Proyek Ladia Galaska (3-Habis) Siapa yang Diuntungkan? 23-04-04 KAWASAN ekosistem Leuser, seluas tak kurang dari 2,6 juta hektare (ha), adalah rumah bagi jutaan spesies (species, jenis) langka yang tidak bisa ditemukan di belahan dunia lain. Membentang dalam apitan Danau Laut Tawar (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam/NAD) dan Danau Toba (Sumatera Utara), menjadikan kawasan itu semakin istimewa. Hutan di kawasan itu terdiri atas hutan alam tropis terluas dan terakhir yang boleh dikata masih utuh di Sumatera. Hutan dataran rendah dan hutan rawa di Leuser disebut-sebut yang terindah di dunia. Apalagi, di sana setidaknya ada lima jenis binatang mamalia yang hidup secara berdampingan, yakni gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), orangutan sumatera (Pongo abelii), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan beruang (Helarctos malayanus). Semuanya termasuk binatang paling langka, sekaligus paling terancam punah. Kekayaan hayati Leuser, juga menjadi sumber kehidupan bagi empat juta penduduk di sekitarnya. Sementara keutuhan hutan di kawasan itu, yang menjadi hulu lebih dari 300 sungai, juga sangat diandalkan oleh jutaan penduduk Aceh dan Sumatera Utara. Karena itu, beberapa wilayah di dalam kawasan ekosistem Leuser ditetapkan sebagai hutan lindung, suaka margasatwa, dan taman nasional. Berdasarkan penelitian Unit Manajemen Leuser (UML), nilai jasa lingkungan dari keutuhan hutan di kawasan ekosistem Leuser memberikan nilai ekonomi tidak kurang dari US$ 16,4 miliar atau sekitar Rp 147,6 triliun setiap tahun. Nilai ekonomi itu diperoleh dari tersedianya fungsi tata air, yang mampu mengalirkan air melimpah hingga ke sub daerah aliran sungai (DAS) di hilir. Dengan tata air yang bagus, nilai keuntungan ekonomi yang diberikan kawasan itu, dari jasa lingkungan, untuk sektor pertanian mencapai lebih dari US$ 190 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun per tahun. Kini, nasib Leuser yang sangat berarti sebagai sumber kehidupan dan surga bagi flora fauna itu, berada di ujung tanduk. Sungguh ironis, karena ancaman justru datang dari sang penguasa Bumi Rencong itu sendiri. Atas nama rakyat, Gubernur NAD, Abdullah Puteh, mengusulkan pembangunan jalan tembus dari Lautan Hindia, Gayo, Alas, hingga Selat Malaka (Ladia Galaska) yang akan mencabik-cabik keindahan Leuser. Demi membuka keterisolasian 1,7 juta penduduk NAD, kelucuan si pongo (sebutan untuk orangutan sumatera) dan pesona Leuser lainnya, harus dikorbankan. Sayangnya, Pak Gubernur tidak menjelaskan bagaimana nasib jutaan penduduk lainnya yang akan merasakan dampak kehancuran Leuser. Lalu, ngomong-ngomong benarkah Ladia Galaska, megaproyek penghancuran lingkungan itu akan menyejahterakan 1,7 juta penduduk? Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, Pembaruan menemukan titik lokasi desa paling terpencil yang akan dilalui ruas Ladia Galaska utama rute Blangkejeren-Pinding, yakni Desa Pasir Putih, berpenduduk tidak lebih dari 40 keluarga atau sekitar 200 orang. Memang, untuk menjangkau desa itu cukup sulit. Dari pusat Kecamatan Pinding, untuk sampai ke desa itu harus menyeberangi Sungai Pinding (penduduk menyebutnya Sungai Besar) yang berarus deras. Antara Pinding dan Pasir Putih hanya dihubungkan dengan titian gantung (jembatan tali), yang malahan kini tidak bisa digunakan lagi karena putus. Jadi, motor dan mobil pun harus berenang menyeberangi sungai bila hendak menjangkau Pasir Putih, atau sebaliknya dari Pasir Putih menuju Pinding. Ke Hutan Lindung Dari data lainnya, tidak ditemukan adanya desa padat penduduk yang akan dilalui ruas Ladia Galaska. Begitu pula saat peta usulan jalan Ladia Galaska itu diplot dengan peta permukiman penduduk. Nyatanya, ruas-ruas Ladia Galaska, mulai dari ruas jalan utama, pengembangan, hingga pendukung justru lebih mengarah ke hutan lindung dan kawasan konservasi, yang lebat pohonnya. Isu keterisolasian yang didengung-dengungkan Pemerintah Provinsi NAD pun perlu ditelusuri. Misalnya, dari Pinding ke Pasir Putih, yang paling diperlukan adalah jembatan penghubung. Bukannya jalan tembus yang pembangunannya harus membuka lebatnya hutan di ujung Desa Pasir Putih. Begitu pula dengan rute Ladia Galaska utama lainnya, yakni Pinding-Lokop. Pembangunan rute itu tampaknya sebuah mission impossible, bila disebut untuk membuka keterisolasian. Sebab, untuk membangun jalan tembus dari Pasir Putih ke Lokop, benar-benar harus menembus belantara raya dengan lereng yang curam. Bahkan, hutan di kawasan itu berstatus hutan lindung. Beberapa penduduk Desa Pasir Putih mengatakan, sebelum sampai Lokop hanya ada dua desa yang akan dilalui. Penduduk di setiap desa itu tidak lebih dari 30 keluarga. Menurut seorang tentara, sebut saja Wawan (32), yang kebetulan bertugas di desa itu, bila mau ke Lokop lebih baik ditempuh dari rute lain. Sayang, ia mengaku tidak ingat lagi nama daerah dengan rute yang dimaksud. "Yang pasti sudah ada jalan sampai Lokop. Tidak seperti dari sini (Pasir Putih), kita harus menembus hutan. Kalau jalan kaki, ya bisa, paling dua hari sampai Lokop. Kalau mau dibangun jalan dari sini ke Lokop, wah, itu bahaya sekali karena sangat curam," katanya. Sementara, data yang dimiliki Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menunjukkan, rute Ladia Galaska utama Blangkejeren-Pinding-Lokop sama sekali tidak akan membuka isolasi jutaan penduduk. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Ibrahim, jumlah 1,7 juta penduduk yang katanya terisolir tersebut, sebenarnya adalah jumlah penduduk Aceh yang miskin akibat kepemimpinan yang korup dari Kabinet Pemerintah Daerah Aceh saat ini. Daerah-daerah yang disebut terisolir, seperti Kecamatan Ranto Perlak dan Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, sebenarnya sudah sejak lama mempunyai akses jalan yang bagus. Ranto Perlak mempunyai akses ke Peureulak hingga ke Langsa. Sedangkan Blangkejeren mempunyai akses jalan ke Kutacane dan Takengon. Dua kecamatan itu bukan daerah terisolir, karena akses jalan ke daerah itu sudah tersedia sejak lama. "Keterisolasian itu bukan karena tidak ada akses jalan, tetapi karena tidak ada akses jaringan komunikasi. Malahan di Kutacane, kota Kabupaten Aceh Tenggara saja kita tidak bisa berkomunikasi dengan telepon seluler. Ketertinggalan seperti itu yang seharusnya dikejar," kata Ibrahim. Rute Alternatif Lalu, bila isu keterisolasian karena tidak ada akses jalan itu ternyata hanya isapan jempol, mengapa pemerintah pusat (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah/Depkimpraswil) terang-terangan tidak mau menerima usulan rute alternatif yang diajukan Aliansi LSM? Coba bandingkan, rute-rute Ladia Galaska versi Pemprov NAD dan versi Aliansi LSM, yang juga didasarkan atas penelitian UML dan telah disetujui oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH) Nabiel Makarim. Rute alternatif pertama versi LSM, adalah perbaikan jalan yang sudah ada supaya menjadi highway di lintas Meulaboh-Takengon-Blangkejeren-PeurelakMedan. Itu jika alasan pembangunan jalan memang untuk membuka isolasi dan memajukan perekonomian penduduk. Alternatif kedua, rute highway MeulabohGeumpang-Takengon-Bireuen (atau sampai Lhokseumawe). Atau, ada juga usulan di jalur utara-timur, yakni Banda Aceh-Bireuen-Lhokseumawe-Peurelak. "Rute-rute itu sama sekali tidak melalui kawasan ekosistem Leuser, apalagi merusak taman nasional," kata Bambang Antariksa, Manajer Kampanye Walhi Aceh. Ia juga menjelaskan, usulan alternatif lainnya adalah Meulaboh-GeumpangTutut-Pamueuh-Takengon-Simpang Tiga Redelon-Alueiemudek-Krung Geukeuh. Kelebihan rute tersebut, akan melewati 33 desa dan panjang jalannya hanya 71 km. Sedangkan ruas usulan lainnya, Meulaboh-Geumpang-Tutut-Pameuh-takengonSimpang Tiga Radelon-Alueiemudek-Peurelak. Kelebihannya, melewati 125 desa dan panjang jalannya 372 km. "Sedangkan Ladia Galaska Utama versi Pemprov NAD, panjangnya lebih dari 470 km dan hanya melewati 23 desa," katanya. Koordinator Aliansi LSM Menolak Ladia Galaska, Hasjrul Junaid, mengemukakan, dari penelusuran tim investigasi aliansi, sebagian ruas Ladia Galaska nyatanya malah mengarah ke lokasi perkebunan milik Abdullah Puteh. Selain itu, Hasjrul yakin, dari data yang dimiliki aliansi, hampir semua rute Ladia Galaska pengembangan dan pendukung mengarah ke hutan lindung, taman nasional, dan kawasan konservasi lain yang memiliki potensi kayu luar biasa. Kalau begitu, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari pembangunan jalan Ladia Galaska? PEMBARUAN/HENNY A DIANA