BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ekaristi merupakan perayaan ibadat mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah, biasanya disebut Misa Kudus. Tata Perayaan Ekaristi memiliki empat bagian penting, yaitu Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Penutup. Dalam perayaan ekaristi, homili memiliki peran yang sangat penting. Homili merupakan bagian inti dalam Liturgi Sabda. Pemimpin misa mencoba untuk menerjemahkan isi kitab suci agar dapat dipahami oleh umat di kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu pemimpin misa sebagai pembawa homili sangat memiliki peran penting baik bagi umat maupun bagi Gereja. Dengan homili pemimpin misa dapat mengajak umat untuk hidup lebih baik. Hendrikus (1991) menyatakan bahwa homili merupakan salah satu contoh dari bentuk retorika. Homili sendiri berkembang pada abad pertengahan. Homili berkembang mengikuti perkembangan ke-Kristenan. Awalnya homili berkembang di Romawi sebagai kotbah. Saat itu Homili berfungsi sebagai alat penyebaran ajaran Yesus Dari Nazaret. Hal ini terjadi sampai dengan 30 tahun setelah Masehi. Dalam abad-abad setelahnya, ke-Kristenan semakin meluas yang kemudian diikuti orang-orang Kristen yang mengembangkan ilmu kepandaian berbicara lewat kotbah dan homili. Dalam sebuah ekaristi, Homili sangat memiliki peran penting sebagai “penterjemah” Injil agar dapat dipahami oleh umat dengan baik. Dalam menyampaikan homili, perlu diperhatikan hal-hal yang dapat mendukung sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima oleh publik, dalam hal ini umat. Homili yang bertujuan untuk memberikan persuasi tertentu, harus dapat disampaikan dengan baik. Sehingga umat dapat menerima, mengerti, dan akhirnya terpersuasi dengan baik dan tepat. Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penyampaian homili harus disesuaikan dengan keadaan waktu, tempat dan publik. Sehingga gaya dalam menyampaikan homili dapat berbeda-beda, sesuai dengan konteks saat itu. 1 Homili harus dapat disampaikan dengan baik melalui sistem verbal dan sistem non-verbal pemimpin misa. Pemimpin misa terutama harus memperhatikan keterampilan komunikasinya dalam membawakan Homili, pengorganisasian pesan, pemahaman terhadap publik, alat bantu yang digunakan. Gereja Katolik Paroki St. Antonius Kotabaru merupakan bagian dari Keuskupan Agung Semarang. Awalnya adalah gereja Rektorat dengan Rektor Kolose sebagai Pastor Kepala. Selain untuk ibadat, gereja juga berfungsi sebagai tempat latihan pelayanan bagi calon imam. Hingga 1933, gereja merupakan stasi dari paroki pertama di Yogyakarta, yang berkedudukan di jalan Senopati. Sejak 1 Januari 1934, menjelang pemberkatan gereja Bintaran, Kotabaru menjadi Paroki pemekaran darinya. Dua puluh lima Tim Kerja dan lima Kelompok Kategorial terlibat dalam pelayanan pastoral dan kemasyarakatan. Sebagian Tim kerja terlibat dalam aktivitas bidang Liturgi (9 tim kerja), dan bidang kemasyarakatan. Komunitas Pendampingan Anak, Remaja, dan Orang Muda menyelenggarakan Ekaristi berdasarkan kelompuk usia secara rutin. Para koordinator Ekaristi kategorial juga menjalin relasi dengan Pendampingan Iman Anak (PIA), Pendampingan Iman Remaja (PIR), ataupun Pendampingan Iman Orang Muda (PIM) di paroki-paroki yang bertetangga dengan St. Antonius Kotabaru. Gereja Kaum Muda, selanjutnya disebut Orang Muda Katolik (OMK) lahir dan kemudian membentuk Ekaristi Kaum Muda (EKM) sebagai bentuk partisipasi OMK dalam pelayanan gereja yang memperhatikan Kaum Muda. EKM diselenggarakan oleh kaum muda teritorial lingkungan gereja, SMA dan sederajatnya, Perguruan Tinggi dan komunitas biara di sekitar Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu OMK kemudian melebarkan sayap pelayanannya kepada anak-anak dengan membentuk Pendampingan Iman Anak (PIA). PIA Gereja St. Antonius kegiatan utamanya adalah Ekaristi Kaum Anak (EKA) dan Sekolah Minggu. EKA melibatkan anak-anak di lingkungan dan sekolah-sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar di sekitar gereja sebagai penyelenggaranya. Anak-anak mendalami iman Katolik dengan tarian, cerita, dan 2 visualisasi yang dekat dengan hidup anak. Keterlibatan ini mendidik mereka untuk melayani gereja sejak usia dini. Gereja St. Antonius Kotabaru merupakan Gereja Katolik di Keuskupan Agung Semarang yang menyelenggarakan EKA secara rutin setiap bulannya. Tidak hanya itu PIA Gereja St. Antonius Kotabaru juga mengundang anak-anak dari paroki-paroki sekitar Gereja St. Antonius untuk ikut serta dalam EKA Gereja St. Antonius Kotabaru. EKA Gereja St. Antonius Kotabaru identik dengan kreativitas dan sukacita anak-anak. Liturginya disusun dengan memperhatikan karakter anak-anak yang ceria. Penyusunannya memperhatikan Pedoman Umum Tata Perayaan Ekaristi. Kemanusiaan-iman anak-anak dibangun melalui pengolahan tema, doa-doa, lagu-lagu, bacaan-bacaan, homili, termasuk dekorasi dan suasana atau dinamika liturgi EKA. Harapannya, anak-anak mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah dalam Ekaristi. Tim kerja EKA dibawah koordinasi Tim Liturgi dibentuk untuk mengelola peyelenggaraan EKA setiap minggunya. Tapi pada kenyataannya terdapat sebuah polemik ketika seorang pemimpin Misa di Gereja Katolik menyampaikan Homili saat EKA seperti yang terjadi di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta. EKA adalah Ekaristi yang diselenggarakan dengan nuansa anak-anak. Awalnya EKA hanya diikuti oleh anak-anak. Orang dewasa yang mengikuti EKA ini sebagian besar adalah orangtua yang menghantarkan anak-anaknya untuk mengikuti Ekaristi. Pada dasarnya tidak ada peraturan yang mengikat tentang hak umat untuk memilih ekaristi mingguan yang akan diikutinya. Kenyataannya saat ini umat yang hadir pada EKA mayoritas adalah orang tua dan remaja. Hal ini membuat pemimpin ekaristi kaum anak harus cermat membawakan Homili agar dapat dimengerti oleh seluruh umat. Beberapa orangtua dari anak-anak yang mengikuti EKA mengeluhkan bahwa saat ini pemimpin misa EKA dalam menyampaikan homili kurang “berpihak” pada anak-anak. Pastor Paroki Gereja St. Antonius Kotabaru, Rm. R. Hardaputratanta, S.J. juga menyatakan bahwa saat ini pemimpin misa di Gereja St. Antonius Kotabaru kurang memiliki keterampilan dalam membawakan homili 3 saat EKA. Hal ini juga menjadi salah satu keprihatinan paroki di bidang liturgi, yaitu pesan dalam homili perlu semakin menyapa umat, khususnya anak-anak; pesan homili hendaknya selaras dengan visi pastoral paroki dan Keuskupan Agung Semarang. Di sisi lain, para pemimpin misa di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru juga merasa kesulitan pada saat harus membawakan homili pada saat EKA. Dari keadaan ini, penulis ingin meneliti strategi dan teknik komunikasi pemimpin Misa dalam menyampaikan homili pada penyelenggaraan Ekaristi Kaum Anak di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta. 1.2 RUMUSAN MASALAH Dari uraian latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana pemimpin misa membawakan homili dalam penyelenggaraan ekaristi kaum anak di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta?” 1.3 TUJUAN PENELITIAN Mengetahui strategi dan teknik komunikasi pemimpin misa membawakan homili dalam ekaristi kaum anak di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta. 1.4 MANFAAT PENELITIAN 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berguna dan menambah wawasan mengenai keterampilan berbicara di depan umum (retorika). 2. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi di bidang Ilmu komunikasi khususnya pada keterampilan berbicara di depan umum (retorika). 3. Secara praktis, penelitian ini dapat berguna dalam mengembangkan retorika dengan konteks jaman ini. 4 1.5 KERANGKA PEMIKIRAN Membawakan homili merupakan sebuah manisfestasi dari sebuah bentuk komunikasi publik dalam bentuk pidato atau ceramah. Pemimpin misa dalam membawakan homili sebagai komunikator/pembicara dan umat sebagai publik/pendengar. Di dalam membawakan homili ini terdapat prinsip-prinsip utama komunikasi publik. Hal ini berkaitan terutama dengan pembicara sebagai komponen utama komunikasi publik mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Persiapan pidato dan pemilihan metode pidato yang dilakukan oleh pembicara akan berpengaruh pada keberhasilan pidato tersebut. Komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal akhirnya memiliki peran kunci dalam melakukan pidato. Hal-hal inilah yang merupakan prinsip-prinsip komunikasi publik yang mejadi perhatian pembicara saat melakukan pidato. 1.5.1 Komunikasi Sebagai Tindakan Satu-Arah Membawakan homili merupakan kegiatan komunikasi satu-arah. Deddy Mulyana (2002) menyatakan suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap-muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Komunikasi dianggap sebagai suatu proses linier yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya. Pemahaman komunikasi sebagai proses searah ini oleh Michael Burgoon disebut sebagai “definisi berorientasi-sumber” (source-oriented definition). Definisi seperti ini mengisyaratkan komunikasi sebagai semua kegiatan yang secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan untuk membangkitkan respons orang lain. Dalam konteks ini, komunikasi dianggap suatu tindakan yang disengaja (intentional act) untuk menyampaikan pesan demi memenuhi kebutuhan komunikator, seperti menjelaskan sesuatu kepada orang lain atau membujuknya untuk melakukan sesuatu. 5 Berdasarkan definisi Lasswell (Mulyana, 2002) dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu: sumber, pesan, saluran atau media, penerima, dan efek. a. Sumber Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber boleh seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan negara. Untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan) atau dalam kepalanya (pikiran), sumber harus mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang idealnya dipahami oleh penerima pesan. Proses inilah yang disebut penyandian (encoding). b. Pesan Pesan adalah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud sumber tadi. c. Saluran atau media Saluran atau media adalah alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. d. Penerima Penerima adalah orang yang menerima pesan dari sumber. e. Efek Efek adalah apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut. 1.5.2 Komunikasi Publik dalam Konteks Komunikasi Membawakan homili merupakan sebuah manisfestasi dari sebuah bentuk komunikasi publik dalam bentuk pidato atau ceramah. Komunikasi publik (public communication) adalah komunikasi antara seseorang pembicara dengan sejumlah besar orang (publik), yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi publik 6 biasanya berlangsung lebih formal dan lebih sulit daripada komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok. Karena komunikasi publik menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian dan kemampuan menghadapi sejumlah besar orang. (Mulyana,2002) Ciri-ciri komunikasi publik adalah: terjadi di tempat umum (publik), misalnya di auditorium, kelas, tempat ibadah, atau tempat lainnya yang dihadiri sejumlah besar orang; merupakan peristiwa sosial yang biasanya telah direncanakan alih-alih peristiwa relatif informal yang tidak terstruktur; terdapat agenda; beberapa orang ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus, seperti memperkenalkan pembicara, dan sebagainya; acara-acara lain mungkin direncanakan sebelum dan/atau sesudah ceramah disampaikan pembicara. Komunikasi publik sering bertujuan memberikan penerangan, menghibur, memberikan penghormatan, atau membujuk. (Mulyana,2002) Menurut Hart dan kawan-kawan (Tubbs & Moss, 1996), terdapat setidaknya sepuluh tuntutan dalam komunikasi publik. 1. Pesan harus relevan dengan kelompok sebagai suatu keseluruhan, tidak hanya bagi satu atau segelintir individu dalam kelompok itu. Dalam komunikasi publik, “kepentingan yang sama” harus terusmenerus diusahakan oleh pembicara. 2. Bahasa “publik” lebih terbatas, yaitu kurang luwes, menggunakan lebih banyak bahasa yang sudah dikenal umum, lebih sedikit ungkapan pribadi, dan mengandung lebih sedikit konotasi daripada percakapan “pribadi”. 3. Umpan balik lebih terbatas. Dalam banyak kasus, umpan balik tersebut terbatas pada respons nonverbal yang terselubung. 4. Publik yang dihadapi lebih beraneka-ragam. Dalam komunikasi publik, kita menghadapi kesulitan memasuki banyak “dunia perseptual” secara serentak. 5. Meningkatnya jumlah publik pendengar memperbesar kemungkinan kesalahan menafsirkan umpan balik, karena banyaknya reaksi pendengar yang harus diamati. 7 6. Pembicara harus membuat persiapan pidato yang lebih lengkap, karena hanya sedikit kesempatan mendapat umpan balik langsung yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi pembicaraannya. 7. Persoalan adaptasi menjadi hal terpenting karena sebuah pesan harus sesuai untuk banyak orang yang berbeda-beda. 8. Analisis publik pendengar lebih sulit dan lebih tidak akurat karena pembicara berinteraksi dengan banyak orang secara serentak. 9. Kadang-kadang sulit memusatkan perhatian terhadap pesan karena banyak situasi lain yang menarik perhatian publik. 10. Jumlah perubahan pesan dalam komunikasi publik bisa lebih banyak karena pesan sampai kepada lebih banyak orang dalam satuan waktu tertentu. Dalam berbicara di depan hadirin, seorang pembicara biasanya mempunyai sedikitnya satu dari tiga tujuan berikut: memberi informasi, menghibur, membujuk (meyakinkan) pendengar. Jika tujuannya memberi informasi, perhatian utama pembicara adalah hasil perolehan informasi. Berbicara untuk menghibur diarahkan pada kesenangan. Bila maksud pembicara adalah meyakinkan, hasil yang diharapkan adalah pengaruhnya pada sikap. 1.5.3 Retorika Aristoteles Pada saat pemimpin misa membawakan homili maka ia melakukan seni berbicara atau yang biasa disebut retorika. Komunikasi terjadi ketika seorang pembicara menyampaikan pembicaraannya kepada publik dalam upaya mengubah sikap mereka. Tepatnya, ia mengemukakan tiga unsur dasar proses komunikasi, yaitu pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener). (Mulyana,2002) 8 Ada dua hal yang menjadi asumsi utama teori ini menurut Aristoteles, (West & Turner, 2010), yaitu: o Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan publik mereka. o Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti pada presentasi mereka. Asumsi yang pertama menjelaskan bahwa komunikasi adalah proses transaksional. Pada konteks public-speaking, Aristoteles menjelaskan bahwa relasi pembicara-publik harus diakui. Pembicara seharusnya tidak membangun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan publik mereka. Pembicara seharusnya menggunakan audience-centered. Mereka harus berfikir bahwa publik adalah satu grup yang terdiri dari banyak individu dengan motivasi, keputusan, dan pilihan, tidak menyetarakan semua orang. Aristoteles merasa bahwa publik itu penting bagi efektifitas utama pembicara. Ia menyatakan,”Dari tiga elemen dalam pembuatan pidato— pembicara, pesan, dan publik yang dituju—Adalah yang terakhir, pendengar, yang menentukan akhir pidato dan objek”. Masing-masing publik itu unik, dan yang bekerja pada seorang publik dapat gagal pada yang lainnya. Carnes Lord (1994) menyatakan bahwa publik tidak selalu terbuka pada argumen rasional. Seperti yang bisa dilihat, pemahaman publik itu kritikal sebelum pembicara memulai membawakan pidatonya. Asumsi yang kedua yang menjadi dasar teori Aristoteles menyinggung apa yang pembicara lakukan pada persiapan pidato mereka dan pada saat mereka menyampaikannya. Bukti yang dimiliki Aristoteles menunjuk arti persuasi, dan, bagi Aristoteles, tiga bukti yang ada : ethos, pathos, dan logos. Ethos merasakan karakter, kecerdasan, dan kehendak baik pembicara selama mereka menyatakan pidatonya. Eugene Ryan (1984) menyatakan ethos adalah istilah yang menunjuk pada pengaruh bersama yang dimiliki antara pembicara dan publik. Aristoteles percaya bahwa pembicara dapat dipengaruhi oleh publik dengan cara yang sama di mana publik dapat dipengaruhi oleh pembicara. Logos adalah bukti logikal yang dimanfaatkan oleh pembicara—argumen mereka dan rasionalisasi. Logos menyertakan penggunaan banyaknya latihan, 9 termasuk menggunakan klaim secara logikal dan bahasa yang jelas.Untuk menggunakan frase poetik,harus menghasilkan kejelasan dan kewajaran. Pathos menyinggung tentang emosi yang digambarkan oleh publik. Aristoteles menentang bahwa publik menjadi instrumen dari bukti ketika emosi diaduk pada mereka. Pendengar menentukan berbagai macam ketika mereka terpengaruh oleh kebahagiaan, sakit, kebencian, atau ketakutan. Dengan kata lain, faktor-faktor yang memainkan peran dalam menentukan efek persuasif suatu pidato meliputi isi pidato, susunannya, dan cara penyampaiannya. Arirtoteles juga menyadari peran publik pendengar. Persuasi berlangsung melalui publik ketika mereka diarahkan oleh pidato itu ke dalam suatu keadaan emosi. (Mulyana,2002) Aristoteles menyatakan bahwa agar pidato persuasif dapat efektif, pembicara harus mengikuti panduan yang pasti atau prinsip-prinsip tertentu, yang dikenal sebagai dalih. Lima resep atau dalih untuk menghasilkan orasi yang efektif. (West & Turner,2010) 1) Rekaan (Invention) Rekaan diartikan sebagai konstruksi atau membangun argumen yang relevan untuk maksud dari pidato. Rekaan menemukan semua bukti yang diperlukan. Rekaan merupakan integrasi dari alasan dan argumen pada pidato. Menggunakan logika dan bukti-bukti pada pidato menjadikan pidato lebih kuat dan lebih persuasif. 2) Susunan (Arrangement) Pembicara harus mengorganisasikan pola untuk pidato mereka untuk mempertinggi efektifitas pidato. Memelihara struktur pidato—pengenalan, isi, penutup—mendukung kredibilitas pembicara, mempertinggi persuasif, dan mengurangi kekecewaan publik. 3) Style Style ditunjukkan dengan penggunaan bahasa untuk mengemukakan ide-ide pada cara tertentu. Di dalamnya termasuk pemilihan kata, perumpamaan, dan kelayakan kata. Masing-masing retorika memiliki gaya masing-masing, kini style 10 terkadang dilupakan. Style menjamin bahwa pidato itu mengesankan dan memperjelas ide pembicara. 4) Penyampaian (Delivery) Bagaimana pembicara menyampaikan ide-ide yang telah disusunnya. Dalam kasus ini, penyampaian menunjukkan presentasi nonverbal dari ide-idenya. Penyampaian pada normalnya terdiri dari keseluruhan tingkah laku, termasuk kontak mata, isyarat vokal, pelafalan, ucapan, dialek, body movement, dan penampilan fisik. Penyampaian menunjukkan manipulasi vokal. Pembicara menggunakan penempatan yang tepat dari pitch, ritme, volume, dan emosi. Penyampaian yang efektif melengkapi kata-kata pembicara dan membantu untuk mengurangi kegelisahan pembicara. 5) Memory Agar dapat berbicara persuasif, pembicara harus memiliki pemahaman dasar pada banyak alat ketika membentuk dan menyampaikan pidato. Di pihak lain, pembicara perlu untuk mengingat uraian yang baik sebelum memulai berbicara. Menunjukkan upaya pembicara dalam menyimpan informasi untuk pidato dalam benaknya. Mengetahui apa yang akan dikatakan dan ketika untuk menyatakan meringankan kegelisahan pembicara dan menghargai pembicara untuk menanggapi event yang tidak bisa diantisipasi. 1.5.4 Komunikator/Pembicara Tubbs & Moss (1996) menyatakan keberhasilan seorang komunikator membawakan pidato berkaitan erat dengan kredibilitas yang ia miliki. Dalam arti luas, kredibilitas berarti kesediaan kita mempercayai sesuatu yang dikatakan dan dilakukan seseorang. Hal ini berkaitan erat dengan prinsip “etos” yang dikemukakan oleh Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa seseorang dengan etos tinggi dianggap memiliki kompetensi tingkat tinggi, watak yang baik, dan niat baik terhadap pendengarnya. Aristoteles percaya bahwa kualitas-kualitas tersebut membantu pembicara meningkatkan penerimaan pendengar atas pesanpesannya. 11 McCroskey menemukan dua dimensi utama etos: keotoritatifan dan watak. Keotoratifan, atau keahlian menunjukkan bagaimana pembicara dipersepsi berkenaan dengan subjek yang disajikannya. Karakter atau watak, menunjukkan bagaimana pembicara dipersepsi sehubungan dengan maksud dan tujuannya. Tubbs & Moss menambahkan banyak penulis pidato percaya bahwa dimensi etos ketiga adalah kedinamisan, yaitu bagaimana kemampuan pembicara dalam membujuk, keaktifannya, dan semangatnya sebagai pembicara ditampakkan. DeVito memiliki kata lain untuk ketiga dimensi etos ini, yaitu kompetensi, karakter, dan karisma. 1.5.5 Persiapan Pidato Menurut DeVito (1997) ada delapan langkah yang diperlukan untuk menyiapkan suatu pidato di depan umum. 1. Memilih Topik dan Tujuan Topik dan tujuan yang dipilih disesuaikan dengan konteks pidato yang akan dibawakan. 2. Analisis Pemahaman Publik Menurut Clevenger (Tubbs & Moss, 1996), sedikitnya ada dua metode bagi para pembicara untuk menentukan bagaimana cara terbaik untuk menyesuaikan pesan dengan hadirin tertentu: analisi-demografis dan analisis berorientasi-tujuan. a. Analisis Demografis Dalam analisis demografis, hal-hal yang perlu diperhatikan seperti umur, jenis kelamin, latar belakang geografis, pekerjaan, tingkat sosial ekonomi, pendidikan, agama, dan sebagainya. Analisis ini diperlukan untuk menyesuaikan pesan dengan tingkat dan minat publik. b. Analisis Berorientasi-Tujuan Berbeda dengan analisis demografis, yaitu pembicara mengumpulkan informasi mengenai publik sebelum mempersiapkan pidato. Analisis berorientasi tujuan berlangsung selama persiapan pidato. Pembicara 12 mulai memikirkan informasi mengenai publik yang paling penting bagi tujuan pembicara. 3. Penelitian Topik Sebuah pidato akan bermutu bila pembicara melakukan penelitian mengenai topiknya terlebih dahulu. Diawali dengan membaca sumber yang berkaitan dengan topik yang akan dibawakan. 4. Merumuskan Tesis dan Mengidentifikasi Beberapa Masalah Pokok. Tesis dari pidato merupakan isi pokok penyampaian pidato. Isi inilah yang diharapkan dapat diketahui oleh publik. 5. Menyiapkan Data Pendukung Data pendukung memiliki peran penting untuk memperkuat tesis. Salah satunya dengan menggunakan contoh dan ilustrasi. a. Contoh Contoh diambil sebagai perbandingan atau analogi untuk menjelaskan sesuatu hal yang tidak dapat begitu saja ditangkap kecuali dengan contoh dari kehidupan sehari-hari. Contoh harus konkret, sesuai dengan kenyataan, mengungkapkan pengalaman yang cukup umum sehingga setiap orang dapat mengidentifikasikan dirinya di dalamnya. Akan tetapi, contoh tidak boleh diberikan terlalu mendetail karena ada bahaya tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini berlaku khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman batiniah. (Anton, 2010) b. Ilustrasi Ilustrasi adalah cerita (rakyat, sinetron, novel), peristiwa (nasional, sosial politik, pengalaman hidup orang-orang suci) atau contoh yang diambil oleh pengkotbah dari kehidupan untuk memperlihatkan suatu kebenaran secara lebih jelas. Cerita, peristiwa atau contoh bisa tidak dialami oleh jemaat yang mendengarnya. Ilustrasi digunakan kalau ada analogi yang jelas antara gagasan dalam isi pidato dengan salah satu aspek dari ilustrasi tersebut. (Anton, 2010) 13 6. Mengorganisasikan Bahan Pembicaraan Agar pendengar memahami dan mengingat apa yang dibicarakan maka pembicara harus mengorganisasikan bahan-bahan yang disajikan. Pengorganisasian ini bisa dalam pola temporal, pola pemecahanmasalah, maupun pola topik. 7. Kalimat Dalam Pidato Bahasa dan kalimat yang disampaikan untuk menyajikan gagasan pokok harus dengan mudah dipahami oleh publik. 8. Menyusun Kesimpulan dan Introduksi Suatu pidato harus diawali dengan introduksi, dilanjutkan dengan isi dan diakhiri dengan kesimpulan. 1.5.6 Metode Penyampaian Homili Di Depan Umum Menurut Tubbs & Moss (1996) pada umumnya ada empat metode umum penyampaian pidato atau ceramah, yaitu: a. Metode penyampaian mendadak (impromptu manuskrip), yaitu pidato yang disampaikan hanya dengan sedikit persiapan. Pada pokoknya, pembicara berdiri di hadapan darinin, mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. b. Metode penyampaian naskah (manuskrip), merupakan cara penyampaian yang paling formal. Berlawanan dengan penyampaian mendadak, jenis cara berpidato ini memerlukan persiapan lengkap. Pidato disampaikan persis seperi yang telah disiapkan. Pembicara membacakan pidato bagi publik. Metode naskah ini paling aman digunakan dalam situasi yang menuntut ketepatan waktu dan kata-kata yang dipakai. c. Metode penyampaian dengan menghafal (memorized speech) seluruh pidato direncanakan sebelumnya, ditulis dengan manuskrip, kemudian dihafalkan. Jadi pembicara dapat bebas memandang hadirin karena tidak membawa catatan atau manuskrip. d. Metode penyampaian tanpa persiapan lengkap (ekstemporanous speaking) menggabungkan keuntungan dari pidato berpedoman dan direncanakan 14 dengan baik, dengan spontanitas pidato mendadak. Pembicara berbicara hanya dengan bantuan sedikit catatan (lebih disukai ditulis pada kartukartu kecil). Gaya pidato ini lebih memungkinkan pembicara mempersiapkannya dengan baik dan cukup fleksibel untuk merespon umpan balik publik. 1.5.7 Komunikasi Verbal Deddy Mulyana (2002) menyatakan simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua dangsangan wicara yang kita sadari termasuk dalam kategori pesan verbal. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek, dan peristiwa. Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Sementara Book mengemukakan, agar komunikasi kita berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu: Untuk mengenal dunia di sekitar kita; berhubungan dengan orang lain; dan untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan kita. Untuk melakukan komunikasi yang efektif, kita harus menguasai bahasa mitra komunikasi kita, dalam hal ini publik. 1.5.8 Komunikasi Non-Verbal Komunikasi nonverbal merupakan sesuatu yang dilakukan manusia (1) di samping kata-kata yang digunakan) dengan sengaja, terarah, dengan tujuan tertentu pada orang lain dan (2) sesuatu yang dilakukan manusia di luar kebiasaannya atau karena perasaan-perasaan yang muncul secara tiba-tiba— 15 bahkan meskipun tidak disadari—jika orang lain menangkap makna yang sama atas tindakan itu. (Bowmann & Bowmann,1991; DeVito, 1997; Bradley,1981) Kategori perilaku nonverbal, yaitu: paralinguistik, berkaitan dengan cara berbicara dan artikulasi. kinesika, mencakup gerakan tubuh proxemiks, mencakup posisi partisipasi dalam suasana komunikasi yang berkaitan satu dengan lainnya dan dengan objek lain di sekitarnya. Komunikasi nonverbal dapat disalurkan melalui, Paralinguistik o Penekanan (stressing) o Nada (pitch) o Kerasnya suara (volume) o Kecepatan (rate) o Jeda (pause) Gerak-isyarat dan gerak tubuh o Sikap o Ekspresi wajah o Kontak mata o Gerak-isyarat Proxemiks o Ruang o Kewilayahan o Sentuhan 1.5.9 Pesan/Homili Martasudjita (2004) menyatakan menurut istilahnya, homili berasal dari kata Yunani homilia, yang berarti : percakapan atau pembicaraan yang enak, akrab, saling memahami. Dalam pengertian liturgis, homili memiliki arti yang jelas dan dibedakan dengan khotbah. Kotbah dapat dipahami sebagai pewartaan yang bisa menyangkut tema apa saja, bisa bertolak dari apa saja, dan bisa di luar liturgi atau ibadat. Lain halnya dengan homili. Homili itu selalu merupakan 16 penjelasan atas bacaan Kitab Suci yang dibacakan dalam suatu liturgi atau ibadat. Dengan demikian, homili selalu bertolak dari Kitab Suci, sebab sifatnya mengupas dan menjelaskan isi Kitab Suci sesuai dengan konteks hidup jemaat saat itu. Dalam Tata Perayaan Ekaristi, Homili menjadi inti rangkaian Liturgi Sabda. Berkat (+) dan Perutusan 1.6 KERANGKA KONSEP. Berbeda dengan Perayaan Ekaristi mingguan pada umumnya, Ekaristi Kaum Anak (EKA) Gereja St. Antonius Kotabaru adalah Perayaan Ekaristi yang identik dengan kreativitas dan sukacita anak-anak. Liturginya disusun dengan memperhatikan karakter anak-anak yang ceria. Penyusunannya memperhatikan Pedoman Umum Tata Perayaan Ekaristi. Pengolahan tema, doa-doa, lagu-lagu, bacaan-bacaan, homili, termasuk dekorasi dan suasana atau dinamika liturgi EKA dirancang untuk anak-anak sebagai umat. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan pemimpin misa ketika mempersiapkan dan membawakan homili pada saat EKA. Pemimpin misa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Pastor di paroki St. Antonius Kotabaru yang kerap memimpin EKA, yaitu Rm. P. Mutiara Andalas, SJ dan Rm. Ant. Padua Danang Bramasti, SJ. Pemimpin misa tentu memiliki konsep-konsep ideal ketika mempersiapkan dan membawakan homili dalam EKA. Konsep-konsep ini berkaitan dengan konsep-konsep ideal yang dimiliki oleh komunikator pada komunikasi publik pada saat membawakan pidato, karena pada dasarnya homili merupakan implementasi dari komunikasi publik. Konsep-konsep ideal ini berkaitan dengan dua hal yang menjadi asumsi utama retorika Aristoteles, yaitu pembicara yang efektif harus mempertimbangkan audiens mereka dan menggunakan beberapa bukti pada presentasi mereka. Aristoteles juga memberikan lima resep atau dalih saat membawakan orasi yang dapat diterapkan oleh pemimpin misa saat membawakan homili, yaitu Rekaan, Susunan, Style, Penyampaian, dan Memori. Dalih ini dapat digunakan Pastor ketika hendak menyampaikan homili, mulai dari membangun sebuah tema homili dan mengumpulkan argumen-argumen untuk mendukung tema tersebut, 17 mengorganisasikan pola homili, memilih dan menggunakan bahasa yang sesuai dengan keadaan umat, menyampaikan homili yang telah disusunnya, sampai pemahaman Pastor terhadap hal-hal tertentu ketika menyusun dan menyampaikan homili. DeVito juga memberikan tawaran persiapan pidato yang dapat digunakan oleh Pastor saat membawakan homili, yaitu: 1. Memilih topik & tujuan 2. Analisis pemahaman publik 3. Penelitian topik 4. Merumuskan tesis & identifikasi beberapa masalah pokok 5. Menyiapkan data pendukung 6. Mengorganisasikan bahan pembicaraan 7. Kalimat dalam pidato 8. Menyusun kesimpulan & introduksi. Tubbs & Moss menawarkan beberapa metode pada saat menyampaikan homili, yaitu metode penyampaian mendadak (impromptu manuskrip), metode penyampaian naskah (manuskrip), metode penyampaian menghafal (memorized speech), dan metode penyampaian tanpa persiapan lengkap (ekstemporanous speaking). Selain itu Deddy Mulyana memberikan petunjuk pada saat Pastor akan memilih penggunaan bahasa sebagai bagian dalam komunikasi verbal. Bowmann & Bowmann, DeVito, dan Bradley memberikan kategori komunikasi non verbal yang dapat digunakan yaitu paralinguistik, kinesika, proxemiks. Komunikasi non verbal ini juga dapat disalurkan melalui, Paralinguistik o Penekanan (stressing) o Nada (pitch) o Kerasnya suara (volume) o Kecepatan (rate) o Jeda (pause) Gerak-isyarat dan gerak tubuh o Sikap 18 o Ekspresi wajah o Kontak mata o Gerak-isyarat Teori-teori dan konsep-konsep di atas adalah konsep ideal yang dapat menjadi pertimbanagan Pastor saat melakukan praktek membawakan homili saat EKA. Konsep ideal ini diasumsikan ketika umat yang hadir didominasi oleh anakanak, seperti yang digambarkan sebelumnya. Pada kenyataannya EKA yang diselenggarakan di Gereja St. Antonius Kotabaru sebagian besar umatnya adalah orangtua dan remaja. Adanya ketidakserasian antara konsep awal EKA dengan kontkes yang terjadi dapat mempengaruhi Pastor dalam membawakan homili. Maka penekanan penelitian ini adalah sejauh mana pergeseran improvisasi yang dilakukan oleh pemimpin misa ketika konsep ideal tersebut tidak sesuai dengan konteks yang terjadi pada saat Ekaristi Kaum Anak. 1.7 METODOLOGI PENELITIAN 1.7.1 Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian bersifat kualitatif. Analisis deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.(Bungin, 2011) Penelitian ini menampilkan gambaran mengenai praktek komunikasi publik yang dilakukan oleh pemimpin misa dalam menyampaikan homili pada saat Ekaristi Kaum Anak.. 1.7.2 Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta. Gereja St. Antonius Kotabaru adalah salah satu gereja katolik yang termasuk dalam wilayah Keuskupan Agung Semarang. Gereja St. Antonius 19 Kotabaru yang diresmikan pada 18 Februari 1923 ini mulai berfungsi pada 16 Juni 1923. Paroki St. Antonius Kotabaru memiliki 5 wilayah dan 24 lingkungan. Menurut hasil survei umat 2011, Paroki St. Antonius Kotabaru melayani 1024 kepala keluarga dengan jumlah umat 3.131. Berdasarkan persentase usia, umat anak berjumlah 11,95%, remaja dan Orang Muda Katolik (OMK) berjumlah 38,16%, dan dewasa serta lansia 49,89%. Walaupun umat paroki berjumlah 3.131 orang, namun yang hadir pada Ekaristi, yang diselenggarakan sebanyak 7 kali mulai dari Sabtu sore hingga Minggu Sore, berkisar 9.000-11.000 orang. Paroki St. Antonius sebagai Gereja terbuka melahirkan komunitaskomunitas kategorial. Pendampingan Iman Anak (PIA) Gereja St. Antonius, misalnya, memiliki kegiatan utama yaitu Ekaristi Kaum Anak (EKA) dan sekolah minggu. EKA melibatkan anak-anak di lingkungan dan sekolah-sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar di sekitar gereja sebagai penyelenggaranya. Anakanak mendalami iman Katolik dengan tarian, cerita, dan visualisasi yang dekat dengan hidup anak. Keterlibatan ini mendidik mereka untuk melayani gereja sejak usia dini. Jumlah umat yang hadir pada EKA berkisar 2.500 orang, namun jumlah anak-anak yang hadir hanya 5-7% selebihnya adalah orangtua dan remaja. Saat ini Paroki St. Antonius Kotabaru dipimpin oleh Rm. R. Hardaputranta, SJ sebagai Pastor Paroki. Gereja St. Antonius Kotabaru juga memiliki empat Pastor Pembantu, yaitu: Rm. V. Seno Hari Prakoso, SJ; Rm. St. Bagus Aris Rudiyanto, SJ; Rm. P. Mutiara Andalas, SJ dan Rm. Ant. Padua Danang Bramasti, SJ. Menurut Kitab Hukum Kanonik, Pastor Pembantu sebagai rekan kerja Pastor Paroki memiliki tugas memberikan bantuan dalam seluruh pelayanan pastoral, atau untuk seluruh paroki, atau untuk kelompok kaum beriman kristiani tertentu, maupun juga untuk memberikan bantuan guna pelaksanaan pelayanan tertentu di pelbagai paroki sekaligus. Salah satu bentuknya adalah memimpin Ekaristi Kaum Anak, yang dilakukan oleh Rm. P. Mutiara Andalas, SJ dan Rm. Ant. Padua Danang Bramasti, SJ. Sebagai pemimpin misa EKA, Rm. Andalas dan Rm. Danang bertugas untuk membawakan homili. Problematiknya adalah ketika Rm. Andalas dan Rm. Danang berada dalam situasi dimana pada saat EKA umat yang hadir mayoritas 20 adalah remaja dan orangtua. Ketidakcocokan situasi ketika mereka mempersiapkan homili dengan keadaan saat mereka menyampaikan homili memungkinkan mereka untuk melakukan improvisasi. 1.7.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Burhan Bungin (2012) menyatakan bahwa studi kasus, dalam khazanah metodologi, dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci, dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian. Secara umum studi kasus memberikan akses atau peluan yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus karena hal yang diangkat dalam penelitian ini bersifat unik dan spesifik. Unik, Ekaristi Kaum Anak yang idealnya dihadiri oleh anak-anak sebagai umat dominan, namun pada kenyataannya di Gereja Katolik St. Antonius Kotabaru Ekaristi Kaum Anak didominasi oleh orangtua dan remaja sebagai umat. Penelitian ini tidak hanya meneliti tentang praktek komunikasi publik yang dilakukan oleh pemimpin misa dalam membawakan homili pada umumnya, tetapi juga menggali lebih dalam bagaimana pemimpin misa melakukan proses komunikasi saat membawakan homili pada saat Ekaristi Kaum Anak; Spesifik, penelitian ini secara khusus memaparkan improvisasi yang dilakukan oleh pemimpin misa sebagai komunikator pada saat membawakan homili pada Ekaristi Kaum Anak; 1.7.4 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta dari bulan Juni hingga bulan September 2013. 21 1.7.5 Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari objek utama penelitian, sementara data sekunder diperoleh dari data-data yang terkait dengan objek penelitian. 1.7.6 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, pengamatan (observasi), dan penelaah dokumen. a. Data Primer 1) Wawancara mendalam Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. (Bungin,2011) Peneliti akan melakukan wawancara mendalam pada: 1. Rm. P. Mutiara Andalas, SJ dan Rm. Ant. Padua Danang Bramasti, SJ sebagai pemimpin misa yang membawakan homili dalam Ekaristi Kaum Anak sebagai data primer. 2. Umat secara umum (orang tua & remaja) yang mengikuti Ekaristi Kaum Anak sebagai data sekunder. 3. Pihak-pihak yang terkait dengan Ekaristi Kaum Anak, seperti Pastor Paroki dan anggota Pendampingan Iman Anak, sebagai data sekunder. Wawancara yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana komunikator, dalam hal ini pemimpin misa melakukan homili, mulai dari persiapan, improvisasi saat membawakan homili, hingga evaluasi yang dilakukan komunikator. 22 2) Observasi Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. (Bungin,2011). Observasi dilakukan dengan cara peneliti mengamati secara langsung pemimpin misa pada saat membawakan homili dalam Ekaristi Kaum Anak dan mencatat temuan-temuan yang terdapat pada saat pengamatan berlangsung. Observasi dilakukan di Gereja St. Antonius Kotabaru pada saat Ekaristi Kaum Anak berlangsung. Peneliti memperhatikan komunikasi verbal dan komunikasi non verbal pemimpin misa membawakan homili saat Ekaristi Kaum Anak. b. Data Sekunder 1) Dokumentasi Pengumpulan data dan teori yang relevan dalam penelitian ini diperoleh melalui sumber-sumber tertulis. Dokumen yang dipertimbangkan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah data kepustakaan seperti buku, teks misa, dan bahan tertulis lainnya. Selain itu juga data pendukung berupa dokumen administratif, foto, video, dan dokumen internal. 1.7.7 Teknik Analisis Data Peneliti menggunakan gagasan Donald Campbell tentang “pola perjodohan (pattern matching)” sebagai acuan peneliti menganalisis data. Teknik ini menggambarkan dua pola potensial yang menunjukkan bahwa data-data yang diperoleh memiliki kesesuaian yang seimbang satu sama lain. Peneliti akan mengumpulkan data-data yang peneliti dapat baik berupa hasil wawancara maupun dokumentasi hasil observasi yang dilakukan berkaitan dengan proses komunikasi pemimpin misa membawakan homili pada saat Ekaristi Kaum Anak, antara lain persiapan homili yang dilakukan oleh pemimpin misa, 23 komunikasi verbal dan komunikasi non verbal yang digunakan oleh pemimpin misa saat membawakan homili pada Ekaristi Kaum Anak. Setelah itu mengkategorikan data-data tersebut berdasarkan teori yang dipaparkan pada kerangka konsep. Peneliti kemudian menganalisisnya dengan melihat kesesuaian bukti empiris dengan pola yang telah diprediksi dalam teoriteori komunikasi publik, seperti teori retorika, persiapan pidato, dan keterampilan komunikasi. Keterampilan komunikasi termasuk metode penyampaian homili, komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal yang digunakan oleh pemimpin misa sebagai komunikator. Hasil perjodohan bukti empiris dengan teori ini akan disajikan dalam bentuk deskriptif untuk menggambarkan temuan dan menganilisi kasus. 24