BAB II - Elib Unikom

advertisement
BAB II
ASPEK-ASPEK HUKUM MENGENAI WANPRESTASI DAN
JUAL BELI SECARA ELEKTRONIK
A. Dasar Hukum Perjanjian Jual Beli Secara Elektronik
Di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
Perikatan Pasal 1313 disebutkan bahwa, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih, sementara itu Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga
menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, dengan demikian prestasi itu
dibedakan atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.
Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain, atau dua orang tersebut saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal, yang menimbulkan suatu perikatan antara dua pihak
yang membuatnya10. Oleh karena itu perjanjian merupakan salah satu sumber dari
perikatan.
Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan
bahwa syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :
1. Kesepakatan para pihak, artinya bahwa para pihak yang membuat
perjanjian telah sepakat atau memiliki persesuaian kemauan dan saling
menyetujui kehendak masing-masing yang dinyatakan secara tegas
10
Subekti. R, Pokok pokok Hukum Perdata, Cet. XXIX, Jakarta: PT. Inter Masa, 2001,
hlm.122.
19
20
ataupun secara diam-diam, dengan tidak ada paksaan, kekeliruan,
ataupun
penipuan.
Asas
konsensualisme
menganggap
bahwa
perjanjian terjadi seketika setelah ada kata sepakat. Adapun untuk
menentukan kapan suatu kesepakatan itu dapat terjadi, ada beberapa
teori-teori yang akan menjelaskan hal tersebut, antara lain :11
a. Uitings theorie atau teori saat melahirkan kemauan, yang
artinya bahwa perjanjian terjadi apabila atas penawaran
tertentu telah dilahirkan kemauannya dari pihak lain.
Kemauan dari pihak lain tersebut dapat dikatakan telah
dilahirkan pada waktu pihak lain mulai menulis surat
penerimaan atau menyatakan kemauannya.
b. Verzend theorie atau teori saat mengirim surat penerimaan,
menjelaskan bahwa perjanjian terjadi pada saat surat
penerimaan dikirimkan kepada penawar.
c. Onvangs theorie atau teori saat menerima surat penerimaan,
artinya bahwa perjanjian terjadi pada saat penawar
menerima surat penerimaan dari pihak lain.
d. Vernemings theorie atau teori saat mengetahui surat
penerimaan, menerangkan bahwa perjanjian baru terjadi
apabila si penawar telah membaca atau telah mengetahui isi
surat penerimaan tersebut.
11
Riduan Syahrani, Op. Cit., hlm. 214.
21
Para ahli hukum dan yurisprudensi negeri Belanda semuanya menolak
uitings theorie dan verzend theorie, namun Opzoomer, Land, Asser
dan Vollmar serta yurisprudensi Hoge Raad di negeri Belanda
menganut ontvangs theorie, sedangkan Diephuis dan Suyling
menganut vernemings theorie12. Subekti dalam bukunya “Hukum
Perjanjian” menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut
sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak
yang melakukan penawaran menerima yang termaktub dalam surat
tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya
kesepakatan, apabila ia tidak membaca surat itu maka hal itu menjadi
tanggung jawabnya sendiri, dan ia dianggap sepantasnya membaca
surat-surat
yang
diterimanya
dalam
waktu
yang
sesingkat-
singkatnya13. Akan tetapi menurut Wirjono Prodjodikoro dalam
bukunya “Asas-asas Hukum Perjanjian”, bahwa ontvanngs theorie dan
vernemings theorie dapat dikawinkan sedemikian rupa, yaitu dalam
keadaan biasa perjanjian harus dianggap terjadi pada saat surat
penerimaan sampai pada alamat penawar (ontvangs theorie)14. Tetapi
dalam keadaan luar biasa kepada si penawar diberikan kesempatan
untuk
membuktikan
memungkinkan
bahwa
seseorang
kondisi
untuk
dapat
tersebut
mengetahui
penerimaan pada saat surat sampai dialamatnya.
12
Ibid., hlm. 215.
Ibid., hlm. 216.
14
Ibid.
13
diatas
isi
tidak
surat
22
Apabila penawaran dikeluarkan lewat alat komunikasi akan tetapi
sebenarnya penawaran tersebut tidak cocok dengan yang diinginkan
oleh orang yang mengeluarkan penawaran itu, sedangkan pihak lain
sudah mempercayainya dan menyesuaikan dirinya dengan pernyataan
yang keliru itu, oleh Subekti dalam bukunya “Hukum Perjanjian”
dijelaskan bahwa, menurut wils theorie atau teori kemauan, hal
tersebut tidak mengakibatkan terjadinya perjanjian, namun pihak yang
mengeluarkan perjanjian tersebut tidak terlepas begitu saja dari
tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena pernyataan
keliru yang dikeluarkan itu, sehingga dalam hal ini ia diwajibkan untuk
membayar ganti rugi kapada pihak yang dirugikan akibat tindakannya
mengeluarkan pernyataan tersebut meskipun tidak sesuai dengan
keinginannya15, sedangkan menurut Vertrouwens theorie (teori
kepercayaan), telah terjadi perjanjian sebab kemauan yang masih
tersimpan dalam hatinya belum dinyatakan belum diatur oleh hukum.
Hukum hanya mengatur segala yang tampak dari tingkah laku orang
dalam pergaulan hidup ditengah-tengah masyarakat.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan
hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa. Berdasarkan Pasal 47
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
bahwa orang yang sudah dewasa adalah telah berusia 18 (delapan
15
Ibid., hlm. 217.
23
belas) tahun atau sudah menikah. Kemudian orang yang dinyatakan
cakap untuk membuat perjanjian ialah orang yang sehat akal pikiran,
yaitu orang yang tidak dungu atau memiliki keterbelakangan mental,
tidak sakit jiwa atau gila, dan juga orang-orang yang bukan pemboros
(pasal 433 KUH Perdata). Selain itu orang yang cakap membuat
perjanjian adalah orang yang tidak dilarang oleh suatu peraturan
perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum
tertentu, seperti orang yang sedang pailit dilarang untuk mengadakan
perjanjian utang piutang. Bagi orang yang belum dewasa dapat
diwakilkan oleh orang tuanya atau walinya, sedangkan bagi orang
yang tidak sehat akal pikirannya harus ditaruh dibawah pengampuan
yang kemudian dapat diwakilkan oleh pengampunya atau disebut juga
Curator.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu ialah sesuatu yang menjadi obyek perjajian atau
disebut juga prestasi. Prestasi menurut Pasal 1234 Kitab UndangUndang Hukum Perdata adalah dapat berupa memberi sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbat sesuatu. Pasal 1333 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata juga menjelaskan bahwa yang menjadi objek suatu
perjanjian ini harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan
mengenai jenisnya. Selain itu prestasi dari suatu perikatan harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :16
16
Ibid., hlm. 206.
24
a. Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
b. Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi
tersebut harus dapat ditentukan dengan jelas mengenai jenis
maupun jumlahnya.
c. Harus mungkin dilakukan, artinya prestasi tersebut
mungkin dilakukan menurut kemampuan manusia pada
umumnya dan kemampuan debitur khususnya, misalnya
tidaklah mungkin debitur yang seorang tuna wicara
diharuskan menyanyi.
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat terakhir untuk sahnya suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan mengikat. Selain itu didalam Pasal 1337 Kitab UndangUndang Hukum Perdata juga dijelaskan bahwa sesuatu sebab dalam
perjanjain tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan juga kesusilaan.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif artinya syarat
tersebut menyertai para pihak atau menempel pada pribadi para pihak, di mana
apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya
para pihak dapat mengajukan pembatalan perjanjian kepada hakim dalam waktu
25
paling lambat 5 (lima) tahun setelah terjadinya kesepakatan (Pasal 1454 KUH
Perdata), apabila tidak dilakukan permintaan pembatalan maka perjanjian tersebut
tetap berlaku mengikat bagi para pihak. Sedangkan syarat yang ketiga dan
keempat merupakan syarat objektif yang tidak menyertai para pihak atau di luar
diri para pihak, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka sebagai
konsekuensinya perjanjian dinyatakan batal demi hukum, artinya bahwa
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada, oleh karena itu tidak ada dasar bagi
para pihak untuk menuntut pemenuhan prestasi.
Setiap perjanjian agar dapat berlaku mengikat harus memenuhi unsurunsur di dalam suatu perjanjian yang terdiri dari :
1. Essentialia
Unsur essentialia adalah unsur-unsur pokok di dalam suatu persetujuan
yang mutlak harus ada, yang tanpa itu persetujuan tidak mungkin ada,
misalnya harga barang merupakan unsur essentialia dalam perjanjian
jual beli.
2. Naturalia
Unsur naturalia merupakan unsur-unsur yang oleh undang undang
ditentukan sebagai peraturan yang bersifat mengatur, yaitu unsur yang
dianggap telah ada dalam perjanjian sekalipun para pihak tidak
menentukan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik para
pihak dalam melaksanakan isi perjanjian.
26
3. Accidentalia
Unsur accidentalia ialah unsur yang oleh para pihak ditambahkan
dalam persetujuan, di mana undang undang tidak mengaturnya,
misalnya dalam perjanjian jual beli sering terdapat klausul “Barang
yang sudah di beli tidak dapat dikembalikan lagi”.
Di dalam hukum perdata di Indonesia dikenal beberapa macam perjanjian
diantaranya yaitu : 17
1. Perjanjian timbal balik, adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban pokok bagi kedua belah pihak, seperti perjanjian jual beli
merupakan perjanjian timbal balik.
2. Perjanjian cuma-cuma, di dalam Pasal 1314 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Perdata dijelaskan bahwa suatu persetujuan dibuat
dengan cuma-cuma atau atas beban, dan pada ayat (2) dijelaskan
bahwa suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada
pihak yang lain tanpa menerima manfaat bagi dirinya sendiri, misalnya
hibah.
3. Perjanjian atas beban, dalam Pasal 1314 ayat (3) Kitab UndangUndang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian atas beban
adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu,
17
Mariam Darus Badrulzaman, et al., Op. Cit., hlm. 66.
27
artinya bahwa dalam perjanjian atas beban, terhadap prestasi pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain.
4. Perjanjian bernama, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri,
artinya bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama
oleh pembentuk undang-undang atau seperti perjanjian yang terdapat
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
5. Perjanjian tidak bernama, adalah perjanjian yang tidak diatur di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi terdapat di dalam
masyarakat. Lahirnya perjanjian ini didasarkan atas asas kebebasan
berkontrak, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, dan
sebagainya.
6. Perjanjian obligator, ialah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada
pihak lain, misalnya dalam perjanjian jual beli saja belum
mengakibatkan beralihnya hak milik, akan tetapi harus diikat dengan
perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan)18.
7. Perjanjian
kebendaan,
adalah
perjanjian
dimana
seseorang
menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang
membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut
kepada pihak lain.
18
Ibid., hlm. 67.
28
8. Perjanjian konsensual, yaitu perjanjian di mana diantara kedua belah
pihak telah tercapai kesepakatan atau persesuaian kehendak untuk
mengadakan perikatan.
9. Perjanjian riil, ialah perjanjian yang hanya berlaku setelah adanya
penyerahan barang atau sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya
seperti dalam perjanjian penitipan barang, pinjam pakai, dan
sebagainya.
10. Perjanjian liberatoir, adalah perjanjian di
mana para pihak
membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya dalam hal
pembebasan hutang.
11. Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh para pihak
untuk menentukan suatu pembuktian tertentu yang berlaku di antara
mereka.
12. Perjanjian untung-untungan, ialah perjanjian yang objeknya atau
prestasinya ditentukan kemudian dan belum tentu akan terjadi,
misalnya dalam perjanjian asuransi.
13. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai
pemerintah.
14. Perjanjian campuran, adalah perjanjian yang mengandung berbagai
macam perjanjian, misalnya pemilik hotel, disamping menyewakan
hotel (sewa menyewa), juga menjual makanan (jual beli).
29
Dari beberapa macam perjanjian sebagaimana telah disebutkan diatas,
perjanjian jual beli termasuk ke dalam perjanjian timbal balik, perjanjian atas
beban, perjanjian kosensual, dimana perjanjian antara penjual dan pembeli
dilakukan atas dasar kesepakatan dan diantara keduanya terdapat hak dan
kewajiban yang merupakan kontra prestasi dari pihak lain. Selain itu, perjanjian
jual beli merupakan perjanjian obligator dan perjanjian kebendaan, karena di
dalam perjanjian jual beli penjual diharuskan melakukan penyerahan suatu benda
kepada pihak lain.
Pada dasarnya perjanjian jual beli merupakan perjanjian bernama, karena
perjanjian jual beli telah diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang
yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan
perjanjian jual beli yang dilakukan secara elektronik melalui media internet
termasuk perjanjian tidak bernama karena di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut.
Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal beberapa asas
dalam perjanjian, yaitu :19
1. Asas kebebasan berkontrak, yaitu asas yang menjelaskan bahwa setiap
orang bebas untuk menentukan bentuk, macam, dan isi perjanjian
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan. Hal ini diatur didalam Pasal 1338 (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, dan menggambarkan bahwa Buku III
KUH Perdata bersifat terbuka.
19
Ibid., hlm. 83.
30
2. Asas konsensualisme, yaitu asas yang menganggap bahwa perjanjian
telah ada setelah ada kata sepakat dari para pihak.
3. Asas kepercayaan, yaitu asas yang menganggap bahwa para pihak
telah saling percaya untuk saling mengikatkan diri masing-masing
dalam melaksanakan perjanjian.
4. Asas kekuatan mengikat, maksudnya bahwa para pihak tidak hanya
terikat pada isi perjanjian tetapi juga terhadap asas moral, kepatutan
dan kebiasaan.
5. Asas persamaan hukum, artinya bahwa kedua pihak yang mengadakan
perjanjian sama kedudukannya di depan hukum sehingga harus saling
menghormati satu sama lain.
6. Asas
keseimbangan,
bahwa
para
pihak
wajib
melaksanakan
kewajibannya masing-masing secara seimbang dengan itikad baik.
7. Asas kepastian hukum, bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
8. Asas moral, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian ada
motivasi berdasarkan moral sebagi panggilan hati nuraninya untuk
melaksanakan kewajibannya dengan penuh kesadaran moral yang
tinggi.
9. Asas kepatutan, bahwa isi perjanjian tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangn, kesusilaan, dan juga kepatutan.
31
10. Asas kebiasaan, artinya bahwa suatu perjanjian tidak hanya
menyangkut hal-hal yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan saja tetapi juga menyangkut kebiasaan yang lazim diikuti.
Berdasarkan
Pasal
1457
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
disebutkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan rumusan di dalam
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka jual beli
merupakan suatu perjanjian di mana satu pihak yang disebut pihak penjual,
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak yang
lainnya yang disebut pihak pembeli, mengikatkan dirinya untuk membayar harga
dari benda tersebut sebesar yang telah disepakati bersama.
Perjanjian jual beli diatur dalam Buku III Pasal 1457 sampai dengan Pasal
1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akan tetapi ada beberapa pasal yang
dinyatakan dicabut berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor
III tahun 1963 karena dinilai tidak adil dan dirasakan sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi sekarang. Pasal-pasal yang sudah tidak berlaku tersebut antara lain
adalah, Pasal 1460 mengenai risiko yang harus ditanggung pembeli sejak saat
pembelian meskipun penyerahan barang belum dilakukan tapi penjual berhak
menuntut pembayaran harganya, serta Pasal 1238 tentang pernyataan lalai
terhadap debitur harus dengan surat perintah. Jadi dengan di cabutnya beberapa
ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana di
uraikan diatas maka risiko dalam perjanjian jual beli sebelum waktu
32
penyerahannya ditanggung oleh penjual, dan juga terhadap debitur yang dianggap
telah melakukan wanprestasi tidaklah harus dengan surat perintah dalam hal
penetapannya.
Sesuai dengan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
jual beli merupakan suatu perjanjian, oleh karenanya lahirnya jual beli harus
didahului oleh adanya perjanjian. Jual beli merupakan perjanjian timbal balik di
mana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda,
sedangkan pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah
uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut20.
Suatu perjanjian jual beli dapat dibuat secara tertulis dihadapan Notaris
maupun dibuat secara dibawah tangan. Perjanjian yang dibuat di bawah tangan
artinya perjanjian tersebut dibuat secara langsung antara penjual dan pembeli,
biasanya cukup dengan sepakat bahwa pembeli akan membayar harganya apabila
barang telah diserahkan oleh penjual kepada pembeli ataupun sebaliknya (Asas
Konsensualisme). Hal demikian dinyatakan sah menurut hukum, karena hukum di
Indonesia menganut asas kebebebasan berkontrak yang berarti setiap orang bebas
menentukan bentuk, macam, dan isi perjanjian jual beli yang mereka buat,
sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, ketertiban umum, dan juga kesusilaan. Dengan kata lain
harus tetap memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sesuai dengan asas kepastian
hukum, bahwa perjanjian apapun yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang20
Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di
Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 1.
33
undang bagi pihak-pihak yang membuatnya, seperti yang telah ditentukan dalam
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selain asas kebebasan berkontrak, perjanjian jual beli juga merupakan
perjanjian konsensualisme yang artinya perjanjian tersebut telah dilahirkan pada
detik tercapainya kata sepakat21. Asas konsensualisme dari jual beli ini dijelaskan
dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi, jual beli
dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka
mencapai kesepakatan tentang harga dan barang yang diperjual belikan, meskipun
barang tersebut belum diserahkan dan harganyapun belum dibayarkan.
Dalam jual beli terdapat larangan terhadap barang yang diperjual belikan,
karena seperti yang tercantum dalam Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bahwa barang-barang yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah
barang-barang yang dapat diperdagangakan. Adapun barang-barang yang tidak
dapat
diperdagangkan
misalnya
benda-benda
yang
dipergunakan
untuk
kepentingan umum, seperti jembatan, jalan, dan sebagainya, tidak dapat dijadikan
objek perjanjian.
Jual beli secara elektronik atau sering juga disebut e-commerce menurut
Julian Ding dalam bukunya “E-commerce: Law and Office” yang diadaptasi oleh
Haris Faulidi Asnawi yaitu :22
E-commerce merupakan suatu transaksi komersial yang dilakukan penjual
dan pembeli atau dengan pihak lain dalam hubungan perjanjian yang sama
untuk mengirimkan sejumlah barang, pelayanan atau peralihan hak.
Transaksi komersial ini terdapat di dalam media elektronik yang secara
21
22
Ibid., hlm 2.
Haris Faulidi Asnawi, Op. Cit., hlm. 16.
34
fisik tidak memerlukan pertemuan para pihak yang bertransaksi, dan
keberadaan media ini dalam public network atas sistem yang berlawanan
dengan private network.
Di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Teknologi Informasi (Draf
ketiga) dijelaskan mengenai definisi dari perdagangan secara elektronik dalam
pasal 1 poin (3), yaitu :
“Perdagangan secara elektronik adalah setiap perdagangan barang maupun
jasa yang dilakukan melalui jaringan komputer atau media elektronik
lainya”.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Teknologi Informasi (Draf ketiga) juga
menjelaskan mengenai definisi dari kontrak elektronik dalam pasal 1 poin (5),
yaitu :
“Kontrak elektronik adalah dokumen elektronik yang memuat transaksi
dan atau perdagangan elektronik”.
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan jual beli secara elektronik yaitu serangkaian proses transaksi
jual beli baik barang maupun jasa yang dilakukan antara pihak penjual dan pihak
pembeli dengan menggunakan perjanjian yang dibuat secara elektronik melalui
media internet di mana para pihak tidak bertemu secara langsung.
35
Prinsip-prinsip UNCITRAL model law on electronic commerce,
menjelaskan bahwa :
1. Segala informasi elektronik dalam bentuk data elektronik dapat
dikatakan untuk memiliki akibat hukum, keabsahan, ataupun kekuatan
hukum.
2. Dalam hal mengharuskan adanya suatu informasi harus dalam bentuk
tertulis, maka suatu data elektronik dapat memenuhi syarat itu.
3. Dalam hal tanda tangan, maka tanda tangan elektronik merupakan
tanda tangan yang sah.
4. Dalam hal kekuatan pembuktian dari data yang bersangkutan, maka
data elektronik berupa message memiliki kekuatan pembuktian.
Sejalan dengan apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip UNCITRAL
model law on electronic commerce, maka segala informasi, data, tanda tangan,
dan hal-hal lain yang dijadikan alat bukti yang dibuat secara elektronik dianggap
memiliki kekuatan hukum dalam hal pembuktian.
Transaksi jual beli secara elektronik atau e-commerce memiliki
karakteristik antara lain sebagai berikut :23
1. Terjadinya transaksi antara dua belah pihak;
2. Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;
3. Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme
perdagangan tersebut.
23
Ibid., hlm. 17.
36
Ruang lingkup e-commerce meliputi aktifitas-aktifitas ekonomi berikut :24
1. Business to business, merupakan sistem komunikasi bisnis online antar
pelaku bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik antar
perusahaan dan dalam kapasitas atau volume produk yang relatif besar.
2. Business to consumer, merupakan suatu transaksi bisnis secara
elektronik yang dilakukan pelaku usaha dengan pihak konsumen untuk
memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu.
3. Consumer to consumer, merupakan transaksi bisnis secara elektronik
yang dilakukan antar konsumen dengan konsumen lainya untuk
memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu
Di dalam jual beli secara elektronik para pihak tidak bertemu secara
langsung akan tetapi hanya berhubungan melalui media internet di mana masingmasing pihak menyatakan keinginannya atau kehendaknya dalam sebuah kontrak
atau kesepakatan yang dibuat secara elektronik.
Ada 6 (enam) komponen yang terdapat dalam suatu kontrak dagang
elektronik, yaitu :25
1. Ada kontrak dagang,
2. Kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik,
3. Kehadiran fisik para pihak tidak diperlukan,
4. Kontrak itu terjadi dalam jaringan publik,
5. Sistemnya terbuka, yaitu dengan internet atau WWW, dan
6. Kontrak itu terlepas dari batas yuridiksi nasional.
24
25
Panggih P Dwi Atmojo, Op. Cit., hlm.6.
Mariam Darus Badrulzaman, et al., Op. Cit., hlm. 284.
37
B. Aspek-Aspek Hukum Wanprestasi Dalam Jual Beli Secara Elektronik
Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi dalam setiap perikatan,
prestasi merupakan isi daripada perikatan, apabila debitur tidak memenuhi
prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan
wanprestasi.
Menurut Riduan Syahrani, wanpresatsi seorang debitur dapat berupa 4
(empat) macam, yaitu :26
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi, artinya debitur sama sekali tidak
memenuhi perikatan atau dengan kata lain debitur tidak melaksanakan
isi perjanjian sebagaima mestinya.
2. Tidak tunai memenuhi prestasi atau prestasi dipenuhi sebagian, artinya
bahwa debitur telah memenuhi prestasi tetapi hanya sebagian saja,
sedangkan sebagian yang lain belum dibayarkan atau belum
dilaksanakan.
3. Terlambat memenuhi prestasi, bahwa debitur tidak memenuhi prestasi
pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, walapun ia
memenuhi prestasi secara keseluruhan.
4. Keliru memenuhi prestasi, artinya bahwa debitur memenuhi prestasi
dengan barang atau obyek perjanjian yang salah. Dengan kata lain
prestasi yang dibayarkan bukanlah yang ditentukan dalam perjanjian
ataupun bukan pula yang diinginkan oleh kreditur.
26
Riduan Syahrani, Op. Cit., hlm. 228.
38
Sedangkan menurut Mariam Darus badrulzaman, dijelaskan bahwa wujud
dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu debitur sama sekali
tidak memenuhi prestasi, debitur terlambat memenuhi prestasi, serta debitur keliru
atau tidak pantas memenuhi prestasi27.
Sebagai konsekuensi dari tidak dipenuhinya dari perikatan ialah bahwa
kreditur atau pihak lain yang dirugikan dapat meminta ganti kerugian atas biayabiaya yang telah dikeluarkannya, kerugian atau kerusakan barang miliknya, dan
juga bunga atas keuntungan yang seharusnya akan didapatkan dan telah
diperhitungkan. Di dalam Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dijelaskan bahwa apabila debitur dalam keadaan wanprestasi maka kreditur dapat
memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan, antara lain yaitu pemenuhan
perikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian, ganti kerugiannya saja,
pembatalan perjanjian, ataupun pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian.
Apabila kreditur hanya menuntut ganti kerugian saja maka ia dianggap
telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian,
sedangkan apabila kreditur hanya menuntut pemenuhan perikatan maka tuntutan
ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perikatan
memang sudah dari semula menjadi kesanggupan debitur untuk melaksanakannya.
Dalam hal untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undangundang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam
keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah
merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, di mana debitur
27
Mariam Darus Badrulzaman, et al., Op. Cit., hlm. 18.
39
dinyatakan ingkar janji atau telah melakukan wanprestasi. Pasal 1243 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa penggantian biaya, rugi,
dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan
apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam
tenggang waktu tertentu telah dilampauinya.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, maksud berada dalam keadaan lalai
ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya
debitur wajib memenuhi prestasi, apabila saat tersebut dilampauinya maka debitur
dinyatakan telah ingkar janji atau wanprestasi28. Sedangkan Riduan Syahrani,
berpendapat bahwa dalam perjanjian dimana prestasinya berupa memberi sesuatu
atau untuk berbuat sesuatu, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka
untuk pemenuhan prestasi tersebut debitur harus lebih dahulu diberi tegoran agar
ia memenuhi kewajibannya. Debitur yang tidak memenuhi prestasi setelah di beri
tegoran maka ia dianggap telah wanprestasi29. Akan tetapi apabila wanprestasi
tersebut terjadi pada perjanjian yang prestasinya dapat seketika dipenuhi,
misalnya barang yang akan dijual sudah ada maka prestasi itu dapat dituntut
supaya dipenuhi seketika. Akan tetapi apabila prestasi dalam perjanjian itu tidak
dapat dipenuhi seketika, misalnya barang yang akan dijual belum datang atau
belum ada maka kepada debitur atau penjual diberi waktu untuk memenuhi
prestasi tersebut.
28
29
Ibid.
Riduan Syahrani, Op. Cit., hlm. 229.
40
Pada mulanya pengaturan mengenai bagaimana caranya memberikan
tegoran terhadap debitur untuk memenuhi prestasi diatur di dalam Pasal 1238
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun setelah dikeluarkannya Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 3 tahun 1963 tertanggal 5 september
1963, maka ketentuan dalam pasal 1238 tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Di
dalam SEMA nomor 3 tahun 1963 dinyatakan bahwa pengiriman turunan surat
gugatan kepada debitur atau tergugat dapat dianggap sebagai penagihan, karena
debitur atau tergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya gugatan dengan
membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
Ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak
memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian
kerugian berupa biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur, sedangkan rugi
adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik
kreditur akibat kelalaian debitur, dan bunga ialah segala keuntungan yang
diharapkan akan diperoleh atau sudah diperhitungkan30.
Mariam Darus Badrulzaman, memberikan pengertian tentang rugi sebagai
berikut, apabila undang-undang menyebutkan rugi maka yang dimaksud adalah
kerugian nyata yang dapat diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan, yang
timbul sebagai akibat ingkar janji, jumlahnya ditentukan dengan perbandingan
keadaan kekayaan antara sebelum dan sesudah terjadi ingkar janji31.
30
31
Ibid., hlm. 232.
Mariam Darus Badrulzaman, et al., Op. Cit., hlm. 21.
41
Debitur yang dianggap telah melakukan wanprestasi dapat dituntut untuk
membayar ganti kerugian, namun jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat
dituntut pemenuhannya kepada debitur dibatasi oleh undang-undang. Di Dalam
Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan, bahwa jika hal
tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya si berhutang,
penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh
si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa
yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan.
C. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Jual Beli Secara Elektronik
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa
jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan rumusan tersebut, maka
dalam suatu transaksi jual beli terkandung suatu perjanjian yang melahirkan hak
dan kewajiban bagi para pihak.
Para pihak yang mengadakan perjanjian disebut kreditur dan debitur, di
mana kreditur berhak atas prestasi dan debitur berkewajiban memenuhi prestasi.
Debitur mempunyai kewajiban untuk membayar utang, kewajiban debitur tersebut
dapat pula disebut dengan schuld. Di samping schuld debitur juga mempunyai
kewajiban yang lain yaitu untuk menjamin pelunasan utang debitur kepada
kreditur dengan menggunakan harta kekayaannya guna membayar utang tersebut,
42
atau disebut juga haftung. Pihak-pihak dalam perjanjian jual beli menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari :
1. Penjual
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa
kewajiban-kewajiban dari penjual, yaitu sebagai berikut :
a. Penjual wajib menyatakan dengan tegas keinginannya di
dalam isi perjanjian, artinya apabila terdapat klausul dalam
perjanjian yang tidak jelas dan dapat diartikan ke dalam
berbagai pengertian, maka harus ditafsirkan kedalam
pengertian yang merugikan si penjual (Pasal 1473 KUH
Perdata).
b. Penjual
wajib
menyerahkan
barangnya
dan
juga
menanggungnya. (Pasal 1474 KUH Perdata). Penyerahan
barang ini diartikan sebagai suatu pengalihan kekuasaan
atas barang yang telah dijual tersebut dari tangan penjual
kedalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli (Pasal 1475
KUH Perdata). Di dalam penyerahan barang ada ketentuan
yang harus diperhatikan oleh penjual, antara lain :
1) Penyerahan barang ini dilakukan ditempat
dimana barang berada pada waktu penjualan
terjadi, kecuali diperjanjikan lain (Pasal 1477
KUH Perdata),
43
2) Barang yang diserahkan harus dalam keadaan
utuh seperti yang telah dinyatakan dalam
perjanjian atau seperti pada saat penjualan
(Pasal 1481 jo. Pasal 1483 KUH Perdata)
3) Penjual wajib menyerahkan segala sesuatu yang
menjadi
perlengkapan
untuk
menggunakan
barang yang telah dijualnya tersebut (Pasal 1482
KUH Perdata).
4) Penjual
barangnya
tidak
diwajibkan
sebelum
menyerahkan
pembeli
membayar
harganya (Pasal 1478 KUH Pradata).
Selanjutnya penjual wajib menanggungnya, artinya
bahwa :
1) Penjual wajib menjamin pembeli untuk dapat
memiliki barang itu dengan aman dan tenteram,
serta bertanggung jawab terhadap cacat-cacat
yang tersembunyi dan sebagainya, yang dapat
dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian
(Pasal 1491,1504, 1506, 1508, 1509, 1510 KUH
Perdata), akan tetapi penjual tidak diwajibkan
menanggung cacat yang kelihatan oleh pembeli
(Pasal 1505 KUH Perdata).
44
2) Penjual wajib menanggung kerugian yang
diderita oleh pembeli apabila ternyata barang
yang telah dijual belikan tersebut harus disita
atau harus di ambil dari pembeli karena suatu
sengketa dan sebagainya, disebabkan tidak ada
pemberitahuan
terlebih
dahulu
pada
saat
mengadakan perjanjian jual beli (Pasal 1492,
1495, 1496,1497, 1499 KUH Perdata).
3) Penjual diwajibkan bertanggung jawab terhadap
segala sesuatu yang merupakan akibat langsung
dari perbuatannya sehingga merugikan pembeli,
walaupun di dalam perjanjian ditentukan bahwa
penjual tidak menanggung segala risiko dalam
jual beli tersebut (Pasal 1494 KUH Perdata).
c. Penjual wajib menanggung biaya penyerahan barang,
artinya
apabila
dalam
perjanjian
ditentukan
bahwa
penyerahan dilakukan di gudang milik pembeli, maka biaya
pengangkutan dari tempat penjual menuju gudang milik
pembeli
ditanggung
oleh
penjual,
sedangkan
biaya
pengambilan dari gudang milik pembeli menuju ke tempat
pembeli ditanggung oleh pembeli (Pasal 1476 KUH
Perdata).
45
d. Penjual wajib mengembalikan harga barang dan biaya yang
telah dikeluarkan oleh pembeli, apabila menurut peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
pembeli
berhak
membatalkan atau meniadakan pembelian (Pasal 1488
KUH Perdata), dengan syarat tuntutan tersebut harus
dilakukan paling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun setelah
penyerahan barang (Pasal 1489 KUH Perdata).
Selain kewajiban-kewajiban yang telah diuraikan diatas, menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata penjual juga mempunyai hak,
yaitu :
a. Penjual berhak menuntut pembayaran harga pada waktu
dan tempat yang telah disepakati bersama dalam perjanjian
atau pada tempat penyerahan barang dilakukan (Pasal 1513
jo. Pasal 1514 KUH Perdata).
b. Penjual berhak atas pembayaran bunga dari harga
pembelian, jika ternyata barang yang telah dijualnya
menghasilkan pendapatan bagi pembeli (Pasal 1515 KUH
Perdata).
c. Penjual
berhak
menahan
barangnya
atau
tidak
menyerahkannya kepada pembeli, jika pembeli belum
membayar harganya (Pasal 1478 KUH Perdata).
d. Baik penjual maupun pembeli berhak membuat persetujuan
yang isinya memperluas atau mengurangi kewajiban-
46
kewajiban yang telah ditentukan dalam undang-undang ini,
bahkan untuk membebaskan penjual dari tanggungan
apapun (Pasal 1493 KUH Perdata).
e. Dalam hal barang yang telah dijual dalam keadaan menjadi
pokok sengketa dan harus dilelangkan, sedangkan harga
lelang lebih mahal dari harga yang telah dibayar oleh
pembeli sehingga menguntungkan pembeli, maka penjual
berhak memperoleh uang sisa dari hasil pelelangan tersebut
(Pasal 1497 ayat (2) KUH Perdata).
f. Jika pembeli tidak membayar harga pembelian, maka
penjual dapat menuntut pembatalan pembelian menurut
ketentuan pasal 1266 dan 1267 KUH Pardata (Pasal 1517
KUH Perdata).
g. Penjual berhak membeli kembali barang yang telah
dijualnya, apabila telah diperjanjikan dengan tegas dalam
perjanjian mengenai hak membeli kembali tersebut (Pasal
1519 KUH Perdata).
2. Pembeli
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, pembeli memiliki kewajiban-kewajiban,
diantranya :
47
a. Pembeli mempunyai kewajiban utama yaitu membayar
harga pembelian pada waktu dan tempat yang telah
ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1513 KUH Perdata).
b. Jika
tempat
pembayaran
tidak
ditentukan,
pembeli
berkewajiban untuk membayar harga barangnya di tempat
penyerahan barang dilakukan (Pasal 1514 KUH Perdata).
c. Pembeli diwajibkan menanggung biaya pengambilan
barang, artinya bahwa apabila dalam perjanjian ditentukan
bahwa penyerahan dilakukan di gudang milik pembeli,
maka biaya pengambilan barang dari gudang menuju
tempat pembeli ditanggung oleh pembeli, sedangkan biaya
pengiriman dari tempat penjual menuju gudang milik
pembeli ditanggung oleh penjual (Pasal 1476 KUH
Perdata).
d. Walaupun tidak diperjanjiakan dengan tegas, pembeli
diwajibkan membayar bunga dari harga pembelian apabila
barang yang dibelinya tersebut menghasilkan pendapatan.
Selanjutnya sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, maka dalam perjanjian jual beli
pembeli mempunyai hak, diantaranya yaitu :
a. Pembeli berhak atas barang atau memperoleh hak milik atas
barang yang telah dibelinya dari penjual (Pasal 1474 KUH
Perdata).
48
b. Barang yang harus diserahkan kepada pembeli adalah
dalam keadaan utuh seperti pada saat penjualan atau saat
perjanjian diadakan, dan sejak penyerahan barang, segala
yang dihasilkan dari barang tersebut menjadi hak pembeli
(Pasal 1481 dan 1483 KUH Perdata).
c. Pembeli
berhak
mendapatkan
jaminan
untuk
dapat
memiliki barang itu dengan aman dan tenteram, serta
jaminan terhadap cacat-cacat yang tersembunyi dan
sebagainya, yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan
pembelian (Pasal 1491,1504, 1506, 1508, 1509, 1510 KUH
Perdata).
c. Pembeli berhak atas segala sesuatu
yang menjadi
perlengkapan untuk pemakaian dari barang yang dibelinya,
termasuk juga surat-surat bukti, jika ada (Pasal 1482 KUH
Perdata).
d. Pembeli berhak menuntut pembatalan pembelian, jika
penyerahan barang tidak dapat dilaksanakan karena akibat
kelalaian penjual (Pasal 1480 KUH Perdata).
e. Baik penjual maupun pembeli berhak membuat persetujuan
yang isinya memperluas atau mengurangi kewajibankewajiban yang telah ditentukan dalam undang-undang ini,
bahkan untuk membebaskan penjual dari tanggungan
apapun (Pasal 1493 KUH Perdata).
49
f. Jika barang yang telah dibeli oleh pembeli diambil oleh
orang lain karena suatu hal, maka berdasarkan Pasal 1496
KUH Perdata, adalah sebagai berikut :
1) Pembeli dapat menuntut pengembalian uang
harga pembelian dari penjual,
2) Pembeli dapat menuntut pengembalian hasilhasil yang diperoleh pembeli dari barang
tersebut kepada penjual, apabila barang tersebut
diambil oleh orang lain beserta hasil-hasil yang
diperolehnya,
3) Pembeli dapat menuntut pebnggantian biayabiaya
yang
telah
dikeluarkannya
untuk
mengurus sengketa tersebut,
4) Pembeli juga dapat menuntut penggantian biaya,
kerugian, dan bunga, serta biaya perkara
mengenai pembelian dan penyerahan dalam
perjanjian jual beli tersebut.
Dari beberapa penjelasan mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam
jual beli sebagaimana telah diuraikan diatas, penulis ingin menyimpulkan bahwa
perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
mengikatkan dirinya untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Di dalam
50
perjanjian jual beli, biasanya kewajiban penjual adalah hak dari pembeli, dan
kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual.
Menurut Prof. Subekti, penjual mempunyai dua kewajiban pokok yaitu,
pertama menyerahkan barangnya serta menjamin pembeli untuk dapat memiliki
barang itu dengan tenteram, dan kedua bertanggung jawab terhadap cacat-cacat
yang tersembunyi, kemudian kewajiban pembeli adalah untuk membayar harga
pada waktu dan tempat yang telah ditentukan32.
Dalam Pasal 1480 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa jika penyerahan karena kelalaian penjual tidak dapat dilaksanakan, maka
pembeli dapat menuntut pembatalan pembelian, selanjutnya menurut ketentuan
dalam Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila
barang tersebut sudah diserahkan, maka pembeli dapat menuntut penjual
bertanggung jawab jika ada pihak lain yang membantah hak milik penjual atas
barang yang telah dibeli oleh pembeli, atau jika ternyata pada barang tersebut
terdapat cacat tersembunyi, maupun apabila pembeli terlibat suatu perkara
mengenai barang tersebut. Jika pembeli tidak membayar harga barang pada waktu
yang telah ditentukan, maka penjual dapat melakukan beberapa hal, antara lain
menuntut pembayaran, pembatalan perjanjian, atau menuntut ganti kerugian,
kemudian barang yang belum dibayar tersebut dapat diminta kembali oleh
penjual, sebagai mana ditentukan oleh undang-undang bahwa penjual mempunyai
kedudukan sebagai pihak yang didahulukan terhadap hasil penjualan barang
tersebut.
32
Subeki. R, Op. Cit., hlm. 162.
51
Sejalan dengan perkembangan teknologi proses transaksi jual beli dapat
dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan menggunakan media internet,
dimana para pihak tidak bertemu langsung secara fisik tetapi hanya dengan
berhubungan melalui media internet yang masing-masing pihak menyatakan
keinginannya atau kehendaknya dalam sebuah kontrak atau kesepakatan yang
dibuat secara elektronik. Adapun para pihak dalam jual beli secara elektronik
biasanya terdiri dari :
1. Merchant atau penjual
Merchant ialah setiap perusahaan, sekelompok orang atau individu
yang menawarkan produk atau jasanya dengan menggunakan internet
sebagai media komunikasi atau alat untuk mempromosikan produk
milikya kepada konsumen33. Dalam jual beli secara elektronik melalui
media internet, prinsip Merchant atau penjual adalah mencari dan
menjaring calon pembeli sebanyak-banyaknya, selain itu merchant
mempunyai kewajiban-kewajiban antara lain :34
a. Menyediakan informasi
Website dan e-mail merupakan dua sarana yang sering
digunakan dalam melakukan transaksi perdagangan melalui
internet, oleh karena itu merchant harus mempunyai pusat
basis data (corporate database) yang berisi informasi
mengenai produk dan jasa perusahaan beserta semua
rekaman mengenai interaksi antara merchant dan customer.
33
34
Haris Faulidi Asnawi, Op. Cit., hlm. 25.
Ibid., hlm. 29-41.
52
b. Menyediakan daftar atau katalog barang
Daftar atau katalog barang harus disertai dengan deskripsi
produk yang akan dijual tersebut dalam web atau situs
khusus yang telah dibuat oleh merchant. Model transaksi
ini dikenal dengan istilah order form dan shoping cart,
adapun penjelasan mengenai order form dan shoping cart
akan dijelaskan pada BAB III dalam penelitian ini.
c. Menyediakan sarana pembayaran
Pembayaran dilakukan sesuai dengan layanan yang
disediakan oleh merchant, misalnya dengan credit card,
dan sebagainya.
Pembayaran dengan kartu kredit, yang mana di dalam
sistem pembayaran seperti ini melibatkan beberapa pihak
dalam transaksi, yaitu :
1) Customer
sebagai
pemegang
kartu
kredit
(cardholder),
2) Bank penerbit kartu kredit (issuer) di mana logo
bank tercantum pada kartu dan bank tersebut
melakukan lisensi merk (brand) dari institusi
kartu kredit, sperti Visa, MasterCard atau
Maestro dan sebagainya, selanjutnya
53
3) Merchant sebagai penerima kartu kredit/debit,
merchant ini memiliki hubungan dengan sebuah
bank (acquirer).
4) Bank (acquirer), ialah bank di mana merchant
memiliki account yang akan menampung uang
dari customer atau cardholder.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam
transaksi online dengan menggunakan kartu kredit, ialah :
1) Customer memilih produk yang akan di beli
pada website merchant,
2) Setelah total harga yang harus di bayar telah
ditentukan kemudian customer memasukkan
informasi kartu kredit pada form slip pembelian
yang telah disediakan pada website merchant,
3) Informasi tersebut selanjutnya dikirim ke web
server merchant bersama informasi pembelian
lainya,
4) Kemudian melalui sistem gateway pihak penjual
akan melakukan proses otorisasi,
5) merchant melakukan otorisasi ke acquirer untuk
selanjutnya
diteruskan
jaringan kartu kredit/debit,
ke
issuer
melalui
54
6) Setelah memeriksa validitas informasi kartu
kredit/debit, issuer akan mengirimkan hasil
otorisasi kembali ke acquirer,
7) Acquirer
selanjutnya
mengirimkan
hasil
otorisasi kepada merchant dan diinformasikan
kepada customer melalui website merchant,
8) Jika otorisasi berhasil, selanjutnya merchant
mengesahkan
transaksi
tersebut
dan
mengirimkan produk yang telah dipesan ke
alamat yang telah disepakati.
d. Menyerahkan barang
Apabila serangkaian proses pembayaran telah dilalui dan
merchant dipastikan telah menerima pembayara dari
customer, maka merchant diwajibkan untuk menyerahkan
barang sesuai dengan yang telah disepakati dengan
customer.
e. Merchant wajib menjamin customer untuk dapat memiliki
barang yang telah dibelinya itu dengan aman dan tenteram,
serta bertanggung jawab terhadap cacat-cacat
yang
tersembunyi dan sebagainya.
Selain kewajiban-kewajiban sebagaimana telah dijelaskan diatas,
merchant juga mempunyai hak-hak antara lain :35
35
Ibid.
55
a. Merchant berhak mengetahui informasi-informasi yang
benar mengenai customer, misalnya informasi mengenai
data pribadi customer, nomor rekening, dan sebagainya.
Hal
ini
ditujukan
semata-mata
untuk
kelancaran
bertransaksi.
b. Merchant berhak mendapatkan pembayaran dari customer
sebagaimana telah disepakati bersama dalam perjanjanjian.
c. Merchant juga berhak mendapatkan perlindungan hukum
atas perbuatan customer yang tidak mempunyai itikad baik.
2. Customer atau pihak pembeli
Customer atau pembeli ialah pihak yang membeli produk berupa
barang atau jasa dari merchant secara elektronik yang dilakukan
melalui media internet36. Prinsip Customer ialah berusaha sedapat
mungkin mencari produk atau jasa terbaik yang dinginkan dan
mencoba untuk mencari tahu penilaian orang lain terhadap produk atau
jasa tersebut. Ada dua hal utama yang bisa dilakukan customer dalam
proses transaksi melalui media internet yaitu, pertama customer dapat
melihat produk-produk atau jasa-jasa yang diiklankan oleh perusahaan
melalui website-nya, dan kedua customer juga dapat mencari data atau
informasi tertentu yang dibutuhkan seubungan dengan proses transaksi
jual beli yang akan dilakukannya. Jika tertarik dengan produk atau jasa
36
Ibid., hlm. 27.
56
yang ditawarkan, customer dapat mengadakan transaksi dengan cara
melakukan pemesanan secara elektronik (online orders).
Customer mempunyai kewajiban-kewajiban, yaitu :37
a. Customer diharuskan memberikan informasi-informasi
dengan benar yang diperlukan oleh merchant, misalnya
cutomer wajib mengisi data mengenai dirinya, yang
ditujukan semata-mata untuk keperluan bertransaksi.
b. Melakukan pembayaran sebagaimana yang telah disepakati
bersama antara customer dengan merchant.
Selain itu, customer juga mempunyai hak-hak, yang antara lain :38
a. Memperoleh informasi yang benar mengenai produk, baik
barang atau jasa yang ditawarkan oleh merchant, termasuk
juga informasi mengenai semua rekaman mengenai
interaksi antara merchant dan customer.
b. Memperoleh data daftar atau katalog barang yang disertai
dengan deskripsi produk yang akan dijual tersebut dalam
web atau situs khusus yang telah dibuat oleh merchant.
c. Memperoleh sarana pembayaran sesuai dengan layanan
yang disediakan oleh merchant, misalnya dengan credit
card, dan sebagainya.
d. Apabila serangkaian proses pembayaran telah dilalui dan
merchant dipastikan telah menerima pembayaran dari
37
38
Ibid., hlm. 29-41.
Ibid.
57
customer, maka customer berhak atas barang pada waktu
dan tempat yang telah disepakati dengan merchant.
e. Customer juga berhak mendapat jaminan dari merchant
untuk dapat memiliki barang yang telah dibelinya itu
dengan aman dan tenteram, serta dari cacat-cacat yang
tersembunyi dan juga berhak mendapat perlindungan
hukum dari itikad tidak baik pihak merchant.
3. Pihak ketiga atau bank, baik sebagai penerbit kartu kredit/debit (issuer)
ataupun sebagai bank (acquirer) di mana merchant memiliki account
yang akan menampung uang dari customer atau cardholder39. Dalam
hal ini pihak ketiga atau bank berfungsi sebagai penghubung atau
perantara dari merchant dan customer, karena baik merchant maupun
customer merupakan nasabah dari bank tersebut. Adapun mengenai
hak dan kewajiban dari pihak ketiga ini ditentukan dalam perjanjian
yang dibuat antara bank dan nasabahnya pada saat pertama kali
merchant atau customer mendaftar sebagai nasabah dari bank tersebut.
4. Provider atau penyedia jasa layanan internet, merupakan pihak yang
tidak terkait secara langsung dalam perjanjian jual beli secara
elektronik yang dilakukan melalui internet, tetapi provider mempunyai
kewajiban untuk menyediakan layanan akses internet selam 24 (dua
puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari dalam seminggu non stop
39
Ibid., hlm. 37.
58
kepada customer, berdasarkan perjanjian yang dibuat antara provider
dengan merchant.
Pasal 1 poin (5) Rancangan Undang-Undang Teknologi Informasi (draft
ketiga) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian elektronik atau
kontrak elektronik adalah dokumen elektronik yang memuat transaksi dan atau
perdagangan elektronik. Di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata terdapat pengaturan menenai perjanjian bernama yang diatur dalam Bab V
sampai dengan Bab XVIII, sedangkan perjanjian yang dibuat secara elektronik
termasuk perjanjian jual beli secara elektronik tidak diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berdasarkan doktrin merupakan perjanjian
tidak bernama.
Hukum di Indonesia menganut asas kebebebasan berkontrak yang berarti
setiap orang bebas menentukan bentuk, macam, dan isi perjanjian jual beli yang
mereka buat, sepanjang isi perjanjian tersebut memenuhi syarat sahnya perjanjian
yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban
umum, dan juga kesusilaan. Selain itu, Hukum Perdata Indonesia juga menganut
asas kepastian hukum, yang menegaskan bahwa perjanjian apapun yang dibuat
secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya,
seperti yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat (1) kitab undang-undang
Hukum Perdata.
Di dalam pasal 6 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Teknologi
Informasi (draft ketiga) dijelaskan bahwa setiap perdagangan yang dilakukan
59
secara elektronik memiliki akibat hukum yang sama dengan perdagangan pada
umumnya. Dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga
disebutkan bahwa jual beli merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu lahirnya
jual beli secara elektronik harus didahului oleh adanya perjanjian. Berdasarkan
penjelasan diatas maka di Indonesia, segala syarat-syarat dan akibat hukum dari
perjanjian jual beli secara elektronik sama dengan perjanjian jual beli biasa yang
telah diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seperti yang
sudah dijelaskan pada awal bab ini.
Merchant mempunyai dua kewajiban pokok yaitu menyerahkan barangnya
serta menjamin customer untuk dapat memiliki barang itu dengan tenteram,
sedangkan kewajiban customer adalah untuk membayar harga pada waktu dan
tempat yang telah ditentukan. Selain merchant dan customer, pihak ketiga atau
bank juga mempunyai hak dan kewajiban antara lain bahwa pihak ketiga atau
bank berkewajiban mencairkan sejumlah dana yang telah disetujui oleh customer
untuk dibayarkan kepada merchant, dan menjamin bahwa penyerahan dana
tersebut benar-benar aman dan sampai kepada yang berhak menerimanya yaitu
merchant, disamping itu pihak ketiga atau bank juga berhak atas penggantian
biaya administrasi dalam rangka melakukan proses pembayaran dalam perjanjian
jual beli tersebut.
Download