Pragmatik dan Pemahaman Lintas Budaya Lersianna Saragih*) Abstrak Artikel ini menguraikan tentang perlunya penguasaan kebudayaan komunitas pengguna bahasa asing yang hendak dipelajari (bahasa target), selain dari penguasaan keterampilan membaca dan pemahaman tata bahasa dalam bahasa asing tersebut. Ilmu Pragmatik membantu untuk menemukan cara pengajaran bahasa asing yang menghasilkan pembelajar bahasa asing yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam konteks yang seutuhnya, dan tidak mengalami petaka komunikasi akibat ketidaksamaan budaya dengan komunitas pengguna bahasa target. Kata Kunci: ilmu Pragmatik, pengajaran bahasa asing, kesalahpahaman komunikasi, kompetensi komunikatif Pendahuluan Setiap komunitas mempunyai sistem nilai dan organisasi yang berbeda. Keberagaman ini mendasari adanya beragam pola hidup dan sikap berbahasa yang berbeda satu sama lain. Salah satu contoh adanya keberagaman ini adalah adanya bermacam-macam gaya berkomunikasi yang diartikan sebagai sikap yang digunakan seseorang dalam proses komunikasi. Gaya ini bersifat khas dan dipengaruhi oleh kebudayaan suatu masyarakat tertentu dan baru terlihat atau muncul dalam proses komunikasi. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat mengembangkan bahasa mereka untuk memenuhi kebutuhan dari kebudayaan tersebut. Tingkah laku masyarakat dalam situasi tertentu dalam suatu kebudayaan tertentu mungkin bisa berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat dari kebudayaan yang lain. Dengan kata lain, sikap berbahasa suatu masyarakat menunjukkan pula bagaimana budaya masyarakat pengguna bahasa tersebut. Oleh sebab itu dalam mempelajari bahasa, terutama bahasa asing, pembelajar harus mengetahui penggunaan bahasa tersebut secara benar. Situasi umum di tempat bahasa itu digunakan harus dikenal dan kebudayaan pemakai bahasa tersebut juga harus dipahami. Pemahaman budaya asing akan lebih mudah dicapai dengan cara membandingkan budaya sendiri dengan budaya yang dimiliki oleh pengguna bahasa yang dipelajari. Dengan demikian pembelajar dapat melihat dengan jelas persamaan dan perbedaan dari kedua budaya yang dimaksud secara objektif. Pengenalan budaya dari bahasa asing yang dipelajari dapat menghindari terjadinya kejutan budaya, jika pembelajar berada di negara tempat bahasa tersebut digunakan. Kejutan budaya merupakan respon individu dalam situasi budaya yang asing baginya. Respon tersebut bisa berupa bingung, resah, dan merasa tidak nyaman dalam lingkungan budaya asing tersebut. Kejutan budaya adalah konflik budaya dan merupakan kendala *) Penulis adalah Dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman FPBS Universitas Pendidikan Indonesia Lersianna Saragih, Pragmatik dan Pemahaman Lintas Budaya 109 dalam berkomunikasi. Kesadaran bahwa komunikasi tidak bisa terlepas dari konteks budaya dan perlunya pemahaman lintas budaya semakin meningkat dalam pembelajaran bahasa, terutama dalam pembelajaran bahasa asing. Sejauh ini, pengajaran bahasa asing masih dititikberatkan pada tahap penguasaan keterampilan membaca dan pemahaman tatabahasa. Sementara itu pengenalan terhadap budaya bahasa target masih sangat kurang. Pengajar bahasa asing seharusnya memberikan penjelasan kepada pembelajar tentang budaya bertutur para penutur bahasa target secara terarah dan terprogram. Pembahasan 1. Ilmu Pragmatik Pengkajian penggunaan bahasa serta kaidah-kaidahnya dan pola-pola kalimat dalam komunikasi yang mengungkapkan makna atau pesan dalam budaya bahasa yang sedang dipelajari (bahasa target) disebut sebagai ilmu Pragmatik. Ilmu ini tidak bisa dipisahkan dari penelitian tentang pengajaran bahasa terutama bahasa asing, karena pengajaran bahasa tidak terbatas padapengajaran struktur kalimat tetapi juga pada penggunaan kalimat dalam konteksnya. Dalam pengajaran bahasa asing dengan metode komunikatif, keterampilan pragmatik seharusnya menjadi tujuan akhir pengajaran karena pada akhirnya pembelajar dituntut agar mampu menggunakan bahasa yang wajar dalam situasi dan konteks berbahasa secara efektif dan efisien. Berbeda dengan pembelajaran bahasa pertama (bahasa ibu), dalam pembelajaran bahasa asing ilmu Pragmatik dipelajari dalam jalur formal, karena pembelajar tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh ilmu Pragmatik secara informal. Bahasa pertama dapat dipelajari dari pengalaman hidup menggunakan bahasa, memperhatikan tindakan berbahasa orang lain, dengan uji coba memakai bahasa dan dari koreksi atau perbaikan dari keluarga serta lingkungan. Pragmatik lebih dekat kepada performansi (teori Chomsky), yaitu tindakan berbahasaseseorang yang memang didasarkan atas kompetensi, tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ingatan, kesadaran, dan sebagainya. Morris dalam Tarigan (1986:33) mendefinisikan ilmu Pragmatik sebagai kajian untuk menelaah hubungan tanda-tanda dengan para penafsir. Gross (1988:144) mengatakan bahwa ilmu Pragmatik adalah disiplin ilmu semiotik yang mengkaji hubungan isyarat dengan pengguna, dan lebih menitikberatkan kepada kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, bukan pada struktur atau tata bahasa. Penguasaan struktur atau tata bahasa hanya merupakan fondasi atau dasar dalam berkomunikasi. Levinson (1980:27) mengemukakan pendapatnya, ilmu Pragmatik adalah kaitan dari hubungan antara bahasa dan konteks serta kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat tersebut. Konteks adalah hal ikhwal siapa, kepada siapa, kapan, dan di mana seseorang menggunakan bahasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu Pragmatik adalah cabang ilmu semiotik yang menelaah kaitan antara bahasa dengan penggunanya berdasarkan kepada konteks, yaitu bagaimana seseorang menggunakan bahasa tersebut,kapan, di mana, siapa dan kepada siapa bahasa digunakan serta aspek-aspek yang mempengaruhi pengguna bahasa tersebut, seperti aspek psikologis, biologis dan sosiologis. 110 Allemania, Vol. 1, No. 2 Januari 2012 2. Sikap Berkomunikasi Menurut Grice dalam Sumarmo (1988:70) ada kaidah yang mencakup peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien yakni dengan selalu berpegang penuh pada prinsip kerjasama dalam komunikasi dengan selalu: 1) mengatakan sesuatu yang telah terbukti kebenarannya, 2) mengatakan apa yang diperlukan saja, 3) mengatakan sesuatu yang relevan dan berguna, serta 4) mengatakan sesuatu secara jelas dan singkat. Dalam hal ini baik penutur maupun mitra tutur diminta untuk menyumbangkan apa yang diperlukan pada saat terjadinya pertuturan dengan berpegang teguh pada tujuan pertuturan. Gumperz (1982: 14) menyatakan bahwa percakapan yang melibatkan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dapat lebih mudah menimbulkan kesalahpahaman daripada mereka yang memiliki latar budaya yang sama. Kesalahpahaman di sini dapat terjadi karena penutur menerapkan pola-pola komunikasi yang lazim dalam budayanya, tetapi tidak lazim dalam budaya mitra tutur. Komunikator antar budaya yang efektif tidak hanya memiliki kompetensi bahasa dan kompetensi komunikatif, melainkan juga kompetensi budaya yang mengarah kepada empati dan rasa hormat terhadap adanya perbedaan budaya. Dengan demikian tujuan komunikasi dapat dicapai dengan lancar dan akan menguntungkan kedua belah pihak. Sikap berkomunikasi merupakan hal yang penting. Dalam hal ini perlu diperhatikan bagaimana hal tersebut dalam budaya kita sendiri misalnya: kapan dan bagaimana cara dan efek dari menyela pembicaraan, apakah lazim jika semuanya berbicara secara bersamaan atau haruskah menunggu hingga seseorang selesai mengungkapkan pendapatnya, dan haruskah menyela pembicara untuk mendapatkan kesempatan berbicara? Hal-hal tersebut perlu diperhatikan dan diketahui pembelajar bahasa asing agar dapat membuat perbandingan dengan situasi dalam bahasa yang dipelajari. 3. Pergantian Pembicara Dalam sebuah pembicaraan dengan peserta yang mempunyai hak yang sama untuk berbicara berlaku ketentuan- ketentuan seperti berikut: a. Setiap pembicara memiliki hak yang sama untuk berbicara sesering dan sepanjang mungkin, b. Setiap pembicara memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya secara tuntas, c. Jika ada di antara pembicara yang ingin menyampaikan gagasannya, maka sebaiknyapembicara menyimpulkan isi pembicaraannya, d. Pembicara yang lain mulai berbicara, jika pembicara pertama memberi sinyal bahwa dia telah selesai berbicara, e. Daftar nama pembicara disusun dan harus diiikuti. Aturan-aturan seperti ini dalam kehidupan sehari-hari sering berubah. Yang penting diperhatikan adalah mengerti sinyal- sinyal serta melangkah sesuai dengan rambu-rambu yang telah disepakati bersama. Lersianna Saragih, Pragmatik dan Pemahaman Lintas Budaya 111 Sinyal-sinyal untuk pergantian pembicara: a. Jika pembicara misalnya menurunkan nada suaranya, berbicara lebih lambat atau beristirahat disela waktu bicaranya, hal itu bisa menjadi sinyal bahwa yang bersangkutan akan segera mengakhiri pembicaraannya. Dengan cara meninggikan volume suara yang disertai dengan pandangan mata yang sesuai, juga dapat merupakan sinyal atau pembicarasecara langsung mempersilahkan orang lain untuk berbicara. b. Seorang pendengar dapat juga memberi sinyal bahwa dia inginmenyampaikan pendapatnya • nonverbal: menarik napas panjang, gelisah, membuat gerakan dengan tangannya; • verbal: melalui ungkapan-ungkapan meminta maaf,atau meneriakkan sesuatu, misalnya: Saya inginmengatakan; Bisa saya tambahkan; Maaf, jika saya; Maaf, bolehkah; Tepat sekali; Saya harus menyela; Mungkin sekarang saya boleh menyampaikan sesuatu? c. Pembicara dapat memberi sinyal, bahwa dia belum selesai berbicara dengan cara: • nonverbal: mempercepat tempo bicara, berbicara lebih keras atau melambaikan tangan; • verbal: melalui ungkapan-ungkapan. 4. Kaidah Pertuturan Percakapan selalu melibatkan beberapa orang atau minimal dua orang dan percakapan dapat terwujud apabila syarat tersebut terpenuhi. Dalam sebuah percakapan diharapkan terjadi peralihan peran pembicara yang mengikuti kaidah alih tutur, yang berarti komunikasi tidak dimonopoli oleh satu orang sehingga terciptalah keharmonisan komunikasi. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam sebuah percakapan harus berkontribusi secara aktif agar tindak komunikasi bermanfaat bagi kedua pihak. Menurut Richard dan Schmidt (1983:141-143) ada beberapa peralihan tutur dalam masyarakat. Hasil penelitian mereka menunjukkan adanya perbedaan antara alih tutur bangsa Amerika dan anak-anak Fiji keturunan India. Anak-anak Amerika menghindari pembicaraan yang terjadi bersama-samadalam waktu yang bersamaan. Sebaliknya anakanak Fiji keturunan India sering berbicara secara bersamaan dalam suatu pembicaraan dan pada umumnya tidak ada yang mengalah. Tannen(1994:62) mengatakan bahwa orang New York sangat gemar berbicara bersamaan dan saling menyela terutama dalam situasi percakapan yang tidak formal. Masyarakat Jepang dan Turki dikenal sebagai masyarakat yang senang bertutur panjang kalau sudah mendapat giliran untuk berbicara; sedangkan masyarakat Australia dan Jerman tidak suka berlama-lama dalam berbicara. Dalam waktu singkat mereka akan memberikan giliran pada orang lain untuk ikut berbicara.Masyarakat Finlandia memerlukan keheningan untuk berefleksi selama pembicaraan berlangsung; sementara 112 Allemania, Vol. 1, No. 2 Januari 2012 masyarakat Jerman dan Italia akan terus berbicara sambil berpikir. Sumarmo(1988:176) mengadakan penelitian tentang pemakaian pertuturan dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Ia mengatakan bahwa bahasa Jawa cenderung ke orientasi mitra tutur dan dalam bahasa Indonesia pertuturan tidak langsung lebih sering dipakai dari pada pertuturan langsung. Hasil penelitian tindak tutur menolak oleh penutur bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, Aziz (1996:200) menemukan adanya sejumlah strategi menolak yang justru sangat berpotensi membawa petaka dalam komunikasi lintas budaya. Strategi-strategi ini diantaranya adalah memberi peluang lain, tidak memberi kepastian, menunda jawaban, atau tetap diam. Jawaban seperti “Insya Allah” atau“gimana nanti’ bisa menimbulkan kebingungan apakah sebenarnya penutur menerima atau menolak. Kebingungan ini bisa lebih parah jika ini terjadi dalam komunikasi dengan orang Jerman yang selalu meminta adanya kepastian. Tidak bagi masyarakat Jerman berarti tidak, tetapi dalam masyarakat Indonesia dibutuhkan kemampuan untuk menafsirkan bahwa sebuah pertuturansebenarnya bermuatan penolakan. Hal-hal seperti ini perlu diketahui pembelajar bahasa asing, untuk dapat memposisikan dirinya dengan benar, ketika berinteraksi dengan masyarakat pengguna bahasa yang mereka pelajari. Dalam sebuah pembicaraan informal persoalan penggantian pembicara biasanya diatur melalui sebuah konvensi yang berlaku dalam masyarakat tersebut.Biasanya orang yang lebih tua atau orang yang dihormati diutamakan untuk berbicara dan bertindak sebagai pengkoordinasi pembicaraan. Urutan pembicara biasanya tidak ditetapkan dan demikian juga dengan lama berbicara. Dari penjelasan dan contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pada suatu waktu dalam percakapan hanya ada satu orang pembicara. Apabila dalam suatu percakapan ada satu orang yang sedang berbicara, peserta yang lain seharusnya tidak berbicara, melainkan mendengarkan sambil menunggu giliran masing-masing untuk bicara, atau dengan kata lain orang yang sedang berbicara harus dihormati.Di sini terlihat bahwa ada kerjasama antara orang-orang yang terlibat dalam sebuah pembicaraan yang dikenal dengan sebutan kerjasama berbahasa. Kegagalan mencapai tujuan komunikatif dapat terjadi jika pembicaraan dimonopoli oleh seorang partisipan tanpa mempedulikan orang lain. 5. Implikasi Tindak Tutur bagi Pengajaran Bahasa Asing Dengan bergesernya orientasi bahasa kedua dari tradisi struktural ke komunikatif, aspek budayapun semakin banyak terakomodasi. Kaitan budaya dan bahasa merupakan faktor yang juga perlu dipertimbangkan dalam pengajaran bahasa. Pengajaran bahasa dengan metode komunikatif harus mengarahkan pembelajar menguasai bahasa dalam konteks komunikasi. Belajar bahasa lebih dari sekedar menguasai bentuk-bentuk kaidah melainkan agar pembelajar mampu berkomunikasi. Dengan demikian, kemungkinan kesalahpahaman dalam berkomunikasi dapat ditekan seminimal mungkin. Pertimbangan cocok tidaknya penggunaan suatu tuturan pada konteks sosiokulturalnya menjadi salah satu tujuan dari pengajaran bahasa. Bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi hendaknya wajar dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat pengguna bahasa tersebut. Lersianna Saragih, Pragmatik dan Pemahaman Lintas Budaya 113 Tujuan pembelajaran bahasa termasukpencapaian kompetensi komunikatif. Oleh karena itu, orang yang memiliki kompetensi komunikatif adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam konteks yang seutuhnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan pragmatik dapat meminimalisasi kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Dan dapat dilihat betapa pentingnya pengadaan mata kuliah Pemahaman Lintas Budaya yang juga berfungsi untuk menimbulkan empati para pembelajar terhadap masyarakat pengguna bahasa yang dipelajari. Di samping itu dianggap penting tersedianya tenaga pengajar yang dianggap layak mengajarkan mata kuliah Pemahaman Lintas Budaya. Jika dua hal tersebut dapat diatasi, maka dapat dipastikan bahwa petaka komunikasi antar masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda dapat dihindari. Penutup 1. Simpulan Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pragmatik memiliki peranan yang sangat penting dalam pengajaran bahasa asing, dalam hal ini bahasa Jerman, terutama untuk menghindari kesalahpahaman yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan konteksnya. 2. Saran a. Bagi Pengajar Bahasa Asing Dalam setiap kesempatan, pengajar bahasa asing seyogianya tidak lupa me­ nyisip­kan budaya bahasa target dan menekankan pentingnya Pemahaman Lintas Budaya. Contoh: Dalam pembahasan Essen und Trinken, pembelajar bahasa asing perlu diperkenalkan dengan etika masyarakat pengguna bahasa target di meja makan. Contoh yang lain, dengan memperkenalkan kepada pembelajar bahasa asing pertanyaan-pertanyaan yang tabu untuk dikemukakan. Misalnya menanyakan usia, penghasilan, agama serta penggunaan sebuah ungkapan yang sesuai dengan konteks seperti penggunaan Tschüss dengan Auf Wiedersehen. b. Bagi Pembelajar Bahasa Asing Setiap pembelajar bahasa asing sebaiknya membekali diri dengan muatan budaya bahasa target, baik melalui internet maupun melalui buku-buku. Mengingat mata kuliah Pemahaman Lintas Budaya tidak tercantum dalam Kurikulum. DAFTAR PUSTAKA Aziz, E. A., 2001. Realisasi Tindak Tutur Menolak dalam Jurnal Pendidikan dan Sastra. FPBS: Universitas Pendidikan Indonesia. Gross, Harro, 1988. Einführung in die germanistische Linguistik. München: Judicium Verlag. Gumperz, John J., 1982. Discourse Strategies. New York: Cambridge University Press. Levinson, Stephen, 1980. Pragmatics. London: Cambridge University Press. Richard, Jack J. dan Richard W. S., 1983. “Conversational Analyse” dalam Richard dan Schmidt (ed). Language an Communication. London: Longmann. Soemarno, Marno, 1988. Pragmatik dan Perkembangan Mutakhirnya dalam Pelba. Jakarta, Lembaga Bahasa Unika Atmajaya. Tarigan, Henry Guntur, 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. 114 Allemania, Vol. 1, No. 2 Januari 2012