sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XIX, Nomor 4 : 23 - 33 ISSN 0216-1877 STATUS KEBERHASILAN PEMBENIHAN IKAN KERAPU SUNU DI INDONESIA DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA Oleh Mayunar *) ABSTRACT SUCCESFULL STATUS HATCHERY OF SPOTTED CORAL TROUT IN INDONESIA AND PROSPECT OF DEVELOPMENT. The spotted coral trout, Plectropomus maculatus (Bloch) is commercially one of the most important fish species and highly esteemed as food fish in Singapore, Taiwan, Hongkong, Jepang, and Indonesia. In Indonesia, this species commonly known as "kerapu sunu" or "kerapu lodi:, is widely distributed in the Pacific, Africa, Indian and Southeast Asia. Furthermore, since this species seems suitable for culture, the development of hatchery techniques is essential to produce large supplies of fries, either fo culture to marketable size or for stocking. However, the supply of juveniles for stocking depends exclusively on fingerlings captured off-shore during the natural breeding season. Hatchery study of this species has been started since 1991 in Bojonegara Reseach Station for Coastal Aquaculture, and natural spawning in captivity succesfull in 1992. The paper describes the maturation of broodstock, natural spawning, fertilization and emryonic development, larval rearing and prospect of development. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan usaha budidaya ikan laut dalam keramba jaring apung, keramba tancap dan di tambak, secara langsung kebutuhan akan benih juga meningkat. Kebutuhan benih untuk usaha pembesaran masih dipasok dari alam, namun ketersediannya tidak setiap waktu karena sangat dipengaruhi oleh musim dan tingginya mortalitas pada masa larva. Berdasarkan hal tersebut, sejak tahun 1987 Subbalai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara Serang sudah mulai merintis pembenihan beberapa jenis ikan laut diantaranya; beronang, kakap putih, kakap merah dan ikan kerapu. Diantara jenis diatas, kerapu merupakan jenis ikan yang banyak diminati pasar domestik dan internasional. Diantara berbagai jenis kerapu yang terdapat di Indonesia, kerapu sunu (Plectropomus maculatus) merupakan salah satu jenis yang potensial untuk dibudidayakan karena bertumbuh cukup cepat, toleran dalam ruang terbatas dan *) Sub Balai Penelitian Perikanan budidaya Pantai Bojonegara - Serang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id memiliki harga cukup tinggi. Daging kerapu memiliki rasa yang enak, kandungan EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Decosahexaenoic Acid) cukup tinggi sehingga jenis ini banyak diminati pasar internasional seperti Singapura, Hongkong,. Taiwan dan Jepang serta pasar dalam negeri (Jakarta, Tanjung Pinang, Batam). Laju peningkatan peroduksi kerapu hasil tangkapan di alam relatif lambat karena sediaannya terbatas serta teknik dan alat penangkapan yang kurang memadai. Pada tahun 1987, produksi ikan kerapu di perairan Indonesia tercatat 15.364 ton dan pada tahun 1991 sebesar 16.197 ton atau laju pertumbuhan rata-rata 1,08 % per tahun (ANONYMOUS 1993). Sedangkan ekspor ikan kerapu meningkat dari 57 ton pada tahun 1988 menjadi 87 ton pada tahun 1991 (ANONYMOUS 1993). Sentra produksi utama ikan kerapu di Indonesia adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku. Budidaya ikan kerapu di Indonesia pertama kali dirintis oleh nelayan kepulauan Riau pada tahun 1978 dengan sistem keramba tancap (pen-cage culture) dengan sasaran pasar Singapura. Selain di kepulauan Riau, budidaya ikan kerapu juga berkembang di pulau Bangka, kep. Seribu, karimunjawa, Kalimantan timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku. Namun perkembangan lanjut dari usaha budidaya kerapu akan terhambat akibat pasok benih yang tidak mencukupi. Sampai saat ini, benih dari alam masih merupakan pasok utama namun keberadaannya sangat terbatas, bersifat musiman, ukuran tidak seragam dan sulit ditangkap. Menyadari hal tersebut dan untuk kesinambungan usaha budidaya kerapu, Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 Subbalai Penelitian Perikanan budidaya Pantai Bojonegara (Sub balitkandita) sejak tahun 1992 telah melakukan serangkaian penelitian tentang pembenihan ikan kerapu sunu di laboratorium yang meliputi pematangan dan pemijahan induk, perkembangan embrio serta pemeliharaan larva. Keberhasilan pembenihan ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) di Sub balitkandita bojonegara - Serang merupakan keberhasilan pertama di Indonesia atau keberhasilan ke-3 setelah kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) dan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus (AHMAD & MUCHARI, 1992). PEMATANGAN GONAD DAN PEMIJAHAN Pemijahan ikan kerapu dapat secara alami (natural spawning), pemijahan (stripping/artifical fertilization) dan pijah rangsang (induced spawning). Metode pijah rangsang dapat menggunakan hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin), HCG plus Puberogen dan LHRHA (Lutenizing Hormone Releasing Hormone Analoque). Hormon tersebut disuntikan secara intramuskular dibawah sirip dorsal atau secara chest cavity dibawah sirip dada. Menurut SHAPIRO (1987), kerapu merupakan salah satu jenis ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan bersifat protogynous hermaprodit (perubahan kelamin dari betina menjadi jantan). Walaupun beberapa aspek biologi ikan kerapu sunu (Gambar 1) belum banyak diketahui, ternyata beberapa induk yang dipelihara dalam bak beton volume 30 m3 (Gambar 2) dapat memijah secara alami. Induk yang digunakan untuk pemijahan diperoleh dari teluk banten, Kep. Seribu dan Karimunjawa, kemudian di sumber:www.oseanografi.lipi.go.id domestikasi dalam keramba jaring apung ukuran 3 x 3 x 3 m selama 3 bulan. Selama domestikasi, induk diberi pakan dengan ikan tembang sampai kenyang (4 - 5 % dari total biomassa). Induk yang telah di domestikasi Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 dipindahkan ke dalam bak/tangki beton volume 30 m3. Dalam bak tersebut dimasukan 6 ekor induk kerapu sunu yang memiliki berat tubuh (BW) 1,2 - 3,2 kg dan panjang total (TL) 4 8 - 6 1 cm. Selama pemeliharaan dan sumber:www.oseanografi.lipi.go.id pematangan gonad, induk diberi pakan campuran antara ikan tembang, ikan tongkol dan cumi-cumi sebanyak 4 - 5 % dari total biomassa per hari. Setiap hari dasar tangki dibersihkan dari kotoran dan sisa pakan dengan cara penyipon. Pergantian air dilakukan sebanyak 100 - 150 % per hari dengan sistem air mengalir. Pemijahan alami ikan kerapu sunu dalam bak terkontrol terjadi pada malam hari antara jam 01.00-02.00. Pemijahan berlangsung secara kontinyu selama 1 - 7 hari yang dimulai pada hari ke 1 - 4 sebelum bulan baru sampai hari ke 1 - 4 bulan baru. Jumlah telur yang dihasilkan setiap periode pemijahan berkisar 81.000 - 3.300.000 butir atau 476.000 - 6.962.000 butir per musim (Tabel 1). Menurut DIANI et al (1991) satu ekor induk kerapu sunu, Plectropomus maculatus dapat memijah 2 hari berturutturut dengan jumlah telur 710.000 butir. MAYUNAR et al (1991) melaporkan bahwa kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus dengan berat 3 - 6 kg dapat menghasilkan telur 2 - 6 juta butir. Selanjutnya BOUAIN & SIAU (1983) mendapatkan bahwa telur yang dihasilkan ikan kerapu bertambah sejalan dengan meningkatnya berat tubuh. Hasil pengamatan pemijahan pada setiap bulan baik dari segi frekuensi maupun jumlah total telur, terlihat kecenderungan bahwa selama 1 tahun terjadi 3 musim puncak pemijahan, yakni pada Maret dengan total telur 6.962.000 (4 kali pemijahan), bulan September 5.600.000 (3 kali pemijahan) dan bulan Oktober sebanyak 6.460.000 butir (7 kali pemijahan). Pemijahan ikan kerapu sunu dalam bak terkontrol dapat berlangsung setiap bulan atau sepanjang tahun kecuali pada bulan Juli. Tidak terjadinya pemijahan pada bulan tersebut akibat adanya serangan parasit, dan setelah diidentifikasi ternyata dari jenis protozoa (Cryptocaryon sp.). Selanjutnya SHAPIRO (1987) melaporkan, pemijahan alami ikan kerapu sunu spesies Plectropomus leopardus di Kaledonia baru terjadi antara bulan September - Februari dengan puncaknya Nopember - Desember. Tabel 1. Pemijahan alami ikan kerapu sunu, Plectropomus maculatus dalam bak terkontrol di Sub Balitkandita Bojonegara - Serang Bulan Frekuensi pemijahan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah telur pemijahan 1992 1992 1992 1992 1992 1992 1992 1992 1992 1992 1992 1992 3 2 4 3 4 1 3 3 7 4 3 710.000 476.000 6.962.000 2.110.000 2.721.000 1.400.000 2.812.000 5.600.000 6.460.000 950.000 1.800.000 Sumber : MAYUNAR & SLAMET (1993). Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 Derajat Derajat pembuatan (%) penetasan (%) 99,0-99,8 98,5-98,6 77,4-96,5 76,5-98,7 90,6-99,0 95,8 88,5-96,2 87,2-97,5 43,3-96,8 67,3-98,7 54,5-98,0 72,3-96,0 35,0-69,0 48,6-75,3 40,5-56,7 38,4-47,4 36,2 48,2-54,6 69,2-74,3 0,0-79,5 61,5-83,8 18,9-61,5 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id PEMBUAHAN DAN PERKEMBANGAN EMBRIO Pada ikan kerapu sunu, pembuahan terjadi diluar tubuh (external fertilization) yaitu suatu proses penggabungan garnet jantan dan betina untuk membentuk zygot. Penggabungan inti (karyogamy). Pada waktu sperma memasuki telur melalui mikropil, berlangsunglah pembelahan meiosis kedua pada telur. Pada meiosis kedua ini setengah bagian kromosom dilepas sebagai polar body II dan tempatnya akan diisi oleh kromosom dari sperma yang akhirnya telur memiliki kromosom diploid (2n). Telur yang dibuahi akan mengapung dipermukaan, bentuknya bundar, permukaan licin dan transparan dengan diameter 749 863 mikron, sedangkan diameter gelembung minyak (oil globule) 171-201 mikron. Telur yang telah dibuahi diseleksi dan kemudian baru dipindahkan ke dalam bak/tangki penetasan bervolume 0,5 atau 1 m3 yang sebelumnya sudah diisi air laut bersih dengan salinitas 30 - 34 ppt dan diberi aerasi secukupnya. Setelah telur dibuah, maka dimulailah perkembangan embrio yakni dari 1 sel, 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 64 sel dan 128 sel (many cell), seterusnya berubah menjadi morula, blastula, gastrula dan neurula, kemudian meningkat menjadi embrio yang sudah berkepala serta memiliki bola mata dan tunas ekor. Beberapa menit kemudian jantungnya itiulai berfungsi, ekornya tumbuh dan badannya mulai bergerak-gerak sampai akhirnya menetas. Secara keseluruhan, waktu inkubasi telur kerapu sunu (Plectropomus maculatus) Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 berkisar 16 - 18 jam pada suhu air 26,4 - 29,1 °C dan salinitas 33 - 34 ppt (DIANI et al 1991). Derajat pembuahan dan penetasan telur (Tabel 1) secara berturut-turut adalah 43,3 - 99,8 % dengan rata-rata 88,2 % dan 0 - 96,0 % (rata-rata 56,4 %). Hubungan antara derajat pembuahan dan penetasan terlihat bahwa semakin tinggi derajat pembuahan maka derajat penetasan juga meningkat. Dari 37 kali pemijahan, terdapat 1 kali hasil pemijahan yang telurnya tidak menetas walaupun dibuahi, yakni pemijahan ke - 7 pada bulan Oktober. Tidak menetasnya telur diduga akibat mutunya kurang baik dan terlalu banyaknya telur atau sperma yang dikeluarkan sebelumnya. Selain kualitas telur, faktor lain yang ikut berperan dalam penetasan telur ikan kerapu adalah salinitas, suhu air, gerakan air dan luas permukaan wadah (MAYUNAR 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa derajat penetasan telur kerapu berkurang dengan turunnya salinitas dan suhu air. PEMELIHARAAN DAN PAKAN LARVA Teknik Pemeliharaan Pemeliharaan larva kerapu sunu dilakukan dalam bak/tangki fiberglass berbentuk persegi panjang (rectangular) dan bulat (circular) dengan volume 0,5, 1,0 atau 3,0 m3. Tempat pemeliharaan diisi air laut bersih dan diberi aerasi secukupnya. larva yang dipelihara bisa langsung dari telur yang sudah diseleksi atau telur diinkubasi terlebih sumber:www.oseanografi.lipi.go.id dahulu dan setelah menetas baru dipindahkan ke bak/tangki pemeliharaan. Apabila menggunakan telur secara langsung, setelah 3 - 5 jam penetasan perlu dilakukan penyiponan dasar tangki untuk membuang cangkang dan telur yang tidak menetas. hal ini dimaksudkan untuk menjaga peningkatan konsentrasi amoniak dalam wadah pemeliharaan yang dapat menyebabkan kematian larva. Saat larva berumur 1 hari atau 12 jam setelah menetas, ke dalam bak/tangki pemeliharaan diinokulasikan Chlorelta atau Tetraselmis. Kepadatan yang ideal untuk Chlorella sp. adalah 50 x 104 sel/ml. dan untuk Tetraselmis sp. 5 x 10 4 sel/ml. Chlorella dan Tetraselmis selain berfungsi sebagai pakan rotifer di dalam tangki pemeliharaan juga berfungsi meredukasi cahaya serta mengasimilasi hasil metabolisme sehingga konsentrasi amoniak dalam air media tetap rendah (ANONYMOUS 1985). Pembersihan tangki harus dilakukan secara periodik dengan menggunakan sipon. larva berumur 7 - 1 0 hari, dasar tangki harus dibersihkan setiap 2 hari, sedangkan larva berumur diatas 10 hari pembersihan dasar tangki dilakukan setiap hari. Umur larva dibawah 7 hari tidak memerlukan pergantian air, umur 7 - 1 5 hari pergantian air berkisar 10 - 30 %, umur 1 5 - 2 5 hari (30 - 50 %), umur 25 - 35 hari (50 - 75 %) dan umur 35 hari keatas pergantian air lebih dari 75 %. pergantian air tidak boleh dilakukan sekaligus, tetapi sedikit demi sedikit dengan jalan menggunakan selang plastik. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah pengelolaan mutu air dalam bak/tangki Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 pemeliharaan seperti salinitas, suhu air, oksigen terlarut dan itensitas cahaya. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Larva yang baru menetas memiliki panjang 1,59 ± 0,038 mm, kuning telur (yolk) memiliki panjang 0.98 mm dan lebar 0,65 mm, sedangkan gelembung minyak (oil globule) terletak pada bagian posterior kuning telur dengan diameter 0,18 mm. Kuning telur dan gelembung minyak merupakan cadangan atau makanan pertama sesaat setelah telur menetas. Larva umur 1 hari atau 14 jam setelah menetas memiliki panjang (TL) 2,24 ± 0,043 mm dan umur 2 hari 2,56 ± 0,062 mm. Pada umur 2 hari, sirip dada dan pigmentasi mata mulai kelihatan, mulut dan anus mulai membuka. Mulut mulai membuka setelah 53,5 jam setelah menetas dengan lebar rata-rata 153 ± 6,22 mikron dan saat tersebut kuning telur semakin kecil sampai ukuran 0,089 x 0,079 mm, sed angkan d iameter gelembung minyak 0,072 mm. Selanjutnya larva umur 3 hari atau 66 jam setelah menetas mempunyai panjang total 2,61 ± 0,049 mm. Kuning telur dan gelembung minyak terserap besar sekali, sedangkan pigmentasi mata sudah sempurna. Kuning telur terserap habis 71 jam setelah menetas (hari ke-3) dan gelembung minyak 99 jam setelah menetas (hari ke - 4). Seterusnya, sirip punggung mulai terbentuk pada larva berumur 7 hari, dimana pada saat tersebut panjang total larva adalah 2,71 ± 0,039 mm. Pertumbuhan panjang larva kerapu sunu sejak menetas sampai umur 13 hari relatif stabil dan setelah itu pertumbuhannya cukup cepat (Gambar 3). sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Pada pemeliharaan pertama, larva hanya mencapai umur 18 hari dan pemeliharaan berikutnya dengan pemberian pakan campuran Chlorella, rotifer dan plankton alam (dari tambak) larva mampu hidup lebih dari 35 hari. Kematian massal pertama terjadi pada umur 3 - 7 hari atau pada saat peralihan pakan dari dalam (endogenous feeding) ke pakan luar (exogenous feeding). pada saat tersebut makanan dari dalam berupa kuning telur dan gelembung minyak terserap habis sedangkan larva belum terbiasa memangsa makanan dari luar (rotifer). Sedangkan kematian massal kedua terjadi setelah larva berumur 16 hari atau 1 minggu setelah pemberian pakan nauplius artemia, hal ini diduga akibat mutu pakan yang kurang baik (ukuran terlalu kecil, jumlah dan kandungan gizi kurang mendukung pertumbuhan larva). Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 Pakan dan Teknik Pemberiannya. Teknik pemeliharaan larva dengan penerapan pemberian pakan tepat waktu, jumlah dan mutu (Tabel 2) ternyata mampu menghasilkan benih umur 35 hari. Pakan dari luar berupa rotifera (Brachionus plicatilis) diberikan 1 hari sebelum larva membuka mulut yang sebelumnya sudah diperkaya dengan omega-3 HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid). Larva berumur 3-10 hari, kepadatan rotifera yang diberikan adalah 1015 individual/ml, sedangkan mulai hari ke-11 selain rotifera juga diberikan nauplius artemia dan plankton alam dari tambak (WASPADA et al. 1992). Kepadatan rotifera pada larva berumur 11 - 35 hari adalah 20 individual/ml dan plankton alam 5 individua/kepadatan 0,2 individual/ml dan seterusnya ditingkatkan sejalan dengan bertambahnya larva sudah dapat diberikan cacahan daging ikan atau sumber:www.oseanografi.lipi.go.id udang rebon. Pakan diberikan 2 kali/hari, yaitu pada jam 08.00 dan 14.00. Pemberian pakan harian harus dilakukan tepat waktu. Keterlambatan pemberian pakan akan mengakibatkan larva mencapai "point of no return" yaitu waktu dimana larva tidak lagi memiliki cukup energi untuk memangsa dan mencerna pada kondisi makanan optimal. Bila keadaan ini tercapai, kematian massal larva lebih dari 50 %. keadaan ini sering terjadi bila waktu antara larva mulai makan dan akhir penyerapan kuning telur (time leeway) adalah negatif. Menurut WATANABE (1978) larva ikan laut termasuk kerapu sunu, sangat memerlukan asam lemak tidak jenuh yaitu EPA (20:5w3) dan DHA (22:6w3) yang harus dipasok dari pakan karena tidak terdapat dalam tubuh. MUCHARI (1990) menganalisa beberapa jenis pakan dan ternyata Chlorella mengandung asam lemak tidak jenuh (HUFA) paling tinggi (Tabel 3). Berdasarkan hasil tersebut, Sub Balikandita Bojonegara - Serang mengembangkan kultur Chlorella sebagai jasad pakan dasar untuk pemeliharaan larva ikan laut. Tabel 2. Jadwal pemberian pakan larva kerapu sunu, Plectropomus maculatus pada kepadatan 50 ekor / 1 Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id PROSPEK PENGEMBANGAN Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut sebagian besar masih terbatas pada usaha penangkapan dari alam. Kegiatan penangkapan atau pengumpulan hasil laut secara terus menerus atau penangkapan lebih (overfishing) dapat berakibat menurunnya populasi dan kelestarian sumberdaya itu sendiri. Meskipun beberapa sumber hayati laut mempunyai sifat dapat pulih kembali (renewable), namun penagkapan secara terus menerus akan mengakibatkan penurunan produksi, sehingga peranan budidaya akan semakin penting dimasa datang. Dilain pihak, penurunan aktivitas penangkapan juga berakibat penurunan kontribusi perikanan untuk memasok sumber protein bagi penduduk yang terus bertambah serta berkurangnya ekspor (devisa). Menyadari hal demikian, usaha budidaya merupakan alternatif utama untuk meningkatkan laju produksi tanpa merusak kelestarian populasi ikan di laut. namun usaha buidaya juga tidak akan berhasil bila tidak ditunjang dengan pasok benih yang cukup. Produksi benih ikan laut melalui usaha pembenihan perlu segera dikembangkan untuk menunjang usaha tersebut. Selain faktor tersebut, Indonesia memiliki areal berpotensi tinggi untuk dikembangkan bagi budidaya laut. Areal untuk budidaya kurang lebih 72.800 ha, dimana 2.900 ha (Tabel 4) merupakan areal untuk budidaya ikan. Perkembangan usaha budidaya ikan laut cukup pesat terutama di kep. Riau, Sumatera Utara, Pulau Bangka, Kep. Seribu, Karimunjawa, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pada lokasi tersebut, sampai saat ini diperkirakan terdapat kurang lebih 500 unit keramba apung dan keramba Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 tancap atau 2.000 buah kurungan, sehingga dalam 1 tahun dibutuhkan 3 - 4 juta ekor benih. Saat ini, harga benih ikan kerapu sunu ukuran 100 g berkisar Rp. 1.500 - 2.000. Kebutuhan benih ikan laut akan terus bertambah sejalan meningkatnya usaha budidaya, karena setiap tahun permintaan akan ikan kerapu hidup terus meningkat dan harganya juga relatif tinggi, sehingga memberikan nilai tambah yang cukup besar bagi nelayan/petani ikan atau bagi pengusaha IMANTO & BASYARIE (1993) melaporkan, dalam keadaan hidup harga per kg ikan kerapu sunu (Plectropomus sp.) di Riau (Batam, Tanjung Pinang) tercatat Rp. 36.000 dan di Kep. Seribu Rp. 25.000, sedangkan jenis ikan kerapu lain (lumpur, macan) berkisar Rp. 12.000 - 15.000. Selanjutnya kerapu tikus (Cromileptes altivelis) adalah Rp. 54.000 (Batam, Tanjung Pinang) dan Rp. 75.000 di Kep. Seribu. Tabel 4. Lokasi dan areal untuk usaha budidaya ikan di Indonesia No. Lokasi 1. Riau - Pulau Batam - Pulau Bintan 2.Sumatera Selatan Luas (ha) 250 200 - Pulau Bangka 3. Lampung 800 - Teluk Hurun - Teluk Lampung 4. Jawa Barat - Teluk Banten 400 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id 5. Jawa Timur 300 - Teluk Gili Genteng/Madura - Grojagan Banyuwangi 6. Bali 50 DIANI, S., B. SLAMET dan P.T. IMANTO 1992. Studi pendahuluan pemijahan alami dan perkembangan awal larva ikan kerapu sunu, Plectropomus maculatus. J. Penel. Budidaya pantai, 7 (2) : 10-19. - Pajarakan 7. Nusa Tenggara Barat 200 - Tekuk Ekas 8. Sulawesi Selatan 200 - Ujung Pandang 9. Sulawesi Utara 200 - Pulau Sangihe Sumber : WIBISONO, R. (1990) DAFTAR PUSTAKA IMANTO, P.T. dan A. BASYARIE 1993. Budidaya ikan laut, pengembangan dan permasalahannya. Dalam: DANAKUSUMAH, E., RACHMANSYAH, A.M. PIRZAN dan N.A. RANGKA (eds.), Presiding Rapat Teknis Ilmiah Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Tanjung Pinang, 29 April - 1 Mei 1993 : 93-106 MAYUNAR 1991. Day a penetasan telur kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus pada berbagai salinitas dari hasil pemijahan alami dan penyuntikan. Bull. Pen. Perikanan, Special Edition 2 : 59 - 65. AHMAD, T. dan MUCHARI 1992. Status keberhasilan pembenihan kerapu macan di Indonesia. Jurnal Penelitian & Pengembangan Pertanian XI(1) : 16 22. MAYUNAR., P.T. IMANTO, S. DIANI dan T. YOKOKAWA 1991. Pemijahan ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. Bull. Pen. Perikanan, Special Edition 2 : 15-22. ANONYMOUS 1985. Pembenihan ikan laut. Sen ke Delapan. kerjasama Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara - Serang dengan JICA: 20pp. MUCHARI 1990. Status penelitian pembenihan ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus di Subbalai Penelitian Perikanan budidaya Pantai Bojonegara Serang. Laporan Teknis Penelitian Sub Balitkandita Bojonegara - Serang Tahun Anggaran 1990/1991: 15 pp. ANONYMOUS 1993. Statistik perikanan Indonesia tahun 1991. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. 73 pp. BOUAIN, Y. and Y. SIAU 1983. Observation on the female reproductive cycle and fecundity of three species of grouper (Epinephelus) from the Southeast Tunisia Seashores. Mar. Biol. 73 : 211-230 Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 SHAPIRO, P.Y. 1987. Reproduction in groupers. In: POLOVINA, J.J. and R. RALSTON (eds.), Tropical snappers and groupers, biology and fisheries management. Westview Press/Boulder and London : 295 - 326. sumber:www.oseanografi.lipi.go.id WASPADA., A. SUPRIATNA dan B. SLAMET 1992. Pemijahan dan pemeliharaan larva kerapu sunu, Plectropomus muculatus. J. Penel. Budidaya Pantai 8 (5) : 13 - 19. WATANABE, T. 1978. Nutritional quality of living feeds used in seed production of fish. Proceeding 7th Japan - Sovyet Symposium on Aguaculture. Tokyo : 49 - 57. Oseana, Volume XIX No. 4, 1994 WIBISONO, R. 1990. Pemanfaatan sumberdaya hayati laut berwawasan lingkungan dalam kaitannya dengan usaha budidaya. Dalam : AHMAD, T., A. BASYARIE, T. MUSTAPA dan Muchari (eds.), Pemanfaatan sumberdaya hayati lautan bagi budidaya. Sen Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan no. PHP/KAN/ 10/1990 : 18 - 33.