psikologi kepribadian ii carl rogers : teori yang

advertisement
PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II
CARL ROGERS : TEORI YANG BERPUSAT PADA PRIBADI
Disusun oleh
Nama Anggota :
1. Wiwin Rizky O
(1511414123)
2. Bella Abdi Negara
(1511414131)
3. Silvana Wara Mustika
(1511414140)
4. Swasti Masayu Puji Savitri
(1511414153)
Rombel 4
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
ISI
A. Biografi
Carl rogers lahir lahir pada tangga 8 Januari 1902 di Oak , Illionis, sebuah daerah
pinggiran Chicago, sebagai anak keempat dari eman bersaudara. Ayahnya adalah
insinyur teknik sipil yang sukses sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga
pemeluk Kristen yang taat. Dia langsung masuk SD karena sudah bisa membaca sebelum
usia TK.
Saat Carl berusia 12 tahun, keluarganya pindah ke sebuah daerah pertanian 30 mil
sebuah timur Chicago, dan ditempat inilah dia menghabiskan masa remajanya. Dengan
pendidikan yang keras dan kegiatan yang padat, kepribadian Carl menjadi anak
terisolasi, independen dan sangat disiplin.
Dia masuk Universitas Wisconsin dan mengambil bidang pertanian. Kemudian dia
beralih mempelajari agama dan bercita-cita pendeta. Saat itu, dia juga terpilih sebagai
salah seorang dari 10 mahasiswa yang akan menghadiri “Konferensi Mahasiswa Kristen
Sedunia” di Beijing selama 6 bulan. Dia menceritakan bagaimana pengalaman bari ini
memperluas pemikirannya dan dia mulai meragukan beberapa pandangan yang menjadi
dasar agama.
Setelah lulus dia menikah dengan Hellen Elliot (bertentangan dengan keinginan
orangtuanya), yang kemudian pindah ke New York City dan mengajar di Union
Theological Seminary, sebuah intiusi keagamaan liberal yang cukup terkenal kala itu.
Suatu kali, dia menyarankan agar mahasiswa mengadakan diskusi kelas dengan tema
“Kenapa Saya Mau Jadi Pendeta?”. Carl mengatakan bahwa sebagian besar pendeta
kelas tersebut “menganggap alasan mereka sudah berdasarkan teks-teks keagamaan”.
Kehilangan keyakinan terhadap agama tentu saja merupakan persoalan psikologis.
Oleh karena itu, rogers pun kemudian masuk program psikolofi klinis di Columbia
University dan menerima gelah Ph. D tahun 1931. Dia mulai melakukan praktik di
Rocherster Society for the Privention of Cruelty to Children (Masyarakat Rochester
Mencegah Kekerasan Terhadap Anak-anak) di klinik ini, dia mempelajari teori Otto
Rank dan teknik-teknik terapi yang kemudian menjadi langkah awal bagi pengembangan
pendekatan-pendekatannya sendiri.
Dia menjabat professor penuh di Negara Bagian Ohio pada tahun 1940. Tahun 1942,
dia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychoterapy. Kemudian, tahun 1945, dia
diundang untuk mendirikan pusat konseling di University of Chicago. Saat bekerja di
sinilah bukunya yang sangat terkenal Client-Centered Therapy diluncurkan, yang
memuat garis besar teorinya. Tahun 1957, dia kembali mengajar di almamaternya.
University of Wisconsin. Sayangnya, saat itu terjadi konflik internal dalam fakultas
psikologi dan Rogers merasa sangat kecewa dengan system pendidikan tinggi yang dia
tangani. Tahun 1964, dengan senang hati dia menerima posisi sebagai peneliti di La
Jolla, California. Di sini dia memberikan terapi, ceramah-ceramah, dan menulis karyakarya ilmiah sampai ajal menjemputnya tahun 1987.
B. Teori Kepribadian
Rogers adalah salah satu dari banyak ahli yang mengembangkan teori humanistic
dan menentang teori-teori sebelumnya yaitu psikoanalisis dan behavioristik, orang-orang
humanis memandang kedua teori sebelumnya bersifat “dehumanizing” (melecehkan
nilai-nilai manusia). Teori humanistik dipandang sebagai “third force” (kekuatan ketiga)
dalam psikologi, kekuatan humanistik ini memiliki minat yang eksklusif terhadap
tingkah laku manusia. Humanistik dapat diartikan sebagai “Orientasi teoritis yang
menekankan kualitas manusia yang unik, khususnya terkait dengan free will (kemauan
bebas) dan potensi untuk mengembangkan dirinya”. Para ahli humanistik memiliki
pandangan yang optimis terhadap hakikat manusia. Mereka meyakini bahwa :
1. Manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri
2. Manusia memilki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah
lakunya, dalam hal ini manusia bukan pion yang diatur sepenuhnya oleh
lingkungan; dan
3. Manusia adalah makhluk rasional dan sadar, tidak dikuasai oleh ketidaksadaran,
kebutuhan irrasional, dan konflik
Fokus utama Rogers adalah proses psikoterapi dan teori kepribadiannya bersumber
dari teori terapi. Rogers secara berkesinambungan melakukan penelitian empiris untuk
mendukung teori perkembangannya maupun pendekatan terapinya. Teori Rogers yang
disebut dengan teori yang berpusat pada pribadi atau istilah yang lebih luas personcentered. Berkaitan dengan teori, teori psikoanalitis menekankan dorongan biologis,
bawah sadar, peredaan ketegangan, dan perkembangan karakter di usia awal. Sebaliknya,
pendekatan fenomenologis Rogers menekankan persepsi sadar, perasaan berkaitan
dengan interaksi sosial, motif aktualisasi diri, dan proses perubahan. Berkaitan dengan
metode riset, psikoanalis percaya bahwa wawancara klinis atau tes proyektif harus
digunakan untuk menghalangi tindakan mekanisme pertahanan diri. Sebaliknya, Rogers
percaya bahwa orang memiliki kapasitas untuk melaporkan karakteristik pengalaman
psikologis mereka dengan cara yang amat bermanfaat; dengan demikian riset dapat
menggunakan metode self-report (evaluasi diri) yang sederhana.
Asumsi Dasar
Rogers mengajukan dua asumsi umum, yaitu :
a) Kecenderungan Formatif
Feist (2013) yakin terdapat bahwa kecenderungan dari setiap hal, baik organik
maupun non-organik, untuk berevolusi dari bentuk yang sederhana menjadi
bentuk yang lebih kompleks.
b) Kecenderungan Aktualisasi
Asumsi yang saling berkaitan dan relevan adalah kecenderungan aktualisasi
atau kecenderungan setiap manusia (selain hewan lain dan tanaman) untuk
bergerak menuju keutuhan atau pemuasan dari potensi (Feist, 2013).
Aspek-Aspek Kepribadian
Perhatian utama Rogers adalah kepada perkembangan atau perubahan, maka tidak
menekankan kepada struktur kepribadian, walaupunbegitu dia mengajukan dua konstruk
pokok dalam teorinya, yaitu organisme dan self.
a) Organisme
Rogers memandang bahwa setiap makhluk hidup tahu apa yang terbaik
baginya. Evolusi telah melengkapi kita dengan pancaindra, selera dan
kemampuan untuk memilih apa yang kita butuhkan. Saat kita lapar, kita akan
mencari makanan-bukan sembarang makanan, tapi makanan yang rasanya enak.
Makanan yang rasanya tidak enak biasanya membawa penyakit. Sedangkan apa
yang enak da apa yang tidak enak telah ditunjukan dengan baik oleh proses
evolusi kita. Inilah yang disebut Rogers dengan proses penilaian organismik.
Organisme yaitu makhluk fisik (physical creature) dengan semua fungsifungsinya, baik fisik maupun psikis. Organisme ini juga merupakan locus
(tempat) semua pengalaman, dan pengalaman ini merupakan persepsi seseorang
tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam diri sendiri dan juga di dunia luar
(ekternal world). totalisan pengalaman, baik yang disadari maupun yang tidak
disadari membangun medan fenomenal (fenomenal field). Perilaku itu bukan
fungsi (pengaruh) dari realitas eksternal, atau stimulus lingkungan, tetapi
realitas subjektif atau medan fenomenal.
Di antara berbagai hal yang kita nilai berdasarkan insting adalah perhatian
positif. Yang dimaksud Rogers dengan istilah ini adalah perasaan-perasaan
seperti cinta, senang, atensi, kepedulian, dan lain sebagainya. Bayi, misalnya
tentu sangat memerlukan cinta dan perhatian, bahkan besar kemungkinan bayi
itu akan tewas kalau ini tidak ada. Mereka akan gagal tumbuh dan berkembang,
artinya menjadi apa yang seharusnya.
Hal lain yang kita kenali secara instingtif, dan ini hanya dimiliki manusia,
adalah perhatian positif terhadap positif terhadap diri sendiri, yaitu kehormatan,
rasa bangga, citraan yang baik pada diri sendiri, dan lain sebagainya. Kita
memperoleh perhatian positif terhadap diri sendiri ini dengan merasakan
perhatian positif yang diberikan orang lain kepada kita selama masa-masa
pertumbuhan. Tanpa adanya perhatian terhadap diri sendiri ini, kita akan merasa
kecil, tak daya dan tak berguna, dan sekali lagi kita akan gagal menjadi apa
yang seharusnya.
Masyarakat juga mengajarkan pada kita untuk selalu berada dalam syaratsyarat yang diperlukan. Dalam masa pertumbuhan, orangtua, guru, teman,
media, dan lain-lain hanya mau mengabulkan keinginan kita kalau kita mampu
menunjukan bahwa kita “baik dan patut”. Mereka memberikannya bukan karena
kita memang memerlukanya.
b) Diri (self)
Kunci konsep struktural dalam teori kepribadian Rogerian adalah diri (self).
Menurut Rogers, individu memahami objek dan pengalaman eksternal, dan
memberikan makna kepada mereka. Keseluruhan sistem persepsi dan makna
menciptakan medan fenomenal individual. Berbagai bagian dari medan
fenomenal yang dilihat oleh individu sebagai “self” (diri), “me” (saya-objek),
atau “I” (aku-subjek).
Diri atau konsep diri merepresentasikan pola persepsi yang terorganisasi
dan konsisten. Walaupun diri selalu berubah, akan tetapi diri selalu
mempertahankan kualitas yang telah terpola, terintegrasi, dan terorganisir ini.
Karena kualitas terorganisir terus bertahan dari waktu ke waktu dan menjadi
karakteristik seseorang, maka diri adalah struktur kepribadian (Pervin, Cervone,
John, 2010). Konsep diri meliputi seluruh aspek dalam keberadaan dan
pengalaman seseorang yang disadari (walaupun tidak selalu akurat) oleh
individu. Konsep diri tidak identik dengan diri organismik. Bagian-bagian dari
diri organismik berada di luar kesadaran seseorang atau tidak dimiliki oleh
orang tersebut (Feist, 2013).
Hubungan antara “self concept” dengan organism (actual experience)
terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu “congruence” atau “incongruence”.
kedua kemungkinan hubungan ini menentukan perkembangan kematangan
penyesuaia (adjustment), dan kesehatan mental (mental health) seseorang.
apabila antara “self concept” dengan organisme terjadi kecocokan maka
hubungan itu disebut kongruen, tetapi apabila terjadi diskrepansi (ketidak
cocokan) maka hubungan itu disebut inkogruen.
Diri ideal didefinisikan sebagai pandangan seseorang atas diri sebagaimana
yang diharapkannya. Diri ideal meliputi semua atribut, biasanya yang positif
yang ingin dimiliki oleh seseorang. Perbedaan yang besar antara diri ideal dan
konsep diri mengindikasikan inkongruensi dan merupakan kepribadian yang
tidak sehat. Individu yang sehat secara psikologis, melihat sedikit perbedaan
antara konsep dirinya dengan apa yang mereka inginkan secara ideal (Feist,
2013).
Dinamika Kepribadian
Rogers meyakini bahwa manusia dimotivasi oleh kecenderungan atau kebutuhan
untuk mengaktualisasikan, memelihara, dan meningkatkan dirinya. Kebutuhan ini
bersifat bawaan sebagai kebutuhan dasar jiwa manusia, yang meliputi kebutuhan fisik
dan psikis. Manusia juga memiliki kebutuhan lainnya yaitu “positive regard of other”
dan “self regard”.
Dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan fisik seperti makan dan minum, serta
mempertahankan organism dari serangan luar, maka motif aktualisasi diri memelihara
organism agar tetap survive. Disamping itu juga motif aktualisasi diri ini berfungsi untuk
mendorong perkembangan manusia melalui diferensial organ-organ fisik, perkembangan
fungsi-fungsi psikis, dan pertumbuhan seksual masa remaja.
Aktualisasi diri (self-actualization) merupakan bagian dari kecenderungan
aktualisasi sehingga tidak sama dengan kecenderungan itu sendiri. Kecenderungan
aktualisasi merujuk pada pengalaman organisme dari individu; sehingga hal tersebut
merujuk pada manusia secara keseluruhan-kesadaran dan ketidaksadaran, fisiologis, dan
kognitif. Sebaliknya, aktualisasi diri adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan
diri bagaimana yang dirasakan dalam kesadaran. Saat organisme dan diri yang dirasakan
selaras, kedua kecenderungan aktualisasi hampir identik; namun apabila pengalaman
organisme seseorang tidak selaras dengan pandangan mereka terhadap diri, perbedaan
akan terjadi antara kecenderungan aktualisasi dan kecenderungan aktualisasi diri (Feist,
2013).
Konsep aktualisasi mencakup kecenderungan organisme untuk tumbuh dari sebuah
entitas sederhana menjadi kompleks, bergerak dari kebergantungan kepada kemandirian,
dari kekakuan ke proses perubahan, dan kebebasan ekspresi.
Perkembangan Kepribadian
Rogers tidak mengemukakan tahapan (stages) dalam perkembangan kepribadian.
Dia lebih tertarik pada cara-cara orang lain (orangtua) menilai anak. jika seorang
orangtua tidak mencurahkan “positive regard” (penerimaan dan cinta kasih) bahkan
menampilkan sikap penolakan terhadap anak, maka kecanderungan kecenderungan
bawaan anak untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi terhambat. Anak mempersepsi
penolakan orangtua terhadap tingkah lakunya sebagai penolakan terhadap perkembangan
“self concept” nya yang baru. apabila hal itu sering terjadi, anak akan mogok untuk
berusaha mengaktualisasikan dirinya.
Secara ideal, anak mendapatkan kasih sayang dan penerimaan yang cukup pada
setiap saat dari orang lain (orang tua). Kondisi ini disebut “unconditional positive
regard”. Kondisi ini mengimplikasikan bahwa cinta kasih ibu kepada anak tidak
diberikan secara conditional, tetapi secara bebas dan penuh.
Mengingat pentingnya memperoleh kepuasan akan kebutuhan “positive regard” ,
khususnya pada masa anak, maka seseorang akan menjadi sensitive akan sikap dan
tingkah laku orang lain. Melalui penafsiran terhadap reaksi yang diterima dari oranglain,
seseorang mungkin mengubah atau memperhalus onsep dirinya. Hal ini menunjukan,
bahwa perkembangan konsep diri seseorang dipengaruhi juga oleh upayanya
mengininternalisasikan sikap-sikap oranglain.
Secara berangsur-angsur “positive regard” akan menjadi lebih mempribadi daripada
yang berasal dari orang lain. Kondisi ini olrh Rogers dinamakan “positive self regard”
Jika orang tua tidak mencurahkan “positive regards” (penerimaan, dan cinta kasih)
bahkan menampilkan sikap penolakan terhadap anak, maka kecenderungan bawaan anak
untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi terhambat. Secara Ideal ,anak mendapatkan
kasih sayang dan penerimaan yang cukup pada setiap saat dari orang lain (orang tua).
Kondisi ini disebut “unconditional Positive regard”. Kondisi ini mengimplikasikan
bahwa cinta kasih ibu kepada anak tidak diberikan secara kondisional, tetapi secara
bebas dan penuh. Perkembangan dari “positive regard” ke “positive self regard”
dipengaruhi oleh kondisi yang mengembangkan perasaan berharga (conditions of worth).
Menurut Rogers “fully functioning person” merupakan tujuan dari seseorang. Orang
yang telah mencapai “fully functioning person” ini memiliki karakteristik pribadi sebagai
berikut :
1.
Memiliki kesadaran akan semua pengalaman. Tidak ada pengalaman yang
ditolak, semuanya disaring melalui self.
2.
Mengalami kehidupan secara penuh dan pantas pada setiap saat.berpartisipasi
dalam kehidupan bukan sebagai pengamat.
3.
Memiliki rasa percaya kepada dirinya sendiri,seperti dalam mereaksi atau
merespon sesuatu. Dalam arti, dia memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan sendiri berdasarkan data pengalaman yang diperoleh.
4.
Memiliki perasaan bebas untuk memilih tanpa hambatan apapun.
5.
Menjalani kehidupan secara konstruktif dan adaptif terhadap perubahan yang
terjadi di lingkungan, serta berpikir kreatif
Kesadaran
Tanpa kesadaran konsep diri dan diri ideal tidak mungkin ada. Kesadaran sebagai
“representasi simbolik (walaupun tidak selalu dalam simbol verbal) dari sebagian
pengalaman kita”
Tingkat Kesadaran Rogers menemukan tiga tingkat kesadaran, yaitu :
1.
Beberapa kejadian dialami di bawah batas kesadaran dan biasanya diabaikan
atau disangkal.
2.
Membuat sebuah hipotesis bahwa beberapa pengalaman akan disimbolisasikan
secara akurat dan dimasukkan dengan bebas ke dalam struktur diri. Pengalaman
seperti itu biasanya tidak mengancam dan konsisten dengan konsep diri yang
sudah ada.
3.
Pengalaman yang diterima dalam bentuk yang terdistorsi. Saat pengalaman kita
tidak konsisten dengan pandangan kita terhadap diri, kita mengubah bentuk atau
mendistorsi pengalaman tersebut supaya dapat diasimilasikan ke dalam konsep
diri kita yang sudah ada.
Menjadi Seorang Manusia
Menurut Rogers proses yang diperlukan untuk menjadi seorang manusia yaitu
seseorang harus membuat kotak-positif ataupun negatif dengan orang lain. Kotak ini
adalah pengalaman minimum yang penting untuk menjadi seorang manusia. Saat
seseorang mengembangkan kebutuhan untuk dicintai, disukai, atau diterima oleh orang
lain, merupakan kebutuhan yang disebut sebagai penghargaan positif. Apabila kita
melihat bahwa orang lain, terutama yang merupakan significant others, peduli atau
menghargai kita, maka kebutuhan kita untuk mendapatkan penghargaan positif
setidaknya terpenuhi sebagian.
Penghargaan positif adalah persyaratan untuk mendapatkan penghargaan diri yang
positif, yang didefinisikan sebagai pengalaman menghargai diri sendiri. Sumber dari
penghargaan diri yang positif berada dalam penghargaan positif yang kita terima dari
orang lain, namun setelah hal tersebut terbentuk, ia akan menjadi otonom dan bertahan
dengan sendirinya (Feist, 2013).
Hambatan pada Kesehatan Psikologis
Tidak semua manusia dapat menjadi manusia secara psikologis. Malah kebanyakan
manusia
mengalami
penghargaan
bersyarat,inkongruensi,sikap
defensif
dan
disorganisasi.
a) Penghargaan Bersyarat (Conditions of worth)
“Penghargaan bersyarat timbul saat penghargaan positif dari significant
other memiliki persyarataan, saat individu tersebut merasa dihargai dalam
beberapa aspek dan tidak dihargai dalam aspek lainnya” (Rogers,1959).
Pengalaman bersyarat menjadi kriteria penerimaan atau penolakan terhadap
pengalaman kita. Dari awal masa kanak-kanak dan tahap perkembangan
selanjutnya, kita belajar untuk mengabaikan penilaian organismik kita, serta
melihat keluar dari kita untuk arahan dan panduan. Sampai pada tahapan ketika
kita memasukkan nilai-nilai dari orang lain ke dalam diri kita, yaitu menerima
penghargaan bersyarat tersebut, kita akan cenderung untuk menjadi tidak
kongruen atau tidak seimbang. Nilai-nilai dari orang lain hanya dapat
diasimilasikan dalam bentuk yang telah diubah atau akan berisiko menciptakan
ketidakseimbangan dan konflik dalam diri.
Persepsi kita terhadap pandangan orang lain tentang kita disebut evaluasi
eksternal. Evaluasi ini, positif atau negatif , tidak mendukung kesehatan
psikologis, tetapi malah akan menghambat kita untuk menjadi terbuka
sepenuhnya terhadap pengalaman-pengalaman kita.
b) Inkongruensi
Kita telah melihat bahwa organisasi dan diri (self) adalah dua intensitas
yang dapat kongruen satu sama lain ataupun tidak. Juga dapat diingat bahwa
aktualisasi merujuk kepada kecenderungan organisme untuk bergerak menuju
fulfillment,
ketika
aktualisasi
merupakan
dipersepsikan mencari fulfillment.
keinginan
untuk
diri
yang
Inkongruensi antara konsep diri dan
pengalaman organismik adalah sumber dari gangguan psikologis. Konsep diri
yang muncul meliputi persepsi yang tidak jlas dan tidak selaras dengan
pengalaman organismik kita,serta inkongruensi antara diri dan pengalaman
dapat berakibat pada perilaku yang terlihat tidak konsisten dan berbeda.
1.
Kerentanan
Rogers(1959) menyakini bahwa manusia menjadi rentan saat tidak
menyadari
perbedaan
antara
diri
organismik
mereka
dengan
pengalaman mereka yang signifikan
2.
Kecemasan dan ancaman
Kerentanan terjadi saat tidak memiliki kesadaran tentang inkongruensi
dalam diri kita, sementara kecemasan dan ancaman dirasakan saat kita
mendapatkan kesadaran atas inkongruensi tersebut. Rogers(1959)
mendefinisikan kecemasan sebagai “kondisi yang tidak menyenangkan
atau tekanan dari sumber yang tidak diketahui. Saat kita menyadari
inkongruensi atas pengalaman organismik dengan persepsi kita
terhadap diri, kecemasan kita mulai berubah menjadi ancaman yaitu
kesadaran bahwa kita tidak lagi utuh atau kongruen. Kecemasan dan
ancaman
dapat
merepresentasikan
langkah
menuju
kesehatan
psikologis karena memberikan tanda bahwa pengalaman organismik
kita tidak konsisten dengan konsep diri kita.
c) Sikap Desensif
Sikap desensif adalah perlindungan atas konsep diri dari kecemasan dan
ancaman, dengan penyangkalan atau distorsi dari pengalaman yang tidak
konsisten dengan konsep diri (Rogers,1959). Dua perlindungan yang utama
adalah
distorsi
dan
penyangkalan.
Dengan
distorsi,
kita
melakukan
kesalahpahaman dari sebuah pengalaman, agar sesuai dengan salah satu aspek
konsep diri kita. Dengan penyangkalan , kita menolak untuk menghayati
pengalaman dalam kesadaran atau setidaknya kita menahan beberapa aspek dari
pengalaman tersebut agar tidak mencapai simbolisasi.
d) Disorganisasi
Kebanyakan manusia melakukan perilaku defensif, namun terkadang
perlindungan tersebut gagal dan perilaku seseorang akan menjadi tidak
terorganisasi. Akan tetapi kenapa perlindungan tersebut gagal berfungsi? kita
harus merunut dari perilaku disorganisasi , yang mempunyai asal yang sama
dengan perilaku defensif normal, yaitu perbedaan antara pengalaman
organismik manusi dengan pandangan mereka terhadap diri.Penyangkalan dan
distorsi cukup untuk menjaga manusi normal dari menyadari perbedaan
tersebut, tetapi saat terjadi inkongruensi antara diri yang dirasakan dan
pengalaman organismik yang terlalu jelas atau terlalu mendadak untuk dapat
disangkal atau didistorsi , perilaku mereka mulai tidak terorganisasi.
Dalam kondisi disorganisasi, manusi kadang berperilaku secara konsisten
dengan pengalaman organismiknya dan kadang sesuai dengan konsep diri yang
hancur. Perilaku dapat menjadi tidak terorganisasi atau bahkan menjadi psikotik
saat pertahanan seseorang tidak bekerja dengan benar.
C. Psikoterapi
Carl Rogers terkenal dengan kontribusinya terhadap metode terapi. Terapi yang dia
praktikan memiliki dua nama yang sama-sama dia pakai. Awalnya dia menyebut
metodenya dengan non-direktif, sebab dia berpendapat seorang terapis tidak seharusnya
tidak mengarahkan kliennya, akan tetapi membebaskan klien mengarahkan sendiri ke
mana terapi akan berujung. Semakin banyak pengalaman yang dia peroleh selama terapi,
seorang terapis akan semkin menyadari bahwa dia masih tetap memiliki pengaruh pada
kliennya justru karena dia sama sekali tidak mengarahkannya. Kemudian Rogers
mengganti istilah ini dengan metode yang terpusat pada klien. Dia tetap menganggap
klienlah yang seharusnya menyatakan apa yang salah pada dirinya, berusaha
memperbaikinya sendiri, dan menentukan kesimpulan apa yang akan dihasilkan proses
terapi-terapi ini akan tetap “terpusat pada klien” meskipun dia menyadari betul pengaruh
terapis terhadap dirinya.
Salah satu ungkapan yang dipakai Rogers dalam menggambarkan bagaimana cara
kerja metode terapinya ini adalah “berusahalah mendorong dan mendukung, jangan
mencoba merekonstruksi”, dan dia juga mencontohkan dengan proses belajar
mengendarai sepeda. Satu-satunya teknik yang dikemukakan Rogers untuk menjalankan
metode tersebut adalah refleksi. Refleksi adalah pemantulan komunikasi perasaan.
Kalau klien berkata saya merasa tidak berguna, maka si terapi bisa memantulkan hal
ini kembali pada klien dengan berkata, kalau begitu hidup telah mengecewakanmu ?
Dengan cara ini, si terapis sesungguhnya menunjukan pada kliennya bahwa dia
mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan berusaha memahami perasaan si klien.
Syarat-syarat seorang terapis menurut Rogers :
1.
Kongruen-kejujuran dan ketulusan dengan klien
2.
Empati-kemampuan merasakan apa yang dirasakan klien.
3.
Respek-menerima klien apa adanya dan memberikan perhatian positif tak
bersyarat kepadanya.
Ciri-ciri Pendekatan Client-centered (person centered)
1.
Ditujukan kepada konseli yang sanggup memecahkan masalahnya agar tercapai
kepribadian yang terpadu
2.
Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan bukan segi intelektualnya
3.
Titik tolak konselor dan keadaan individu termasuk kondisi social. Psikologi
masa kini dan bukan pengalaman masa lalu.
4.
Proses konseling bertujuan untuk menyesuaikna antara ideal self dengan actual
self.
5.
Peranan yang aktif dalam konseling dipegang oleh konseli sedangkan konselor
adalah Pasif-Reflektif
Periode-periode Perkembangan Terapi Client-Centered
Periode 1 (1940-1950) ; Psikoterapi nondirectif. Pendekatan ini menekankan
penciptaan iklim permisif dan noninterventif. Penerimaan dan klasifikas1. i menjadi
teknik-teknik yang itama. melalui terapi nindirectif klien akan mencapai pemahaman atas
dirinyan sendiri dan atas kehidupannya.
Periode 2 (1950-1957); Psikoterapi reflektif. Terapis terutama merefleksikan
perasaan-perasaan klien dan menghindari ancaman dalam hubungan dengan kliennya.
melalui terapi reflektif, klien mampu mengembangkan keselarasan antara konsep diri dan
konsep diri idealnya.
Periode 3 (1957-1970); Tingkah laku yang luas dari terapis yang mengungkapkan
sikap-sikap dasarnya menandai pendekatan terapi eksperiensial ini. tetapi difokuskan
kepada apa yang sedang dialami oleh klien dan pada pengungkapan apa yang sedang
dialami oleh terapis. klien tumbuh pada suatu rangkaian keseluruhan (continuum) dengan
belajar menggunakan apa yang sedang dialami.
Teori Client-Centered
Dalam konseling individual , teori client centered merupakan psikoterapi
nondirective yaitu metode perawatan psikis dengan berdialog anara konselor dengan
konseli agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self dengan actual self.
1.
Tujuan Konseling
Tujuan konseling untuk membina kepribadian konseli secara integral, berdiri
sendiri dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.
Integral berarti struktur kepribadian tidak terpecah antara gambaran tentang diri
dengan kenyataan. tanggung jawab dan kemampuan dirinya. Dalam hal ini
diperlukan kemampuan dan keterampilan konselor, kesiapan konseli untuk
menerima bimbingan dan taraf intelegensi konseli yang memadai.
2.
Proses Konseling
Kepribadian berdiri sendiri berarti mampu menentukan sendiri atas dasar :
1) Konseling datang kepada konselor
2) Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab konseli,
konselor menyadarkan konseli.
3) Konselor memberanikan konseli agar mampu mengemukakan perasaannya,
konselor bersikap ramah, bersahabat dan menerima konseli.
4) Konselor menerima perasaan konseli dan memahaminya.
5) Konselor berusaha agar konseli dapat memahami dan menerima keadaan
dirinya.
6) Konseli menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil
(perencanaan).
7) Konseli merealisasikan pilihannya itu.
3.
Teknik Konseling
1) Acceptance : Konselor menerima konseli sebagaimana adanya dengan
segala masalahnya, menerima secara netral.
2) Congruance : Karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan
perbuatan dan konsisten.
3) Understanding : Konselor dapat secara akurat dan memahami secara empati
dunia konseli sebagaimana dilihat dari dalam diri konseling itu.
4) Non judge mental : Memberi penilaian terhadap konseli, akan tetapi
konselor selalu objektif.
DAFTAR PUSTAKA
Feist, J., & Feist, G.J. 2013. Teori Kepribadian. Jakarta : Salemba Humanika
Pervin, L.A., Cervone, Daniel., & John, O.P. 2010. Psikologi Kepribadian: Teori dan
Penelitian, Edisi Kesembilan. Jakarta : Kencana
Download