PENDAHULUAN Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita akibat peningkatan pendapatan. Namun di lain pihak upaya peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti konversi lahan sawah subur yang masih berjalan, dan penurunan kualitas sumber daya lahan yang berdampak terhadap penurunan produktivitas. .Kebutuhan beras dalam negeri masih terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi yang masih tinggi. Kebutuhan beras nasional memang dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dan impor. Namun karena jumlah penduduk yang besar (lebih dari 220 juta orang) dan terus bertambah serta tersebar di ribuan pulau, maka ketergantungan akan pangan impor dapat menyebabkan rentannya ketahanan pangan dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Dalam rangka mewujudkan swasembada beras lestari pemerintah telah mencanangkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dengan target peningkatan produksi beras 2 juta ton atau setara dengan peningkatan 6,4 % pada tahun 2007 dan 5% untuk tahun-tahun selanjutnya sampai dengan 2009. Program ini telah menjadi komitmen bersama dan harus segera diimplementasikan. Berdasarkan pengalaman selama ini, peran inovasi teknologi sangat besar dalam mewujudkan peningkatan produksi padi. Desa Tempurukan Kecamatan Muara Pawan memiliki luas wilayah desa 130,08 km persegi atau 18,3% dari luas Kecamatan (BPS, 2013). Berdasarkan penggunaan lahan untuk pertanian, sebagian besar lahan digunakan untuk budidaya tanaman padi. Lahan padi sawah diusahakan di Desa Tempurukan seluas 550 ha (42,3%), untuk hasil panen rata-ratanya adalah 2,5-3,5 ton/ha. lahan perkebunan 450 ha (34,6%) dan lahan untuk pemukiman 97 ha (7,46%) dan areal penggunaan lainnya seperti lahan hutan, pekarangan dan prasarana umum lainnya (Profil Desa Tempurukan, 2015). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di lahan sawah tadah hujan yang memiliki tingkatan umur percetakan sawah yang berbeda di Desa Tempurukan Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang. Penelitian dilaksanakan selama ± 3 bulan dari februari 2016 hingga april 2016, sejak pengambilan sampel dilapangan hingga deskripsi hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan metode survey lapangan yaitu dengan melakukan pangamatan dan pengambilan sampel tanah pada lahan tadah hujan dengan vegetasi tanaman Padi pada 3 lokasi yang berbeda umur pengelolaannya, yaitu dengan umur lokasi A (10-20 tahun), lokasi B (20-30 tahun), dan lokasi C (30-40 tahun). Pengambilan sampel tanah dilakukan secara diagonal pada tiga lokasi percetakan sawah yang berbeda umur pengelolaannya, Setiap lokasi diambil 5 titik pengamatan. Sampel tanah yang diambil dari titik pengamatan dianalisis di laboratorium untuk menentukan tekstur tanah, bobot isi tanah, kadar air tanah, porositas tanah, dan kemantapan agregat tanah dan beberapa sifat kimia seperti pH, C-oranik, N-totoal dan C/N rasio. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tekstur Tanah (%) Sampel tanah yang diukur untuk menentukan nilai tekstur tanah yaitu sampel tanah tidak utuh yang dikompositkan dari 5 titik pengambilan sampel. Dari hasil analisis di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah diperoleh data rata-rata nilai tekstur tanah pada setiap lokasi sebagai berikut : Tekstur Tanah (%) 60 50 55.94 41.21 54.02 43.49 55.92 54.73 41.48 39.42 40 55.72 56.28 39.57 39.5 30 pasir debu liat 20 10 2.85 2.49 4.63 3.79 4.71 4.22 0 LA (0-20) LA (20-40) LB (0-20) LB (20-40) LC (0-20) LC (20-40) Tingkatan Umur (tahun) Gambar 1. Grafik Rerata Nilai Tekstur Tanah (%) Tiga Tingkatan Umur Sawah Tanpa Olah Tanah. Grafik di atas menunjukan fraksi pasir lebih tinggi pada lokasi LC (30 - 40 tahun) kedalaman 0 - 20 cm yaitu 4,71 %, sedangkan fraksi terendah terdapat pada LA (10 - 20 tahun) kedalaman 20 – 40 cm dengan nilai 2,49 %. Jumlah fraksi debu tertinggi terdapat pada LA kedalaman 20 – 40 cm sebesar 43,49 % dan terendah pada LC kedalaman 20 – 40 cm sebesar 39,5 %. Fraksi liat tertinggi terdapat pada LC kedalaman 20 – 40 cm sebesar 56,28 %, sedangkan fraksi terendah terdapat pada LA kedalaman 20 – 40 cm sebesar 54,02 %. Kemantapan Agregat (%) 2. Kemantapan Agregat (%) Agregat tanah yang mantap akan mempertahankan sifat-sifat tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman, seperti porositas dan ketersediaan air lebih lama dibandingkan dengan agregat tanah tidak mantap. Atas dasar itu, maka Kemper dan Rosenau (1986) mengembangkan temuan bahwa makin mantap suatu agregat tanah, makin rendah kepekaannya terhadap erosi (erodibilitas tanah). 105 100 100 100 95 100 100 92 90 85 0-20 cm 84 20-40 cm 80 75 LA (10-20) LB (20-30) Tingkatan Umur (tahun) LC (30-40) Gambar 2. Grafik Rerata Nilai Kemantapan Agregat Tanah (%) Tiga Tingkatan Umur Sawah Tanpa Olah Tanah. Grafik di atas menunjukan nilai kemantapan agregat tanah pada kedalaman 0 – 20 cm tertinggi pada lokasi LC sebesar 100 %, dan terendah pada lokasi LA sebesar 84 % kemudian diikuti LB 92 %. Pada kedalaman 20 – 40 cm nilai kemantapan agregat pada semua lokasi yaitu 100 %. Dilihat dari data tersebut nilai kemantapan agregat tanah berkaitan dengan nilai tekstur tanah. agregat tanah merupakan sifat tanah yang sangat ditentukan oleh partikel penyusun tanah. Nilai kemantapan agregat pada lapisan 0 – 20 cm lebih rendah dari lapisan 20 – 40 cm pada setiap lokasi. Hasil uji ortogonal kontras terhadap kemantapan agregat tanah pada lokasi LA (10 20 tahun), LB (20 – 30 tahun), dan LC (30 – 40 tahun) pada kedalaman 0 - 20 cm dan 20 – 40 cm yaitu sebagai berikut : Tabel 1. Uji Ortogonal kontras Kemantapan Agregat kedalaman 0 – 20 cm SK db JK KT F hit F Tab 5% F Tab 1% tn LA VS (LB + LC) 1 480,0000 480,0000 2,571 5,32 11,260 tn LB VS LC 1 160,0000 160,0000 0,857 5,32 11,260 Galat 8 1493,3333 186,6667 KK = 14,85 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata Dari hasil uji ortogonal kontras di atas menunjukan bahwa kemantapan agregat tanah pada lokasi LA, LB, dan LC pada kedalaman 0 – 20 cm bahwa tingkatan umur sawah tidak menunjukan pengaruh atau perbedaan nyata terhadap kemantapan agregat tanah. Hal tersebut dikarenakan teknik budidaya dengan tanpa olah tanah sehingga kemantapan agregat tanah tidak jauh berbeda pada tiga lokasi tersebut, selain itu metode yang digunakan dengan tingkat ketelitian yang rendah (semi kuantitatif). 3. Bobot Isi Tanah (g/cm3) Hasil penelitian bobot isi tanah dapat dilihat pada tabel dan hasil uji ortogonal dapat dilihat pada lampiran 6. berdasarkan hasil analisis bobot isi tanah didapat hasil rata-rata bobot isi tanah sawah sebagai berikut : Bobot Isi (g/cm3) 1.2 1 0.86 0.96 1.03 1.13 0.97 1.01 0.8 0.6 0-20 cm 0.4 20-40 cm 0.2 0 LA (10-20) LB (20-30) Tingkatan Umur (tahun) LC (30-40) Gambar 3. Grafik rerata bobot isi tanah (g/cm3) Tiga Tingkatan Umur Sawah Tanpa Olah Tanah. Grafik di atas menunjukan pada umunya tanah lapisan atas (top soil) pada tanah mineral mempunyai bobot isi yang lebih rendah dibandingkan tanah yang ada di bawahnya (hardjowigeno, 2007). Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik pada lapisan atas biasanya lebih tinggi dari pada lapisan bawahnya. Bobot isi tanah pada LA kedalaman 0 – 20 cm sebesar 0,86 g/cm3, lebih rendah dibandingkan LB yaitu 1,03 g/cm3. Sedangkan yang tertinggi pada LC yaitu sebesar 1,13 g/cm3. Hal tersebut karena penyawahan LA masih terbilang baru, sehingga pemadatan tanah oleh praktek budidaya belum tinggi dari pada lokasi LB dan LC. Pada kedalaman 20 – 40 cm bobot isi tertinggi juga pada lokasi LC sebesar 1,01 g/cm3. Lokasi LB sebesar 0,97 g/cm3, sedangkan terendah pada lokasi LA yaitu 0,96 g/cm3. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin lama umur penyawahan akan meningkatkan nilai bobot isi tanah. Hasil analisis uji ortogonal kontras terhadap bobot isi tanah (tabel 14 dan tabel 15), diperoleh hasil bobot isi tanah pada kedalaman 0 - 20 cm menunjukan pada lokasi LA (10-20 tahun) berpengaruh sangat nyata terhadap LB (20-30 tahun) dan LC (30-40 tahun). Sedangkan pada kedalaman 20 – 40 cm tidak menunjukan pengaruh atau perbedaan yang nyata. SK Tabel 2. Uji Ortogonal Kontras Bobot Isi tanah kedalaman 0-20 cm db JK KT F hit F Tab 5% F Tab 1% ** LA VS (LB + LC) 1 0,113 0,113 15,862 5,32 11,260 ** LB VS LC 1 0,071 0,071 25,370 5,32 11,260 Galat 8 0,036 0,004 KK(%) = 6,61 Keterangan : ** = berbeda sangat nyata Tabel 3. Uji Ortogonal Kontras Bobot Isi Tanah kedalaman 20-40 cm SK db JK KT F hit F tab 5% F tab 1% LA VS (LB + LC) 1 0,0071 0,0071 0,057tn 5,32 11,260 tn LB VS LC 1 0,0004 0,0004 1,108 5,32 11,260 Galat 8 0,0509 0,0064 KK(%) = 8,11 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata 4. Porositas Porositas adalah proporsi ruang pori tanah (ruang kosong) yang terdapat dalam suatu volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara , sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Tanah yang poros berarti tanah yang cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara masuk dan keluar tanah yang secara leluasa , sebaliknya jika tanah tidak poros (Hakim ,1986). Dari hasil penelitian porositas tanah dapat dilihat pada lampiran 7 dan hasil uji ortogonal kontras dapat dilihat pada lampiran 11. Hasil analisis tanah diperoleh rata-rata porositas tanah sawah sebagai berikut : Porositas tanah (%) 70 60 50 40 30 20 10 0 63.77 56.34 60.88 55.56 58.38 49.19 (0 - 20) (20 - 40) LA (10-20) LB (20-30) Tingkatan Umur (tahun) LC (30-40) Gambar 4. Grafik rerata porositas tanah (%) pada Tiga Tingkatan Umur Sawah Tanpa Olah Tanah. Grafik di atas menunjukan nilai porositas tanah kedalaman 0 – 20 cm tertinggi pada lokasi LA (10-20 tahun) sebesar 56,34 %, dan terendah pada lokasi LB (20-30 tahun) yaitu sebesar 44,19 %. Hal tersebut terkait dengan nilai bobot isi tanahnya, dimana nilai bobot isi tanah semakin meningkat seiring dengan lamanya umur penyawahan (gambar 5), maka akan mempengaruhi pada porositas tanah dimana nilainya akan semakin menurun. Bobot isi tanah yang semakin tinggi yang dipengaruhi oleh praktek budidaya, dimana semakin lama umur penyawahan maka akan semakin sering dilakukan praktek budidaya sehingga bobot isi akan semakin meningkat dan porositas semakin menurun. Subagyono dkk., (2001) menyatakan bahwa pelumpuran menurunkan porositas tanah dengan tekstur liat berdebu dan lempung berpasir. Penurunan porositas sangat ditentukan oleh struktur tanah sebelum dilumpurkan. Hasil Uji Ortogonal Kontras terhadap porositas tanah pada kedalaman 0 – 20 cm (Tabel 17), diperoleh hasil bahwa umur sawah tidak menunjukan perbedaan yang nyata terhadap nilai porositas tanah pada kedalaman tersebut. Pada lokasi LA terhadap LB dan LC, maupun LB terhadap LC tidak terdapat perbedaan yang nyata. Tabel 4. Uji Ortogonal Kontras Porositas Tanah kedalaman 0 – 20 cm. SK db JK KT F hit F Tab 5% F Tab 1% tn LA VS (LB + LC) 1 52,325 52,3248 0,259 5,32 11,260 tn LB VS LC 1 101,379 101,3786 0,501 5,32 11,260 Galat 8 1618,495 202,3119 KK(%) = 26,49 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata Tabel 5. Uji Ortogonal Kontras Porositas Tanah kedalaman 20 – 40 cm. SK db JK KT F hit F tab 5% tn LA VS (LB + LC) 1 0,1267 0,1267 0,002 5,32 tn LB VS LC 1 72,5225 72,5225 0,918 5,32 Galat 8 632,3232 79,0404 KK(%) F tab 1% 11,260 11,260 = 14,57 Sedangkan hasil uji ortogonal kontras pada kedalaman 20 – 40 cm (Lampiran 10) diperoleh hasil bahwa kelompok umur sawah memberikan perbedaan yang tidak nyata terhadap nilai porositas tanah pada kedalaman tersebut. Artinya lama pengelolaan lahan tidak membuat perubahan yang banyak, karena teknik pengolahan lahan tanpa olah tanah yang diterapkan oleh petani. 5. Kadar Air Tanah Kapasitas Lapangan (% berat) Data hasil penelitian kadar air kapasitas lapangan dapat dilihat pada lampiran 9 dan hasil uji ortogonal kontras dapat dilihat pada lampiran 6. Berdasarkan hasil analisis kadar air kondisi lapangan dapat dilihat hasil rata-rata kadar air kondisi lapangan tanah sawah sebagai berikut : Kadar Air Kondisi Lapangan (% berat) 100 80 60 86.8 73.33 72.01 65.5 68.7 54.61 (0-20) 40 (20-40) 20 0 LA (10-20) LB (20-30) Tingkatan Umur (tahun) LC (30-40) Gambar 5. Grafik Analisis Rerata Kadar Air Kapasitas Lapangan (% berat) pada Tiga Tingkatan Umur Sawah Tanpa Olah Tanah. Grafik di atas menunjukan nilai kadar air kapasitas lapangan pada kedalaman 0 – 20 cm maupun 20 – 40 cm semakin meningkat seiring bertambahnya umur penyawahan, hal tersebut erat kaitannya dengan nilai fraksi liat yang tinggi sehingga kemampuan tanah untuk memegang air, seperti dikatakan oleh Hanafiah (2007), tanah yang didominasi pasir akan banyak mempunyai pori-pori makro (besar) disebut lebih poros, tanah yang didominasi debu bakan banyak mempunyai pori-pori meso (sedang) atau agak poros, sedangkan yang didominasi liat akan mempunyai pori-pori mikro (kecil) atau tidak poros. Tanah dengan tekstur pasir banyak mempunyai pori-pori makro sehingga sulit menahan air. Berdasarkan hasil uji ortogonal kontras menunjukan bahwa pada kedalaman 0 – 20 cm kelompok umur sawah memberikan perbedaan yang sangat nyata terhadap kadar air kondisi lapangan. Lokasi LA (10-20 tahun) berbeda sangat nyata terhadap terhadap LB (2030 tahun) dan LC (30-40 tahun) dan LB berbeda sangat nyata terhadap LC. Tabel 6. Uji Ortogonal kontras Kadar Air Kapasitas Lapangan kedalaman 0 – 20 cm. SK db JK KT F hit F Tab 5% F Tab 1% LA VS (LB + LC) 1 1546,572 LB VS LC 1 1134,225 Galat 8 331,6165 KK(%) = 9,33 Keterangan : ** = berbeda sangat nyata 1546,572 1134,225 41,4521 37,310** 27,362** 5,32 5,32 11,260 11,260 Tabel 7. Uji Ortogonal kontras Kadar Air Kapasitas Lapangan kedalaman 20 – 40 cm. SK db JK KT F hit F Tab 5% F Tab 1% tn LA VS (LB + LC) 1 52,4305 52,4305 1,107 5,32 11,260 tn LB VS LC 1 4,3824 4,3824 0,093 5,32 11,260 Galat 8 378,8532 47,3566 KK(%) = 9,64 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata Sedangkan dari uji ortogonal kontras kadar air kondisi lapangan kedalaman 20 – 40 cm diperoleh bahwa tingkatan umur sawah tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar air kapasitas lapangan kedalaman 20 – 40 cm pada setiap lokasi pengamatan. B. Parameter Pendukung 1. Reaksi Tanah (pH) Analisis pH tanah menggunakan pH meter dengan pelarut aquadest. Hasil analisis pH tanah didapat hasil rata-rata pH tanah sawah sebagai berikut : 7 pH (%) 6.5 6.52 6.54 6.57 5.9 6 5.73 5.53 0-20 cm 0-40 cm 5.5 5 LA (10-20) LB (20-30) Tingkatan Umur (tahun) LC (30-40) Gambar 6. Grafik Rerata Nilai pH Tanah Tiga Tingkatan Umur Sawah Tanpa Olah Tanah. Grafik di atas menunjukan nilai pH tanah pada kedalaman 0 – 20 cm terdapat di dua lokasi lebih rendah dari pada kedalaman 20 – 40 cm dari setiap lokasi. Hal tersebut terkait dengan iklim di suatu wilayah, dimana lokasi penelitian merupakan iklim tropis yang memiliki curah hujan sangat tinggi sehingga menyebabkan basa-basa pada lapisan atas (top soil) mengalami pencucian (eluviasi) sehingga nilai pH tanah pada lapisan bawah cenderung lebih tinggi daripada lapisan atas. Nilai pH tanah pada ketiga lokasi tersebut tergolong tinggi, karena tanah yang dianalisis dalam keadaan tergenang. Sehingga pH dan unsur hara pada tanah akan semakin tinggi. Nilai pH tanah tinggi atau mendekati netral pada saat sawah tergenang. Karena mengalami penggenangan, tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandung oksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral (AAK, 1990). 2. C-Organik (%) Kandungan C-organik pada tiap horizon merupakan petunjuk besarnya akumulasi bahan organik pada tanah tersebut. Berdasarkan hasil analisis tanah didapat nilai C-organik tanah sawah sebagai berikut : C-Organik (%) 2.5 2 2.16 2.07 1.83 1.56 1.5 0-20 cm 1 0.5 0.23 0.21 20-40 cm 0 LA (10-20) LB (20-30) Tingkatan Umur (tahun) LC (30-40) Gambar 7. Grafik Rerata Bahan Organik Tanah (%) Tiga Tingkatan Umur Sawah Tanpa Olah Tanah. Hasil analisis C-Organik tanah dapat dilihat pada Lampiran 5. Grafik di atas menunjukan pada kedalaman 0 – 20 cm nilai C-Organik tertinggi yaitu pada lokasi LB (20-30 tahun) yaitu sebesar 1,83 %. Sedangkan yang paling rendah dimiliki oleh lokasi LC (30-40 tahuun) yaitu sebesar 0,23 %, sedangkan lokasi LA (10-20 tahun) sebesar 1,56 % lebih tinggi dari pada lokasi LC sebesar 0,23 %. Pada lapisan 20 – 40 pada lokasi LB yang memiliki kandungan C-Organik lebih tinggi yaitu sebesar 2,16 %, pada lokasi LA sebesar 2,07 % dan nilai C-Organik paling rendah terdapat pada lokasi LC yaitu sebesar 1,8 %. Pada tanah kering dengan air tanah dalam yang disawahkan, maka pada waktu penggenangan air akan selalu terbawa ke lapisan bawah sehingga akan terjadinya aluviasi (pencucian) bahan organik terbawa bersamaan dengan air perlokasi pada waktu penggenangan. Terdapat perbedaan antara LA dan LB, dimana nilai C-Organik pada kedalaman 0 – 20 cm lebih rendah pada lapisan atas dari pada lapisan di bawahnya. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin lama penyawahan semakin banyak bahan organik yang berasal dari akar maupun jerami padi yang terakumulasi ke lapisan bawah. Hal tersebut merupakan akibat dari terjadinya eluviasi (pencucian) bahan organik yang terbawa bersamaan dengan air perkolasi pada waktu penggenangan sehingga bahan organik akan terakumulasi pada lapisan bawah. Menurut Hardjowigeno dkk, (2004) bahwa terjadinya eluviasi bahan kimia atau partikel tanah akibat proses pelumpuran dan drainase akan mempengaruhi sifat fisika tanah sawah. 3. N-Total (%) Data hasil penelitian N-Total dapat dilihat pada lampiran 5. Menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1993) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), bahwa nilai rerata NTotal tanah pada ketiga lahan tersebut tergolong rendah dan sedang yaitu 0,10-0,20 % rendah dan 0,21-0,50 sedang dapat dilihat pada (Lampiran 14). 0.3 N-total (%) 0.2 0.25 0.24 0.25 0.21 0.18 0.15 0-20 cm 0.1 0.05 0.04 0.05 20-40 cm 0 LA (10-20) LB (20-30) Tingkatan Umur (tahun) LC (30-40 Gambar 8. Garfik Rerata N-Total (%) Tiga Tingkatan Umur Sawah Tanpa Olah Tanah. Grafik di atas menunjukan pada lapisan 0 – 20 cm nilai N-total tertinggi yaitu pada lokasi LB sebesar 0,21 %. Lokasi LA sebesar 0,18 % dan yang terendah pada lokasi LC yaitu sebesar 0,05 %. Pada kedalaman 20 – 40 cm nilai N-total tertinggi pada lokasi LB yaitu 0,25 %. Pada lokasi LA 0,24 % dan yang terendah yaitu pada lokasi LC sebesar 0,04 %. Nilai N-total pada lokasi LB dan LA lebih tinggi di bandingkan dengan lokasi LC. Namun ada perbedaan dari ketiga lokasi tersebut, bahwa pada lokasi LB dan LA nilai N-total pada kedalaman 20 – 40 cm lebih tinggi dari pada lapisan atasnya. Sedangkan pada lokasi LC nilai N-total pada kedalaman 20 – 40 cm lebih rendah dari pada lapisan 0 – 20 cm. Hal tersebut dikarenakan teknik budidaya yang selalu membakar lahan sehingga mikroorganisme yang ada di dalam tanah mati dan tidak bisa mengikat unsur N yang ada. 4. C/N ratio Setelah didapat nilai C-organik dan N-total tanah, maka selanjutnya menentukan nilai C/N ratio. Berdasarkan hasil tabel, nilai C/N ratio pada kedalaman 0 – 20 cm tertinggi yaitu pada lokasi LB sebesar 8,714, sedangkan terendah pada lokasi LC yaitu 4,6. Sedangkan pada kedalaman 20 – 40 cm, nilai tertinggi pada lokasi LB yaitu 8, 64 dan terendah pada lokasi LC yaitu 5. Nilai C/N rasio dari penelitian dapat dilihat pada tabel 25 berikut : 5 4.4 4.3 C/N ratio 4 3 3.5 2.4 2.5 1.8 2 0 - 20 cm 20 - 40 cm 1 0 LA (10-20) LB (20-30) Tingkatan Umur (tahun) LC (30-40) Gambar 9. Grafik C/N ratio Tiga Tingkatan Umur Sawah Tanpa Olah Tanah. Grafik di atas menunjukan dari data diatas menunjukan bahwa pada lapisan atas nilai C/N ratio akan semakin menurun seiring bertambahnya umur sawah. Hasil C/N ratio dari ketiga lokasi di atas menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1993) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), bahwa nilai rerata C/N ratio tanah pada ketiga lahan tersebut tergolong sangat rendah yaitu >5 ( Lampiran 12), ini menunjukan bahwa bahan organik tidak mengalami dekomposisi yang baik. Suatu dekomposisi bahan organik yang lanjut dicirikan oleh C/N yang rendah, sedangkan C/N yang tinggi menunjukan dekomposisi belum lanjut atau baru dimulai (Hakim dkk, 1986). Kemampuan tanah untuk melepaskan unsur hara tergantung nilai ratio C dan N, rendahnya nilai C/N maka akan semakin mudah untuk melepaskan hara (Rasyidin, 2004). PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dalam skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Tidak terdapat perbedaan kelas tekstur tanah pada lokasi LA (10-20 tahun), LB (20-30 tahun) dan LC (30-40 tahun) kedalaman 0 - 20 cm maupun 20 – 40 cm. Fraksi liat mendominasi semua lokasi dan disusul dengan fraksi debu dan fraksi terendah adalah pasir, sehingan kelas tekstur untuk semua lokasi adalah liat berdebu. 2. Tidak terdapat perbedaan kemantapan agregat pada lokasi LA, LB dan LC kedalaman 0 – 20 cm maupun 20 – 40 cm, hal tersebut karena teknik budidaya dengan tanpa olah tanah sehingga kemantapan agregat tanah tidak berbeda jauh dan kaitannya dengan tekstur tanah adalah tingginnya kandungan liat sehingga membuat tanah teguh tidak mudah pecah. 3. Terdapat perbedaan pada sifat fisika tanah yaitu bobot isi pada kedalaman 0 – 20 cm LA berbeda sangat nyata terhadap LB dan LC, kemudian LB berbeda sangat nyata terhadap LC, Sedangkan bobot isi pada kedalaman 20 – 40 cm tidak berbeda nyata. 4. Tidak terdapat perbedaan pada porositas tanah kedalaman 0 – 20 cm maupun 20 – 40 cm, hal tersebut berkaitan dengan nilai bobot isi tanah disebabkan oleh lambannya pembentukan lapisan tapak bajak dan nilai porositas tanah mengalami penurunan nilai yang sangat lambat pula. 5. Kelompok umur sawah memberikan perbedaan kadar air kondisi lapangan yang sangat nyata pada kedalaman 0 – 20 cm, sedangkan pada kedalaman 20 – 40 cm tingkatan umur tidak memberikan perbedaan yang nyata. 6. Nilai reaksi tanah (pH) pada ketiga lokasi tersebut tergolong agak masam yaitu 5,6 - 6,5 (Lampiran 10). Nilai pH tanah mengalami penurunan pada kelompok umur 30 – 40 tahun, hal tersebut disebabkan oleh tanpa adanya pemupukan. 7. Nilai C-organik ketiga lokasi berpariasi antara sangat rendah (0,2 %), rendah (1,83 %) dan sedang (2,07 %), N-total juga sama dengan C-organik berpariasi antara sangat rendah (0,04 %), rendah (0,18 %) dan sedang (0,21 %), nilai C/N ratio tergolong sangat rendah (<5) dan pH tanah tergolong rendah (4,5 - 5,5) sampai sedang (5,6 – 6,5) dilihat dari criteria penilaian sifat kimia tanah (Lampiran 13). DAFTAR PUSTAKA AAK., 1990. Budidaya Tanaman Padi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Arabia, T. 2009. Karakteristik tanah sawah pada toposekuen berbahan induk volkanik di daerah Bogor - Jakarta. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik, 2013. Sensus Pertanian (ST) 1994. Badan Pusat Statistik Indonesia, Jakarta. Hakim, N, M. Y. Nyakpa, S. G. Nugroho, A. M. Lubis, M. R. Saul, M. A. Diha, G. B. Hong, dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Hardjowigeno, S., 2004. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Hanafiah, K.A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Grafindo Persada. Jakarta. Kemper, E. W., and R. C. Rosenau. 1986. Aggregate stability and size distrution. p. 425-461. In A. Klute (Ed.) Method of Soil Analyisis Part 1. 2nd ed. ASA. Madison. Wisconsin. Rasyidin, A., 2004. Penggunaan Bahan Limbah untuk Perbaikan Lahan Kritis. http://io.ppi-jepang.org/article di akses 20 februari 2016, Medan. Subagyono, K., A. Dariah., E. Surmaini dan U. Kurnia. 2001. Lahan Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Diusulkan dalam satu bab Pengelolaan Air pada Tanah Sawah.