Oseana, Volume XIX, Nomor 4 : 23 - 33 ISSN

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XIX, Nomor 4 : 23 - 33
ISSN 0216-1877
STATUS KEBERHASILAN PEMBENIHAN IKAN KERAPU SUNU
DI INDONESIA DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA
Oleh
Mayunar *)
ABSTRACT
SUCCESFULL STATUS HATCHERY OF SPOTTED CORAL TROUT IN
INDONESIA AND PROSPECT OF DEVELOPMENT. The spotted coral trout,
Plectropomus maculatus (Bloch) is commercially one of the most important fish species and
highly esteemed as food fish in Singapore, Taiwan, Hongkong, Jepang, and Indonesia. In
Indonesia, this species commonly known as "kerapu sunu" or "kerapu lodi:, is widely
distributed in the Pacific, Africa, Indian and Southeast Asia. Furthermore, since this
species seems suitable for culture, the development of hatchery techniques is essential to
produce large supplies of fries, either fo culture to marketable size or for stocking.
However, the supply of juveniles for stocking depends exclusively on fingerlings captured
off-shore during the natural breeding season. Hatchery study of this species has been
started since 1991 in Bojonegara Reseach Station for Coastal Aquaculture, and natural
spawning in captivity succesfull in 1992. The paper describes the maturation of broodstock,
natural spawning, fertilization and emryonic development, larval rearing and prospect of
development.
PENDAHULUAN
Sejalan dengan perkembangan usaha
budidaya ikan laut dalam keramba jaring
apung, keramba tancap dan di tambak, secara
langsung kebutuhan akan benih juga
meningkat. Kebutuhan benih untuk usaha
pembesaran masih dipasok dari alam, namun
ketersediannya tidak setiap waktu karena
sangat dipengaruhi oleh musim dan tingginya
mortalitas pada masa larva. Berdasarkan hal
tersebut, sejak tahun 1987 Subbalai Penelitian
Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara Serang sudah mulai merintis pembenihan
beberapa jenis ikan laut diantaranya; beronang,
kakap putih, kakap merah dan ikan kerapu.
Diantara jenis diatas, kerapu
merupakan jenis ikan yang banyak diminati
pasar domestik dan internasional. Diantara
berbagai jenis kerapu yang terdapat di Indonesia, kerapu sunu (Plectropomus maculatus)
merupakan salah satu jenis yang potensial
untuk dibudidayakan karena bertumbuh cukup
cepat, toleran dalam ruang terbatas dan
*) Sub Balai Penelitian Perikanan budidaya Pantai Bojonegara - Serang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
memiliki harga cukup tinggi. Daging kerapu
memiliki rasa yang enak, kandungan EPA
(Eicosapentaenoic Acid) dan DHA
(Decosahexaenoic Acid) cukup tinggi sehingga
jenis ini banyak diminati pasar internasional
seperti Singapura, Hongkong,. Taiwan dan
Jepang serta pasar dalam negeri (Jakarta,
Tanjung Pinang, Batam).
Laju peningkatan peroduksi kerapu
hasil tangkapan di alam relatif lambat karena
sediaannya terbatas serta teknik dan alat
penangkapan yang kurang memadai. Pada
tahun 1987, produksi ikan kerapu di perairan
Indonesia tercatat 15.364 ton dan pada tahun
1991 sebesar 16.197 ton atau laju pertumbuhan
rata-rata 1,08 % per tahun (ANONYMOUS
1993). Sedangkan ekspor ikan kerapu
meningkat dari 57 ton pada tahun 1988
menjadi 87 ton pada tahun 1991 (ANONYMOUS 1993). Sentra produksi utama ikan
kerapu di Indonesia adalah Aceh, Sumatera
Utara, Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan
Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara
dan Maluku.
Budidaya ikan kerapu di Indonesia
pertama kali dirintis oleh nelayan kepulauan
Riau pada tahun 1978 dengan sistem keramba
tancap (pen-cage culture) dengan sasaran
pasar Singapura. Selain di kepulauan Riau,
budidaya ikan kerapu juga berkembang di
pulau Bangka, kep. Seribu, karimunjawa,
Kalimantan timur, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan
Maluku. Namun perkembangan lanjut dari
usaha budidaya kerapu akan terhambat akibat
pasok benih yang tidak mencukupi. Sampai
saat ini, benih dari alam masih merupakan
pasok utama namun keberadaannya sangat
terbatas, bersifat musiman, ukuran tidak
seragam dan sulit ditangkap.
Menyadari hal tersebut dan untuk
kesinambungan usaha budidaya kerapu,
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
Subbalai Penelitian Perikanan budidaya Pantai
Bojonegara (Sub balitkandita) sejak tahun
1992 telah melakukan serangkaian penelitian
tentang pembenihan ikan kerapu sunu di
laboratorium yang meliputi pematangan dan
pemijahan induk, perkembangan embrio serta
pemeliharaan larva. Keberhasilan pembenihan
ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus)
di Sub balitkandita bojonegara - Serang
merupakan keberhasilan pertama di Indonesia
atau keberhasilan ke-3 setelah kerapu lumpur
(Epinephelus tauvina) dan kerapu macan,
Epinephelus fuscoguttatus (AHMAD &
MUCHARI, 1992).
PEMATANGAN GONAD DAN
PEMIJAHAN
Pemijahan ikan kerapu dapat secara
alami (natural spawning), pemijahan (stripping/artifical fertilization) dan pijah rangsang
(induced spawning). Metode pijah rangsang
dapat menggunakan hormon HCG (Human
Chorionic Gonadotropin), HCG plus
Puberogen dan LHRHA (Lutenizing Hormone Releasing Hormone Analoque). Hormon
tersebut disuntikan secara intramuskular
dibawah sirip dorsal atau secara chest cavity
dibawah sirip dada.
Menurut SHAPIRO (1987), kerapu
merupakan salah satu jenis ikan yang hidup
di daerah terumbu karang dan bersifat
protogynous hermaprodit (perubahan kelamin
dari betina menjadi jantan). Walaupun
beberapa aspek biologi ikan kerapu sunu
(Gambar 1) belum banyak diketahui, ternyata
beberapa induk yang dipelihara dalam bak
beton volume 30 m3 (Gambar 2) dapat
memijah secara alami.
Induk yang digunakan untuk
pemijahan diperoleh dari teluk banten, Kep.
Seribu dan Karimunjawa, kemudian di
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
domestikasi dalam keramba jaring apung
ukuran 3 x 3 x 3 m selama 3 bulan. Selama
domestikasi, induk diberi pakan dengan ikan
tembang sampai kenyang (4 - 5 % dari total
biomassa). Induk yang telah di domestikasi
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
dipindahkan ke dalam bak/tangki beton volume 30 m3. Dalam bak tersebut dimasukan 6
ekor induk kerapu sunu yang memiliki berat
tubuh (BW) 1,2 - 3,2 kg dan panjang total
(TL) 4 8 - 6 1 cm. Selama pemeliharaan dan
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
pematangan gonad, induk diberi pakan
campuran antara ikan tembang, ikan tongkol
dan cumi-cumi sebanyak 4 - 5 % dari total
biomassa per hari. Setiap hari dasar tangki
dibersihkan dari kotoran dan sisa pakan
dengan cara penyipon. Pergantian air
dilakukan sebanyak 100 - 150 % per hari
dengan sistem air mengalir.
Pemijahan alami ikan kerapu sunu
dalam bak terkontrol terjadi pada malam hari
antara jam 01.00-02.00. Pemijahan
berlangsung secara kontinyu selama 1 - 7
hari yang dimulai pada hari ke 1 - 4 sebelum
bulan baru sampai hari ke 1 - 4 bulan baru.
Jumlah telur yang dihasilkan setiap periode
pemijahan berkisar 81.000 - 3.300.000 butir
atau 476.000 - 6.962.000 butir per musim
(Tabel 1). Menurut DIANI et al (1991) satu
ekor induk kerapu sunu, Plectropomus
maculatus dapat memijah 2 hari berturutturut dengan jumlah telur 710.000 butir.
MAYUNAR et al (1991) melaporkan bahwa
kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus
dengan berat 3 - 6 kg dapat menghasilkan
telur 2 - 6 juta butir. Selanjutnya BOUAIN &
SIAU (1983) mendapatkan bahwa telur yang
dihasilkan ikan kerapu bertambah sejalan
dengan meningkatnya berat tubuh.
Hasil pengamatan pemijahan pada
setiap bulan baik dari segi frekuensi maupun
jumlah total telur, terlihat kecenderungan
bahwa selama 1 tahun terjadi 3 musim puncak
pemijahan, yakni pada Maret dengan total
telur 6.962.000 (4 kali pemijahan), bulan
September 5.600.000 (3 kali pemijahan) dan
bulan Oktober sebanyak 6.460.000 butir (7
kali pemijahan). Pemijahan ikan kerapu sunu
dalam bak terkontrol dapat berlangsung setiap
bulan atau sepanjang tahun kecuali pada
bulan Juli. Tidak terjadinya pemijahan pada
bulan tersebut akibat adanya serangan parasit,
dan setelah diidentifikasi ternyata dari jenis
protozoa (Cryptocaryon sp.). Selanjutnya
SHAPIRO (1987) melaporkan, pemijahan
alami ikan kerapu sunu spesies Plectropomus
leopardus di Kaledonia baru terjadi antara
bulan September - Februari dengan puncaknya
Nopember - Desember.
Tabel 1. Pemijahan alami ikan kerapu sunu, Plectropomus maculatus dalam bak
terkontrol di Sub Balitkandita Bojonegara - Serang
Bulan
Frekuensi
pemijahan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Jumlah telur
pemijahan
1992
1992
1992
1992
1992
1992
1992
1992
1992
1992
1992
1992
3
2
4
3
4
1
3
3
7
4
3
710.000
476.000
6.962.000
2.110.000
2.721.000
1.400.000
2.812.000
5.600.000
6.460.000
950.000
1.800.000
Sumber : MAYUNAR & SLAMET (1993).
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
Derajat
Derajat
pembuatan (%)
penetasan (%)
99,0-99,8
98,5-98,6
77,4-96,5
76,5-98,7
90,6-99,0
95,8
88,5-96,2
87,2-97,5
43,3-96,8
67,3-98,7
54,5-98,0
72,3-96,0
35,0-69,0
48,6-75,3
40,5-56,7
38,4-47,4
36,2
48,2-54,6
69,2-74,3
0,0-79,5
61,5-83,8
18,9-61,5
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PEMBUAHAN DAN PERKEMBANGAN
EMBRIO
Pada ikan kerapu sunu, pembuahan
terjadi diluar tubuh (external fertilization)
yaitu suatu proses penggabungan garnet jantan
dan betina untuk membentuk zygot.
Penggabungan inti (karyogamy). Pada waktu
sperma memasuki telur melalui mikropil,
berlangsunglah pembelahan meiosis kedua
pada telur. Pada meiosis kedua ini setengah
bagian kromosom dilepas sebagai polar body
II dan tempatnya akan diisi oleh kromosom
dari sperma yang akhirnya telur memiliki
kromosom diploid (2n).
Telur yang dibuahi akan mengapung
dipermukaan, bentuknya bundar, permukaan
licin dan transparan dengan diameter 749 863 mikron, sedangkan diameter gelembung
minyak (oil globule) 171-201 mikron. Telur
yang telah dibuahi diseleksi dan kemudian
baru dipindahkan ke dalam bak/tangki
penetasan bervolume 0,5 atau 1 m3 yang
sebelumnya sudah diisi air laut bersih dengan
salinitas 30 - 34 ppt dan diberi aerasi
secukupnya.
Setelah telur dibuah, maka
dimulailah perkembangan embrio yakni dari
1 sel, 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 64 sel
dan 128 sel (many cell), seterusnya berubah
menjadi morula, blastula, gastrula dan neurula, kemudian meningkat menjadi embrio
yang sudah berkepala serta memiliki bola
mata dan tunas ekor. Beberapa menit
kemudian jantungnya itiulai berfungsi,
ekornya tumbuh dan badannya mulai
bergerak-gerak sampai akhirnya menetas.
Secara keseluruhan, waktu inkubasi telur
kerapu sunu (Plectropomus maculatus)
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
berkisar 16 - 18 jam pada suhu air 26,4 - 29,1
°C dan salinitas 33 - 34 ppt (DIANI et al
1991).
Derajat pembuahan dan penetasan
telur (Tabel 1) secara berturut-turut adalah
43,3 - 99,8 % dengan rata-rata 88,2 % dan 0
- 96,0 % (rata-rata 56,4 %). Hubungan antara
derajat pembuahan dan penetasan terlihat
bahwa semakin tinggi derajat pembuahan
maka derajat penetasan juga meningkat. Dari
37 kali pemijahan, terdapat 1 kali hasil
pemijahan yang telurnya tidak menetas
walaupun dibuahi, yakni pemijahan ke - 7
pada bulan Oktober. Tidak menetasnya telur
diduga akibat mutunya kurang baik dan
terlalu banyaknya telur atau sperma yang
dikeluarkan sebelumnya. Selain kualitas telur,
faktor lain yang ikut berperan dalam penetasan
telur ikan kerapu adalah salinitas, suhu air,
gerakan air dan luas permukaan wadah
(MAYUNAR 1991). Selanjutnya dikatakan
bahwa derajat penetasan telur kerapu
berkurang dengan turunnya salinitas dan suhu
air.
PEMELIHARAAN DAN PAKAN
LARVA
Teknik Pemeliharaan
Pemeliharaan larva kerapu sunu
dilakukan dalam bak/tangki fiberglass
berbentuk persegi panjang (rectangular) dan
bulat (circular) dengan volume 0,5, 1,0 atau
3,0 m3. Tempat pemeliharaan diisi air laut
bersih dan diberi aerasi secukupnya. larva
yang dipelihara bisa langsung dari telur yang
sudah diseleksi atau telur diinkubasi terlebih
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dahulu dan setelah menetas baru dipindahkan
ke bak/tangki pemeliharaan. Apabila
menggunakan telur secara langsung, setelah 3
- 5 jam penetasan perlu dilakukan penyiponan dasar tangki untuk membuang cangkang
dan telur yang tidak menetas. hal ini
dimaksudkan untuk menjaga peningkatan
konsentrasi
amoniak dalam wadah
pemeliharaan yang dapat menyebabkan
kematian larva.
Saat larva berumur 1 hari atau 12
jam setelah menetas, ke dalam bak/tangki
pemeliharaan diinokulasikan Chlorelta atau
Tetraselmis. Kepadatan yang ideal untuk
Chlorella sp. adalah 50 x 104 sel/ml. dan
untuk Tetraselmis sp. 5 x 10 4 sel/ml.
Chlorella dan Tetraselmis selain berfungsi
sebagai pakan rotifer di dalam tangki
pemeliharaan juga berfungsi meredukasi
cahaya serta mengasimilasi hasil metabolisme sehingga konsentrasi amoniak
dalam air media tetap rendah (ANONYMOUS 1985).
Pembersihan tangki harus dilakukan secara periodik dengan menggunakan
sipon. larva berumur 7 - 1 0 hari, dasar tangki
harus dibersihkan setiap 2 hari, sedangkan
larva berumur diatas 10 hari pembersihan
dasar tangki dilakukan setiap hari. Umur
larva dibawah 7 hari tidak memerlukan
pergantian air, umur 7 - 1 5 hari pergantian air
berkisar 10 - 30 %, umur 1 5 - 2 5 hari
(30
- 50 %), umur 25 - 35 hari (50 - 75 %) dan
umur 35 hari keatas pergantian air
lebih
dari 75 %. pergantian air tidak boleh dilakukan
sekaligus, tetapi sedikit demi sedikit dengan
jalan menggunakan selang plastik. Selanjutnya
yang tidak kalah pentingnya adalah
pengelolaan mutu air dalam bak/tangki
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
pemeliharaan seperti salinitas, suhu air,
oksigen terlarut dan itensitas cahaya.
Perkembangan dan Pertumbuhan Larva
Larva yang baru menetas memiliki
panjang 1,59 ± 0,038 mm, kuning telur
(yolk) memiliki panjang 0.98 mm dan lebar
0,65 mm, sedangkan gelembung minyak
(oil globule) terletak pada bagian posterior
kuning telur dengan diameter 0,18 mm.
Kuning telur dan gelembung minyak
merupakan cadangan atau makanan pertama
sesaat setelah telur menetas. Larva umur 1
hari atau 14 jam setelah menetas memiliki
panjang (TL) 2,24 ± 0,043 mm dan umur 2
hari 2,56 ± 0,062 mm. Pada umur 2 hari,
sirip dada dan pigmentasi mata mulai
kelihatan, mulut dan anus mulai membuka.
Mulut mulai membuka setelah 53,5 jam
setelah menetas dengan lebar rata-rata 153
± 6,22 mikron dan saat tersebut kuning
telur semakin kecil sampai ukuran 0,089
x 0,079 mm, sed angkan d iameter
gelembung minyak 0,072 mm.
Selanjutnya larva umur 3 hari atau
66 jam setelah menetas mempunyai panjang
total 2,61 ± 0,049 mm. Kuning telur dan
gelembung minyak terserap besar sekali,
sedangkan pigmentasi mata sudah sempurna.
Kuning telur terserap habis 71 jam setelah
menetas (hari ke-3) dan gelembung minyak
99 jam setelah menetas (hari ke - 4).
Seterusnya, sirip punggung mulai terbentuk
pada larva berumur 7 hari, dimana pada
saat tersebut panjang total larva adalah
2,71 ± 0,039 mm. Pertumbuhan panjang
larva kerapu sunu sejak menetas sampai
umur 13 hari relatif stabil dan setelah itu
pertumbuhannya cukup cepat (Gambar 3).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pada pemeliharaan pertama, larva
hanya mencapai umur 18 hari dan
pemeliharaan berikutnya dengan pemberian
pakan campuran Chlorella, rotifer dan plankton alam (dari tambak) larva mampu hidup
lebih dari 35 hari. Kematian massal pertama
terjadi pada umur 3 - 7 hari atau pada
saat peralihan pakan dari dalam (endogenous
feeding) ke pakan luar (exogenous feeding).
pada saat tersebut makanan dari dalam
berupa kuning telur dan gelembung minyak
terserap habis sedangkan larva belum
terbiasa memangsa makanan dari luar (rotifer). Sedangkan kematian massal kedua
terjadi setelah larva berumur 16 hari atau 1
minggu setelah pemberian pakan nauplius
artemia, hal ini diduga akibat mutu pakan
yang kurang baik (ukuran terlalu kecil,
jumlah dan kandungan gizi kurang mendukung
pertumbuhan larva).
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
Pakan dan Teknik Pemberiannya.
Teknik pemeliharaan larva dengan
penerapan pemberian pakan tepat waktu,
jumlah dan mutu (Tabel 2) ternyata mampu
menghasilkan benih umur 35 hari. Pakan dari
luar berupa rotifera (Brachionus plicatilis)
diberikan 1 hari sebelum larva membuka
mulut yang sebelumnya sudah diperkaya
dengan omega-3 HUFA (Highly Unsaturated
Fatty Acid). Larva berumur 3-10 hari,
kepadatan rotifera yang diberikan adalah 1015 individual/ml, sedangkan mulai hari ke-11
selain rotifera juga diberikan nauplius artemia
dan plankton alam dari tambak (WASPADA
et al. 1992). Kepadatan rotifera pada larva
berumur 11 - 35 hari adalah 20 individual/ml
dan plankton alam 5 individua/kepadatan 0,2
individual/ml dan seterusnya ditingkatkan
sejalan dengan bertambahnya larva sudah
dapat diberikan cacahan daging ikan atau
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
udang rebon. Pakan diberikan 2 kali/hari,
yaitu pada jam 08.00 dan 14.00.
Pemberian pakan harian harus
dilakukan tepat waktu. Keterlambatan pemberian pakan akan mengakibatkan larva
mencapai "point of no return" yaitu waktu
dimana larva tidak lagi memiliki cukup
energi untuk memangsa dan mencerna pada
kondisi makanan optimal. Bila keadaan ini
tercapai, kematian massal larva lebih dari 50
%. keadaan ini sering terjadi bila waktu antara larva mulai makan dan akhir penyerapan
kuning telur (time leeway) adalah negatif.
Menurut WATANABE (1978) larva
ikan laut termasuk kerapu sunu, sangat
memerlukan asam lemak tidak jenuh yaitu
EPA (20:5w3) dan DHA (22:6w3) yang
harus dipasok dari pakan karena tidak terdapat dalam tubuh. MUCHARI (1990)
menganalisa beberapa jenis pakan dan ternyata Chlorella mengandung asam lemak
tidak jenuh (HUFA) paling tinggi (Tabel 3).
Berdasarkan hasil tersebut, Sub Balikandita
Bojonegara - Serang mengembangkan kultur
Chlorella sebagai jasad pakan dasar untuk
pemeliharaan larva ikan laut.
Tabel 2. Jadwal pemberian pakan larva kerapu sunu, Plectropomus maculatus pada
kepadatan 50 ekor / 1
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PROSPEK PENGEMBANGAN
Pemanfaatan sumberdaya perikanan
laut sebagian besar masih terbatas pada usaha
penangkapan dari alam. Kegiatan penangkapan
atau pengumpulan hasil laut secara terus
menerus atau penangkapan lebih (overfishing) dapat berakibat menurunnya populasi
dan kelestarian sumberdaya itu sendiri.
Meskipun beberapa sumber hayati laut
mempunyai sifat dapat pulih kembali (renewable), namun penagkapan secara terus menerus
akan mengakibatkan penurunan produksi,
sehingga peranan budidaya akan semakin
penting dimasa datang.
Dilain pihak, penurunan aktivitas
penangkapan juga berakibat penurunan
kontribusi perikanan untuk memasok sumber
protein bagi penduduk yang terus bertambah serta berkurangnya ekspor (devisa).
Menyadari hal demikian, usaha budidaya
merupakan alternatif utama untuk
meningkatkan laju produksi tanpa merusak
kelestarian populasi ikan di laut. namun
usaha buidaya juga tidak akan berhasil bila
tidak ditunjang dengan pasok benih yang
cukup. Produksi benih ikan laut melalui
usaha pembenihan perlu segera dikembangkan untuk menunjang usaha tersebut.
Selain faktor tersebut, Indonesia
memiliki areal berpotensi tinggi untuk
dikembangkan bagi budidaya laut. Areal untuk
budidaya kurang lebih 72.800 ha, dimana
2.900 ha (Tabel 4) merupakan areal untuk
budidaya ikan. Perkembangan usaha budidaya
ikan laut cukup pesat terutama di kep. Riau,
Sumatera Utara, Pulau Bangka, Kep. Seribu,
Karimunjawa, Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara. Pada lokasi tersebut,
sampai saat ini diperkirakan terdapat kurang
lebih 500 unit keramba apung dan keramba
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
tancap atau 2.000 buah kurungan, sehingga
dalam 1 tahun dibutuhkan 3 - 4 juta ekor
benih. Saat ini, harga benih ikan kerapu
sunu ukuran 100 g berkisar Rp. 1.500 - 2.000.
Kebutuhan benih ikan laut akan terus
bertambah sejalan meningkatnya usaha
budidaya, karena setiap tahun permintaan
akan ikan kerapu hidup terus meningkat
dan harganya juga relatif tinggi, sehingga
memberikan nilai tambah yang cukup besar
bagi nelayan/petani ikan atau bagi pengusaha
IMANTO & BASYARIE (1993) melaporkan,
dalam keadaan hidup harga per kg ikan
kerapu sunu (Plectropomus sp.) di Riau
(Batam, Tanjung Pinang) tercatat Rp. 36.000
dan di Kep. Seribu Rp. 25.000, sedangkan
jenis ikan kerapu lain (lumpur, macan) berkisar
Rp. 12.000 - 15.000. Selanjutnya kerapu tikus
(Cromileptes altivelis) adalah Rp. 54.000
(Batam, Tanjung Pinang) dan Rp. 75.000 di
Kep. Seribu.
Tabel 4. Lokasi dan areal untuk usaha
budidaya ikan di Indonesia
No. Lokasi
1.
Riau
- Pulau Batam
- Pulau Bintan
2.Sumatera Selatan
Luas (ha)
250
200
- Pulau Bangka
3.
Lampung
800
- Teluk Hurun
- Teluk Lampung
4.
Jawa Barat
- Teluk Banten
400
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
5.
Jawa Timur
300
- Teluk Gili Genteng/Madura
- Grojagan Banyuwangi
6.
Bali
50
DIANI, S., B. SLAMET dan P.T. IMANTO
1992. Studi pendahuluan pemijahan
alami dan perkembangan awal larva
ikan kerapu sunu, Plectropomus
maculatus. J. Penel. Budidaya pantai,
7 (2) : 10-19.
- Pajarakan
7.
Nusa Tenggara Barat
200
- Tekuk Ekas
8.
Sulawesi Selatan
200
- Ujung Pandang
9.
Sulawesi Utara
200
- Pulau Sangihe
Sumber : WIBISONO, R. (1990)
DAFTAR PUSTAKA
IMANTO, P.T. dan A. BASYARIE 1993.
Budidaya ikan laut, pengembangan
dan permasalahannya. Dalam:
DANAKUSUMAH, E., RACHMANSYAH, A.M. PIRZAN dan N.A.
RANGKA (eds.), Presiding Rapat
Teknis Ilmiah Penelitian Perikanan
Budidaya Pantai. Tanjung Pinang, 29
April - 1 Mei 1993 : 93-106
MAYUNAR 1991. Day a penetasan telur
kerapu
macan,
Epinephelus
fuscoguttatus pada berbagai salinitas
dari hasil pemijahan alami dan
penyuntikan. Bull. Pen. Perikanan,
Special Edition 2 : 59 - 65.
AHMAD, T. dan MUCHARI 1992. Status
keberhasilan pembenihan kerapu macan
di Indonesia. Jurnal Penelitian &
Pengembangan Pertanian XI(1) : 16 22.
MAYUNAR., P.T. IMANTO, S. DIANI dan
T. YOKOKAWA 1991. Pemijahan
ikan kerapu macan, Epinephelus
fuscoguttatus. Bull. Pen. Perikanan,
Special Edition 2 : 15-22.
ANONYMOUS 1985. Pembenihan ikan laut.
Sen ke Delapan. kerjasama Sub Balai
Penelitian Perikanan Budidaya Pantai
Bojonegara - Serang dengan JICA:
20pp.
MUCHARI 1990. Status penelitian
pembenihan ikan kerapu macan,
Epinephelus fuscoguttatus di Subbalai
Penelitian Perikanan budidaya Pantai
Bojonegara Serang. Laporan Teknis
Penelitian Sub Balitkandita Bojonegara
- Serang Tahun Anggaran 1990/1991:
15 pp.
ANONYMOUS 1993. Statistik perikanan Indonesia tahun 1991. Direktorat
Jenderal Perikanan, Departemen
Pertanian. 73 pp.
BOUAIN, Y. and Y. SIAU 1983. Observation on the female reproductive cycle
and fecundity of three species of grouper (Epinephelus) from the Southeast
Tunisia Seashores. Mar. Biol. 73 :
211-230
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
SHAPIRO, P.Y. 1987. Reproduction in groupers. In: POLOVINA, J.J. and R.
RALSTON (eds.), Tropical snappers
and groupers, biology and fisheries
management. Westview Press/Boulder
and London : 295 - 326.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
WASPADA., A. SUPRIATNA dan B.
SLAMET 1992. Pemijahan dan
pemeliharaan larva kerapu sunu,
Plectropomus muculatus. J. Penel.
Budidaya Pantai 8 (5) : 13 - 19.
WATANABE, T. 1978. Nutritional quality of
living feeds used in seed production of
fish. Proceeding 7th Japan - Sovyet
Symposium on Aguaculture. Tokyo :
49 - 57.
Oseana, Volume XIX No. 4, 1994
WIBISONO, R. 1990. Pemanfaatan
sumberdaya hayati laut berwawasan
lingkungan dalam kaitannya dengan
usaha budidaya. Dalam : AHMAD,
T., A. BASYARIE, T. MUSTAPA
dan Muchari (eds.), Pemanfaatan
sumberdaya hayati lautan bagi
budidaya. Sen Pengembangan Hasil
Penelitian Perikanan no. PHP/KAN/
10/1990 : 18 - 33.
Download