dalam serat wedhatama

advertisement
KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM SERAT WEDHATAMA
Oleh: Muchson AR
Prodi Pendidikan Kewarganegaraan FISE UNY
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan saat ini hanya mengedepankan aspek keilmuan dan
kecerdasan intelektual anak. Adapun pembentukan karakter dan budaya
bangsa di dalam diri siswa semakin terpinggirkan. Rapuhnya karakter dan
budaya dalam kehidupan bangsa dapat membawa kemunduran dalam
peradaban bangsa. Sebaliknya, kehidupan masyarakat yang memiliki
karakter dan budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu
bangsa dan negara. Persoalan itu mengemuka dalam Saresehan Nasional
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang diadakan
Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta, Kamis 14 Januari 2010, yang
dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh.
Sebenarnya dalam Pasal 3
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional telah dirumuskan : ”Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Akan
tetapi dalam hal pembentukan watak (karakter), rumusan yang bersifat
normatif tersebut tidak secara nyata diimplementasikan dalam kebijakan
pendidikan maupun praktik persekolahan kita.
1
Berbagai kasus yang tidak sejalan dengan etika, moralitas, sopan
santun atau peroilaku yang menunjukkan rendahnya karakter telah
sedemikian marak dalam masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi, perilaku
itu tidak sedikit ditunjukkan oleh orang-orang yang terdidik. Ini membuktikan
bahwa pendidikan kurang berhasil dalam membentuk watak (karakter) yang
terpuji. Dalam kondisi yang demikian, kiranya cukup relevan untuk
diungkapkan
kembali
“paradigma
lama”
tentang
pendidikan,
yakni
pendidikan sebagai pewarisan nilai-nilai. Warisan nilai-nilai budaya masa
lalu itu tidak sedikit yang berisi nilai-nilai pendidikan karakter.
Persoalan yang muncul dalam wacana pendidikan karakter menyangkut
banyak hal, antara lain aspek substansi-materi dan aspek pedagogi.
Dengan kata lain, menyangkut ”apa” yang diajarkan dan ”bagaimana”
mengajarkannya. Beberapa tahun yang lalu pernah dikeluarkan kebijakan
menteri tentang pendidikan budi pekerti, yang arahnya tidak jauh berbeda
dengan pendidikan karakter. Persoalan yang diramaikan saat itu justru
tentang curriculum design, apakah dikembangkan berdasar konsep
separated curriculum atau integrated curriculum. Maksudnya, apakah akan
berdiri sebagai mata pelajaran tersendiri (terpisah) atau akan diintegrasikan
ke dalam mata pelajaran yang telah ada.
Substansi-materi pendidikan karakter yang utama pada dasarnya
adalah nilai-nilai moral, baik yang bersifat universal maupun lokal kultural.
Nilai-nilai moral itu dapat berasal dari ajaran agama, etika, adat istiadat,
tradisi, dan ajaran-ajaran moral yang diwariskan melalui tradisi tutur maupun
tertulis. Salah satu warisan naskah lama yang di dalamnya terkandung
ajaran moral adalah Serat Wwdhatama, buku kumpulan tembang karya
KGPAA Mangkunegara IV (1811-1881, naik tahta 1853).
Isi buku Serat Wwdhatama itu secara selintas cukup dikenal oleh
berbagai kalangan, namun isi yang lebih dalam masih belum banyak
diungkapkan. Pengungkapan isi yang lebih dalam itu antara lain tentang :
profil buku Serat Wwdhatama dan sosok pengarangnya; nilai-nilai dan
makna yang terkandung dalam buku Serat Wwdhatama; dan sebagainya.
2
Kandungan nilai-nilai moral itu sangat relevan untuk diteliti dan diungkapkan
kembali dalam kondisi moralitas yang carut marut seperti sekarang ini. Nilainilai moral dalam Serat Wwdhatama itu dapat memberikan sumbangan dan
menjadi tawaran alternatif bagi upaya perbaikan moralitas bangsa.
B. Identifikasi Masalah
Terdapat banyak masalah yang dapat diidentifikasi dalam kajian tentang
kandungan nilai-nilai pendidikan karakter Serat Wedhatama. Berbagai
masalah yang dapat diidentikasi di sini adalah :
1. Masih kurang dikenalnya Serat Wedhatama serta sosok pribadi KGPAA
Mangkunegoro IV sebagai pengarangnya.
2. Masih kurangnya pengungkapan nilai-nilai pendidikan karakter
yang
terkandung di dalam Serat Wedhatama.
3. Masih belum jelasnya makna nilai-nilai pendidikan karakter
yang
terkandung di dalam Serat Wedhatama.
4. Masih belum adanya pengklasifikasian nilai-nilai pendidikan karakter
yang bersifat universal dan yang bersifat kultural dari kandungan Serat
Wedhatama.
5. Masih belum diungkapkannya kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi munculnya Serat Wedhatama.
C. Pertanyaan Penelitian
Dari
beberapa
masalah
yang
diidentifikasi
tersebut,
pertanyaan
penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah buku Serat Wedhatama itu dan siapakah sosok pribadi KGPAA
Mangkunegoro IV , pengarang buku tersebut?
2. Apa saja nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam Serat
Wedhatama?
3. Apa makna nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam
Serat Wedhatama?
3
D. Tujuan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis).
Sebagaimana dikemukakan Carney (1972) yang dikutip oleh Darmiyati
Zuchdi (1993: 12), tujuan penelitian analisis isi dibedakan menjadi dua,
yaitu : deskriptif dan inferensial. Sejalan dengan pendapat tersebut, tujuan
penelitian ini adalah untuk :
1. Mengenal buku Serat Wedhatama sosok pribadi KGPAA Mangkunegoro
IV, pengarang buku tersebut.
2. Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di
dalam Serat Wedhatama.
3. Mengungkapkan makna nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung
di dalam Serat Wedhatama.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Secara teoritis bermanfaat bagi upaya pengembangan konsep isi
pendidikan karakter yang memuat ajaran-ajaran moral, yang antara lain
bersumber dari sosio kultural bangsa Indonesia.
2. Secara praktis bermanfaat bagi para guru, pemuka masyarakat,
pemimpin formal maupun warga masyarakat pada umumnya yang
memerlukan
acuan
dalam
internalisasi
nilai-nilai
moral
guna
pembentukan karakter.
4
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Pemahaman tentang Nilai
Sejak zaman Yunani Kuno, nilai sudah dibicarakan dalam kerangka
filsafati. Nilai sudah ditempatkan dalam hirarkhi ide atau gagasan pemikiran.
Ide tentang hakikat kebenaran, kebaikan, dan keindahan sudah menjadi objek
pemikiran secara radikal (mendalam). Pada akhir abad ke-19 kajian tentang
nilai semakin mantap menjadi salah satu bidang kajian filsafat yang disebut
aksiologi (filsafat nilai). Persoalan aksiologi meliputi nilai logis (benar-salah),
nilai etis (baik-buruk), dan nilai estetis (indah-tidak indah). Namun beberapa
ahli, termasuk Fraenkel (1977: 6), mengatakan bahwa the study of values
ussually is divided into the areas of aesthetics and ethics. Jadi, persoalan
aksiologi hanya meliputi estetika dan etika. Dalam pembagian cabang-cabang
filsafat, etika merupakan salah satu cabang filsafat yang membicarakan
persoalan moral atau tingkah laku yang baik.
Nilai (value) adalah harga atau penghargaan yang melekat pada suatu
objek. Fraenkel (1977: 6) mengatakan tentang nilai sebagai berikut.
a value is an idea –a concept- about what someone thinks is
important in life. When a person values something, he or she deems
it worthwhile –worth having, worth doing, or worth trying to obtain.
Seorang antropolog melihat nilai sebagai ‘harga’ yang melekat pada pola
budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan dan lainlain. Menurut Kuperman (1983), seorang sosiolog, nilai adalah patokan normatif
yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya. Menurut Gordon
Allport (1964), ahli psikologi kepribadian, nilai adalah keyakinan yang
mendorong tindakan dan pilihan seseorang. Dalam psikologi, keyakinan
ditempatkan pada hierarki tertinggi di atas hasrat, motif, sikap, keinginan, dan
kebutuhan (Rohmat Mulyana, 2004: 7-9).
5
Selain pengertian, pemahaman tentang nilai yang lebih pelik menyangkut
kompleksitas nilai, baik mengenai macam-macam nilai, konflik nilai, hierarki
nilai dan lain-lain. Adanya bermacam-macam nilai dapat menimbulkan dilema
nilai atau bahkan konflik nilai. Konflik nilai dapat melibatkan antar individu dan
dapat juga hanya terjadi dalam diri seorang individu. Fraenkel (1977: 9)
mengatakan : ’value conflict may not only be interpersonal (between
individuals), but also intra personal- within one person’. Dengan memahami
hierarki nilai, maka ketika seeorang dihadapkan pada konflik nilai, yang
kadang-kadang memaksanya untuk melakukan pilihan nilai, ia akan tahu nilai
mana yang lebih tinggi tingkatannya.
Menurut Max Scheler, sebagaimana dikutip oleh Rohmat Mulyana (2004:
38-39), hierarki nilai dapat dikelompokkan ke dalam empat tingkatan, yaitu :
1. Nilai kenikmatan. Pada tingkatan ini terdapat sederetan nilai yang
menyenangkan atau sebaliknya, yang kemudian orang merasa bahagia
atau menderita.
2. Niliai kehidupan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi
kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum
dan seterusnya.
3. Nilai kejiwaan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama
sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan. Nilai-nilai
semacam ini adalah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang
dicapai melalui filsafat.
4. Nilai kerohanian. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang suci, yang lahir
terutama dari nilai ketuhanan sebagai nilai tertinggi.
Hierarkhi nilai itu ditetapkan urutannya oleh Scheler dengan menggunakan
empat kriteria, yaitu : semakin bertahan lama, semakin tinggi tingkatannya;
semakin dapat dibagikan dengan tanpa mengurangi maknanya, semakin tinggi
nilainya; semakin tidak tergantung pada nilai-nilai lain, semakin tinggi
esensinya; semakin membahagiakan, semakin tinggi fungsinya.
Tentang macam-macam nilai, ada beberapa penggolongan, klasifikasi,
atau kategori nilai, yang kadang-kadang tidak jelas dasar penggolongannnya.
6
Notonagoro mengemukakan tiga macam nilai, yaitu (1) nilai material, (2) nilai
vital, dan (3) nilai kerohanian yang meliputi (a) nilai kebenaran, (b) nilai
keindahan, (c) nilai kebaikan, dan (c) nilai relegius, yang merupakan nilai
tertinggi dan bersifat mutlak (Roestandi, 1988: 38-39). Ada yang menyebut
klasifikasi nilai itu meliputi : nilai terminal dan nilai instrumental; nilai intrinsik
dan nilai ekstrinsik; nilai personal (pribadi) dan nilai sosial. Selain itu ada yang
menyebut kategori nilai itu meliputi nilai teoritis, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai
sosial, nilai politik, dan nilai agama (Rohmat Mulyana, 2004: 25-35).
Jika mengacu pada term klasifikasi nilai, ada pula yang menyebut nilai
fundamental, nilai instrumental, dan nilai praksis. Jika mengacu pada term
kategori nilai, masih banyak macam yang belum disebut, antara lain nilai moral
(etis), nilai historis, nilai sosiologis, nilai psikologis, nilai kultural dan
sebagainya. Di antara bermacam-macam nilai yang telah dikemukakan, yang
sangat tinggi nilainya (atau bahkan tak ternilai harganya) adalah nilai moral.
B. Pendidikan Moral Sebagai Inti Pendidikan Karakter
Kata ’moral’ sering disinonimkan dengan kata-kata : akhlak, budi pekerti,
atau susila (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989: 592). Poespoprodjo (1986:
102) menyatakan bahwa moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia
yang dengan itu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau
buruk. Moralitas mencakup pengertian baik-buruknya perbuatan manusia.
Widjaja (1985: 154) mengatakan bawa moral adalah ajaran baik dan buruk
tentang perbuatan atau kelakuan. Persoalan moral dalam pembahasan etika
meliputi tata susila dan tata sopan santun. Tata susila mendorong orang untuk
berbuat baik, karena hati nuraninya mengatakan baik. Dengan demikian nilainilai kesusilaan itu bersumber dari hati nurani manusia yang sifatnya universal.
Adapun tata sopan santun mendorong untuk berbuat, terutama yang bersifat
lahiriah, tidak bersumber dari hati nurani, melainkan untuk sekedar menghargai
orang lain dalam pergaulan. Dengan demikian nilai-nilai kesopanan bersumber
lingkungan sosial yang sifatnya kultural-kontekstual.
7
Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah moral sering dikacaukan dengan
etika. Secara akademis, etika adalah filsafat moral atau setidak-tidaknya ilmu
tentang moral. Dengan demikian etika itu berada pada wilayah teoritis, bukan
berada pada wilayah praksis. Moral pun dapat berada pada wilayah teoritis, jika
yang dimaksud adalah filsafat moral, ajaran moral, atau konsep moral, bukan
perilaku atau sikap moral. Berbicara tentang etika, Musa Asya’ari (2002: 117129) mengemukakan macam-macam etika yang meliputi : etika hubungan
manusia dengan Tuhan, etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika
hubungan manusia dengan alam, dan etika hubungan manusia dengan
ciptaannya.
Konsep moral yang bersumber dari berbagai literatur Barat perlu dikritisi,
agar tidak menyesatkan. Pandangan Barat tentang moral berkembang seiring
dengan sejarah perkembangan intelektual mereka. Lahirnya abad modern yang
diawali dengan zaman renaisans dan disusul dengan zaman afklarung
membawa perubahan besar dalam pemikiran manusia, bukan saja dalam
pemikiran intelektual, namun juga dalam pemikiran moral. Pemikiran intelektual
Barat yang membawa kemajuan luar biasa di bidang sain berbasis pada
pandangan
yang
bersifat
naturalistik-sekularistik,
rasionalistik,
empiris,
relativistik, dan probabelistik. Basis pandangan tersebut juga mendasari
pemikiran mereka tentang moral. Dalam pandangan modern, baik dan buruk itu
merupakan persoalan duniawi, naturalistik, dan sekularistik semata. Baik dan
buruknya suatu perbuatan didasarkan atas pertimbangan rasional dan
kenyataan empirisnya. Jika secara rasional dianggap baik dan secara empiris
terbukti baik, maka baik lah tindakan itu. Dengan demikian sifatnya relatif, tidak
absolut, dan probabelistik, sehingga tidak ada kepastian moral. Anggapan yang
bersifat relatif itu juga mempunyai konotasi bahwa moral itu bersifat kultural,
kontekstual, bahkan kondisional dan individual. Dalam tradisi Timur, jika
persoalan etis yang direlatifkan itu sebatas persoalan kesopanan, hal itu dapat
diterima. Akan tetapi jika persoalan etis yang direlatifkan itu juga menyangkut
kesusilaan, hal itu tentu harus ditolak (Muchson AR, 2000: 13-15).
8
Berbicara tentang pendidikan moral pada dasarnya menyangkut proses
internalisasi nilai-nilai moral. Jika nilai-nilai moral itu berhasil diinternalisasikan
dalam diri seseorang, maka nilai-nilai itu akan menjadi norma atau acuan hidup
yang menuntun sikap dan tindakan seseorang. Pendidikan moral ini lah yang
merupakan
inti
dan
wajah
utama
pendidikan
pada
masa
awal
perkembangannya. Dengan demikian, jika orang berbicara tentang pendidikan,
pendidik, orang yang terdidik, maka gambaran yang paling menonjol adalah
aspek moralitas, kepribadian, karakter dan sebagainya. Pendidik dan orang
yang terdidik dianggap identik dengan orang yang moralitasnya tinggi. Bahwa
pendidikan moral merupakan inti pendidikan dikemukakan oleh Downey & Kelly
(1978: 8) sebagai berikut.
From earleist times in educational theory and practice moral
education has been seen as the very core of the educational
process, and moral upbringing has been regarded, almost
without question, as the central feature of education itself”.
Pandangan semacam itu sering dianggap tidak sejalan dengan paradigma
pendidikan modern, yakni pendidikan untuk perubahan. Menurut pandangan
modern, pendidikan yang fungsional adalah pendidikan yang mampu menjawab
tantangan masa kini dan tantangan masa depan. Memang, paradigma
pendidikan di masa lalu bukanlah pendidikan untuk perubahan, bahkan
sebaliknya, yakni pendidikan untuk pewarisan dan pelestarian nilai-nilai.
Durkheim, seorang ahli sosiologi moralitas menyebutnya sebagai
the
conservation of a culture inherited from the past (Bourdieu dalam Karabel and
Halsey, 1977: 488). Meskipun paradigma pendidikan sebagai pewarisan dan
pelestarian nilai-nilai itu dianggap kuno atau konservatif, namun pendidikan
seperti itu sangat relevan untuk solusi perbaikan moralitas bangsa.
Di Amerika Serikat sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Kirschenbaum
yang dikutip oleh Darmiyati Zuchdi (2001: 1-2), sejak sebelum tahun 1990 telah
dikembangkan pendidikan moral yang bagus, untuk mengajarkan nilai-nilai
tradisional, dengan dukungan para orang tua, pemuka agama, guru, dan
politisi. Usaha itu guna
mengatasai masalah minuman keras, kriminilitas,
kekerasan, disintegrasi keluarga, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri
9
dan remaja putri yang mengandung, menurunnya tanggung jawab masyarakat,
tumbuhnya pertentangan rasial dan etnis, serta tidak terkendalinya jumlah
skandal pada tahun 1980-an.
Pendidikan moral atau internalisasi nilai-nilai moral inilah yang menjadi
esensi dari pendidikan karakter (watak). Hakikat pendidikan karakter tidak lain
adalah penanaman nilai-nilai moral, baik moral kesusilaan maupun kesopanan.
Parkay and Stanford (1998: 280) mengemukakan kaitan antara pembelajaran
nilai dan (penalaran) moral dengan pendidikan karakter sebagi berikut.
One approach to teaching values and moral reasoning is known
as character education, a movement that stresses a
development of students “good character”.
Yudi Latif menyatakan bahwa karakter mencerminkan kepribadian seseorang
atau sekelompok orang yang terkait dengan basis moralitas, kekhasan kualitas,
serta ketegaran dalam krisis. Ia merupakan jangkar jati diri karena merupakan
aspek evaluatif yang menentukan sikap dasar manusia terhadap diri dan
dunianya (Kompas, Selasa 9 Juni 2009). Karakter memang mencerminkan
kepribadian yang berkaitan dengan moralitas, namun kualitas moralnya itu
sedemikian khas, sehingga berbeda kualitas dengan orang lain atau kelompok
masyarakat yang lain. Dengan kekhasan kualitas moralnya itu, misalnya sangat
kuat atau di atas rata-rata, seseorang atau suatu kelompok masyarakat akan
mampu tegar dalam menghadapi krisis. Sementara itu Edgar F Puryear Jr,
sebagaimana dikutip oleh Kiki Syahnakri, menyatakan dalam American
Generalship bahwa character is everything bagi seorang pemimpin. Pentingnya
karakter dinyatakan dalam adagium klasik, “If the wealth is lost, nothing lost. If
the health is lost, something is lost. If the character is lost, everything is lost”
(Kompas, Selasa 2 Juni 2009).
Pendidikan karakter yang esensinya adalah internalisasi nilai-nilai moral
termasuk dalam pengembangan domain afektif. Domain afektif berkaitan
dengan aspek batiniah (the internal side) yang tidak dapat diamati, maka dalam
pemahamannya sering ditemukan konsep yang tumpang-tindih. Domain afektif
berhubungan dengan perasaan, emosi, rasa senang-tidak senang, apresiasi,
10
sikap, nilai-nilai, moral, karakter dan lain-lain. Adanya tumpang-tindih konsep
terlihat dalam pendapat Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut.
The affective domain includes all behavior connected with feelings
and emotions. Thus, as was earlier stated, emotions, tastes and
preferences, appreciations, attitudes and values, morals and
character, and aspects of personality adjustment or mental health
are included.
Proses internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif meliputi
beberapa jenjang dan jenjang afeksi yang paling dalam adalah karakterisasi
(pembentukan karakter). Krathwohl dkk (1964) mengemukakan Taksonomi
Domain Afektif yang cakupannya secara hirarkhis meliputi (1) Receiving, (2)
Responding, (3) Valuing, (4) Organization, and (5) Characterization (Bloom, et
al, 1981: 301-302; Ringness, 1975: 21). Dengan demikian, karakterisasi adalah
proses internalisasi nilai yang telah mencapai tingkatan paling tinggi atau
paling dalam. Penghayatan terhadap suatu nilai jika telah sampai pada
tingkatan yang sangat dalam, maka nilai itu telah mengkarakter atau menjadi
penanda khas kepribadian orang yang bersangkutan.
Internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif siswa melalui jalur
pendidikan formal bukan merupakan persoalan yang mudah. Persoalannya
bukan semata-mata terletak pada persoalan pedagogis yang prosesnya
memang rumit, tetapi lebih terkait dengan persoalan kebijakan dan
implementasinya. Secara formal pengembangan kemampuan kognitif, afektif,
dan psikomotor sudah kerap kali dirumuskan dalam kebijakan pendidikan di
Indonesia, setidak-tidaknya dalam kebijakan yang bersifat umum. Wacana
tentang pengembangan kemampuan afektif juga sering disinggung dalam
berbagai forum pendidikan. Namun kemudian, semua itu tidak jelas
implementasinya.
Dalam
kenyataannya,
kuatnya
penekanan
pada
pengembangan kognitif dan lemahnya pengembangan afektif sangat mewarnai
praktik-praktik pendidikan kita selama ini.
Kenyataan ini sesuai dengan
persoalan yang diangkat oleh Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai
berikut.
11
One finds affective behavior in any school situation –indeed, in any
situation- but compared to cognitive learning, relatively little affective
learning has been deliberately introduced into the curriculum.
Keseimbangan antara ketiga aspek tersebut sangat penting, setidaktidaknya aspek kognitif dan afektif, guna membangun kepribadian yang lebih
utuh. Berbagai ketimpangan sosial yang muncul selama ini, jika dirunut akar
permasalahannya, sangat mungkin disebabkan karena ketidakseimbangan itu.
William Chang dalam artikelnya yang berjudul Normalisasi Sosial menyatakan
bahwa sebuah proses normalisasi sangat diperlukan karena seluruh globus
sedang sakit dan mengalami great warning. Asas normalisasi sosial itu
ditemukan dalam hati (heart) dan pikiran (head) setiap manusia yang
berkehendak baik untuk mereformasi tatanan sosial yang menderita sakit
melalui usaha terkecil dalam lingkup hidup masing-masing (Kompas, 22
Desember 2008).
12
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Langkah-Langkah Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis), yakni
penelitian yang berusaha mengungkapkan isi buku, naskah, dokumen dan lainlain.
Krippendorff
(1980:
22)
mengatakan
bahwa
analisis
isi
dapat
dikarekterisasikan sebagai metode penelitian yang berusaha menangkap
makna simbolik pesan-pesan. Makna simbolik pesan-pesan itu diungkapkan
dari data yang ditemukan dalam buku, naskah, atau dokumen yang diteliti.
Dalam penelitian ini, analisis isi dilakukan terhadap Serat Wedhatama, yang
direproduksi dalam :
1. Buku Serat Wedotomo, yang ditulis oleh Anjar Any, Penerbit CV Aneka
Ilmu, Semarang, tanpa tahun.
2. Buku Wedhatama Winardi, tanpa nama penulis, terbitan PT Citra Jaya
Murti, Surabaya, tahun 1993.
Langkah-langkah penelitian analisis isi yang dilakukan menurut rancangan
Krippendorff (1980: 61) meliputi :
1. Pengadaan data :
a.
Unitisasi
b.
Sampling
c.
Pencatatan
2. Reduksi data
3. Penarikan inferensi
4. Analisis
13
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini pada
dasarnya mengacu pada rancangan tersebut, dengan sedikit penyesuaian.
Sampling tidak dilakukan dalam penelitian ini karena setiap macam tembang
(pupuh) tidak dapat mewakili populasi. Demikian pula setiap bait (pada) tidak
dapat mewakili macam tembang (pupuh) tertentu. Dengan demikian, penelitian
ini bukan merupakan penelitian sampel, melainkan penelitian populasi. Reduksi
data dilakukan secara fleksibel pada setiap langkah penelitian, terutama ketika
deskripsi data berlangsung. Penarikan inferensi diintegrasikan dalam langkah
analisis, yakni ketika analisis inferensial. Langkah lain yang perlu dilakukan
adalah validitas data, yang meskipun tidak dicantumkan dalam deskripsi
langkah-langkah
penelitian,
namun
oleh
Krippendorff
juga
ditekankan
pentingnya langkah tersebut (1980: 159-166). Langkah uji validitas data
dilakukan mengiringi langkah analisis data. Dengan demikian langkah-langkah
penelitian ini meliputi : pengadaan data, validitas data, dan analisis data.
B. Pengadaan Data
Darmiyati Zuchdi (1993: 14) mengatakan bahwa kelebihan penelitian
analisis isi adalah telah tersedianya data yang akan dianalisis, sehingga tidak
terkontaminasi oleh kesalahan prosedur pengumpulan data. Dalam penelitian
ini data sudah tersedia di dalam kedua buku Serat Wedhatama tersebut. Data
tersebut berupa kata-kata yang bernilai pendidikan karakter, yang tersebar di
setiap macam tembang (pupuh), sehingga merupakan data yang tak terstruktur.
Dalam proses pengumpulan data, oleh karena datanya sudah tersedia, maka
kegiatan yang dilakukan adalah penentuan unit dan pencatatan.
1. Penentuan unit dalam penelitian ini meliputi unit referensi, unit sintaksis, dan
unit tematik.
a. Unit referensi diberi batasan menurut objek, kejadian, pribadi, tindakan,
negara, atau ide yang dirujuk oleh suatu ungkapan. Unit ini untuk
menemukan profil-profil kelompok individu, seperti pahlawan, guru, atau
suku (Krippendorff, 1980: 61). Dalam penelitian ini unit referensi dibatasi
pada Serat Wedhatama
sebagai sebuah ide dan Mangkunegara IV
14
sebagai
pribadi
pengarangnya.
Tujuannya
untuk mendapatkan
gambaran profil Serat Wedhatama dan Mangkunegara IV.
b. Unit sintaksis berkaitan dengan tata bahasa dari suatu medium
komunikasi. Unit ini tidak menghendaki judgement makna. Unit sintaksis
yang paling kecil adalah kata (Krippendorff, 1980: 61). Unit yang lebih
besar adalah frasa, kalimat, paragraf, dan wacana (Darmiyati Zuchdi,
1993: 30). Dalam penelitian ini, unit sintaksisnya adalah kata-kata yang
bernilai pendidikan karakter yang tersebar di semua macam tembang
(pupuh).
c. Unit tematik diidentifikasi berdasar definisi struktural isi. Unit tematik
yang
satu
dengan
yang
lain
dibedakan
berdasarkan
landasan
konseptualnya (Krippendorff, 1980: 62). Dalam penelitian ini, unit
tematiknya didasarkan pada konsep yang mengklasifikasikan nilai
menjadi nilai pribadi dan nilai sosial (Rohmat Mulyana 2004: 30) serta
konsep tentang macam-macam etika, yang meliputi : etika hubungan
manusia dengan Tuhan, etika hubungan manusia dengan sesamanya,
etika hubungan manusia dengan alam, dan etika hubungan manusia
dengan
ciptaannya
(Musa
Asya’ari,
2002:
117-129).
Dengan
mengadaptasi kedua landasan konseptual itu dikembangkan empat unit
tematik, yaitu : tema etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan
Yang Maha Kuasa, dan etika khas Jawa. Struktur isi nilai-nilai
pendidikan karakter dalam Serat Wedhatama
terdiri dari empat unit
tematik tersebut.
2.
Pencatatan dilakukan terhadap semua kata yang bernilai pendidikan
karakter yang tersebar di semua macam tembang (pupuh). Kata-kata yang
bernilai pendidikan karakter tersebut tidak lain adalah kata-kata tentang
moralitas atau budi pekerti. Semua kata itu dicatat dalam catatan unit
sintaksis. Selanjutnya semua kata dalam catatan unit sintaksis itu
dikelompokkan ke dalam unit-unit tematik yang relevan, yaitu tema etika
15
pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika
khas kultural Jawa.
C. Validitas
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas semantik dan
validitas prediktif. Validitas semantik dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan
dalam mengartikan setiap kata yang telah dicatat dalam unit sintaksis. Data
yang berupa kata-kata dalam Bahasa Jawa tersebut semua diartikan ke dalam
Bahasa Indonesia, sehingga dapat lebih diketahui apakah kata-kata itu bernilai
pendidikan
karakter atau tidak. Validitas prediktif
dimaksudkan
untuk
mengetahui ketepatan dalam memaknai secara mendalam (prediksi makna)
kata-kata yang sudah dikelompokkan dalam unit tematik.
Untuk mendapatkan validitas semantik dan validitas prediktif digunakan
rujukan buku atau tulisan tentang Bahasa Jawa, moralitas Jawa, dan falsafah
Jawa.
D. Analisis
Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis isi dalam penelitian ini meliputi
analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif dilakukan terhadap
data kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang sudah dicatat dalam unit
sintaksis. Dalam deskripsi itu data dideskripsikan menjadi dua kategori, yaitu
karakter yang baik dan karakter yang buruk. Analisis inferensial atau
pemaknaan dilakukan terhadap data kata-kata yang bernilai pendidikan
karakter yang sudah dikonstruk ke dalam unit tematik.
Menurut Darmiyati Zuchdi (1993: 15; 23; 53), tidak ada aturan-aturan yang
pasti untuk membuat inferensi. Namun yang perlu diperhatikan dalam inferensi
adalah : (1) tidak mengurangi makna simboliknya, dan (2) menggunakan
konstruk analisis yang menggambarkan konteks data. Dikemukakan pula,
logika inferensi itu didasarkan pada suatu kerangka teoritis dan merupakan
penuntun bagi peneliti dalam membuat kategori-kategori. Logika inferensi yang
dikonstruk
menjadi
kategori-kategori
itu
merupakan
standar
untuk
16
menganalisis data. Lebih lanjut ditegaskan bahwa inferensi dalam analisis isi
bersifat kontekstual, sehingga peneliti tidak mungkin mengabaikan konteks,
baik konteks tempat, waktu, dan situasi berlakunya suatu peritiwa.
Dalam penelitian ini, logika inferensi didasarkan pada kategori-kategori
tema yang meliputi empat unit tematik, yaitu tema : etika pribadi, etika sosial,
etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Analisis inferensial dilakukan dengan
memilah-milah nilai-nilai pendidikan karakter dalam Serat Wedhatama menjadi
tiga kategori tersebut.
17
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Serat Wedhatama dan Sosok Pengarangnya
Secara harfiah, Serat Wedhatama berasal dari kata-kata: serat
yang
berarti tulisan; wedha yang berarti ajaran atau ilmu pengetahuan; dan tama
berasal dari kata utama yang berarti kebaikan. Jadi Serat Wedhatama berarti
tulisan yang berisi tentang ajaran kebaikan atau tuntunan moral. Serat
Wedhatama adalah karya sastra dalam bentuk tembang, sebagaimana
dinyatakan pada bagian awal buku tersebut yang berbunyi: sinawung resmining
kidung, yang artinya: dihias dengan indahnya lagu (tembang).
Tembang-tembang dalam
Serat Wedhatama dikategorikan dalam jenis
tembang macapat. Menurut Suwarno (2008: 4-7) dan Suwardi Endraswara
(2006: 87), ada beberapa pendapat tentang pengertian tembang macapat.
Pertama, tembang macapat dibaca per empat wanda (suku kata) untuk setiap
penggalan. Penggalan terakhir jika tidak genap empat wanda dibaca sisa
wanda yang ada. Contoh : bapak pocung/dudu watu/dudu gunung/ asal saka/
Plembang/; Ngon- ingone/sang bupati/yen lumampah/si pocung lem-/beyan
grana. Dalam Serat Wulang Reh juga demikian, misalnya pada pupuh Pocung
pada/bait 7 yang berbunyi : lamun bener/lan pinter pa-/momongipun/kang
ginawe/ tuwa/haja nganggo/habot sisih/ dipun padha/ pamengkune/mring
santana. Kedua, tembang macapat
itu berasal dari kata maca cepet (cara
membacanya dengan cepat). Akronimnya adalah macapet, namun dalam
perkembangannya agar enak didengar menjadi macapat. Ketiga, tembang
macapat termasuk jenis sekar (tembang) klasisifikasi empat. Klasifikasi satu
18
adalah sekar ageng sapadaswara. Klasifikasi dua adalah sekar ageng
sapadadirga. Klasifikasi tiga adalah sekar tengahan.
Menurut Suwarno (2008: 8-9), sebagian besar pendapat mengatakan
bahwa tembang macapat terdiri dari 11 macam tembang. Sebagian ada yang
mengatakan hanya 9 macam tembang, namun malah ada juga yang
mengatakan 15 macam tembang. Macam-macam tembang tersebut adalah :
(1) Mijil; (2) Kinanthi; (3) Sinom; (4) Asmaradana; (5) Dhandanggula; (6)
Maskumambang; (7) Durma; (8) Pangkur; (9) Pocung; (10) Gambuh; (11)
Megatruh; (12) Balabak; (13) Wirangrong; (14) Jurudemung; (15) Girisa.
Penamaan
tembang-tembang
tersebut
menggambarkan
tahap-tahap
perkembangan hidup manusia. Kehidupan manusia dimulai dari lahir (mijil) dan
dilanjutkan masa kanak-kanak yang masih dibimbing atau digandeng (kinanthi)
orang tua. Selanjutnya tahapan masa muda (sinom) dan mengenal asmara
(asmaradana). Pada tahapan selanjutnya orang merancang kehidupan yang
baik, manis, indah, sejahtera (dandanggula). Pada perkembangan selanjutnya
orang sudah memikirkan kebaikan atau keutamaan, namun belum mengendap
(maskumambang). Perkembangan selanjutnya, orang memasuki masa tua,
yang seharusnya sudah mundur dari ‘ma lima’ (durma). Tahapan selanjutnya
ditandai dengan sikap yang menghindari (nyimpang) dan mengesampingkan
atau membelakangi (mungkur) berbagai urusan duniawi (pangkur). Kehidupan
manusia akan berakhir dengan kematian dan kemudian dikafani (pocung).
Tembang macapat dalam buku Serat Wedhatama, baik yang diterbitkan
Penerbit CV Aneka Ilmu Semarang, ditulis oleh Anjar Any, (tanpa tahun)
maupun Penerbit Citra Jaya Murti Surabaya, tanpa nama penulis, (1993) terdiri
dari lima macam tembang (pupuh), yang keseluruhannya berjumlah 100
pada/bait . Susunan tembang kedua buku itu tidak diurutkan sesuai dengan
tahap-tahap perkembangan hidup manusia. Jumlah pada/bait setiap macam
tembang pada kedua buku tersebut tidak ada perbedaan, sebagaimana terlihat
pada tabel.
19
Tabel: Perbandingan Serat Wedhatama Terbitan
CV Aneka IlmuSemarang dengan PT Citra Jaya MurtiSurabaya
Jumlah pada/bait
1
Nama
Tembang
Pangkur
Pnbt CV Aneka Ilmu
Semarang
14 (1-14)
Pnbt PT Citra Jaya Murti
Surabaya
14 (1-14)
2
Sinom
18 (15-32)
18 (15-32)
3
Pucung
16 (33-47)
16 (33-47)
4
Gambuh
34 (48-82)
34 (48-82)
5
Kinanthi
18 (83-100)
18 (83-100)
No
Serat Wedhatama pada umumnya dikenal sebagai buku tembang yang
berisi ajaran moral karangan KGPAA Mangkunegara IV, dengan nama kecil
Sudira, yang lahir pada 1811. Namun dalam buku Serat Wedhatama tulisan
Anjar Any, terbitan CV Aneka Ilmu Semarang (hal. 21-23) dikemukakan
kontroversi pengarang buku tersebut. Ada sebuah sumber yang menyatakan
bahwa Wedhatama itu sebenarnya ditulis oleh satu team yang dipimpin oleh RT
Padmodipuro,
menyatakan
seorang
bahwa
bangsawan
buku
tersebut
Mangkunegaran.
ditulis
oleh
Ada
RM.Ng.
pula
yang
Wiryokusumo.
Sementara itu di Mangkunegaran saat ini masih tersimpan sebuah surat dari
RMT Tondokusumo, cucu R.M.Ng. Wiryokusumo, tertanggal 10 April 1941,
yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar pertanyaan kakaknya yang
bernama KPH Suryokusumo kepada neneknya, yaitu R.Ay. Wiryokusumo.
Jawaban yang diperoleh menyatakan bahwa KGPAA Mangkunegara IV adalah
pengarang Serat Wedhatama. Beliau mempunyai beberapa orang murid untuk
pengajaran Bahasa Kawi, yaitu BRMH Suryoputro, BRMH Suryohasmoro, BRM
20
Suryodarmojo,
RMH
Tondokusumo,
RM.
Ng.
Joyosaroso,
RM.
Ng.
Cokrowijoyo, dan RM. Ng. Wiryokusumo. Mereka sering menerima batu tulis
(sabak) dan oleh RM. Ng. Wiryokusumo, batu tulis yang sudah berisi tulisan itu
dikumpulkan untuk diserahkan kembali kepada KGPAA Mangkunegara IV.
KGPAA Mangkunegara IV adalah cucu Mangkunegara II dari garis ibu dan
saudara sepupu Mangkunegara III. Ia menjadi penguasa Mangkunegaran
(1853-1881), sebuah kadipaten (kerajaan kecil) yang didirikan oleh KGPAA
Mangkunegara I atau RM Said, yang juga terkenal dengan panggilan Pangeran
Sambernyawa. Kadipaten itu didirikan
berdasarkan Perjanjian Salatiga pada
tahun 1757, dua tahun sesudah Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram
menjadi dua (palihan nagari), yaitu Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Berdasar Perjanjian Salatiga itu wilayah kekuasaan Surakarta
Hadiningrat dikurangi lagi oleh wilayah kekuasaan Mangkunegaran.
Sesudah berakhirnya palihan nagari dan sekaligus berakhirnya perang
suksesi itu merupakan zaman renaisans, yang melahirkan pujangga-pujangga
besar. Mereka adalah Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Masa
kepujanggaan Surakarta itu berlangsung selama kurang lebih 120 tahun,
dihitung sejak Perjanjian Salatiga 1757 hingga wafatnya Ranggawarsita pada
1873 atau mangkatnya Mangkunegara IV pada 1881 (Hasanu Simon, 2004:
515).
Mangkunegara IV telah menjalankan dua peran ganda yang kontradiktif,
yaitu peran pemegang kekuasaan pemeritahan dan peran pujangga. Dua peran
tersebut sulit dijalankan oleh sosok pribadi yang sama dalam kurun waktu yang
bersamaan. Ini yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang raja yang dalam
terminologi Jawa disebut raja pinandhita (raja yang berwatak pendeta). Dalam
dunia pewayangan, yang tidak lain merupakan dunia ide, sosok seperti itu
ditemukan pada diri Begawan Abiyasa. Setelah lengser dari kedudukannya
sebagai raja Hastina, ia kemudian menjadi seorang begawan di Pertapan
Wukiratawu atau Pertapaan Sapta Arga.
B. Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wedhatama
21
Dalam tradisi sastra Jawa, buku-buku tembang pada umumnya berisi
ajaran moral atau tuntunan budi pekerti yang luhur. Hal itu berbeda dengan
gendhing-gending dolanan yang isinya lebih bersifat hiburan. Dalam konteks
masa kini, keinginan untuk menjadikan nyanyian atau lagu-lagu agar berfungsi
sebagai media pendidikan nilai masih sering mengemuka, tidak hanya dari
kalangan pemikir dan praktisi pendidikan, namun juga dari sebagian artis
penyanyi itu sendiri.
Franky Sahilatua, pelantun lagu Bis Kota, Kereta Malam, Orang Pinggiran,
dan Perahu Retak itu mengatakan bahwa ia lebih suka berbicara tentang nilainilai dan realitas sosial. Ia berpesan kepada generasi muda yang bergelut di
bidang seni musik agar mampu mengangkat tema-tema lagu yang sarat
dengan nilai-nilai yang didasari pemahaman terhadap realitas sosial (Lembaga
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UII, “Mimpi Indah Masyarakat Etis”
majalah Kognisia; No. 02 Tahun II, September 2000),
Persoalan nilai dan realiatas sosial yang timpang juga muncul dalam pikiran
Bimbo,
kelompok
musikus
yang
melegenda.
Ia
mengemukakan
kegelisahannya dalam melihat karut-marut negeri ini. Ia merasakan bangsa
Indonesia saat ini sudah kehilangan rasa (roh) Indonesianya, yakni akhlak
santun, budi pekerti, dan nuansa-nuansa filosofis, spiritual. Ada perubahan
nilai, perubahan karakter pada bangsa ini, bahkan rasanya bangsa ini bukan
bangsa Indonesia lagi (Kompas, Jumat 11 Sepember 2009).
Adapun kandungan nilai-nilai moral atau budi pekerti dalam buku tembang
Serat Wedhatama itu tersebar di dalam lima pupuh tembang yang ada. Nilainilai yang terkandung dalam masing-masing tembang dapat dideskripsikan
pada unit-unit tembang berikut ini.
1. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Pangkur
Bait ke 1. Dengan menjauhi sifat angkara murka (mingkar mingkur ing
angkara), Sri Mangkunegara IV berkenan mendidik para putra, yang
dirangkai dalam bentuk tembang
(sinawung resmining kidung). Dalam
22
hubungan ini, agama merupakan pegangan hidup yang berharga (agama
ageming aji).
Bait ke 2. Petuah agar jangan menjadi orang yang lemah budinya.
Sebab, jika lemah budinya dan tumpul perasaannya (yen tan mikani rasa),
meskipun sudah tua, ia bagaikan sepah tebu dan ketika dalam pertemuan
sering bertindak memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi).
Bait ke 3-4. Petuah agar tidak bertindak semaunya sendiri (nggugu
karepe priyangga). Sifatnya, jika berbicara tanpa dipikirkan lebih dahulu,
tidak mau dianggap bodoh, dan mabuk pujian. Adapun perilaku orang yang
dungu, bualannya tidak karuan dan tidak masuk akal (ngandhar-andhar
angendhukur, kandhane nora kaprah). Namun bagi orang yang bijaksana,
dengan cara yang halus (sinamun ing samudana) hal itu ditanggapi dengan
baik (sesadon ing adu manis).
Bait ke 5. Ajaran tentang ilmu sejati, yang membuat nyaman di hati.
Ilmu ini mengajarkan agar menerima dengan senang hati jika dianggap
bodoh (bungah ingaran cubluk) dan tetap gembira jika dihina (sukeng tyas
yen den ina). Tidak demikian halnya dengan si Dungu yang selalu sombong
(anggung gumrunggung) dan ingin dipuji setiap hari (ugungan sedina-dina).
Bait ke 6-8. Petuah yang menggambarkan tentang hidup yang hanya
sekali, namun berantakan (uripe sepisan rusak). Orang yang demikian,
pikirannya tidak berkembang dan kacau (nora mulur nalare pating seluwir),
ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta guwa kang sirung), picik
pengetahuannya, namun sombong. Anak yang demikian, jika menghadapi
kesulitan, ia mengandalkan orang tuanya yang bangsawan (pelayune
ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur). Wataknya tampak
ketika bertutur kata, tak mau kalah (lumuh asor kudu unggul), sombong dan
meremehkan orang lain (sumengah sesongaran).
Bait ke 9. Ajaran tentang keburukan ilmu karang (ilmu gaib, ilmu
kekebalan, ilmu sihir). Ilmu tersebut diibaratkan bedak, tidak meresap ke
dalam jiwa (iku boreh upaminipun, tan rumasuk ing jasad), dan jika
menghadapi mara bahaya tidak dapat diandalkan.
23
Bait ke 10-11. Petuah agar berguru tentang kebaikan (puruita kang
patut), serta dapat menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi
tatanan negara (angger ugering keprabon). Juga agar berguru pada orang
bijak yang berjiwa pertapa (sarjana kang martapi), untuk memahami ilmu
yang hakiki, tidak harus kepada orang yang lebih tua, namun bisa juga
kepada anak muda ataupun orang kebanyakan (tan mesthi neng janma
wredha, tuwin mudha sudra).
Bait ke 12. Ajaran tentang sebutan “orang tua” (wong tuwa, wong
sepuh).Dia adalah orang yang memahami wahyu Allah, menguasai ilmu
kesempurnaan, serta memahami makna dwitunggal (roroning atunggil, yaitu
makhluk dan Khalik, titah dan yang menitahkan). Orang disebut “orang tua”
bila ia tidak dikuasai hawa nafsu (lire sepuh sepi hawa).
Bait ke 13-14. Ajaran tentang pemahaman terhadap sukma (roh,
namun ada yang memaknai Tuhan) (tan samar pamoring sukma). Caranya
dengan diresapi dan direnungkan di kala sepi (sinuksmaya winahya ing
asepi), di simpan di lubuk hati (sinimpen telenging kalbu), dalam keadaan
antara sadar dan tidak sadar, bagaikan mimpi. Dalam kondisi demikian itu
lah hadirnya rasa yang sejati. Jika mampu mencapainya, ia telah
mendapatkan anugerah Tuhan. Ia mampu mencapai alam kosong (bali
alaming ngasuwung), kembali ke asal mula (mulih mula mulanira), tidak
mabuk dunia yang sifatnya kuasa-menguasai
2. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Sinom
Bait ke 15-18. Petuah agar meniru perilaku yang baik (laku utama),
yang dicontohkan oleh Panembahan Senopati, raja Mataram (wong agung
ing Ngeksiganda). Ia sungguh-sungguh dalam menekan hawa nafsu (kapati
amarsudi sudaning hawa lan nefsu), yang dijalani dengan bertapa (pinesu
tapa brata). Ia berusaha membuat senang hati orang lain dan dalam setiap
pertemuan ia membuat suasana tenteram. Di kala tiada kesibukan ia
berkelana mencari ilham (kala kalaningasepi lelana teki-teki), untuk
mencapai cita-cita (nggayuh geyonganing kayun), yang terpesona pada
24
ketenteraman hati (kayungyun eninging tyas), senantiasa menjalani prihatin,
kuat dalam mengurangi makan dan tidur (puguh panggah cegah dhahar
lawan nendra). Setiap pergi meninggalkan istana, ia berkelana ke tempat
yang sunyi (lelana laladan sepi) untuk menyerap kesempurnaan ilmu agar
jelas apa yang dituju. Tujuannya untuk mencapai kehalusan budi (budya
tulus) dan kemampuan yang optimal (mesu reh kasudarman). Di tepi
samodra (neng tepining jalanidhi), ia memahami kekuasaan samodra, yang
seakan digenggamnya dalam satu genggaman.
Bait ke 19-21. Pada bait (pada) ini lebih banyak berisi mitos tentang
hubungan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul, kurang relevan
dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Bait ke 22-24. Ajaran tentang corak keislaman yang tidak begitu islami.
Hal itu tampak pada sindiran terhadap anak muda yang dianggap suka
meniru Nabi (manulad nelad Nabi), hanya untuk pamer, sebelum bekerja
singgah dahulu di masjid (saben seba mampir mesjid). Bagi pengarang,
anak muda seperti itu hanya berkutat pada syariat dan tidak sampai pada
hakikat (anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi). Bahkan
terungkap sinisme, jika berkhotbah berirama Dandanggula gaya palaran
(kalamun maca kotbah, lelagone Dandanggendis, swara arum ngumandang
cengkok palaran). Ia menghendaki keislaman yang tidak mendalam
(sathitihik bae wus cukup), jangan bersemangat meniru ahli fikih (nelad kas
ngepleki pekih).
Bait ke 25-28. Ajaran yang cenderung pada pragmatisme, yaitu
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi pengarang, dari pada
mendalami agama, lebih baik mencari nafkah (ngupa boga). Berhubung
ditakdirkan sebagai orang lemah, lebih baik mengabdi raja, bertani, atau
berdagang (suwiteng nata, tani tanapi agrami). Dengan nada sarkastis
terhadap diri sendiri, ia memberi alasan “ini karena saya orang bodoh,
belum tahu cara hidup orang Arab” (padune wong dhahat cubluk, durung
wruh cara Arab). Ia pernah menghadapi dilema, antara mengutamakan
perintah agama atau pekerjaan (bot Allah apa Gusti, tambuh-tambuh solah
25
ingsun). Pada masa mudanya ia rajin beribadah dan dalam hatinya ada
perasaan takut menghadapi hari akhir (sawadine tyas mami, banget wedine
ing mbesuk, pranatan ngakir jaman). Akan tetapi hal itu terhenti, karena
alasan pekerjaan. Tidak sempat sembahyang, karena ketika dipanggil yang
memberi makan, jika tidak segera menghadap akan dimarahi (nora kober
sembahyang, gya tinimbalan, marang ingkang asung pangan, yen kesuwen
den dukani).
Bait ke 29. Petuah tentang tiga nilai yang mengangkat kedudukan
manusia, yaitu pangkat, harta, dan kepintaran (wirya harta tri winasis). Jika
seseorang tidak memiliki satu pun di antara ketiganya, maka tidak ada
artinya sebagai manusia, bahkan lebih berharga daun jati kering, sehingga
ia menjadi peminta-minta atau gelandangan (kalamun kongsi sepi saka
wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa
papariman, ngulandara).
Bait ke 30-32. Ajaran tentang samadi atau meditasi, sehingga
seseorang mampu melihat hakikat pribadinya sendiri secara jelas (wosing
jiwangga melok tanpa aling-aling), serta menerawang keadaan yang seakan
tanpa batas (angelangut tanpa tepi). Demikian itu manusia yang luhur,
gemar
menyepi
(tuman
tumanem
ing
sepi),
mempertajam
dan
membersihkan jiwa (masah amemasuh budi), namun secara lahiriah tetap
menjalankan tugas kewajibannya, bersikap rendah hati, dan senantiasa
membuat senang hati orang lain.
3. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Pucung
Bait ke 33-34. Ajaran bahwa ilmu itu dapat tercapai dengan diamalkan
(ngelmu iku kelakone kanthi laku), yang dimulai dengan kemauan kuat.
Adapun budi yang baik akan mampu menghancurkan nafsu angkara yang
berada di dalam diri manusia itu sendiri.
Bait ke 35-37. Ajaran bahwa orang yang terpesona pada kehidupan
ruhani (wus sengsem reh ngasamun), bersifat pemaaf dan sabar. Dalam
26
sunyi, hati yang jahat dapat ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana
karoban ing sih).
Bait ke 38-41. Pandangan yang bernada sarkastis terhadap praktik
keislaman kalangan muda, dengan ucapan: belum mampu tetapi berani
memaknai lafadz seperti sayid dari Mesir (durung pecus keselak besus,
amaknani rapal kaya sayid seka Mesir), aneh, tidak suka ke-Jawa-annya,
memaksa diri mencari pengetahuan di Mekah (elok Jawane den mohi,
paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah). Sedangkan inti
pengetahuan yang dicari itu ada pada diri sendiri. Asal mau berikhtiar, di
sana dan di sini (Jawa) tidak berbeda.
Bait ke 42. Pandangan bahwa ilmu itu harus sejalan dengan nalar
(logika) (ngelmu iku mupakate lan panemu) dan untuk mencapainya dengan
bertapa (pasahe lan tapa).
Bait ke 43. Ajaran tentang tiga hal yang perlu dijadikan pegangan,
yaitu: rela jika kehilangan sesuatu, menerima dengan sabar jika mendapat
perlakuan yang menyakitkan hati, ikhas menyerahkan diri pada Tuhan (lila
lamun kelangan nora gegetun, trima lamun ketaman saserik sameng
dumadi, legawa nalangsa srah ing bathara).
Bait ke 44. Pandangan sepintas tentang teologi yang bersifat mistis,
kurang relevan dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Bait ke 45-47. Petuah tentang sifat-sifat angkara, yang kesukaannya
mencaci maki tanpa isi, asalkan marah-marah (kareme anguwus-uwus,
uwose tan ana, mung janjine muring-muring), kesalahannya sendiri ditutupi,
kemarahannya dilampiaskan untuk memukul orang lain, belum seberapa
ilmunya namun ingin dianggap pandai, itupun sering terhalang oleh pamrih.
4. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Gambuh
Bait ke 48. Ajaran tentang empat macam sembah (sembah catur), yaitu
sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa.
Bait ke 49-57. Ajaran sembah raga yang dianggap sebagai tahapan
akan
memulai
perjalanan
(semacam
thariqat)
(amagang
laku).
27
Pembersihannya dengan air sebagaimana bersuci sebelum shalat lima kali
sehari (sesucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu).
Pada tahapan ini, orang tergesa-gesa ingin melihat cahaya Tuhan (kesusu
arsa weruh, pan cahyaning Hyang), tetapi belum mampu. Tahapan ini
disebut syariat, ritualnya dilakukan dengan tetap dan tekun.
Bait ke 56-62. Ajaran sembah kalbu (cipta) yang jika dilakukan secara
terus-menerus akan menjadi ritual (laku). Pembersihannya tanpa air,
melainkan dengan mengendalikan hawa nafsu (sesucine tanpa banyu,
hamung nyuda mring hardaning kalbu). Jika dilakukan dengan baik, orang
akan berada pada suasana batin yang remang-remang atau sayup-sayup
(tumalawung) dan terbukanya alam yang di atas. Pada tahapan ini
syaratnya adalah sabar dalam segala tindakan dan terlaksananya dengan
tenang, jernih, dan sadar (eneng, ening, eling).
Bait ke 63-69. Ajaran sembah sukma, yaitu sembah yang dilakukan
setiap saat dan merupakan perjalanan (ritual) terakhir (pepuntoning laku).
Pembersihannya dengan waspada dan ingat (sadar) (awas, emut).
Pemeliharaannya
dengan
membiasakan
diri
untuk
menguasai
dan
merangkul tiga alam (yang dimaksud adalah: alam fisik, alam rasa, dan
alam angan-angan). Selain itu, makrokosmos (jagad agung) digulung ke
dalam mikrokosmos (jagad alit).
Bait ke 70-72. Ajaran sembah rasa, yang dengan sembah ini akan
mampu memahami hakikat (makna terdalam) dari kehidupan (sembah rasa
karasa wosing dumadi). Tercapainya tanpa petunjuk, hanya dengan
kesentausaan batin. Di sini tidak ada lagi was-was dan keragu-raguan,
hanya percaya sepenuhnya pada takdir (wus ilang sumelanging kalbu,
amung kandel kumandel ing takdir). Dipesankan agar jika belum mampu
sampai pada tahapan ini jangan mengaku telah mampu, sebab akan
mendapat laknat.
Bait ke 73. Untuk melaksanakan petuah-petuah dalam tembang ini,
orang harus sentausa dan teguh budinya. Demikian pula harus sabar,
28
tawakal, ikhlas di hati, rela dan menerima segala keadaan, berjiwa pandhita,
dan paham terhadap akhir dari hidup ini.
Bait ke 74. Petuah agar segala tindak-tanduk dikerjakan sekedarnya
(tidak berlebihan), memberi maaf kesalahan orang kain (den ngaksama
kasisipaning sesami), menghindari tindakan tercela dan sifat angkara
(sumimpanga ing laku dur).
Bait ke 75. Petuah agar orang mampu membedakan antara baik dan
buruk, agar terpancar pelita yang menerangi hati (pandaming kalbu).
Bait ke 76-82. Lebih banyak berisi pandangan yang bersifat mistis
tentang rasa dan wujud (endi manis, endi madu) dan ajaran-ajaran lain
yang kurang relevan dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
5. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam tembang Kinanthi
Bait ke 83. Petuah agar dalam hidupnya, orang berbekal ingat dan
waspada (eling lan waspada; awas lan eling). Ingat yang dimaksud adalah
ingat pada petunjuk atau contoh pelajaran yang diberikan oleh alam (eling
lukitaning alam).
Bait ke 84. Petuah agar mempertajam perasaan (angulah lantiping ati)
dan menyingkirkan hawa nafsu agar menjadi manusia yang berbudi luhur
(bengkas kahardaning driya, supaya dadya utami).
Bait ke 85. Ajaran tentang cara mempertajam hati, yaitu dengan samadi
di tempat yang sunyi (pangasahe sepi samun). Ketajamannya dapat
mengikis gunung penghalang, yang menjadi penghalangnya budi (bengkas
kahardaning driya, kekes srabedaning budi).
Bait ke 86-88. Petuah agar waspada, artinya mengetahui penghalang
dalam hidup (wruh warananing urip). Juga agar tidak lengah dalam hati
(aywa sembrana ing kalbu) dan memperhatikan pada kata-kata yang
diucapkan sendiri,
menghilangkan keraguan dalam hati, dan waspada
dalam memandang sesuatu (waspada ing pangeksi).
Bait 88-90. Petuah agar tidak membiasakan diri berbuat nista (awya
mematuh nalutuh), hati-hati terhadap berbagai rintangan dalam hidup.
29
Umpama orang berjalan, jalan yang berbahaya dilalui, apabila kurang
waspad, dapat tertusuk duri (sayekti kasandung ri) atau terantuk batu.
Bait 91-93. Petuah agar tidak seperti diibaratkan ‘berobat sesudah
terluka’ (atetamba yen wus bucik). Yang demikian itu, meskipun orang
mempunyai
pengetahuan,
tetapi
tidak
ada
gunanya,
sehingga
pengetahuannya hanya untuk mencari nafkah dan pamrih (kawruhe kinarya
ngupaya kasil lan melik).
Bait ke 94. Ajaran bahwa syarat menjalani ilmu sejati (lakune ngelmu
sejati) adalah tidak iri dan dengki (tan dahwen pati openan), tidak berhati
panas (tan panasten), tidak mengganggu orang lain (nora jail), tidak
melampiaskan hawa nafsu (tan njurung ing kahardan), namun hanyalah
diam agar tenang (amung eneng amrih ening).
Bait ke 95-98. Ajaran bahwa budi yang baik itu biasanya pandai
bergaul
dengan
berbagai
kalangan
(bangkit
ajur
ajer).
Meskipun
pengetahuannya yang benar berbeda dengan pendapat orang lain, ia
bersikap baik, sekedar untuk menyenangkan hati orang lain (mung ngenaki
tyasing lyan). Oleh karena itu hendaknya dapat berpura-pura bodoh (den
bisa mbusuki ujaring janmi).
Bait ke 99-100. Petuah agar mengikuti kebaikan-kebaikan yang telah
diajarkan itu sebagai langkah mencapai kemuliaan. Meskipun tidak mampu
untuk persis, tetapi harus ikhtiar semampunya. Jika tidak demikian berarti
sungguh rugi hidup ini (yekti tuna tinitah).
C. Makna Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wedhatama
Sesuai dengan metode penelitian, inferensi atau pemaknaan nilai-nilai
pendidikan karakter dalam Serat Wedhatama dikelompokkan ke dalam unit-unit
tematik, yang dikonstruk menjadi tema-tema : etika pribadi, etika sosial, dan
etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam inferensi atau pemaknaan ini
juga dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu, baik yang bersifat historis,
sosiologis, maupun kultural.
30
1. Etika Pribadi
Kandungan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkait dengan etika pribadi
adalah beberapa ajaran atau petuah sebagai berikut:
a. Jangan menjadi orang yang lemah budinya dan tumpul perasaannya
(tan mikani rasa), sebab orang yang lemah budinya dan tumpul
perasaannya, meskipun sudah tua, ia bagaikan sepah tebu dan ketika
dalam
pertemuan
sering
bertindak
memalukan
(gonyak-ganyuk
nglelingsemi) (Pangkur bait ke 2).
b. Sebaiknya mempelajari ilmu sejati, yang membuat nyaman di hati. Ilmu
ini mengajarkan agar menerima dengan senang hati jika dianggap bodoh
(bungah ingaran cubluk) dan tetap gembira jika dihina (sukeng tyas yen
den ina) (Pangkur bait ke 5).
c. Hidup yang hanya sekali ini jangan sampai berantakan (uripe sepisan
rusak). Orang yang demikian, pikirannya tidak berkembang dan kacau
(nora mulur nalare pating seluwir), ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta
guwa kang sirung), picik pengetahuannya, namun sombong. Anak yang
demikian, jika menghadapi kesulitan, ia mengandalkan orang tuanya
yang bangsawan (pelayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur
bangsaning luhur) (Pangkur bait ke 6-8).
d. Petuah agar berguru tentang kebaikan (puruita kang patut), Juga agar
berguru pada orang bijak yang berjiwa pertapa (sarjana kang martapi),
untuk memahami ilmu yang hakiki (Pangkur bait ke 10-11).
e. Petuah agar meniru perilaku yang baik (laku utama), yang dicontohkan
oleh
Panembahan
Senopati,
raja
Mataram
(wong
agung
ing
Ngeksiganda). Ia sungguh-sungguh dalam menekan hawa nafsu (kapati
amarsudi sudaning hawa lan nefsu), yang dijalani dengan bertapa
(pinesu tapa brata). Ia berusaha membuat senang hati orang lain dan
dalam setiap pertemuan ia membuat suasana tenteram. Di kala tiada
kesibukan ia berkelana mencari ilham (kala kalaningasepi lelana tekiteki), untuk mencapai cita-cita (nggayuh geyonganing kayun), yang
terpesona
pada
ketenteraman
hati
(kayungyun
eninging
tyas),
31
senantiasa menjalani prihatin, kuat dalam mengurangi makan dan tidur
(puguh
panggah
cegah
dhahar
lawan
nendra).
Setiap
pergi
meninggalkan istana, ia berkelana ke tempat yang sunyi (lelana laladan
sepi) untuk menyerap kesempurnaan ilmu agar jelas apa yang dituju.
Tujuannya
untuk
mencapai
kehalusan
budi
(budya
tulus)
dan
kemampuan yang optimal (mesu reh kasudarman). Di tepi samodra
(neng tepining jalanidhi), ia memahami kekuasaan samodra, yang
seakan digenggamnya dalam satu genggaman. (Sinom bait ke 15-18).
f.
Petuah tentang tiga nilai yang mengangkat kedudukan manusia, yaitu
pangkat, harta, dan kepintaran (wirya harta tri winasis). Jika seseorang
tidak memiliki satu pun di antara ketiganya, maka tidak ada artinya
sebagai manusia, bahkan lebih berharga daun jati kering, sehingga ia
menjadi peminta-minta atau gelandangan (kalamun kongsi sepi saka
wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa
papariman, ngulandara). (Sinom bait ke 29).
g. Ajaran bahwa ilmu itu dapat tercapai dengan diamalkan (ngelmu iku
kelakone kanthi laku), yang dimulai dengan kemauan kuat. Adapun budi
yang baik akan mampu menghancurkan nafsu angkara yang berada di
dalam diri manusia itu sendiri (Pucung bait ke 33-34).
h. Ajaran bahwa orang yang terpesona pada kehidupan ruhani (wus
sengsem reh ngasamun), bersifat pemaaf dan sabar. Dalam sunyi, hati
yang jahat dapat ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana karoban ing
sih) (Sinom bait ke 35-37).
i.
Pandangan bahwa ilmu itu harus sejalan dengan nalar (logika) (ngelmu
iku mupakate lan panemu) dan untuk mencapainya dengan bertapa
(pasahe lan tapa). (Sinom bait ke 42).
j.
Ajaran tentang tiga hal yang perlu dijadikan pegangan, yaitu: rela jika
kehilangan sesuatu, menerima dengan sabar jika mendapat perlakuan
yang menyakitkan hati, ikhas menyerahkan diri pada Tuhan (lila lamun
32
kelangan nora gegetun, trima lamun ketaman saserik sameng dumadi,
legawa nalangsa srah ing bathara) (Sinom bait ke 43).
k. Petuah tentang sifat-sifat angkara, yang kesukaannya mencaci maki
tanpa isi, asalkan marah-marah (kareme anguwus-uwus, uwose tan ana,
mung
janjine
kemarahannya
muring-muring),
kesalahannya
sendiri
ditutupi,
dilampiaskan untuk memukul orang lain, belum
seberapa ilmunya namun ingin dianggap pandai, itupun sering terhalang
oleh pamrih (Sinom bait ke 15-18).
l. Untuk melaksanakan petuah-petuah dalam tembang ini, orang harus
sentausa dan teguh budinya. Demikian pula harus sabar, tawakal, ikhlas
di hati, rela dan menerima segala keadaan, berjiwa pandhita, dan paham
terhadap akhir dari hidup ini (Gambuh bait ke 73).
m. Petuah
agar
segala
tindak-tanduk
dikerjakan
sekedarnya
(tidak
berlebihan), memberi maaf kesalahan orang kain (den ngaksama
kasisipaning sesami), menghindari tindakan tercela dan sifat angkara
(sumimpanga ing laku dur) (Gambuh bait ke 74).
n. Petuah agar orang mampu membedakan antara baik dan buruk, agar
terpancar pelita yang menerangi hati (pandaming kalbu) (Gambuh bait
ke 75).
o. Petuah agar dalam hidupnya, orang berbekal ingat dan waspada (eling
lan waspada; awas lan eling). Ingat yang dimaksud adalah ingat pada
petunjuk atau contoh pelajaran yang diberikan oleh alam (eling lukitaning
alam) (Kinanthi bait ke 83).
p. Petuah agar mempertajam perasaan (angulah lantiping ati) dan
menyingkirkan hawa nafsu agar menjadi manusia yang berbudi luhur
(bengkas kahardaning driya, supaya dadya utami) (Kinanthi bait ke 84).
q. Ajaran tentang cara mempertajam hati, yaitu dengan samadi di tempat
yang sunyi (pangasahe sepi samun). Ketajamannya dapat mengikis
gunung penghalang, yang menjadi penghalangnya budi (bengkas
kahardaning driya, kekes srabedaning budi) (Kinanthi bait ke 85).
33
r. Petuah agar waspada, artinya mengetahui penghalang dalam hidup (wruh
warananing urip). Juga agar tidak lengah dalam hati (aywa sembrana ing
kalbu) dan memperhatikan pada kata-kata yang diucapkan sendiri,
menghilangkan keraguan dalam hati, dan waspada dalam memandang
sesuatu (waspada ing pangeksi) (Kinanthi bait ke 86-88).
s. Petuah agar tidak membiasakan diri berbuat nista (awya mematuh
nalutuh), hati-hati terhadap berbagai rintangan dalam hidup. Umpama
orang berjalan, jalan yang berbahaya dilalui, apabila kurang waspad,
dapat tertusuk duri (sayekti kasandung ri) atau terantuk batu (Kinanthi
bait ke 88-90).
t. Petuah agar tidak seperti diibaratkan ‘berobat sesudah terluka’ (atetamba
yen wus bucik). Yang demikian itu, meskipun orang mempunyai
pengetahuan, tetapi tidak ada gunanya, sehingga pengetahuannya
hanya untuk mencari nafkah dan pamrih (kawruhe kinarya ngupaya kasil
lan melik) (Kinanthi bait ke 91-93).
u. Ajaran bahwa syarat menjalani ilmu sejati (lakune ngelmu sejati) adalah
tidak iri dan dengki (tan dahwen pati openan), tidak berhati panas (tan
panasten), tidak mengganggu orang lain (nora jail), tidak melampiaskan
hawa nafsu (tan njurung ing kahardan), namun hanyalah diam agar
tenang (amung eneng amrih ening) (Kinanthi bait ke 94).
v. Petuah agar mengikuti kebaikan-kebaikan yang telah diajarkan itu
sebagai langkah mencapai kemuliaan. Meskipun tidak mampu untuk
persis, tetapi harus ikhtiar semampunya. Jika tidak demikian berarti
sungguh rugi hidup ini (yekti tuna tinitah) (Kinanthi bait ke 99-100).
Berdasar
uraian
tersebut
tampak
bahwa
Serat
Wedhatama
menekankan pentingnya pendidikan bagi setiap orang. Sebagaimana
ajaran-ajaran dalam kultur Jawa, termasuk dalam Serat Wulang Reh,
pendidikan yang dimaksud lebih menekankan pada pengembangan hati,
rasa, emosionalitas, atau bahkan spiritualitas. Hal itu terungkap pada pesan
agar: mempertajam perasaan (angulah lantiping ati), menyingkirkan hawa
nafsu agar menjadi manusia yang berbudi luhur (bengkas kahardaning
34
driya, supaya dadya utami), dan jangan menjadi orang yang lemah budinya
dan tumpul perasaannya (tan mikani rasa). Serat Wedhatama memberi
pujian pada orang yang terpesona pada kehidupan ruhani (wus sengsem
reh ngasamun), yang sifatnya pemaaf dan
sabar. Sebagaimana ajaran
Serat Wulang Reh, pengembangan hati, rasa, emosionalitas, atau bahkan
spiritualitas itu akan menghasilan ‘ilmu sejati’, yang membuat nyaman di
hati. Orang yang telah memiliki ilmu ini akan menerima dengan senang hati
jika dianggap bodoh (bungah ingaran cubluk) dan tetap gembira jika dihina
(sukeng tyas yen den ina).
Namun demikian, Serat Wedhatama juga menekankan pentingnya
pengembangan akal, pikiran, rasionalitas, atau intelektualitas. Hal itu
terungkap pada pesan agar: jangan sampai hidup yang hanya sekali ini
berantakan (uripe sepisan rusak), yaitu orang yang pikirannya tidak
berkembang dan kacau (nora mulur nalare pating seluwir), ibarat dalam gua
yang gelap (kadi ta guwa kang sirung), sehingga picik pengetahuannya.
Pandangan bahwa ilmu itu harus sejalan dengan pendapat akal sehat
(nalar, logika) (ngelmu iku mupakate lan panemu).
Tentang etos belajar (menuntut ilmu), terutama “ilmu sejati’ yaitu
dengan samadi di tempat yang sunyi (pangasahe sepi samun) atau dengan
bertapa
(pasahe
lan
tapa).
Dalam
sunyi,
hati
yang
jahat
dapat
ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana karoban ing sih) Oleh karena itu,
pencapaian ilmu itu harus dijalani dengan suatu proses (ngelmu iku
kelakone kanthi laku) dan dimulai dengan kemauan kuat (lekase klawan
kas). Syarat untuk menjalani ilmu sejati (lakune ngelmu sejati) adalah tidak
iri dan dengki (tan dahwen pati openan), tidak berhati panas (tan panasten),
tidak mengganggu orang lain (nora jail), tidak melampiaskan hawa nafsu
(tan njurung ing kahardan), tetapi lebih menyukai diam agar tenang (amung
eneng amrih ening). Untuk itu dianjurkan agar berguru pada orang bijak
yang berjiwa pertapa (sarjana kang martapi). Orang hendaknya tidak
menggunakan pengetahuannya semata-mata hanya untuk mencari nafkah
dan pamrih (kawruhe kinarya ngupaya kasil lan melik).
35
Serat Wedhatama mengajarkan tiga hal yang perlu dijadikan pegangan,
yaitu: rela jika kehilangan sesuatu (lila lamun kelangan nora gegetun),
menerima dengan sabar jika mendapat perlakuan yang menyakitkan hati
(trima lamun ketaman saserik sameng dumadi), ikhas menyerahkan diri
pada Tuhan (legawa nalangsa srah ing bathara).
Serat Wedhatama mengajarkan tiga nilai yang mengangkat kedudukan
manusia, yaitu pangkat, harta, dan kepintaran (wirya harta tri winasis). Jika
seseorang tidak memiliki satu pun di antara ketiganya, maka tidak ada
artinya sebagai manusia, bahkan lebih berharga daun jati kering, sehingga
ia menjadi peminta-minta atau gelandangan (kalamun kongsi sepi saka
wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa
papariman, ngulandara).
Serat Wedhatama mengajarkan agar dalam hidupnya, orang berbekal
ingat dan waspada (eling lan waspada; awas lan eling). Ingat yang
dimaksud adalah ingat pada petunjuk atau pelajaran yang diberikan oleh
alam (eling lukitaning alam). Adapaun maksud waspada adalah mengetahui
penghalang dalam hidup (wruh warananing urip), tidak lengah dalam hati
(aywa sembrana ing kalbu) dan memperhatikan pada kata-kata yang
diucapkan sendiri,
menghilangkan keraguan dalam hati, dan waspada
dalam memandang sesuatu (waspada ing pangeksi). Orang jangan sampai
diibaratkan ‘berobat sesudah terluka’ (atetamba yen wus bucik). Yang
demikian itu, meskipun orang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak ada
gunanya.
Serat Wedhatama mengajarkan agar segala tindak-tanduknya tidak
berlebihan,
memberi
maaf
kesalahan
orang
kain
(den
ngaksama
kasisipaning sesami), menghindari tindakan tercela dan sifat angkara
(sumimpanga ing laku dur). Orang juga harus mampu membedakan antara
baik dan buruk, agar terpancar pelita yang menerangi hati (pandaming
kalbu). Juga dipesankan
agar orang mengikuti kebaikan-kebaikan yang
telah diajarkan dalam buku itu sebagai langkah mencapai kemuliaan.
36
Meskipun tidak mampu untuk persis, tetapi harus berikhtiar semampunya.
Jika tidak demikian berarti sungguh rugi hidup ini (yekti tuna tinitah).
Serat Wedhatama mengajarkan agar orang menghindari sifat-sifat
angkara dan perbuatan nista (awya mematuh nalutuh). Sifat angkara itu
suka mencaci maki tanpa isi, asalkan marah-marah (kareme anguwusuwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring) dan
kemarahannya
dilampiaskan untuk memukul orang lain.
Serat Wedhatama memberikan contoh sosok Panembahan Senopati,
raja Mataram pertama (wong agung ing Ngeksiganda), sebagai modeliing
dalam pendidikan karakter dan tingkah laku yang terpuji (laku utama). Bait
ini cukup populer di kalangan masyarakat Jawa. Panembahan Senopati
digambarkan sebagai pribadi yang sungguh-sungguh dalam menekan hawa
nafsu (kapati amarsudi sudaning hawa lan nefsu), yang dijalani dengan
bertapa (pinesu tapa brata). Ia berusaha membuat senang hati orang lain
dan dalam setiap pertemuan ia membuat suasana tenteram. Di kala tiada
kesibukan ia berkelana mencari ilham (kala kalaningasepi lelana teki-teki),
untuk mencapai cita-cita (nggayuh geyonganing kayun), yang terpesona
pada ketenteraman hati (kayungyun eninging tyas), senantiasa menjalani
prihatin, kuat dalam mengurangi makan dan tidur (puguh panggah cegah
dhahar lawan nendra). Setiap pergi meninggalkan istana, ia berkelana ke
tempat yang sunyi (lelana laladan sepi) untuk menyerap kesempurnaan ilmu
agar jelas apa yang dituju. Tujuannya untuk mencapai kehalusan budi
(budya tulus) dan kemampuan yang optimal (mesu reh kasudarman). Di tepi
samodra (neng tepining jalanidhi), ia memahami kekuatan samodra, yang
baginya seakan digenggamnya dalam satu genggaman.
2. Etika Sosial
Kandungan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkait dengan etika sosial
adalah beberapa ajaran atau petuah sebagai berikut:
a. Jangan sampai bertindak kurang sopan santun dalam pertemuan,
sehingga memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi) (Pangkur bait ke 2).
37
b. Jangan bertindak semaunya sendiri (nggugu karepe priyangga).
Sifatnya, jika berbicara tanpa dipikirkan lebih dahulu, tidak mau dianggap
bodoh, dan mabuk pujian (Pangkur bait ke 3-4).
c. Jangan berperilaku seperti perilakunya orang yang dungu, yang
bualannya tidak karuan dan tidak masuk akal (ngandhar-andhar
angendhukur, kandhane nora kaprah). Orang yang dungu itu
selalu
sombong (anggung gumrunggung) dan ingin dipuji setiap hari (ugungan
sedina-dina)
Sebaliknya, jadilah
orang yang bijaksana, yang dalam
menanggapi orang yang dungu dengan cara yang halus (sinamun ing
samudana) dan baik (sesadon ing adu manis) (Pangkur bait ke 3-5).
d. namun berantakan (uripe sepisan rusak). Orang yang demikian,
pikirannya tidak berkembang dan kacau (nora mulur nalare pating
seluwir), ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta guwa kang sirung), picik
pengetahuannya, namun sombong. Anak yang demikian, wataknya
tampak ketika bertutur kata, tak mau kalah (lumuh asor kudu unggul),
sombong dan meremehkan orang lain (sumengah sesongaran).(Pangkur
bait ke 6-8)
e. Petuah agar berguru tentang kebaikan (puruita kang patut), serta dapat
menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi tatanan negara
(angger ugering keprabon) (Pangkur bait ke 10-11).
f. Ajaran bahwa budi yang baik itu biasanya pandai bergaul dengan
berbagai kalangan (bangkit ajur ajer). Meskipun pengetahuannya yang
benar berbeda dengan pendapat orang lain, ia bersikap baik, sekedar
untuk menyenangkan hati orang lain (mung ngenaki tyasing lyan). Oleh
karena itu hendaknya dapat berpura-pura bodoh (den bisa mbusuki
ujaring janmi). (Kinanthi bait ke 95-98).
Serat Wedhatama mengajarkan agar orang jangan sampai bertindak
kurang sopan santun dalam pertemuan, sehingga memalukan
(gonyak-
ganyuk nglelingsemi). Demikian juga, jangan bertindak semaunya sendiri
(nggugu karepe priyangga). Sifatnya, jika berbicara tanpa dipikirkan lebih
38
dahulu, tidak mau dianggap bodoh, dan mabuk pujian. Orang harus dapat
menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi tatanan negara
(angger ugering keprabon).
Dalam pandangan Serat Wedhatama, orang yang baik budinya itu
biasanya pandai bergaul dengan berbagai kalangan (bangkit ajur ajer).
Meskipun pengetahuannya benar dan berbeda dengan pendapat orang lain,
ia bersikap baik, sekedar untuk menyenangkan hati orang lain (mung
ngenaki tyasing lyan). Oleh karena itu kadang kala ia berpura-pura bodoh
(den bisa mbusuki ujaring janmi). Orang yang bijaksana akan menanggapi
orang yang dungu dengan cara yang halus (sinamun ing samudana) dan
baik (sesadon ing adu manis).
Serat Wedhatama mengajarkan agar jangan berperilaku seperti
perilakunya orang yang dungu, yang bualannya tidak karuan dan tidak
masuk akal (ngandhar-andhar angendhukur, kandhane nora kaprah). Orang
yang dungu itu suka sombong (anggung gumrunggung) dan ingin dipuji
setiap hari (ugungan sedina-dina). Orang yang picik pengetahuannya,
namun sombong, wataknya tampak ketika bertutur kata, tak mau kalah
(lumuh asor kudu unggul), dan meremehkan orang lain (sumengah
sesongaran).
3. Etika terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Kandungan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkait dengan etika
terhadap Tuhan adalah beberapa ajaran atau petuah sebagai berikut:
a. Serat Wedhatama mengajarkan bahwa agama merupakan pegangan
hidup yang berharga (agama ageming aji) (Pangkur bait ke 1).
b. Ajaran tentang sebutan “orang tua” (wong tuwa, wong sepuh).Dia adalah
orang yang memahami wahyu Allah, menguasai ilmu kesempurnaan,
serta memahami makna dwitunggal (roroning atunggil, yaitu makhluk dan
Khalik, titah dan yang menitahkan). Orang disebut “orang tua” bila ia
tidak dikuasai hawa nafsu (lire sepuh sepi hawa) (Pangkur bait ke 12).
39
c. Ajaran tentang pemahaman terhadap sukma (roh, namun ada yang
memaknai Tuhan) (tan samar pamoring sukma). Caranya dengan
diresapi dan direnungkan di kala sepi (sinuksmaya winahya ing asepi), di
simpan di lubuk hati (sinimpen telenging kalbu), dalam keadaan antara
sadar dan tidak sadar, bagaikan mimpi. Dalam kondisi demikian itu lah
hadirnya rasa yang sejati. Jika mampu mencapainya, ia telah
mendapatkan anugerah Tuhan. Ia mampu mencapai alam kosong (bali
alaming ngasuwung), kembali ke asal mula (mulih mula mulanira), tidak
mabuk dunia yang sifatnya kuasa-menguasai (Pangkur bait ke 13-14).
d. Ajaran tentang corak keislaman yang tidak begitu islami. Hal itu tampak
pada sindiran terhadap anak muda yang dianggap suka meniru Nabi
(manulad nelad Nabi), hanya untuk pamer, sebelum bekerja singgah
dahulu di masjid (saben seba mampir mesjid). Bagi pengarang, anak
muda seperti itu hanya berkutat pada syariat dan tidak sampai pada
hakikat (anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi). Bahkan
terungkap sinisme, jika berkhotbah berirama Dandanggula gaya palaran
(kalamun
maca
kotbah,
lelagone
Dandanggendis,
swara
arum
ngumandang cengkok palaran). Ia menghendaki keislaman yang tidak
mendalam (sathitihik bae wus cukup), jangan bersemangat meniru ahli
fikih (nelad kas ngepleki pekih) (Sinom bait ke 22-24).
e. Ajaran yang cenderung pada pragmatisme, yaitu memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Bagi pengarang, dari pada mendalami agama, lebih
baik mencari nafkah (ngupa boga). Berhubung ditakdirkan sebagai orang
lemah, lebih baik mengabdi raja, bertani, atau berdagang (suwiteng nata,
tani tanapi agrami). Dengan nada sarkastis terhadap diri sendiri, ia
memberi alasan “ini karena saya orang bodoh, belum tahu cara hidup
orang Arab” (padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab). Ia
pernah menghadapi dilema, antara mengutamakan perintah agama atau
pekerjaan (bot Allah apa Gusti, tambuh-tambuh solah ingsun). Pada
masa mudanya ia rajin beribadah dan dalam hatinya ada perasaan takut
menghadapi hari akhir (sawadine tyas mami, banget wedine ing mbesuk,
40
pranatan ngakir jaman). Akan tetapi hal itu terhenti, karena alasan
pekerjaan. Tidak sempat sembahyang, karena ketika dipanggil yang
memberi makan, jika tidak segera menghadap akan dimarahi (nora kober
sembahyang, gya tinimbalan, marang ingkang asung pangan, yen
kesuwen den dukani) (Sinom bait ke 25-28).
f. Ajaran tentang samadi atau meditasi, sehingga seseorang mampu
melihat hakikat pribadinya sendiri secara jelas (wosing jiwangga melok
tanpa aling-aling), serta menerawang keadaan yang seakan tanpa batas
(angelangut tanpa tepi). Demikian itu manusia yang luhur,
gemar
menyepi (tuman tumanem ing sepi), mempertajam dan membersihkan
jiwa (masah amemasuh budi), namun secara lahiriah tetap menjalankan
tugas kewajibannya, bersikap rendah hati, dan senantiasa membuat
senang hati orang lain (Sinom bait ke 30-32).
g. Ajaran bahwa orang yang terpesona pada kehidupan ruhani (wus
sengsem reh ngasamun), bersifat pemaaf dan sabar. Dalam sunyi, hati
yang jahat dapat ditenggelamkan oleh cinta kasih (karana karoban ing
sih) (Pucung bait ke 35-37).
h. Pandangan yang bernada sarkastis terhadap praktik keislaman kalangan
muda, dengan ucapan: belum mampu tetapi berani memaknai lafadz
seperti sayid dari Mesir (durung pecus keselak besus, amaknani rapal
kaya sayid seka Mesir), aneh, tidak suka ke-Jawa-annya, memaksa diri
mencari pengetahuan di Mekah (elok Jawane den mohi, paksa langkah
ngangkah met kawruh ing Mekah). Sedangkan inti pengetahuan yang
dicari itu ada pada diri sendiri. Asal mau berikhtiar, di sana dan di sini
(Jawa) tidak berbeda (Pucung bait ke 38-41).
i.
Pandangan sepintas tentang teologi yang bersifat mistis, kurang relevan
dengan nilai-nilai pendidikan karakter (Pucung bait ke 44).
j.
Ajaran tentang empat macam sembah (sembah catur), yaitu sembah
raga, cipta, jiwa, dan rasa. Ajaran sembah raga yang dianggap sebagai
tahapan akan memulai perjalanan (semacam thariqat) (amagang laku).
Pembersihannya dengan air sebagaimana bersuci sebelum shalat lima
41
kali sehari (sesucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang
wektu). Pada tahapan ini, orang tergesa-gesa ingin melihat cahaya
Tuhan (kesusu arsa weruh, pan cahyaning Hyang), tetapi belum mampu.
Tahapan ini disebut syariat, ritualnya dilakukan dengan tetap dan tekun.
Ajaran sembah kalbu (cipta) yang jika dilakukan secara terus-menerus
akan menjadi ritual (laku). Pembersihannya tanpa air, melainkan dengan
mengendalikan hawa nafsu (sesucine tanpa banyu, hamung nyuda mring
hardaning kalbu). Jika dilakukan dengan baik, orang akan berada pada
suasana batin yang remang-remang atau sayup-sayup (tumalawung) dan
terbukanya alam yang di atas. Pada tahapan ini syaratnya adalah sabar
dalam segala tindakan dan terlaksananya dengan tenang, jernih, dan
sadar (eneng, ening, eling). Ajaran sembah sukma, yaitu sembah yang
dilakukan setiap saat dan merupakan perjalanan (ritual) terakhir
(pepuntoning laku). Pembersihannya dengan waspada dan ingat (sadar)
(awas, emut). Pemeliharaannya dengan membiasakan diri untuk
menguasai dan merangkul tiga alam (yang dimaksud adalah: alam fisik,
alam rasa, dan alam angan-angan). Selain itu, makrokosmos (jagad
agung) digulung ke dalam mikrokosmos (jagad alit). Ajaran sembah rasa,
yang dengan sembah ini akan mampu memahami hakikat (makna
terdalam) dari kehidupan (sembah rasa karasa wosing dumadi).
Tercapainya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan batin. Di sini
tidak ada lagi was-was dan keragu-raguan, hanya percaya sepenuhnya
pada takdir (wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel kumandel ing
takdir). Dipesankan agar jika belum mampu sampai pada tahapan ini
jangan mengaku telah mampu, sebab akan mendapat laknat (Gambuh
bait ke 48-72).
Dalam bait yang cukup populer, Serat Wedhatama mengajarkan bahwa
agama merupakan pegangan hidup yang berharga (agama ageming aji).
Namun pandangan keagamaannya bersifat mistis, pandangan keagamaan
khas Jawa yang kerap kali menggunakan term-term Islam. Hal itu tampak
pada ajaran tentang empat macam sembah (sembah catur), yaitu sembah
42
raga, cipta, jiwa, dan rasa. Dengan sembah rasa, orang akan mampu
memahami hakikat (makna terdalam) dari kehidupan (sembah rasa karasa
wosing dumadi). Tercapainya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan
batin. Di sini tidak ada lagi was-was dan keragu-raguan, hanya percaya
sepenuhnya pada takdir (wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel
kumandel ing takdir). Ajaran yang bersifat mistis itu juga tampak pada
ungkapan tentang ilmu kesempurnaan yang mengajarkan makna dwitunggal
(roroning atunggil, yaitu makhluk dan Khalik, titah dan yang menitahkan).
Serat Wedhatama mengajarkan tentang pemahaman terhadap sukma
(roh, namun ada yang memaknai Tuhan) (tan samar pamoring sukma).
Caranya dengan diresapi dan direnungkan di kala sepi (sinuksmaya winahya
ing asepi), di simpan di lubuk hati (sinimpen telenging kalbu), dalam
keadaan antara sadar dan tidak sadar, bagaikan mimpi. Dalam kondisi
demikian itu lah hadirnya rasa yang sejati. Jika mampu mencapainya, ia
telah mendapatkan anugerah Tuhan. Ia mampu mencapai alam kosong (bali
alaming ngasuwung), kembali ke asal mula (mulih mula mulanira), tidak
mabuk dunia yang sifatnya kuasa-menguasai.
Serat Wedhatama mengajarkan tentang samadi atau meditasi, sehingga
seseorang mampu melihat hakikat pribadinya sendiri secara jelas (wosing
jiwangga melok tanpa aling-aling), serta menerawang keadaan yang seakan
tanpa batas (angelangut tanpa tepi). Manusia yang luhur gemar menyepi
(tuman tumanem ing sepi), mempertajam dan membersihkan jiwa (masah
amemasuh budi),
namun secara lahiriah tetap menjalankan tugas
kewajibannya, bersikap rendah hati, dan senantiasa membuat senang hati
orang lain.
Serat Wedhatama tampak kurang sepaham dengan corak keislaman
yang islami. Hal itu tampak pada sindiran terhadap anak muda yang
dianggap suka meniru Nabi (manulad nelad Nabi), hanya untuk pamer,
sebelum bekerja singgah dahulu di masjid (saben seba mampir mesjid).
Anak muda seperti itu katanya hanya berkutat pada syariat dan tidak sampai
pada hakikat (anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi).
43
Bahkan terungkap sinisme, jika berkhotbah berirama Dandanggula gaya
palaran (kalamun maca kotbah, lelagone Dandanggendis, swara arum
ngumandang cengkok palaran). Ia menghendaki keislaman yang tidak
mendalam (sathitihik bae wus cukup), jangan bersemangat meniru ahli fikih
(nelad kas ngepleki pekih).
Pandangan yang bernada sarkastis terhadap praktik keislaman
kalangan muda, dengan ungkapan: belum mampu tetapi berani memaknai
lafadz seperti sayid dari Mesir (durung pecus keselak besus, amaknani rapal
kaya sayid seka Mesir), aneh, tidak suka ke-Jawa-annya, memaksa diri
mencari pengetahuan di Mekah (elok Jawane den mohi, paksa langkah
ngangkah met kawruh ing Mekah). Sedangkan, katanya, inti pengetahuan
yang dicari itu ada pada diri sendiri. Asal mau berikhtiar, di sana dan di sini
(Jawa) tidak berbeda.
Serat Wedhatama bahkan mengemukakan ajaran yang cenderung pada
pragmatisme. Hal itu tampak pada pesan yang menyatakan bahwa dari
pada mendalami agama, lebih baik mencari nafkah (ngupa boga).
Berhubung ditakdirkan sebagai orang lemah, lebih baik mengabdi raja,
bertani, atau berdagang (suwiteng nata, tani tanapi agrami). Dengan nada
sarkastis terhadap diri sendiri, pengarang memberi alasan “ini karena saya
orang bodoh, belum tahu cara hidup orang Arab” (padune wong dhahat
cubluk, durung wruh cara Arab). Ia pernah menghadapi dilema, antara
mengutamakan perintah agama atau pekerjaan (bot Allah apa Gusti,
tambuh-tambuh solah ingsun). Pada masa mudanya ia rajin beribadah dan
dalam hatinya ada perasaan takut menghadapi hari akhir (sawadine tyas
mami, banget wedine ing mbesuk, pranatan ngakir jaman). Akan tetapi hal
itu terhenti, karena alasan pekerjaan. Tidak sempat sembahyang, karena
ketika dipanggil yang memberi makan, jika tidak segera menghadap akan
dimarahi (nora kober sembahyang, gya tinimbalan, marang ingkang asung
pangan, yen kesuwen den dukani).
44
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar uraian yang telah disajikan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut.
1. Serat Wedhatama merupakan karya sastra yang ditulis dalam bentuk
tembang, yang dikategorikan dalam jenis tembang macapat. Adapun
macamnya terdiri dari lima macam tembang (pupuh) serta jumlah
pada/baitnya adalah : (1) Pangkur, terdiri 14 pada/bait; (2) Sinom, terdiri
18 pada/bait; (3) Pucung, terdiri 16 pada/bait. Serat Wedhatama adalah
karya KPAA Mangkunegara IV (1811-1881, bertahta 1853).
2. Serat Wedhatama berisi nilai-nilai pendidikan karakter yang tidak lain
adalah tuntunan moral atau budi pekerti. yang dapat diklasifikasikan
sebagai etika pribadi, etika sosial, dan etika terhadap Tuhan Yang Maha
Kuasa.
3. Dalam hal etika pribadi, Serat Wedhatama mengajarkan agar setiap
pribadi mengutamakan pendidikan untuk dirinya. Sebagaimana ajaran
dalam kultur Jawa lainnya, pendidikan yang dimaksud lebih menekankan
pada pengembangan hati, rasa, emosionalitas, atau bahkan spiritualitas.
Namun demikian, Serat Wedhatama juga menekankan pentingnya
pengembangan akal, pikiran, rasionalitas, atau intelektualitas. Serat
Wedhatama mengajarkan tiga hal yang perlu dijadikan pegangan, yaitu:
rela jika kehilangan sesuatu (lila lamun kelangan nora gegetun),
menerima dengan sabar jika mendapat perlakuan yang menyakitkan hati
(trima lamun ketaman saserik sameng dumadi), ikhas menyerahkan diri
45
pada Tuhan (legawa nalangsa srah ing bathara). Serat Wedhatama
mengajarkan tiga nilai yang mengangkat kedudukan manusia, yaitu
pangkat, harta, dan kepintaran (wirya harta tri winasis). Serat
Wedhatama mengajarkan agar dalam hidupnya, orang berbekal ingat
dan waspada (eling lan waspada; awas lan eling).
4. Dalam hal etika sosial, Serat Wedhatama mengajarkan agar orang
jangan sampai bertindak kurang sopan santun dalam pertemuan,
sehingga memalukan
(gonyak-ganyuk nglelingsemi). Demikian juga,
jangan bertindak semaunya sendiri (nggugu karepe priyangga). Orang
harus dapat menempatkan diri (traping angganira) dan mematuhi
tatanan negara (angger ugering keprabon. Orang yang baik budinya itu
biasanya pandai bergaul dengan berbagai kalangan (bangkit ajur ajer).
5. Dalam hal etika terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pandangan
keagamaan
Serat Wedhatama bersifat mistis. Hal itu tampak pada
ajaran tentang empat macam sembah (sembah catur), yaitu sembah
raga, cipta, jiwa, dan rasa.
Serat Wedhatama mengajarkan tentang
samadi atau meditasi, sehingga seseorang mampu melihat hakikat
pribadinya sendiri secara jelas
aling),
serta
menerawang
(wosing jiwangga melok tanpa aling-
keadaan
yang
seakan
tanpa
batas
(angelangut tanpa tepi). Serat Wedhatama tampak kurang sepaham
dengan corak keislaman yang islami.
B. Implikasi
Serat Wedhatama yang telah berusia sekitar 150 tahun menunjukkan
bahwa karya sastra tersebut mempunyai kemampuan bertahan yang cukup
kuat. Dalam masa tersebut Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat
Jawa, telah mengalami beberapa kali perubahan zaman. Dari perspektif
sejarah telah dilalui zaman penjajahan Belanda, zaman kebangkitan
nasional, zaman pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan dengan
beberapa kali pergantian rezimnya. Dari perspektif sosiologi telah dilalui
kehidupan masyarakat agraris-tradisional yang panjang hingga kehidupan
46
masyarakat yang menuju ke arah industri-modern. Semua bentuk
perubahan tersebut tentu membawa dampak budaya yang cukup besar,
namun ternyata Serat Wedhatama masih bertahan hidup.
Serat Wedhatama merupakan warisan budaya yang hingga kini masih
cukup dikenal di kalangan sebagian masyarakat Jawa. Proses pewarisan
nilai-nilai budaya tersebut tidak melalui jalur struktural, termasuk sistem
pendidikan
formal, melainkan
melalui
jalur
kultural.
Kenyataan
ini
mengindikasikan prediksi bahwa ke depan Serat Wedhatama sebagai
bagian dari budaya Jawa akan tetap bertahan, meskipun menghadapi
gempuran budaya kontemporer. Dengan demikian benturan budaya
tersebut akan tetap berlangsung dalam waktu yang panjang. Benturan
budaya tersebut pada tingkatan yang ekstrim dapat menimbulkan benturan
antar
pendukung
kebudayaan,
yang
kadang-kadang
menimbulkan
ketegangan dalam masyarakat.
Dalam globalisasi budaya, yang ditandai dengan benturan budaya,
hampir dipastikan bahwa budaya Jawa tidak akan memenangkan
pertarungan, meskipun di ‘kandang sendiri’. Namun dalam situasi krisis,
budaya Jawa akan sangat mungkin menjadi budaya alternatif bagi
masyarakatnya sendiri. Adalah sesuatu yang lazim terjadi, ketika nilai-nilai
baru tidak memberikan sesuatu yang diharapkan, maka orang akan kembali
menoleh pada nilai-nilai lama yang sudah ditinggalkan.
C. Saran
Budaya
tradisional
tidak
identik
dengan
budaya
primitif
yang
menunjukkan keterbelakangan, ketidakberadaban dan sebagainya. Dalam
budaya tradisional tidak jarang terdapat nilai-nilai moral yang tinggi, baik
nilai-nilai yang bersifat universal maupun lokal-kultural. Oleh karena itu
sebaiknya nilai-nilai moral yang terkandung dalam Serat Wedhatama yang
masih relevan, terutama dalam hal etika pribadi dan etika sosial, perlu
dipertahankan dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia.
47
Dalam kaitannya dengan gagasan pendidikan karakter, nilai-nilai moral
yang terkandung dalam Serat Wedhatama sebaiknya dapat dijadikan salah
satu rujukan atau orientasi nilai. Dengan demikian, sosok manusia
Indonesia adalah manusia yang memiliki karakter yang baik, yang di antara
nilai-nilai karakternya itu berakar pada budayanya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku yang diteliti :
Anjar Any. (1986). Menyingkap Serat Wedotomo. Semarang: CV Aneka Imu.
Anonim. (1993). Wedhatama Winardi. Surabaya: Penerbit Citra Jaya Murti.
Buku referensi :
Asy’arie, Musa. (2002). Filsafat Islam; Sunnah Nabi Dalam Berpikir.
Yogyakarta: LESFI.
Barcalow, Emmet (1998). Moral Philosophy; Theories and Issues. Belmont,
CA-Washington: Wadsworth Publishing Company.
Downey, Merial & A.V. Kelly. (1978). Moral Education. London-Sydney: Harper
& Row Publisher.
Endraswara, Suwardi (2006). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.
Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values. London-Wellington:
Prentice-Hall International.
Frondizi, Risieri. (2001). Pengantar Filsafat Nilai (Cuk Ananta Wijaya,
penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Holmes, Robert L. (1998). Basic Moral Philosophy. Belmont, CA-Washington:
Wadsworth Publishing Company.
Imam Muhni, Djuretno A. (1999). Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim
dan Henri Bergson. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Karabel and Halsey, editors. (1977). Power and Ideology in Education. New
York: Oxford University Press.
48
Krippendorff, Klaus. (1980). Content Analysis ; An Introduction to Its
Methodology. Baverly Hills-London: Sage Publications.
Koesoema A, Doni. (2009). Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta:
Penerbit PT Grasindo.
Kurtiness, William M. dan Jacob L. Gerwitz. (1992). Moralitas, Perilaku Moral
dan Perkembangan Moral, alih bahasa M.I. Soelaeman. Jakarta: UI
Pres.
Lickona, Thomas., editor. (1976). Moral Development and Behavior: Theory;
Research and Social Issues. New York: copyright by Holt, Rinehart, and
Winston.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character. New York: Bantam Books.
Magnis Suseno, Franz. (1987). Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
May, Larry., et al. (1998). Applied Ethics; A Multicultural Approach. London-Rio
de Janairo: Prentice Hall.
Miles, Matthew B. and Michael Huberman. (1985). Qualitative Data Analysis.
London-New Delhi : Sage Publications Beverly Hills.
Mulyana, Deddy. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Muslich KS. (2005). Moral Islam dalam Serat Piwulang Paku Buwana IV.
Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Parkay, Forrest W. and Beverly Hardcastle Stanford. (1998). Becoming A
Teacher. Boston-Singapore: Allen and Bacon.
Ringness, Thomas A. (1975). The Affective Domain in Education. BostonToronto: copyright by Little, Brown, and Company.
Ryan, Kevin and Karen E. Bohlin. (1999). Buiding Character In Schools;
Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: JosseyBass A wiley Imprint.
Suwarno. (2008). Sekar Macapat (Bahan Diklat Profesi Guru). Yogyakarta:
UNY.
49
Zuhdi, Darmiyati. (1993). Panduan Penelitian Analisis Konten. Yogyakarta:
Lembaga Penelitian IKIP YOGYAKARTA.
50
Download