BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Indeks Glikemik (IG) Pangan mempunyai peran ganda dalam kesehatan. Pola makan yang benar dapat meningkatkan derajat kesehatan individu, bahkan dikatakan bahwa di dalam bahan pangan terkandung zat yang berkasiat obat. Sebaliknya, pola makan yang tidak tepat dapat menurunkan derajat kesehatan manusia, bahkan cenderung menimbulkan berbagai macam penyakit. Masyarakat dunia saat ini memberi perhatian khusus terhadap berkembangnya penyakit degeneratif, seperti kanker, jantung koroner, DM dan lain-lain. Diabetes Melitus merupakan penyakit degeneratif yang prevalensinya meningkat dengan pesat. Pada hari diabetes bulan November 2006 dilaporkan penderita DM di Indonesia telah mencapai 14 juta jiwa. Penyakit ini tidak dapat sembuh total dan berhubungan erat dengan gaya hidup masyarakat modern, namun, penderita DM tetap dapat hidup nyaman apabila dapat mengatur pola makan dan memilih jenis pangan yang tepat (Widowati, 2009). Konsep IG dikembangkan untuk memberikan klasifikasi numerik dari makanan sumber karbohidrat yang diasumsikan bahwa data tersebut akan berguna dalam situasi dimana toleransi glukosa terganggu. Konsep IG adalah perpanjangan dari hipotesis serat bahwa makanan yang mengandung serat akan lebih lambat diserap oleh usus, sehingga makanan tersebut memiliki manfaat metabolik dalam kaitannya dengan DM dan pengurangan resiko penyakit jantung koroner (Jenkins et al., 2002). Menurut FAO (1998), IG didefinisikan sebagai luas area di bawah kurva respon glukosa darah dari 50g karbohidrat dari makanan uji yang dinyatakan sebagai persen terhadap 50g karbohidrat dari makanan standar yang diambil dari subjek yang sama. Pada awalnya, pangan karbohidrat yang digunakan sebagai pangan standar untuk mengukur IG adalah glukosa murni dengan IG sebesar 100, tetapi saat ini pangan standar yang sering digunakan adalah roti putih (Jenkins dkk., 2002). Menurut Cummings dan Stephen (2007) dalam Simila (2012), Indeks glikemik (IG) adalah klasifikasi fisiologis makanan yang mengandung karbohidrat yang didasarkan pada sejauh mana makanan tersebut meningkatkan konsentrasi glukosa darah setelah makan (postprandial) dibandingkan dengan karbohidrat acuan dengan jumlah yang setara. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat, kandungan IG-nya rendah. Konsep IG disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet (Rimbawan dan Siagian, 2004). Menurut Ludwig (2000), makanan dengan IG rendah akan lebih lama menunda rasa lapar dibandingkan dengan makanan dengan IG tinggi. Hal ini dapat disimpulkan IG dapat membantu orang yang sedang menjalani program penurunan berat badan dengan memilih makanan yang IG-nya rendah. Indeks glikemik membantu penderita diabetes dalam menentukan jenis pangan karbohidrat yang dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Dengan mengetahui IG pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Konsep IG juga membantu atlet dalam memilih makanan untuk menunjang penampilan dan daya tahan tubuhnya. Makanan dengan IG rendah akan dicerna dengan lambat dan akan menyimpan glikogen otot secara perlahan, sehingga glukosa ekstra pakan tersedia sampai akhir pertandingan. Dengan cara ini, pangan ber-IG rendah akan meningkatkan daya tahan olahragawan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Secara tradisional karbohidrat telah dikategorikan berdasarkan struktur utama yang ada di dalamnya menjadi karbohidrat sederhana yaitu karbohidrat yang mengandung sebagian besar mono atau disakarida dan karbohidrat kompleks yang mengandung polisakarida atau pati, karena kategorisasi ini telah terjadi salah asumsi dimana diasumsikan bahwa semua karbohidrat sederhana akan memiliki respon glukosa yang cepat dalam tubuh manusia, dengan demikian tidak cocok untuk penderita diabetes dan orang dengan gangguan insulin, sementara karbohidrat kompleks yang diyakini memiliki respon glukosa yang lebih kecil dalam darah (Gibson, 2010). Efek metabolisme berhubungan dengan tingkat penyerapan glukosa di usus kecil. Tingkat penurunan penyerapan glukosa setelah mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat yang ber-IG rendah akan mengurangi kenaikkan konsentrasi glukosa darah setelah makan (postprandial) pada hormon di usus misalnya, inkretin (sejenis hormon yang disekresi saluran usus ketika makanan masuk, berfungsi mengatur dan mengontrol glukosa darah) dan insulin. Hormon inkretin terdiri dari GLP-1 (glucagon-like peptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotropic polypeptide). Hormon inkretin ini berfungsi untuk mengatur kontrol glukosa darah dan memperbaiki fungsi keseimbangan antara glukagon dan insulin dengan cara glucose-dependent manner (Suryono et al, 2008). Penyerapan karbohidrat secara berkepanjangan akan mempertahankan penekanan asam lemak bebas (FFA) dan respon counterregulatory, sehingga pada saat yang sama konsentrasi glukosa darah rendah, begitu sebaliknya (Jenkinset al., 2002). B. 1. Makronutrient Karbohidrat Secara umum definisi karbohidrat adalah senyawa organik yang mengandung atom Karbon, Hidrogen dan Oksigen, dan pada umumnya unsur Hidrogen clan oksigen dalam komposisi menghasilkan H2O. Di dalam tubuh karbohidrat dapat dibentuk dari beberapa asam amino dan sebagian dari gliserol lemak. Akan tetapi sebagian besar karbohidrat diperoleh dari bahan makanan yang dikonsumsi seharihari, terutama sumber bahan makan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Sumber karbohidrat nabati dalam glikogen bentuk glikogen, hanya dijumpai pada otot dan hati dan karbohidrat dalam bentuk laktosa hanya dijumpai di dalam susu. Pada tumbuh-tumbuhan, karbohidrat di bentuk dari basil reaksi CO2 dan H2O melalui proses fotosintesis di dalam sel-sel tumbuh-tumbuhan yang mengandung hijau daun (klorofil), yang terdapat pada reaksi fotosintesis berikut 6 CO2+6 H2O sinar matahari C6 H12 O6 + 6 O2, pada proses fotosintesis klorofil pada tumbuh-tumbuhan akan menyerap dan menggunakan enersi matahari untuk membentuk karbohidrat dengan bahan utama CO2 dari udara dan air (H2O) yang berasal dari tanah. Enersi kimia yang terbentuk akan disimpan di dalam daun, batang, umbi, buah dan biji-bijian (Hutagalung, 2004). Fungsi primer dari karbohidrat adalah sebagai cadangan energi jangka pendek (gula merupakan sumber energi). Fungsi sekunder dari karbohidrat adalah sebagai cadangan energi jangka menengah (pati untuk tumbuhan dan glikogen untuk hewan dan manusia). Fungsi lainnya adalah sebagai komponen struktural sel, sebagian karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah sebagai glukosa untuk keperluan energi segera, sebagian disimpan sebagai glikogen dalam hati dan jaringan otot dan sebagian diubah menjadi lemak untuk kemudian disimpan sebagai cadangan energi di dalam jaringan lemak (Debby, 2012). 2. Protein Protein adalah senyawa organik yang berbobot molekul tinggi berkisar beberapa ribu sampai jutaan. Protein tersusun dari atom C, H, O dan N serta unsur lain seperti P dan S yang membentuk unit-unit asam amino. Protein terdapat pada semua sel hidup, kira-kira 50% dari berat keringnya dan berfungsi sebagai pembangun struktur, biokatalis, hormon, sumber energi, penyangga racun, pengatur pH, dan sebagai pembawa sifat turunan dari generasi ke generasi. Fungsi protein antara lain yaitu untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh, protein juga sebagai bahan pembentuk senyawa kimia seperti enzim yang berperan penting dalam mengatur berbagai proses yang terjadi di dalam tubuh, protein dapat menjadi sumber energi, pengatur keseimbangan kadar asam basa dalam sel, protein berfungsi sebagai media perambatan impuls syaraf. Protein yang mempunyai fungsi ini biasanya berbentuk reseptor, misalnya rodopsin, suatu protein yang bertindak sebagai reseptor penerima warna atau cahaya pada sel-sel mata (Witarto, 2001). Protein terdiri dari beberapa asam amino, yang mana sebagian dapat diproduksi oleh tubuh dan sebagian lagi tidak. Asam amino yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh atau disebut dengan asam amino essensial dapat diperoleh dari makanan. Dibandingkan dengan protein dari tumbuhan, protein hewani seperti daging, ikan, susu, keju, dan telur mengandung semua 9 asam amino essensial yang diperlukan tubuh. Susu dan telur termasuk pula sumber protein hewani berkualitas tinggi. Ikan, kerang-kerangan dan jenis udang merupakan kelompok sumber protein yang baik, karena mengandung sedikit lemak (Djaeni, 2000). 3. Lemak Lemak merupakan bahan padat pada suhu ruang, disebabkan kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang tidak memiliki ikatan rangkap, sehingga mempunyai titik lebur yang lebih tinggi (Winarno, 1992). Fungsi lemak antara lain sumber energi, bahan baku hormon, membantu transport vitamin yang larut lemak, sebagai bahan insulin terhadap perubahan suhu, serta pelindung organ-organ tubuh bagian dalam. Kolesterol adalah satu turunan lemak. Bila kadar kolesterol dalam tubuh cukup, maka zat ini sangat berguna bagi tubuh untuk menjalankan fungsi beberapa organ tubuh seperti empedu, hormon, prekursor vitamin D dan menggerakan fungsi beberapa organ lainnya. Kolesterol sendiri dapat dibuat oleh tubuh manusia, zat ini juga terdapat dalam beberapa bahan makanan. Kolesterol berlebihan akan mengakibatkan penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah, yang dapat menyebabkan penyakit jantung (Debby, 2012). 4. Air Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O dimana satu molekul air memiliki dua atom hidrogen kovalen terikat pada atom oksigen tunggal. Fungsi air antara lain pertama untuk menjaga kelembaban organ di dalam tubuh, menjaga agar darah dan getah bening dalam tubuh mempunyai volume dan kekentalan yang cukup. Apabila tubuh kekurangan cairan, maka cairan dalam darah dan getah bening akan diserap sehingga darah dan getah bening menjadi kental. Akibatnya aliran darah kurang lancar, dimana yang paling berbahaya bila aliran darah ke otak tersendat akibat kurang minum air putih, sel-sel otak akan cepat mati dan memicu timbulnya stroke. Air juga dapat memperlancar sistem pencernaan. Air juga dapat membantu meningkatkan energi otot (Debby, 2012). C. Kadar Glukosa Darah Glukosa merupakan sumber energi utama bagi sel manusia. Glukosa terbentuk dari karbohidrat yang dikonsumsi melalui makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan otot (Marks et al, 2000). Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yaitu humoral factor seperti hormon insulin, glukagon dan kortisol sebagai sistem reseptor di otot dan sel hati. Faktor eksogen antara lain jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi serta aktivitas yang dilakukan (Dewi, 2008). Kadar glukosa darah adalah jumlah kandungan glukosa dalam plasma darah (Dorland, 2010). Kadar glukosa darah digunakan untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk penentuan diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat menggunakan pemeriksaan gula darah kapiler dengan glukometer (PERKENI, 2011). Di dalam tubuh, kadar glukosa darah dikendalikan oleh insulin. Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak dan asam amino dalam darah serta mendorong penyimpanan nutrient-nutrient tersebut (Sherwood, 2007). Proses metabolisme di dalam tubuh setelah memakan makanan yang mengandung karbohidrat, kadar glukosa darah akan meningkat, sebagian glukosa di dalam makanan disimpan dalam hati sebagai glikogen. Setelah 2 atau 3 jam berpuasa, glikogen ini mulai diuraikan sebagai proses glikogenolisis dan glukosa yang terbentuk kemudian dibebaskan ke dalam darah. Setelah puasa selama satu malam, kadar glukosa darah dipertahankan baik oleh glikogenolisis maupun glukoneogenesis. Namun, setelah sekitar 30 jam berpuasa, simpanan glikogen di dalam hati habis, sehingga glukoneogenesis menjadi sumber satu-satunya sumber glukosa darah (Sherwood, 2007). Perubahan metabolisme glukosa yang berlangsung selama perpindahan dari keadaan kenyang ke keadaan puasa diatur oleh hormon insulin dan glukagon. Setelah makan makanan tinggi karbohidrat, kadar glukosa darah meningkat dari kadar puasa sekitar 80-100 mg/dL (5 mM) menjadi sekitar 120-140 mg/dL (8mM) dalam periode 30 menit sampai 1 jam. Kadar glukosa dalam darah kemudian menurun kembali ke rentang puasa dalam waktu sekitar 2 jam setelah makan (Sherwood, 2007). Menurut PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) tahun 2006, seseorang dikatakan menderita Diabetes Melitus (DM) jika memiliki kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Menurut sidik (2014), perbandingan kurva toleransi glukosa darah pada orang normal dan penderita diabetes melitus dapat dilihat pada Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Gambar 1. Gambar 1. Kurva toleransi kadar glukosa darah pada or diabetes (G 2007). Waktu (Jam) D. Tanaman Kimpul (Xanthosoma sp.) Gambar 1. Kurva toleransi glukosa pada orang normal dan penderita diabetes Melitus (Sidik, 2014). D. Tanaman Kimpul (Xanthosoma sp.) Xanthosoma sagittifolium Schott. terkenal dengan nama toiba atau cocoyam adalah umbi daerah tropis yang masuk dalam famili Araceae. Tanaman ini berasal dari Amerika dan biasa tumbuh menghasilkan makanan pokok di banyak daerah di Afrika, Amerika, Asia, Pasifik dan Asia (Jackix et al., 2013), sedangkan di Indonesia sendiri, umbi ini lebih dikenal dengan nama kimpul juga disebut sebagai talas belitung. Menurut Marinih (2005), saat ini kimpul telah dibudidayakan di daerahdaerah di Indonesia di antaranya Sumatera, Kalimantan , Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Jawa. Di Indonesia kimpul memiliki nama yang berbeda-beda yaitu taleus hideung, kimpul bodas, kimpul bejo (Sunda), bentul, kimpul linjik (Jawa), tales campa (Madura), mbote (Jawa Timur). 1. Xanthosoma sagittifolium Schott. Menurut Rodriguez dkk., (2009) Kimpul atau giant taro (talas raksasa) adalah anggota famili Araceae, yang memiliki seratus genus dan lebih dari seratus lima puluh spesies. Tumbuhan ini memiliki habitat di daerah tropis atau subtropis dengan lingkungan yang basah dan teduh. Beberapa spesies Araceae yang dapat dikonsumsi di kelompokkan menjadi dua suku dan lima genus, yaitu Lasioideae (Cytospermae dan Amorphopallus) dan Colocasiodeae (Alocasia, Calocasia, dan Xanthosoma). Klasifikasi Xanthosoma sagittifolium menurut Rodriguez dkk., (2009) adalah: Tipe : Fanerogame Sub-tipe : Angiospermae Divisi : Magnolyopita Kelas : Liliopsida (Monokotil) Ordo : Arales Famili : Araceae Genus : Xanthosoma Spesies : Xanthosoma sagittifolium Gambar 2. Morfologi Tanaman Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) (Muchtadi dan Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004). a. Habitus Tanaman Kimpul Metamorfosis batang tanaman ini membentuk umbi. Akar dari tanaman kimpul berbentuk serabut, putih. Daun memiliki bangun berbentuk bangun perisai (peltatus), yaitu mempunyai tangkai daun yang tidak tertanam pada pangkal daun, melainkan pada bagian tengah helaian daun. Ujung daunnya meruncing (acuminatus). Pangkal daun terjadi pada sisi yang sama terhadap batang sesuai letak daun pada batang. Susunan tulang daunnya menjari dan menyirip. Tepi daunnya bergelombang (repandus). Daging daunnya seperti kertas (papyraceus). Warna daunnya hijau muda. Permukaan daunnya licin (leavis) dan permukaan daun kelihatan berselaput lilin pada sisi bawah daunnya. Pangkal daun berbentuk pelepah. Tangkai daun hijau, bergarisgaris tua atau keungu-unguan, dengan panjang 23-150 cm. Daun tanaman kimpul merupakan jenis daun tunggal dan bergaris tengah 15-30 cm. Bentuk umbi talas belitung silinder sampai agak bulat, terdapat internode atau ruas dengan beberapa bakal tunas. Jumlah umbi anakkan dapat mencapai 10 buah atau lebih. Panjang umbi sekitar 12-25 cm dan diameter 12-15 cm. Umbi yang dihasilkan biasanya mempunyai berat 300-1000 gram. Irisan melintang pada umbi memperlihatkan bahwa strukturnya terdiri dari kulit, korteks, pembuluh floem, dan xylem. Kulit umbi mempunyai ketebalan sekitar 0,1 cm. Pada pembuluh floem dan xylem terdapat butir-butir pati (Muchtadi dan Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004). b. Organ Generatif Tanaman Kimpul Bunga tanaman kimpul berbunga majemuk, berbentuk bongkol dan berumah 1 dengan tangkai silindris yang panjangnya 28-40 cm. Benang sarinya mengumpul membentuk gada, bermahkota satu dengan helaian berwarna putih. Pada tanaman kimpul tidak ditemukan adanya biji maupun buah. Umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium Schott) merupakan suku Aracea, kimpul tergolong tumbuhan berbunga ‘angiospermae’ dan berkeping satu ‘monocotylae’ (Lingga, 1995). c. Kandungan Nutrisi Tanaman Kimpul Xanthosoma sagittifolium Schott. Kimpul memiliki potensi untuk dikonsumsi sebagai sumber energi karena kualitas karbohidratnya yang sangat baik di dalamnya (Onwueme, 1978) yang terletak pada akar dan umbinya (Olayiwola, 2013). Kandungan nutrisi yang dimiliki oleh tanaman kimpul (Xanthosoma sagittifolium) lebih tinggi daripada kandungan di dalam tanaman talas (Calocasia esculentum) dalam hal energi, lemak dan protein (Onwueme, 1999). Selain itu umbi ini juga mengandung lebih banyak kalsium, magnesium, zink dan inhibitor tripsin daripada Calocasia esculentum. Biasanya kalsium yang terkandung dalam umbi ini ada dalam bentuk kalsium oksalat (Bradbury and Holloway, 1988), selain itu umbi ini juga mengandung sulfur dan asam amino dalam jumlah yang terbatas (Olayiwola, 2013). Umbi kimpul yang masih segar mengandung 20-30% pati dan 1-4% protein. Menurut Olayiwola (2013), protein yang terkandung dalam umbi kimpul hampir semuanya terletak di dalam akar. Tanaman kimpul (Xanthosoma sagittifolium) merupakan makanan pokok alternatif di berbagai daerah Indonesia, baik dengan cara dikonsumsi langsung dengan cara dikukus, dipanggang, atau direbus dan tidak langsung dengan dibuat olahan tertentu. Tanaman kimpul termasuk salah satu komoditas sebagai sumber karbohidrat yang sampai sekarang masih belum mendapat perhatian baik dalam pembudidayaan atau dalam proses pengolahan. Kandungan karbohidrat dalam kimpul berkisar antara 70-80% (Kusumo dkk., 2002). Dalam penelitian ini, digunakan umbi kimpul Belitung, nama lain Xanthosoma sagittifolium Schoot, merupakan umbi kimpul yang umum dan sering dikonsumsi oleh masyarakat karena rasa yang lebih enak dan sering di tanam oleh masyarakat ini memiliki ukuran yang cukup besar, dibandingkan umbi kimpul jenis yang lain, selain mengandung nutrisi yang diperlukan tubuh, kimpul juga mengandung senyawa pembatas yang dapat merugikan kesehatan yaitu kristal kalsium oksalat yang menyebabkan rasa gatal. Kalsium oksalat dari talas ini dapat dihilangkan dengan perebusan atau pengukusan. Saponin, memiliki rasa pahit, menyebabkan pemecahan butir darah (hemolisis), dapat dihilangkan dengan perendaman atau perebusan (Marinih, 2005). A. 1. Diabetes Melitus (DM) Definisi Diabetes di turunkan dari bahasa Yunani yaitu diabêtês yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan dimana terjadi produksi urin yang melimpah pada penderita (Lawrence, 1994). Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang melibatkan hormon endokrin pankreas, antara lain insulin dan glukagon. Manifestasi utamanya mencakup gangguan metabolisme lipid, karbohidrat dan protein yang merangsang kondisi hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia tersebut akan berkembang menjadi diabetes melitus dengan berbagai macam bentuk manifestasi komplikasi (Unger dan Foster, 1992). Diabetes melitus menurut Beenen (1996) adalah suatu sindrom yang mempunyai ciri kondisi hiperglikemik kronis, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yang terkait dengan defisiensi sekresi dan atau aksi insulin secara absolut atau relatif di dalam tubuh, sedangkan Kahn (1995) memberikan definisi DM sebagai sindrom kompleks yang terkait dengan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dengan ciri-ciri terjadinya hiperglikemik dan gangguan metabolisme glukosa, serta di dalamnya juga terkait secara patologis dengan komplikasi mikrovaskuler yang spesifik, penyakit mikrovaskuler sekunder pada perkembangan aterosklerosis, dan beberapa komplikasi yang lain meliputi neuropati, komplikasi pada kehamilan, dan memperparah kondisi infeksi. 2. Patofisiologi Diabetes melitus dibagi menjadi 2 kategori utama berdasarkan sekresi insulin endogen untuk mencegah munculnya ketoasidosis, yaitu Diabetes melitus tergantung insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe I, dan Diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM = non-insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe II (Rowland dan Bellush, 1989; Kahn, 1995). Diabetes mellitus (DM) tipe I diperantarai oleh degenerasi sel β Langerhans pankreas akibat infeksi virus, pemberian senyawa toksin, diabetogenik atau secara genetik (wolfram sindrome) yang mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau berhenti sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan penurunan pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan adiposa. Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan membutuhkan waktu yang bertahun-tahun, namun penyakit ini sebenarnya sudah mulai menyerang ketika masih anak-anak dan awal remaja sehingga biasanya baru diketahui waktu dewasanya. Gejala yang sering mengiringi DM I yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Peningkatan volume urin terjadi disebabkan oleh diuresis osmotik (akibat peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemik) dan benda-benda keton dalam urin. Lebih lanjut, diuresis osmotik tersebut akan mengakibatkan kondisi dehidrasi, kelaparan dan shock. Gejala haus dan lapar merupakan akibat dari kehilangan cairan dan ketidakmampuan tubuh menggunakan nutrisi (Lawrence, 1994; Karam et al., 1996). Pada kondisi DM tipe II, insulin masih cukup untuk mencegah terjadinya benda-benda keton sehingga jarang dijumpai ketosis. Namun demikian, koma hiperosmolar non-ketotik dapat terjadi. DM tipe II tersebut cenderung terjadi pada individu usia lanjut dan biasanya didahului oleh keadaan sakit atau stres yang membutuhkan kadar insulin tinggi. Pada DM tipe II, kehadiran insulin tidak cukup untuk mencegah glukosuria. Seiring dengan itu, terjadi kehilangan cairan dan elektrolit tubuh yang diikuti dengan dehidrasi berat. Lebih lanjut, terjadi penurunan ekskresi glukosa dan pada akhirnya menghasilkan peningkatan osmolaritas serum (hiperosmolaritas) dan glukosa darah (hiperglikemik) (Unger dan Foster, 1992; Lawrence, 1994; Kahn, 1995). Secara patofisiologi, DM tipe II disebabkan karena dua hal yaitu penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa, sebagian besar DM tipe II diawali dengan kegemukan karena kelebihan makan, sebagai kompensasi, sel β pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. 3. Faktor Resiko DM Tingginya prevalensi DM, yang sebagian besar adalah tergolong dalam DM tipe-2 disebabkan oleh interaksi antara faktor-fakor kerentanan genetis dan paparan terhadap lingkungan. Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat meningkatkan faktor risiko DM tipe II adalah perubahan gaya hidup seseorang, di antaranya adalah kebiasaan makan yang tidak seimbang akan menyebabkan obesitas. Selain pola makan yang tidak seimbang, kurangnya aktivitas fisik juga merupakan faktor risiko dalam memicu terjadinya DM (Tjekyan, 2007) dan Awad dkk., 2013). Resistensi insulin terkait obesitas adalah risiko utama untuk DM. Kaitan antara obesitas dan resistensi insulin sepertinya adalah sebab-akibat karena studi pada manusia dan hewan mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan berat badan berkorelasi erat dengan sensitivitas insulin. Resistensi insulin terkait obesitas adalah kelainan yang kompleks yang melibatkan berbagai jalur mekanisme. Pada penderita obesitas akan berkembang resistensi terhadap aksi seluler insulin yang ditandai oleh berkurangnya kemampuan insulin untuk menghambat pengeluaran glukosa dari hati dan kemampuannya untuk mendukung pengambilan glukosa pada jaringan lemak dan otot (Dewi, 2007). Kelompok umur yang paling banyak menderita DM pada manusia adalah kelompok umur 45-52 tahun. Peningkatan risiko diabetes seiring dengan umur, khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin. Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin (Trisnawati, 2013). 4. Diagnosis DM Menurut pedoman American Diabetes Association (ADA) (2011) dan konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2011) untuk pencegahan dan pengelolaan DM tipe 2, kriteria diagnostik DM dapat ditegakkan bila, glukosa plasma sewaktu lebih dari 200 mg/dl bila terdapat keluhan klasik DM penyerta, seperti banyak kencing (poliuria), banyak minum (polidipsia), banyak makan (polifagia) dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, glukosa plasma puasa lebih dari 126 mg/dl dengan gejala klasik penyerta, glukosa 2 jam pasca pembebanan lebih dari 200 mg/dl (Depkes, 2013). Di pihak lain, seseorang dengan kadar glukosa darah di atas normal, tetapi belum memenuhi kriteria diabetes dianggap mengalami keadaan pra-diabetes yang berisiko berkembang menjadi DM tipe II. Keadaan pradiabetes tersebut meliputi glukosa darah puasa (GDP) dan toleransi glukosa terganggu (TGT). Menurut ADA (2011), kriteria GDP terganggu adalah bila kadar glukosa darah puasa seseorang berada dalam rentang 100-125 mg/dl, sedangkan kriteria TGT ditegakkan bila hasil glukosa darah 2 jam pasca pembebanan berada dalam kisaran 140-199 mg/dl. Kadar gula darah puasa dikumpulkan setelah responden menjalani puasa makan dan minum selama 12-14 jam sebelum pemeriksaan darah, sedangkan nilai TGT diambil dari hasil glukosa darah 2 jam pasca pembebanan 75 gram glukosa anhidrat (Depkes, 2013). Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi DM maupun TGT meningkat seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg% per tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg% pertahun pada 2 jam setelah makan (Kurniawan, 2010). 5. Penanganan DM Telah disepakati bahwa DM tidak dapat disembuhkan, tetapi kadar gula darah dapat dikendalikan. Penderita DM sebaiknya melaksanakan 4 pilar pengelolaan DM yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronis, diperlukan pengendalian DM yang baik yang mempunyai sasaran dengan kriteria nilai baik, di antaranya gula darah puasa 80-100 mg/dL, gula darah 2 jam sesudah makan 80-144 mg/dL, Hemoglobin A1C kurang dari 6,5%, kolesterol total kurang dari 200 mg/dL, trigliserida kurang dari 150 mg/dL, Indeks Masa Tubuh (IMT) 18,5 sampai 22,9 kg/m2 dan tekanan darah kurang dari 130/80mmHg (Mihardja, (2009) dan Utomo dkk. (2012). 6. Manifestasi Klinis DM Gejala klasik DM adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama pada malam hari, dan sering merasa lapar (polifagi). DM juga dapat tidak bergejala (asimtomatis). Tanda dan gejala DM yang lain adalah berat badan yang turun dengan cepat, keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin) dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan >4 kg. (Depkes, 2013; Kurniawan, 2010). 7. Pencegahan DM Tingkat pengetahuan yang rendah akan dapat mempengaruhi pola makan yang salah sehingga menyebabkan obesitas yang akhirnya mengakibatkan kenaikan kadar glukosa darah. Salah satu upaya pencegahan DM adalah dengan perbaikan pola makan melalui pemilihan makanan yang tepat. Semakin rendah penyerapan karbohidrat, semakin rendah kadar glukosa darah. Kandungan serat yang tinggi dalam makanan akan mempunyai IG yang rendah sehingga dapat memperpanjang pengosongan lambung yang dapat menurunkan sekresi insulin dan kadar kolesterol total dalam tubuh (Witasari dkk., 2009). B. Kerangka Pemikiran Indonesia mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah, salah satunya yaitu kekayaan sumber daya makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan salah satunya yaitu umbi-umbian, dari berbagai macam umbi-umbian sangat banyak ragamnya. Salah satu umbi-umbian yang berpotensi untuk mencegah penyakit DM sebagai bahan pangan adalah tanaman kimpul (Xanthosoma sagittifolium Schott) karena menurut Winarno (2004) kimpul memiliki sumber karbohidrat dengan indeks glikemik rendah diperlukan sebagai upaya pengendalian penyakit degeneratif seperti DM. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang berapa nilai indeks glikemik dan analisis proksimat umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium Schott) kukus yang berpotensi sebagai antidiabetes melitus tipe II, untuk dikembangkan sebagai bahan pangan pokok pengganti beras. Peningkatan penderita Diabetes Melitus di Indonesia Sumber pangan pokok dengan indeks glikemik rendah untuk menurunkan kadar gula darah Pemanfaatan umbi – umbian sebagai alternatif bahan pangan pokok pengganti beras Umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium Schott) kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi dan indeks glikemiknya rendah (Winarno, 2004). Indeks Glikemik dan Analisis Proksimat Umbi Kimpul (Xanthosoma Sagittifolium (L.) Schott) Sebagai Antidiabetes Melitus Tipe II Pengamatan Indeks glikemik umbi kimpul kukus Analisis proksimat umbi kimpul kukus Gambar 3. Bagan alir kerangka pemikiran C. Hipotesis Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Umbi kimpul kukus mempunyai nilai Indeks glikemik rendah 2. Umbi kimpul kukus memiliki kadar karbohidrat dan serat tinggi 3. Kadar glukosa darah tikus putih relatif rendah setelah mengkonsumsi umbi kimpul kukus