pengembangan kontrol tracking wahana laut berbasis logika fuzzy

advertisement
APLIKASI SISTEM LOGIKA FUZZY PADA PERAMALAN CUACA DI INDONESIA STUDI
KASUS : CUACA KOTA SURABAYA
Syamsul Arifin, Aulia Siti Aisyah
Jurusan Teknik Fisika FTI ITS
[email protected]
ABSTRAK
Logika Fuzzy yang telah banyak digunakan dalam berbagai bidang, baik pada pengambilan keputusan, sistem pengendalian ,
peramalan dan yang lain. Kadang ditemui beberapa pengetahuan yang tidak presisi, tidak pasti, ambigu dan ada pula yang tidak
eksak dialam ini. Logika Fuzzy adalah salah satu yang mampu merepresentasikan keadaan yang komplek menjadi suatu bentuk
yang sederhana dalam bahasa yang mudah ditangkap oleh manusia. Demikian pula untuk merepresentasikan sifat cuaca dengan
bahasa yang mudah dipahami, sebagai misal cenderung berawan, suhu permukaan daratan sedang dan yang lain, ini merupakan
hasil peramalan cuaca yang didasarkan dari data – data meteorologi. Metode peramalan cuaca yang sering digunakan adalah secara
statistik diantaranya adalah Auto Regressive (AR), AR – Integrated Moving Average (ARIMA,) kedua metode tersebut telah
digunakan untuk peramalan suhu udara, sedangkan beberapa peramalan dengan teknik kepakaran mulai dilakukan akhir tahun 1990
an dengan metode logika fuzzy, jaringan syaraf tiruan, dan ANFIS (artificial neuro fuzzy inference system). Peramalan dengan
teknik kepakaran ini dikembangkan untuk peramalan parameter cuaca yang lebih luas lagi yaitu untuk pemodelan atmosfir dan
terakhir pemodelan aktivitas matahari. Dalam peramalan dengan metode statistik, terdapat beberapa kelemahan salah satunya
adalah prosentase ketidak tepatan ramalan pada saat kondisi cuaca yang sangat sulit untuk diprediksi secara matematis. Pada
makalah ini diuraikan tentang teknis dalam peramalan cuaca dengan menggunakan Fuzzy Clustering dengan studi kasus untuk
cuaca kota Surabaya. Peramalan didasarkan dari data – data meteorologi yang diperoleh dari BMG. Kemudian data – data tersebut
dinyatakan sebagai variabel fuzzy dengan interval keanggotaan fuzzy yang sesuai. Hasil dari permalan ini digunakan mampu
meningkatkan kualitas ramalan bila dibandingkan dengan cara statistik yang saat ini digunakan di BMG.
Kata kunci : cuaca, clustering, Fuzzy, ramalan
1. PENDAHULUAN
Adanya pemanasan global akan memberi
dampak negatif yang nyata bagi kehidupan ratusan
jiwa warga di dunia ini. Meskipun pada Laporan PBB
tahun 2007, untuk negara dekat kutub akan sedikit
diuntungkan, tetapi hal ini cenderung menyebabkan
banyak kejadian yang harus diantisipasi oleh beberapa
ilmuwan di dunia ini. Salah satu dampak pemanasan
global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi
sepanjang beberapa tahun mendatang, dampak
kelanjutannya adalah kegagalan panen di beberapa
negara . Naiknya suhu udara memicu topan yang lebih
dahsyat, terutama untuk kawasan Asia [1]. Sedangkan
di berbagai wilayah di Indonesia memiliki variabilitas
suhu yang tidak menentu sehingga berdampak pada
kondisi cuaca yang berbeda – beda.
Selama ini iklim yang terjadi di Indonesia
secara makro dapat dibedakan kedalam dua musin,
yaitu kemarau dan penghujan. Tetapi dalam waktu
akhir – akhir ini tidak dapat diprediksi saat kapan,
kedua musim tersebut terjadi. Beberapa wilayah di
Indonesia dengan suhu panas telah menimbulkan
hujan di sejumlah wilayah di Kalimantan, Sumatera,
Jawa dan Sulawesi [2], dan ini belum menunjukkan
pola secara regional bahwa Indonesia berada pada
musim tertentu.
Berdasarkan data cuaca yang diperoleh dari
citra satelit, weather ballon, weather radar Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) melakukan
prediksi cuaca. Akan tetapi hasil dari ramalan tetap
bersifat subyektif, karena model matematis untuk
menentukan pola cuaca sangat rumit untuk diperoleh.
Pola prediksi seperti ini cenderung menghasilkan eror
akibat human error.
Beberapa metode peramalan untuk cuaca telah
dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain adalah :
Bogren and Gustavsson (1994) – peramalan suhu
daratan dengan menggunakan intervensi meteorologi,
Basile, Butini and Selvi (1994) melakukan peramalan
untuk suhu udara dengan menggunakan neural
network, Frohling (1994) meramal suhu daratan
dengan neural network, HS4Cast meramal suhu udara.
Kualitas ramalan dari peneliti – peneliti tersebut
didasarkan pada standard deviasi untuk peramalan 3
jam yang akan datang [3]. Peramalan terhadap
kejadian hujan untuk daerah Kanada telah dilakukan
oleh Jim Murtha berdasarkan data suhu dewpoint,
penyebaran dewpoint, laju perubahan penyebaran
dewpoint, kecepatan angin dan coverage awan [4].
2. PERAMALAN CUACA
Sirkulasi atmosfir skala global berkait dengan
fenomena El Nino, La Nina dan Indian Ocean Dipole
(IOD). Sedangkan sirkulasi atmosfir skala regional
berkaitan dengan Monsun. Baik monsun Asia Musim
Dingin maupun Monsun Australia Musim dingin.
Selanjutnya sirkulasi atmosfer skala meso terkait
dengan keberadaan angin darat – angin laut, angin
lembah – gunung. Dan sirkulasi atmosfir skala lokal
berkaitan dengan pembentukan awan Comulus dan
Conditional Instability of the Second Kind (CISK).
Fenomena El Nino berkaitan dengan memanasnya
suhu permukaan air laut di Pasifik bagian Tengah dan
Timur, sedangkan kondisi suhu permukaan air laut di
Indonesia mendingin, akibatnya aliran massa udara
bagian bawah bergerak dari Indonesia menuju ke arah
timur. Ini berdampak pada curah hujan di Indonesia
berada di bawah normal. Kebalikan dari kondisi
tersebut dikatakan sebagai La Nina, dimana terjadi
saat suhu permukaan air laut di Pasifik begian Tengah
dan Timur menurun dan sebaliknya suhu permukaan
air laut Indonesia meningkat, menyebabkan aliran
A-329
ISBN 978-979-18342-1-6
massa udara bagian bawah bergerak dari Pasifik ke
Indonesia. Ini berakibat curah hujan di atas normal.
Indian Ocean Dipole Mode berkaitan dengan kondisi
suhu permukaan laut di pantai barat Sumatera dan di
pantai timur Benua Afrika. Jika suhu permukaan air
laut di pantai barat Sumatera lebih tinggi dari pada
suhu di Benua Afrika, maka aliran massa udara panas
lapisan bawah bergerak dari pantai timur Benua
Afrika menuju ke pantai barat pulau Sumatera. Ini
yang menyebabkan Indonesia bagian barat memiliki
curah hujan diatas normal, sedangkan bila terjadi
kondisi yang sebaliknya, akan berdampak pada curah
hujan di Indonesia bagian barat dibawah normal.
Pada paper ini akan diuraikan tentang berbagai
sistem kepakaran untuk peramalan cuaca, dan aplikasi
dari teori fuzzy untuk peramalan cuaca di kota
Surabaya.
2.1 Peramalan Konvensional
Iklim merupakan pola keadaan cuaca suatu
luasan wilayah atau daerah yang berulang selama
jangka waktu tertentu, dan iklim ini mempengaruhi
sifat dan karakteristik hayati di wilayah tersebut.
Beberapa faktor pengendali iklim adalah : pancaran
radiasi matahari, letak Lintang, ketinggian tempat,
posisi terhadap lautan, pusat tekanan tinggi dan
rendah, aliran massa udara, halangan pegunungan dan
arus laut. Sedangkan parameter dari iklim atau cuaca
adalah : penerimaan dan lama radiasi matahari, suhu
udara, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan
dan arah angin, evaporasi, presipitasi dan suhu
permukaan tanah.
Parameter dari iklim atau cuaca tersebut yang
biasa digunakan untuk peramalan secara konvensional
adalah : suhu udara rata-rata (oC), suhu udara
maksimum (oC), suhu udara minimum (oC), curah
hujan rata – rata per bulan (mm), rata-rata lama
penyinaran matahari (%), rata – rata tekanan udara
(milibar), rata – rata kelembaban udara (%), kecepatan
angin (knot), kecepatan angin maksimum (knot) dan
arah angin.
Beberapa peramal terhadap parameter cuaca
atau dikatakan peramal cuaca tidak mudah dalam
pengambilan keputusan untuk menentukan kondisi
apa yang akan terjadi pada waktu – waktu yang akan
datang, dan ini tidak mudah untuk digantikan dengan
metode lain selain metode statistik. Pada beberapa
kasus Logika Fuzzy mampu digunakan sebagai salah
satu peramal untuk menentukan kejadian turunnya
salju di Kanada.
Variabel penentu untuk memprediksi cuaca di
daerah tropis antara lain, suhu udara, kelembaban
udara, kecepatan dan arah angin, kondisi awan, atau
kondisi atmosfir di suatu daerah. Suhu udara di bumi
dipengaruhi oleh pemanasan matahari, semakin dekat
letak suatu wilayah dengan katulistiwa, semakin panas
wilayah tersebut. Saat siang terjadi pemanasan udara
dan saat malam terjadi pendinginan udara. Udara
merupakan konduktor yang lebih panas dibandingkan
dengan daratan, ini berakibat pada kecepatan panas
udara melebihi kecepatan panas daratan. Intensitas
pemanasan tertinggi oleh matahari terjadi pada siang
hari, namun suhu permukaan tertinggi terjadi beberapa
jam setelahnya.
Variabel kelembaban digunakan untuk
menentukan kadar air di udara, bila kelembaban
berada pada nilai tertentu yang dikatakan titik jenuh
dan kondisi ini menyebabkan terjadinya hujan.
Munculnya angin akibat adanya perbedaan tekanan
udara, sedangkan arah angin diakibatkan oleh gaya
Coriolis yaitu gaya semu akibat pengaruh gesekan
rotasi bumi dan gerakan nisbi terhadap permukaan
bumi, menyebabkan angin dapat dibelokkan. Gaya
Coriolis menyebabkan angin dibelokkan ke kanan
oleh gradien tekanan di belahan bumi utara dan
dibelokkan ke kiri di belahan bumi selatan.
Awan terbentuk oleh uap air yang
terkondensasi karena tekanan yang sangat besar dan
suhu yang rendah. Uap air tersebut dapat berasal dari
air laut dan sungai yang menguap akibat pemanasan
dari matahari. Semakin banyak intensitas matahari,
semakin banyak uap air yang terjadi, maka akan
semakin banyak potensi terbentuknya awan.
2.2 Peramalan Cuaca dengan menggunakan
Jaringan Syaraf Tiruan
Atmosfir merupakan suatu sistem yang
komplek, bersifat dinamik dan sistem non linier.
Variabel cuaca dinyatakan dalam bentuk deret berkala
[5]. Permasalahan dalam analisa data cuaca seringkali
adalah munculnya nonlinieritas intrinsik [6], dan
upaya untuk menganalisa bentuk variabel cuaca ini
dengan menggunakan teknik logika fuzzy dan jaringan
syaraf tiruan. Jaringan syaraf tiruan (ANN) digunakan
untuk proses / hubungan yang chaos, dan ini sesuai
untuk model dinamika berdasar deret berkala (time
series) [7]. Sedangkan metode logika fuzzy untuk
menganalisa sistem yang komplek khususnya untuk
struktur data yang dikarakteristikan sebagai variabel
linguistik. Dan ini sesuai untuk menganalisa data /
variabel / kejadian atmosfir.
Hu (1964) mengawali implementasi jaringan
syaraf tiruan (ANN – Artificial Neural Network) ,
sebagai salah satu metode soft computing untuk
peramalan cuaca. Kemudian McCann (1992)
mengembangkan model jaringan syaraf tiruan ANN
memberikan hasil 3 – 7 jam signifikan untuk kejadian
kilat di kota Kansas [8]. Cook dan Wolfe (1991)
mengembangkan ANN untuk memprediksi suhu udara
rata – rata. Zhang dan Zhcofield (1994)
mengaplikasikan ANN untuk meprediksi hujan
berdasarkan data satelit. Allen dan Lee Marshal
(1994) membandingkan performansi ANN dan hasil
analisa secara statistik untuk peramalan hujan, dan
ANN menunjukkan kemampuan yang lebih
dibandingkan dengan metode statistik untuk kejadian
hujan di Australia.
Bankert dan Aha (1996) mengadopsi jaringan
syaraf tiruan untuk mengklasifikasikan awan,
sedangkan
Han
dan
Felker
(1997)
mengimplementasikan ANN untuk meramalkan
kejadian evaporasi harian berdasarkan kelembaban
udara rata – rata, suhu udara, kecepatan angin dan
kandungan uap air di daerah lembah kaktus. Ternyeta
teknik ini menunjukkan pendekatan terhadap teknik
multi regresi untuk peramalan evaporasi. Mohandes
dkk (1998) mangaplikasikan ANN untuk memprediksi
kecepatan angin. Gardner dan Dorling (1998)
menyatakan bahwa multilayer perceptron sesuai untuk
A-330
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
model prediksi atmosfir. Lee dkk (1998)
mengaplikasikan ANN untuk prediksi hujan, dan
Wong dkk (1999) menyusun rule base pada fuzzy
berdasarkan backpropagatian neural network yang
diperuntukkan sebagai model prediksi hujan di
Switzerland [9].
Bruton dkk (2000) mengembangkan model
ANN untuk peramalan evaporasi harian dan hasilnya
dibandingkan dengan multiple linear regression dan
model Priestly – Taylor, ternyata model ANN
menunjukkan hasil dengan akurasi tertinggi [10].
Perez dkk (2000) mengaplikasikan ANN untuk
prediksi polusi atmosfir [11]. Jagdesh (2000)
membandingkan performansi ANN dengan metode
empiris. Hsieh dan Tang (2001) menunjukkan adanya
relevansi ANN atmosfir daratan dengan model
atmosfir di lautan. Perez dan Reyes (2001)
mengaplikasikan model multilayer perceptron untuk
prediksi polusi partike di udara [12 – 13]. Li (2002)
menunjukkan kesesuaian model ANN untuk
peramalan suhu permukaan maksimum dan minimum,
besarnya radiasi matahari dengan model regresi yang
sudah dikembangkan oleh Tiffon, Georgia dan Griffin.
Maqsood dkk (2002) menunjukkan ANN untuk model
atmosfir yang lebih baik bila dibandingkan dengan
teknik konvensional. Chaloulakou dkk (2002)
melakukan studi perbandingan model multiple regresi
dan ANN untuk prediksi potensial PM10 di kota
Athena. Hasil dari ANN menunjukkan kelebihan
dibandingankan dengan regresi, ini didasarkan pada
besarnya eror prediksi dan hasil kemampuan prediksi
harian [14]. Rashidi (2004) mengembangkan ANN
dalam bentuk multilayer perceptron untuk prediksi
aktivitas matahari, dimana secara umum digunakan
untuk peramalan cuaca. Chauduri dan Chattopadhyay
(2005) mengembangkan model ANN untuk prediksi
parameter permukaan di kota India bagian Tenggara.
Jef dkk (2005) melakukan prediksi PM10 di Belgia
dengan menggunakan ANN [15].
2.3 Peramalan Cuaca
Logika Fuzzy
dengan
menggunakan
Logika Fuzzy, metode berbasis kepakaran
selain jaringan syaraf tiruan, dapat juga digunakan
untuk menganalisa data atmosfir dan kemudian
digunakan untuk memprediksinya. Kemampuan dari
metode ini adalah penggunaan variabel linguistik yang
sangat berguna untuk menganlisa variabel atmosfir.
Bardossy (1995) meimplementasikan logika fuzzy
dengan cara mengklasifikasikan variabel atmosfir.
Ozelkan dan Duckstein (1996) membandingkan
performansi dari analisa regresi dengan logika fuzzy
dalam studi pola sirkulasi penguapan [16]. Pesti dkk
(1996) mengimplementasikan logika fuzzy untuk
klasifikasi awan kemudian oleh Baum dkk (1996)
hasil dikembangkan untuk daerah lain. Lakshmanan
dan Witt (1997) mengimplementasikan logika fuzzy
dalam mendeteksi kejadian hujan [17]. Fujibe (1998)
mengklasifikasikan pola penguapan di kota Honshu
dengan menggunakan metide C-mean [18]. Galambosi
dkk (1999) melakukan penyelidikan efek ENSO dan
pola sirkulasi makro pada penguapan di Arizona
dengan menggunakan logika fuzzy. Vivekanandan
ISBN 978-979-18342-1-6
dkk (1999) mengembangkan algirtma logika fuzzy
untuk identifikasi partike hydrometeor [19]. Hansen
(2000) mengaplikasikan fuzzy k-nn untuk prediksi
cuaca dan meningkatkan teknik peramalan iklim
secara langsung, efisien dan membandingkan
kemampuan kepakaran untuk kasus cuaca lampau
maupun pada saat tersebut [20]. Shao (2000) membagi
daerah variabel fuzzy didasarkan pada jumlah awan,
tipe awan, kecepatan angin, kelembaban dan
membandingkan nya dengan kategori cuaca
berdasarkan pemetaan secara termal. Liu dan
Candrasekar (2000) mengembangkan logika fuzzy dan
sistem neuro fuzzy untuk klasifikasi hydrometeor,
dimana neural network digunakan untuk mengatur
parameter himpunan fuzzy didalam sistem logika
fuzzy [21]. Gomez dan Casanovas (2002)
mengembangkan model fuzzy secara fisik untuk
irradiasi matahari dan menunjukkan model dengan
fuzzy ini lebih baik dinbadingkan dengan model
konvensional. Gautam dan Kaushika (2002)
mengembangkan logika fuzzy untuk peramalan radiasi
matahari dengan memperhatikan indek kecerahan
awan, tipe awan, daerah iklim, penguapan sebagai
variabel fuzzy. Model disimulasikan untuk kota
Calcutta dan New Delhi sepanjang bulan Januari
sampai Juli [22].
3. FUZZY CLUSTERING
Analisa
cluster
dimaksudkan
untuk
mempartisikan kumpulan data yang diberikan
kedalam sejumlah tertentu kumpulan-kumpulan
natural dan homogen yang elemen-elemen setiap
kumpulannya diambil semirip mungkin dan tidak
serupa dengan kumpulan-kumpulan lainnya. Jumlah
kumpulan - kumpulan yang demikian sebelumnya
boleh tetap atau boleh pula hasil dari konsekuensi
beberapa kendala yang ditimpakan kepadanya.
Berbagai algoritma kini dikembangkan untuk
mendapatkan cluster sekumpulan data yang diberikan.
Pemisahan cluster merupakan gagasan fuzzy. Konsep
subkumpulan fuzzy menawarkan keuntungan spesial
yang melebihi clustering konvensional dan
memberikan representasi konfigurasi yang tak dapat
dituruti [23]. Beberapa teknik clustering utama adalah
: Fuzzy C – Means dan Fuzzy Substractive Clustering.
Fuzzy Clusterting adalah salah satu teknik
untuk menentukan cluster optimal dalam suatu ruang
vektor. Fuzzy clustering sangat berguna bagi
pemodelan fuzzy terutama dalam mengidentifikasi
aturan – aturan fuzzy. Fuzzy C-Means (FCM) adalah
suatu teknik pengclusteran data dimana keberadaan
tiap –tiap titik data dalam suatu cluster ditentukan oleh
derajat keanggotaan. Konsep dasar FCM, pertama kali
adalah menentukan pusat cluster,yang akan menandai
lokasi rata – rata untuk tiap – tiap cluster. Output
FCM bukan merupakan fuzzy inference system, namun
merupakan deretan pusat cluster dan beberapa derajat
keanggotaan untuk tiap- tiap data. Informasi ini dapat
digunakan untuk membangun fuzzy inference system.
Data yang telah tersebar akan terbagi menjadi
kelompok – kelompok sesuai dengan data yang
terkumpul. Keluaran dari FCM seperti terlihat pada
Gambar 1.
A-331
Fuzzy C-Means (FCM) adalah algoritma
pengclusteran yang terawasi.Apabila jumlah cluster
yang akan dibentuk belum diketahui sebelumnya,
maka kita harus menggunakan algoritma yang tidak
terawasi. Substractive clustering didasarkan atas
ukuran potensi titik – titik data dalam suatu variabel.
Konsep dasar dari substractive clustering adalah
menentukan daeah – daerah dalam suatu variabel yang
memiliki potensi tinggi terhadap titik di sekitarnya.
4. PERAMALAN CUACA KOTA SURABAYA
4.1 Fuzzy Clustering pada Variabel Input
Prediksi turunnya hujan dapat diambil dari
variabel – variabel yang mempengaruhi turunnya
hujan, yaitu temperatur, kelembaban, kecepatan angin
dan awan.
Gambar 1 Pengclusteran data dengan FCM
Beberapa variabel cuaca yang mempengatuhi
turunnya hujan dikelompokkan kedalam beberapa
kelas,
penentuan
kelas
dilakukan
dengan
menggunakan metode fuzzy clustering C – means.
Untuk variabel temperatur dibagi dalam 2
cluster yaitu cluster 1 digolongkan pada temperatur
sedang dan cluster 2 digolongkan pada temperatur
panas. Data yang diperoleh adalah :
a. Cluster 1 ( Temperatur sedang)
Center : 30,5480
Max : 31
Min : 26
Hasil pengelompokan data yang tergabung dalam cluster 1 dapat dilihat pada Gambar
2.
Gambar 2 (a) Sebaran data Temperatur dalam fuzzy clustering dan (b) Cluster 1(Temperatur sedang)
A-332
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
b. Cluster 2 ( Temperatur panas )
Center : 32,9214
Max : 35
Min : 32
Demikian pula dilakukan fuzzy clustering untuk
variabel yang lain yaitu kelembaban, kecepatan angin
dan perawanan. Kelembaban dibagi dalam 2 cluster
yaitu cluster 1 digolongkan pada kelembaban sedang
dan cluster 2 digolongkan pada kelembaban tinggi.
Variabel kecepatan angin dibagi dalam 3 cluster yaitu
cluster 1 digolongkan pada angin berkecepatan
rendah, cluster 2 digolongkan pada angin
berkecepatan sedang, dan cluster 3 digolongkan pada
angin berkecepatan tinggi. Sedangkan untuk variabel
ketebalan awan dibagi dalam 2 cluster yaitu cluster 1
digolongkan pada overcast (awan tebal), dan cluster 2
digolongkan pada not overcast (awan cerah).
Pengelompokan data dari variabel input dapat
dnyatakan dalam bentuk tabel 1.
4.2 Fungsi Keanggotaan Variabel Input
Fungsi keanggotaan
suatu variabel fuzzy
dinyatakan dalam beberapa fungsi diantaranya adalah:
trimf, trapmf, gbellmf, gaussmf, gauss2mf, pimf, sigmf,
smf, zmf, dsigmf, serta psigmf. Tidak ada suatu
ketentuan dalam penggunaan fungsi keangotaan yang
digunakan dalam suatu variabel fuzzy. Untuk
mendekati suatu konsep yang kurang jelas, dapat
digunakan fungsi trampf, yaitu suatu fungsi sebagai
gabungan 2 fungsi linier [7]. Menurut C Donald
Ahrens,untuk output yaitu kondisi cuaca, dapat
diklasifikasikan seperti pada tabel 2. Demikian pula
fungsi keanggotaan untuk variabel input ramalan,
yaitu temperatur, kelembaban, kecepatan angin, dan
ketebalan awan yaitu fungsi trampf, seperti terlihat
pada gambar 11 dan 12.
Tabel 1Spesifikasi cluster dalam variabel input fuzzy
untuk peramalan cuaca
Variabel
Temperatur
Kelembaban
Kecepatan
Angin
Ketebalan
awan
Klasifika
si
Pusat
Cluster
30,548
Max
31
Min
Sedang
Panas
32,9214
35
32
Sedang
39,555
49
14
Tinggi
26
58,6017
85
50
Rendah
6,5849
8
1
Sedang
10,3023
12
9
Tinggi
14,011
69
13
Not
Overcast
Overcast
0,0071
2
0
7,9996
8
8
Pembuatan aturan dilakukan berdasarkan
fenomena yang terjadi di alam. Dengan 4 variabel
input (temperatur, kelembaban, kecepatan angin, per
awanan) yang terbagi dalam 9 himpunan fuzzy dan 1
output (cuaca esok hari) dengan 3 himpunan fuzzy,
maka akan dihasilkan 24 kemungkinan aturan if-then,
dengan 1 rule yang tidak mungkin akan digunakan,
pada kondisi yang tidak mungkin terjadi di alam, yaitu
jika temperatur sedang, kelembaban tinggi, kecepatan
angin tinggi dan ketebalan awan not overcast.
A-335
ISBN 978-979-18342-1-6
Gambar 8 (a) Sebaran data variabel awan (b) Cluster1
(Overcast) Gambar 10 Cluster2 (not overcast)
Gambar 5 (a) Sebaran data variabel kecepatan angin
(b) Cluster1 (kecepatan angin rendah) (c) Cluster3
(kecepatan angin tinggi)
A-336
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
4.2 Pembangunan rule if-then
Logika fuzzy ini disusun dengan tipe
Mamdani, Logika Operasi : AND, metode Implikasi :
mindan metode defuzzifikasi : centroid, titik pusat
daerah fuzzy menghasilkan solusi crisp adalah max.
Adapun pemodelan prediksi hujan dengan
empat variabel dan satu output yang memiliki dua
puluh tiga aturan dalam pembuatan logika fuzzy
terlihat pada gambar 13.
Tabel 2 Clustering variabel output peramalan
Variabel Space Himpunan Interval
Fuzzy
Cuaca
0Cerah
0 – 35
esok hari 100
Berawan
36 – 55
(%)
Hujan
56 – 100
Fs angg
Trampf
Trampf
Trampf
Gambar 12 Membership Function Cuaca Esok Hari
Tabel 4 Aturan logika prediksi hujan
1. If T panas And RH sedang And Va sedang Then
Cuaca besok Cerah
2. If T panas And RH sedang And Va sedang And
Awan overcast Then Cuaca besok cerah
3. ...
23. If T sedangAnd RH tinggi And Va sedang And
Awan overcast Then Cuaca besok Hujan
Gambar 11 Membership function (a) Temperatur (b)
Kecepatan Angin (c) Ketebalan Awan
4.3 Pengujian logika fuzzy
Pengujian logika fuzzy dilakukan dengan
memberikan inputan data yang berbeda. Pada
penelitian dengan 730 data (bulan Januari 2005
sampai bulan Desember 2006), dan diuji dengan 304
data (Januari hingga Oktober 2007). Hubungan antara
variabel-variabel meteorologi hari ini sebagai variabel
masukan dengan kondisi cuaca keesokan harinya
seperti terlihat pada Gambar 13. Terlihat seperti
Gambar 13, hubungan 3 dimensi tersebut cuaca esok
hari berpotensi terjadi hujan jika temperatur hari ini
adalah rendah dan kelembaban pada hari ini adalah
tinggi. Dan sebaliknya, keesokan hari esok akan
berpotensi cerah jika temperatur hari ini adalah tinggi
dan kelembaban pada hari ini adalah rendah.
Grafik status merupakan hasil keputusan dari
rule yang sudah ditetapkan, dengan 3 jenis nilai status
koordinat secara linguistik yaitu cerah, berawan, dan
hujan. Misalkan dalam analisa cuaca untuk 31 hari,
dengan 15 hari menunjukkan kondisi cerah dan 16
hari kondisi hujan, sedangkan hasil peramalan 8 hari
A-337
ISBN 978-979-18342-1-6
kondisi cerah, 21 hari kondisi hujan, dan 2 hari
kondisi berawan. Hasil ini menunjukkan ketepatan
peramalan dengan fuccy clustering bernilai 43,38%.
Gambar 13 Hubungan Temperatur dan Kelembaban
Hari Ini dengan Kondisi Cuaca Keesokan Hari.
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Jumlah
15
24
31
30
28
28
170
8
21
29
30
28
26
190
15
2
0
1
2
0
25
1
3
2
1
2
1
28
1
4
0
0
0
3
109
Tabel 6. Ketepatan Hasil Pengujian Program
Bulan
Cerah Berawan Hujan Jumlah
Januari
4
0
11
15
Februari
0
1
20
21
Maret
3
0
13
16
April
2
0
15
17
Mei
9
1
0
10
Juni
17
1
1
19
Juli
29
0
0
29
Agustus
29
0
0
29
September 27
1
0
28
Oktober
25
0
2
27
Jumlah
145
4
62
211
Prosentase
43,38
75
51,60
56,70
32,26
63,30
93,50
93,50
93,3
87
Rata= 69
Tabel 6. Perbandingan ketepatan prediksi dengan
keadaan sebenarnya
Cerah
Berawan
Hujan
Prediksi Real Prediksi Real Prediksi Real
145
190
4
28
62
86
Gambar 14 Grafik Status hasil pengujian fuzzy bulan
Februari 2007
Gambar 14 menunjukkan hasil prediksi dengan
fuzzy pada bulan Februari 2007. Dari 28 hari, untuk
kondisi sebenarnya terdapat 4 hari untuk kondisi
cerah, 21 hari untuk kondisi hujan dan 3 hari untuk
kondisi berawan. Sedangkan hasil prediksi
menunjukkan adanya 1 hari untuk kondisi cerah dan
26 hari untukkondisi hujan dan 1 hari untuk kondisi
berawan. Dari hasil prediksi terdapat 21 hari yang
sama dengan kondisi sebenarnya. Sehingga ketepatan
pengambilan keputusan berdasarkan fuzzy clustering
adalah 75 %.
Untuk pengujian terhadap keseluruhan data,
diperoleh hasil uji seperti terlihat pada Tabel 5.
Sedangkan ketepatan prediksi yang seperti terlihat
pada tabel 6. Dari hasil prediksi dengan menggunakan
logika fuzzy, sukses memprediksi terhadap 211
prediksi dengan tepat untuk data uji sebanyak 304
hari. Dengan kata lain, penelitian ini menghasilkan
tingkat ketepatan sebesar 69%. Hal ini menunjukkan
hasil yang lebih baik dari penelitian sebelumnya yang
memiliki tingkat ketepatan 53%.
Tabel 5. Hasil Pengujian Program
Cerah
Berawan
Prediksi Real Prediksi Real
Januari
8
15
2
0
Februari
1
4
1
3
Maret
3
5
2
11
April
2
11
0
4
Bulan
Hujan
Prediksi
21
26
26
28
Gambar 15 menunjukkan grafik perbandingan
hasil dari penelitian saat ini dengan penelitian
sebelumnya. Sumbu axis menunjukkan bulan
pengujian yaitu bulan pertama (Januari 2007) sampai
bulan ke sepuluh (Oktober 2007). Sedangkan
penelitian sebelumnya hanya dilakukan pengujian dari
bulan pertama (Januari 2007) sampai bulan keempat
(April 2007). Dari grafik di atas terlihat perbandingan
hasil dimana pada bulan pertama, pada penelitian
sebelumnya didapatkan hasil keakurasian sebesar 29%
dan penelitian saat ini sebesar 48.38%. Untuk bulan
kedua (Februari 2007) didapatkan hasil yang sama
pada penelitian sebelumnya dan saat ini yaitu sebesar
75%. Pada bulan ketiga(Maret 2007), hasil yang
diperoleh pada penelitian pertama sebesar 41.9%
sedangkan pada penelitian saat ini diperoleh 51.6%.
Bulan keempat (April 2007), penelitian pertama
menghasilkan 46.7% dan penelitian saat ini sebesar
56.7%. Untuk bulan kelima (Mei 2007) sampai
dengan bulan kesepuluh (Oktober 2007) pada
penelitian saat ini berturut – turut diperoleh hasil
32,26%, 63.3%, 93.5%, 93.5%, 93.3%, dan 87%. Dari
grafik di atas terlihat adanya peningkatan performansi
di setiap bulannya.
Real
16
21
15
15
A-338
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
0
6
0
0
0
4
86
4.7 Analisa Perbandingan Hasil
Dari kedua pengujian tersebut dapat dilihat
bahwa, prediksi menggunakan fuzzy clustering
memiliki tingkat kebenaran lebih tinggi daripada
penggunaan rumus. Dimana prediksi dengan fuzzy
clustering memiliki tingkat ketepatan sebesar 69%
sedangkan dengan perhitungan rumus diperoleh
tingkat ketepatan sebesar 49%. Hal ini dapat terjadi
karena dalam memprediksi turunnya hujan
dipengaruhi oleh faktor alam yang sangat komplek,
sehingga tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan rumus saja. Dibutuhkan banyak asumsi
– asumsi untuk melakukan pendekatan. Oleh karena
itulah dibutuhkan metode prediksi hujan yang mampu
memprediksi dengan berdasarkan pada proses
Gambar 15. Persentase Hasil Penelitian
pembentukan hujan, Prediksi hujan dapat dilakukan
dengan menggunakan fuzzy clustering, karena metode
4.6 Hasil Perhitungan secara Matematis
fuzzy clustering diambil dari data pengalaman
Ketepatan prediksi berdasarkan penggunaan
sebelumnya yang memiliki kondisi yang sama,
rumus yang dibuat dalam penelitian ini terlihat pada
sehingga dapat diperoleh tingkat kebenaran yang lebih
tabel 4.1. Prediksi dengan menggunakan model
tinggi. Peningkatan ketelitian prediksi ini akan sangat
matematis menunjukkan 150 ketepatan dari data uji
bermanfaat bagi pihak BMG sebagai penyedia
sebanyak 304 hari atau ketepatan 49%, sedangkan
informasi cuaca.
dengan menggunakan fuzzy clustering menunjukkan
Selain itu informasi prediksi hujan juga sangat
ketepatan sebesar 69%.
dibutuhkan dalam sektor perhubungan. Sampai saat
ini yang sudah banyak memanfaatkan informasi cuaca
Tabel 7 Ketepatan Hasil Pengujian Program
Bulan
Cerah Berawan Hujan Jumlah Persentase di bidang penerbangan, sedangkan di bidang kelautan
masih belum sepenuhnya dimanfaatkan. Selain itu
Januari
11
0
13
14
45
informasi cuaca juga akan sangat bermanfaat bagi
Februari
2
0
5
7
22,6
masyarakat umum yang akan beraktifitas. Begitu juga
Maret
3
0
9
12
38,7
di bidang pertanian yang membutuhkan kondisi cuaca
April
5
0
11
16
51,6
untuk aktifitas pertaniannya. Oleh karena itu ketepatan
Mei
5
0
8
13
41,9
prediksi akan sangat berpengaruh pada aktifitas di
Juni
7
1
5
13
41,9
berbagai bidang maupun masyarakat umum.
Juli
5
0
0
5
16
Agustus
18
0
0
18
58
BAB VI
September 26
0
0
26
83,8
KESIMPULAN
Oktober
26
0
0
26
83
Dari penelitian yang telah dilakukan dalam
Tabel8 Perbandingan ketepatan secara matematik
dengan kondisi sebenarnya
Cerah
Berawan
Hujan
Prediksi Real Prediksi Real Prediksi Real
108
190
1
28
51
86
Gambar 16 Perbandingan hasil Fuzzy dengan Model
matematis
penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
Telah dilakukan prediksi hujan di kota Surabaya
dengan fuzzy clustering dengan variabel input
berdasarkan proses terjadinya hujan yaitu
temperatur, kelembaban, kecepatan angin, dan
awan.
Output dari prediksi dengan fuzzy clustering
berupa tiga kondisi, yaitu hujan, berawan, dan
cerah.
Pengelompokan prediksi hujan berdasarkan
pertumbuhan tetes, dimana jika jari – jari tetes
lebih dari 0,1 mm,maka tetes akan sampai ke tanah
dan tejadi hujan, 0,1 mm adalah berawan dan
kurang dari 0,1 tidak terjadi hujan
Hasil pengujian dengan fuzzy clustering
memiliki tingkat ketepatan prediksi hujan
harian sebesar 69% sedangkan dengan model
matematis diperoleh tingkat ketepatan
sebesar 49%
DAFTAR PUSTAKA
[1]. .... , Laporan PBB, 2007.
[2]. ... , Laporan BMG, Mei 2007
A-339
ISBN 978-979-18342-1-6
[3]. Abraham, A., Philip, N.S. and Joseph, B., 2001,
“Will we have a wet summer ? Long term rain
forecasting using Soft Computing Models”,
Modelling and Soimulation 2001, Publication of
Societu for Computer Simulation International,
Prague, Czzech Republic, 1044 -1048.
[4]. Handerson, H.W., and Wells, R., 1988,
“Obtaining
Attractor
Dimension
for
Meteorological Time Series”, Advance in
Geophysics, 30 , pp. 205 – 237.
[5]. Liu, H., and Chandrasekar, V., 2000,
“Classification of Hydrometeors Based on
Polarimetric
Radar
Measuremebts
:
Development of Fuzzy Logic and Neuro Fuzzy
systems and In Situ Verivication”, Journal of
Atmospheric and Oceanic Technology, 17, pp.
140 – 164.
[6]. Kozma, R., Kasabov, N.K., Kim, J.S., and Cohen,
A., 1998, “Integration of Connecstionist
Methods and Chaostic Time Series Analysis for
The Prediction of Process data”, International
Journal of Intelligent Systems, 13, pp. 519 – 538.
[7]. Mohandes, A.M., S. Rehman, and T.O Halavani,
1998, “A Neural Network Approach for Wind
Prediction”, renewable Energy, 13, pp. 345 –
354.
[8]. Hu, M.J.C., 1964, “Application of ADALINE
System to Weather Forecasting”, Technical
Report, Standford Electron.
[9]. Lee, S., Cho, S., and Wong, P.M., 1998, “Rainfall
Prediction using Artificial Neural Network”,
Journal of Geographic Information and
Decission Analysis, 2, pp. 254 – 264.
[10]. Bruton, J.M., McClendon, R.W., Hoogenboom,
G., 2000, “Estimating Dayly Pan Evaporation
with Artificial Neural Network”, Trans ASAE,
43, pp 491 – 496.
[11]. Perez, P., and Reyes, J., 2001, “Prediction of
particulate Air Polluion using Neural
Techniques”, neural Computing and Application,
10, pp. 165 – 171.
[12]. Jagadesh, A., 2000, “Comparasion of ANN and
Other Empirical Approaches for Predicting
Watershed Runoff”, Journal of Water resources
Planning and Management, 126, pp, 156 – 166.
[13]. Hsieh, W.W., and Tang, T., 1998, “Applying
neural Network Models to Prediction and data
Analysis in Meteorological and Oceanography”,
Bulletin of The American Meteorological
Society, 79, pp. 1855 – 1869.
[14]. Chaloulakou A., Grivas G., and Spyrellis N.,
2003, “Neural Network and Multiple Regression
Models for PM10 Prediction in Athens: A
Comparative Assesment”, Journal of Air Waste
Management Association, 53 pp 183 – 190.
[15]. Jef, H., Clements, M., Gerwin, D., Frans, F., and
Oliver, B., 2005, “A Neural Network Forecast
for Daily Average PM10 Cincentration in
Belgium”, Atmospheric Environment, 39, pp.
3279 – 3289.
[16]. Bardossy, A., Duckstein, L. And Bogardi, L.,
1995, “Fuzzy Rule Based Classification of
Atmospheric Circulation Patterns”, International
Jouernal of Climatology, 15, 1087 – 1097.
[17]. Pesti, G., Shrestha, B.P., Duckstein, L., and
Bogardi, I., 1996, “A Fuzzy Rule Based
Approach to Drought Assestment”, Water
Resources Research, 32, pp. 1741 – 1747.
[18]. Fujibe, F., 1989, “Short Term Precipitation
Patterns in Central Honshu, Japan –
Classification with the Fuzzy C – Means
Method”, Journal of Meteorological Society of
Japan, 67, pp. 967 – 982.
[19]. Laksmanan, V., and Witt, A., 1997, “A Fuzzy
Logic Approach to detecting Severe Updrafts”,
A.L Applications, 11, pp. 1 – 12.
[20]. Hansen, B.K., 2003, “Fuzzy case based
Prediction of Cloud Ceiling and Visibility”,
http://www.bjarne.ca/ams2003/pdf.
[21]. Shao, J., 2000, “Fuzzy categorization of Weather
for Thermal Mapping”, Journal of Applied
meteorology, 39. Pp. 1784 – 1790.
[22]. Gomez, V., and Casanovas, A., 2002, “Fuzzy
Logic and Meteorological Variebles : a Case
Study of Solar Irradiance”, Fuzzy Sets and
Systems, 126, pp. 121 – 128.
[23]. Gautam, N.K., and Kaushika, N.D., 2002, “A
Model for The Estimation of Global Solar
Radiation Using Fuzzy Random Variables”,
Journal of Applied Meteorology, 41, pp 1267 –
1276.
[24]. Zhang, J., and Knoll, A., 2001, “Neuro Fuzzy
Modelling of Time Series”, In soft Computing
for Risk Evaluation and Management,
PhysicaVerlag, Heidelberg, NY., pp. 140 – 154.
[24]. Zhang, M., and Scofield, A.R., 1994, “Artificial
Neural Network Techniquest for Estimating
Rainfall and Recognizing Cloud Merger from
Satelite Data”, International Jornal of Remote
Sensing”, 16, pp. 3241 – 3262.
A-340
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
Download