Tinjauan Kritis Revitalisasi Keluarga Berencana 15 Tahun

advertisement
Tinjauan Kritis Revitalisasi Keluarga Berencana
15 Tahun Implementasi ICPD Kairo 1994
Oleh: Muhadjir Darwin
Keluarga Berencana (KB) menjadi gerakan global sejak 1968 di tengah ancaman ledakan
penduduk dunia (lihat tulisan Paul Ehrlich The Population Bomb [1968] dan Gareth Hardin,
Tragedy of the Commons [1968]). Kenapa KB? Seperti diketahui, di luar faktor mobilitas,
pertumbuhan penduduk dihitung dari selisih antara fertilitas dan mortalitas. Membiarkan
mortalitas tetap tinggi untuk tujuan demografis menekan laju pertumbuhan penduduk sudah
barang tentu bukanlah solusi yang manusiawi. Sementara itu peningkatan kesejahteraan
masyarakat akan selalu berakibat pada turunnya angka mortalitas. Karena itu pengendalian
pertumbuhan penduduk hanya dapat dilakukan dari sisi fertilitasnya, dalam hal ini melalui
sosialisasi teknologi pengendalian kehamilan (kontrasepsi). Inilah KB yang pada umumnya
kita pamahi. Pandangan seperti inipun masih tetap relevan untuk konteks Indonesia saat ini.
Tren fertilitas yang cenderung stagnan pada angka 2,3 (SDKI 2002-3 dan 2007 setelah
dikoreksi Hull & Mosley [2008]) cukup membuat banyak orang khawatir akan kemungkinan
terjadinya ledakan penduduk jilid dua. Karena itu revitalisasi program KB menjadi suatu
pilihan yang tidak terelakkan.
Tetapi jarang ditekankan bahwa sejatinya keluarga berencana adalah gerakan kemanusiaan
karena gerakan tersebut didasarkan pada prinsip kemanusiaan universal yaitu kebebasan
individu atau keluarga dalam mengambil keputusan: “Parents have a basic right to decide
freely and responsibly on the number and spacing of their children and a right to adequate
education in this respect” (The International Conference on Human Rights in Teheran in
1968). Tidak heran jika tahun tersebut ditetapkan sebagai The Year of Human Rights.
Keluarga Berencana adalah gerakan revolusioner tidak hanya dalam arti demografis
(mengubah pola fertilitas dan struktur penduduk secara mendasar), tetapi juga dalam arti
kultural (mengubah sikap hidup masyarakat secara mendasar dari fatalisme—hamil dan
mempunyai anak adalah takdir—menjadi positivisme—manusia mempunyai otonomi atas
tubuhnya sendiri dan mampu memutuskan secara mandiri dan rasional kapan hamil dan
mempunyai anak berapa). Inilah dimensi kemanusiaan dan moral dari gerakan KB yang
tidak boleh diabaikan. Setiap individu apapun latar belakang ekonomi, sosial, agama,
etnisitas, gender, atau status perkawinannya, harus diakui, dihormati, dan dipenuhi hak-hak
dasarnya untuk mengontrol tubuhnya sendiri untuk mencapai situasi kesehatan reproduksi
yang ideal, termasuk dalam membuat pilihan tentang kehamilan, kelahiran, jumlah anak,
dan penggunaan kontrasepsi. Dimensi kemanusiaan atau moralitas dari gerakan KB ini
tidaklah cukup diletakkan sebagai alat atau cara (means) untuk tujuan demografis yang
sewaktu-waktu bisa ditinggalkan demi tujuan demografis tersebut, tetapi harus diletakkan
sebagai suatu tujuan yang berdiri sendiri dan tidak dapat dilanggar (inviolable goal).
Sayangnya di Indonesia keluarga berencana lebih berhasil mencapai tujuan demografisnya,
kurang pada tujuan-tujuan kemanusiaan dan moralnya. Indonesia termasuk negara yang
mampu menorehkan sejarah emas keluarga berencana dengan menurunkan angka fertilitas
secara sangat signifikan dari 5,6 di awal program (1970) menjadi 2,3 (hasil SDKI 2007
menurut perhitungan Hull & Mosley).
Namun dalam banyak kasus keberhasilan itu (terutama di era Orde Baru) dicapai melalui
cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan yang menjadi
landasan dari gerakan KB tersebut (berbagai bentuk pemaksaan oleh aparat pemerintah
kepada warga [PUS] untuk menjadi akseptor atau menggunakan kontrasepsi tertentu).
KEBEBASAN DAN TANGGUNGJAWAB DALAM KELUARGA BERENCANA
Keluarga Berencana dikembangkan untuk dua misi utama, menurunkan fertilitas dan
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Agar kedua misi tersebut tercapai, setiap individu
harus dijamin haknya untuk membuat keputusan secara bebas dan bertanggungjawab (right
to decide freely and responsibly) terhadap hal-hal yang menyangkut proses reproduksinya.
Akan tetapi, kata freely (secara bebas) dan responsibly (secara bertanggungjawab) adalah
sepasang kata yang penuh kontradiksi.
Dalam praktik, penerapan satu asas dapat menegasikan penerapan asas lainnya. Artinya,
penerapan asas kebebasan dapat berarti tidak bertanggungjawab, dan sebaliknya
penerapan asas tanggungjawab dapat berarti membatasi kebebasan. Karena kontroversi
dari kedua nilai tersebut, gerakan keluarga berencana sering terperangkap pada
kecenderungan double standard dalam mengambil suatu sikap. Terhadap kekuatan luar
yang membatasi kecenderungan individu untuk mengatur kelahiran melalui penggunaan
kontrasepsi, asas kebebasan yang dipakai. Inipun, untuk konteks Indonesia, hanya berlaku
untuk PUS resmi, bukan terhadap perempuan yang belum atau tidak menikah. Akan tetapi,
terhadap kekuatan yang mendorong individu untuk membuat keputusan yang bertentangan
dengan keinginan program (mempunyai anak yang lebih banyak, memilih kontrasepsi yang
tidak sesuai dengan prioritas program), maka asas tanggungjawablah yang dipakai.
Selain itu, kata tanggungjawab (responsibility) itu sendiri mengandung ketidakjelasan atau
kontroversi: bertanggungjawab dalam hal apa dan kepada siapa? Siapa yang mempunyai
otoritas untuk menafsirkan apakah suatu keputusan atau perilaku itu bertanggunjawab atau
tidak? Pada konferensi di Teheran (1968), kata responsibility dibiarkan tanpa definisi. Pada
konferensi di Bucharest (1974) dan di Mexico City (1984) arti pertanggungjawaban dikaitkan
dengan implikasi individual atau social dari pilihan menyangkut proses reproduksi. Artinya,
suatu keputusan individu untuk mempunyai anak atau untuk menentukan jumlah anak
dikatakan bertanggungjawab jika dengan keputusan tersebut kesejahteraan diri, anak-anak,
dan masyarakatnya tidak dikorbankan.
Any recognition of rights also implies responsibilities: in this case, implies that
couples and individuals should exercise this right, taking into consideration their own
situation, as well as the implications of their decisions for balanced development of
their children and of the community and society in which they live.
Dalam deklarasi di atas suatu pasangan dan individu dikatakan bertanggungjawab jika
dalam menggunakan haknya mempertimbangkan situasinya sendiri (apakah penggunaan
hak tersebut merugikan dirinya apa tidak), dan juga mempertimbangkan akibatnya terhadap
anak dan masyarakat. Definisi demikian pun masih mengundang multi-interpretasi.
Konsekuensi individu atau sosial seperti apa yang dikatakan positif atau negatif sehingga
dapat dinilai bahwa suatu penggunaan hak individu itu bertanggungjawab atau tidak? Ada
kasus tertentu yang tidak mengundang kontroversi, misalnya tidaklah bertanggungjawab jika
seorang perempuan memutuskan untuk hamil padahal tahu kondisi kesehatannya lemah
sehingga kehamilan dapat mengancam jiwanya. Namun dapat terjadi suatu kontroversi jika
masalahnya adalah sebagai berikut:




Apakah bertanggungjawab jika negara tidak memberi akses pelayanan KB kepada
perempuan di luar nikah padahal diketahui bahwa perempuan tersebut sexually
active dan potensial mengalami kehamilan tidak dikehendaki?
Apakah bertanggungjawab jika karena pertimbangan kesehatan (kematian, sakit
yang lebih parah, janin cacat), kehormatan (menjadi korban pemerkosaan atau
incest), atau masa depan perempuan hamil (karena masih sekolah), seorang
perempuan memutuskan untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki?
Apakah bertanggungjawab jika negara secara sengaja menutup pintu bagi
tersedianya pelayanan aborsi yang aman dan membiarkan banyak perempuan
menerima pelayanan aborsi yang tidak aman dengan konsekuensi lebih jauh, yaitu
tingginya angka mortalitas ibu?
Siapa yang mempunyai otoritas untuk membuat keputusan reproduksi (hamil,
melahirkan, mengakhiri kehamilan, atau menggunakan kontrasepsi) dan menilai
apakah keputusan tersebut bertanggungjawab: apakah perempuan itu sendiri,
pasangannya, institusi agama, ataukah negara?
ICPD KAIRO 1994
The International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo 1994 telah
menghasilkan suatu kesepakatan global, yang disebut Cairo Consensus, yang
mengintegrasikan isu-isu kependudukan, pembangunan, dan hak-hak asasi manusia ke
dalam suatu cetak biru aksi 20 tahun. Sekarang kita berada di tahun ke 15 dan hanya 5
tahun tersisa untuk dapat mengimplementasikan secara penuh kesepakatan tersebut.
Karena itu sudah selayaknya kita melakukan refleksi kembali seberapa jauh cetakbiru
tersebut telah terimplementasi di Indonesia?
Konsensus Kairo menempatkan manusia individual (individual human beings) dalam posisi
sangat sentral (in the very heart) dari upaya pembangunan. Dinyatakan bahwa jika
kebutuhan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi bagi semua individu
terpenuhi maka penduduk stabil akan tercapai dengan sendirinya, tidak perlu melalui caracara kekerasan. Karenanya setiap individu harus dihargai pilihan-pilihan aslinya, baik
menyangkut jarak, waktu, maupun jumlah anak. Kesepakatan tersebut juga menggarisbawahi peran sentral dari perempuan dan kaum muda dalam proses pembangunan. Selain
itu, kesepakatan tersebut juga memberi penegasan tentang hak asasi semua manusia dan
pemberdayaan terhadap perempuan, yang hak-haknya acapkali diabaikan, dan keterlibatan
laki-laki. Kairo menjadi salahsatu dari forum internasional pertama yang mengakui peran
perempuan dalam proses pembangunan dan memperjelas konsep hak reproduksi
perempuan.
REVITALISASI PROGRAM KB INDONESIA
Akhir-akhir ini muncul tuntutan yang kuat terhadap revitalisasi program KB di Indonesia. Hal
ini tampak misalnya pada debat capres yang baru lalu. Tuntutan ini wajar karena ada halhal yang mengkhawatirkan yang harus disikapi secara serius oleh semua pihak.
Tuntutan terhadap revitalisasi program KB di Indonesia muncul karena beberapa alasan:
1. Adanya penurunan kinerja program:
a. Angka fertilitas stagnan di era 2010an, yang jika hal ini berlanjut berkembang
lebih parah (mengalami kenaikan) harapan terjadi window of opportunity tidak
akan terwujud.
b. Lambatnya kenaikan angka prevalensi kontrasepsi (CPR), di sejumlah
daerah terjadi penurunan, yang mengindikasikan tidak efektifnya pelayanan
kontrasepsi, terutama kepada kelompok miskin.
c. Mix kontrasepsi yang tidak ideal dengan tingginya pemakaian kontrasepsi
injeksi dan rendahnya atau menurunnya pemakaian IUD dan sterilisasi.
2. Lemahnya struktur kelembagaan keluarga berencana.
a. Rendahnya efektivitas BKKBN dalam menjalankan fungsi koordinasi dan
implementasi program.
b. Lemahnya kelembagaan KB di tingkat daerah baik dalam hal anggaran,
kualitas SDM, dukungan pimpinan daerah, maupun jejaring kerja di daerah.
3. Belum terakomodasinya pendekatan hak individu (right based approach) yang
menjamin terpenuhinya hak semua individu, khususnya perempuan, untuk
mendapatkan pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi.
Diskusi tentang revitalisasi KB sampai sejauh ini lebih banyak terfokus untuk menjawab
masalah pertama dan kedua, dan kurang mempersoalkan masalah ketiga, padahal jika
kita mengacu kepada konsensus Kairo, di situlah akar persoalannya. Upaya untuk
menurunkan fertilitas haruslah memperhatikan semua perempuan yang berpotensi
menciptakan fertilitas. Karena itu tidak boleh ada diskriminasi dalam pelayanan keluarga
berencana dan kesehatan reproduksi terhadap kelompok individu tertentu. Kehamilan
tidak dikehendaki dan implikasinya (aborsi) akan dapat dihindari hanya jika ada akses
yang merata bagi semua individu dalam penggunaan kontrasepsi dan adanya solusi
yang memadai terhadap mereka yang gagal dalam menggunakan kontrasepsi. Jika
begitu yang diperlukan bukan hanya sekedar revitalisasi KB, tetapi juga redefinisi dan
reorientasi program KB secara mendasar agar Indonesia dapat menjadi aset bagi
pencapaian tujuan ICPD lima tahun mendatang (ICPD+20).
Download