (dibonceng)
tiba-tiba pasien terjatuh sendiri, saat itu pasien
memakai helm, pingsan tidak ada, dari mulut
telinga hidung tidak ada keluar darah, terdapat
luka lecet sekitar wajah, setelah itu pasien mulai
tidak sadarkan diri. Muntah dan kejang disangkal.
Tidak ada riwayat diabetes mellitus dan hipertensi,
penggunaan obat-obatan disangkal. Sebelumnya
pasien sering mengeluh sakit kepala dan hilang
bila minum obat warung.
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sakit berat dengan kesadaran GCS
E3M5V2, pada pemeriksaan mata didapatkan
pupil kanan dan kiri bulat isokor dengan diameter
3mm, reflek cahaya baik. Hemodinamik dengan
tekanan darah 130/65mmHg, nadi 68 x/menit,
suara jantung murni, tidak ada murmur, suhu 37 oC,
respirasi frekuensi 22 kali/menit spontan dengan
oksigen binasal kanul 3L/menit SpO2 100%,
pemeriksaan abdomen tidak didapatkan kelainan,
pada ekstrimitas terdapat kesan hemiplegi dextra.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb
16,2g%, Lekosit 13,400/mm3, Hematokrit 44,7%
Trombosit 303000 μL, Natrium 140 mEq/L,
Kalium 4.2 mEq/L, Chlorida 100 mEq/L, Gula
darah sewaktu 132 mg/dL. Pemeriksaan analisa
gas darah pH 7,42, PaO2 103 mmHg, PaCO2
10
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
43 mmHg, TCO2 28,4 mEq/L, HCO3 27 mEq/L,
BE 2,1, SpO2 97,9%. Pemeriksaan foto thorak
jantung tidak ada kardiomegali dengan Cardio
Thoracic Ratio (CTR) kurang dari 50% dan
paru ditemukan infiltrat di parakardial kanan.
Pada pemeriksaan MSCt kepala awal didapatkan;
pada jaringan tulang tidak terdapat garis fraktur.
Sulci, sistern dan sistem ventrikel dalam batas
normal, tidak melebar. Tampak lesi hiperdens
pada lobus frontal kiri disertai area hipodens
disekitarnya. Efek masa (+); deviasi struktur
garis tengah tidak ada. Diferensiasi substantia
alba dan grisea baik. Ventrikel lateral dekstra
sinistra, ventrikel III dan IV tidak melebar. Kesan:
Intraserebral hematoma pada lobus sinistra.
Diputuskan pasien dirawat di unit pelayanan
intensif (High Care Unit/ HCU) untuk di observasi
ketat. Selama perawatan keasadaran tidak
berubah dengan hemodinamik stabil. Pada hari
ke 4 perawatan terjadi penurunan kesadaran GCS
E2M4V2 dan dilakukan MSCt kepala ulang dan
dibandingkan dengan MSCt sebelumnya; tampak
intraserebral hematoma pada ganglia basal kiri
bertambah luas disertai perifokal edema yang
menimbulkan efek massa ke kanan lebih dari 5mm.
Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran yang
menurun, namun kondisi fisik sebelum tindakan
operasi masih sama seperti awal masuk, dengan
hemodinamik tetap stabil, kemudian diputuskan
untuk dilakukan kraniotomi evakuasi sito.
Gambar 1. Foto MSCt Kepala Pertama
Pengelolaan Anestesi
Jam 20.40 wib, pasien dimasukan ke kamar
operasi lalu dipasang alat monitor standar,
EtCO2, posisi pasien supine dengan kepala slight
head up, lalu dilakukan oksigenasi 7 L/menit
dengan sungkup. Jam 20.50 wib, dilakukan
induksi dengan memberikan fentanyl 150mcg
intravena perlahan selama 2 menit, propofol
150mg, untuk fasilitasi intubasi diberikan
vecuronium 7mg, lalu lidokain 90mg kemudian
diberi propofol 50mg ulangan, setelah sekitar 90
detik dilakukan intubasi dengan pipa endotrakhea
nonkinking dengan nomor 7,5 balon. Mata diberi
salep dan ditutup dengan plester kertas 3 lapis.
Rumatan isofluran 0,8–1 MAC, oksigen/udara
ruang 50%, fentanyl 50mcg/30menit, ventilasi
kendali dengan vecuronium 2mg/30menit
dengan menggunakan syringe pump, modus
ventilator yaitu volume control (VC) dengan tidal
volum 540mL, frekuensi napas 14 kali/menit, T.
Inspirasi 11.7, minute volume tercapai 6,5–7L/
menit. Setelah dilakukan dreaping dan sebelum
dilakukan insisi kulit kepala ditambahkan
fentanyl 50mcg, ditambah fentanyl 50mcg lagi
sebelum dilakukan bor pada tulang tengkorak
untuk evakuasi. Sebelum tulang tengkorak atau
kranium di buka, diberikan manitol 20% dengan
dosis 0,5 gram/kgBB habis dalam 15 menit.
Setelah kranium dibuka, tampak duramater tidak
tegang, dan ketika duramater dibuka tampak otak
yang lunak/slack brain.
Gambar 2. Foto MSCt Kepala Kedua
Tatalaksana Anestesi pada Pendarahan Intraserebral Spontan Non Trauma
11
Gambar 3. Monitoring Tekanan Darah, Denyut Jantung, Saturasi selama
Tindakan Operasi
Selama operasi 2 jam 30 menit hemodinamik
cukup stabil, dengan perdarahan sekitar
500cc, total diuresis selama operasi 1300cc,
sedangkan input cairan selama operasi
adalah NaCl 0,9% 500cc dan RL 500cc total
1000cc. Tigapuluh menit sebelum operasi
selesai diberikan ondansetron 8mg intravena.
Pengelolaan Pascabedah
Setelah selesai operasi pasien dipindahkan
langsung ke ICU, dilakukan resusitasi otak
dengan pernapasan dikontrol dengan ventilator
modus volume control ventilation (VCV), dengan
vecuronium 4mg/jam, propofol 20mg/jam
selama 24 jam, analgetik tramadol 100mg/8jam.
Selama perawatan di ICU, hemodinamik dan
respirasi cukup stabil. Hari ke 2 pasien di
ekstubasi dengan GCS E4M5V4, sampai hari ke
4 pasien dipindahkan ke high care unit (HCU).
Perawatan di HCU selama 3 hari, kondisi pasien
semakin baik dengan hemodinamik yang stabil
dan pasien dipindahkan ke ruang perawatan
biasa dengan E4M5V5, hemipilegi dextra dengan
motorik kanan 2–2. Setelah 4 hari perawatan
di ruangan pasien diperbolehkan pulang.
III. Pembahasan
PIS merupakan bentuk stroke yang paling
destruktif. Secara klinik ditandai dengan
cepatnya
perubahan
atau
penurunan
neurologis akibat dari peningkatan tekanan
intrakranial. Diagnosa dapat ditegakkan
dengan mudah yaitu dengan menggunakan
MSCt kepala atau dengan MRI kepala.1-5
PIS didefinisikan sebagai perdarahan yang
terjadi secara spontan dan terjadi ekstravasasi
darah tersebut ke dalam parenkim otak. Bentuk
PIS yang non-traumatis ini terjadi 10% sampai
30% dari semua kejadian stroke yang dirawat
di rumah sakit, yang menimbulkan tingkat
kecacatan tinggi, serta morbiditas dan mortalitas
yang tinggi juga sekitar 30% sampai 50% dalam
30 hari setelah kejadian. Kematian pada 1 tahun
pertama bervariasi dimana: 51% terjadi pada PIS
yang deep, 57% pada PIS lobar, 42% pada PIS
cerebellar dan 65% pada PIS di batang otak.5
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan
terjadinya PIS yaitu hipertensi, kadar kolesterol
yang rendah, konsumsi minuman beralkohol
yang banyak, merokok. Semua hal ini merupakan
faktor resiko yang masih dapat di perbaiki atau
diubah. Sedangkan faktor resiko yang tidak
dapat di ubah seperti umur, jenis kelamin, etnik
(orang Jepang dan Afrika – Amerika). Penelitian
mengatakan bahwa hipertensi meningkatkan
resiko terjadinya PIS lebih dari dua kali lipat,
terutama pada pasien kurang dari 55 tahun yang
menghentikan pengobatan antihipertensinya.
12
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Hipertensi menyebabkan vaskulopati pembuluh
darah kecil yang kronik ditandai dengan
fragmentasi, degenerasi dan akhirnya ruptur,
hal ini ini terjadi pada pembuluh darah kecil
Gambar 4. Tempat yang paling sering dan sumber
dari PIS
Perdarahan intraserebral paling sering mencakup lobus
serebral, berasal dari penetrasi cabang kortikal dari arteri
cerebri anterior, media dan posterior (A); Basal ganglia,
berasal dari lenticulo-striata ascending cabang dari arteri
cerebri media (B); Thalamus, berasal dari thalmogeniculate
ascending cabang dari arteri cerebri posterior (C); Pons,
berasal dari paramedian cabang dari arteri basilaris (D); dan
Cerebelum, berasal dari penetrasi cabang dari arteri serebelar
posterior inferior, anterior inferior atau superior (E).
yang penetrasi ke dalam otak (lipohyalinosis).
Seringkali terjadi pada basal ganglia dan thalamus
(50%), region lobar (33%) dan pada batang otak
serta serebelum (17%).1-8
Kadar kolesterol yang rendah telah diimplikasikan
sebagai salah satu faktor terjadinya PIS primer.
Hal ini berdasarkan beberapa penelitian secara
kasus kontrol dan cohort, namun pada penelitian
terbaru, pada pasien yang baru mengalami stroke
atau transient ischemic attack, diberi artovastatin
80mg perhari dapat menurunkan kejadian stroke
dan kejadian kardiovaskuler selama 5 tahun,
namun hal ini masih menjadi kontroversi.5-7
Intake alkohol berat merupakan salah satu
faktor terjadinya PIS, pada penelitian kasus
kontrol terbaru. Pada teori dikatakan bahwa
alkohol dapat mempengaruhi fungsi platelet,
fisiologi koagulasi darah dan perubahan fragilitas
pembuluh darah. Sedangkan merokok sebenarnya
tidak ada hubungan dengan peningkatan resiko
terjadinya PIS, walaupun pada suatu penelitian
retrospektif menemukan bahwa perokok dengan
hipertensi meningkatkan resiko PIS, efeknya
adalah dengan dimediasinya hipertensi dan
bukan karena tembakaunya. Hal ini sama dengan
PIS mungkin sebagai suatu komplikasi dari
insiden atau penggunaan kokain yang kronik.5-8
Cereberal amyloid angiopathy, merupakan faktor
resiko yang penting untuk terjadinya PIS pada
orang tua. Hal ini ditandai dengan depositnya β
amiloid protein pada pembuluh darah kecil dan
sedang di otak dan leptomeningens, yang akan
menjadi nekrosis fibrinoid. Ini menjadi penyakit
yang sporadis, dan berhubungan dengan penyakit
Alzheimer’s atau dengan sindrom familial
(Apolipoprotein ε2 dan ε4 allele).8 Penggunaan
CT-scan kepala yang luas, secara dramatis
memberikan perubahan dalam pendekatan
diagnostik pada penyakit ini, dan adanya CT-scan
menjadi pilihan dalam mengevaluasi PIS.
Evaluasi yang dilakukan adalah mengenai ukuran
dan lokasi dari hematoma, penyebarannya ke
sistem ventrikel, derajat edema dan kerusakan
secara anatomis. Volume hematoma dapat
dengan mudah dihitung dari hasil CT-scan
dengan manggunakan metode (ABC)/2, suatu
turunan dari formula menghitung volume bola.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) sangat
sensitif untuk mengetahui adanya PIS. Pada
penelitian HEME dikatakan MRI dan CT
mempunyai kemampuan yang sama dalam
mendeteksi PIS yang akut, namun pada PIS
yang kronik MRI lebih baik.5 CT-angiografi
tidak rutin digunakan pada beberapa center, tapi
telah terbukti mampu menolong memperkirakan
perkembangan hematoma dan outcome. CTangiografi ini mutlak dikerjakan pada pasien
dengan PIS sekunder seperti kemungkinan
adanya aneurisma, malformasi arteri-vena,
trombus di sinus duramater atau di vena
kortikal; Subarachnoid Bleeding; sangat kuat
disarankan juga pada pasien PIS primer dengan
Intraventricular Hemorrhage dan pasien
muda tanpa hipertensi dengan lobar PIS.5,8
Cepatnya perubahan neurologis dan hilangnya
kesadaran, sehingga dapat terjadi gangguan
Tatalaksana Anestesi pada Pendarahan Intraserebral Spontan Non Trauma
13
pada reflex untuk tetap mempertahankan jalan
napas. Kegagalan dalam mempertahankan jalan
napas ini mengakibatkan komplikasi seperti
terjadinya aspirasi, hipoksemia dan hiperkarbia.
Sehingga
dibutuhkan
segera
tindakan
untuk mempertahankan jalan napas dengan
melakukan pemasangan pipa endotrakheal,
dengan menggunakan tehnik Rapid Sequence
Induction (RSI) dengan obat dengan onset
cepat dan lama kerja singkat seperti propofol,
suksinilkolin. Pada pasien dengan tekanan
intrakranial (TIK) meningkat dipertimbangkan
pemberian premedikasi dengan menggunakan
lidokain intravena pada tindakan RSI.
hematoma atau ini hanya respon terhadap
peningkatan TIK yang terjadi dari bertambahnya
volume PIS guna mempertahankan CPP.1-5
Secara umum American Heart Association
(AHA) telah membuat Guidelines bahwa tekanan
darah sistolik lebih dari 180mmHg atau MAP
lebih dari 130mmHg harus di terapi dengan infus
obat antihipertensi terus menerus seperti labetalol,
esmolol, atau nicardipin. Sedangkan terapi oral
dan sublingual sudah tidak dipilih lagi. Meskipun
belum ada penelitian kapan waktu yang tepat
pemindahan terapi antihipertensi intravena ke
terapi peroral, proses ini umumnya dimulai setelah
24 sampai 72 jam setelah kondisi pasien stabil.5
Cairan resusitasi isotonik dan vasopresor di
indikasikan pada pasien syok. Pemberian cairan
yang mengandung dekstrose harus dihindari,
untuk mencegah terjadinya hiperglikemi
pada pasien cedera kepala. Pemeriksaan yang
diperlukan adalah pemeriksaan hematologi,
biokimia darah, profil koagulasi, foto thorak,
kalau perlu dilakukan echokardiogram.1-3
Peningkatan tekanan darah yang ekstrem
setelah PIS harus diterapi dengan agresif tapi
dengan hati-hati untuk mengurangi resiko
terjadi perluasan hematoma tersebut, dengan
tetap mempertahankan tekanan perfusi serebral
(cerebral perfusion pressure/CPP). Penurunan
tekanan darah yang terlalu agresif setelah PIS
dapat menjadi predisposisi terjadinya penurunan
yang hebat tekanan perfusi serebral dan terjadi
iskemik yang selanjutnya dapat meningkatkan
TIK berlanjut terjadi kerusakan saraf.1-8
Penyebaran hematoma dapat terjadi karena
perdarahan yang menetap atau perdarahan
kembali dari satu arteriole yang ruptur. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa perluasan hematoma
berasal dari perdarahan yang ada masuk ke daerah
penumbra yang iskemik sekitar hematoma. Namun
penelitian oleh Brott dkk., mengatakan bahwa
tidak ada hubungan yang memperlihatkan antara
perkembangan hematoma dan tingkat tekanan
darah, tetapi penggunaan obat antihipertensi
mungkin telah menutupi efek negatif terhadap
hubungan ini. Tingkat tekanan darah mempunyai
hubungan dengan peningkatan TIK dan volume
hematoma tetapi ini sulit untuk menjelaskannya,
apakah hipertensi yang menyebabkan perluasan
Pada
pasien
koma,
direkomendasikan
menggunakan monitor TIK dan titrasi vasopresor
untuk mempertahankan CPP antara 70-90mmHg.
Pada umumnya tidak masalah dengan tingginya
tekanan darah, tetapi MAP harus tidak boleh
berkurang 15–30% selama 24 jam pertama.5
Penelitian pada keadaan darurat terhadap
pengontrolan TIK yang berhubungan dengan
pasien yang stupor dan koma atau adanya suatu
tanda-tanda yang menggambarkan adanya
herniasi batang otak (yaitu pupil anisokor atau
motor posturing), untuk itu dilakukan tindakan
untuk menurunkan segera TIK sebelum dilakukan
tindakan pembedahan, maka dilakukanlah suatu
tindakan; kepala di elevasi sampai 30 derajat,
pemberian manitol 20% (1–1,5mg/BB) dengan
tetesan yang cepat, pasien di hiperventilasi
agar didapatkan PaCO2 26–30mmHg. Sebagai
second line terapi atau pasien sedikit mengalami
hipotensi maka diberikan cairan saline 0,9%
yang dapat diberikan melalui kateter vena
sentral
(central
venous
catheter/CVC).
Pemberian kortikosteroid merupakan kontra
indikasi pada pasien ini berdasarkan beberapa
penelitian yang tidak mendapatkan efikasi pada
pasien PIS yang diberikan kortikosteroid.5
Penggunaan antikoagulan seperti warfarin,
meningkatkan resiko PIS sebesar 5–10 kali dan
sekitar 15% kasus PIS dihubungkan dengan
penggunaan obat ini, target yang dicapai
adalah INR dibawah 1,4 dengan pemberian
fresh frozen plasma (FFP) sebagai reversalnya
atau konsentrat dari komplek protrombin dan
vitamin K, setelah itu di cek kembali koagulasi.
14
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Pemberian FFP harus dengan pengawasan karena
dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.5,8
Observasi pasien di ICU paling sedikit 24 jam
pertama setelah kejadian merupakan suatu
tindakan yang sangat direkomendasi, karena
resiko penurunan neurologis sangat tinggi selama
periode ini dan karena mayoritas pasien dengan
perdarahan batang otak dan serebelar telah
menekan tingkat kesadaran dan memerlukan
bantuan ventilator. Penilaian yang dilakukan
di ICU untuk memantau fungsi kardiovaskuler
yang optimal pada pasien PIS termasuk tekanan
pembuluh darah arteri invasif, CVC, dan
monitor kateter arteri pulmonal. Pemasangan
drainase eksternal ventrikel dilakukan pada
pasien dengan penurunan kesadaran (GCS skor<
8), tanda akut hidrosephalus atau efek masa
intrakranial berdasarkan CT scan, dan untuk
meminimalkan TIK serta mengurangi resiko
terjadinya ventilator associated pneumonia
(VAP) pada pasien yang menggunakan
ventilator maka kepala pasien ditinggikan 30o.5
Kebutuhan cairan isotonik seperti NaCl 0,9%
sekitar 1ml/kg/jam, harus diberikan pada pasien
PIS sebagai standar cairan agar mendapatkan
kondisi yang euvolemik dan diuresis setiap jam
harus lebih dari 0,5 cc/kgbb. Pemberian cairan
NaCl 0,45% atau dextrose 5% dalam air dapat
memperberat edema serebral dan meningkatkan
TIK karena terjadi perbedaan osmolaritas, yang
menyebabkan cairan berpindah ke jaringan
otak yang cedera. Hipo-osmolaritas sistemik
(<280mOsm/L) harus diterapi agresif dengan
manitol atau hipertonik saline 3%. Kondisi
euvolemik harus tetap dipertahankan dengan
mengetahuinya dari CVP yang terpasang (5–
8mmHg), penilaian ini harus diperhatikan terutama
pada pasien yang menggunakan ventilator.2-5
Tujuan pemberian hipertonik saline selain sebagai
resusitasi cairan juga mempertahankan osmolaritas
agar tetap hiperosmolar (300–320mOsms/L)
dan hipernatremi (150–155mEq/L) yang
dapat mengurangi bengkaknya sel dan TIK.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
overload cairan, edema paru, hipokalemi, kardiak
aritmia, asidosis metabolik hiperkloremik dan
delutional koagulopati. Hipertonik saline harus
secara bertahap diturunkan pemberiaannya
dan kadar serum tidak boleh turun lebih dari
12mEq/L dalam 24jam, untuk menghindari
rebound edema serebral dan peningkatan TIK.5
Pencegahan kejang akut harus dilakukan dengan
pemberiaan fenitoin 17mg/kgBB sebagai
loading dose kemudian 100mg setiap 8 jam.
American Heart Association (AHA) memberi
rekomendasi bahwa pemberiaan anti-epileptik
diberikan sampai 1 bulan setelah bebas dari
kejang. Penelitian mengatakan kejadian kejang
setelah 30 hari PIS adalah 8% dan resiko terjadinya
status epileptikus adalah 1% sampai 2%.5
Demam atau suhu >38,3 oC pada pasien PIS
sering ditemui, terutama pasien dengan Intra
Ventricle Haemorhagic (IVH) dan hal ini harus
diterapi secara agresif. Demam yang terjadi
setelah PIS memperlihatkan adanya hubungan
dengan outcome yang buruk.
Hipertermi
dapat memperburuk iskemia otak yang
telah mengalami cedera dengan melepaskan
neurontransmiter
eksitotoksik,
proteolisis,
radikal bebas dan produksi sitokin, blood-brain
barrier compromise dan apoptosis. Selain itu
juga terjadi hiperemia, bertambahnya edema otak
dan meningkatkan TIK. Standar umum untuk
pasien dengan suhu lebih dari 38,3 oC, di terapi
dengan acetaminophen dan cooling blankets.5
Hiperglikemi adalah suatu prediktor yang
poten terhadap kematian dalam 30 hari, pada
pasien diabetik atau non-diabetik dengan
PIS. Efek merusak dari hiperglikemi telah
dilakukan penelitian pada sindrom vaskuler
yang akut. Pada pasien stroke iskemik kejadian
hiperglikemi 20–40%
dari pasien dan ini
dihubungkan dengan infark yang meluas,
outcome fungsional yang jelek, tinggal di
rumah sakit menjadi lebih lama, tingginya biaya
perawatan dan meningkatnya resiko kematian.5
Tatalaksana atau manajemen anestesi yaitu
dengan melakukan tindakan resusitasi akut pada
pasien PIS sesuai dengan aturan umum yaitu
“ABC”, Airway atau jalan napas, Blood pressure
atau tekanan darah dan Cerebral perfusion atau
perfusi serebral. Jalan napas harus selalu bebas,
karena pada pasien dengan GCS kurang atau
sama dengan 8 atau tidak dapat mempertahankan
jalan napas harus dilakukan intubasi. Keadaan
saturasi yang baik adalah tidak cukup dan tidak
mencerminkan tekanan parsial dari karbon
Tatalaksana Anestesi pada Pendarahan Intraserebral Spontan Non Trauma
dioksida di arteri (PaCO2), jadi walaupun saturasi
normal, satu hal yang harus dipastikan bahwa
pasien ini tidak mengalami hiperkarbi karena
ini dapat memperburuk hipertensi intrakranial.5
Sebaiknya dilakukan pemasangan CVC dan jalur
arteri, guna mengontrol tekanan darah yang baik
dan agresif, dimana hipertensi dan hipotensi harus
dihindari. Tekanan perfusi otak adalah perbedaan
tekanan yang bertanggung jawab terhadap
cerebral blood flow (CBF) atau aliran darah
serebral dan ini menyebabkan terjadinya iskemi
otak. Tekanan perfusi otak didefinisikan sebagai
Mean Arterial Pressure (MAP) atau tekanan
arteri rerata dikurangi Intracranial Pressure atau
tekanan intrakranial (TIK) dengan persamaan
CPP=MAP–TIK.5,6
Definisi peningkatan tekanan intrakranial adalah
jika TIK melebihi 20 mmHg selama 5 menit.
Tujuan pengobatan adalah menurunkan TIK
kurang dari 20 mmHg dan CPP 60–70mmHg.
Hipertensi intrakranial dapat diterapi dengan
membuat drainase cairan cerebrospinal (shunt),
menurunkan volume otak atau cerebral
blood volume (CBV) atau dengan sedasi dan
menurunkan metabolisme otak6, serta mencegah
semua hal yang dapat meningkatkan TIK seperti
melakukan induksi atau laringoskopi dengan
smooth dan gentle sehingga hemodinamik
tidak bergejolak, mencegah pasien batuk,
meninggikan kepala dan menempatkan kepala
pada posisi yang netral.6,7 Pengobatan terhadap
volume otak bertujuan untuk menurunkan TIK
dengan menggunakan tehnik osmoterapi yaitu
dengan pemberian manitol 0,25 sampai 0,5
gram/kgBB setiap 4 jam dan furosemid 10mg
setiap 2 sampai 8 jam. Osmolaritas serum dan
konsentrasi sodium harus dipantau ketat dengan
target osmolaritas kurang dari 310mOsm/L dan
normonatremia. Pemberian cairan berguna untuk
mempertahankan status euvolemia atau sedikit
“kering” untuk menghindari berkembangnya
edema otak.6
Hipokarbi (PaCO2 25–35mmHg) menurunkan
TIK dengan mekanisme vasokonstriksi cerebral
dan tindakan ini sangat efektif pada kasus kritis
dengan cara melakukan hiperventilasi. Pada
15
hiperventilasi yang ekstrim atau berlebihan
(PaCO2< 20mmHg) dapat menyebabkan
iskemi dengan menurunkan aliran darah ke
otak, sehingga hiperventilasi tidak digunakan
untuk waktu yang lama, karena menjadi tidak
efektif terhadap penyesuaian metabolik pada
alkalosis respiratorik dan rawan terjadi rebound
peningkatan TIK saat kembali pada normokapni.
Sedasi dan paralisis dengan pelumpuh otot
dapat mengurangi peningkatan TIK dan ini juga
bekerja mencegah agitasi dan mengejan serta
menurunkan metabolisme otak. Bila TIK masih
tetap tinggi dapat dilakukan barbiturate koma.1,2,4,5
Outcome pasien PIS akan lebih baik, jika pasien
dirawat khusus di ICU. Beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa mortalitas setelah PIS
dihubungkan dengan rendahnya skor PIS. Skor
PIS merupakan prediktor yang tepat, berdasarkan
hasil yang dinilai adalah mortalitas dalam waktu
30 hari.6,7
Tabel 1. Penentuan Skor PIS6,7
Komponen
GCS
Volume
(cm3)
3–4
5 – 12
13 – 15
PIS ≥ 30
< 30
IVH
Ya
Tidak
Infratentorial Ya
PIS
Tidak
Umur (tahun) ≥ 80
< 80
Skor
2
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
Rentang skor PIS adalah 0 sampai 5 dan PIS
skor dari kohort itu didistribusikan di antara
berbagai kategori. Tidak ada pasien dengan skor
PIS 0 yang meninggal, sedangkan semua pasien
dengan skor PIS lebih dari 5 akan meninggal.
Dalam 30 hari, tingkat kematian bagi pasien
PIS dengan skor 1, 2, 3 dan 4 adalah 13%, 26%,
72%, dan 97%, masing-masing. Tidak ada pasien
dalam kohort PIS memiliki skor PIS lebih dari 6
karena tidak ada pasien dengan PIS infratentorial
16
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
memiliki volume hematoma lebih dari 30cm3.
Mengingat bahwa tidak ada pasien dengan PIS
skor 5 bertahan hidup, sedangkan skor PIS 6
berhubungan dengan risiko kematian sangat
tinggi.6,7 Terapi pada pasien PIS dapat dilakukan
secara medis seperti apa yang telah dijelaskan
sebelumnya dan dengan terapi pembedahan.
Tindakan pembedahan dapat berupa pemasangan
ventrikel drainase ataupun dengan pembedahan
kraniotomi evakuasi perdarahan. Namun tidak
semua pasien PIS dapat menjalani kraniotomi ini,
adapun pasien yang tidak perlu dilakukan tindakan
kraniotomi adalah pasien dengan perdarahan yang
sedikit (volume 10–20 cc) atau defisit neurologis
yang minimal dan pasien dengan skor GCS < 4.8
Sedangkan pasien yang dapat dilakukan tindakan
pembedahan adalah 1) pasien dengan perdarahan
serebelar dengan diameter >3 cm (volume >14cc)
dengan gangguan neurologis yang buruk atau telah
ada penekanan di batang otak dan hidrosephalus
karena sumbatan di ventrikel, yang harus
segera menjalani evakuasi perdarahan sesegera
mungkin, 2) PIS yang berhubungan dengan
kelainan struktur seperti aneurisma, AVM atau
angioma kavernosa dapat dioperasi jika pasien
mempunyai outcome yang bagus dan lesi dari
struktur vascular tersebut dapat dijangkau dengan
pembedahan, 3) Pasien muda dengan perdarahan
lobar yang moderate atau luas yang secara klinis
memburuk.6 Tindakan kraniotomi merupakan
tindakan pembedahan pada pasien dengan PIS
dan telah banyak dilakukan penelitian untuk hal
ini. Beberapa penelitian memperlihatkan pada
pasien dengan perubahan kesadaran dengan
pembedahan mengurangi resiko kematian tanpa
memperbaiki fungsionalnya dan pada evakuasi
yang sangat awal, mengalami perbaikan selama
3 bulan.6,8
mengobati komplikasi sistemik yang terjadi,
mempercepat pemulihan dan mencegah atau
memperlambat kekambuhan dan komplikasi.
IV. Simpulan
7. Hemphill JC, Bonovich DC, Besmertis L,
Manley GT, Johnston SC, Tuhrim S. The
ICH score: a simple, reliable grading scale
for intracerebral. Stroke.2001; 32:891–7.
Stroke perdarahan merupakan penyakit berat
dengan sejumlah faktor yang mempengaruhi
terhadap outcome klinis dan gejala sisanya.
Penting sekali memahami secara teliti setiap
aspek penyakit ini dan kemungkinan komplikasi
yang akan didapat sehubungan tindakan anestesi
yang akan dilakukan. Tujuan umum adalah
meminimalkan kerusakan saraf, mencegah dan
Daftar Pustaka
1. Feen ES, Lavery AW, Suarez JI. Management
of nontraumatic intracerebral hemorrhage.
Dalam: Suarez JI, Tarsy D, eds. Critical Care
Neurology and Neurosurgery. New Jersey:
Humana Press; 2004, 353–64.
2. Manoach S, Charchaflieh JG. Traumatic
brain injury, stroke and brain death. Dalam:
Newfield P, Cottrell J, eds. Handbook of
Neuroanesthesia, 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007, 432–44.
3. Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia
and Co-Existing Disease, 4th
edition,
Philadelphia: Churchill Livingstone; 2002,
160–1
4. Rost N, Rosand J. Intracerebral hemorrhage.
Dalam: Torbey MT, eds. Neurocritical Care.
New York: Cambridge University Press;
2010, 143–59.
5. Rincon F, Mayer SA. Review clinical review:
critical care management of spontaneous
intracerebral hemorrhage. Critical Care.
2008; 12(6):237–52.
6. Jabbour PM, Awad IA, Huddle D.
Hemorrhagic
cerebrovascular
disease.
Dalam: Layon AJ, Gabrielli A, Friedman
WA, eds. Textbook of Neurointensive Care.
Philadelphia: Saunders; 2004,155–78.
8. Dubourg J, Messerer M. State of the art
in managing nontraumatic intracerebral
hemorrhage. Neurosurg Focus. 2011;
30(6):1–7.
Penatalaksanaan Perioperatif Hipofisektomi Transsphenoidal:
Pendekatan Endoskopik Endonasal
Sandhi Christanto*), Bambang Suryono**), Tatang Bisri***), Siti Chasnak Saleh****)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mitra Keluarga Sidoarjo, **)Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, ***)Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
****)
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
*)
Abstrak
Tumor kelenjar hipofisa sering dijumpai dan mewakili kurang lebih 10% dari semua neoplasma otak yang
terdiagnosa. Meski tersedia terapi medis, pendekatan pembedahan menjadi lebih sering dilakukan. Pendekatan
transsphenoidal endonasal endoskopik dipilih karena memiliki keuntungan untuk mencapai regio sella secara cepat
dengan resiko kerusakan otak dan komplikasi pascabedah yang minimal. Pengetahuan dan keahlian dokter anestesi
tentang pembedahan endoskopik basis kranii dibutuhkan untuk memenuhi kriteria dalam menyediakan keadaan
anestesi yang aman, yang akan memainkan peran penting dalam menghasilkan luaran yang diharapkan. Seorang
wanita 25 tahun dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran pasca seksio sesarea. Pada pemeriksaan
ditemukan edema otak, dan hidrosephalus yang kemudian dilakukan pintas ventrikuloperitoneal. Pemeriksaan
lebih lanjut didapatkan massa kistik suprasellar dan pembedahan hipofisektomi transsphenoidal melalui jalur
endonasal endoskopik dipilih sebagai pendekatan surgikal. Pasien dengan kelainan hipofisa serta pendekatan
pembedahan endoskopik memberikan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Peralatan endoskopik berteknologi
tinggi, pertimbangan intraoperatif yang berhubungan dengan tehnik ini, membutuhkan pengelolaan anestesi yang
baik selama periode perioperatif, sehingga dokter anestesi dapat memberikan anestesi yang aman selama prosedur
pembedahan dan memberi kontribusi besar bagi keberhasilan dan kemajuan pembedahan endoskopik basis kranii.
Kata kunci: hipofisektomi transsphenoidal, penatalaksanaan perioperatif, tumor hipofisa
JNI 2015;4 (1): 17–27
Abstract
Perioperative Management of Transsphenoidal Hypophysectomy:
Endoscopic Endonasal Approach
Pituitary gland tumor represents 10% of all brain neoplasms. Although medical therapy is available, surgical
approach becomes commonly performed. The transsphenoidal via endoscopic endonasal is preferred because it
has advantage of rapid access to the sella region with minimal traumatic risk to the brain as well as post-operative
complications. The highly advance technology, the position of neurosurgeon when performing the surgery and
other intraoperative consideration present a unique challenge which require a thorough understanding and the skill
of anesthesia management that is tailored to the needs of safe anesthesia for this technique. A 25 years old woman
was admitted to hospital following a decreased in level of conciousness after sectio cesarea and found to have
edema cerebri and hydrocephalus. Ventricular peritoneal shunt was performed immediately. Further examination
revealed a cystic mass in suprasellar region and transsphenoidal hypophysectomy via endonasal endoscopic route
was chosen as surgical approach. Patient with pituitary disease and endoscopic method present challenges to
the anesthesiologist. High technology equipment and techniques, as well as other intraoperative considerations
mandate the skillfulness of anesthesia management throughout the perioperative periode. Those considerations
will ensure the neuroanestesiologist for a safe anesthesia and continue to make contributions to the development
of full endoscopic skull base surgery.
Key words: perioperative management, pituitary adenoma, transsphenoidal hypophysectomy
JNI 2015;4 (1): 17–27
17
18
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Tumor kelenjar hipofisa
mewakili kurang
lebih 10% dari seluruh neoplasma otak yang
terdiagnosis.1 Meskipun merupakan tumor jinak,
pasien dengan penyakit hipofisa memberikan
tantangan unik bagi dokter anestesi karena peran
penting kelenjar ini pada sistem endokrin serta
pembesarannya dapat menekan struktur-struktur
penting disekitarnya dan memberikan tanda
serta gejala klinis yang signifikan.1,2 Tantangan
bagi dokter anestesi dimulai dari persiapan
preoperatif berlanjut pada masa pembedahan
sampai ke periode pascabedah. Keberhasilan
penatalaksanaan pasien dengan tumor hipofisa
memerlukan pendekatan multi disiplin dan sangat
bergantung dari kualitas perawatan perioperatif.1
Pendekatan
surgikal
dilaksanakan
pada
kasus dimana terapi medikal dirasakan tidak
memberi hasil atau terdapat indikasi dilakukan
operasi.2 Saat ini jalur pembedahan pilihan
untuk mencapai tujuan terapi adalah melalui
pembedahan transsphenoidal, hal ini disebabkan
laju komplikasi pascabedah yang rendah dan
akses langsung ke area sella dengan lebih
mudah tanpa retraksi jaringan otak yang dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan tersebut.2
Salah satu tehnik pembedahan transsphenoidal
adalah dengan pendekatan endonasal endoskopik,
dimana pendekatan ini menjadi lebih sering
ditemui saat ini karena dihubungkan dengan
rendahnya angka komplikasi (nasal, dental,
kosmetik), serta pemulihan yang lebih cepat.3
Pendekatan endoskopik endonasal ini juga
memberikan keuntungan yang jelas dibandingkan
pendekatan tradisional sublabial transseptal
mikroskopik karena menghilangkan insisi
sublabial, diseksi mukosa septum nasi, frakturasi
septum nasi sehingga menurunkan morbiditas
pascabedah.3 Keuntungan lain yang bisa didapat
adalah alat endoskopik dapat masuk lebih dalam
ke sella tursica dan area supra sella untuk mencari
sisa tumor yang tidak dapat di akses dengan
pembedahan mikroskopik.3
Tehnik endoskopik dan penggunaan peralatan yang
bertehnologi tinggi memerlukan penatalaksanaan
anestesi yang cakap. Pertimbangan neuro-
anestesi spesifik untuk pendekatan pembedahan
endonasal bersama dengan pertimbangan umum
neuro-endokrin pasien dengan penyakit hipofisa
memerlukan penanganan yang teliti mulai periode
preoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif.
II. Kasus
Seorang wanita 25 tahun berat badan 55 kg
dengan diagnosa hidrosephalus kausa massa
kistik suprasellar. Pasien rujukan dari Madura
pasca seksio sesarea dengan preeklamsia berat
dan penurunan kesadaran. Pasien sebelumnya
dibawa ke rumah sakit Sampang karena
mengalami nyeri kepala hebat dan bertambah
gelisah. Beberapa jam setelah operasi pasien
mengalami penurunan kesadaran kemudian
dirujuk ke Surabaya. Di rumah sakit Dr. Soetomo
Surabaya didapatkan pasien dengan GCS
E3V1M4 dan CT-scan menunjukkan adanya
pendarahan intraventrikular, edema serebri yang
selanjutnya dilakukan pemasangan VP shunt.
Pemeriksaan preoperatif
Anamnesis
Keluhan nyeri kepala, mual dan muntah,
gangguan penglihatan, penglihatan ganda,
riwayat kejang. Riwayat penyakit dahulu, pasien
memiliki riwayat menstruasi yang tidak teratur,
pernah mengalami amenorrhea hingga 6 bulan,
serta 8 tahun pernikahan namun belum pernah
hamil sampai sekarang (riwayat infertil). Sejak
usia kehamilan 1 bulan sering mengeluh sakit
kepala yang dirasa makin berat dan riwayat mata
kabur sehingga sering menabrak saat berjalan.
Pasien dan keluarga tidak memiliki riwayat
perdarahan atau kecenderungan untuk berdarah,
riwayat sakit berat lainnya tidak didapatkan,
riwayat pemakaian obat-obatan sebelumnya tidak
ada termasuk obat-obatan hormonal maupun
obat yang memicu perdarahan. Pasien sedang
dalam pengobatan dengan obat dexamethasone
5 mg tiap 8 jam yang sudah berlangsung 8 hari
pemberian.
Pemeriksaaan Fisik
Status generalis:
Jalan napas bebas, laju napas 16 x/menit, suara
napas vesikular, tidak didapatkan ronki maupun
Penatalaksanaan Perioperatif Hipofisektomi Transsphenoidal:
Pendekatan Endoskopik Endonasal
19
wheezing, perfusi hangat kering merah, tekanan
darah 130/80 mmHg, laju nadi 80 x/menit teratur,
lain-lain tidak didapatkan kelainan.
Status Neurologis
GCS 4-4-6, pupil isokor 3mm/3mm refleks
cahaya +/+, pemeriksaan motorik dalam batas
normal, sensorik sulit dievaluasi, pemeriksaan
saraf kranialis tidak didapatkan kelainan
Pemeriksaan Mata
Gangguan penglihatan kesan tidak didapatkan,
pemeriksaan lapang pandang sulit dievaluasi,
gerakan bola mata kesan normal, fundus okuli
mata kanan dan kiri dalam batas normal.
Pemeriksaan Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
Hb 13,7 g%, leukosit 13.800/mm3, trombosit
320.000/mm3,
hematokrit
42,6%,
masa
prothrombin 11,9 detik (kontrol 12,9 detik),
APTT 25,3 detik (kontrol 25,2 detik), SGOT
115 U/L, SGPT 265 U/L, bilirubin direk 0,92
mg/dL, bilirubin total 1,1 mg/dL, ureum 22 mg/
dL, kreatinin 0,65 mg/dL, Natrium 136 mmol/L,
kalium 3,7 mmol/L, albumin 3,4 g/dL, kortisol
26,69 mcg/dL, prolaktin > 200 ng/mL, FT4 0,93
ng/dL, TSH 0,85 mcU/mL.
Pemeriksaan MRI didapatkan massa solid kistik
dengan komponen darah di intrasella sampai
suprasella ukuran 3,8x 3,3x 3,4 cm yang mendesak
chiasma optikum ke superior, mendesak ventrikel
tiga, tampak hidrosephalus yang berkurang
dibandingkan CT-scan sebelumnya, terpasang VP
shunt dengan ujung distal di ventrikel lateralis,
pergeseran struktur garis tengah tidak didapatkan.
Pemeriksaan MR-Angio didapatkan sirkulus
Wilisii tampak paten dan tidak tampak aneurisma
maupun malformasi vaskular.
Pada foto polos toraks dan pemeriksaan
elektrokardiografi tidak didapatkan kelainan.
Penatalaksanaan Anestesi
Premedikasi diberikan dexamethasone 5 mg
dan midazolam 2 mg intravena. Evaluasi tanda
vital prainduksi didapatkan tekanan darah
130/80 mmHg, laju nadi 80–85x/menit, laju
napas 16x/menit, saturasi oksigen 99%. Induksi
anestesi dimulai dengan pemberian fentanyl 75
Gambar 1. Gambaran Massa Solid-Kistik di
Daerah Sella
mcg pelan dilanjutkan berturut-turut propofol
70 mg, atracurium 30 mg, propofol dosis
kedua 20 mg. Intubasi dilakukan setelah dirasa
kedalaman anestesi cukup dan dipasang pipa
endotrakeal non kinking nomor 7 dengan balon.
Pipa endotrakeal diposisikan di sudut mulut kiri
difiksasi rapat dan dipasang tampon intraoral.
Selama proses induksi tekanan darah berkisar
95–120/60–80 mmHg, laju nadi antara 70–80x/
menit. Posisi pasien terlentang dan kepala sedikit
menengadah. Rumatan anestesi dilanjutkan
dengan isoflurane < 1% – O2/udara tekan medik,
propofol kontinyu 2–3 mg/kg/jam, atracurium 5
mcg/kg/menit. Pasien dipasang jalur intravena
tambahan di kaki untuk mempermudah akses
intravena serta jalur intraarteri untuk monitoring
selama operasi berlangsung. Ventilasi mekanik
diatur, moda volume control dipilih dengan
volume tidal 8 mL/kgBB, frekuensi napas 12 x/
menit, PEEP 0, FiO2 0,5. Pengaturan ventilasi
mekanik ditujukan untuk mendapatkan keadaan
normokapnea yang dapat dilihat dari pemantauan
kadar End Tidal CO2 (ETCO2 durante operasi
32–33 mmHg) dan analisa gas darah (pH 7,43,
pCO2 35 mmHg, pO2 195 mmHg, SaO2 100%).
Selama operasi berlangsung tekanan darah diatur
dan dipertahankan antara 95–100/50–60mmHg
dengan menyesuaikan dosis propofol infusi dan
penambahan obat analgesik fentanyl berkala
(total fentanyl 175 mcg). Status hemodinamik
pasien selama operasi relatif stabil namun terdapat
20
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
gejolak hemodinamik yaitu tekanan darah dan laju
nadi turun secara tiba-tiba (tekanan darah sampai
60/30 mmHg dan nadi 30x/menit irregular) saat
dilakukan pengambilan tumor secara kuretase.
Selama proses ini tekanan darah didapatkan
antara 130–140/70–80 mmHg, mengejan dan
batuk selama ekstubasi tidak didapatkan.
Gejolak hemodinamik ini berhenti saat stimulasi
pengambilan tumor dihentikan dan tanpa
pemberian obat apapun. Hal ini terjadi sampai
dua kali dan akhirnya setelah diskusi dengan
ahli bedah saraf, intensitas kuretase dikurangi
dan dilakukan dengan lebih berhati-hati maka
kejadian ini tidak terulang lagi. Menjelang akhir
operasi tekanan darah dikembalikan ke nilai
awal (±120/80 mmHg) dengan mengurangi dosis
propofol untuk membantu ahli bedah mencari
fokus perdarahan yang mungkin tidak terdeteksi
selama dilakukan kontrol hipotensi. Operasi
berlangsung 3,5 jam dengan total perdarahan
<100 mL, total pengeluaran urin 400 mL, cairan
rumatan NaCl 0,9% 1000 mL. Pasien dengan
kesadaran preoperatif yang baik, pengelolaan
jalan napas preoperatif yang tidak sulit, serta
selama operasi tidak terdapat kejadian yang
dapat menyebabkan gangguan pascabedah maka
direncanakan untuk dilakukan ekstubasi di kamar
operasi. Proses membangunkan dari anestesi
diusahakan sehalus mungkin dan meminimalkan
batuk, mengejan serta gejolak hemodinamik
berlebihan karena dapat memberikan penyulit
pascabedah yang tidak diinginkan.
Setelah pasien bernapas spontan adekuat,
dilakukan pengisapan, obat anestesi dimatikan,
pasien di ekstubasi sadar dengan sebelumnya
diberikan lidokain 1,5 mg/kgBB intravena.
Penatalaksanaan Pascabedah
Setelah selesai operasi pasien di rawat di ruang
perawatan intensif untuk dilakukan pengawasan
ketat mengantisipasi penyulit yang dapat terjadi
pada periode pascabedah. Selama perawatan
pasien di posisikan slight head up, diberikan O2
masker 5 l/menit, infus NaCl 0,9% 1500 mL/ 24
jam. Ketorolac 30 mg tiap 8 jam sebagai analgesik,
ranitidin 50 mg tiap 12 jam, dexamethasone 5 mg
tiap 8 jam serta ceftriakson 1 g tiap 12 jam. Bila
tidak terdapat keluhan seperti mual dan muntah
serta pasien sadar baik direncanakan untuk
diberikan asupan peroral. Pengawasan ketat
terhadap tanda-tanda vital, kesadaran, produksi
urin dan keluhan lain dilakukan secara terus
menerus. Setelah pasien dapat berinteraksi dan
lepas dari pengaruh anestesi, pasien ditanya dan
diperiksa tentang keluhan maupun gejala yang
mungkin timbul akibat penyulit pascabedah.
Pada pemeriksaan tidak didapatkan keluhan
nyeri kepala hebat, gangguan penglihatan dan
gangguan lapang pandang. Penglihatan ganda
tidak didapatkan, gerakan bola mata tampak
normal dan pada pemeriksaan inspeksi tidak
didapatkan cairan yang keluar dari hidung. Hasil
produksi urin 3 jam pertama didapat kurang
lebih 80 mL tiap jamnya. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan gula darah acak 96 mg/
dL, kadar natrium darah 138 mmol/L, kalium
4,0 mmol/L
Gambar 2. Grafik Monitoring Tekanan Darah dan
Nadi Intraoperatif
Hari pertama pascabedah kami dapatkan pasien
tidak merasakan adanya keluhan seperti nyeri
kepala, mual maupun muntah, jalan napas bebas,
laju napas 16-18x/menit, saturasi oksigen 99100%, perfusi hangat kering merah, tekanan
darah 110/60 mmHg, laju nadi 60–65 x/menit
teratur kuat angkat, suhu tubuh 36,5 0C. Derajat
kesadaran GCS 4–5–6, pupil isokor, reflek
cahaya normal, produksi urine 50–80 mL tiap
jamnya. Diberikan O2 nasal 2 l/menit, diet
tinggi kalori tinggi protein dan tambahan susu
100 mL diberikan tiap 6 jam, serta terapi lain
tetap. Pasien dipindahkan ke ruang intermediate
dengan tetap diawasi secara ketat. Pada hari
Penatalaksanaan Perioperatif HipofisektomiTranssphenoidal:
Pendekatan Endoskopik Endonasal
kedua kondisi tetap baik, pasien dipindahkan ke
ruangan kemudian hari ketujuh dipulangkan.
III. Pembahasan
Tumor kelenjar hipofisa dianggap sebagai
penyakit yang jarang dan mewakili kurang
lebih 10% dari semua neoplasma otak yang
terdiagnosis. Namun akhir-akhir ini tumor
hipofisa cukup sering ditemui karena terdapat
kecenderungan peningkatan angka penemuan
kasus baru. Hal ini disebabkan adanya
ketersediaan metode diagnostik neuro imaging
yang lebih akurat, serta makin banyaknya ahli
endokrin yang mampu mendiagnosis kelainan
dengan lebih baik.4,5 Meskipun terapi medis
tersedia untuk hampir semua kasus, tapi bukan
merupakan tindakan kuratif, sehingga pendekatan
surgikal dengan tujuan utama pengambilan
tumor dilakukan dengan harapan mengurangi
bahkan menghilangkan gejala yang ditimbulkan
oleh penyakit tersebut.1 Dalam prakteknya
pengambilan tumor diharapkan terjadi remisi
endokrin serta dekompresi struktur di sekitar
hipofisa yang sebelumnya mengalami penekanan
oleh pembesaran tumor tersebut.6 Fossa hipofisa
dapat dicapai dengan rute transsphenoidal,
transethmoidal atau transkranial. Pendekatan
transsphenoidal merupakan jalur pembedahan
pilihan dan menjadi prosedur yang makin sering
dilakukan.1,7 Hal ini disebabkan oleh banyaknya
keuntungan antara lain akses cepat ke regio
sella dengan resiko minimal terjadinya trauma
dan perdarahan otak, serta penyulit pascabedah
yang rendah.6 Salah satu tehnik pendekatan
transsphenoidal yang dapat digunakan adalah
melalui jalur endonasal endoskopik. Pendekatan
ini memiliki keuntungan dibandingkan dengan
pendekatan tradisional sublabial transseptal
mikroskopik sebab pada tehnik endonasal
endoskopik tidak dilakukan insisi sublabial,
diseksi mukosa septum nasi, frakturasi septum
nasi sehingga insiden morbiditas lebih rendah.4
Keuntungan lain dari tehnik endoskopik adalah
dimungkinkan alat tersebut untuk masuk lebih
jauh ke dalam sella tursica dan regio supra sella
untuk mencari sisa tumor yang tidak dapat di
akses dengan pembedahan mikroskopik.4 Tehnik
dan peralatan endoskopik yang canggih bersama
21
dengan peralatan monitoring intraoperatif
membutuhkan penatalaksanaan anestesi yang
khusus. Pertimbangan spesifik neuro-anestesi
untuk pembedahan endonasal endoskopik
perlu dipahami oleh para dokter anestesi dalam
memastikan luaran yang baik dari tehnik
pembedahan ini.2
Penatalaksanaan Perioperatif
Penilaian preoperatif merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari praktik anestesi yang
aman. Tujuan dari pemeriksaan preoperatif
adalah untuk memeriksa riwayat medis pasien
termasuk kejadian neurologis sehingga diperoleh
pengertian tentang penyakit pasien, manifestasi
sistemik yang ditimbulkan, dan obat-obatan yang
digunakan dalam terapi.
Dari pemeriksaan preoperatif kita dapat
mengetahui kondisi pasien tersebut, melakukan
optimalisasi, mempersiapkan dan merencanakan
tindakan anestesi yang sesuai dan aman untuk
pasien tersebut.8 Seperti layaknya pasien bedah
saraf lainnya penilaian preoperatif yang seksama
dan teliti dalam menilai jalan napas, penilaian
status umum dan neurologik pasien diperlukan
juga pada pasien dengan kelainan di daerah sella.9
Adenoma hipofisa memiliki keunikan tersendiri
dibanding lesi intrakranial lainnya. Peran
penting kelenjar hipofisa dalam fungsi endokrin,
menjadikan kelainan hipofisa dihubungkan
dengan gangguan-gangguan organ lain di tubuh
manusia yang merupakan akibat hiperfungsi
maupun hipofungsi kelenjar hipofisa.1,5 Kelainan
hiperfungsi paling sering dijumpai adalah
prolactine secreting adenoma, dimana gangguan
menstruasi serta riwayat infertil seperti pada kasus
ini merupakan gejala klinis yang diakibatkan oleh
kelainan hipofisa tersebut diatas.1 Hiperfungsi
adenoma juga dapat mengakibatkan pelepasan
adreno corticotropin hormon (ACTH) dan growth
hormon (GH) menimbulkan penyakit Cushing
dan akromegali yang lebih mengkhawatirkan
dibandingkan dengan prolactine secreting
adenoma.
Pada kondisi ini perlu dicari dan dievaluasi
dengan pemeriksaan preoperatif yang teliti
22
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dan menyeluruh agar persiapan dan perbaikan
dapat dilakukan demi menjamin kelancaran dan
keamanan pengelolaan pasien selama periode
perioperatif.1 Kedekatan kelenjar hipofisa
dengan banyak struktur penting disekitarnya
dapat memberikan gejala penekanan lokal yang
spesifik.7 Gangguan penglihatan dapat terjadi
akibat penekanan langsung pada chiasma optikus
atau pada pembuluh darah yang memberi
vaskularisasi daerah tersebut.7 Gangguan
pergerakan bola mata atau penglihatan ganda
dapat terjadi bila pembesaran tumor memberikan
penekanan pada syaraf kranial yang bertanggung
jawab pada pergerakan bola mata.9 Melihat
adanya gangguan diatas maka pemeriksaan
visual oleh ahli neuro-ophtalmologi sebaiknya
dilakukan terutama bila terdapat keluhan visual
atau bila makroadenoma membesar ke arah
suprasella.9
Gejala peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
seperti nyeri kepala yang disertai mual, muntah
dan papil edema sampai gangguan kesadaran
dapat juga terjadi pada pasien dengan massa di
daerah sella seperti halnya pada kasus pembesaran
massa intrakranial lainnya. Peningkatan TIK
pada tumor hipofisa dapat disebabkan oleh
karena pembesaran tumor secara langsung atau
secara tidak langsung akibat obstruksi aliran
cairan serebro-spinal (CSS) di daerah ventrikel
tiga.1 Bila terdapat peningkatan TIK, adalah
penting dilakukan tindakan yang bertujuan untuk
mengurangi TIK seperti menghindari obstruksi
aliran darah balik kranial dan penggunaan manitol
preoperatif serta menghindari hal-hal yang dapat
meningkatkan TIK selama periode perioperatif.1
Pemberian kortikosteroid tetap dilanjutkan pada
periode preoperatif dan diberikan tiap 6–8 jam
sampai 24 jam pascaoperasi untuk kemudian
dilakukan evaluasi kadar kortisol darah sebelum
pemberiannya diturunkan dan diganti dengan
sediaan oral.1,6
Management Intraoperatif
Terdapat ruang lingkup yang luas dalam tehnik
anestesi untuk pembedahan tumor hipofisa.
Seluruh prinsip dasar
neuroanestesi dapat
diterapkan dan modifikasi tehnik dasar tergantung
dari ukuran dan perluasan tumor serta pendekatan
pembedahan yang dipilih.1,7 Meskipun aliran darah
otak (ADO) regional, autoregulasi, reaktifitas
terhadap CO2 pada sebagian besar pasien tumor
hipofisa dilaporkan normal, namun pada kasus
kami didapatkan riwayat peningkatan TIK ( nyeri
kepala, penurunan kesadaran, hidrosephalus)
dan pada pemeriksaan preoperatif didapatkan
kesadaran dibawah normal (GCS 4–4–6), serta
masih adanya massa intrakranial maka tindakan
induksi-intubasi dapat dapat memicu gejolak
intrakranial yang membahayakan pasien.
Seperti pada pasien tumor supratentorial lainnya,
perlu diperhatikan beberapa hal selama tindakan
induksi- intubasi antara lain seperti kontrol jalan
napas dan pernapasan untuk mencegah hipoksia
dan hiperkapnea, kontrol tekanan darah dan
reaksi simpatis dengan mengatur kedalaman
anestesi serta pemberian analgesik yang adekuat
untuk mencegah gejolak hemodinamik dan
intrakranial, mencegah sumbatan aliran vena
kranial dengan memposisikan kepala netral dan
head up.7 Tindakan diatas akan memperbaiki
posisi pasien pada kurva tekanan-volume
intrakranial, memastikan perfusi otak adekuat
dan mencegah peningkatan TIK selama proses
intubasi berlangsung.7
Pada pembedahan endoskopik basis kranii,
seorang anestesi dihadapkan pada lingkungan
operatif yang unik. Ahli bedah saraf
menggunakan alat bertehnologi tinggi dan berada
pada posisi yang sekiranya optimal bagi dirinya.3
Namun hal ini menyebabkan dokter anestesi
memiliki akses yang kurang menguntungkan
terhadap pengelolaan jalan napas pasien.
Dalam mengantisipasi hal ini pipa endotrakeal
non kinking digunakan untuk mencegah pipa
tersebut menjadi buntu dan terlipat. Setelah
pipa endotrakeal diposisikan menjauhi area
pembedahan, perhatian khusus dalam fiksasi
dilakukan. Pemasangan tampon intraoral selain
dapat membantu fiksasi juga dapat mengurangi
pengembunan yang dapat mengganggu visualisasi
selama proses endoskopi. Jalur intravena,
intraarterial, selang napas diatur sebaik mungkin
agar tidak mengganggu proses pembedahan dan
aman bagi proses anestesia. Akses intravena
tambahan dapat dipasang di ekstremitas bawah
Penatalaksanaan Perioperatif Hipofisektomi Transsphenoidal:
Pendekatan Endoskopik Endonasal
untuk memudahkan pemberian obat dan cairan.3
Pendekatan endonasal endoskopik untuk
pembedahan tumor hipofisa meliputi tindakan
antara lain dilatasi-diseksi intranasal, manipulasi
konkha nasalis, serta frakturasi untuk mencapai
daerah sella tursica. Struktur-struktur diatas
kaya akan pembuluh darah, dan mudah terjadi
perdarahan intraoperatif yang akan berpengaruh
pada proses pembedahan dengan mengaburkan
anatomi struktur pada lapangan operasi,
mengotori lensa endoskopik, sehingga kesulitan
operasi menjadi lebih besar.3,10 Situasi demikian
akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi
antara lain kerusakan otak, orbita, saraf-saraf
penting disekitarnya dan bahkan pembuluh darah
besar yang ada di sekitar regio sella.10
23
Pertimbangan yang hati-hati pada semua faktor
yang berkaitan dengan kontrol perdarahan
dilakukan sepanjang periode perioperatif.
Pemeriksaan preoperatif sebaiknya meliputi
riwayat tendensi perdarahan dari pasien dan
keluarga, penggunaan obat-obatan anti platelet
dan antikoagulan.10 Pemeriksaan fisik tanda
perdarahan (echimosis, purpura), pemeriksaan
laboratorium (jumlah dan fungsi trombosit,
faal koagulasi) sangat membantu untuk
mengidentifikasi adanya tendensi perdarahan
dari pasien yang dapat mengganggu pelaksanaan
tindakan operasi endoskopik.10 Mediator-mediator
inflamasi menyebabkan terjadinya vasodilatasi,
transudasi dan edema di mukosa sino-nasal akan
memudahkan terjadinya perdarahan intraoperatif
sehingga pemberian kortikosteroid preoperatif
selain mencegah gangguan hemodinamik akibat
supresi hipothalamus-pituitary-adrenal axis (HPA
axis) juga menguntungkan dalam mengurangi
tendensi perdarahan karena efek anti inflamasiantiedematus yang dimilikinya.10
intraoperatif antara lain:
1. Posisi kepala: elevasi kepala dapat
menurunkan tekanan darah rerata pada
bagian yang tubuh yang lebih tinggi kurang
lebih 2 mmHg tiap 2,5 cm diatas posisi
jantung. Posisi elevasi dapat menurunkan
aliran vena balik dari ekstremitas bawah
sehingga menurunkan total kehilangan
darah serta menunjang proses hemostasis
lapangan operasi dibandingkan
dengan
posisi terlentang. Tehnik ini dilakukan secara
berlahan untuk menghindari perubahan
tekanan darah yang tiba-tiba.10
2. Tehnik ventilasi: tehnik ventilasi dengan
tercapainya keaadaan normokapnea atau
hipokapnea ringan dianjurkan untuk
meminimalkan perdarahan serta optimalisasi
lapangan operasi.10 Seperti yang kita ketahui,
hiperkapnea menghasilkan vasodilatasi
dan peningkatan ADO yang menyebabkan
perdarahan menjadi lebih banyak.10
3. Tehnik anestesi: Hipotensi terkontrol dengan
obat anestesi inhalasi akan menurunkan
tekanan darah arteri melalui vasodilatasi
perifer yang disebabkan blokade receptor
alfa.3 Namun konsentrasi obat anestesi
inhalasi yang tinggi dapat meningkatkan
ADO, meningkatkan TIK dan mengganggu
otoregulasi serebral.10 Tehnik balans
narkotik-anestesi inhalasi dengan suplemen
infus propofol banyak dianjurkan untuk
menurunkan kebutuhan anestetika inhalasi
serta menghindari efek samping yang dapat
ditimbulkan.3,10
4. Obat anti hipertensi: obat anti hipertensi
seperti labetalol, esmolol merupakan terapi
lanjutan bila ketiga tehnik diatas tidak bekerja
secara maksimal dalam mengendalikan
tekanan darah.3,10
Pengendalian perdarahan intraoperatif juga dapat
dilakukan oleh dokter anestesi dengan mengatur
tekanan darah dalam lingkup batas bawah dari
nilai normalnya yang sering dikenal dengan
tehnik hipotensi terkontrol, namun tehnik ini
cukup memberikan tantangan karena pembedahan
endonasal menimbulkan respon simpatetik yang
kuat.3 Beberapa modalitas yang dapat digunakan
untuk memfasilitasi pengendalian perdarahan
Hal terpenting dalam melakukan tehnik hipotensi
terkontrol adalah memastikan perfusi organorgan penting tetap terjaga serta menghindari
efek toksik dari obat yang digunakan.11 Dalam
menjaga perfusi selama tekanan darah yang relatif
rendah, harus dijaga tekanan pengisian jantung
(cardiac filling pressure) dan aliran balik jantung
(venous return) tetap adekuat. Derajat hipotensi
yang aman bervariasi tergantung riwayat klinis
24
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
pasien, namun pada umumnya MAP antara 65–
70 mmHg dapat ditoleransi dengan baik karena
diyakini dapat mencegah terjadinya hipoperfusi
pada organ-organ penting.10,11
Pengawasan tekanan darah intraarterial,
pengawasan produksi urine intraoperatif,
serta parameter dasar lainnya diperlukan
untuk pengawasan adekuasi dari perfusi organ
penting selama periode operasi.10,11 Pemberian
topikal vasokonstriktor oleh ahli bedah saraf
selain dapat melebarkan rongga hidung juga
dapat meminimalkan perdarahan intraoperatif.
Namun pengawasan status hemodinamik selama
pemberian perlu dilakukan karena obat-obatan
tersebut dapat memberikan efek samping berupa
gejolak hemodinamik.10 Meskipun pendekatan
endonasal endoskopik merupakan prosedur
minimal invasif dan lebih tidak traumatis
namun dihubungkan dengan stimulasi nyeri
yang hebat baik pada saat fase nasal, sphenoidal
maupun fase sellar.3,12 Besarnya stimulasi ini
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah
arterial yang tiba-tiba dan menyebabkan usaha
pengendalian perdarahan serta peningkatan
kualitas lapangan operasi menjadi lebih sulit.12
Dalam mengendalikan nyeri operasi tersebut
diperlukan kedalaman anestesi yang adekuat
serta dosis obat analgesik yang cukup. Pada
kasus kami hemodinamik relatif stabil meskipun
terdapat beberapa lonjakan hemodinamik
melebihi target yang diharapkan namun setelah
dilakukan penyesuaian dosis obat anestesi dan
penambahan fentanyl hal tersebut dapat diatasi.
Pada beberapa kasus lain tindakan seperti diatas
kadang tidak cukup dalam mengendalikan status
hemodinamik sehingga diperlukan penambahan
obat anti hipertensi seperti labetalol dan esmolol.12
Penggunaan dexmedetomidine sebagai adjuvan
obat anestesi atau melakukan blok ganglion
sphenopalatina dalam pengendalian nyeri operasi
juga banyak dijumpai di penelitian-penelitian
yang lain.3,12,13
Pada saat pengambilan tumor hipofisa dengan
cara kuretase, terjadi perubahan mendadak dari
status hemodinamik berupa bradikardia, aritmia,
dan hipotensi. Perubahan ini menunjukkan
dugaan terjadinya refleks trigeminal kardiak
trigeminal cardiac reflex/TCR yang dipicu oleh
stimulasi pembedahan. Perubahan tersebut
terjadi beberapa kali saat kuretase dari adenoma
dan hilang ketika stimulasi dihentikan. Setelah
komunikasi dengan ahli bedah dilakukan,
intensitas kuretase dikurangi maka TCR ini tidak
muncul lagi sampai akhir operasi.
Refleks trigeminal kardiak didefinisikan sebagai
refleks kardiak yang dipicu oleh stimulasi saraf
trigeminal dan cabang-cabangnya dimana
saja sepanjang perjalanannya dengan reaksi
klinis berupa bradikardi, hipotensi (penurunan
lebih dari 20% nilai basal), apnea dan gastrik
hipermotilitas.14,15 Refleks trigeminal kardiak
perifer sudah dikenal sejak awal abad ke 20 dalam
bentuk refleks okulo-kardiak akibat stimulasi
divisi ophthalmik saraf trigeminal, namun istilah
sentral TCR sebagai akibat stimulasi bagian
intrakranial baru diperkenalkan oleh Schaller
tahun 1999.14,15 Mekanisme yang mendasari
sentral TCR saat ini masih belum sepenuhnya
dimengerti, namun diduga sama seperti reflek
okulo-kardiak yang telah lama diketahui jauh
sebelumnya.15 Dengan minimnya pengetahuan
fisiologi dari sentral TCR, pengenalan faktor
resiko yang diduga berhubungan dengan TCR
menjadi sangat penting. Faktor resiko yang saat
ini sudah diketahui antara lain hiperkapnea,
hipoksia, anestesi dangkal, sifat dari stimulus
pembedahan (kekuatan dan lama stimulus).15
Insidens TCR pada pembedahan basis kranii
mencapai 8–18%.16 Schaller meneliti 117 pasien
yang dilakukan transsphenoidal hipofisektomi
untuk mencari penyebab timbulnya TCR. Pada
penelitian tersebut didapatkan respon penurunan
laju nadi dan tekanan darah saat reseksi tumor
bagian lateral dekat sinus kavernosus, sehingga
disimpulkan bahwa TCR terpicu oleh struktur
yang melewati sinus tersebut (cabang 1 dan 2 dari
saraf trigeminal).14 Banyak penulis mengatakan
bahwa TCR adalah respon sementara yang
hilang dengan dihentikannya stimulus yang
dikenakan, namun bentuk yang berat dari TCR
(bradikardia hebat, asistol) dapat membahayakan
jiwa dan membutuhkan pemberian obat-obatan
vagolitik untuk menghentikan reflek tersebut.14,15
Penatalaksanaan TCR dapat diklasifikasikan
Penatalaksanaan Perioperatif Hipofisektomi Transsphenoidal:
Pendekatan Endoskopik Endonasal
sebagai berikut:15 identifikasi faktor resiko,
pengawasan ketat parameter kardiovaskular
selama prosedur pembedahan, bila TCR
terjadi maka tindakan yang dilakukan adalah
menghentikan manipulasi pembedahan dan
pemberian obat-obatan vagolitik atau adrenalin
bila tidak hilang saat stimulus dihentikan atau
terjadi bentuk yang berat dari TCR.
Kaitan TCR dengan kasus yang kami kerjakan,
faktor resiko hiperkapnea dan hipoksia
sepertinya bukan merupakan penyebab karena
selama periode intraoperatif tidak ditemukan
terjadinya tanda-tanda tersebut diatas. Demikian
pula keadaan anestesi yang dangkal tidak
terjadi karena pengendalian tekanan darah yang
dikerjakan membutuhkan kedalaman anestesi
yang adekuat. Hal yang mungkin menjadi
penyebab adalah intensitas stimulus pembedahan
serta lokasi dimana kuretase sedang dilakukan.
Komunikasi dengan ahli bedah saraf untuk
lebih berhati-hati dan mengurangi intensitas
kuretase dari tumor ternyata cukup membantu
dalam pengelolaan TCR pada kasus kami tanpa
dilakukan pemberian obat-obatan vagolitik.
Menjelang akhir pembedahan, ahli bedah saraf
akan melakukan evaluasi lapangan operasi untuk
melihat adanya sumber perdarahan, dalam hal
ini tekanan darah pasien dapat dikembalikan
ke lingkup harga normal (sistolik 110–130
mmHg) dengan demikian titik perdarahan dapat
diidentifikasi dan pengelolaan perdarahan dapat
dilakukan secara optimal.3 Terkadang ahli bedah
juga meminta untuk dilakukan manuver valsava
dengan meningkatkan tekanan intratorakal
sampai 30-40mmHg yang memungkinkan
untuk mendeteksi adanya kebocoran cairan
serebrospinal
(CSS)
persisten.3
Smooth
emergence dari anestesia merupakan hal yang
sangat penting karena mengejan hebat saat
masih terintubasi serta batuk yang berlebihan
saat ekstubasi dapat menyebabkan perdarahan
pada tempat pembedahan serta terlepasnya graft
lemak yang sebelumnya terpasang.3 Semua hal
yang disebutkan diatas dapat memicu terjadinya
komplikasi lanjutan seperti infeksi pascabedah
dan kebocoran permanen dari CSS.3 Penggunaan
lidokain 1,5 mg/kgBB dapat menekan respon
batuk dan mencegah gejolak hemodinamik saat
25
pasien mulai bangun dan dilakukan ekstubasi.17
Pendekatan lain untuk memastikan smooth
emergence adalah memastikan pernapasan
spontan adekuat saat pasien masih terintubasi
dan teranestesi, dilakukan penghisapan intra
oral sampai bersih kemudian pasien dilakukan
ekstubasi dalam keadaan anestesi yang dalam.
Dengan tehnik ini pasien dapat bangun tanpa
adanya stimulasi yang disebabkan oleh pipa
endotrakeal.3
Penanganan Pascabedah
Salah satu fokus penanganan pascabedah adalah
kewaspadaan dan pengawasan ketat terhadap
terjadinya abnormalitas neuroendokrin termasuk
disini antara lain gangguan keseimbangan cairan,
diabetes insipidus (DI), Syndrome Inappropriate
Anti Diuretic Hormon (SIADH).1 Reseksi hipofisa
dengan pendekatan transsphenoidal sangat jarang
mengakibatkan DI permanen, namun DI temporer
sebagai akibat manipulasi dan edema stalk
pituitary dapat muncul pada hari pertama sampai
hari ketiga pascaoperasi.7 Karena sebagian besar
pasien pascabedah transsphenoidal adalah sadar
baik dan alert, maka mekanisme rasa haus
yang dimiliki masih intak serta akses masukan
cairan peroral yang tidak terganggu sehingga
defisit cairan pascabedah, hiperosmolaritas,
dan hipernatremia berat jarang terjadi.1
Gejala yang menimbulkan kecurigaan akan
terjadinya DI antara lain poliuria (>3mL/kgBB/
jam), urin hipotonis (berat jenis urine <1,005),
dan hipernatremia (>145 mmol/L), sehingga
pengeluaran urin dan berat jenisnya harus diawasi
secara ketat selama periode pascabedah.5 SIADH
dilaporkan terjadi pada 9–25% kasus pada pasien
yang menjalani pembedahan transsphenoidal.5
Manifestasi klinis biasanya muncul seminggu
setelah operasi dan dikenali bila didapatkan
pasien dengan produksi urine yang menurun
dengan status hidrasi yang normal (sedikit
hipervolemia) serta fungsi ginjal yang normal,
kadar natrium serum yang rendah (<135 mmol/L),
serum osmolalitas yang rendah (<280 mOsm/L).5
Gangguan cairan dan elektrolit lain yang dapat
terjadi adalah cerebral salt wasting (CSW).
CSW sangat jarang terjadi pada pembedahan
transsphenoidal dan harus dibedakan dari SIADH.
Sindroma ini ditandai dengan adanya peningkatan
26
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
produksi urin, hipovolemia, hiponatremia pada
pasien dengan lesi serebral.5 Penatalaksanaan
gangguan ini adalah mengganti cairan dan natrium
yang hilang. Dari keterangan diatas pengawasan
ketat dari produksi urin serta kadar elektrolit serum
sangat penting untuk menghindari terjadinya
penyulit selama periode pascabedah hipofisa.5
yang diberikan preoperatif diteruskan sampai
beberapa hari pascabedah
kemudian dosis
diturunkan sampai nanti diganti dengan dosis
oral 20 mg pagi hari dan 10 mg sore hari, namun
demikian penggantian sebaiknya didasari oleh
kadar kortisol plasma saat jam 08.00 pagi yang
diukur pada hari pertama sampai ketiga.5
Disfungsi saraf kranial dan kebocoran cairan
serebrospinal
Pada awal periode pascabedah pasien harus
menjalani pemeriksaan fisik terutama untuk
menilai fungsi saraf kranial yang berhubungan
dengan pembedahan antara lain pemeriksaan
ketajaman penglihatan, pergerakan bola mata
dan ada atau tidaknya penglihatan ganda.1,5
Kedekatan beberapa saraf kranialis (saraf
kranialis II sampai VI) dengan kelenjar hipofisa
dapat menyebabkan terjadinya penyulit yang
sangat ditakuti.5 Adanya penemuan gangguan
neurologis baru setelah pembedahan menjadi
indikasi untuk dilakukan pemeriksaan CT scan
atau MRI bahkan dapat dilakukan reeksplorasi
di kamar operasi terutama pada kasus dengan
defisit penglihatan atau lapangan penglihatan.1,5
Pasien juga ditanya tentang adanya rhinorrhea
atau keluarnya cairan melalui hidung sebagai
bukti adanya kebocoran CSS. Bila kebocoran
CSS terjadi terus menerus dan terlihat bila
pasien menunduk serta berhubungan dengan
nyeri kepala maka diperlukan penyelidikan lebih
lanjut. Cairan dikumpulkan untuk pemeriksaan
laboratorium dan bila terbukti tejadi kebocoran
maka terapi terbaik adalah melakukan tindakan
operatif untuk menutup defek.1,5
Keluhan tersering yang diungkap oleh pasien
setelah pembedahan transsphenoidal adalah nyeri
kepala. Keluhan ini dapat diobati dengan NSAID
seperti ketorolac atau parasetamol.1 Narkotik
dapat diberikan namun dengan penuh kehatihatian terutama pada pasien dengan riwayat
obtructive sleep apnea.1 Mual dan muntah juga
merupakan penyulit pascabedah yang cukup
sering terjadi sehingga profilaksis farmakologis
seperti pemberian golongan ondansentron
merupakan tindakan yang bijaksana.1 Pendekatan
permasalahan endokrin periode pascabedah
dilakukan secara tim yang terdiri dari ahli bedah,
ahli anestesi, dan ahli endokrin.5 Kortikosteroid
IV. Simpulan
Pasien dengan tumor hipofisa memerlukan
pendekatan yang kompleks dan membutuhkan
koordinasi antara ahli bedah, ahli anestesi, dan
ahli endokrin. Penatalaksanaan perioperatif yang
optimal tergantung dari pengertian mendalam
dari penyakit tersebut, pengetahuan tentang
proses pembedahan hipofisa, pengertian tentang
potensi komplikasi yang dapat terjadi beserta
penanganannya.
Dengan
makin
maraknya
pembedahan
endoskopik basis kranii beserta kemajuan lain
yang menyertainya maka penatalaksanaan
neuroanestesi harus disesuaikan dengan
kebutuhan pembedahan tersebut. Pengetahuan
dan tindakan anestesi yang berhubungan dengan
pembedahan endoskopik dapat menjadikan
dokter anestesi terus memberi kontribusi yang
besar dalam kemajuan penanganan penyakit
yang menggunakan tehnik endoskopik.
Daftar Pustaka
1. Nemergut EC, Dumont AS, Barry UT, Laws
ER. Perioperative management of patients
undergoing transsphenoidal pituitary surgery.
Anesth Analg 2005;101:1170–81.
2. Uygur ER, Levent G, Saka C, Belen D,
Yigitkanli K, Simsek S, et.al. Sublabial
transseptal approach to pituitary adenomas
with special emphasis onn rhinological
complications. Turkish Neurosurgery 2008;
18(4): 425–30.
3. Kabil M, Shahinian HK. Anesthetic
considerations
in
endoscopic
skull
base surgery. Dalam: Shahinian HK,
eds. Endoscopic skull base surgery a
Penatalaksanaan Perioperatif Hipofisektomi Transsphenoidal:
Pendekatan Endoskopik Endonasal
comprehensive guide with illustrative cases.
Tontowa: Humana press; 2008, 5–9.
4. Santos ARL, Neto RM, Veiga JC, Viana J,
Scaliassi NM, Lancellotti CL. Endoscopic
endonasal transsphenoidal approach for
pituitary adenomas. Arq Neuropsiquiatr
2010;68(4):608–12.
5. Horvat A, Kolak J, Gopcevic A, Ilej
M, Gnjidic Z. Anesthetic management
undergoing pituitary surgery. Acta Clin Croat
2011; 50:209–16.
6. Smith M, Hirsch NP. Pituitary disease and
anesthesia. Br. J. Anesth.2000; 85(1):3–14.
7. Matjasko MJ. Anesthetic consideration in
patients with neuroendocrine disease. Dalam:
Cotrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and
Neurosurgery. Misouri: Mosby; 2001, 591–
609.
8. Sivanaser V, Manninen P. Preoperative
assessment of adult patients for intracranial
surgery. Anesthesiology Research and
Practice 2010;10
9. Zada G, Woodmansee WW, Iuliano S, Laws
ER. Perioperative management of patients
undergoing transsphenoidal pituitary surgery.
Asian Journal of Neurosurgery 2010; 5: 1–6.
10. Thongrong C, Kasemsiri P, Carrau RI, Bergese
SD. Control of bleeding in endoscopic skull
base surgery. Current concepts to improve
27
hemostasis. ISRN Surgery 2013;10.
11. Marshall WK, Mostrom JL. Neurosurgical
diseases of the spine and spinal cord:
anesthetic considerations. Dalam: Cotrell JE,
Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery.
Misouri: Mosby; 2001, 557–90.
12. Ali AR, Sakr SA, Rahman AS. Bilateral
sphenopalatine ganglion block as adjuvant
to general anaesthesia during endoscopic
trans-nasal resection of pituitary adenoma.
Egyptian Journal of Anaesthesia 2010; 26:
273–80.
13. Brady T. Anesthetic management of pituitary
tumor resection with dexmedetomidine.
AANA Journal. 2010; 78(2).
14. Abdulazim A, Stienen MN, Eshkevari PS,
Prochnow N, Sandu N, Bohluli B, et al.
Trigeminocardiac reflex in neurosurgery.
Current knowledge and prospects, viewed 23
October 2014, http://www.intechopen.com.
15. Arasho B, Sandu N, Spiriev T, Prabhakar
H, Schaller B. Management of the
trigeminocardiac reflex. Facts and own
experience. Neurology India. 2009; 57(4):
375–80.
16. Amirjamsidhi A, Abbasioun K, Etezadi F,
Ghasemi SB. Trigeminocardiac reflex in
neurosurgical practice. Surgical Neurology
International. 2013;4:126.
Penanganan Anestesi pada Operasi Olfactory Groove Meningioma
Silmi Adriman*), Dewi Yulianti Bisri**), Sri Rahardjo***), A. Himendra Wargahadibrta**)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, **)Departemen
Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–Rumah
Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta
*)
Abstrak
Angka kejadian Olfactory Groove Meningioma adalah 10–15% dari total meningioma yang terjadi di intrakranial,
dimana tumor ini berasal dari basis cranii anterior. Manifestasi klinis berupa penurunan penciuman akibat
terjepitnya saraf olfaktori dan apabila tumor cukup besar dan menekan saraf optikus, pasien akan mengalami
penurunan penglihatan, bahkan buta. Pada kasus ini dilaporkan seorang wanita berusia 38 tahun, GCS 15
dengan diagnosis olfactory groove meningioma akan dilakukan operasi kraniotomi untuk pengangkatan tumor.
Pasien datang dengan keluhan tidak bisa melihat dan tidak bisa mencium bebauan. Hasil CT Scan menunjukkan
gambaran hiperdens berbentuk enhancing lesion pada regio frontal. Pasien dilakukan tindakan anestesi umum
dengan intubasi. Induksi dengan propofol, fentanyl, lidokain dan vecuronium. Pengelolaan cairan perioperatif
dengan ringerfundin, manitol dan furosemid. Pembedahan dilakukan selama 6 jam. Pasca bedah, pasien dirawat di
Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ ICU) selama 2 hari sebelum pindah ruangan.
Kata Kunci: Olfactory groove meningioma, tumor supratentorial
JNI 2015;4 (1): 28–33
Anesthesia Management for Olfactory Groove Meningioma Removal
Abstract
Olfactory Groove Meningioma, a type of meningioma is primarily derived from anterior cranial base,
manifest in approximatelly 10-15% of meningioma cases. Clinical manifestations include smelling disorder
and blurred vision or even cause blindness due to compression of the tumor to the optic nerve. This case
reported a 38 years old woman with GCS 15 and diagnosed with olfactory groove meningioma, planned for
a craniotomy tumor removal under general anesthesia. She was admitted to hospital due to blurred vision
and smelling disorder. Computed Tomography (CT) scan showed a enhancing lesion in the frontal region.
Induction of anesthesia was done using propofol, fentanyl, lidocaine and vecuronium. Ringerfundin,
manitol and furosemide were used for perioperative fluid management. The surgery was conducted for 6
hours. Patient was managed in the Intensive Care Unit post operatively for 2 days prior to ward transfer
Key words: Olfactory groove meningioma, supratentorial tumor
JNI 2015;4 (1): 28–33
28
Penanganan Anestesi pada Operasi Olfactory Groove Meningioma
I. Pendahuluan
Tumor intrakranial terdiri dari tumor supratentorial
dan infratentorial dimana pembatasnya adalah
tentorium. Salah satu jenis tumor supratentorial
adalah meningioma.1 Salah satu jenis tumor
meningioma
adalah
Olfactory
Groove
Meningioma (OGM) yang berasal dari garis
tengah fossa anterior pada dasar crimbiformis
di etmoidalis.2 Olfactory Groove Meningioma
termasuk 10–15% dari semua meningioma
intrakranial. Olfactory Groove Meningioma
tumbuh secara perlahan, sering bilateral
daripada unilateral, bersifat asimetris dan dapat
mengkompresi lobus frontal secara progresif.1
Olfactory Groove Meningioma dapat mengenai
sella dan jika ukurannya cukup besar dapat
mempengaruhi penglihatan dengan cara menekan
saraf optik dan asma optikum. Manifestasi klinis
lain berupa sakit kepala disertai dengan anosmia
dan perubahan kepribadian.3 Masalah psikiatri
bahkan dapat muncul secara berkepanjangan
sebelum terjadi defisit neurologis. Kejang,
hemiparese dan afasia juga dapat terjadi pasien
dengan OGM.4
Olfactory groove meningioma biasanya terkait
erat dengan tumor sellae tuberculum, tetapi
manifestasi klinis dan outcome pembedahannnya
berbeda. Hal ini berkaitan dengan Chiasma
optikum, tumor
tuberculum
sellae dapat
menunjukkan gejala klinis dini. Defisit visual
dapat terjadi bahkan jika tumorrnya kecil.5
Olfactory groove meningioma merupakan salah
satu tumor intrakranial yang terbesar yang bisa
kita lihat. Brain computer tomography (CT) scan
dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat
menunjukkan lokasi meningioma di pertengahan
subfrontal, sejauh mana tumor dan edema otak
yang terjadi disekitarnya. Magnetic Resonance
Imaging juga dapat mendefinisikan hubungan
tumor dengan saraf optik dan arteri serebral
anterior, serta ekstensi ke dalam sinus etmoidalis.
Reseksi bedah merupakan pilihan pengobatan
untuk kebanyakan OGM, tetapi ukuran tumor,
vaskularisasi, struktur saraf yang terganggu dan
invasi tumor ke dalam paranasal meningkatkan
resiko pada saat pembedahan.2 Pengelolaaan
anestesi pada kasus tumor supratentorial disini
29
adalah menghindari terjadinya cedera otak
sekunder dengan cara pengelolaan intrakanial
dengan mencegah terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial, mencegah terjadinya kejang,
vasospasme pembuluh darah, dan herniasi.
Pada sistemik mencegah terjadinya hiperkapni,
hipoksemi, hipotensi, hipertensi,hipoglikemi,
hiperglikemi, hiposmolaliti, menggigil dan
hipertermi. Oleh karena itu dokter anestesi perlu
mengerti patofisiologi tekanan intrakranial,
perfusi cerebral dan CMRO2, sehingga dapat
mengurangi terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial, otak yang bengkak dan tegang
selama periode perioperatif.6
II. Kasus
Anamnesa
Perempuan, 38 tahun datang ke Poliklinik
Bedah Saraf dengan keluhan tidak bisa melihat
pada kedua mata sejak 8 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Awalnya pasien merasa kabur dan
mengalami penurunan penglihatan dan makin
lama pasien tidak bisa melihat sama sekali dalam
3 bulan ini. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala
dan tidak bisa mencium bebauan atau wewangian
yang ada di sekitarnya. Selama nyeri kepala dan
keluhan tidak bisa melihat tersebur, pasien sering
marah-marah yang tidak semestinya, perilaku
pasien juga cenderung berubah semenjak keluhan
tersebut muncul.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan didapatkan GCS 15,
hemodinamik stabil, pupil isokor dan diameter
normal di kedua mata, visus tidak dinilai, tidak
dijumpai kelemahan anggota gerak atas maupun
bawah.
Pemeliharaan Laboratorium
Hasil
dari
pemeriksaan
laboratorium
menunjukkan Hb 14,6 gr/dl; Ht 34%; Leukosit
14.300/ul; Trombosit 477.000 /ul; LED 65 mm/
jam; CT/BT 7’/2’; Ureum/ Kreatinin 21/0,8 mg/
dl; Asam urat 7,5 mg/dl; Gula Darah Acak 155
mg/dl; Na/K/Cl 141/4,3/105 meq/L.
Hasil CT-Scan menunjukkan terlihat gambaran
hiperdens homogen berbentuk enhancing
30
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
jam dengan total perdarahan 500 cc.
Gambar 1. CT-scan Kepala Kontras Potongan
Axial sebelum Operasi
lesion pada regio frontal yang dicurigai massa
seperti olfactory groove meningioma. Pasien ini
dilakukan kraniotomi untuk pengangkatan massa.
Berikut hasil CT-Scan sebelum operasi
Pengelolaan Anestesi
Pasien dilakukan induksi dengan pemberian
fentanyl 150 ug titrasi, lidokain 60 mg, propofol
90 mg titrasi dan vecuronium 4,5 mg. Satu
menit sebelum tindakan intubasi diberikan
tambahan propofol 30 mg. Intubasi dilakukan
dengan menggunakan laringoskope Macintosh
dengan pipa endotrakheal non kinking nomor
7, kedalaman 18 cm pada tepi bibir. Untuk
pemeliharaan anastesi diberikan sevoflurane
dengan udara dan O2 (50:50), fentanyl kontinyu
1–2 µg/Kg/jam dan vecuronium kontinyu 0,06
mg/KgBB/jam. Pengelolaan cairan selama
tindakan digunakan cairan ringerfundin dan
diuretik (manitol dan furosemid). Pemantauan
selama operasi dilakukan evaluasi terhadap
tekanan darah sistolik, diastolik, end tital CO2,
saturasi oksigen, gelombang EKG, pemasangan
stetoskop prekordial, produksi urin melalui
kateter urin dan insersi pipa nasogastrik.
Pembedahan dilakukan dengan pendekatan
subfrontal. Saat periosteum dibuka duramater
tampak slack brain, dilakukan eksisi tumor
dengan bantuan miroskop. Dilakukan penutupan
durameter, kulit tutup lapis demi lapis dengan
meninggalkan sebuah vacum drainage setelah
operasi selesai. Pembedahan dilakukan selama 6
Pascabedah
Pascabedah, pasien dirawat di Unit Perawatan
Intensif (Intensive Care Unit/ ICU) selama 2 hari
sebelum pindah ruangan. Hari pertama di ICU,
pasien masuk pukul 20.00 dan dalam kontrol
ventilator (pressure control, FiO 40 %, RR 12
x/menit, P-inspirasi 14, PEEP 3, Vt 270–320 cc,
Sat 99%) selama 6 jam dan dilakukan weaning
bertahap serta eksubasi pukul 09.00 keesokan
hari. Selama di ICU pasien mendapatkan
sedasi fentanyl 25 µg/jam. Satu jam sebelum
ekstubasi fentanyl dihentikan. Terapi lain di
ICU adalah cefriaxone, ranitidin, deksametason,
metoclopramide, mannitol, asam traneksamat,
metamizole, Phenobarbital dan vitamin C.
Pemeriksaan laboratorium pascabedah di ICU
didapatkan Hb 11,6 gr/dl; Ht 35,4%; Leukosit
21.160 /ul; Trombosit 334.000 /ul; Ureum/
Gambar 2. Hasil CT-scan Non Kontras setelah
Dilakukan Operasi
Kreatinin 15,5/0,63 mg/dl; Gula darah acak
163 mg/dl; Na/K/Cl 136/3,34/113 meq/L. Hari
kedua di ICU, pasien bernapas spontan, kondisi
haemodinamik stabil, status neurologis tidak ada
penurunan, pasien dipindahkan ke ruangan.
III. Pembahasan
Olfactory groove meningioma yang disajikan
dalam laporan kasus ini adalah penyakit yang
Penanganan Anestesi pada Operasi Olfactory Groove Meningioma
langka dan terjadi sekitar 10% dari semua jenis
meningioma. Olfactory groove meningioma
berasal dari basis kranii anterior, umumnya
di tulang ethmoid, planum sphenoidale atau
frontospenoidal. Olfactory groove meningioma
menerima suplai dari pembuluh darah arteri
ethmoidal anterior dan posterior. Bagian terlemah
dari dasar tengkorak membuatnya rentan terhadap
infiltrasi tulang yang mendasarinya. Hal ini juga
dapat membuat tumor meluas ke sinus paranasal
dan rongga hidung, menekan saraf penciuman
di bagian lateral dan posterior kiasma optikus.
Penekanan pada lobus frontal juga menimbulkan
perubahan dalam fungsi kognitif dan perilaku
pasien.2,4 Tumor ini tumbuh secara lambat
sehingga gejala biasanya baru muncul jika ukuran
tumor sudah besar dan mengkompresi jaringan
otak. Jika tumor dapat diakses, pengobatan
dilakukan dengan pembedahan pengangkatan
tumor. Terapi radiasi atau radiosurgery bisa
dilakukan jika ada tumor yang tersisa atau jika
operasi tidak memungkinkan.2
31
50–150 mmHg, karena jika MAP kurang dari
dari 50 mmHg maka dapat menyebabkan iskemi
serebral dan jika MAP lebih dari 150 mmHg akan
menyebabkan perdarahan dan edema serebral.
Stimulasi simpatis dan parasimpatis harus dicegah
karena dapat menyebabkan perubahan aliran
darah otak dan mengeser kurva autoregulasi.
Pada operasi tumor otak pemberian kadar oksigen
tinggi dengan PaO2 >200 mmHg harus dihindari
karena dapat terjadi vasokontriksi serebral
dan menyebabkan iskemi jaringan otak. Taget
PaO2 antara 100 sampai 200. mmHg.15 Target
PaCO2 25–30 mmHg untuk menurunkan aliran
darah otak, tekanan PaCO2 dibawah 20 mmHg
harus dihindari karena dapat menyebabkan
vasokontriksi dan iskemi jaringan otak. Bila
Hematokrit meningkat di atas nilai normal, aliran
darah otak akan menurun karena ada peningkatan
viskositas darah. Hipotermi memperlambat
metabolisme serebral sehingga dapat menurukan
aliran darah ke otak.15
Prosedur operasi untuk pengangkatan tumor
intrakranial seperti ini membutuhkan teknik
anestesi yang khusus. Seorang ahli anestesi
dituntut untuk dapat melakukan induksi yang
baik dan memonitor kondisi pasien selama
operasi untuk mencegah terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial. Peningkatan intrakranial
dapat menyebabkan perubahan sistemik seperti
hipertensi dan perubahan irama jantung, serta
dapat menyebabkan spasme arteri serebral dan
berujung pada serebral iskemi dan serebral
infark.6 Tugas anastesi pada kasus ini selain
memberikan fasilitas untuk tindakan pembedahan
juga harus mampu mengendalikan tekanan
intrakranial, volum otak dan melindungi jaringan
saraf dari iskemi dan mengurangi perdarahan
selama pembedahan. Maka perlu dilakukan
berbagai tindakan dan pemberian obat untuk
mengendalikan tekanan intrakranial, serta
melakukan proteksi otak.15
Kasus ini menggunakan kombinasi propofol dan
fentanyl sebagai induksi. Propofol pertama kali
dikenalkan sebagai obat anestesi intravena pada
tahun 1977 oleh Kay dan Rolly.7 Propofol telah
menjadi obat pilihan selama kraniotomi. Propofol
secara signifikan menurunkan aliran darah
otak (sebanyak 30%) dan tekanan intrakranial,
menurunkan metabolisme otak (CMRO2 sebanyak
30%) dan meningkatkan tekanan perfusi serebral
pada pasien yang menjalani kraniotomi untuk
tumor otak.6,8 Selain itu, propofol juga memiliki
efek neuroprotektif. Mekanisme neuroprotektif
mencakup penurunan metabolisme otak,
aktivitas antioksidan, aktivasi reseptor gammaaminobutyric acid (GABA), mencegah kerusakan
mitokondria dan interaksinya dengan sistem
endocannabinoid.9 Selain itu, pemberian fentanyl
yang dikombinasikan dengan propofol juga dapat
mengurangi respon stres selama intubasi dan
mempercepat proses pemulihan setelah tindakan
pembedahan selesai dilakukan.7
Untuk mencegah terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial ada beberapa hal yang harus
diperhatikan yaitu autoregulasi, PaCO2, PaO2,
simpatis-parasimpatis, hematokrit dan temperatur.
Autoregulasi dipertahankan konstan pada MAP
Pada kasus ini, sevoflurane digunakan sebagai
anestesi inhalasi yang menggunakan air dan
O2 dengan perbandingan 50:50. Sevoflurane
dipilih karena memiliki kelarutan dalam darah
yang cepat (0.63) serta uptake dan eliminasi
32
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
yang cepat. Selain memiliki efek vasodilatasi
pembuluh darah yang paling rendah (jika
dibandingkan
dengan
isoflurane,
ethran
dan halothan), sevoflurane juga memiliki
efek neuroprotektif berupa antinekrotik dan
antiapoptosis. Efek neuroprotektif ini dimediasi
oleh mitochondrial KATP channel (mitoKATP)
yang mengganggu mekanisme kematian
neuronal.6,10 Sebelum intubasi dilakukan, pasien
juga diberikan lidokain secara intravena dengan
dosis 1–1,5 mg/ kgBB.6 Lidokain merupakan
salah satu anestesi lokal yang bekerja dengan
cara memblokir saluran Na, menghambat influks
Na dan mengurangi cedera pascatraumatik.
Lidokain diberikan untuk mencegah terjadinya
gejolak hemodinamik; menghambat kenaikan
tekanan darah dan frekuensi nadi, serta mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial saat
intubasi dilakukan. Lidokain yang diberikan
dalam kasus ini sebanyak 60 mg intravena saat
sebelum intubasi.11
Obat pelumpuh otot yang digunakan pada kasus
ini adalah vecuronium. Vecuronium termasuk
ke dalam kategori obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Vecuronium digunakan dengan dosis
0,1 mg/ kgBB, memiliki waktu onset 2,3 menit
dan dengan waktu pemulihan 45–80 menit.12
Vecuronium diketahui dapat mencegah terjadinya
edema serebral dengan tidak meningkatkan aliran
darah otak sehingga baik diberikan pada pasienpasien yang menjalani pembedahan intrakranial.6
Pengelolaan cairan pada pasien bedah saraf
sangat penting. Selama tindakan pembedahan,
diperlukan keseimbangan yang baik antara
pemeliharaan perfusi jaringan dan meminimalisasi
terjadinya edema serebral. Pengelolaan cairan
dilakukan untuk menjaga keadaan normovolemia
dan osmolalitas serum normal dengan cara
mempertimbangkan kebutuhan dan pergantian
cairan yang keluar melalui urin.13 Pada kasus
ini digunakan cairan ringerfundin yang bersifat
sedikit hiperosmolar (osmolaritas 304 mOsm/L)
sehingga dapat menarik air dari interstitial otak.
Ringerfundin lebih dipilih dibandingkan RL
atau NaCl 0,9% untuk mencegah terjadinya
hiperkloremik asidosis dan peningkatan tekanan
intrakranial, serta mencegah terjadinya edema
serebral saat resusitasi cairan.14
Diuretik selama pembedahan intrakranial umum
digunakan sebagai terapi kenaikan tekanan
intrakranial. Diuretik yang digunakan pada kasus
ini adalah kombinasi furosemid dan manitol.
Furosemid merupakan salah satu diuretik kuat
yang dapat diberikan dengan dosis 0,5–1 mg/
kgBB dengan onset 30 menit. Sedangkan manitol
merupakan diuretik osmotik yang bekerja dengan
cara menarik cairan serebral masuk ke dalam
intravaskular dan menurunkan viskositas darah
sehingga menurunkan aliran darah otak dan
tekanan intrakranial selama pembedahan.6,13
Posisi pasien menjadi faktor penting pada
pengangkatan tumor intrakranial. Tujuan
utamanya adalah menempatkan aksis utama
tumor dengan dasar optimal akses dari operator.
Namun, berbagai posisi yang digunakan dapat
memiliki banyak implikasi bagi ahli anestesi.
Pada kasus ini digunakan posisi supine dengan
reverse trendelenburg atau head up sekitar 15–
30°. Posisi ini efektif dalam mencegah terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial akut dengan
memperhatikan tekanan rata-rata arteri (mean
arterial pressure/ MAP) dan tekanan perfusi
serebral (cerebral perfusion pressure/ CPP).
Penelitian juga melaporkan bahwa posisi reverse
trendelenburg 10° terbukti dapat mengurangi
tekanan intrakranial dan MAP dengan perubahan
minimal pada CPP.13,15
IV. Simpulan
Telah dilaporkan sebuah laporan kasus, seorang
perempuan berusia 38 tahun dengan diagnosa
Olfactory groove meningioma. Pasien datang
dengan gangguan penciuman dan penurunan
penglihatan. Prosedur pengangkatan tumor telah
berhasil dilakukan dengan anestesi umum dengan
tetap memperhatikan situasi dan kondisi selama
operasi.
Daftar Pustaka
1. Kesari S, Saria M, Lai A. American Brain
Tumor association. Meningioma. 2012.
Diunduh dari http://www.abta.org/secure/
meningioma-brochure.pdf
2. Ciuera AV, Lencean SM, Rizea RE, Brehar
Penanganan Anestesi pada Operasi Olfactory Groove Meningioma
FM. Olfactory groove meningiomas: a
retrospective study on 59 surgical cases.
Neurosurg Rev 2012;35:195–202.
3. Fox D, Khurana VG, Spetzler RF. Olfactory
Groove/ Planum Sphenoidale Meningiomas.
Meningioma textbook. 2012, 327–32
4. Liu JK, Christiano LD, Patel SK, Tubbs
RS, Eloy JA. Surgical nuances for removal
of olfactory groove meningiomas using
the endoscopic endonasal transcribriform
approach. Neurosurg Focus, 2011; 30 (5):E3.
5. Cross LJ. Australia Brain Tumor Information.
2010. Diunduh dari http://www.btai.com.au/
images/factsheetpdfs/Page%2010to11.pdf
6. Cottrell JE, Young WL, Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia. 5th ed. Mosby; 2010.
7. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi, Edisi ke2. Bandung: Saga Olah Citra. 2008, 1–74.
8. Bajwa SJS, Bajwa SK, Kaur J. Comparison
of two drug combinations in total intravenous
anesthesia: propofol-ketamine and propofolfentanyl. Saudi J Anaesth. 2010; 4(2): 72–79.
9. Rasmussen M, Juul N, Christensen SM,
Jόnsdόttir KY, Gyldensten C, VesteergaardPoulsen P, et al. Cerebral blood flow, blood
volume and mean transit time response to
propofol and indomethacin in peritumor and
contralateral brain regions. Anesthesiology.
2010; 112: 50–56.
33
10. Sakabe T, Matsumoto M. Effects of anesthetic
agents and other drugs on cerebral blood flow,
metabolism and intracranial pressure. Dalam:
Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th
ed. 2010, 78–90.
11. Adamezyk S, Robin E, Simerabet M, Kipnis
E, Tavernier B, Vallet B, Bordet R, et al.
Sevoflurane pre- and post-conditioning
protect the brain via the mitochondrial KATP
channel. Br. J Anaesth. 2010; 104(2): 191–200.
12. Kuzak N, Harrison DW, Zed PJ. Use of
lidocaine and fentanyl premedication for
neuroprotective rapid sequence intubation
in the emergency department. Can J Emerg
Med. 2006; 8(2): 80–84.
13. Fang Y, Zhang H, Liu W, Li Y. A comparison
of three inductions regiments using
succinylcholine, vecuronium, or no muscle
relaxant: impact on the intraoperative
monitoring of the lateral spread response in
hemifacial spasm surgery: study protocol for
a randomised controlled trial. Trials. 2012;
13(160).
14. Kulshrestha A, Bajwa SJS. Anaesthetic
considerations in intracranial neurosurgical
patients. J Spine Neurosurg. 2013; S1.
15. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan
Critical Care: Cedera Otak Traumatik.
Bandung: FK Unpad. 2012, 209–28.
16. Dinsmore J. Anaesthesia for elective surgery.
Br J Anaesth. 2007; 99: 68–74.
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera
Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing
Wahyu Sunaryo Basuki*), Bambang Suryono**), Siti Chasnak Saleh***)
*)Departemen Bedah Gawat Darurat dan Anestesi Rumah Sakit Angkatan Darat Brawijaya Surabaya, **)
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta ***)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr.
Soetomo Surabaya
Abstrak
Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi, penyebab kematian dan kecacatan
di seluruh dunia. Meskipun ada cara diagnosis yang canggih dan penatalaksanaan yang mutakhir, prognosis
pasien cedera kepala traumatik masih tetap jelek. Derajat keparahan cedera primer merupakan faktor utama
yang menentukan luaran; sedangkan cedera sekunder karena hipotensi, hipoksemia, hiperkarbia, hiperglikemia,
dan hipoglikemia setelah cedera awal menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari jaringan otak dan memperjelek
luarannya. Cedera kepala traumatik berat adalah cedera kepala dengan glasgow coma scale score antara 3 sampai
8. Tanda Cushing adalah tanda kenaikan tekanan intrakranial yang tinggi dan tanda herniasi. Penatalaksanaan
cedera kepala difokuskan pada pengelolaan dan pencegahan cedera sekunder. Seorang wanita 54 tahun, berat
badan 50 kg, tinggi badan 155 cm dibawa ke unit gawat darurat rujukan dari rumah sakit lain karena kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari sepeda motor. Dilakukan resusitasi dan stabilisasi; jalan nafas bebas; laju nafas 10–16x/
menit; tekanan darah 180/100 mmHg; laju nadi 50–55x/menit; skor GCS E2M2V1; pupil kiri dan kanan isokor
3 mm, reaksi cahaya lambat. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan perdarahan intraserebral frontal basal kanan,
ukuran 7,5 x 4,4 x 2,2 cm, perkiraan volume 40 cc, dan perdarahan kiri kecil; perdarahan subarahnoid mengisi
sulkus temporal kanan; midline shift ke kiri 2,6 mm; dan edema serebri luas. Segera dilakukan kraniotomi evakuasi
perdarahan untuk menyelamatkan pasien. Penatalaksanaan cedera kepala perioperatif meliputi evaluasi yang cepat,
resusitasi pembedahan dini, dan tatalaksana terapi intensif dapat memperbaiki luaran penderita cedera kepala
Kata Kunci: Cedera kepala traumatik berat, penatalaksanaan perioperatif, tanda Cushing
JNI 2015;4 (1): 34–42
Perioperative Management of Severe Brain Injury with Cushing’s Sign
Abstract
Traumatic brain injury (TBI) is a major health and socioeconomic problem, as well as a common cause of death
and disabilty worldwide. Despite modern diagnostic tools and advancement in the treatment, prognosis of TBI
patients remains poor. Severity of primary injury is the determining factor of outcome in TBI. Secondary injury,
caused by hypotension, hypoxemia, hypercarbia, hyperglycemia, and hypoglycemia, following primary injury
can cause further brain damage and worsen patient’s outcome. Severe TBI is brain injury with Glasgow Coma
Scale score (GCS) of 3 to 8. Cushing’s sign is a sign of high intracranial pressure and herniation. Management
of TBI is focused on managing and preventing secondary injury. A 54 years-old female patient (50 kg, 155
cm) was admitted ro the emergency unit due to motorcycle accident. Upon resuscitation and stabilization, the
airway was secured, respiratory rate 10-16 times/minute, blood pressure 180/100 mmHg, pulse 50-55 beats/
minute, and GCS E2M2V1. Pupils were isochoric, with 3 mm diameter. Direct light reflex was slow. CT-scan
revealed a 40 cc right frontobasal intracranial hemorrhage with a size of 7.5 x 4.4 x 2.2 cm3; subarachnoid
hemorrhage was occupying the right temporal sulcus; 2.6 mm midline shift to the left; and extensive cerebral
edema. Craniotomy for evacuation of intracranial hematoma was performed. Perioperative managements
including rapid evaluation, early surgical resuscitation, and intensive care can improve patients’ outcome.
Key words: Cushing’s sign, perioperative management, severe traumatic brain injury
34
JNI 2015;4 (1): 34–42
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera
Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing
I.
Pendahuluan
Cedera kepala traumatik adalah salah satu
masalah kesehatan utama dan masalah sosialekonomi yang menjadi penyebab kematian pada
dewasa maupun anak-anak, serta kecacatan
di dunia. Di Amerika Serikat, lebih dari 1,7
juta orang mengalami cedera kepala setiap
tahunnya dan sekitar 290 ribu orang menjalani
perawatan, 51.000 kasus kematian serta 80.000
orang mengalami cacat permanen. Di Uni Eropa
menyebabkan sekitar 1 juta orang menjalani
perawatan serta 50 ribu kematian dan sekitar 10
ribu orang menjadi cacat.
Cedera kepala traumatik banyak terjadi pada
usia dewasa 15–19 tahun, anak-anak usia 0–4
tahun dan usia tua 65 tahun atau lebih. Pria
lebih banyak daripada wanita dengan penyebab
utama adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas
dengan kendaraan bermotor. Cedera kepala
diklasifikasikan menurut derajatnya dengan skor
Glasgow Coma Scale pasca resusitasi, yaitu
cedera kepala ringan (GCS 13–15), cedera kepala
sedang (GCS 9–12), dan cedera berat (GCS
<8). Perkembangan penatalaksanaan pasien
dengan cedera kepala prahospital dan perawatan
intensiv telah meningkat dan penatalaksanaannya
berbasis bukti-bukti kejadian yang ada.1 Pedoman
penatalaksanaan tersebut telah dikembangkan
oleh Brain Trauma Foundation (BTF) pada
tahun 1996 dengan menerbitkan pedoman
penatalaksanaan cedera kepala traumatik berat.
Pedoman tersebut direvisi kedua dan ketiga yang
dipublikasikan pada tahun 2000 dan 2007.1,3
Patofisiologi dari cedera kepala meliputi cedera
kepala primer dan sekunder.Cedera kepala
primer adalah kerusakan yang disebabkan trauma
mekanis terhadap tulang kepala dan jaringan
otak, sedangkan cedera sekunder merupakan
proses komplek yang mengikuti dan memperberat
cedera primer yang terjadi dalam beberapa jam
dan beberapa hari.
Penyebab cedera sekunder bisa intrakranial bisa
ekstrakranial atau sistemik. Penyebab intrakranial
misalnya epidural, subdural, intraserebral
hematoma, edema serebral, peningkatan ICP.
Penyebab sistemik seperti hipoksemi, hiperkapni,
35
hipotensi, anemi, hipertensi, hipoglikemi,
hipertermi, sepsis. Penatalaksanaan cedera kepala
difokuskan pada pencegahan dan pengelolaan
cedera sekunder.1- 4
Hal ini melandasi penatalaksanaan mutakhir
cedera kepala yang terdiri dari resusitasi dan
stabilisasi pra rumah sakit dan unit gawat darurat,
pembedahan serta penatalaksanaan terapi
intensif.1-3
II. Kasus
Wanita 54 tahun dengan berat badan 50 kg
dan tinggi badan 155 cm dibawa ke unit gawat
darurat rujukan dari rumah sakit lain. Penderita
mengalami kecelakaan lalu lintas jatuh dari motor
8 jam sebelum datang ke UGD.
Pemeriksaan Fisik
Airway: bebas, terpasang mayo.
Breathing: 10–16x/menit tidak ada jejas di leher
dan dada. Gerak dada simetris kecil dan lemah,
suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi maupun
wheezing.
Circulation: perfusi hangat kering, merah,
tekanan darah 180/95 mmHg, laju nadi 50-55x/
menit.
Disability: kesadaran pasca resusitasi E2 M2 V1
pemeriksaan pupil kanan dan kiri 3 mm, reaksi
lambat, terdapat lateralisasi, bagian kiri tubuh
lebih aktif, ada hematom di belakang kepala, ada
jejas di bahu kiri dan pergelangan tangan kiri
dan paha kiri. Jejas tempat lain tidak ada. Bagian
tubuh lain tidak ada kelainan. Segera dilakukan
tindakan resusitasi dan stabilisasi. Diberikan
O2 dengan ventilasi bag and mask. Posisi head
up sudah tepasang colar neck, diberikan cairan
Ringerfundin. Dilakukan intubasi di unit gawat
darurat. Intubasi cepat dengan obat-obatan
propofol 2 mg/kg, vecuronium 5 mg, lidokain 1,5
mg/kg, fentanyl 50μg. Posisi pasien head up, posisi
Inline dengan colar neck dilepas bagian depan.
Monitor yang digunakan untuk tekanan darah
non invasif, EKG, pulse oxymeter. Pada waktu
intubasi, tekanan darah 160/90 mmHg, laju nadi
79x/menit, saturasi 98–100%, EKG irama sinus,
diberikan manitol 200 ml dalam 30 menit, cairan
rumatan Ringerfundin. Catatan dari pemeriksaan
36
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
di rumah sakit yang pertama didapatkan RR 30
x/menit, N 105 x/menit, tekanan darah 176/95
mmHg dan GCS E3 M2 V1. Empat puluh lima
menit kemudian kejang selama 2 menit, diberi
diazepam 10 mg intravena. Satu jam kemudian
kejang lagi mendapat diazepam 5 mg intravena.
Pemberian O2 8 l/menit, cairan RL 1000 ml.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan CT-Scan didapatkan perdarahan
Intra Cerebral Frontal Basal kanan dengan
ukuran 7,5 x 4,4 x 2,2 cm dengan perkiraan
volume 40 cc, dan kiri ukuran kecil. Perdarahan
Subarahnoid mengisi sulkus temporal kanan. Mid
Line Shift minimal ke kiri sejauh 2,6 mm. Edema
Serebri luas. Garis fraktur tipis mastoid kanan
dan Hematosinus Spheniodalis kanan.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
hemoglobin 12,1 gr%, leukosit 15.700/mm3,
trombosit 444.000/mm3, waktu perdarahan
1,5 menit, waktu pembekuan 9 menit, waktu
protrombin 13 detik, APTT 36/detik, SGOT 28,
SGPT 28, ureum 44 mg/dl, kreatinin 1,0 mg/dl,
natrium 143 mMol/l, kalium 4,2 mMol/l, gula
darah sewaktu 141 mg/dl. Pemeriksaan analisa
gas darah setelah intubasi PH 7,44 , PCO2 36,5
mmHg, PO2 131,9 mmHg, HCO3 26,4, O2
Saturasi 99,0 BE 2,4 AA DO2 38,8.
Pengelolaan Anestesi
Pada waktu di unit gawat darurat mendapat
propofol tambahan 2 kali sebanyak total 100 mg
dan vecuronium 3 mg. Meja operasi diposisikan
head up 15o. Evaluasi sebelum pemeliharaan
anastesi laju nadi 102 x/menit, tekana darah
160/95 mmHg, saturasi oksigen 99%, suhu 37 oC.
Kemudian dilakukan ventilasi mekanik dengan
volum tidal 8 ml/kg berat badan, frekuensi napas
12x/menit, I : E Ratio 1 : 2, PEEP 0, FIO2 50%.
Propofol 2–8 mg/kg/jam dengan syringe pump,
vecuronium 0,8–1 μg/kg/menit. Fentanyl 100μg,
sevoflurane 1–1,5%, O2 dan udara bebas.
Cairan rumatan adalah Ringerfundin 1,5 ml/kg/
jam. Sebelum membuka duramater diberikan
manitol 100 ml dalam 30 menit. Hemodinamik
stabil selama duramater mulai dibuka dengan rerata
tekanan darah 80–100 mmHg, nadi 70–95 x/menit,
saturasi oksigen 98–100%, otak cukup slack.
Operasi trepanasi evakuasi hematom dan
dekompresi berlangsung selama 3 jam. Total
perdarahan 450 ml, urin produksi 1100 ml, cairan
masuk Ringerfundin 1000 ml, koloid voluven
500 ml, hemodinamik tetap stabil dengan tekanan
darah rerata antara 70–90 mmHg, saturasi
oksigen 97–100%, temperatur 36,8–37,0 oC, laju
nadi antara 70–100 x/menit, end tidal CO2 28–
35 mmHg. Operasi selesai, pasien pre-operatif
dengan cedera kepala berat GCS 5, edema serebri,
pergeseran garis tengah, pernah kejang dan ada
tanda Cushing maka diputuskan tidak dilakukan
ekstubasi tetapi dirawat di ICU dengan ventilator.
Tulang kepala disimpan di bank jaringan.
Foto Polos Leher AP Lateral, Foto Thorak, Pelvis, Femur, Tidak ada Fraktur
Gambar 1.1 Gambaran Perdarahan Intraserebral
Basal Frontal Kanan dan Kiri
Gambar 1.2 Gambaran Perdarahan Intraserebral
Basal Frontal Kanan dan Kiri dan Perdarahan
Intraserebral Parietal Kanan.
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera
Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing
Gambar 1.3 Tekanan Darah Rerata dan Laju Nadi
selama Operasi.
Perawatan Pascabedah
Pasien dirawat di ruang intensif dibantu dengan
ventilasi mekanik dengan modus PCMV 12
FIO2 40% TV 400, PEEP 3, Propofol 25–50
mg/jam, fentanyl 50 μg/jam, dexketoprofen
3x50 mg, omeprazol 2x40 mg, odancetron 3x4
mg, phenitoin 3x100 mg, antibiotik ceftazidim,
nimodipin,
citicholin,
intravena.
Cairan
Ringerfundin 1500 ml dan NaCl 0,9% 500 ml
dalam 24 jam, manitol 4x100 ml. Posisi head
up 15o. Dilakukan pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit, gula darah, analisa gas darah.
Perawatan Hari Pertama
Saturasi stabil baik 97–100%, hemodinamik
stabil dengan tekanan darah rerata 70–100 mmHg,
37
laju nadi 70–95x/menit, temperatur 36,5–37 oC,
CVP 8 Cm H2O. Hasil CT Scan ulang, sebagian
besar perdarahan sudah dievakuasi, tampak sisa
bintik-bintik minimal perdarahan di frontal kiri
kanan, SAH sudah banyak berkurang, perdarahan
minimal kontusio kortikal temporal kanan, tidak
ada pergeseran garis tengah. Hasil laboratorium
hemoglobin 10,8 g/dl, hematokrit 35,4, trombosit
202.000/μl, gula darah 134 mg/dl, natrium 146
mMol/l, kalium 3,6 mMol/l. Hasil gas darah PH
7,44 PCO2 36,9 mmHg, PO2 204 mmHg, HCO3
23,7, O2 Saturasi 98%, BE 2,8 dengan oksigen
30%.
Perawatan Hari Kedua
Status generalis keadaan umum baik: tensi, nadi,
saturasi oksigen, CVP, suhu, produksi urinecukup.
Sonde mulai diberikan iso kalori 6x50 ml.
Perawatan hari ketiga
Keadaan umum baik tekanan darah 120–140/80–
90 mmHg, nadi 65–90 x/menit, saturasi oksigen
97–99%, suhu 36,9 oC. Evaluasi kesadaran
setelah propofol dihentikan, didapat GCS E3 M5
VX, kemudian dilakukan weaning.
Perawatan hari keempat
Status generalis kondisi umum baik, tensi, nadi,
suhu, saturasi, produksi urine CVP, baik. Pada
pemeriksaan neurologis GCS E4 M6 VX, pupil
isokor, 3 mm, RC+/+, motorik 5/5, tidak ada
kejang, saraf kranialis tidak ada gangguan. Pasien
cukup kuat kemudian dilakukan ekstubasi.
Perawatan lanjutan
Pada hari kelima dan keenam pasien kondisi
umum baik, status neurologis baik, dipindah
ke ruang intermediate. Hari ketujuh pasien
Gambar 1.4 Gambar CT-Scan Post Op di hari ke–20
38
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dipindah ke ruangan, GCS 4, 5, 6. Evaluasi CTScan di ruangan hari ke-20 post op hasilnya
normal. Pasien pulang setelah setelah dilakukan
Kranioplasti.
III. Pembahasan
Fokus penatalaksanaan cedera kepala pada saat ini
adalah mencegah cedera primer serta menghindari
dan mengelola cedera sekunder. Landasan dari
pengelolaan cedera kepala traumatik adalah
resusitasi dan stabilisasi di tempat kejadian,
kecepatan dan ketepatan transportasi, resusitasi
di unit gawat darurat, evakuasi pembedahan,
kontrol Tekanan Intra Kranial (TIK), menjaga
tekanan perfusi otak, monitoring multimodal,
optimalisasi lingkungan fisiologis. Periode
perioperatif sangat penting pada pengelolaan
cedera kepala traumatik.
Penatalaksanaan pada periode pra rumah sakit
merupakan titik kritis untuk mencegah terjadinya
cedera sekunder, tetapi ini jarang dilakukan
karena pasien dikelola oleh tenaga kesehatan
setelah tiba di rumah sakit. 1- 3, 6-7
Penatalaksanaan di rumah sakit pertama adalah
resusitasi dan stabilisasi, pembebasan jalan
nafas, pemberian oksigen, resusitasi cairan dan
pemberantasan kejang telah dilakukan. Pada
waktu dalam perjalanan transportasi ke rumah
sakit kedua resusitasi dan stabilisasi untuk
mencegah cedera sekunder tetap dilakukan.
Datang di UGD rumah sakit kedua dilakukan
survei primer menyeluruh serta dilakukan
resusitasi terhadap cedera yang mengancam
jiwa. Diberikan oksigen 8–10 l/menit, ventilasi
dengan Jackson Reese, pemberian Ringer Fundin
100 cc/jam. Dari rumah sakit pertama sudah
diberi cairan RL 1000 cc, terpasang collar neck.
Pasien disiapkan intubasi, head up 15o–30o
diberikan manitol 200 ml karena juga terdapat
tanda Cushing. Intubasi sering dilakukan untukm
enghilangkan obstruksi jalan nafas, kontrol
ventilasi, proteksi terhadap resiko aspirasi.
Intubasi dilakukan dengan indikasi yaitu: GCS <8,
pernafasan ireguler, frekuensi nafas <10 x/menit
atau > 40x/menit, volume tidal < 3,5 ml/Kg berat
badan, kapasitas vital <15 ml/Kg berat badan,
PaO2 < 70 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg.
Disamping mencegah dan mengelola hipoksi
dan hiperkarbi, penting juga menjaga stabilitas
kardiovaskular karena hipotensi dan hipertensi
dapat memperburuk luaran. Hipotensi yang terjadi
pada cedera kepala membahayakan hemodinamik
otak dan menyebabkan iskemiaotak, oleh karena
itu penting untuk menjaga tekanan darah optimal
termasuk juga pemilihan cairan untuk resusitasi
dan penggunaan vasopresor bila dianggap
penting.5-7
Brain Trauma Foundation Guidelines telah
merekomendasikan
menghindari
hipotensi
(sistolik <90 mmHg) dan mempertahankan
tekanan perfusi otak (CPP) 50–70 mmHg.
Cairan isotonis kristaloid non glukosa
merupakan pilihan utama, kecuali apabila terjadi
hipoglikemi maka kristaloid yang mengandung
glukosa dipertimbangkan. Yang ingin dicapai
adalah kondisi normotensi, normovolemi,
normoglikemi. Hipertensi sering terjadi karena
pelepasan katekolamin oleh proses trauma serta
usaha dalam mempertahankan perfusi otak akibat
peningkatan TIK dapat mengurangi respon
tekanan darah. Penggunaan adrenergik blocking
agent dipertimbangkan bila usaha pengendalian
TIK tidak dapat menurunkan tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol
dapat
merugikan
karena
meningkatkan
pembentukan edema dan TIK.5, 6, 10 Pada cedera
kepala traumatik apabila didapatkan hipertensi
yang dipikirkan pertama adalah tanda cushing
lebih dahulu. Tujuan resusitasi pada cedera
kepala selanjutnya adalah pengendalian Tekanan
Intrakranial. Bila pasien head up 15o–30o perlu
diwaspadai efek samping penurunan tekanan
darah yang akan memperberat iskemia.6
Penilaian neurologik meliputi fungsi kesadaran
dengan menggunakan skor GCS serta penilaian
pupil meliputi ukuran, respon terhadap cahaya,
simetris kanan kiri. Pemeriksaan radiologi seperti
CT-Scan tanpa kontras adalah pilihan, serta
pemeriksaan x-ray untuk daerah lainnya seperti
cervical, pelvis, femur. CT-Scan kepala dapat
menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan
TIK seperti adanya pergeseran garis tengah,
adanya massa intrakranial seperti hematom.6,-8
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera
Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing
GCS pada pasien ini setelah resusitasi sebelum
intubasi adalah 5. Dengan GCS 5 dan pola nafas
yang pendek dan kecil maka dilakukan segera
intubasi di unit gawat darurat. Permasalahan
perioperatif pada pasien ini adalah masalah
pernafasan: resiko hipoksi dan hiperkarbi yang
disebabkan obstruksi jalan nafas karena kesadaran
menurun. Masalah sirkulasi: pasien dengan
hipertensi dan bradikardi dapat memperberat
edema serebri. Pasien beresiko hipotensi karena
induksi untuk intubasi sehingga memperberat
iskemi yang sedang berlangsung. Masalah
neurologi: pasien dengan kondisi kesadaran
menurun menunjukkan adanya peningkatan Intra
Kranial sehingga terjadi iskemi. Tanda cushing
menunjukkan adanya herniasi.
Penatalaksanaan Anestesi
Penatalaksanaan nestesi pada pasien cedera kepala
traumatik bertujuan mengendalikan Tekanan
Intra Kranial dan memelihara tekanan perfusi
serebral, melindungi jaringan saraf dari iskemi
dan cedera (Brain Proteksi Otak), menyediakan
kondisi pembedahan yang adekuat (slack brain).
Hal ini dikenal dengan prinsip ABCDE Neuro
Anestesi yaitu:5 A) airway, jalan nafas yang selalu
bebas sepanjang waktu, B) breathing, ventilasi
kendali untuk mendapatkan oksigenasi adekuat
dan normokapnea, C) circulation, menghindari
peningkatan atau penurunan tekanan darah yang
berlebihan, menghindari faktor mekanis yang
meningkatkan tekanan venaserebral, menjaga
kondisi normotensi, normoglikemi, isoosmolar
selama anestesi, D) drugs, menghindari obat dan
tehnik anestesi yang dapat meningkatkan TIK, dan
beri obat-obatan yang mempunyai efek proteksi
otak, E) environment, kontrol temperatur dengan
target suhu inti 35o di kamar operasi. Pasien
dibawa ke ruang operasi sudah dalam kendali
ventilasi karena diintubasi di unit gawat darurat,
dan selama dilakukan tindakan diagnostik tetap
dilakukan kendali ventilasi dengan relaksan.
Tindakan induksi intubasi mempertimbangkan
keadaan klinis dan stabilitas hemodinamik.
Induksi dilakukan dengan dosis titrasi propofol
intra vena total 2mg/Kg berat badan, obat
pelumpuh otot non depol dipergunakan fentanyl
1μg/Kg berat badan diberikan untuk mengurangi
39
respon hemodinamik sewaktu laringoskopi
dan intubasi, lidokain 1,5 mg/Kg diberikan 90
detik sebelum laringoskopi untuk mencegah
peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) lidokain
diberikan setelah laju nadi bisa dinaikkan dengan
tindakan hiperventilasi sebelumnya. Obat
anestesi dan tehnik anestesi yang dipergunakan
untuk rumatan anestesi dipilih yang mempunyai
kemampuan menurunkan TIK, mempertahankan
tekanan perfusi serebral (CPP), menjaga stbilitas
kardiovaskular dan memiliki efek proteksi otak
terhadap bahaya iskemia.1, 5, 6
Anestesi inhalasi menurunkan metabolisme otak
dan menyebabkan vasodilatasi serebral yang
akan meningkatkan aliran darah otak (CBF), dan
TIK pada konsentrasi lebih dari 1 MAC. Dengan
menggunakan obat tersebut pada konsentrasi
yang rendah efek vasodilatasi serebral dapat
diminimalisir.1 Obat anestesi inhalasi nitrous
oxide meningkatkan metabolisme otak dan
menyebabkan vasodilatasi serebral yang
mengakibatkan TIK meningkat, pemakaiannya
pada cedera kepala traumatik sebaiknya
dihindari.1 Obat anestesi Intravena Thiopental
dan Propofol mempunyai sifat kerja menurunkan
CMRO2 dan CBF sehingga menurunkan TIK.
Selain itu obat ini memiliki efek minimal pada
autoregulasi dan reaktivitas terhadap CO2
sehingga menguntungkan untuk anestesi pada
cedera kepala.
Pada pasien ini dipergunakan kombinasi obat
anestesi sevofluran dan propofol kontinyu dengan
tujuan mendapat level anestesi yang cukup tanpa
gejolak hemodinamik dan gejolak susunan saraf
pusat dengan mengambil keuntungan dari sifat
obat tersebut seperti sifat neuro protektif, sambil
meminimalkan efek vasodilatasi sevofluran
dengan cara mengatur konsentrasi propofol
kemudian mempertahankan level anestesi intra
operasi pengaturan sistem respirasi cedera kepala
traumatik yang berat yaitu dengan menyesuaikan
ventilasi mekanik sehingga didapatkan kondisi
normokapnea dengan PaCO2 sekitar 35 mmHg
dan mengatur fraksi oksigen sampai didapat
PaO2 100–200 mmHg. Pada operasi ini dipasang
monitor ETCO2 yang hasilnya berkisar 30–35.
PEEP yang terlalu besar harus dihindari karena
40
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dapat meningkatkan tekanan intra torakal
yang mengganggu drainase vena serebral
dan meningkatkan TIK.1, 5, 8 Sistem sirkulasi
intraoperatif diatur untuk mendapatkan kondisi
normovolemi, normotensi, isoosmoler juga
normoglikemi.5, 8
Pada operasi neuro surgical pada umumnya pasien
dibangunkan dari anestesi secepatnya, sehingga
status neurologis dapat dievaluasi secepatnya
sebagai hasil dari tindakan pembedahan. Secara
umum pada pasien cedera kepala terdapat edema
serebri atau berpotensi mengalami edema serebri,
sehingga ada istilah slow weaning dan delayed
Extubation. Pulih sadar lambat (Late Emergence)
dapat dilakukan pada kondisi:6, 8derajat kesadaran
praoperasi buruk, resiko terjadi edema atau
memperberat edema-nya seperti pada operasi
yang lama, perdarahan banyak, dekat area vital,
operasi ekstensif, praoperasi pengelolaan jalan
nafas sulit.
Pada pasien ini derajat kesadaran pra-operasi
buruk, serta terdapat edema sehingga diputuskan
tidak dilakukan ekstubasi. Penatalaksanaan
terapi intensif cedera kepala setelah dilakukan
resusitasi dan stabilisasi di unit gawat darurat dan
sudah dilakukan tindakan operasi, selanjutnya
dirawat di ruang perawatan intensif. Perawatan
di ICU terdiri dari perawatan umum yang ketat
dan perawatan lain yang bertujuan:4, 5, 11stabilisasi
pasien, optimalisasi oksigen dan hemodinamik
otak, mencegah dan melakukan terapi Hipertensi
intrakranial, mempertahankan CPP yang stabil
dan adekuat, mencegah dari cedera sekunder.
Pasien segera dipindah ke ICU setelah operasi
selesai. Tindakan lanjutan seperti ventilasi
mekanik untuk menjamin oksigenasi dan
mencegah hipoksi, mempertahankan kondisi
normokapnea untuk mengendalikan aliran darah
otak sehingga dapat menurunkan TIK. Ventilasi
mekanik dilakukan dengan menggunakan
obat sedatif. Analgetik yang adekuat diberikan
untuk mendapatkan kondisi yang nyaman
dan aman. Kondisi yang tidak nyaman dari
nyeri dapat menyebabkan respon stres seperti
takikardi, meningkatkan konsumsi oksigen
hipermetabolisme, meningkatkan katekolamin
endogen, dan meningkatnya TIK.12, 15
Pemberian analgetik yang adekuat dapat
menurunkan konsumsi oksigen 15%, disamping
dapat mencegah naiknya tekanan darah yang
dapat menyebabkan perdarahan intrakranial
setelah kraniotomi pasien kritis setelah tindakan
operasi sering mengalami kecemasan, yang
bisa diatasi dengan sedasi. Pengalaman yang
tidak menyenangkan dapat menyebabkan Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD).15 Propofol
digunakan karena menekan metabolisme
serta mempunyai waktu paruh yang pendek
sehingga evaluasi derajat kesadaran dapat
segera dilakukan setelah obat dihentikan. Efek
hipotensi dan Propofol Infusion Syndrome perlu
diwaspadai.3, 4, 6. Analgesia kontinyu fentanyl
dan dexketoprofen diberikan karena efeknya
minimal pada hemodinamik.15 Posisi head up
15o–30o dilakukan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dengan memperbaiki drainase
Vena Serebral. Posisi ini ini bisa menyebabkan
hipotensi yang akan menurunankan perfusi
serebral, memperberat iskemi sehingga akan
mempengaruhi luaran.3, 5, 6 Hemodinamik dijaga
kestabilan dengan mencegah hipotensi dan
hipertensi. Hipotensi akan memperburuk edema
otak dan akan meningkatkan TIK.
Pengendalian edema otak dan TIK dapat
dilakukan dengan pemberian cairan hiperosmoler
seperti manitol. Manitol bekerja sebagai dioretika
osmotik dengan cara meningkatkan osmolaritas
serum dan membuat perbedaan tekanan osmotik.
Pemeriksaan osmolaritas serum dilakukan untuk
mengevaluasi adanya peningkatan osmolaritas
akibat manitol, bila osmolaritas serum lebih
dari 320 mOsm/Kg H2O bisa terjadi efek balik
peningkatan TIK, gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit serta gagal ginjal.3, 8, 11
Terapi Cairan dan Nutrisi
Tujuan utama pengelolaan cairan pada cedera
kepala traumatik adalah mempertahankan
keadaan dan memelihara kondisi Euvolemi atau
Hipervolemi sedang (CVP 8–10 mmHg) karena
balan cairan yang negatif berhubungan dengan
luaran yang jelek.3 Cairan kristaloid isotonik
dipergunakan, dan cairan normal salin cairan
yang terpilih, cairan yang sedikit hipotonis
seperti Ringer Laktat bukan merupakan pilihan
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera
Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing
41
resusitasi pasien cedera kepala terutama dalam
jumlah yang banyak karena dapat menyebabkan
penurunan osmolaritas serum. Sedangkan cairan
hipotonis seperti ½ NS, ¼ NS, D5, D5 ½ NS, D5
¼ NS harus dihindari. Cairan yang mengandung
glukosa seperti D10 atau lebih harus dihindari
pada waktu 24 sampai 48 jam pertama terkecuali
pada kondisi hipoglikemi.3, 4, 6, 16
Pengelolaan cairan pada cedera kepala bertujuan
supaya
tercapai
keadaan
normovolemi,
normotensi, normoglikemi dan iso osmolar.
Pasien ini diberikan cairan pasca operasi dengan
cairan Ringer Fundin dan NaCl 0,9% yang
bersifat iso osmolar tanpa glukosa.
konstipasi juga dilakukan fisioterapi. Pemberian
obat-obat neuroprotektif masih banyak dilakukan
penelitian karena belum ditemukan hasil yang
signifikan. Monitoring pada pasien cedera kepala
traumatika penting dilakukan untuk optimalisasi
terapi.4 Hal ini berguna untuk mendeteksi dini
proses-proses yang mengakibatkan cedera
sekunder, seperti proses sistemik atau proses intra
kranial. Yang umumnya secara rutin digunakan
adalah elektrokardiografi, pulseoxymetri, endtidal
CO2, tekanan vena sentral, tekanan darah arterial,
temperatur sistemik, urine output, pemeriksaan
laboratorium gas darah, serum elektrolit, gula
darah dan osmolaritas plasma.8, 9, 12
Kontrol Gula Darah
Pasien dengan cedera kepala berat sering
mengalami stres hiperglikemi karena pelepasan
dari stress hormon yang akan menghambat
pengeluaran insulin dan kerja insulin, hiperglikemi
ini dihubungkan dengan luaran yang jelek. Kadar
glukosa yang diharapkan pada fase akut adalah
80–180 mg/Dl, karena kontrol glukosa yang
ketat yang menyebabkan hipoglikemi juga akan
mempengaruhi luaran.3,16 Pada pasien ini glukosa
berkisar pada konsentrasi 141–180 mg/dl. Kondisi
hipermetabolik, hiperkatabolik dengan perubahan
fungsi gastro intestinal juga sering terjadi pada
pasien cedera kepala. Hal ini menyebabkan
malnutrisi yang akan meningkatkan mortalitas.
Pemberian nutrisi sejak awal direkomendasikan
bila stabilitas hemodinamik baik. Brain Trauma
Foundation merekomendasikan pemberian 140
% dari kebutuhan basal (± 30 Kcal/Kg berat
badan) pada pasien non paralisa, 100 % dari
kebutuhan basal (± 25 Kcal/Kg berat badan) pada
pasien dengan relaksan.3,16 Nutrisi enteral lebih
dipilih, tetapi bila ada trauma abdomen atau ada
residu gastrik maka dipilih kombinasi dengan
nutrisi parenteral.4 Pasien ini mulai diberikan
nutrisi pada hari kedua. Pemberian peroral dapat
dilakukan tanpa keluhan.
Monitoring neurologis seperti pemeriksaan
neurologis secara klinis meliputi derajat
kesadaran (GCS) pemeriksaan pupil, motorik,
sensorik, saraf kranialis segera dilakukan setelah
CT Scan tidak didapatkan perdarahan di kepala
dan edema serebri berkurang. Pemeriksaan
neurologis lain seperti monitor TIK dan saturasi
oksigen vena jugularis (SJVO2 ) untuk pasien
yang belum dapat dievaluasi kesadarannya
karena perlu ventilasi mekanik, pemberian sedas,
atau pemberian obat pelumpuh otot. Pemeriksaan
luaran perlu dilakukan seperti dengan GOSE.12, 14.
Perawatan Lainnya
Perawatan lain adalah perawatan harian seperti
perubahan posisi berkala, kebersihan oral, kulit,
perawatan mata, pencegahan infeksi, ulkus,
deepvein trombosis, pencegahan peptik ulcer,
Pemberian bowel regimen untuk mencegah
IV. Simpulan
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala
traumatik telah mengalami perbaikan. Periode
peri operatif merupakan periode yang kritis
karena pada periode ini penanganan yang cepat,
tepat akan mempengaruhi luaran dari pasien
dengan cedera kepala.
Pada periode ini kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan cedera sekunder bisa cepat
diketahui dan dilakukan pengelolaannya sehingga
cedera sekunder dapat dihindari dan dicegah serta
diterapi. Penanganan cedera kepala yang meliputi
pengelolaan jalan nafas, respirasi, optimalisasi
hemodinamik, pengendalian TIK dan tindakan
pembedahan serta tindakan lanjutan lainnya
di ruang intensif. Hal itu semua memerlukan
kerjasama, pemahaman semua yang terlibat
sehingga hasilnya bisa optimal. Telah dilakukan
penanganan peri operatif pada wanita usia 54
tahun dengan cedera kepala traumatik berat
42
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dengan tanda Cushing secara menyeluruh sampai
pasien keluar rumah sakit. Luaran yang didapat
masih memerlukan evaluasi untuk mengetahui
adanya gangguan fungsi kognisi pasien.
V. Daftar Pustaka
1. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative
management of traumatic brain injury.
Int J Crit Illn Sci. 2011;1(1):27–35.
2. Moppet IK. Traumatic brain injury:
assessment,
resuscitation
and
erly
management. Br J Anaesth. 2007;99:18–31.
3. Haddad S, Arabi YM. Critical care
management of severe traumatic brain
injury in adults. SJTREM. 2012;20:12.
4. Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta AK.
Traumatic brain injury: intensive care
management. Br J Anaesth. 2007;99:32–42.
5. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia
dan critical care: cedera otak traumatik.
Bandung: Universitas Padjadjaran; 2012.
6. Gopinath SP, Robertson CS. Management of
severe head injury. Dalam: Cotrell JE, Smith
DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. USA:
Mosby Inc; 2001, 663–85
7. Mangat HS. Severe traumatic brain injury.
American Academy of Neurology. 2012;18
(3):532–46.
8. Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic
management of head trauma. Dalam:
Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2012, 98–115.
9. Steiner LA, Andrews PJD. Monitoring the
injured brain: ICP and CBF. Br J Anaesth.
2006;97(1):26–38.
10. Czosnyka M. Monitoring intracranial
pressure. Dalam: Matta BF, Menon
DK, Tunner JM, ed. Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care. London:
Greenwich Medical Media; 2000; 99–109.
11. Yarham S, Absalom A. Anesthesia for
patients with head injury. Dalam: Gupta
AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuro
Anesthesia and Neuro intensive care.
Philadelphia: Saunders; 2008; 150–54.
12. Bendo AA. Perioperative management
of adult patients with severe head injury.
Dalam: Cottrel JE, Young WL, eds. Cottrell
and Young’s Neuroanesthesia, Philadelphia:
Mosby; 2010; 17–326.
13. McEwen J, Huttunen KTH, Lam AM.
Monitors during anesthesia: effects of
anesthetic agents on monitors. Dalam: Leroux
PD, Levine JM, Kofke WA, eds. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2013; 71–81.
14. Balu R, Detre JAA, Levine JM. Clinical
assessment in the neurocritical care unit.
Dalam: Leroux PD, Levine JM, Kofke WA.,
eds. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013;
84–98.
15. Terhune KP, Ely EW, Pandharipande PP.
Pain, sedation, and delirium in critical illness.
Dalam: Leroux PD, Levine JM, Kofke WA.
eds. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013;
99–113.
16. Bassin SL, Bleck TP. Glucose and nutrition.
Dalam: Leroux PD, Levine JM, Kofke WA,
eds. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013;
121–130
Tatalaksana Anestesi pada Microvascular Decompression (MVD)
Bau Indah Aulyan Syah*), Siti Chasnak Saleh**), Sri Rahardjo***)
Departemen Anestesi Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Rumah Sakit Awal Bros Makassar, **)Departemen
Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr. Soetomo Surabaya, ***)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta
*)
Abstrak
Microvascular decompression (MVD) nervus kranialis merupakan salah satu terapi untuk trigeminal neuralgia,
spasme hemifacialis, dan neuralgia glosspharyngeal. Seorang wanita 52 tahun masuk ke rumah sakit dengan keluhan
utama kedutan pada wajah sebelah kiri selama 17 tahun dan telah berobat ke beberapa dokter, termasuk suntikan
botoks, namun hasilnya tidak memuaskan. Pemeriksaan MRI otak menunjukkan persilangan arteri cerebellaris
anterior inferior (AICA) kiri dengan N. VII di daerah entry zone. Hal ini dapat menyebabkan TIC fasialis kiri.
Pasien ini didiagnosis dengan spasme hemifasialis sinistra dan akan menjalani prosedur MVD. Pasien dianestesi
dengan teknik anestesi umum intubasi endotrakea dengan menerapkan prinsip-prinsip neuroanestesia. Pada pasien
ini tidak ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, namun dalam memfasilitasi pembedahan
untuk dekompressi saraf yang tertekan, sangat penting untuk menurunkan volume otak. Karena itu, diterapkan
beberapa metode, seperti hiperventilasi volunter, pemberian mannitol 20% 150mL dengan mempertahankan batas
autoregulasi. Kombinasi anestesi inhalasi (sevofluran 0,6-1,5%) dan intravena (propofol kontinyu 60–100mg/
jam), relaksasi dengan vecuronium kontinyu 2,5–4,5mg/jam. Cairan rumatan dipilih ringer fundin 400ml dan
NaCl 0,9% 500ml melalui 2 jalur intravena. Operasi berjalan selama 2 jam, pendarahan sebanyak 150mL, urin
1000mL dilakukan ekstubasi segera setelah operasi selesai. Pasca anestesi, pernapasan dan hemodinamik stabil
dan adekuat. Pemeriksaan neurologis di ruang pemulihan didapatkan kedutan menghilang.
Kata kunci: microvascular decompression, spasme hemifasialis
JNI 2015;4 (1): 43–9
Anesthesia Management for Microvascular Decompression (MVD)
Abstract
Microvascular decompression (MVD) cranial nerves as a therapy for trigeminal neuralgia, hemifacial spasm,
and glosso pharyngeal neuralgia. A 52 years old female, came to the hospital due to the twitching on the left
side of her face. She had been experiencing the twitching for over 17 years, had been treated by several doctors,
including Botox injection, but with no satisfying outcome. MRI examination showed intercrossing of the left
anterior inferior cerebellar artery (AICA) with the seventh cranial nerve in the area of entry zone. The condition
caused the left facial TIC. She was diagnosed with left hemifacial spasm and planned for a MVD procedure.
The patient was anesthetized with endotracheal intubation under general anesthesia using neuroanesthesia
principles. There was no sign of increased intracranial pressure. Nevertheless, it is importance to facilitate the
nerve decompression procedure by reducing the brain volume that can be perform with several methods, such
as voluntary hyperventilation, administering mannitol 20% 150 mL while maintaining the autoregulation level.
Combination of inhalation (sevofluran 0,6-1,5%) and intravenous anesthesia (propofol continuously 60–100mg/
hour) was chosen, relaxation was obtained with continuous vecuronium 2,5-4,5mg/hr. Maintenance of intravenous
fluids were Ringer fundin 400ml and NaCl 0,9% 500ml delivered via two intravenous routes. The operation was
last for 2 hours, the amount of bleeding was 150 mL, and the urine was 1000 mL. The patient was extubated
immediately after the operation. Breathing and hemodynamic post anesthesia were both stable and adequate.
Neurological examination in the recovery room revealed no more twitching observed.
Key words: hemifacial spasm, microvascular decompression
JNI 2015;4 (1): 43–9
43
44
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Prosedur microvascular decompression (MVD)
dilaporkan pertama kali untuk meredakan
trigeminal neuralgia (TN) pada tahun 1952 dan
1959, dan untuk dekompressi nervus fasialis
pertama kali pada tahun 1962 oleh Gardner dan
Sava1. Saat ini MVD nervus kranialis merupakan
salah satu terapi untuk TN, spasme hemifasialis
(hemifacial spasm/HFS)2, dan neuralgia (vago)
glossopharyngeal. Prosedur ini juga dilaporkan
dapat meredakan tinnitus, vertigo3, hyperactive
gag reflex, disfungsi nervus okulomotoris, nervus
abdusen4, dan hipertensi.1
fokal/protrusion ringan ke posterior. Hasil MRBrain MRA menunjukkan persilangan AICA
(arteri cerebellaris anterior inferior) kiri dengan
N. VII di daerah entry zone dapat menyebabkan
TIC fasialis kiri (Gambar 1).
II. Laporan Kasus
Seorang wanita 52 tahun, berat badan 62 kg, tinggi
badan 155 cm, masuk ke rumah sakit dengan
keluhan utama kedutan pada wajah sebelah kiri
sejak tahun 1997 (17 tahun sebelum masuk rumah
sakit). Pasien telah sering ke beberapa dokter,
disuntik botox tidak ada perbaikan. Didiagnosis
dengan spasme hemifasialis sinistra yang akan
dilakukan microvascular decompression (MVD).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis ditemukan keadaan
umum GCS 15, tekanan darah 140/90 mmHg,
laju jantung 82 kali per menit.
Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium darah menunjukkan Hb 14,30 g/dl,
leukosit 5,9 ribu/UL, trombosit 245 ribu/µL, LED
16 mm, hitung jenis eosinofil 1%, netrofil batang
2%, netrofil segmen 57%, limfosit 33%, monosit
7%, PT 14,4 detik, APTT 32,9 detik, natrium
135 mmol/L, kalium 3,7 mmol/L, kalsium total
10,8 mmol/L, ion kalsium (Ca++) 1,16 mmol/L,
protein total 7,4 gr/dL, albumin 4,2 g/dL, SGOT
14 U/L, SGPT 16 U/L, ureum 33 mg/dL, kreatinin
1,10 mg/dL.
Pada pemeriksaan foto torak tidak ada kelainan
pada jantung dan paru, kedua sinus dan diafragma
baik. Pada pemeriksaan MR-cervikal ditemukan
spondilosis ringan fase diskogenik yang meliputi
C2–3, C3–4, C4–5, C5–6, C6–7. Diskus
intervertebralis C2–3, C5-6, dan C6–7 menonjol
Gambar 1. MR-Brain MRA Kompressi Nervus
Fasialis
Pengelolaan Anestesi
Pasien posisi supine, sebelum induksi dilakukan
hiperventilasi spontan. Pasien diinduksi dengan
fentanyl 100 μg dan campuran propofol 100 mg
dengan lidokain 2% 40 mg. Setelah itu diberikan
rocuronium 50 mg, dan lidokain 2% 40 mg.
Dilakukan intubasi dengan pipa endotrakhea non
kinking no. 7. Rumatan anestesi dengan oksigen:
udara = 3 L/menit : 2 L/menit, sevoflurane 0,6–1,5
vol %. Propofol kontinyu 60-100 mg/jam melalui
syringe pump dan vecuronium kontinyu 2,5–4,5
mg/jam. Selama operasi diberikan tambahan
fentanyl 50 μg dan propofol 50 mg. Ventilator
diatur dengan tidal volume 500 cc, pernapasan 12
kali per menit, I : E = 1: 2.
Operasi dilakukan dengan posisi Park Bench, dan
berjalan selama 2 jam, dengan cairan intraoperatif
terdiri dari Ringerfundin (RF) 400 cc, NaCl 0,9%
500cc, dan Mannitol 150 cc. Hemodinamik dijaga
dalam batas autoregulasi. Sebelum ekstubasi
diberikan lidokain 40 mg iv, dan prostigmin:
atropine sulfat 1 mg : 0,5 mg. Setelah ekstubasi,
tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 90 kali per
menit, pernapasan 18 kali per menit, adekuat.
Tatalaksana Anestesi pada Microvascular Decompression (MVD)
Total produksi urin 1000 cc, dengan perdarahan
100 cc.
Pengeloaan Pascabedah
Setelah operasi pasien diobservasi di ruang
pemulihan. Pada pemeriksaan tidak ditemukan
gangguan neurologi dan kedutan pada wajah sudah
menghilang. Pascabedah pasien dikembalikan ke
ruang perawatannya. Sebagai analgetik diberikan
ketesse 50mg/iv pascaoperasi dan untuk di
ruangan diberikan ketesse 50mg + pethidin
50 mg diencerkan dengan NaCl 0,9% sampai
50 ml dan diberikan dengan dosis 2 ml/jam.
III. Pembahasan
Spasme hemifasialis (hemifacial spasm/HFS)
Spasme hemifasialis/HFS merupakan kondisi
kontraksi involunter, berulang/repetitif, dan
unilateral dari otot-otot yang dipersarafi oleh
nervus fasialis (cranial nerve [CN] VII)2.
Kondisi ini sering terjadi terutama pada
orang dewasa muda, dewasa, dan usia lanjut.
Patofisiologi HFS
Spasme hemifasialis tipikal disebabkan oleh iritasi
nervus fasialis akibat kompressi pembuluh darah
pada daerah root exit zone (RExz), yang akhirnya
menyebabkan spasme intermitten dan involunter
yang awalnya melibatkan muskulus orbikularis
okuli dan menyebar ke muskulus mentalis. Suatu
penelitian neurofisiologi terdahulu (Nielsen,
1985) ditemukan adanya demielinisasi aksonal
dan hipereksitabilitas motonukleus fasialis pada
HFS, serta respon penyebaran ke lateral (lateral
spread response/LSR). Fenomena elektrofisiologi
45
pada motonukleus fasialis ini menyebabkan
aktivitas ortodromik pada cabang perifer CN VII
dan demyelinisasi4. Kompresi pembuluh darah
pada spasme hemifasialis umumnya oleh arteri
serebellaris anterior inferior atau arteri vertebralis
yang menekan nervus fasialis5.
Seiring dengan bertambahnya usia, arteri
bertambah lebar dan besar dan bisa saja mengenai
nervus kranialis, termasuk N. VII. Iritasi mekanik
akibat pulsasi pembuluh darah menyebabkan lesi
demielinisasi fokal di daerah RExz, sehingga
terjadi transmisi ephaptic dan crosstalk antara
dua serat saraf. Pembedahan untuk membebaskan
kompressi neurovaskuler dengan melakukan
transposisi jaringan lunak antara pembuluh darah
dan saraf dapat mengembalikan fungsi saraf yang
tertekan menjadi normal6.
Microvascular Decompression (MVD) untuk
HFS
Tujuan MVD adalah untuk membebaskan
tekanan terhadap nervus kranialis. Untuk
melakukan MVD, insisi linear dilakukan di
belakang telinga pada sisi saraf yang tertekan.
Diseksi dilakukan hingga tulang, dan beberapa
burr holes dibuat. Burr holes diperbesar hingga
seperti kraniektomi atau dengan mengangkat
bone flap. Kraniektomi dilakukan di bawah
sinus transversus dan di medial sinus sigmoid
agar ada akses ke sudut cerebellopontine. Selsel udara mastoid di lindungi dengan bone wax
untuk mencegah kebocoran cairan serebro spinal.
Setiap perdarahan sinus vena dikontrol, dan dura
di buka. Dengan otak yang relaks, serebellum
di retraksi. Jika ada pembuluh darah di sekitar
46
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
saraf kranialis yang menghalangi, pembuluh
darah tersebut harus dibebaskan secara hatihati. Pemantauan saraf fasialis dan EMG dapat
dilakukan selama intraoperatif untuk melindungi
nervus kranialis. Setelah saraf kranialis bebas
dari kompressi, dura ditutup, lapisan lainnya juga
ditutup. Posisi operasi pasien bisa lateral, prone,
supine, atau duduk (sangat jarang).5 MVD pada
nervus kranilis VII (fasialis) merupakan terapi
yang efektif untuk HFS.
Satu penelitian pada 326 operasi MVD untuk
HFS, luaran yang didapatkan yang sangat baik
dilaporkan dengan tercapainya 88% bebas
spasme dalam 24 jam pascabedah. Bahkan 8
pasien rawat jalan mereka bebas spasme hingga
90,8% saat keluar dari rumah sakit. Hanya 7,7%
pasien yang masih menderita gejala spasme (efek
terapi MVD lambat).7 Penyembuhan spasme
yang tertunda mungkin menandakan waktu
yang diperlukan untuk remielinisasi daerah yang
rusak, begitu pula dengan yang diperlukan untuk
kembalinya eksitabilitas normal motoklonus
fasial4. Terapi non bedah untuk HFS seperti
injeksi toksin botulinum (BT) intramuskuler
tidak memiliki efekvitas jangka panjang. Satusatunya pengobatan berefek jangka panjang
adalah operasi dan dekompressi mikrovaskuler
(MVD) retromastoid nervus fasialis, dianggap
efektif dalam mengobati 90% pasien.2 Selama
pembedahan, pemantauan auditory evoked
responses batang otak dilakukan secara rutin
untuk mendeteksi disfungsi nervus VIII.
Pemantauan nervus VIII (vestibulokokhlearis)
penting karena saraf ini membuat pasien dapat
mendengar dan mampu mempertahankan
keseimbangan dan posisi tubuh mereka. Alat
pemantauan intraoperatif lain yang penting
adalah elektromiografi dan rekaman LSR, yang
membantu ahli bedah untuk menentukan apakah
dekompressi yang adekuat telah tercapai. LSR
yang ditimbulkan oleh stimulasi cabang nervus
fasialis menunjukkan gangguan elektrofisiologi
yang konsisten dengan HFS.7
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
komplikasi gangguan pendengaran pasca MVD
dapat dikurangi bila pada periode intraoperatif
diterapkan pemantauan neurofisiologis dengan
brainstem auditory evoked potential/BAEP.
Hingga saat ini, pemantauan BAEP masih
menjadi evaluasi pendengaran yang paling
sensitif pada pasien yang teranestesi. BAEP juga
bisa menjadi indikator adanya manipulasi pada
daerah batang otak, termasuk struktur setinggi
nervus auditorius (N. VIII) atau bila nukleus
koklearis (pusat pendengaran) ikut termanipulasi.
Perubahan gelombang BAEP bahkan terjadi lebih
dini dibanding fluktuasi perubahan laju jantung
dan tekanan darah, sehingga dianggap sebagai
indikator manipulasi batang otak dibanding
parameter kardiovaskuler tradisional.8
Dannenbaum et al, melaporkan bahwa dari 114
pasien MVD untuk terapi spasme hemifasialis
tanpa menggunakan pemantauan neurofisiologis,
ditemukan 86% pasien yang bebas spasme
selama 10 tahun pascabedah. Ditemukan satu
orang dengan kehilangan pendengaran subtotal,
dan 10 kasus dengan delayed facial palsy (2
diantaranya tidak sembuh sempurna). Karena
itu, mereka menyimpulkan bahwa MVD aman
dan efektif untuk terapi spasme hemifasialis
meskipun tanpa pemantauan neurofisiologis.
Namun demikian, Samii dkk melaporkan bahwa
komplikasi ketulian masih menjadi komplikasi
utama (8,3%). Kebanyakan kasus tersebut (66%)
terjadi pada era sebelum penggunaan pemantauan
BAEP secara rutin pada MVD untuk spasme
hemifasialis. Moller dan Moller melaporkan
bahwa insidensi defisit pendengaran pascabedah
berkurang dari 10% menjadi 2,8% setelah
penggunaan BAEP secara rutin. Bahkan, Radtke
dkk, melaporkan penurunan dari 6,6% menjadi
0%. yang jelas, pemantauan BAEP akan memberi
konfirmasi terjaganya pendengaran selama
operasi MVD, bahkan pada beberapa penelitian
memberi pandangan kedua bagi ahli bedah saraf
untuk mengidentifikasi RExz.
Bila dipandang dari segi umur, teknik MVD
dilaporkan aman dan efektif hingga usia 75 tahun.
Yang jelas, pasien juga memenuhi persyaratan
dapat menerima anestesi umum.9 MVD dapat
mengobati kedutan dan nyeri akibat kompressi
saraf kranialis hingga angka penyembuhan
90%.6 MVD jelas dianggap prosedur yang
tidak berbahaya. Namun demikian, mortalitas
pembedahan masih ditemukan sekitar 0,3%
Tatalaksana Anestesi pada Microvascular Decompression (MVD)
dan risiko infark atau perdarahan batang otak
ditemukan sekitar 1–2%. Ini menunjukkan hasil
yang lebih baik bila dibandingkan pembedahan
otak terbuka lain dan angka komplikasi tersebut
tidak akan ditolerir bila ada terapi lain dengan
efek terapeutik yang sama namun dengan risiko
yang lebih rendah. Sayangnya, saat ini belum ada
yang sebaik MVD.6
Meskipun relatif jarang, kehilangan pendengaran
pascabedah merupakan salah satu komplikasi
MVD yang bisa bersifat permanen. Ketulian
dianggap terjadi akibat manipulasi yang
berlebihan terhadap saraf kranialis VIII. Pada
penelitian Jannetta dkk., rerata komplikasi
kehilangan pendengaran berkisar 2,6% pada
pasien dengan spasme hemifasialis dan 1% pada
pasien dengan neuralgia trigeminus. Cedera
serebellum berkisar 0,68%.8
Anestesi untuk MVD
Prosedur operasi MVD memerlukan kraniotomi
total untuk dekompressi saraf kranialis. Pasien
dengan hipertensi preoperatif sebaiknya diberikan
antihipertensi preoperatif untuk memudahkan
manajemen tekanan darah intra dan pascabedah.
Teknik anestesi terpilih adalah anestesi umum
demi fasilitasi kraniotomi total. Tekanan
intrakranial (TIK) umumnya tidak meningkat
pada pasien yang akan menjalani operasi.
Namun demikian, menurunkan volume otak
(umumnya dengan mannitol 0,25–0,5 g/kgBB
atau drain lumbar untuk mengeluarkan cairan
serebrospinal), penting untuk memberikan ruang
bagi ahli bedah untuk mengidentifikasi dan
membebaskan tekanan saraf yang bermasalah
tanpa melakukan retraksi otak yang berlebihan
dalam proses tersebut. Induksi anestesi paling
bagus dengan obat-obat yang menurunkan
volume otak seperti pentotal (2–5 mg/kgBB)
atau propofol (1–2 mg/kgBB), diikuti dengan
relaksan otot dan intubasi endotrakheal.5
Rumatan anestesi untuk MVD umumnya
dengan rumatan standar. Desfluran dilaporkan
meningkatkan risiko post operative nausea
vomiting (PONV). Tekanan darah dipelihara
dalam
batas
normal
selama
operasi.
Hiperventilasi untuk menjaga PaCO2 25–30
47
mmHg membantu dalam menurunkan volume
otak dan meningkatkan ruang kerja ahli bedah.
Sekali saraf telah diisolasi, hiperventilasi harus
dihentikan. Drain spinal dapat digunakan untuk
mengeluarkan cairan serebrospinalis (CSS)
selama operasi dan meningkatkan ruang paparan.
Drain biasanya dibuka saat dura dibuka dan
ditutup segera setelah pembedahan pada saraf
kranialis berhenti. Selama pembedahan, TIK
dijaga di bawah 20 mmHg dan tekanan perfusi
serebral (cerebral perfusion pressure)/CPP
di atas 50–70 mmHg. Iskemia serebral bisa
terjadi bila CPP kurang dari 40–50 mmHg.3
Penggunaan mannitol intravena yang digunakan
untuk menurunkan volume otak pada pasien
ini dapat meningkatkan osmolaritas darah,
sehingga menginduksi perpindahan cairan dari
otak ke dalam pembuluh darah. Karena itu,
efikasi mannitol tergantung pada intak tidaknya
sawar darah otak. Manfaat mannitol untuk
menurunkan volume otak dapat dipengaruhi
oleh gagal ginjal dan oligouria. Pada pasien
ini, tidak ditemukan trauma pada sawar darah
otak, gagal ginjal, maupun oligouria. Mannitol
seringkali dikombinasi dengan furosemide dosis
kecil (0.1–0.2 mg/kg) untuk mencapai efek
sinergis untuk menurunkan TIK dalam jangka
waktu yang lama. Pemberian furosemide secara
tunggal tidak secara otomatis menurunkan TIK.
Mekanisme dasar efeknya tidak jelas. Furosemid
tidak meningkatkan osmolaritas plasma sehingga
tidak menurunkan kandungan air otak. Hanya
furosemide dengan dosis kuat yang dapat
menurunkan produksi CSF. Bila dikombinasi
dengan mannitol, furosemide meningkatkan
osmolaritas plasma dan menghambat mekanisme
regulatoris seluler ionik aktif, sehingga mencegah
berkurangnya volume intraseluler serebral.
Hiperventilasi yang dilakukan pada pasien ini
juga bertujuan untuk menurunkan volume otak.
Hiperventilasi bekerja dengan cara vasokontriksi
pembuluh darah otak sehingga tidak dibenarkan
dilakukan dalam waktu yang lama. Induksi
dengan pentotal atau propofol juga bertujuan
untuk mengurangi volume otak.10 Pentotal
juga menyebabkan vasokontriksi serebral
dengan cara menghambat pembentukan nitric.
48
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Propofol dengan dosis 6 mg/kgBB per jam
dapat menurunkan aliran darah otak (cerebral
blood flow/CBF) melalui supresi metabolik.10
Sebenarnya, pentotal dan propofol memiliki
efek vasokonstriktor serebral, namun propofol
lebih frontal dan berefek terutama pada batang
otak, sedangkan pentotal lebih dominan berefek
pada daerah oksipital. Secara in-vitro efek
hipnotik propofol menunjukkan sifat vasodilator
dengan cara menghambat saluran natrium
dan kalsium. Namun, secara in vivo, justru
berefek vasokonstriktor. Mekanisme dasar
vasokonstriksi ini adalah akibat efek penurunan
metabolisme secara konkomitan. Penelitian
pada pasien sukarelawan menunjukkan bahwa
propofol menurunkan metabolisme serebral
dengan cara menurunkan CBF. Ini menunjukkan
bahwa vasodilatasi instrinsik yang diinduksi
propofol diimbangi oleh depresi metabolik
serta dengan penurunan CBF. Rumatan anestesi
yang dipilih pada pasien ini adalah sevofluran.
Sevofluran dapat menurunkan CBF akibat
efeknya yang menurunkan metabolisme serebral
pada konsentrasi kurang dari 1 MAC. Efek
ini sangat unik mengingat sevofluran adalah
anestetika volatil, karena secara in-vitro dan invivo pada percobaan sebelumnya menunjukkan
bahwa zat volatil lain seperti halotan,
desfluran, dan isofluran merupakan vasodilator
poten yang meningkatkan CBF meskipun
ketiganya menurunkan metabolisme serebral.
Saat pengakhiran (emergence) anestesi, ekstubasi
ETT dapat dilakukan bila tidak ada komplikasi.
Hipertensi pascabedah dapat terjadi, sehingga
sebaiknya dikontrol. Obat antihipertensi
yang umum dipakai adalah esmolol atau Na
nitroprusside secara kontinyu.
Antiemetik profilaksis (seperti ondansetron
4–8 mg) sebaiknya diberikan 30 menit sebelum
ekstubasi. Asetaminofen 1 gr iv dan/atau
infiltrasi anestetik lokal di kulit kepala dapat
dipertimbangkan untuk analgesia pascabedah.
Beberapa ahli anestesi menggunakan pemantauan
CVP, EMG, dan SSEP.11 Karena posisi pasien
biasanya dengan posisi kepala “far lateral”,
maka bantalan bahu dan bantal di antara kedua
kaki sebaiknya dipasang.7 Komplikasi yang
harus diwaspadai adalah PONV, sehingga terapi
multimodal perlu dipertimbangkan.12 Selain
itu, pemulihan pascabedah kadang disertai
kejadian edema atau perdarahan otak, namun
jarang ditemukan. Angka kesuksesan umumnya
75–95%, dengan angka rekurensi berkisar
3,5% per tahun.2 An J dkk, melaporkan bahwa
teknik anestesi intravena total yang dalam
dengan induksi propofol dan sufentanyl serta
rumatan dengan propofol dan remifentanyl
dapat menurunkan kejadian disfungsi kognitif
pascabedah dibandingkan teknik anestesi yang
dangkal.2
Posisi Park-bench merupakan modifikasi posisi
lateral untuk memfasilitasi lapangan operasi
ahli bedah pada daerah fossa posterior. Tangan
bagian atas diposisikan di sepanjang sisi lateral
badan dan bahu bagian atas di fiksasi ke meja
operasi. Ekstremitas bawah sedikit fleksi, dan
bantal di tempatkan di antara dua kaki (biasanya
di antara lutut). Reverse Trendelenburg dan fleksi
yang bermakna sebaiknya dihindari karena dapat
mengarah ke stasis vena dan penurunan aliran
balik vena ke jantung.13
IV. Simpulan
Dilaporkan sebuah laporan kasus seorang wanita
52 tahun dengan spasme hemifasilis sinistra.
Prosedur microvascular decompression telah
berhasil dilakukan dengan anestesi umum dengan
tetap menerapkan kaidah-kaidah neuroanestesi.
Daftar Pustaka
1. Simpson
BA,
Amato-Watkins
A,
Hourihan MD. Hemibody pain relieved
by microvascular decompression of the
contralateral caudal medulla: case report.
Pain. 2014;155(8):1667–72.
2. Thirumala PD, Shah AC, Nikonow TN,
Habeych ME, Balzer JR, Crammond DJ, et al.
Microvascular decompression for hemifacial
spasm: evaluating outcome prognosticators
including the value of intraoperative lateral
spread response monitoring and clinical
Tatalaksana Anestesi pada Microvascular Decompression (MVD)
characteristics in 293 patients. Journal of
clinical neurophysiology: official publication
of the American Electroencephalographic
Society. 2011;28(1):56–66.
3. Zhang L, Yu Y, Yuan
Zhang J. Microvascular
cochleovestibular nerve
tinnitus and vertigo.
2012;60(5):495–7.
Y, Xu J, Xu X,
decompression of
in patients with
Neurology India.
4. De Ridder D, Menovsky T. Neurovascular
compression of the abducent nerve causing
abducent palsy treated by microvascular
decompression. Case report. Journal of
neurosurgery. 2007;107(6):1231–4.
5. Karim AA, Shuer LM, Chang SD.
Neurosurgery. Dalam: Jaffe RA, editor.
Anesthesiologist's Manual Of Surgical
Procedures. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2014;120–5.
6. Monstad P. Microvascular decompression
as a treatment for cranial nerve hyperactive
dysfunction – a critical view. Acta Neurol
Scand. 2007;115(187):30–3.
7. Wang X, Thirumala PD, Shah A,
Gardner P, Habeych M, Crammond D,
et al. Microvascular decompression for
hemifacial spasm: focus on late reoperation.
Neurosurgical review. 2013;36(4):637-43;
discussion 43–4.
8. Lee CC, Liao CH, Lin CF, Yang TF, Hsu
SP, Yen YS, et al. Brainstem auditory
evoked potential monitoring and neuro-
49
endoscopy: two tools to ensure hearing
preservation and surgical success during
microvascular decompression. Journal of
the Chinese Medical Association: JCMA.
2014;77(6):308–16.
9. Ashkan K, Marsh H. Microvascular
decompression for trigeminal neuralgia in the
elderly: a review of the safety and efficacy.
Neurosurgery. 2004;55(4): 840-8; discussion
8–50.
10. Detry O, De Roover A, Honore P, Meurisse
M. Brain edema and intracranial hypertension
in fulminant hepatic failure: pathophysiology
and management. World journal of
gastroenterology: WJG. 2006;12(46):7405–
12.
11. Minahan RE, Mandir AS. Neurophysiologic
intraoperative monitoring of trigeminal
and facial nerves. Journal of clinical
neurophysiology: official publication of the
American Electroencephalographic Society.
2011;28(6):551–65.
12. Meng L, Quinlan JJ. Assessing risk factors
for postoperative nausea and vomiting: a
retrospective study in patients undergoing
retromastoid craniectomy with microvascular
decompression
of
cranial
nerves.
Journal of neurosurgical anesthesiology.
2006;18(4):235–9.
13. Rozet I, Vavilala MS. Risks and benefits of
patient positioning during neurosurgical care.
Anesthesiology Clinics. 2007;25(3):631–x.
Kerusakan Barier Pertahanan Alamiah: Sawar Darah Otak
Ardana Tri Arianto, MH Soedjito
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Abstrak
Sawar Darah Otak (SDO) adalah struktur membran yang secara primer memisahkan serta memfiltrasi darah
ataupun zat dari sirkulasi sistemik yang masuk ke dalam sirkulasi otak. Sawar Darah Otak merupakan penghalang
fisik antara pembuluh darah lokal dan sebagian besar dari sistem saraf pusat itu sendiri, dan tempat berhentinya zat
makromolekul. Konsep Sawar Darah Otak pertama kali diperkenalkan oleh Paul Ehrlich. Paul Ehrlich menemukan
bahwa injeksi intravena perwarna ke dalam aliran darah meninggalkan noda pada seluruh jaringan di sebagian
besar organ kecuali otak. Pada trauma kerusakan sawar darah otak banyak diakibatkan oleh rusaknya integritas
membrane sawar darah otak dan pada tumor disebabkan oleh peningkatan permeabilitas sawar darah otak akibat
invasi sel tumor. Pada keadaan trauma, disfungsi sawar darah otak dapat terjadi secara cepat ataupun lambat,
gangguan dari kompleks tight junction dan integritas membran menghasilkan peningkatan permeabilitas seluler.
Sedangkan tumor otak dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar darah otak, pembengkakan jaringan
sekitar tumor, dan terjadi absorpsi serta pengeluaran cairan dan protein dengan cairan serebrospinal di ventrikel.
Terapi kortikosteroid menurunkan ekspresi dari vascular endothelial growth factor (VEGF) yang diproduksi
edema yang terikat dengan sel endotel. Pengelolaan perioperatif penting untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan
tentang sawar darah otak dikarenakan kompleksitas dari anatomi, fisiologi, fungsi transpor sampai hubungan
antara sawar darah otak dengan gangguan neurologis seperti yang terdapat pada kasus cedera otak traumatik dan
tumor otak.
Kata kunci: sawar darah otak, gangguan neurologis
JNI 2015;4 (1): 50–60
Disruption of Natural Defense Barrier: Blood-Brain Barriere
Abstract
The blood brain Barrier (BBB) is a structural membrane that separates and filters blood and subtances that enters
the cntral nervous system from systemic circulation. It is a physical barrier between the local blood vessels and
most parts of the central nervous system itself, and the flow of macro substances. The concept of the blood brain
barrier was first introduced by Paul Ehrlich. He found that intravenous injection of dyes into the bloodstream
stained all the tissues in most organs except the brain. In traumatic brain injury, vascular disruption causes damage
to integrity of the membrane BBB while in case of tumor, there's an increase of permeability due to tumor cell
invasion. In traumatic brain injury , the onset of BBB dysfunction can be immediate or delayed, increased cellular
permeability is the result of thr damage of the tight junction complex and membrane integrity. Brain tumor can
increase the permeability of BBB edema in the surrounding area, and cause absorption and excretion of cerebrospinal
fluid and protein in to the ventricel. Corticosteroid therapy can reduce the expression of vascular endothelial
growth factor (VEGF) in the edematous endothelial cells. Perioperative mamagemrnt requires comprehensive
knowledge of the complexity of blood brain barrier's anatomy, physiology, transport function, and the relation
between BBB with neurologic dysfunctions which are commonly seen in traumatic brain injury and tumor.
Key words: blood–brain barrier, neurologic disfunction
JNI 2015;4 (1): 50–60
50
Kerusakan Barier Pertahanan Alamiah: Sawar Darah Otak
I. Pendahuluan
Sawar Darah Otak (SDO) secara definisi
adalah struktur membran yang secara primer
memisahkan serta memfiltrasi darah ataupun
zat dari sirkulasi sistemik yang masuk kedalam
sirkulasi otak. Sawar darah otak berfungsi untuk
melindungi otak dari bahan-bahan kimia dalam
darah, dimana fungsi metabolik masih dapat
dilakukan. Sawar darah otak ini terdiri dari
sel-sel endotelial, yang tersusun sangat rapat
di kapiler otak. Kepadatan yang tinggi lebih
banyak membatasi lewatnya substansi-substansi
dari aliran darah dibandingkan sel-sel endotelial
kapiler tubuh lainnya. Proyeksi sel-sel astrosit
mengelilingi sel endotelial SDO, menyediakan
dukungan biokimia untuk sel tersebut. SDO
berbeda dengan blood-cerebrospinal fluid barrier
yang menyerupainya, suatu sel-sel koroid pada
pleksus koroideus, dan dari blood-retinal barrier,
yang dapat dimasukkan sebagai bagian dari SDO.1
Neuron-neuron, sel-sel glia, cairan ekstraseluler
otak dipisahkan dari darah oleh sawar darah otak.
Sawar darah otak dicirikan sebagai lapisan seluler
yang sempurna dan kontiniu dan sel-sel endotel
yang disegel oleh tight junction. Komunikasi selke-sel normal antara astrocit, perisite, endotel dan
neuropil yang mengelilingi penting bagi ekspresi
fenomena sawar darah-otak dan mekanisme
homeostatisnya. Transpor, fungsi yang dimediasi
reseptor dan enzim, memainkan peran penting
dalam regulasi komposisi cairan ekstraseluler
otak. Molekul, diatas ukuran yang dibatasi, yang
bersirkulasi dalam darah dapat memperoleh akses
menuju jaringan interstisial hanya jika terdapat
sistem transpor khusus untuk molekul tersebut
yang terdapat dalam endotel kapiler otak. Sistem
demikian untuk asam amino, transferin, insulin,
Ig G, dan albumin terkationasi menjamin bahwa
susunan saraf pusat (SSP) secara tetap menerima
senyawa yang dibutuhkan.2
Penulisan tinjauan pustaka ini penting untuk
mengetahui hal-hal yang berkaitan tentang SDO
dikarenakan kompleksitas dari anatomi, fisiologi,
fungsi transpor sampai hubungan antara SDO
dengan gangguan neurologis, serta dalam bagian
anestesiologi dan bedah yang banyak terkait
51
dengan gangguan fungsi SDO yang menyertai
gangguan neurologis seperti yang terdapat pada
kasus cedera otak traumatik dan tumor otak.
II. Tinjauan Pustaka
Sawar darah otak adalah suatu istilah yang
menunjukkan suatu sistem kompleks dari filter
metabolik, fisik dan transport atau suatu sawar
(barier) yang mengontrol masuknya kandungan
bahan kimiawi dari darah ke otak. Sawar ini
mempertahankan lingkungan fisikokimia yang
optimal dan stabil untuk berkerjanya sistem saraf
pusat.3
Sejarah dan Riwayat
Otak berfungsi dalam suatu lingkungan yang
terkontrol-baik, terpisah dan milieu perifer.
Mekanisme yang mengontrol lingkungan unik
otak adalah sawar darah otak. Zat pewarna yang
larut air diinjeksikan ke sirkulasi perifer, tidak
mewarnai otak ataupun cairan cerebro spinal
fluid (CSF), meskipun plexus choroid terwarnai.
Eksperimen lanjutan menunjukkan bahwa zat
warna yang sama yang disuntikkan ke ruang
subaraknoid mewarnai otak dan CSF, tetapi tidak
mewarnai jaringan perifer. Pengamatan yang
diambil dan studi zat wama membawa kepada
konsep sawar antara darah dan otak.2
Peneliti selanjutnya menggunakan zat warna
bersifat basa yang sangat larut dalam lemak dan
mampu melintasi sawar darah otak (Friedemann,
1942), menunjukkan bahwa otak terwarnai
dengan transpor langsung zat warna melintasi
mikrovaskulatur cerebral. Broman (1941)
berpendapat bahwa fungsi sawar pada sawar
darah otak berlangsung melalui sel-sel endotel
kapiler dan bukan pada astrocyte end feet. Debat
apakah astrocytic end feet atau endotel kapiler
yang berperan pada sawar darah otak dihentikan
oleh studi sitokimia elektron mikroskop oleh
Reese dan Karnovsky (1967), dan selanjutnya
oleh Brightmann dkk (1969). Peroksidase
horseradish (BM=43.000) digunakan untuk
memvisualisasikan sawar darah otak. Tidak
semua pembuluh darah cerebral sepenuhnya
kedap. Daerah bocor, kurang memiliki SDO
endotel, terletak di posisi strategis di garis tengah
52
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dari sistem ventrikel, dan secara kolektif disebut
sebagai organ circumventricular (C Vos). Paling
sering, daerah ini tidak dilindungi oleh SDO
untuk alasan yang berhubungan dengan fungsi
fisiologis.4,5
Dua fitur pada endotel serebral yang penting
dalam membentuk sawar darah otak adalah tight
junctions dan frekuensi rendah vesikel yang
dihubungkan dengan transpor transendotel.
Keberadaan sawar tersebut pertama kali oleh
Paul Ehrlich pada akhir abad ke-19. Erhlich
adalah seorang bakteriologis yang sedang
mempelajari pewarnaan, yang digunakan pada
beberapa penelitian untuk membuat struktur yang
kecil dapat terlihat. Ketika disuntikkan, beberapa
zat warna akan mewarnai seluruh organ hewan
kecuali otak. Saat itu, Ehrlich menyatakan hal
ini yaitu otak tidak menyerap cukup zat warna.
Untuk memahami mekanisme pembentukan
SDO, harus diteliti juga urutan generasi sel dan
pembentukan SDO dalam SSP berkembang.6
Selanjutnya, pada percobaan berikutnya tahun
1913, Edwin Goldmann (salah satu murid
Ehrlich) menyuntikkan zat warna ke cairan
spinal otak secara langsung. Ia menemukan
bahwa pada kasus ini otak menjadi berwarna,
tetapi tidak pada bagian tubuh. Ini dengan jelas
mendemonstrasikan adanya sawar di antara
keduanya. Saat itu, dinyatakan bahwa pembuluh
darah itu sendiri berfungsi sebagai barrier, karena
Gambar 1. Kapiler pembuluh darah otak7
membran sebelumnya tidak dapat ditemukan.
Konsep mengenai sawar darah otak/blood brain
barrier (istilahnya hematoencephalic barrier)
diajukan oleh Lisa Stern tahun 1921. Ini tidak
disetujui hingga ditemukannya mikroskop
elektron pada riset medis tahun 1960an dimana
membran tersebut dapat dilihat. Selain fungsi
penghalang telanjang endotel, SDO matang terdiri
dari sistem selular kompleks dengan morfologi
yang sangat khusus. Otak kapiler dibentuk oleh
sel endotel yang terhubung ke dirinya sendiri dan
juga terhubung ke sel endotel tetangga.5
Anatomi Sawar Darah Otak
Sawar darah otak adalah suatu membran
yang sangat resisten terhadap proses difusi
dan memisahkan cairan intersisial otak
darah. Pemeriksaan susunan saraf pusat
dengan menggunakan mikroskop elektron
memperlihatkan bahwa lumen kapiler darah
dipisahkan dari ruang ekstra seluler oleh:2 sel
endotelial di dinding kapiler, membran basalis
di luar sel endotel, dan kaki-kaki astrosit yang
menempel pada lapisan luar dari dinding kapiler.
Sawar darah otak merupakan suatu membran
yang tidak permeabel, yang secara anatomi
histologi terdiri atas dua elemen. Elemen pertama
berupa endotelium sel kapiler otak yang saling
berhubungan erat sehingga dapat menahan
pergerakan molekul yang mempunyai diameter
20Ǻ atau lebih. Elemen kedua berupa astrosit
Gambar 2. Pembuluh darah kapiler susunan saraf
pusat dan kapiler sistemik5
Kerusakan Barier Pertahanan Alamiah: Sawar Darah Otak
yang masuk melingkari endotelial sel tersebut.
Bentukan ini terdapat di seluruh otak kecuali
plexus koroideus.3
Dengan menggunakan electron dense-marker
seperti lanthanum dan horseradish peroksidase
terlihat bahwa substansi tersebut tidak dapat
menembus sel endotel kapiler karena adanya
tight junction diantara sel tersebut, sehingga tight
junction sangat berperan di dalam sawar darah
otak. Beberapa bagian otak tidak mempunyai
sawar darah otak dan mempunyai struktur sel
yang berbeda. (Gambar 2) Pada daerah tersebut
protein dan molekul-molekul organik yang kecil
dalam darah dapat masuk ke susunan saraf pusat.
Fisiologi
Diseluruh tubuh selain otak, dinding-dinding
kapiler (pembuluh darah terkecil) dibuat dari
sel-sel endotel yang fenestrata, berarti mereka
memiliki celah kecil yang disebut fenestrasi.
Bahan kimia yang larut dapat melewati celah ini,
dari darah ke jaringan atau dari jaringan ke darah.
Selanjutnya di otak, sel-sel endotel ini tersusun
lebih rapat disebut dengan tight junction. Ini
membuat SDO menghambat gerakan seluruh
molekul kecuali yang mampu melewati membran
sel dengan kelarutan dalam lemak (misalnya:
oksigen, karbondioksida, etanol, dan hormonhormon steroid) dan yang dapat melewati sistem
transpor spesifik (misalnya: gula dan asam
amino). Substansi dengan berat molekul lebih
dari 500 dalton (500 u) biasanya tidak dapat
melewati SDO, dimana molekul yang lebih
kecil dapat melewatinya. Sebagai tambahan, selsel endotel memetabolisme molekul-molekul
tertentu untuk mencegah mereka masuk ke SSP.
Contohnya: L-DOPA, prekursor dopamin, dapat
menembus SDO, dimana dopamin sendiri tidak
dapat menembusnya.5
Dalam kimia, berat dihitung tidak dalam kg tetapi
dalam Dalton. Faktanya, terungkap bahwa hanya
molekul yang berat molekulnya kurang dari 500
dalton yang dapat menembus SDO. Sekarang
berat molekul 500 dalton tidak sangat besar. Air
memiliki berat molekul 18 dalton, insulin juga
tidak begitu besar. Virus-virus (dengan berat
molekul dalam hitungan juta) jauh lebih besar
daripada ini, dan bakteri sangat jauh lebih besar
53
lagi. Jadi jarang untuk bahan kimia, virus, dan
bakteri dapat menembus SDO dan masuk ke
otak.8
Sebagai tambahan dari tight junction yang
berfungsi mencegah transpor anatara sel-sel
endotel, ada 2 mekanisme untuk mencegah difusi
pasif melalui membran sel. Sel-sel glia yang
mengelilingi kapiler otak menyediakan rintangan
kedua untuk molekul-molekul yang hidrofilik, dan
konsentrasi yang rendah dari protein interstitial
di otak mencegah akses molekul hidrofilik. SDO
melindungi otak dari aliran bahan-bahan kimia
dalam darah. Banyak fungsi tubuh dikendalikan
oleh hormon dalam dalam darah, dan ketika
sekresi hormon-hormon tersebut dikendalikan
oleh otak, hormon-hormon ini umumnya tidak
memasuki otak dari darah. Ini akan mencegah
otak untuk langsung memonitor tingkat hormon.
Dalam tujuan untuk mengendalikan sekresi
hormon secara efektif, ada tempat khusus
dimana neuron dapat “mencontohkan” komposisi
sirkulasi darah. Di tempat ini, SDO lemah; tempat
ini termasuk tiga “organ sirkumventrikular”, yaitu
organ subfornikal, area postrema, dan organum
vasculosum dari lamina terminalis (OVLT).6
Fungsi Sawar Darah Otak
Pada keadaan normal terdapat sawar yang
semipermeabel dan berfungsi untuk melindungi
otak dan medula spinalis dari substansi yang
membahayakan. Fungsi sawar darah otak adalah
melindungi otak dari berbagai variasi substansi
darah, terutama senyawa toksik.5
Ada tiga fungsi penting sawar darah otak adalah:
fungsi anatomi, fungsi biokimika, fungsi regulasi.
Berikut ini akan dijelaskan masing masing fungsi
tersebut secara lebih mendalam.5,9
Fungsi Anatomi
Secara anatomis sawar darah otak melindungi
otak dari bermacam-macam toksin eksogen yang
berasal dari darah. Fungsi ini dapat terjadi karena
struktur sawar darah otak yang mempunyai tight
junction antara sel endotel yang tidak permeabel
terhadap molekul berukuran besar. Fenetrasi
yang terdapat pada kapiler organ lain tidak
terdapat pada kapiler otak, begitu juga vesikel
pinositik, yang penting bagi makromolekul pada
kapiler jaringan lain. Jika integritas kapiler dalam
54
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
keadaan tidak baik, perisit yang terletak pada
dinding kapiler akan meningkatkan aktifitas
fungsi sawar darah otak. Perisit adalah sel fagosit
yang bertanggung jawab untuk mempertahankan
homeostasis antara darah dan otak serta sebagai
sawar terhadap makromolekul, perisit juga
mempunyai kemampuan untuk regulasi dari
proliferasi, diferensiasi dan pembentukan endotel
tight junction. Astrosit juga berperan dalam
fungsi anatomi yang berperan dalam kontrol
dinamika mikrosirkulasi, dilatasi arteriol dipicu
oleh aktifitas neuron yang tergantung pada respon
aktifitas kanal kalsium pada jaringan astrosit dan
juga berperan untuk regulasi suplai energi untuk
mendukung aktifitas fungsional neuron.7
Fungsi Biokimia
Fungsi biokimia sawar darah otak adalah untuk
transport selektif dari zat-zat, tersusun oleh
enzim-enzim dalam sel endotel pembuluh
darah kapiler otak. Plasma borne biogenic
dapat dimetabolisme oleh monoamin oksidase
sehingga dapat melindungi otak dari pemecahan
epinefrin sistemik. Transport oleh asam amino
secara signifikan dapat menyebabkan penetrasi
prodrug levodopa pada sawar darah otak sehingga
dopamin dapat dimetabolisme untuk pengobatan
pasien parkinson.
Fungsi Regulasi
Agar dapat mencapai otak, cairan ekstraseluler
dari darah harus melewati/menembus epitel
koroid atau endotel kapiler. Zat dapat segera
masuk apabila molekul dapat larut dalam air
(plasma) dan membran lipid serta berukuran
kecil jadi semakin larut lemak dan berukuran
kecil maka akan semakin mudah menembus
SDO. Molekul yang lain ada yang memerlukan
protein pembawa agar dapat menembus sawar
darah otak.
Transport Glukosa
Glukosa adalah sumber energi terbesar yang
diperlukan oleh otak. Lebih 98% energi yang
dipergunakan untuk menunjang fungsi saraf dapat
dari pembakaran glukosa dalam darah. Transport
aktif glukosa dibantu oleh protein pembawa
yang spesifik. Di dalam cairan serebrospinal,
konsentrasi glukosa hanya 2/3 dari konsentrasi
dalam darah. Hal ini disebabkan karena glukosa
secara konstan dipergunakan oleh otak. Kadar
glukosa otak relatif lebih stabil dibandingkan
dengan kadar glukosa dalam darah, sebab
sistem transport akan berhenti/jenuh pada saat
terjadi peningkatan glukosa dan akan aktif bila
kadar glukosa plasma menurun (pada keadaan
hipoglikemi).
Keadaan glukosa ini sangat penting untuk menjaga
agar fungsi saraf tetapi normal. Pada keadaan
hiperglikemi yang berat dengan kadar glukosa
dalam plasma darah meningkat tiga kali, benda
keton dan asam laktat akan terakumulasi dalam
otak dan akan menekan fungsi saraf sehingga
terjadi koma diabetik. Pada keadaan hipoglikemi
yang berat susunan saraf pusat menjadi overaktif,
pasien akan mengalami mental confusion,
berkeringat dengan nadi yang cepat. Hipoglikemi
akan menyebabkan kerusakan neuron-neuron
otak jika energi utama yang dibutuhkan oleh otak
tidak terpenuhi (insulin koma).
Transport ion
Kadar ion kalium dalam cairan ekstraselular
otak dan cairan serebrospinal adalah 3 mmol/I,
sedangkan kadar ion kalium dalam darah antara
4-5 mmol/I. Kadar ion kalium dan natrium dalam
otak diatur oleh natrium-kalium-ATPase yang
terletak pada endotel membran sel pembuluh
darah kapiler otak. Neurotransmisi yang optimal
memerlukan kadar kalium yang konstan di dalam
otak. Hal ini dapat dicapai dengan menghentikan
difusi ion kalium ke otak melalui transport yang
spesifik di endotel yang secara aktif mengatur
kadar ion kalium. Na+/K+ ATPase banyak
terdapat di kapiler otak.10
Mikrovaskuler otak mengandung 500 kali Na+/
K+ ATPase dan 1,6 kali di pleksus koroid. Na+ /
K+ ATPase secara aktif mengubah dan mengatur
kadar ion kalium dalam otak. Pada glioma maligna
kemungkinan terdapat peningkatan Na+/K+
ATPase yang akan menyebabkan peningkatan Na
dan air yang akan menyebabkan terjadinya edema
vasogenik. Kortikosteroid dapat menghambat
aktivitas Na+/K+ ATPase pada glioma, sehingga
beberapa penulis memperkirakan bahwa efek
terapi kortikosteroid adalah berkurangnya Na+/
K+ ATPase. Selain transport kalium dan ion
natrium, ion bikarbonat juga dapat menembus
Kerusakan Barier Pertahanan Alamiah: Sawar Darah Otak
sawar darah otak walaupun sistem transport
spesifiknya belum diketahui.11
Transport Asam Amino
Sebagian besar asam amino netral dapat melalui
sawar darah otak melalui sistem transport
berbeda, yaitu sistem L, sistem A dan sistem
ASC. Sistem L cenderung berkaitan dengan
asam amino netral yang bercabang atau rantai
dengan bentuk cincin (leusin, valin), merupakan
asam amino yang tergantung dengan ion
natrium dan secara kompetitif dihambat oleh
asam
2
aminobisikloheptan-2-karboksilat.
Sistem A cenderung berikatan dengan asam
amina netral dengan pendek (alanin, serin),
tergantung pada natrium dan dihambat oleh asam
alfametilaminisobutirat. Sistem ASC cenderung
berikatan alanin, serin dan sistein, tergantung
dengan natrium dam tidak sensitif terhadap asam
2-aminosikloheptan-2-karboksilat dan sama
affametilaminisobutirat.12
55
menganggu fungsi normal otak, seperti epinefrin
yang terdapat banyak di dalam sirkulasi sebagai
respon terhadap stress fisik ataupun emosional
akan dapat mengganggu fungsi otak bila dapat
mencapai otak dengan mudah.
Sawar Darah Otak dan Gangguan Neurologis
Terdapat hubungan antara sawar darah otak
dengan gangguan neurologis, dimana SDO
sendiri dapat rusak dalam beberapa penyakit
penyimpanan lisosom yang berperan pada gejalagejala neurologis, masalah secara langsung
disebabkan oleh terkumpulnya produk-produk
yang tersimpan dalam sel-sel otak. Karena
adanya SDO, terapi penggantian enzim sekarang
digunakan untuk mengobati beberapa penyakit
penyimpanan lisosom yang tidak dapat mencapai
sel otak. Beberapa hubungannnya antara lain:
Transport vitamin dan mineral
Otak memerlukan semua vitamin, kecuali
vitamin K dan vitamin D. Hampir semua vitamin
dapat menembus sawar darah otak melalui sistem
transport yang berbeda. Proses transport vitamin
diatur sebagai berikut:
Pada saat kadar vitamin dalam darah tinggi,
sedangkan dalam otak sudah cukup, maka
mediator transport akan menghalangi masuknya
vitamin ke otak. Pelepasan vitamin yang lambat
melalui sawar darah otak bertujuan untuk
mencegah kehilangan vitamin yang tiba-tiba
di otak. Hal ini terjadi pada keadaan defisiensi.
Untuk mengembangkan dan mempertahankan
fungsinya otak juga memerlukan trace metals
seperti Zn, Fe, Cu dan Meningioma.5
Transport elemen-elemen tersebut bergantung
pada adanya ion bebas, organomolekule atau
metalloprotein. Besi dapat masuk ke otak melalui
ikatan kompleks transferin dengan reseptor
endotel spesifik dan melalui endositosis.5
Kelainan anatomi 11
Kernicterus adalah suatu kondisi pada neonatus
dengan otak (terutama striatum) tampak berwarna
kuning. Hal ini terjadi karena penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, karena terdapat rhesus
incomtabilitas antara kedua orang tuanya. Dahulu
diperkirakan hal ini terjadi karena imaturitas
dari sawar darah otak, tetapi pada kenyataannya
maturitas tight junction telah terjadi pada usia
kehamilan 12 minggu. Dalam keadaan normal
bilirubin dengan protein plasma tidak dapat
melewati sawar darah otak. Fungsi tersebut
belum sempurna pada beberapa bayi baru lahir
sehingga sebagian besar bilirubin dalam keadaan
bebas dan dapat menembus sawar darah otak.
Pendapat lain mengatakan bahwa imaturitas
dari sawar darah otak pada bayi baru lahir
berdasarkan pada: a) terdapat
peningkatan
protein dalam cairan serebrospinal pada bayi
baru lahir, b) terdapat
bilirubin
didalam
otak pada beberapa bayi imatur yang disebut
kernicterus, c)terdapat perbedaan penetrasi
beberapa substans di dalam otak, pada bayi
lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa.
Neurotransmiter
Sawar darah otak impermeabel terhadap epinefrin,
norepinefrin, asetilkholin, dopamin. Sehingga
apabila sistem sawar darah otak ini tidak ada,
maka efek dari neurotransmiter tersebut dapat
Edema otak
Definisi dari edem otak adalah peningkatan
kandungan air di dalam jaringan otak. Edema
otak dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: 1) e d e m a
otak sitotoksik, 2) edema otak interstisial, 3)
56
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
edema otak vasogenik
Edema otak sitotoksik disebabkan karena
akumulasi cairan intraseluler, yang biasanya
terjadi pada hipoksia otak. Hipoksia berpengaruh
terhadap mekanisme pompa Na+ ATP pada
membran sel, menyebabkan akumulasi Na
intraseluler, kemudian air akan masuk ke sel
untuk mempertahankan tekanan osmotik.
Dengan demikian edema yang terjadi adalah
edem intraseluler primer dan akan berpengaruh
terhadap sel endotel, astrosit dan neuron.
Pembengkakan sel tersebut mengakibatkan ruang
interstisial akan menyempit.13
Edema otak interstisial merupakan akibat
dari peningkatan tekanan intraventrikuler dan
hidrosefalus, sehingga menyebabkan transudasi
cairan serebrospinal. Edema otak vasogenik
merupakan akibat dari peningkatan permeabilitas
sawar darah otak, dapat terjadi pada tumor otak
dan abses otak. Tight junction menjadi tidak
kompoten, sehingga menyebabkan cairan plasma
masuk ke ruang interseluler. Edema vasogenik ini
banyak dijumpai pada trauma, tumor, dan abses.
Pada keadaan normal mekanisme autoregulasi
akan bekerja keras jika terjadi hiperkapnia
berat atau hipertensi berat. Bila aliran darah
kapiler meningkat cukup besar dapat terjadi
kerusakan tight junction. Penelitian pada hewan
memperlihatkan bahwa hal tersebut menyebabkan
terjadinya aktivitas pinositosis,akibatnya timbul
peningkatan cairan di ekstraseluler dan edema
otak.13
Trauma otak
Pada keadaan trauma, disfungsi SDO dapat terjadi
secara cepat ataupun lambat, gangguan dari
kompleks tight junction dan integritas membran
menghasilkan
peningkatan
permeabilitas
seluler. Cedera menyebabkan stres oksidatif dan
peningkatan produksi mediator proinflamasi
dan meningkatkan regulasi dari ekspresi adhesi
molekul sel pada permukaan endotel otak yang
memicu influx dari sel proinflamasi menuju
parenkim otak yang terkena trauma.14
Terdapat juga bukti yang mengacu bahwa
cedera otak dapat mengubah ekspresi ataupun
aktifitas dari SDO yang terkait transport.
Proses patofisiologi gangguan ini mengacu
pada interaksi fungsional normal antara sel
glia dengan endotel serebrovaskuler, dimana
mungkin berkontribusi terhadap disfungsi dari
SDO. Terdapat kesepakatan yang berkembang
dimana pada posttrauma terjadi perubahan fungsi
dari SDO adalah salah satu faktor utama yang
menentukan progesivitas dari cedera. Pengamatan
terhadap disfungsi SDO pascacedera berimplikasi
pada rusaknya sel saraf, gangguan fungsi otak
(gangguan kesadaran, memori dan gangguan
motorik). Struktur pembuluh darah serebral dan
Gambar 3. Sawar Darah Otak dan Trauma Kepala
Kerusakan Barier Pertahanan Alamiah: Sawar Darah Otak
57
Gambar 4. Mekanisme dan Respon SDO terhadap Trauma
endotelnya dapat rusak karena trauma, dengan
demikian terjadi kerusakan pula pada tight
junction. Kerusakan mikrovaskuler posttrauma,
berhubungan dengan proses terjadinya edema otak
vasogenik yang terjadi akibat kerusakan integritas
sawar darah otak, akibatnya terjadi akumulasi
natrium dan protein didalam parenkim otak
dan ekspansi cairan osmoler ke ekstraseluler.14
Disrupsi dari integritas dinding pembuluh darah
mikro di otak yang disebabkan oleh benturan
secara cepat mengaktivasi kaskade koagulasi.
Pembentukan dari trombosit dan lekosit-agregasi
trombosit terlihat pada daerah pial dan parekim
vena. Koagulasi intravaskuler pascatrauma
ini dinamakan fenomena “No-reflow” setelah
iskemia
serebral
yang
mengakibatkan
penurunan signifikan aliran darah pada jaringan
perikontusional otak. Meskipun disrupsi
mekanik dari integritas vaskuler dan peningkatan
permeabilitas dari SDO berhubungan dengan
gangguan fungsi dari SDO yang muncul
pascatrauma menyebabkan faktor darah seperti
albumin dan fibrinogen masuk kedalam otak
secara non selektif.14
Peningkatan permeabilitas SDO pasca trauma
terhadap molekul dengan ukuran besar dapat
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
paraseluler dari sawar endothelial yang
berhubungan dengan perubahan ekspresi,
distribusi dan fungsi dari tight junction SDO.14
Tumor Otak
Tumor otak terbanyak dibagi menjadi dua yaitu
glioma dan astrositoma. Pada glioma terutama
yang paling ganas yaitu glioblastoma mempunyai
karakter hiperseluler tegas, pleomorfik, mitosis
jumlah besar, focus nekrosis sentral dan banyak
vaskularisasi. Literatur menyebutkan perubahan
mrfologi pembuluh darah tumor terjadi dalam
jumlah sangat banyak tetapi tergantung dari
pembentukan dari fenestrasi, perubahan jumlah
caveola dan mitokondria, pengecilan dari lamina
basal, peningkatan ruang perivaskuler dan perisit.
Sawar yang kehilangan fungsi dapat terlihat dengan
pemeriksaan MRI dengan memberikan contras.
Pada kontras standar tidak dapat menembus SDO
tetapi terjadi sawar yang terkompromasi pada
glioblastoma, astrositoma tingkat awal kurang
agresif jika dibandingkan dengan glioblastoma.
Pembuluh darah astrositoma terlihat masih
banyak yang normaldan menunjukkan sedikit
gangguan pada SDO, gangguan terhadap SDO
semakin bertambah seiring dengan tingkat dari
astrositoma tetapi agresifitasnya masih dibawah
glioblastoma. Hasilnya derajat edema yang terjadi
tergantung dari derajat kerusakan dari SDO.1,13
58
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 5. SDO dan Tumor Otak1
Tumor otak dapat menyebabkan: (1). Peningkatan
permeabilitas sawar darah otak, sehingga albumin
dan protein lain dapat melewati sawar darah otak;
(2). Pembengkakan jaringan sekitar tumor; (3)
Terjadi absorpsi dan pengeluaran cairan dan
protein dengan cairan serebrospinal di ventrikel.
Penyebaran air dan protein di jaringan otak tidak
hanya menyebabkan terbentuk suatu massa, tetapi
juga mengganggu keseimbangan elektrolit yang
diperlukan untuk mempertahankan fungsi neuron
normal. Gumerloc mengemukakan bahwa tumor
otak akan merubah permeabilitas sawar darah
otak secara signifikan bila ukuran diameter tumor
mencapai lebih dari 3–4 mm, akan menyebabkan
peningkatan vesikel pinositosis, tight junction
dan fenetrasi, kemudian jumlah kapiler akan
bertambah, ruangan perivaskuler bertambah dan
akhirnya menyebabkan berkurangnya fungsi
sawar darah otak.1,13
Kortikosteroid dan Tumor Otak
Penggunaan
kortikosteroid
pada
edema
otak terutama berhubungan secara primer
ataupun sekunder dengan tuomer otak telah
digunakan sejak tahun 1960an. Beberapa
mekanisme dari kortikosteroid mengurangi
edema telah diperkenalkan diantaranya inhibisi
fospolipase A2 dari kaskade asam arakidonat,
stabilisasi membrane lisosom dan peningkatan
mikrosirkulasi sekitar tumor. Mekanisme terapi
kortikkosteroid dalam menurunkan pembentukan
edema, dimana pada studi terbaru menunjukkan
bahwa kortikosteroid menurunkan ekspresi
dari VEGF yang diproduksi edema yang terikat
dengan sel endotel, VEGF merupakan factor
permeabilitas vaskuler yang berfungsi sebagai
pengatur dari angiogenesis dan permeabilitas
vaskuler. VEGF mempunyai permeabilitas
vaskuler yang sangat kuat bahkan lebih kuat
dibandingkan histamin.15
Efek penurunan edema oleh kortokosteroid
berlangsung cepat, penurunan permeabilitas
vaskuler mulai terlihat 1 jam pasca pemberian
kortikosteroid.
Dexamethason
merupakan
kortikosteroid yang banyak digunakan, dan
dexamethason enam kali lebih poten dibandingkan
dengan prednisolon. Dexamethason mempunyai
efek mineralkortikoid yang lebih kecil
dibandingkan dengan kortikosteroid yang lain
sehingga retensi dari natrium lebih sedikit yang
menyebabkan pembentukan edema lain juga
menurun. Pemberian dexamethason 4, 8, dan 16
mg per hari didapatkan peningkatan yang sama
dari fungsi neurologis, tetapi efek samping yang
ditimbulkan tetap berbanding dengan dosis.
Infeksi
Target kuman patogen yang menyebabkan
ensefalitis adalah endotel sawar darah otak,
sedangkan kuman patogen yang menyebabkan
meningitis adalah efitel pleksus koroideus.
Masuknya kuman patogen melalui penetrasi
pada paraseluler dan transeluler. Kerusakan
Kerusakan Barier Pertahanan Alamiah: Sawar Darah Otak
59
sawar darah otak mungkin disebabkan karena
terjadi migrasi lekosit dari darah dalam jumlah
besar melalui dinding kapiler otak. Kerusakan
sawar darah otak ini secara klini berguna untuk
pemberian antibiotika yang tidak larut dalam
lemak. Infeksi susunan saraf pusat, mekanisme
terjadinya kerusakan sawar darah otak tidak hanya
karena adanya kuman patogen dalam meningen,
tetapi juga karena terjadinya fragmentasi dinding
sel, endotoksin, dan aktifitas dari sel-sel lekosit. 7
Pada kasus edema otak dapat dibedakan menjadi
3 yaitu edema otak interstitial, edema otak
vasogenik dan edema otak sitotoksik. Edema
otak interstisial akibat dari peningkatan tekanan
intraventrikuler menyebabkan transudasi cairan
serebrospinal. Edema otak vasogenik akibat dari
peningkatan permeabilitas sawar darah otak, tight
junction menjadi tidak kompoten, sedangkan
edema otak sitotoksik merupakan akibat dari
kegagalan fungsi pompa Na-K ATPase.
Penyakit auntoimun
Tight junction pada sel endotel pembuluh darah
otak dapat dilalui oleh limfosit yang tergolong
dalam T-sel. Pada beberapa penyakit saraf yang
disebabkan oleh otoimum seperti, Guillain-Barre
Syndrome, motoneuron disease, demyelinisasi
polineuropati, terjadi serangan imunologi pada
sel endotel mikrovaskuler oleh glikolipid. Secara
langsung autoantibodi menyebabkan kerusakan
selular yang luas, yang berakibat terjadi
peningkatan permeabilitas sawar darah otak.16,17
Pada rusaknya sawar darah otak kasus trauma
banyak diakibatkan oleh rusaknya integritas
vaskuler, peningkatan aktivitas kaskade koagulasi
dan juga peningkatan produksi faktor-faktor
proinflamasi. Tumor otak dapat menyebabkan:
Peningkatan permeabilitas sawar darah otak,
sehingga albumin dan protein lain dapat
melewati sawar darah otak dan pembengkakan
jaringan sekitar tumor akibat kerusakan tight
junction SDO. Kortikosteroid dapat digunakan
untuk penatalaksanaan edema otak akibat tumor
otak dengan cara menurunkan efek VEGF serta
menurunkan permeabilitas SDO sehingga edema
perifokal sekitar tumor menjadi berkurang dengan
dexamethason menjadi pilihan utama karena efek
mineralokortikoid yang lebih minimal.
IV. Simpulan
Konsep sawar darah otak telah dijabarkan oleh
Ehrlich lebih dan 100 tahun lalu. Sawar darah
otak berfungsi melindungi otak dari lingkungan
darah dan memelihara homeostasis lingkungan
mikro otak dan sawar darah otak merupakan
suatu dinding yang impermeable, serta untuk
melindungi otak dari berbagai gangguan yang
dapat menyebabkan disfungsi otak. Dalam
beberapa keadaan, fungsi sawar darah otak
ini dapat terganggu, keadaan ini ada yang
menguntungkan dan digunakan untuk terapi pada
kelainan susunan saraf pusat
Edem otak sitotoksik disebabkan karena
akumulasi cairan intra seluler, yang biasanya
terjadi pada hipoksia otak. Hipoksia berpengaruh
terhadap mekanisme pompa Na+ ATP pada
membran sel, menyebabkan akumulasi Na
intraseluler, kemudian air akan masuk ke sel
untuk mempertahankan tekanan osmotik.
Dengan demikian edem yang terjadi adalah edem
intraseluler primer danakan berpengaruh terhadap
sel endotel, astrosit dan neuron. Pembengkakan
sel tersebut mengakibatkan ruang interstisial
akan menyempit.
Daftar Pustaka
1. Deeken JF, Loscher W. The Blood-brain
barrier and cancer: transporters, treatment,
and trojan horses. lin Cancer Res 2007;13(6):
1663–47.
2. Zuiham. Sawar Darah Otak. Jurnal
Kedokteran Nusantara 2005;38(2): 199–203.
3. Saleh SC. Neuroanestesi Klinik. Surabaya:
Airlangga press; 2013
4. Gitau EN, Newton CR. Blood-brain barrier
in falciparum malaria. Tropical Medicine and
International Health 2005; 10 (3): 285–92.
5. Elga de Vries, Alexandre Prat. The blood–
brain barrier and its microenvironment basic
physiology to neurological disease. New
York: Taylor & Francis Group, LLC;2005.
60
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
6. Richard D, Zhou L, Kebede AA, Barres BA.
Pericytes required for blood–brain barrier
integrity during embryogenesis. Nature
2010;468: 562 – 68.
12. Hawkins RA, O’Kaney RL, Simpson IA,
Vina JR. Structure of the blood–brain barrier
and its role in the transport of amino acids.
The journal of nutrition 2006.
7. Lawther BK, Kumar S, Krovvidi H. Blood–
brain barrier. Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care & Pain 2011;11(4)
13. Susan N, Wolburg-Buchholz K, Mack AF,
Wolburg H, Fallier-Becker P. The Bloodbrain barrier in brain tumours. Department
of Neurosurgery, University of Tübingen.
Germany;2012.
8. Hartanto OS. Perubahan sawar darah otak
pada proses inflamasi. Jurnal Berkala
Neurosains. 2006;7(2): 49–57.
9. Van Inge R. Targeted liposomes for drug
delivery across the bloodbrain barrier. Utrecht
Institute for Pharmaceutical Sciences, Utrecht
Nederland 2011.
10. Hsuchou H, Kastin AJ, Tu H, Markadakis
EN, Stone KP, Wang Y, et al. Effects of celltype specific leptin receptor mutation on
leptin transport across the BBB. Peptides
2011;32: 1392–9
11. Nitta T, Hatta M, Gotoh S, Seo Y, Sasaki H,
Hashomoto N, et al. Size-selective loosening of
the blood-brain barrier in claudin-5-deficient
mice. J Cell Biol, 2003; 161(3):653–60.
14. Adam C, Zink BJ, Szmydynger-Chodobska
J. Blood-brain barrier pathophysiology in
traumatic brain injury. Transl Stroke Res.
December 2011; 2(4): 492–516.
15. Kaal ECA, Vecht CJ.. The management of
brain edema in brain tumors. Curr Opin
Oncol 2004;16:593–600.
16. Su EJ, Fredriksson L, Geyer M. Activation
of PDGFCC by tissue plasminogen activator
impairs blood-brain barrier integrity
during ischemic stroke. Nature Medicine
2008;14(7):731–37
17. Praveen B, Braun A, Nedergaard M. The
blood–brain barrier: an overview Structure,
regulation, and clinical implications.
Neurobiology of Disease 2004;16(1): 1–13
Terapi Hipotermia pada Stroke Hemoragik
Bau Indah Aulyan Syah*), Iwan Fuadi**), Sri Rahardjo**)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Awal Bross Makasar, **)Departemen Anestesiologi &
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSHS Bandung, ***)Departemen Anestesiologi &
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta***)
*)
Abstrak
Terapi antipiretik merupakan salah satu terapi yang dianjurkan untuk pasien stroke karena peningkatan suhu tubuh
dianggap berhubungan dengan luaran neurologis yang buruk. Namun demikian, belum ada rekomendasi yang
paling tepat untuk kontrol demam baik secara farmakologi maupun mekanik akibat kurangnya temuan klinik.
Saat ini, hipotermi terapeutik dianggap satu-satunya metode neuroprotektif yang sukses dalam meningkatkan
luaran pasien stroke iskemik. Istilah neuroprotektif disini mengacu pada memelihara atau melindungi cedera saraf
yang reversibel agar tidak rusak atau mengalami kematian sel. Metode hipotermi dianggap berpengaruh terhadap
sejumlah jalur patofisiologi stroke. Pada penelitian in vitro, hipotermi mencegah edema serebral dan kerusakan
sawar darah otak. Selain itu, mencegah aktivasi mikroglia, produksi radikal bebas, dan pelepasan neurotransmitter
eksitotoksik serta asam laktat dan piruvat. Selain itu, cerebral metabolic rate (CMR), apoptosis dan respon
inflamasi lokal juga berkurang. Hipotermi otak secara lokal dilaporkan menurunkan ekspresi gen interleukin-1b
dan pembentukan edema vasogenik pada model perdarahan intraserebrial binatang. Hipotermi terapeutik dianggap
lebih efektif bila dimulai lebih awal setelah onset gejala. Durasi hipotermia yang lebih lama juga memiliki
efek neuroprotektif persisten dalam jangka waktu lama. Namun demikian, terapi hipotermia memiliki beberapa
komplikasi terhadap jantung, paru-paru, immunologi, hematologi, dan metabolik. Komplikasi yang paling sering
dilaporkan adalah pneumonia, bradikardi, aritmia, dan trombositopenia. Evaluasi efektivitas hipotermia sulit
dievaluasi pada pasien yang tersedasi karena pemeriksaan neurologis harian seringkali membingungkan.
Kata kunci: Antipiretik, stroke, stroke hemorrhagik, terapi hipotermi
JNI 2015;4 (1): 61–8
Hypothermia Therapy in Hemorrhagic Stroke
Abstract
Antipyretic is among one of the suggested therapies for stroke patients. The reason is because increase in body
temperature is considered related to bad neurological outcomes. However, there is no best recommendation
available for controlling the temperature, neither pharmacologically nor mechanically due to less clinical practices
findings available. Currently, therapeutic hypothermia is considered as the one and only successful neuroprotective
in enhancing the ischemic strokes patients’ outcomes. The term neuroprotective refers to protecting or conserving
various types of reversible neurological injuries from damage or further cell impairment. In vitro studies showed
hypothermia prevent cerebral edema and blood brain barrier damage, as well as successfully proven effective in
preventing microglia activation, free radical production, and release of exotoxic neurotransmitters, lactic acid
and piruvate. In addition, cerebral metabolite rate (CMR), apoptosis, and local inflammatory response are also
decreased. Local brain hypothermia is reported could lowering the 1b-interleukin gen expression and establishment
of vasogenic edema among animal models with intracerebral hemorrhage. Therapeutic hypothermia is considered
highly effective when initiated early in subsequent to the symptom onset. Longer duration of cooling is related
to a more persistent neuroprotective effect in long periode. Despite its effectiveness, therapeutic hypothermia
could generate several complications affecting the heart, lung, immunology, hepatology and metabolic states. The
most common complications are pneumonia, bradicardia, arrhythmia, and thrombocytopenia. Evaluation to the
effectiveness of hypothermia is difficult to measure in sedated patients due to difficulty in defining the patient’s
neurological states on day to day bases
Key words: Antipyretic, hemorrhagic stroke, hypothermia therapy, stroke
61
JNI 2015;4 (1): 61–8
62
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Stroke merupakan penyebab kematian kedua di
seluruh dunia dan penyebab pertama kecacatan
di negara dengan pendapatan tinggi.1 Saat ini,
pilihan terapi stroke masih mengecewakan
bahkan tidak ada terapi yang efektif untuk stroke
hemorragik selain kontrol tekanan darah dan
manajemen efek sekundernya. Beberapa panduan
(guidelines) menganjurkan terapi antipiretik
untuk pasien stroke berdasarkan hubungan
antara peningkatan suhu tubuh dengan luaran
neurologis yang buruk.2-4 Kenyataannya, belum
ada rekomendasi tepat yang diajukan sebagai
metode kontrol demam, baik secara farmakologi
maupun mekanik akibat kurangnya temuan uji
klinik. Namun demikian terdapat beberapa data
eksperimental yang menganjurkan beberapa
macam metode neuroproteksi yang dimediasi
oleh kontrol suhu pada berbagai macam model
binatang dengan cedera otak akut. Selain itu,
hipotermi terapeutik tampaknya satu-satunya
metode neuroprotektif yang sukses dalam
meningkatkan luaran pasien stroke iskemik.5
Stroke hemorrhagik/HS (perdarahan intraserebral/
intracerebral hemorrhage (ICH)) merupakan
sroke yang sangat berbahaya dan berkisar 15% dari
seluruh jenis stroke. Perdarahan bisa terjadi akibat
riwayat traumatic brain injury (TBI), iskemia
fokal, dan spontan akibat terapi anti trombotik.6
Mortalitas 30-hari ICH mencapai angka 52%.7
Setelah fase akut ICH, morbiditas dan mortalitas
tinggi khususnya diakibatkan oleh pembentukan
edema peri-hemorragik dan space-occupying
edema yang secara bertahap berhubungan
dengan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Meskipun penyebab alami edema tidak diketahui,
edema kebanyakan meningkat selama minggu
pertama, dan mencapai maksimal pada minggu
kedua setelah onset perdarahan.
II. Pengaruh Peningkatan Suhu pada Stroke
Peningkatan suhu tubuh dan otak dipengaruhi oleh
serangkaian patofisiologis, termasuk peningkatan
kadar asam amino eksitatoris (seperti glutamat dan
dopamin), radikal bebas, asam laktat dan piruvat;
kerusakan sawar darah otak (blood-brain barrier/
BBB); gangguan fungsi enzim, dan penurunan
stabilitas sitoskeletal.8 Kejadian tersebut
mengarah pada edema serebral, penurunan
tekanan perfusi serebral, hingga peningkatan
risiko cedera sekunder. Pada beberapa jenis stroke,
seperti stroke iskemik, perdarahan subaraknoid,
dan perdarahan intraserebral, intensitas efek di
atas terlihat berbeda pada masing-masing jenis
stroke.8 Pada tikus, penghangatan eksternal
membuat kerusakan neuronal akibat iskemik
bertambah luas sehingga sangat memungkinkan
peningkatan suhu tubuh menjadi salah satu
penyebab buruknya luaran pada stroke.8 Suatu
meta-analisis menunjukkan hubungan antara
demam (peningkatan suhu tubuh) dengan
perburukan luaran pada pasien dengan stroke dan
cedera otak lain dengan cakupan 39 studi klinik
dan 14.431 pasien.4 Penelitian ini menunjukkan
bahwa peningkatan suhu tubuh secara signifikan
berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi,
bertambahnya angka kecacatan, meningkatnya
tingkat keparahan penyakit, perburukan luaran
fungsional, dan bertambah lamanya perawatan di
rumah sakit dan unit perawatan intensif (intensive
care unit/ICU).9
Anti-piretik Secara Farmakologik pada
Manajemen Stroke
Suatu penelitian multisenter (29 senter) yang
melibatkan 1400 pasien dengan stroke iskemik
atau perdarahan intraserebral, yang dilakukan
selama 5 tahun, dimana pasien menerima
parasetamol 6 kali sehari selama 3 hari atau
placebo. Hanya 70% pasien yang menerima
terapi penuh. Rerata suhu tubuh 24 jam setelah
terapi parasetamol berkisar 0,26 °C lebih rendah
dibanding kelompok plasebo, namun tidak ada
perbedaan signifikan dalam jumlah pasien yang
mengalami perbaikan setelah 3 bulan. Yang
menarik, pasien yang demam (37–39 °C) saat
awal penelitian memiliki luaran yang baik setelah
mendapatkan parasetamol. Dengan demikian,
penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian
antipiretik pada pasien stroke yang tidak demam
bukanlah pendekatan yang adekuat.10
Terapi Fisik pada Pasien Stroke
Strategi yang menjanjikan untuk terapi fisik
demam pada pasien stroke telah banyak
direkomendasikan, namun data yang tersedia
Terapi Hipotermia pada Stroke Hemorragik
bahkan lebih terbatas dibanding pendekatan
farmakologi (Tabel 1).9 Beberapa penelitian yang
melakukan pendekatan kombinasi terapi fisik
dengan asetaminofen atau antipiretik standar lain
dalam kasus terapi antipiretik atau terapi fisik
menunjukkan hasil yang gagal. Akibatnya, hasil
tersebut tidak secara eksklusif menunjukkan efek
pendinginan fisik, namun adiksi atau super-adiksi
beberapa terapi obat antipiretik.9
Dalam satu penelitian, cooling blanket dengan
sirkulasi udara yang dikombinasi dengan
asetaminofen tidak efektif menurunkan suhu
dalam 24 jam pada 113 pasien bila dibandingkan
asetaminofen tunggal. Sistem sirkulasi air
mencapai penurunan demam yang signifikan,
namun tidak ada data dalam hal luaran
fungsional.11 Dua penelitian lain menggunakan
jalur kateter vena sentral untuk kontrol suhu pasien
dengan demam (≥38.0 °C) diikuti pemberian
asetaminofen, ibuprofen, bahkan petidin dan
terapi fisik cooling blanket, iced packed, dan
gastric lavage. Keduanya menunjukkan kontrol
suhu tubuh yang efektif, namun hanya satu
penelitian yang menunjukkan luaran fungsional
setelah 6 bulan, yang sayangnya menunjukkan
hasil yang tidak efektif.12, 13
Pengaruh Induksi Hipotermi pada Stroke
Salah satu tujuan utama penelitian mengenai
metode terapi stroke adalah untuk identifikasi
metode neuroprotektif yang dapat diterapkan
dalam uji klinik. Istilah neuroprotektif berarti
memelihara atau melindungi cedera saraf yang
reversibel agar tidak rusak atau tidak mengalami
kematian sel. Beberapa obat yang diduga bersifat
neuroprotektif (114 obat) dalam percobaan
binatang14 ternyata tidak terbukti efektif dalam
randomized control trial (RCT) manusia.15 Saat
ini hipotermi terapeutik dipertimbangkan sebagai
kandidat yang menjanjikan untuk stroke. Metode
ini dianggap berpengaruh terhadap sejumlah jalur
patofisiologi stroke. Selain itu, hipotermi telah
digunakan untuk meningkatkan luaran neurologis
dan angka ketahanan hidup pasien koma yang
diterapi dalam 6 jam pasca henti jantung.9
Percobaan binatang (model in vitro) menunjukkan
bahwa hipotermi mencegah edema serebral dan
63
kerusakan BBB. Selain itu, mencegah aktivasi
mikroglia, produksi radikal bebas, pelepasan
neurotransmitter eksitotoksik asam laktat,
piruvat, cerebral metabolic rate (CMR), apoptosis
dan respon inflamasi lokal juga berkurang.8,16
Hipotermi lebih efektif bila dimulai lebih awal
setelah onset gejala. Hipotermi yang dimulai 90–
120 menit menunjukkan angka ketahanan hidup
yang lebih tinggi dan luaran fungsional yang
lebih baik dibanding normotermi, namun terapi
setelah 180 menit menunjukkan efek yang tidak
adekuat dibanding kontrol. Durasi hipotermia
juga berpengaruh. Hipotermia moderat yang
dilakukan selam 5 jam ternyata memiliki efek
neuroprotektif persisten hingga 5 hari.9
Secara umum, hipotermi dibagi menjadi
hipotermi berat dengan suhu <28 °C, hipotermi
sedang/moderat dengan suhu 28–33 °C, dan
hipotermi ringan dengan suhu 33–36°C. Saat ini,
kebanyakan penelitian menggunakan hipotermi
ringan hingga sedang karena efek samping
hipotermia seperti hipokalemia, gangguan irama
dan konduksi jantung, komplikasi infeksi dan
koagulopati. Selain itu, hipotermi berat juga
memerlukan sedasi dan ventilasi mekanik yang
justru berhubungan dengan efek samping lain
atau evaluasi defisit neurologis yang tidak tepat.
Secara khusus, uji klinik membagi induksi
hipotermia menjadi dua kelompok: kelompok
dengan pasien yang tersedasi dan menerima
ventilasi mekanik dan kelompok pasien yang
menerima cooling dalam keadaan sadar.9
Terapi Cooling pada Pasien dengan Ventilasi
Mekanik
Sekitar 100 pasien stroke menerima terapi
hipotermi moderat selama sedasi dan ventilasi
mekanik, semua pasien menerima cooling dengan
target suhu 33 °C, yang diukur melalui termistor
buli-buli. Hipotermi dimulai antara 4–24 jam
setelah onset gejala, dan dipelihara selama
48–72 jam. Angka mortalitas ditemukan sekitar
44% pada awal penelitian, dibandingkan 78%
pada kelompok terapi standar. Pada penelitian
tersebut, cooling efektif dalam mengontrol
tekanan intrakranial (TIK). Namun demikian,
peningkatan TIK sekunder yang kadang-kadang
melebihi nilai TIK awal dan memerlukan terapi
Intervens
N
dkk, Endovascular 102
cooling
+
asetaminofen,
ibuprofen,
pethidine,
cooling blanket
Cooling blanket 47
(sirkulasi air) +
asetaminofen
Endovascular 296
cooling
+
asetaminofen,
ibuprofen,
cooling blanket,
iced
packed,
gastric lavage
SAH, IS, 2
ICH
≥35,5
Jumlah pusat Suhu
penelitian
(°C)
I C H , 1
≥38,3
SAH, IS,
TBI, dan
lain-lain
S A H , 1
≥38,3
IS, ICH,
TBI
SAH, IS, 13
≥38,0
ICH
Penyakit
7-14
3
1
Buli-buli
Buli-buli
Timpani
tubuh Durasi terapi Pengukuran
(hari)
1
Timpani
D e m a m Positif,
0,0
( h i n g g a vs 4,3°C, p =
14 hari)
0,0001
Hasil
(Prim
EP)
N o r m o - Negatif, 5,5 vs
t e r m i a 44,2% p=0,19
selama 24
jam
D e m a m Positif,
4,1
selama 24 vs
16,1°C,
jam
p=0,001
D e m a m Positif,
2,87
selama 72 vs
7,92°C,
jam
p<0,001
Prim EP
Keterangan : n=jumlah pasien yang diikutsertakan, ICH = intracerebral hemorrhage, SAH = subarachnoid hemorrhage, IS = ischemic stroke, TBI = traumatic
brain injury, Prim EP = Primary End Point
Broessner
2009
Diringer, 2004
Mayer dkk, 2004
Cooling blanket Cooling blanket 220
(sirkulasi udara)
+ asetaminofen
Referensi, Tahun
Table 1.Penelitian Randomized Trial Prospektif yang Mencakup Terapi Kombinasi Fisik dan Antipiretik.9
64
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Terapi Hipotermia pada Stroke Hemorragik
osmotik ditemukan signifikan pada beberapa
pasien saat fase rewarming (penghangatan).
Periode penghangatan merupakan fase yang
paling kritis pada semua pasien yang menjalani
terapi hipotermi karena semua kematian
disebabkan oleh adanya peningkatan TIK hingga
menyebabkan terjadinya herniasi pada fase ini.
Karena dasar inilah, banyak dianjurkan kombinasi
terapi cooling dan pembedahan dekompressif
dengan target efek neuroprotektif dan kontrol TIK
yang efektif. Seperti kebanyakan pasien dengan
perawatan lama, pneumonia merupakan efek
samping mayor yang sering dijumpai, namun ini
sukses diterapi dengan antibiotik.17
Terapi Cooling pada Pasien Sadar
Sejauh ini, jumlah penelitian pada pasien yang
tidak tersedasi masih terbatas. Suatu publikasi
penelitian studi prospektif melakukan hipotermia
pada 17 pasien yang dibandingkan dengan 56
pasien kontrol. Kompensasi berupa menggigil
diatasi dengan petidine 25–50 mg. Pendekatan ini
menurunkan suhu hingga 36,8–35,5 °C selama
terapi. Ditemukan kecenderungan mortalitas
yang lebih rendah pada pasien yang menerima
hipotermi, namun tidak signifikan. Penelitian
lain menggunakan kombinasi terapi antipiretik
dan hipotermia, dengan suhu dipelihara antara 36
dan 37 °C selama 24 jam pada 18 pasien yang
berbaring pada cooling matras yang diperfusi
dengan air dan menerima terapi petidin. Target
suhu dicapai kecuali pada 2 pasien, dan tidak
ada efek samping utama yang ditemukan. Pada
penggunaan metode cooling endovascular
pertama pada 18 pasien sadar selama 24 jam,
ditemukan pertumbuhan lesi yang lebih rendah
pada gambaran MRI dibanding 22 pasien
normotermi. Tiga belas pasien mencapai suhu
target dengan rerata waktu 77 ± 44 menit dan
hipotermi ditoleransi baik semua pasien.
Terapi Hipotermia pada Stroke Hemorrhagik
Penelitian yang memantau efek hipotermia pada
stroke iskemik sudah cukup banyak. Sayangnya,
hanya sebagian kecil uji klinik yang memantau
efek hipotermia, terutama jangka panjang pada
pasien stroke hemorrhagik. Penelitian tersebut
melaporkan bahwa hipotermia mengurangi edema
dan defisit fungsional, dan tidak berhubungan
65
dengan efek samping negatif.6
Kebalikan dari penelitian iskemi serebral,
hipotermi tidak secara konsisten meningkatkan
derajat pemulihan atau mengurangi cedera
otak pada kebanyakan studi SH. Hal ini terjadi
mungkin karena hipotermi tidak efektif sebagai
cytoprotectant untuk SH (sesuai dengan penelitian
binatang). Namun demikian, beberapa penelitian
binatang menunjukkan bahwa hipotermi bisa
bersifat neuroprotektif pada ICH dengan cara
mengurangi pembentukan edema melalui
berbagai macam mekanisme.18 Pengalaman
pertama penggunaan hipotermia pada terapi ICH
oleh Howell dkk pada tahun 1956. Hipotermia
dengan suhu 30°C – 32°C diinduksi pada 8 pasien
dengan ICH spontan. Meskipun gejala herniasi
membaik pada semua pasien, namun 6 pasien
meninggal akibat komplikasi sistemik, dan yang
paling sering adalah aspirasi. Dari cerita anekdot
mengenai penelitian ini, mereka menginduksi
hipotermi dengan kantong es, alkohol, dan bahkan
membuka jendela di tengah-tengah musim dingin
di Kanada saat itu.
Data pertama yang menunjukkan kesuksesan
penerapan hipotermi pada pasien stroke
hemorragik (perdarahan intraserebral) dilakukan
pada tahun 2010 oleh Kollmar dkk. Dua belas
pasien dengan perdarahan intraserebral (>25
cc) diterapi dengan hipotermi ringan hingga 35
°C, yang dipelihara dengan alat endovaskular
selama 10 hari. Hipotermi efektif mencegah
pembentukan edema perihemorragik pada pasien
aktif, sedangkan pasien grup kontrol menunjukkan
progresi volume edema yang signifikan seiring
dengan waktu. Hipotermi jangka panjang yang
dimulai dalam 12 jam setelah onset gejala
sangat efektif sebagai terapi anti-edema karena
mencapai angka ketahanan hidup yang sangat
baik setelah 90 hari (100%). Namun demikian,
pneumonia banyak ditemukan pada pasien
kelompok hipotermi.17 Terapi hipotermi juga
pernah dievaluasi pada manajemen perdarahan
subarachnoid (subarachnoid hemorrhage/SAH).
Gasser dkk melakukan terapi pada 21 pasien
dengan SAH dan edema serebral yang parah
untuk melihat efek hipotermi jangka panjang
(>72 jam). Sembilan persen diterapi <72 jam dan
66
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
12% lebih dari 72 jam. Efek ketidaktergantungan
fungsional setelah 3 bulan tercapai pada 48%
pasien, namun luaran tidak berbeda antara pasien
dengan kontrol (tanpa hipotermi). Komplikasi
infeksi ditemukan sama pada kedua kelompok.19
Pada penelitian lain, hipotermi otak secara lokal
dilaporkan menurunkan ekspresi gen interleukin1b dan pembentukan edema vasogenik pada
model perdarahan intraserebral babi.20
Komplikasi Hipotermia
Induksi hipotermia terapeutik merupakan
prosedur perawatan intensif yang harus
dilakukan dengan pemantauan kontinyu. Karena
kebanyakan pasien yang menerima terapi adalah
pasien sakit kritis, maka mereka lebih rentan
terhadap komplikasi. Komplikasi ini tampaknya
berkaitan dengan derajat hipotermi.
Secara umum, hipotermi ditoleransi baik,
namun komplikasi dapat mencakup: 1) jantung:
aritmia, bradikardi, penurunan kontraktilitas
jantung, dan hipotensi; 2) immunologi:
immunosupresi; 3) hematologi: trombositopenia
dan koagulopati ringan; dan 4) metabolik:
menggigil, hiperglikemia, hipokalemia, ileus,
dan diuresis yang diinduksi dingin. Komplikasi
yang paling sering dilaporkan adalah pneumonia,
diikuti bradikardi asimtomatik, aritmia jantung,
dan trombositopenia. Pneumonia tampaknya
terjadi lebih sering pada pasien terintubasi yang
menjalani cooling. Cooling endovaskuler dengan
selimut hangat untuk mengatasi menggigil
merupakan alternatif cooling permukaan dan
dapat menurunkan derajat pneumonia. Fase
paling berbahaya dari hipotermi terapeutik
adalah pada periode penghangatan. Perhatian
utama harus ditujukan pada pasien stroke
dengan massa intrakranial dan peningkatan TIK.
Penghangatan yang cepat dapat mengarah ke
systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
dengan vasodilatasi sistemik, hipotensi, dan
refleks peningkatan TIK. Karena itu, ditetapkan
suatu aturan penghangatan pada pasien dengan
peningkatan TIK sebaiknya dengan kecepatan
0,1 °C per jam. Kecepatan yang lebih tinggi
0,25–0,33 °C per jam dapat ditoleransi pada
pasien tanpa masalah TIK.
Komplikasi hipotermi biasanya sulit dievaluasi
pada pasien yang tersedasi. Pasien yang tersedasi
dan menerima terapi hipotermi seakan-akan tetap
bertahan dalam sistem sehingga membingungkan
pemeriksaan dan prognosis neurologis. Ini
menjadi suatu issue utama pada pasien stroke
yang memerlukan pemeriksaan neurologis
harian.19
Masih dalam Penelitian
1. Target suhu. Target suhu optimal masih
belum ditentukan. Kebanyakan penelitian
fokus pada suhu 35 atau 33 °C.
2. Durasi hipotermi. Saat ini, beberapa data
menganjurkan 12–24 jam durasi terapi
berdasarkan uji klinik cedera otak akut
dan henti jantung. Namun demikian,
terapi hipotermi sebaiknya diiringi dengan
pemeriksaan parameter kerusakan sel saraf
seperti MRI dan biomarker serum.9
3. Mode ventilasi selama hipotermia. Terdapat
dua metode ventilasi yang dilakukan, yaitu
α-sat atau pH-stat. Keduanya memberikan
efek yang berbeda pada aliran darah otak
(cerebral blood flow/CBF). pH-stat: pH dan
hasil analisis gas darah (AGD) lain diukur
berdasarkan suhu aktual pasien, dengan
target memelihara pH 7,4 dan paCO2 5,3
kPa (40 mmHg). α-stat (alpha-stat): pH dan
hasil AGD lain diukur pada suhu 37 °C,
bukan suhu aktual pasien, dengan target yang
sama. TIK ditemukan lebih tinggi pada pHstat dibandingkan alpha-stat. pH-stat juga
menunjukkan peningkatan CBF dibanding
α-stat.
4. Teknik kontrol suhu. Cooling eksternal atau
internal mewakili pendekatan ini. Sejauh ini,
tidak ada metode optimal antara keduanya.
Masih menjadi pertanyaan apakah cooling
eksternal dapat ditoleransi baik oleh pasien
sadar. Sebaliknya, pendekatan endovaskuler
bersifat invasif dan memerlukan penanganan
kompleks pada situasi darurat.
5. Terapi antishivering. Pendekatan farmakologi
seperti petidin tampaknya efektif pada pasien
stroke yang sadar. Namun, opioid memiliki
efek samping seperti sedasi, mual, dan
muntah. Hal ini tidak nyaman buat pasien
bahkan bisa meningkatkan risiko aspirasi.
Terapi Hipotermia pada Stroke Hemorragik
67
6. Infeksi. Satu efek samping utama selama
terapi hipotermi yang paling penting adalah
pneumonia. Patogenesis komplikasi ini masih
tidak diketahui pasti. Namun efek samping
ini selalu dapat diterapi dengan antibiotik
yang adekuat.9
4. Greer DM, Funk SE, Reaven NL, Ouzounelli
M, Uman GC. Impact of fever on outcome
in patients with stroke and neurologic
injury: a comprehensive meta-analysis.
Stroke; a journal of cerebral circulation.
2008;39(11):3029–35.
III. Simpulan
5. van der Worp HB, Sena ES, Donnan GA,
Howells DW, Macleod MR. Hypothermia
in animal models of acute ischaemic stroke:
a systematic review and meta-analysis.
Brain: a journal of neurology. 2007;130(Pt
12):3063–74.
Data yang tersedia saat ini belum dapat
menentukan apakah terapi hipotermi efektif secara
rutin diterapkan pada pasien stroke, terutama
stroke hemorrrhagik. Teknik cooling yang
efektif sudah ditetapkan dan dapat memelihara
hipotermi yang stabil. Namun, efikasi (manfaat)
pendekatan ini terhadap luaran fungsional masih
harus dikonfirmasi oleh RCT yang besar.
Daftar Pustaka
1. Kolominsky-Rabas
PL,
Heuschmann
PU, Marschall D, Emmert M, Baltzer
N, Neundorfer B, et al. Lifetime cost of
ischemic stroke in Germany: results and
national projections from a population-based
stroke registry: the Erlangen Stroke Project.
Stroke; a journal of cerebral circulation.
2006;37(5):1179–83.
2. Adams HP, Jr., del Zoppo G, Alberts MJ, Bhatt
DL, Brass L, Furlan A, et al. Guidelines for
the early management of adults with ischemic
stroke: a guideline from the American Heart
Association/American Stroke Association
Stroke Council, Clinical Cardiology Council,
Cardiovascular Radiology and Intervention
Council, and the Atherosclerotic Peripheral
Vascular Disease and Quality of Care
Outcomes in Research Interdisciplinary
Working Groups: The American Academy of
Neurology affirms the value of this guideline
as an educational tool for neurologists.
Circulation. 2007;115(20):e478–534.
3. Guidelines for management of ischaemic
stroke and transient ischaemic attack
2008. Cerebrovascular diseases (Basel,
Switzerland). 2008;25(5):457–507.
6. MacLellan CL, Clark DL, Silasi G, Colbourne
F. Use of prolonged hypothermia to treat
ischemic and hemorrhagic stroke. Journal of
neurotrauma. 2009;26(3):313–23.
7. Broderick J, Connolly S, Feldmann E, Hanley
D, Kase C, Krieger D, et al. Guidelines for
the management of spontaneous intracerebral
hemorrhage in adults: 2007 update: a guideline
from the American Heart Association/
American Stroke Association Stroke Council,
High Blood Pressure Research Council,
and the Quality of Care and Outcomes in
Research Interdisciplinary Working Group.
Circulation. 2007;116(16):e391–413.
8. Dietrich WD, Atkins CM, Bramlett HM.
Protection in animal models of brain and
spinal cord injury with mild to moderate
hypothermia. Journal of neurotrauma.
2009;26(3):301–12.
9. Kallmunzer B, Kollmar R. Temperature
management in stroke - an unsolved, but
important topic. Cerebrovascular diseases
(Basel, Switzerland). 2011;31(6):532–43.
10. den Hertog HM, van der Worp HB, van
Gemert HM, Algra A, Kappelle LJ, van Gijn
J, et al. The paracetamol (acetaminophen) in
stroke (PAIS) trial: a multicentre, randomised,
placebo-controlled, phase III trial. The Lancet
Neurology. 2009;8(5):434–40.
11. Mayer SA, Kowalski RG, Presciutti M,
68
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Ostapkovich ND, McGann E, Fitzsimmons
BF, et al. Clinical trial of a novel surface
cooling system for fever control in
neurocritical care patients. Critical care
medicine. 2004;32(12):2508–15.
12. Broessner G, Beer R, Lackner P, Helbok R,
Fischer M, Pfausler B, et al. Prophylactic,
endovascularly
based,
long-term
normothermia in ICU patients with severe
cerebrovascular disease: bicenter prospective,
randomized trial. Stroke; a journal of cerebral
circulation. 2009;40(12):e657–65.
13. Diringer MN. Treatment of fever in the
neurologic intensive care unit with a catheterbased heat exchange system. Critical care
medicine. 2004;32(2):559–64.
14. O'Collins VE, Macleod MR, Donnan GA,
Horky LL, van der Worp BH, Howells DW.
1,026 experimental treatments in acute stroke.
Annals of neurology. 2006;59(3):467–77.
15. Molina CA, Montaner J, Abilleira S, Arenillas
JF, Ribo M, Huertas R, et al. Time course
of tissue plasminogen activator-induced
recanalization in acute cardioembolic stroke:
a case-control study. Stroke; a journal of
cerebral circulation. 2001;32(12):2821–7.
16. Kollmar R, Schwab S. Hypothermia in
focal ischemia: implications of experiments
and experience. Journal of neurotrauma.
2009;26(3):377–86.
17. Kollmar R, Staykov D, Dorfler A, Schellinger
PD, Schwab S, Bardutzky J. Hypothermia
reduces perihemorrhagic edema after
intracerebral hemorrhage. Stroke; a journal
of cerebral circulation. 2010;41(8):1684–9.
18. Kawanishi M, Kawai N, Nakamura T, Luo C,
Tamiya T, Nagao S. Effect of delayed mild
brain hypothermia on edema formation after
intracerebral hemorrhage in rats. Journal
of stroke and cerebrovascular diseases:
the official journal of National Stroke
Association. 2008;17(4):187–95.
19. Samaniego EA. Therapeutic Hypothermia
in Acute Stroke. Dalam: Sadaka F, editor.
Therapeutic Hypothermia in Brain Injury:
InTech; 2013.
20. Wagner KR, Beiler S, Beiler C, Kirkman J,
Casey K, Robinson T, et al. Delayed profound
local brain hypothermia markedly reduces
interleukin-1β gene expression and vasogenic
edema development in a porcine model of
intracerebral hemorrhage. Dalam: Hoff J,
Keep R, Xi G, Hua Y, editors. Brain Edema
XIII. Acta Neurochirurgica Supplementum.
96: Springer Vienna; 2006, 177–82.
Interaksi Otak-Paru pada Neurocritical Care
Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin-Bandung
Abstrak
Pasien cedera otak traumatik (COT) berat merupakan kasus trauma yang paling sering masuk ke ruang terapi
intensif dan kemudian terjadi multiple organ dysfunction dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Disfungsi
neurologik berat dihubungkan dengan terjadinya edema paru dan cedera paru yang akan memperburuk outcome,
dapat terjadi pada cedera otak traumatik, subarachnoid hemorrhage, status epileptikus, dan mati otak. Ventilasi
mekanis yang sering digunakan dalam pengelolaan pasien sakit kritis, juga dapat memicu respons paru dan organ
lain termasuk otak akibat terjadinya inflamasi. Pengaruh dari paru ke otak terlihat bahwa kebanyakan pasien
yang selamat dari acute respiratory distress syndrome (ARDS) menunjukkan kemunduran kognitif yang menetap
saat dipulangkan. Mekanisme yang mendasarinya belum diketahui, tapi hiperglikemia, hipotensi dan hipoksia/
hipoksemia di ICU secara nyata berkorelasi dengan outcome neurologik yang tidak baik tersebut. Sebaliknya,
pengaruh dari otak ke paru terlihat bahwa sepertiga dari pasien COT terjadi acute lung injury (ALI), yang
memperburuk outcome, tapi penyebabnya belum jelas, namun kemungkinan mekanismenya antara lain neurogenic
lung/pulmonary edema, mediator inflamasi, infeksi nosokomial, dan efek buruk dari terapi neuroproteksi.
Neurogenic pulmonary edema merupakan komplikasi cedera SSP yang telah dikenal dengan baik akibat pelepasan
katekolamine masif. Sebagai simpulan pada pasien dengan cedera otak dan gagal nafas akut, pencegahan dari
cedera otak iskemik dan penggunaan strategi proteksi paru yang hati-hati merupakan hal yang utama. Sejak
cross-talk antara otak dan paru diketahui dapat terjadi melalui berbagai jalur yang berbeda, pengendalian variabel
fisiologis merupakan hal penting untuk proteksi otak.
Kata kunci: cedera otak traumatik, interaksi otak-paru, neurocritical care
Brain-Lung Interaction in Neurocritical Care
JNI 2015;4 (1): 69–77
Abstract
Severe traumatic brain injury patient is one of the most frequent traumatic cases admitted to intensive care unit
(ICU) and develop multiple organ dysfunction with high rate of morbidity and mortality. Severe neurological
dysfunction associated with pulmonary edema and pulmonary injury which can further worsen clinical outcome
has been observed in traumatic brain injury, subarachnoid hemorrhage, status epilepticus, and in brain death
cases. Mechanical ventilation that is commonly used in the management of critically ill patients can also trigger
pulmonary and other organs responses including the brain, in relation to the inflammation caused. The effect
from lung to the brain can be seen by the fact that many acute respiratory distress syndrome (ARDS) survivors
showed a persistent cognitive deterioration when discharge. The underlying mechanisms remains unknow, but
hyperglycemia, hypotension and hypoxia/hypoxemia in ICU are significantly correlated with this unfavorable
neurological outcome. On the other hand, the effect from brain to the lung can be seen by the fact that one-third
of acute brain injury patients develop acute lung injury (ALI), that worsen the clinical outcome, but the cause
remaining obscure. The possible mechanisms include neurogenic lung edema, inflammatory mediators, nosocomial
infection, and the adverse effect of neuroprotective therapy. Neurogenic pulmonary edema is a well-recognized
complication of central nervous system insult attributed to a massive catecholamine release. As conclusion in
patient with brain injury and acute lung injury, prevention of inadvertent ischemic brain insult and the use of
protective lung strategies are mandatory. Since the cross-talk between the brain and lungs may occurs through
different pathway, greater control of physiological variables might be important to protect the brain.
Key words: brain-lung interaction, neurocritical care, traumatic brain injury
JNI 2015;4 (1): 69–77
69
70
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
II. The Brain-Lung-Brain Axis
Cedera otak atau cedera paru adalah penyebab
paling sering masuknya pasien ke unit perawatan
kritis dan pasien ini sering berkembang menjadi
multiple organ dysfunction dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.1 Ventilasi mekanis sering
merupakan suatu hal yang sangat diperlukan
dalam bagian life support pada pasien ini, dengan
tujuan untuk memperbaiki pertukaran gas dan
menurunkan muscle workload. Akan tetapi,
disamping efek terapeutik tersebut, ventilasi
mekanis dapat menimbulkan kerusakan paru dan
inflamasi (barotrauma) yang dapat menyebar ke
organ bagian distal. Hal ini karena ada umpan
balik (feedback) dan selanjutnya berperan
pada terjadinya cedera paru akibat ventilator.
Ketidakseimbangan homeostasis perifer ini
berdasarkan pada berbagai jalur cross-talk antara
paru dengan organ-organ lain, termasuk otak.1
Pada pasien yang sakit kritis, disfungsi neurologik
mungkin merupakan penanda sekunder dari
adanya kerusakan, dan substrat neuroanatomi
mengalir dan menganggu organ lain. Beberapa
laporan menunjukkan bahwa respons inflamasi
lokal dalam susunan saraf pusat (SSP) dapat
menimbulkan perubahan sistim imun dan
respons inflamasi sistemik.1 Bukti-bukti klinis
adanya brain-lung interaction (crosstalk brainlung) adalah pasien dengan acute respiratory
distress syndrome (ARDS) sering menunjukkan
adanya gangguan fungsi kognitif yang menetap
pada saat pasien dipulangkan. Sebaliknya pasien
cedera otak traumatik, subarachnoid hemorrhage
(SAH), status epileptikus, mati batang otak
menunjukkan adanya edema dan kerusakan
paru.1,2 Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena ada
cross talk otak-paru. Dari setiap bagian tubuh ada
“percakapan”, semua “bagian” aktip “ bercakap”
untuk kelangsungan hidup. Sebagai contoh cross
talk otak-jantung adalah pada peningkatan
tekanan intrakranial. Bila tekanan intrakranial
meningkat, maka tekanan darah meningkat
karena tekanan perfusi otak adalah tekanan
darah rata-rata dikurangi tekanan intrakranial,
sehingga peningkatan tekanan darah (Cushing’s
respons) adalah sebagai mekanisme pertahanan
tubuh supaya tidak terjadi iskemia, jadi disini ada
“percakapan” otak dengan jantung.
Disfungsi neurologikal berat dan cedera
dihubungkan
dengan
kecenderungan
berkembangnya edema paru dan cedera paru
(lung injury) yang dapat memperburuk outcome
klinis. Keadaan ini dapat dilihat pada cedera otak
traumatik, SAH aneurisma, status epileptikus,
dan mati otak.2 Lebih baru, penelitian telah
menunjukkan bahwa kelainan paru kritis seperti
cedera paru akut (acute lung injury/ALI) dan
ARDS mungkin bertanggung jawab untuk
cedera otak dan outcome neurokognitif yang
buruk. Seraya implikasi dari penemuan ini
dipertimbangkan, mekanisme biologik yang
mendasarinya membutuhkan klarifikasi.2
Penelitian menggunakan model porcine untuk
mengevaluasi efek independen dan kombinasi
dari hipertensi intrakranial akut dan ARDS
eksperimental pada cedera paru dan kerusakan
otak. Mereka mencatat bahwa marker (penanda)
cedera paru bertambah dengan adanya hipertensi
intrakranial akut dan terjadi peningkatan
selanjutnya bersamaan dengan adanya hipertensi
intrakranial acut/ARDS. Lebih jauh, kadar
kerusakan otak meningkat pada ARDS dan lebih
meningkat pada kombinasi hipertensi intrakranial
acut/ARDS. Penelitian menunjukkan edema
paru setelah cedera otak traumatik adalah akibat
tidak balansnya pelepasan katekholamine yang
menimbulkan venokonstriksi pulmonal dan atau
gagal ventrikel kiri.2
Lebih nyata bahwa paru dan otak menunjukkan
suatu terintegrasi fisiologikal adalah bila
terjadi cedera pada salah satu (paru atau otak)
akan mempengaruhi yang lainnya. Efek ini
dimediasi melalui jaringan sinyal yang kompleks
termasuk jalur neural, inflamatori, imunologik,
dan neuroendokrin. Dibutuhkan penelitian
fisiologikal untuk menerangkan bagaimana
edema paru berkembang setelah cedera otak,
khususnya kontribusi dari disfungsi ventrikel
kiri, venokonstriksi pulmonal, dan kebocoran
kapiler atau kegagalan stres.2
Dapatkah ada satu tindakan untuk membatasi
disfungsi paru setelah suatu cedera otak traumatik
Interaksi Otak-Paru pada Neurocritical Care
akut? Satu penelitian randomized controll trial
(RCT) besar tentang proteksi paru selama ventilasi
mekanis pada ALI atau ARDS secara konsisten
mengeksklusi pasien dengan cedera neurologik
dengan argumen bahwa seting proteksi paru,
seperti positive and expiratory pressure (PEEP)
yang tinggi dan hiperkapnia permisif dapat
mempengaruhi fisiologi intrakranial. Akan tetapi,
penelitian terbaru mendukung bahwa strategi
ventilasi proteksi paru mungkin aman dan efektif
dalam mengelola ALI/ARDS dan cedera otak
berat.2
Penelitian juga dibutuhkan untuk menjelaskan
konsekuensi neurologik pada ALI/ARDS. Efek
ini sebagian dimediasi oleh mekanisme hipoksik.
Satu penelitian eksperimental besar dengan
bukti-bukti klinis menunjukkan bahwa sepsis
adalah suatu injuri pada otak melalui rentang
mekanisme, dan hasil dari penelitian cohort
prospektif besar, menunjukkan bahwa ada satu
hubungan antara sepsis dan penurunan kognitif.
Masuk akal bahwa efek sepsis pada otak mungkin
relevan pada disfungsi otak pada ALI/ARDS.
Dibutuhkannya penelitian untuk menunjukkan
adanya hubungan ini dan untuk menentukan
strategi terapi spesifik (misalnya meningkatkan
pasokan oksigen otak atau menurunkan sinyal
neuroinflamasi), mungkin dapat memperbaiki
outcome neurologik dan kognitif.2
III. Interaksi Otak-Paru
Dari Paru ke Otak
Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)
adalah penyebab utama dari morbiditas dan
mortalitas pada pasien ARDS. Hal yang menarik
adalah kebanyakan pasien yang selamat dari
ARDS menunjukkan kemunduran kognitif
yang menetap saat dipulangkan. Mekanisme
yang mendasarinya belum diketahui, tapi
hiperglikemia, hipotensi dan hipoksia/hipoksemia
di ICU secara nyata berkorelasi dengan
outcome neurologik yang tidak baik tersebut.
Integritas fungsi otak bergantung pada oksigen
dan glukosa. Kontrol gula darah yang ketat
menurunkan kejadian polineuropati pada pasien
kritis. Hipoksemia berpengaruh pada disfungsi
otak akibat ARDS dan menimbulkan atropi
71
serebral. Respons terhadap hipoksia disebabkan
karena hypoxia-inducible transcription factor
(HIF)-1 alpha dan HIF-2 alpha yang mengatur
ekspresi beberapa gen yang berhubungan dengan
angiogenesis, metabolisme energi, cell survival
atau pertumbuhan stem cell neural. Tidak ada
konsensus tentang kerja HIF pada neuron yang
survival setelah iskemia/hipoksia. Hipoksia akan
memicu gangguan oksidatif phosphorilase dan
pembentukan radikal bebas diusulkan sebagai
mekanisme penyakit neurodegeneratif kronis.1
Pertanyaan penelitian laboratorium yang baru
tentang mekanisme tepat bagaimana ALI
dapat memicu kerusakan neuron. Integritas
hippocampus diperlukan untuk belajar, memori,
dan kognisi. Pada penelitian model porcine,
lebih tingginya tingkatan kerusakan neuron
hippocampus berhubungan dengan hipoksemia
yang dipicu oleh cedera paru daripada yang
dipicu oleh penurunan pasokan oksigen, sehingga
kemungkinan penyebabnya adalah adanya
respons imun akibat ALI.1 Endotel sawar darah
otak (blood-brain barrier) dan sawar darahparu (blood-lung barrier) yang normal, akan
mentransdusi sinyal dari darah ke sel otak atau sel
paru. Menariknya, pada beberapa keadaan kedua
barier menjadi lebih permeabel, memfasilitasi
jalur komunkasi humoral antara otak dan paru.1
Pemberian endotoksin pada tikus menggambarkan
adanya inflamasi sistemik bersama dengan
Gambar 1. Pengaturan Aliran Darah Otak
Aliran darah otak diatur oleh autoregulasi, PaCO2,
dan PaO2.
72
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
PGE: Prostaglandin E
NO: Nitric Oxide
NST: Nucleus of the solitary tract
CVOs: circumventricular organs
IL-6: Interleukin-6
IL-1B: Interleukin-1B
TNF-alpha: Tumor Necrotizing Factor Alpha
ALI: Acute Lung Injury
ARDS: Acute Respiratory Distress Syndrome
Gambar 2. Jalur komunikasi antara perifer (paru) dan SSP selama ventilasi mekanis.
SSP menerima informasi melalui 3 jalur: humoral, neural, selular.4
aktivasi mikroglia dan astroglia SSP. Keadaan
ini diikuti dengan kematian sel dalam berbagai
daerah di otak, dengan hipokampus merupakan
daerah yang paling rentan. Pada pasien dengan
septik syok, telah diobservasi adanya kerusakan
sawar darah otak, yang dinilai dengan magnetic
resonance imaging (MRI). Keadaan ini juga
dihubungkan dengan outcome yang buruk dan
delirium akibat sepsis. Bukti ini mendukung
bahwa ALI mungkin mempunyai implikasi pada
disfungsi otak setelah dirawat di ICU, akan tetapi
mekanismenya masih belum dimengerti dengan
jelas.1
Gambar 1 menunjukkan bahwa bila terjadi
hipoksemia atau hiperkarbia, maka aliran darah
otak meningkat sebagai akibat dari vasodilatasi
serebral. Peningkatan aliran darah otak ini akan
menimbulkan terjadinya bertambah beratnya
edema otak dan lebih tingginya tekanan
intrakranial dan resiko terjadinya iskemia otak
bertambah besar. Adanya interaksi paru-otak
terlihat dengan adanya hipoksemia dan atau
hiperkarbia dapat memperburuk fungsi otak.3
Pasien dengan ALI atau ARDS masuk ke ICU
menunjukkan perubahan neuropsikologis dan
mempunyai efek buruk pada kualitas hidup.4
Jalur komunilasi paru-otak dapat melalui
berbagai jalur antara lain jalur humoral, jalur
neural dan jalur seluler. Efek inflamasi dari paru
dengan meningkatnya kadar IL-6, TNF-alpha,
IL-1B akan menyebabkan terjadinya inflamasi di
otak. Sebaliknya pada cedera otak tertutup, juga
dikeluarkan sitokin proinflamasi.4
Ventilasi mekanis dapat memicu respons paru
dan organ lain termasuk otak akibat terjadinya
inflamasi. Ventilasi mekanis yang sering
digunakan dalam pengelolaan pasien sakit kritis,
dapat memicu respons inflamasi, yang mungkin
berperan dalam gagal organ yang lebih distal.
Jadi, mungkin ada cross-talk kompleks antara
paru dan organ lain termasuk otak. Yang menarik,
pasien yang selamat dari ALI atau ARDS sering
mengalami perburukan kognitif saat dipulangkan
dari rumah sakit. Disfungsi neurologik mungkin
merupakan penanda sekunder dari cedera.
Interaksi otak-paru sedikit dibahas pada literatur,
tapi bukti-bukti terbaru mendukung bahwa
paru dan otak dapat memicu inflamasi melalui
berbagai mediator. 5
Satu penelitian melaporkan morpho-fungsional
dan efek biokimia dari ventilasi mekanis dengan
volume tidal rendah (8 mL/kg) dan tinggi (30 mL/
kg) pada paru dan otak tikus yang sehat. Ventilasi
mekanis mempunyai pengaruh (impact) serius
pada struktur dan fungsi paru, menimbulkan
ventilator-associated lung injury (VALI) dan
memicu kerusakan organ perifer, termasuk otak.
Dalam hal ini, ventilasi mekanis dan sedasi pada
paru sehat dan paru yang sakit telah dilaporkan
berhubungan dengan gangguan neurologik,
memori dan disfungsi kognitif. Sebaliknya,
cedera otak mungkin memperberat kerusakan
paru, kemungkinan dengan memicu komplikasi
Interaksi Otak-Paru pada Neurocritical Care
Gambar 3. Korelasi Cedera Paru Akut dengan
Cedera Otak. 5
paru yang lebih tinggi dan akan merubah outcome
neurologik. Secara keseluruhan, informasi
tentang jalur cross-talk multipel antara otak dan
paru sangat terbatas. 5
Mediator inflamasi dari paru akan menimbulkan
inflamasi di otak dan demikian juga sebaliknya
inflamasi otak akan menimbulkan inflamasi di
organ lain diantaranya paru.
Dari Otak ke Paru
Telah jelas bahwa cedera otak sendiri dan sekuele
neurologisnya adalah penyebab utama dari
kematian atau disabilitas. Meskipun demikian,
bukti yang muncul menunjukkan bahwa
disfungsi ekstraserebral, terutama gagal nafas,
sering terjadi dan meningkatkan morbiditas
serta mortalitas. Dua penelitian melaporkan
bahwa sepertiga dari pasien cedera otak akut
terjadi ALI, yang memperburuk outcome, tapi
penyebabnya belum jelas. Mekanismenya antara
lain neurogenic lung/pulmonary edema, mediator
inflamatori, infeksi nosokomial, dan efek buruk
dari terapi neuroproteksi. Cedera otak mungkin
meningkatkan kerentanan paru terhadap cedera
lainnya atau insult iskemik reperfusi, maka
meningkatkan risiko gagal paru. Pada penelitian
hewan model kelinci dengan cedera otak masif,
diketahui adanya peningkatan cedera paru akibat
ventilator bila dibandingkan dengan hewan
dengan otak yang intact pada seting ventilator
yang sama. 1,6
73
Neurogenic pulmonary edema (NPE) merupakan
komplikasi cedera SSP yang telah dikenal dengan
baik. Telah ditunjukkan sebagai akibat adanya
pelepasan katecholamine masif setelah cedera
otak masif, yang menyebabkan krisis hipertensi
dan diikuti dengan hipotensi neurogenik.
Penelitian telah dilakukan dengan mencegah
cedera paru inflamasi pada tikus dengan dengan
mencegah respon hipertensi dengan memberikan
alpha-adrenergic antagonist. Strategi ini dapat
mengurangi inflamasi sistemik dan memelihara
integritas membran kapilar-alveolar. Pada
penelitian yang sama, pengendalian hipotensi
neurogenik dengan noradrenalin memperbaiki
respon inflamasi sistemik dan oksigenasi. Sejak
up-regulation dari mediator proinflamasi terjadi
pada semua organ, terapi antiinflamasi dini dan
obat vasoaktif bisa dibenarkan dalam pengelolaan
donor yang mati otak.1,6
Mikroglia otak dan astrosit menjadi sumber
utama dari mediator inflamasi selama cedera
otak akut. Peningkatan permeabitas sawar darah
otak mengijinkan pasase mediator dari otak ke
perifer, memprovokasi perbedaan transcranial
yang dapat memulai komplikasi sekunder dan
disfungsi multiorgan. Penelitian eksperimental
dengan membuat cedera perdarahan serebral,
meningkatkan
ekspresi
molekul
adhesi
intraseluler dan faktor jaringan pada otak
dan paru, dan paru menunjukkan rekruitment
netrofil yang progresif dengan disrupsi struktur
alveolar. Lebih jauh, cedera otak traumatik
(COT) pada tikus secara progresif merusak
membran intraseluler dari pneumosit tipe 2 dan
secara persisten meningkatkan lipid peroksidase
pada paru. Pertahanan fungsi imun pada jalan
nafas mungkin telah berubah pada stadium
awal COT. Menariknya, terjadinya kerusakan
ultrastruktur dini epitel tracheobronchial telah
diketahui pada tikus model COT. Penemuan
ini mendukung bahwa perubahan dini pada
mekanisme pertahanan jalan nafas bertanggung
jawab pada tingginya kejadian ventilator
associated pneumonia (VAP) pada pasien COT.1,6
Sistim saraf otonom juga berperan dalam
neuro-imun crosstalk. Inflamasi sistemik
sebagian dikontrol oleh nerves vagus (jalur
74
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
antiinflamatori) dan dalam skenario critical care,
kendali dipengaruhi oleh cedera otak akut dan
sedasi. Aktivasi sistim saraf simpatis mungkin
termasuk dalam “remote” prekondisioning
iskemik. Iskemik prekondisioning adalah
suatu mekanisme endogen yang dapat
memproteksi organ yang berbeda (misalnya
otak atau paru) melalui perkembangan adaptasi
lokal atau respons remote terhadap iskemia.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Acute respiratory distress syndrome pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1967 oleh Ashbaugh
dkk, sebagai “acute onset of tachypnoe,
hypoxemia and loss of compliance after a
variety stimuli”. The ARDS Definition Task
Force (definisi Berlin) telah merevisi definisi
American-European Consensus Conference
(AECC) yang telah dipakai sejak tahun 1994.7
Mekanisme
iskemik
prekondisioning
termasuk triger dan mediator dan rantai
second massenger kompleks yang termasuk
adenosine, nitrix oxida, heat shock protein,
mitogen-activated
protein
kinase,
dan
mitokhondria ATP-dependen potassium channel.1
Neurogenic pulmonary edema disebabkan
karena pada cedera otak traumatik terjadi
pelepasan katecholamine secara masif yang
dapat menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
dan sistemik. Vasokonstriksi pulmonal dapat
menimbulkan peningkatan tekanan vena
Tabel 1. Kriteria dan Klasifikasi ARDS
Definisi AECC
Akut onset
Onset
Gambaran toraks
Edema Paru
Klasifikasi
Definisi Berlin
Dalam 7 hari dari adanya faktor resiko
(lihat tabel dibawah)
Tidak ada faktor resiko ditentukan secara
formal
Opasitas bilateral pada toraks foto
Opasitas bilateral konsisten dengan
edema paru pada toraks foto atau CT.
PAOP ≤18 mmHg atau tidak ada bukti diterangkan dengan gagal jantung atau
klinis dari peningkatan tekanan atrium kiri overload cairan.
Diperlukan echocardiographi atau
pengukuran objektif lainnya
ALI PaO2/FiO2 ≤300
ARDS PaO2/FiO2 ≤200
Ringan 200 <PaO2/FiO2 ≤300
Sedang 100 <PaO2/FiO2 ≤200
Berat PaO2/FiO2 ≤100
Dikutip dari: Bersten AD.7
Faktor resiko untuk terjadinya ARDS terlihat pada tabel 2 dibawah ini:
Tabel 2. Faktor Resiko untuk ARDS
Langsung
Pneumonia
Aspirasi isi lambung
Kontusio paru
Tidak Langsung
Sepsis non-pulmonal
Trauma multiple
Transfusi masif
Emboli lemak
Near drowning
Cedera inhalasi
Cedera reperfusi
Pankreatitis
Bypass kardiopulmonal
Dikutip dari: Bersten AD.7
Interaksi Otak-Paru pada Neurocritical Care
75
Gambar 4. Patofisiologi Neurogenic Pulmonary Edema.8
Dikutip dari: Gopinath SP, Robertson CS. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds.
Anesthesia and neurosurgery, 3rd ed., St Louis: Mosby Year Book Inc; 1994
pulmonal dan tekanan kapiler paru dan terjadi
edema paru akut dan perdarahan paru.8
IV. Implikasi Terapeutik
Pencegahan
kelainan neurologis sekunder
terhadap ARDS adalah sangat penting, tapi
sayangnya informasi yang dapat mempengaruhi
managemen klinis masih langka. Mencegah
hipoksemia dan mempertahankan tekanan arteri
yang adekuat dan glisemia mempunyai efek
positif pada outcome neurologik. Mencegah insult
iskemik sekunder setelah cedera otak traumatik
berat sering digunakan untuk pendekatan terapi.
Aliran vaskuler yang tinggi akan memicu
terjadinya cedera paru (tekanan perfusi otak >70
mmHg beresiko terjadinya ARDS).1
Kejadian ARDS 5 kali lebih tinggi pada COT
berat bila aliran darah otak dipertahankan dengan
tekanan perfusi serebral >70 mmHg. Beberapa
aspek dari ventilasi mekanis di neurocritical
care mempunyai implikasi pada cedera otak dan
cedera paru. Gangguan elastanse paru pada hari
kelima pada pasien dengan kerusakan otak dengan
ventilasi mekanis tanpa PEEP, mendukung suatu
efek akibat cedera otak terhadap organ distal.
Pada konteks yang sama, aplikasi level PEEP
yang kurang hati-hati meningkatkan dead space
alveolar bisa merubah hemodinamik serebral.
PEEP yang menimbulkan distensi berlebihan dan
dihubungkan dengan peningkatan PaCO2 akan
diikuti dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Walaupun rekomendasi berdasarkan evidencebase spesifik tentang bagaimana mengeset
ventilator pada cedera paru dan otak akut sedikit,
klinisi harus dapat melakukan proteksi pada
kedua organ tersebut.1
Faktor yang menimbulkan cedera otak sekunder
(pada COT, tumor, stroke) dapat sistemik dan
intrakranial. Faktor sistemik adalah hipoksemia,
hipotensi, anemia, hipokarbia, hiperkarbia,
pireksia,
hiponatremia,
hipoglikemia,
76
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
hiperglikemia. Faktor intrakranial adalah
hematoma, peningkatan tekanan intrakranial,
seizure, infeksi, dan serebral vasospasme.
Pengelolaan neuroanesthesia sama dengan neuro
ICU sama dengan Brain Resuscitation yaitu
ABCDE Neuroanestesi dan Critical Care yaitu
mencegah dan mengobati cedera otak sekunder
yang dapat dilakukan dengan teknik ABCDE
neuroanestesi yaitu:3A) airway: jalan nafas bebas
sepanjang waktu, B) breathing: ventilasi kendali,
normokapnia pada COT dan sedikit hipokapnia
pada tumor otak, C) circulation: hindari lonjakan
tekanan darah, hindari peningkatan tekanan
vena serebral, normovolemia, iso-osmoler,
normoglikemia, D) drugs: hindari obat dan
teknik anestesi yang akan meningkatkan tekanan
intrakranial, berikan obat yang berefek proteksi
otak, E) environment : pengendalian suhu
dengan target 35 oC di kamar oprasi. Sedangkan
metode Brain Protection adalah basic methods:
airway, breathing, circulation, hipotermi - low
normothermia, farmakologik dengan anestetika
intravena, anestetika inhalasi, lidokain, mannitol,
magnesium, erythropoietin, alpha-2 agonists
dexmedetomidine.
Jadi drugs dalam neuroanestesi sama dengan
proteksi otak secara farmakologik. Penerapan
pengetahuan interaksi otak-paru adalah pada
ABCE neuroanestesi atau basic method dan
hipotermi pada brain protection. Terapi tersebut
dengan mempertimbangkan interaksi paru-otak
yang mana pencegahan hipoksemia dan target
normokapnia pada breathing adalah supaya tidak
terjadi vasodilatasi serebral, kenaikan tekanan
intrakranial, dan iskemia otak. Terapi hipertensi
intrakranial pada COT berat berdasarkan Brain
Trauma Foundation Guideline tahun 2007
adalah:9,10 pasang monitor tekanan intrakranial,
pertahankan tekanan perfusi otak 50–0 mmHg.
First-tier therapy: drainase ventricular (bila
tersedia), mannitol 0,25–1 g/kg iv (bisa diulang
bila osmolaritas serum <320 mOsm/L dan pasien
euvolemik), hiperventilasi untuk mencapai
PaCO2 level 30–35 mmHg.
Second-tier
therapy:
Hiperventilasi
untuk
mencapai PaCO2 <30 mmHg (dianjurkan
dipantau saturasi oksigen bulbus vena jugularis/
SJO2, dan atau aliran darah otak), dosis tinggi
barbiturat, hipotermi, dekompresif kraniektomi.
Terapi peningkatan tekanan intrakranial juga
berdasarkan interaksi otak-paru yang mana
pengaturan ventilasi pada first-tier dan secondtier disebabkan karena CO2 memegang peranan
penting dalam pengaturan aliran darah otak.
V. Simpulan
Pada pasien dengan cedera otak dan gagal nafas
akut, pencegahan dari cedera otak iskemik dan
penggunaan strategi proteksi paru adalah hal
yang utama. Sejak cross-talk antara otak dan paru
diketahui dapat terjadi melalui berbagai jalur yang
berbeda, pengendalian variabel fisiologis menjadi
penting untuk proteksi otak, kecuali bila bukan
organ utama yang cedera. Kerusakan otak setelah
cedera paru akut dapat merupakan suatu lapangan
baru dari riset yang menarik untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas pasien sakit kritis.
Daftar Pustaka
1. Gonzalvo R, Marti-Sistac O, Blanch L,
Lopez-Aguilar L. Bench-to-bedside review:
brain-lung interaction in the critically
ill-a pending issue revisited. Critical Care
2007;11(216):1–5
2. Stevens RD, Puybasset L. The brain-lungbrain axis. Intensive Care Med 2011;37:1054–
56
3. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan
Critical Care: Cedera Otak Traumatik.
Bandung; Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, 2012.
4. Lopez-Aguilar L, Fernandez-Gonzalo MS,
Turon M, Quilez ME, Gomez-Simon V,
Jodar MM, et al. Lung-brain interaction in
the mechanically ventilated patient. Med
Intensiva 2013;37(7):485–92
5. Pelosi P, Rocco PRM. The lung and the brain: a
dangerous cross talk. Critical Care 2011;15:168
Interaksi Otak-Paru pada Neurocritical Care
6. Lee K, Rincon F. Pulmonary complication in
patient with severe brain njury.Critical Care
Research and Practice. Vol 2012, article ID
207247.do:10.1155/2012/207247
7. Bersten AD. Acute respiratory distress
syndrome. Dalam: Bersten AD, Soni N,
eds. Oh’s Intensive Care Manual. China:
Butterworth Heinemann Elsevier; 2014,382–
91
8. Gopinath SP, Robertson CS. Management
of severe head injury. Dalam: Cottrell JE,
Smith DS, eds. Anesthesia and neurosurgery,
77
3rd ed., St Louis: Mosby Year Book Inc;
1994,661–80.
9. Bullock MR, Povlishock JT. Guideline for
the management of severe traumatic brain
injury. Brain Trauma Foundation Guideline
2007
10. Bendo AA. Perioperative management of
adult patient with severe head njury. Dalam:
Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and
Young’s neuroanesthesia; 2011, 317–25.
Indeks Penulis
A
A. Himendra Wargahadibrata, 28
Ardana Tri Arianto, 50
B
Bambang Suryono, 17, 34
Bau Indah Aulyan Syah, 43, 61
D
Dewi Yulianti Bisri, 28, 69
I
Iwan Fuadi, 1, 61
M
Muhammad Dwi Satriyanto, 8
MH. Sudjito, 50
R
Radian Ahmad Halimi, 1
S
Sandhi Christanto, 17
Silmi Adriman, 28
Siti Chasnak Saleh, 8, 17, 34, 43
Sri Rahardjo, 28, 43, 61
T
Tatang Bisri, 1, 17, 69
W
Wahyu Sunaryo Basuki, 34
Indeks Subjek
A
Antipiretik, 61
O
Olfactory groove meningioma, 28
C
Cedera otak traumatik, 1, 69
Cedera kepala traumatik berat, 34
Cedera kepala pascatrauma, 1
P
Perdarahan intraserebral spontan/nontrauma, 8
Penatalaksanaan perioperatif, 17, 34
Post traumatic headache, 1
G
Gangguan neurologis, 50
S
Spasme hemifasialis, 44
Sawar darah otak, 50
Stroke, 61
Stroke hemoragik, 61
I
Interaksi otak paru-paru, 69
H
Hematoma intrakranial, 1
Hipofisektomi transsphenoidal, 17
M
Microvascular decompression, 43
N
Neurocritical care, 69
Numeric rating scale, 1
T
Tanda cushing, 34
Terapi hipotermia, 61
Tumor hipofisa, 17
Tumor supratentorial, 28
Pedoman Bagi Penulis
1.
Ketentuan Umum
Redaksi
majalah
Jurnal
Neuroanestesia
Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam
bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus,
Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah
yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah
naskah lengkap yang belum dipublikasikan
dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang
telah dimuat dalam proceeding pertemuan
ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat
izin tertulis dari panitia penyelenggara.
2.
Judul
Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata,
judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.
3. Abstrak
Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.
Abstrak Penelitian:
Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method,
Result, and Discussion). Dalam introduction
mengandung latar belakang dan tujuan penelitian.
Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.
Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:
Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi
kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi
dan menjadi masalah serius karena dapat
menurunkan kualitas hidup pasien yang
menjalani pembedahan dan meningkatkan beban
pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO
pada pasien yang menjalani operasi elektif
di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.
Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan
50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih
yang menjalani pembedahan lebih dari dua
jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi
kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.
Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan
memori. Faktor yang diduga mempengaruhi
kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.
Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel
mengalami gangguan atensi, 36% sampel
mengalami gangguan memori dan 52% sampel
mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi.
Pemeriksaan
kognitif
yang
mengalami
penurunan bermakna adalah digit repetition
test, immediate recall, dan paired associate
learning. Analisa logistik regresi variabel usia
(p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan
durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian
DKPO menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna. Namun bila dianalisa pada masing
masing kelompok usia tampak bahwa persentase
pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih
tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan
≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit
Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada
pasien yang
menjalani operasi elektif di
GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi
tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO
meskipun secara statistik tidak signifikan.
Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif
pascaoperasi, memori
Abstrak Laporan Kasus:
Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan,
simpulan
Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:
Abstrack
Meningoencephaloceles are very rare congenital
malformations in the world that have a high
incidence in the population of Southeast Asia,
include in Indonesia. Children with anterior
meningoencephaloceles should have surgical
correction as early as possible because of the facial
dysmorphia, impairment of binocular vision,
increasing size of the meningoencephalocele
caused by increasing brainprolapse, and risk
of infection of the central nervous system. In
the report, we presented a case of a 9 monthsold baby girl with naso-frontal encephalocele
and hydrocepahalus non communicant, posted
for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt)
and cele excision. Becaused of the mass,
nasofrontal or frontoethmoidal and occipital
meningoencephalocele leads the anaesthetist to
problems since the anaesthesia during the operation
until post operative care. Anaesthetic challenges
in management of meningoencephalocele,
which most of the patients are children, include
securing the airway with intubation with the
mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its
associated complications and accurate assessment
of blood loss and prevention of hypothermia
pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan
nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologic
dan kebutuhan pemantauan tekanan intracranial
atau drainase ventrikel atau keduanya.
Key
words:
Anaesthesia,
difficult
ventilation, difficult intubation, naso-frontal,
meningoencephalocele, padiatrics
Contoh cara penulisannya:
Abstrak Tinjauan Pustaka:
Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan
Abstrak
Stroke hemoragik merupakan penyakit yang
mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup
dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum
dari perdarahan intracranial adalah subarachnoid
haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan
dari arteriovenous malformation (AVM),
atau perdarahan intraserebral. Perdarahan
intraserebral sering dihubungkan dengan
hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati
lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma,
atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari
sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik
lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke
iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%.
Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala,
mual muntah, kejang dan defist neurologic fokal
yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan
letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologic
dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai
koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)
Kata kunci: perdarahan intracranial, stroke
perdarahan
Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang
ditulis berurutan secara alphabet, 3-5 buah.
4.
Cara Penulisan Makalah
Penulisan Daftar Pustaka:
•
Nomor Kepustakaan berdasarkan ürutan
dating”di dalam teks, Vancouver style.
Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal
20 buah.
•
Dari Jurnal:
1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and
head trauma. Common effect and common
mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl
1):S107-S110.
2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer
HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus
intracerebral haemorrhage. N Engl J Med
2001,344(19):1450-58.
Dari Buku:
1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial
hemorrhage: Intensive care management.
Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials
of Neuroanesthesia and Neurointensive Care.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 22936.
2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage.
Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical
Care. New York: Cambridge University
Press;2010,143-56.
Materi Elektronik
Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B,
Fosha D. Attachment as a transformative process
in AEDP: operationalizing the intersection of
attachment theory and affective neuroscience.
Journal of Psychotherapy Integration [Online
Journal] 2011 [diunduh 25 November 2011].
Tersedia dari: http://www.sciencedirect.com
5.
Jumlah halaman
Laporan Kasus
: 10-12 halaman
Laporan Penelitian : 15 halaman
Tinjauan Pustaka
: 15-20 halaman
Surat Pembaca
: 1 halaman
Ditik 1,5 spasi, Times New Roman, 11 font.
Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus
kepada mitra bebestari:
Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA
(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)
Prof. Dr. Nancy Margarita Rehatta, dr., SpAnKNA,KMN
(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)
Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO
(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)
Dr. Sudadi, dr., SpAnKNA
(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)
Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA
(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)
Abdul Lian, dr., SpAnKNA
(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)
MH. Sudjito, dr., SpAnKNA
(Universitas Sebelas Maret ‒ Surakarta)
Dr. Hamzah, dr., SpAnKNA
(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)
Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan
datang
Redaksi
FORMULIR PESANAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Lengkap
: ………………………………………………………………...
Alamat Rumah
: ………………………………………………………………...
………………………………………………………………...
……………….. Kode pos………………………….................
Telepon …………………………Faks ………………….........
HP ………………………………E-mail…………...................
Alamat Praktik
: ………………………………………………………………...
Telepon …………………………Faks ……………….............
Alamat Kantor
: ………………………………………………………................
……………………….. Kode pos……………………………..
Telepon …………………………Faks ……………………......
Mulai berlangganan
: ………………………………. s.d ……………………………...
Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan
sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**
Pembayaran melalui :
□
Langsung ke Sekretariat Redaksi
Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161
Mobile
: 087722631615
JNI dikirimkan ke* :
□
□
□
Alamat Rumah
Alamat praktik
Alamat Kantor
Bandung, …………………………………
Hormat Saya
(
* pilih salah satu
** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi
*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten
)
Download