SIARAN PERS Untuk disiarkan segera LSM Lingkungan Khawatirkan Rencana Perusahaan Energi Turki akan Menghancurkan Situs Warisan Dunia LSM di Aceh dan Sumatera Utara menyampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera menolak rencana yang berpotensi menghancurkan salah satu Kawasan Hutan Tropis Sumatra – Situs Warisan Dunia 27 Desember 2016 – Konsorsium LSM Lingkungan di Aceh dan Sumatera Utara menanggapi hasil studi terbaru yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM), mengenai pengembangan proyek panas bumi berskala besar di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Konsorsium LSM menyatakan bahwa studi yang dilakukan untuk proyek yang didanai oleh Hitay Holdings dari Turki tersebut tidak memenuhi kajian ilmiah yang layak dan tidak memberikan kesimpulan berdasarkan data yang memadai hingga berpotensi untuk menghancurkan jantung kawasan hutan tropis warisan dunia di Sumatra. Kawasan yang diajukan untuk proyek tersebut berada di dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan ditetapkan sebagai Zona Inti karena mempunyai kondisi alam dan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas dengan kondisi biota atau fisik yang masih tidak atau belum terganggu oleh manusia. Agar proyek ini dapat dikerjakan secara sah, maka status kawasan harus diturunkan dari status Zona Inti menjadi status Zona Pemanfaatan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Para aktivis lingkungan memperingatkan bahwa jika perubahan zonasi dikabulkan, dan proyek tersebut diperbolehkan dalam kawasan inti, maka akan ada konsekuensi besar terhadap spesies-speises terancam punah yang menggantungkan hidup pada koridor kawasan ini untuk migrasi dan reproduksi. Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), menjelaskan, “Para peneliti dari UGM memaparkan laporan mereka pada tanggal 8 Desember 2016, yang merekomendasikan perubahan zonasi kawasan lindung yang merupakan bagian dari Tropical Rainforest Heritage of Sumatra World Heritage Site. Hal ini akan memungkinkan proyek energi panas bumi dibangun dan menghancurkan Zona Inti yang berada di jantung Kawasan Ekosistem Leuser, yang sudah jelas diakui oleh pemerintah karena status zona intinya.” Seperti yang telah diketahui sebelumnya, perusahaan tersebut mengajukan rencana untuk membangun proyek energi panas bumi di kawasan Kappi1 yang merupakan kawasan zona inti dan koridor keanekaragaman hayati yang hidup di dalam Taman Nasional Gunung Leuser. Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, telah mengirimkan surat permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk merubah status zonasi hutan lindung seluas hampir 8.000 hektar tersebut. Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser adalah salah satu habitat terakhir bagi spesies-spesies kunci sumatera seperti gajah, orangutan, badak dan harimau sumatera. Kawasan Kappi juga merupakan koridor penyambung antara blok-blok habitat satwa yang berada di bagian timur dan barat TNGL, 1 Kawasan Suaka Margasatwa Kappi seluas 142.800 hektare merupakan bagian dari Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN. Gunung Leuser yang merupakan kawasan hutan tropis warisan dunia dan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser – salah satu Kawasan Strategis Nasional yang dilindungi oleh hukum perundang-undangan Republik Indonesia karena fungsi lingkungannya. “Lokasi yang diajukan untuk proyek energi panas bumi ini ditetapkan sebagai Zona Inti”, jelas T.M. Zulfikar, aktivis lingkungan Aceh. “Agar proyek ini dapat dibangun, perlu ada perubahan status menjadi Zona Pemanfaatan. Akan tetapi, hasil studi dari tim UGM tidak layak untuk menjadi acuan kebijakan perubahan status disana, dan fakta bahwa kawasan itu memenuhi semua kriteria sebagai Zona Inti maka tidak ada alasan untuk merendahkan status kawasan itu, atau kawasan lain yang ada di dalam Taman Nasional. Metode yang digunakan oleh tim survei UGM tidak cukup jelas. Hasil dan kesimpulan yang mereka ambil juga tidak didukung oleh data dan jangka waktu survei yang memadai. Tim UGM sendiri bahkan mengakui bahwa diperlukan survei yang lebih mendetail dan komprehensif untuk membenarkan rekomendasi. Sebagus-bagusnya, survei ini hanya bisa dikategorikan sebagai survei kilat pendahuluan dan secara realistis tidak bisa digunakan sebagai basis rekomendasi untuk sebuah mega-proyek yang berdampak luas seperti yang sedang diajukan oleh Hitay Holdings”, tegas Zulfikar. Panut Hadisiswoyo, Direktur Orangutan Information Centre, mengatakan, “Sebelumnya kami telah mendapatkan beberapa pernyataan positif dari pihak pemerintah mengenai proyek ini. Dirjen KSDAE KLHK, Tachrir Fathoni, pada bulan September telah memberikan konfirmasi bahwa ia telah menerima surat yang dikirim oleh Gubernur Aceh mengenai permohonan perubahan status zonasi dan menyatakan kepada media bahwa, sesudah sosialisasi dan konsultasi publik, hasilnya adalah tidak menyetujui perubahan zonasi, itu saja, proyeknya berhenti disitu.” “Tapi sekarang kami mengamati perusahaan tersebut terus melanjutkan rencana mereka dan masih mencoba untuk mendapatkan dukungan dari Pemerintah untuk merubah status zonasi salah satu kawasan warisan dunia untuk dijadikan lokasi proyek panas bumi. Kami merasa bingung dan cemas dengan adanya pernyataan yang bertentangan dari pihak Kementerian yang seharusnya melindungi kawasan ini. Kami dengan tegas menolak rencana perubahan status zonasi”, ungkap Panut menegaskan. Efendi Isma, juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), menambahkan, “Website Dinas Pertambangan dan Energi Aceh menunjukan potensi energi panas bumi di kawasan hutan Ekosistem Leuser relatif kecil bila dibandingkan dengan potensi di kawasan lain di Aceh. Dengan jelas ditunjukkan disana bahwa ada 14 lokasi alternatif yang tersebar di 7 kabupaten yang memiliki potensi energi panas bumi di provinsi Aceh, bila digabungkan hasil energinya mencapai lebih dari 950 MW lebih besar dibandingkan dengan hanya 142 MW di lokasi yang diajukan untuk perubahan status zonasi di Gunung Kembar dan lokasi lain di Kabupaten Gayo Lues. Hampir semua lokasi alternatif tersebut letaknya lebih dekat dengan kota-kota besar di Aceh, sehingga lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan energi.” “Saya rasa aneh bila lokasi alternatif ini tidak dikembangkan terlebih dahulu, bagaimana bisa proyek energi panas bumi pertama di Aceh diajukan di tengah-tengah salah satu kawasan yang paling berharga dan tak tergantikan di Aceh,” ungkap Efendi. Konsorsium ini mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia agar segera menolak kemungkinan penurunan status Kawasan Kappi dan menegaskan komitmen untuk terus melindungi status zona inti kawasan tersebut.*** ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Untuk wawancara dan informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: T.M. Zulfikar [email protected] +62 812 6901283 Farwiza Farhan [email protected] +62 821 62610756 Panut Hadisiswoyo [email protected] +62 813 76879114 Efendi Isma [email protected] +62 81360160055 Informasi Tambahan: Kawasan Ekosistem Leuser Kawasan Ekosistem Leuser dengan luas 2.6 juta ha adalah tempat terakhir di dunia dimana orangutan, badak, harimau dan gajah Sumatra yang terancam punah hidup bersama. Gangguan sekecil apapun dapat mengancam keselamatan mereka. Panut Hadisiswoyo mengatakan, “Pemusnahan hutan skala besar yang diperlukan untuk proyek ini, termasuk untuk jalan dan infrastruktur terkait lainnya, berpotensi menimbulkan terjadinya perambahan yang lebih luas di sekitar proyek ketika akses dibuka. Hal ini dengan mudah akan membinasakan spesies-spesies kunci tersebut mejadi sejarah. Kawasan ini sangatlah spesial dan diakui sebagai Kawasan Warisan Dunia. Ini adalah salah satu daya tarik global dan bagian dari warisan kita yang tidak tergantikan, oleh karena itu tugas kita adalah melindunginya untuk generasi masa depan.” Status Zona Inti Kawasan yang saat ini diusul untuk pembangunan energi panas bumi berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, bagian dari UNESCO World Heritage Site - Sumatran Tropical Rainforest Heritage (Kawasan Warisan Dunia UNESCO - Kawasan Warisan Hutan Tropis Sumatera) dan juga bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser. Status yang diberikan saat ini adalah Zona Inti (core area), karena memenuhi semua kriteria sesuai dengan Keputusan Menteri No. P.76/MenLHK-Setjen/2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Fungsi Lingkungan dan Nilai Ekonomi Hutan Aceh Penelitian Uni Eropa yang baru dipublikasikan akhir-akhir ini mengungkapkan nilai ekonomi hutan Aceh. Apabila dilestarikan sepenuhnya, Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) hutan Aceh mencapai lebih dari 1 milyar USD per tahun dalam bentuk fungsi lingkungannya seperti sumber air bersih dan mitigasi bencana dan hama. Sebagai contoh, laporan World Bank mengenai banjir yang terjadi di Aceh pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa hanya dalam 19 hari, bencana tersebut mengakibatkan kerusakan sebesar 210 juta USD. Sebagian besar daerah yang terkena dampak banjir merupakan daerah yang diketahui banyak terjadi penebangan hutan di sekitar daerah hulu aliran sungai, yang membuktikan bahwa masyarakat Aceh tidak mendapatkan keuntungan ekonomis dari kegiatan tersebut, yang sebagian besar pendapatannya malah mengalir ke luar daerah. Yang tertinggal hanyalah kerugian ekonomi skala besar untuk ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat daerah. “Kawasan Kappi adalah jantung Ekosistem Leuser yang menyediakan manfaat besar untuk masyarakat Aceh setiap tahunnya secara gratis. Menghancurkan jantung ini berarti memulai kehancuran bagian lain dari ekosistem. Mengapa kita harus menghancurkan fungsi hutan senilai milyaran dolar demi energi listrik berdaya kecil, padahal masih banyak lokasi alternatif lain yang lebih baik tersebar di Aceh? Kami menyampaikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menolak permintaan penurunan status zona inti dari Kawasan Warisan Dunia ini dan melindunginya demi masyarakat kami dan untuk generasi yang akan datang.” ujar Farwiza. Dampak untuk Masyarakat Lokal Klaim dukungan masyarakat lokal untuk proyek ini juga disinggung dalam rapat yang diselenggarakan oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser tanggal 8 Desember untuk menyampaikan hasil dari penelitian UGM, dihadiri oleh beberapa kelompok LSM, tetapi kami mempertanyakan apakah masyarakat tersebut benar-benar mengerti dampak nyata dari proyek yang diusulkan terhadap kesejahteraan mereka dari hancurnya kawasan hutan yang sensitif. Faktanya tidak ada data sama sekali yang diberikan saat rapat terkait dengan penelitian dampak sosial-ekonomi. Data yang diberikan hanya mengenai keanekaragaman hayati dan geologi di kawasan yang diusul, dan aspek hukum yang harus ditujukan untuk melanjutkan proyek (perubahan status zonasi dari Zona Inti menjadi Zona Pemanfaatan) dan apa yang diperlukan untuk “mengharmonisasikan” kepentingan yang bertentangan untuk memastikan proyek bisa diimplementasikan. Faktanya, dan yang sangat mengkhawatirkan, tidak ada sedikitpun diskusi mengenai dampak proyek pembangunan yang diusulkan ini terhadap masyarakat yang tinggal disekitarnya.