LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI SISTEM CERNA DAN NAFAS CROHN DISEASE Disusun oleh : Golongan 4, Kelompok II Noormatika Rachmawati (FA/07853) ( ) Putri Damai Lestari (FA/07863) ( ) Febriana Trisnaputri Rahajeng (FA/07875) ( ) Keo Veasna (FA/07910) ( ) Shirley Alexander (FA/08015) ( ) Tanggal praktikum : 23 Desember 2010 Dosen jaga : Dr. Agung Endro N. M.Si., Apt. Asisten jaga : Hgozie Perdana LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010 CROHN DISEASE TUJUAN PRAKTIKUM Agar mahasiswa dapat menetukan tata laksana terapi yang teapt untuk penyakit saluran pencernaan dan dapat menentukan informasi dan edukasi yang sesuai untuk pasien. DASAR TEORI Inflammatory Bowel Disease atau penyakit radang usus merupakan salah satu kelompok penyakit gangguan saluran cerna yang berupa inflamasi pada dinding usus. Inflammatory Bowel Disease adalah radang usus yang kronis, ditandai dengan remisi (waktu berkurangnya gejala penyakit) dan kekambuhan lebih dari beberapa tahun. Penyakit ini sering ditandai dengan diare yang kerap serta terdapat darah dan lender pada feses. Inflammatory Bowel Disease lebih sering dijumpai pada orang kulit putih. Angka kejadiannya adalah 15 000 – 30 000 kasus per tahun dengan prevalensi 20 000-40 000 penduduk, tetapi di Indonesia tidak sebesar itu. Angka kejadian antara pria dan wanita adalah seimbang. Puncak kejadian adalah antara usia 15-35 tahun, manakala puncak usia kedua adalah sekitar 50 – 80 tahun. Inflammatory Bowel Disease terbagi kepada 2 macam yaitu, Kolitis Ulceratif dan Penyakit Chron. Kolitis Ulceratif sering terjadi di usus besar (kolon) manakala Penyakit Chron lebih sering terjadi di usus halus. Kolitis Ulceratif adalah kondisi peradangan yang terspesifikasi pada rektum dan kolon. Kedalaman luka hanya terbatas pada mukosa hingga sub mukosa. Penyakit Chron pula adalah peradangan mukosa saluran cerna yang dapat terjadi pada semua bagian saluran cerna. Luka pada kondisi ini dapat sampai melintasi membrane, sehingga luka lebih dalam. Secara teoritis, penyakit Inflammatory Bowel Disease terkait dengan fakor infeksi dan imunologis. Berikut disertakan tabel untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab Inflammatory Bowel Disease Definisi Chron’s Disease Penyakit Crohn (Enteritis Regionalis, Ileitis Granulomatosa, Ileokolitis) adalah peradangan menahun pada dinding usus. Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus. Pada beberapa dekade yang lalu, penyakit Crohn lebih sering ditemukan di negara barat dan negara berkembang. Terjadi pada pria dan wanita, lebih sering pada bangsa Yahudi, dan cenderung terjadi pada keluarga yang juga memiliki riwayat kolitis ulserativa. Kebanyakan kasus muncul sebelum umur 30 tahun, paling sering dimulai antara usia 14-24 tahun. Penyakit ini mempengaruhi daerah tertentu dari usus, kadang terdapat daerah normal diantara daerah yang terkena. Pada sekitar 35 % dari penderita penyakit Crohn, hanya ileum yang terkena. Pada sekitar 20%, hanya usus besar yang terkena. Dan pada sekitar 45 %, ileum maupun usus besar terkena. Penyebab Penyebab pasti penyakit Crohn masih belum diketahui. Terdapat beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohn’s disease, yang paling mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial. Faktor Infeksi Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan penyebab potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles. Infeksi lain yang diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease adalah Chlamydia, Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus. Faktor Imunologis Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s disease mencakup sitokin-sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada Crohn’s disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit dan bukan merupakan penyebab penyakit. Faktor Genetik Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis Crohn’s disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan Crohn’s disease. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penyakit Crohn mungkin memiliki link genetik. Penyakit ini berjalan dalam keluarga dan mereka yang memiliki saudara dengan penyakit tersebut adalah 30 kali lebih mungkin untuk mengembangkannya daripada populasi normal. Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohn’s disease (20%) mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama. Pada berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohn’s disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-DR1 dan DQw5. Latar belakang etnis juga merupakan faktor risiko. Faktor-faktor lingkungan Diet ini diyakini terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi di bagian dunia industri. Merokok telah terbukti dapat meningkatkan risiko kembalinya penyakit aktif, atau "flare". Pengenalan kontrasepsi hormonal di Amerika Serikat pada tahun 1960 terkait dengan peningkatan dramatis dalam angka kejadian penyakit Crohn. Meskipun hubungan kausal belum efektif ditampilkan, masih ada kekhawatiran bahwa obat-obatan ini bekerja pada sistem pencernaan dengan cara yang mirip dengan merokok. Faktor-faktor Lain Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor proteksi terhadap timbulnya Crohn’s disease. Merokok dan penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohn’s disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan. Patologi Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran folikelfolikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus. Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum. Gejala Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah diare menahun, nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan atau rasa penuh pada perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan. Komplikasi yang sering terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus, saluran penghubung yang abnormal (fistula) dan kantong berisi nanah (abses). Fistula bisa menghubungkan dua bagian usus yang berbeda. Fistula juga bisa menghubungkan usus dengan kandung kemih atau usus dengan permukaan kulit, terutama kulit di sekitar anus. Adanya lobang pada usus halus (perforasi usus halus) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika mengenai usus besar, sering terjadi perdarahan rektum. Setelah beberapa tahun, resiko menderita kanker usus besar meningkat. Sekitar sepertiga penderita penyakit Crohn memiliki masalah di sekitar anus, terutama fistula dan lecet (fissura) pada lapisan selaput lendir anus. Penyalit Crohn dihubungkan dengan kelainan tertentu pada bagian tubuh lainnya, seperti batu empedu, kelainan penyerapan zat gizi dan penumpukan amiloid (amiloidosis). Bila penyakit Crohn menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita juga bisa mengalami : - peradangan sendi (artritis) - peradangan bagian putih mata (episkleritis) - luka terbuka di mulut (stomatitis aftosa) - nodul kulit yang meradang pada tangan dan kaki (eritema nodosum) dan - luka biru-merah di kulit yang bernanah (pioderma gangrenosum). Jika penyakit Crohn tidak menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita masih bisa mengalami : - peradangan pada tulang belakang (spondilitis ankilosa) - peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis) - peradangan di dalam mata (uveitis) dan - peradangan pada saluran empedu (kolangitis sklerosis primer). Pada anak-anak, gejala-gejala saluran pencernaan seperti sakit perut dan diare sering bukan merupakan gejala utama dan bisa tidak muncul sama sekali. Gejala utamanya mungkin berupa peradangan sendi, demam, anemia atau pertumbuhan yang lambat. Pola umum dari penyakit Crohn Gejala-gejala penyakit Crohn pada setiap penderitanya berbeda, tetapi ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu : 1. Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan 2. Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan nyeri hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-muntah 3. Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan kurang gizi dan kelemahan menahun 4. Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah (abses), yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri dan penurunan berat badan. Diagnosis Anamnesis Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen . Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan LED. Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat penyempitan lumen usus. Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini . Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika terdapat masalah dengan penggunaan kontras. Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna dalam diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis penyakit. Penatalaksanaan Pengobatan ditujukan untuk membantu mengurangi peradangan dan meringankan gejalanya. Kram dan diare bisa diatasi dengan obat-obat antikolinergik, difenoksilat, loperamide, opium yang dilarutkan dalam alkohol dan codein. Obat-obat ini diberikan per- oral (melalui mulut) dan sebaiknya diminum sebelum makan. Untuk membantu mencegah iritasi anus, diberikan metilselulosa atau preparat psillium, yang akan melunakkan tinja.Sering diberikan antibiotik berspektrum luas. Antibiotik metronidazole bisa membantu mengurangi gejala penyakit Crohn, terutama jika mengenai usus besar atau menyebabkan terjadinya abses dan fistula sekitar anus. Penggunaan metronidazole jangka panjang dapat merusak saraf, menyebabkan perasaan tertusuk jarum pada lengan dan tungkai. Efek samping ini biasanya menghilang ketika obatnya dihentikan, tapi penyakit Crohn sering kambuh kembali setelah obat ini dihentikan. Sulfasalazine dan obat lainnya dapat menekan peradangan ringan, terutama pada usus besar. Tetapi obat-obat ini kurang efektif pada penyakit Crohn yang kambuh secara tiba-tiba dan berat. Kortikosteroid (misalnya prednisone), bisa menurunkan demam dan mengurangi diare, menyembuhkan sakit perut dan memperbaiki nafsu makan dan menimbulkan perasaan enak. Tetapi penggunaan kortikosteroid jangka panjang memiliki efek samping yang serius. Biasanya dosis tinggi dipakai untuk menyembuhkan peradangan berat dan gejalanya, kemudian dosisnya diturunkan dan obatnya dihentikan sesegera mungkin. Obat-obatan seperti azatioprin dan mercaptopurine, yang merubah kerja dari sistim kekebalan tubuh, efektif untuk penyakit Crohn yang tidak memberikan respon terhadap obatobatan lain dan terutama digunakan untuk mempertahankan waktu remisi (bebas gejala) yang panjang. Obat ini mengubah keadaan penderita secara keseluruhan, menurunkan kebutuhan akan kortikosteroid dan sering menyembuhkan fistula.Tetapi obat ini sering tidak memberikan keuntungan selama 3-6 bulan dan bisa menyebabkan efek samping yang serius. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan terjadinya alergi, peradangan pankreas (pankreatitis) dan penurunan jumlah sel darah putih. Formula diet yang ketat, dimana masing-masing komponen gizinya diukur dengan tepat, bisa memperbaiki penyumbatan usus atau fistula, minimal untuk waktu yang singkat dan juga dapat membantu pertumbuhan anak-anak. Diet ini bisa dicoba sebelum pembedahan atau bersamaan dengan pembedahan. Kadang-kadang zat makanan diberikan melalui infus, untuk mengkompensasi penyerapan yang buruk, yang sering terjadi pada penyakit Crohn. Bila usus tersumbat atau bila abses atau fistula tidak menyembuh, mungkin dibutuhkan pembedahan. Pembedahan untuk mengangkat bagian usus yang terkena dapat meringankan gejala namun tidak menyembuhkan penyakitnya. Peradangan cenderung kambuh di daerah sambungan usus yang tertinggal. Pada hampir 50% kasus, diperlukan pembedahan kedua. Karena itu, pembedahan dilakukan hanya bila timbul komplikasi atau terjadi kegagalan terapi dengan obat. Komplikasi Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral, ulkus, eritema nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis; osteonekrosis sebagai akibat terapi steroid kronis; pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan ileus yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat dari penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine atau 6-mercaptopurine; pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah; dan manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi tromboembolik, penyakit hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer. Abses Abses terbentuk pada sekitar 15 – 20% pasien dengan Crohn’s disease sebagai akibat dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi ekstraperitoneal. Lokasi tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas. Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu penyebab utama kematian pada Crohn’s disease. Obstruksi Obstruksi terjadi pada 20 – 30% pasien dengan Crohn’s disease. Pada awal perjalanan penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada saat setelah makan, yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi yang menetap ini akan secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur lumen akibat fibrostenotik. Fistula Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohn’s disease pada colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini terjadi pada pasien dengan Crohn’s disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif sebelum dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit. Fistula dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1 – 2% pasien. Keganasan Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada Crohn’s disease. Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi penyakit kronis. Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan Crohn’s disease tidak terdeteksi hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran cerna, keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit kronis di daerah perianal, vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease Prognosis Beberapa penderita sembuh total setelah suatu serangan yang mengenai usus halus. Tetapi penyakit Crohn biasanya muncul lagi dengan selang waktu tidak teratur sepanjang hidup penderita. Kekambuhan ini bisa bersifat ringan atau berat, bisa sebentar atau lama. Mengapa gejalanya datang dan pergi dan apa yang memicu episode baru atau yang menentukan keganasannya tidak diketahui. Peradangan cenderung berulang pada daerah usus yang sama, namun bisa menyebar pada daerah lain setelah daerah yang pernah terkena diangkat melalui pembedahan. Penyakit Crohn biasanya tidak berakibat fatal. Tetapi beberapa penderita meninggal karena kanker saluran pencernaan yang timbul pada penyakit Crohn yang menahun. DESKRIPSI KASUS KD, seorang perempuan, berumur 34 tahun, yang bekerja sebagai penyanyi datang ke RS dengan keluhan diare dengan berak darah dan merasa lemah, demam disertai dengan nyeri perut. Pasien mengalami buang air besar kadang bisa lebih dari 6 kali dalam sehari. Sejak 7 tahun yang lalu KD mulai merokok dan sudah menjadi perokok berat. Gejala ini mulai dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Dia pernah menderita hal serupa sejak 1 tahun terakhir yang belum pernah diobati, karena merasa masih kuat menahan. Pemeriksaan endoskopi : luka pada saluran cerna (usus) cenderung dalam. Diagnosa : Chron’s Disease. Pemeriksaan fisik : TB 160 cm BMI 19.14 kg, Suhu : 38.5°C Normal : 37⁰C Nadi : 96 x Normal : 60-100x RR : 29 x Normal : 20-30x TD : 125/80 mmHg Normal : 120/80 mmHg Data Laboratorium: Hb : 10 g/dL normal : 12-15 g/dL (rendah) Eritrosit : 7,1. 10 12 /L normal : 4- 6,2 1012 /L (tinggi) Ferritin : 7 mcg /L normal: 10-150 mcg/L (rendah) Serum Iron : 37 µmol/L normal: 5,4–31,3 µmol/L (tinggi) Leukosit : 10.000/ul normal: 5000-10000/ul (normal) Serum albumin : 2.4 g/dL normal : 3,2 – 5 g/dL (rendah) Na : 131 mEq/L normal: 136-145 mEq/L (normal) K : 4,2 mEq/L normal: 3,7-5,6 mEq/L (normal) Cl : 95 mEq/L normal: 95-105 mEq/L (normal) Glukosa : 101 mEq/L normal: 70-110 mg/dl (normal) Urea : 15 mg/dL normal: 5-20 mg/dl (normal) Kreatinin : 0,9 mg/dL normal: 0,5-1,5 mg/dl (normal) Hasil biopsi dan endoskopi/kolonoskopi : menunjukkan adanya luka agak dalam ileum disisi kanan. PEMILIHAN OBAT RASIONAL 1. Kortikosteroid a. Prednisone Mekanisme aksi : menurunkan peradangan dengan menghambat migrasi leuksiit polymorfonuclear dan pembalkan permeabilitas kapiler. Kontraindikasi : Hipersensitivitas; hidup vaksin; herpes simpleks keratitis, infeksi sistemik Efek Samping : Sindrom Cushing ,osteoporosis, patah tulang b. Budesonide Mekanisme Aksi : Budesonide mengontrol laju sintesis protein, menekan migrasi leukosit PMN, fibroblas, membalikkan permeabilitas kapiler dan stabilisasi lisosomal pada tingkat sel untuk mencegah atau mengendalikan peradangan. Kontraindikasi : Hipersensitivitas Efek Samping : Kehilangan kolagen kulit dan atrofi SC; hipopigmentasi lokal sangat pigmentasi kulit, kekeringan, iritasi, epistaksis c. Hidrocotisone Mekanisme Aksi : Hidrokortison adalah kortikosteroid digunakan untuk efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Its tindakan anti-inflamasi adalah karena penekanan migrasi leukosit polymorphonuclear dan pembalikan permeabilitas kapiler meningkat. Kontraindikasi : infeksi jamur, TBC atau sifilis lesi Efek Samping : lemah otot, osteoporosis. Gangguan GI dan perdarahan. Peningkatan nafsu makan dan penyembuhan luka tertunda. 2. Anti Inflamasi a. Sulfasalazin Mekanisme Aksi respon :berefek lokal di daerah colon dengan menurunkan inflamasi dan gangguan sekresi sistemik dengan cara menghambat sintesis prostaglandin Kontraindikasi : hipersensitif terhadap sufasalazin, obat golongan sulfa, salisilat, atau komponen dalam formulasinya, obstruksi GI, kehamilan Efek samping : sakit kepala, diare, nausea, nyeri didaerah epigastrik dan syndroma stephen-johnson. b. Mesalamin Mekanisme aksi :mengatur mediator inflamasi terutama leukotrien, terhadap respon inflamasi, dan menghambat kerja dari TNF (tumor necrosis factor) Kontraindikasi :hipersensitif terhadap mesalamin, salisilat, atau komponen dalam formulasinya Efek samping :sakit kepala, nyeri abdominal, faringitis 3.Terapi Diarhea Oralit Mekanisme Aksi Kontraindikasi : : pengganti elektrolit yang keluar dari tubuh Efek samping : - 3. Terapi Antipiretik a. Parasetamol Mekanisme aksi : merangsang pusat pengatur kalor di hipotalamus - vasodilatasi perifer KI : hipersensitivitas terhadap paracetamol, penyakit hati ES : hepatoksik , mual, muntah b. Ibuprofen Mekanisme aksi : hambatan sintesis prostaglandin, mengeblok COX-2 KI : hipersensitivitas terhadap ibuprofen, gangguan lambung ES : mual, muntah, diare 4. Suplemen Asam Folat Mekanisme Aksi :merupakan koenzim yang penting untuk pembentukan DNA dan RNA serta dalam pembelahan sel Kontraindikasi :hipersensitifitas terhadap asam folat Efek samping :- EVALUASI OBAT TERPILIH 1. Anti Inflamasi Mesalamin Salofalk® [enteric-coated tab] Dosis : 3 g/hari Frekuensi : 3 kali sehari, 1 jam sebelum makan Durasi : Sampai terjadi perbaikan (7 hari) Interaksi Obat : Analisis Biaya : Salofalk 500 mg x 3 x 7 (131.000) Alasan Pemilihan: merupakan first line terapi pada kasus crohn disease. Prednisone Pednicort Dosis : 12 mg / hari Frekuensi : 3 kali sehari Durasi : 7 hari Interaksi obat : AINS Beaya : 4 mg x 3 x 7 (31.500) Alasan : karena levelnya moderate jadi ditambah terapi menggunakan steroid. 2. Terapi Diare Garam oralit ORALIT® dari KIMIA FARMA Komposisi :Glukose anhydrous 4gm, NaCl 0,7gm, Na Bicarbonate 0.5gm, CaCl2 0.3gm Dosis :larutkan satu bungkus ke dalam 200ml atau 1 liter air Frekuensi : Setiap kali selepas diare Durasi : Analisis Biaya :10 x 200ml (Rp2.650,-) Alasan Pemilihan: Karena pasien mengalami diare, sehingga tubuh kekurangan elektrolit. Untuk mengatasi hal ini, perlu adanya penggantian elektrolit yang hilang. 3. Terapi Antipiretik Parasetamol 500mg Panadol Dosis : 2 tab (500mg) Frekuensi : 3x/ sehari (jika perlu) Durasi : sampai demam turun Interaksi Obat : Analisis Biaya : Tab 500 mg x 3 x 5 hari Alasan Pemilihan : Parasetamol (2850) diindikasikan sebagai antipiretik untuk menghilangkan gejala demam tinggi yang dialami pasien. Efikasinya setara dengan Ibuprofen. Parasetamol tidak mengiritasi lambung, sehingga nyaman digunakan. 4. Suplemen . Asam folat Folavit ®(Sanbe Farma) Dosis : 400 mcg Frekuensi : 1x sehari Durasi : selama pemberian Mesalamin Interaksi Obat : Analisis biaya : 10x10 tab 400 mcg = Rp.51.250 Alasan pemilihan : Mesalamin akan menurunkan absorpsi asam folat, maka perlu adanya supleman asam folat agar tidak terjadi defisiensi PEMBAHASAN Penyakit Crohn sering terjadi tanpa penyebab yang jelas (idiopatik). Pada kasus Pasien ini seorang perokok berat. Dapat dimungkinkan crohn disease yang dialami pasien berasal dari paparan rokok ini. Nikotin dalam rokok akan menstimulasi reseptor Asetilkolin nikotinik yang nantinya akan meningkatkan aktivitas saraf otonom di saluran pencernaan. Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan diare dengan berak darah dan merasa lemah, demam disertai dengan nyeri perut. Pasien mengalami buang air besar kadang bisa lebih dari 6 kali dalam sehari. Selain itu, dari hasil pemeriksaan endoskopi didapatkan luka pada saluran cerna (ileum) yang cenderung dalam. Hal ini yang menjadi dasar diagnosa crohn disease pada pasien. Tatalaksana terapi pada kasus ini yaitu diberikan terapi non farmakologi terlebih dahulu untuk mengembalikan kondisi tubuh pasien Terapi non farmakologi yang dapat diberikan kepada pasien berupa pemberian nutrisi. Nutrisi berupa suplemen elektrolit diberikan kepada pasien yang mengalami diare hingga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tujuanannya adalah untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam batas normal agar tidak memperparah kondisi pasien. Sedangkan terapi farmakologi yang diberikan bersifat mengontrol penyakit, tetapi tidak bersifat kuratif. Obat-obat yang biasa diberikan adalah dari golongan aminosalisilat, kortikosteroid dan imunosupresif. Obat lini pertama untuk merawat penyakit Chron ringan hingga sedang adalah Sulfasalazine oral atau Mesalamine. Pada pasien dipilihkan mesalamine tunggal karena tidak terdapat infeksi, sehingga tidak perlu diberikan sulfasalazine yang mengandung antibiotic sulfapiridin. Selain itu, karena mesalamine menurunkan absorbsi asam folat yang penting dalam proses metabolism tubuh. Maka perlu diberi tambahan suplemen asam folat untuk menggantikan deficit asam folat di dalam tubuh. MONITORING DAN FOLLOW UP 1. Monitor untuk perbaikan gejala pada pasien seperti pengurangan diare, sakit perut, demam dan detak jantung. 2. Monitoring efek samping obat. 3. Melakukan endoskopi setiap setahun sekali. 4. Monitoring serum albumin, transferrin, dan marker inflamasi, darah lengkap. 5. Monitor Quality of life measurement CDAI (Crohn’s disease activity index) Clinical or laboratory variable Weighting factor Number of liquid or soft stools each day for seven days x2 Abdominal pain (graded from 0-3 on severity) each day for seven days x5 General well being, subjectively assessed from 0 (well) to 4 (terrible) each x7 day for seven days Presence of complications* x 20 Taking Lomitil or opiates for diarrhea x 30 Presence of an abdominal mass (0 as none, 2 as questionable, 5 as definite) x 10 Absolute deviation of Hematocrit from 47% in men and 42% in women x6 Percentage deviation from standard weight x1 Jika nilainya < 150 berarti kondisi semakin membaik Jika nilainya > 450 berarti kondisi semakin parah KONSELING, INFORMASI DAN EDUKASI 1. Ajarkan panduan pemberian oralit Satu bungkus oralit dapat digunakan untuk membuat 200 ml (1 gelas) larutan oralit. 2. Beritahukan agar Obat disimpan dalam tempat yang kering dan sejuk atau pada suhu ruangan. 3. Pastikan pasien meminum obat secara teratur, informasikan kepada keluarga pasien agar selalu mengingatkan pasien untuk minum obat secara teratur. 4. Air dapat dikonsumsi untuk mengganti kehilangan cairan tubuh. Akan tetapi, penggunaan air soda sebaiknya jangan diberikan karena dapat memperparah kembung dan buang angin pada penderita Pemberian buah-buahan sebaiknya buah-buahan yang sedikit serat dan rendah fruktosa seperti air kelapa 5. Sebaiknya menghindari minuman yang mengandung kafein dan minuman beralkohol dan makanan yang dapat menghasilkan alkohol seperti durian dan nangka. KESIMPULAN 1. Pasien didiagnosa mengalami crohn disease karena paparan rokok kronis. 2. Obat yang digunakan untuk inflamasi dari crohn disease adalah mesalamine 3. Obat yang digunakan untuk terapi suportif adalah oralit dan asam folat. 4. Asam folat diindikasikan untuk menambah kekurangan asam folat tubuh. 5. Monitoring yang perlu dilakukan mencakup perbaikan gejala dan efek samping obat serta Quality of life measurement CDAI (Crohn’s disease activity index) JAWABAN PERTANYAAN 1. Sugeng Purwanto Apakah chron disease bisa sembuh sendiri? Tidak bisa, karena dalam chron disease peradangan bisa melintasi membran, sedangkan pada ulceratic colitis bisa sembuh sendiri karena peradangan hanya terjadi pada mukosa yang bisa berdeferensiasi untuk memperbaiki diri. 2. Fauzia Adakah Klasifikasi dari chron disease? Sachar (1990) dan Dietz et al (2001) membagi Crohn’s disease menjadi 3 kelompok berdasarkan gejala klinis: a. Tipe indolent/fibrostenotik: rekurensi terjadi perlahan, terjadi obstruksi usus. b. Tipe agresif: rekurensi terjadi cepat, perforasi usus, fistula. Pasca operasi cenderung terjadi perforasi kembali. Rekurensi terjadi lebih cepat dibanding tipe indolent c. Tipe inflamasi: tidak ada komplikasi yang memerlukan tindakan bedah, gejala klinis yang menonjol adalah gejala malabsorpsi Dibandingkan dengan tipe agresif, tipe indolent lebih sering dijumpai. Ini mungkin berkaitan dengan lokasi tersering pada Crohn’s disease adalah ileokolika (30-45%) (Shapiro, 2004; Hodin,2001), sehingga gejala nyeri perut kanan bawah atau proses terbentuknya masa di regio iliaka kanan yang sebenarnya merupakan gejala Crohn’s disease ditafsirkan sebagai gejala apendisitis akut. 3. Syahri Apriyanto Mengapa menghindari makan beralkohol, atau makanan yang bisa menimbulkan alkohol? Contohnya? Karena alkohol bersifat iritatif yang dapat mengiritasi mukosa pada usus. Contohnya alkohol, nangka, durian, tape, brem. 4. Azatul Shima Apakah penyebab chron disease pada pasien? Rokok, karena nikotin pada rokok akan menstimulasi reseptor 5. Dentalina Sebutkan contoh air yang rendah fruktosa? Air kelapa 6. Fitria Nur hidayah Bagaimana mesalamin dapat menurunkan asam folat? 7. Lathifa Bidaran Prednison mengapa hanya digunakan selama 7 hari? Dalam 7 hari ini akan dimonitoring, perbaikan dari gejala dan keadaan chron disease. 8. Suhaine Apakah beda dari mesalamin dan sulfasalazin? Sulfasalzin ini merupakan molekul gabungan yang diuraikan oleh bakteri menjadi sulfapiridin dan mesalamin dalam usus. Kalau mesalamin, bukan merupakan molrkul gabungan jadi mesalamin hanya terdiri dari mesalamin saja. 9. Him Ahmath Bagaimana cara pencegahan diare? Tidak memakan makanan yang terlalu ekstrim, terlalu masam, terlalu pedas, terlalu manis. Menghindari makanan yang sudah basi dan atau mengandung bakteri. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan. 10. Chek sulma Pada kasus ini termasuk klasifikasi chron disease tipe apa? Tipe inflamasi http://drseno.blogspot.com/2009/05/crohn-diseases-dan-hbo-terapi.html DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007, MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 7, Info Master, Jakarta. Anonim, 2008, Informasi Spesialite Obat Indonesia Volume 43, Penerbit Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta. Dipiro, Joseph T., et al, 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Seventh Edition, Mc Graw-Hill, New York. Katzung, B., 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik, diterjemahkan oleh Prof. Dr. Hazwar, Edisi II, 158-180, EGC, Jakarta Lacy, Charles F., et al (Ed.), 2008, Drug Information Handbook 17th Edition, Lexi-Comp, Hudson. Muchid, Abdul, dkk, 2005, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Sukandar, dkk, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta. Tjay, Tau Hoan, Kirana Rahardja, 2002, Obat-Obat Penting: Khasiat. Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Edisi V, Elex Media Computindo, Jakarta. Wells, Barbara G., et al, 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. New York: Mc Graw-Hill. Yogyakarta, 26 Desember 2010 Dosen Jaga Dr. Agung E.N., M.Si., Apt. Praktikan (Ketua Kelompok) Keo Veasna