BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Menurut

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ekaristi merupakan perayaan
ibadat mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah, biasanya disebut Misa
Kudus. Tata Perayaan Ekaristi memiliki empat bagian penting, yaitu Pembukaan,
Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Penutup. Dalam perayaan ekaristi, homili
memiliki peran yang sangat penting. Homili merupakan bagian inti dalam Liturgi
Sabda. Pemimpin misa mencoba untuk menerjemahkan isi kitab suci agar dapat
dipahami oleh umat di kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu pemimpin misa
sebagai pembawa homili sangat memiliki peran penting baik bagi umat maupun
bagi Gereja. Dengan homili pemimpin misa dapat mengajak umat untuk hidup
lebih baik.
Hendrikus (1991) menyatakan bahwa homili merupakan salah satu contoh
dari bentuk retorika. Homili sendiri berkembang pada abad pertengahan. Homili
berkembang mengikuti perkembangan ke-Kristenan. Awalnya homili berkembang
di Romawi sebagai kotbah. Saat itu Homili berfungsi sebagai alat penyebaran
ajaran Yesus Dari Nazaret. Hal ini terjadi sampai dengan 30 tahun setelah Masehi.
Dalam abad-abad setelahnya, ke-Kristenan semakin meluas yang kemudian diikuti
orang-orang Kristen yang mengembangkan ilmu kepandaian berbicara lewat
kotbah dan homili. Dalam sebuah ekaristi, Homili sangat memiliki peran penting
sebagai “penterjemah” Injil agar dapat dipahami oleh umat dengan baik.
Dalam menyampaikan homili, perlu diperhatikan hal-hal yang dapat
mendukung sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima oleh publik, dalam
hal ini umat. Homili yang bertujuan untuk memberikan persuasi tertentu, harus
dapat disampaikan dengan baik. Sehingga umat dapat menerima, mengerti, dan
akhirnya terpersuasi dengan baik dan tepat.
Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penyampaian homili
harus disesuaikan dengan keadaan waktu, tempat dan publik. Sehingga gaya
dalam menyampaikan homili dapat berbeda-beda, sesuai dengan konteks saat itu.
1
Homili harus dapat disampaikan dengan baik melalui sistem verbal dan sistem
non-verbal pemimpin misa. Pemimpin misa terutama harus memperhatikan
keterampilan komunikasinya dalam membawakan Homili, pengorganisasian
pesan, pemahaman terhadap publik, alat bantu yang digunakan.
Gereja Katolik Paroki St. Antonius Kotabaru merupakan bagian dari
Keuskupan Agung Semarang. Awalnya adalah gereja Rektorat dengan Rektor
Kolose sebagai Pastor Kepala. Selain untuk ibadat, gereja juga berfungsi sebagai
tempat latihan pelayanan bagi calon imam. Hingga 1933, gereja merupakan stasi
dari paroki pertama di Yogyakarta, yang berkedudukan di jalan Senopati. Sejak 1
Januari 1934, menjelang pemberkatan gereja Bintaran, Kotabaru menjadi Paroki
pemekaran darinya.
Dua puluh lima Tim Kerja dan lima Kelompok Kategorial terlibat dalam
pelayanan pastoral dan kemasyarakatan. Sebagian Tim kerja terlibat dalam
aktivitas bidang Liturgi (9 tim kerja), dan bidang kemasyarakatan. Komunitas
Pendampingan Anak, Remaja, dan Orang Muda menyelenggarakan Ekaristi
berdasarkan kelompuk usia secara rutin. Para koordinator Ekaristi kategorial juga
menjalin relasi dengan Pendampingan Iman Anak (PIA), Pendampingan Iman
Remaja (PIR), ataupun Pendampingan Iman Orang Muda (PIM) di paroki-paroki
yang bertetangga dengan St. Antonius Kotabaru.
Gereja Kaum Muda, selanjutnya disebut Orang Muda Katolik (OMK) lahir
dan kemudian membentuk Ekaristi Kaum Muda (EKM) sebagai bentuk partisipasi
OMK dalam pelayanan gereja yang memperhatikan Kaum Muda. EKM
diselenggarakan oleh kaum muda teritorial lingkungan gereja, SMA dan
sederajatnya, Perguruan Tinggi dan komunitas biara di sekitar Yogyakarta.
Seiring
berjalannya
waktu
OMK
kemudian
melebarkan
sayap
pelayanannya kepada anak-anak dengan membentuk Pendampingan Iman Anak
(PIA). PIA Gereja St. Antonius kegiatan utamanya adalah Ekaristi Kaum Anak
(EKA) dan Sekolah Minggu. EKA melibatkan anak-anak di lingkungan dan
sekolah-sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar di sekitar gereja sebagai
penyelenggaranya. Anak-anak mendalami iman Katolik dengan tarian, cerita, dan
2
visualisasi yang dekat dengan hidup anak. Keterlibatan ini mendidik mereka untuk
melayani gereja sejak usia dini.
Gereja St. Antonius Kotabaru merupakan Gereja Katolik di Keuskupan
Agung Semarang yang menyelenggarakan EKA secara rutin setiap bulannya.
Tidak hanya itu PIA Gereja St. Antonius Kotabaru juga mengundang anak-anak
dari paroki-paroki sekitar Gereja St. Antonius untuk ikut serta dalam EKA Gereja
St. Antonius Kotabaru. EKA Gereja St. Antonius Kotabaru identik dengan
kreativitas dan sukacita anak-anak. Liturginya disusun dengan memperhatikan
karakter anak-anak yang ceria. Penyusunannya memperhatikan Pedoman Umum
Tata Perayaan Ekaristi. Kemanusiaan-iman anak-anak dibangun melalui
pengolahan tema, doa-doa, lagu-lagu, bacaan-bacaan, homili, termasuk dekorasi
dan suasana atau dinamika liturgi EKA. Harapannya, anak-anak mengalami
perjumpaan pribadi dengan Allah dalam Ekaristi. Tim kerja EKA dibawah
koordinasi Tim Liturgi dibentuk untuk mengelola peyelenggaraan EKA setiap
minggunya.
Tapi pada kenyataannya terdapat sebuah polemik ketika seorang pemimpin
Misa di Gereja Katolik menyampaikan Homili saat EKA seperti yang terjadi di
Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta. EKA adalah Ekaristi yang
diselenggarakan dengan nuansa anak-anak. Awalnya EKA hanya diikuti oleh
anak-anak. Orang dewasa yang mengikuti EKA ini sebagian besar adalah
orangtua yang menghantarkan anak-anaknya untuk mengikuti Ekaristi.
Pada dasarnya tidak ada peraturan yang mengikat tentang hak umat untuk
memilih ekaristi mingguan yang akan diikutinya. Kenyataannya saat ini umat
yang hadir pada EKA mayoritas adalah orang tua dan remaja. Hal ini membuat
pemimpin ekaristi kaum anak harus cermat membawakan Homili agar dapat
dimengerti oleh seluruh umat.
Beberapa orangtua dari anak-anak yang mengikuti EKA mengeluhkan
bahwa saat ini pemimpin misa EKA dalam menyampaikan homili kurang
“berpihak” pada anak-anak. Pastor Paroki Gereja St. Antonius Kotabaru, Rm. R.
Hardaputratanta, S.J. juga menyatakan bahwa saat ini pemimpin misa di Gereja
St. Antonius Kotabaru kurang memiliki keterampilan dalam membawakan homili
3
saat EKA. Hal ini juga menjadi salah satu keprihatinan paroki di bidang liturgi,
yaitu pesan dalam homili perlu semakin menyapa umat, khususnya anak-anak;
pesan homili hendaknya selaras dengan visi pastoral paroki dan Keuskupan
Agung Semarang. Di sisi lain, para pemimpin misa di Gereja Katolik Santo
Antonius Kotabaru juga merasa kesulitan pada saat harus membawakan homili
pada saat EKA.
Dari keadaan ini, penulis ingin meneliti strategi dan teknik komunikasi
pemimpin Misa dalam menyampaikan homili pada penyelenggaraan Ekaristi
Kaum Anak di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
“Bagaimana pemimpin misa membawakan homili dalam penyelenggaraan
ekaristi kaum anak di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta?”
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui strategi dan teknik komunikasi pemimpin misa membawakan
homili dalam ekaristi kaum anak di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru
Yogyakarta.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.
Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berguna dan menambah
wawasan mengenai keterampilan berbicara di depan umum (retorika).
2.
Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi di bidang Ilmu
komunikasi khususnya pada keterampilan berbicara di depan umum
(retorika).
3.
Secara praktis, penelitian ini dapat berguna dalam mengembangkan
retorika dengan konteks jaman ini.
4
1.5 KERANGKA PEMIKIRAN
Membawakan homili merupakan sebuah manisfestasi dari sebuah bentuk
komunikasi publik dalam bentuk pidato atau ceramah. Pemimpin misa dalam
membawakan homili sebagai komunikator/pembicara dan umat sebagai
publik/pendengar. Di dalam membawakan homili ini terdapat prinsip-prinsip
utama komunikasi publik. Hal ini berkaitan terutama dengan pembicara sebagai
komponen utama komunikasi publik mengimplementasikan prinsip-prinsip
tersebut.
Persiapan pidato dan pemilihan metode pidato yang dilakukan oleh
pembicara akan berpengaruh pada keberhasilan pidato tersebut. Komunikasi
verbal dan komunikasi non-verbal akhirnya memiliki peran kunci dalam
melakukan pidato. Hal-hal inilah yang merupakan prinsip-prinsip komunikasi
publik yang mejadi perhatian pembicara saat melakukan pidato.
1.5.1
Komunikasi Sebagai Tindakan Satu-Arah
Membawakan homili merupakan kegiatan komunikasi satu-arah. Deddy
Mulyana (2002) menyatakan suatu pemahaman populer mengenai komunikasi
manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari
seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya,
baik secara langsung (tatap-muka) ataupun melalui media, seperti surat
(selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Komunikasi dianggap
sebagai suatu proses linier yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan
berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya.
Pemahaman komunikasi sebagai proses searah ini oleh Michael Burgoon
disebut sebagai “definisi berorientasi-sumber” (source-oriented definition).
Definisi seperti ini mengisyaratkan komunikasi sebagai semua kegiatan yang
secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan untuk
membangkitkan respons orang lain. Dalam konteks ini, komunikasi dianggap
suatu tindakan yang disengaja (intentional act) untuk menyampaikan pesan demi
memenuhi kebutuhan komunikator, seperti menjelaskan sesuatu kepada orang lain
atau membujuknya untuk melakukan sesuatu.
5
Berdasarkan definisi Lasswell (Mulyana, 2002) dapat diturunkan lima
unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu: sumber, pesan,
saluran atau media, penerima, dan efek.
a. Sumber
Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan
untuk berkomunikasi. Sumber boleh seorang individu, kelompok,
organisasi, perusahaan atau bahkan negara. Untuk menyampaikan apa
yang ada dalam hatinya (perasaan) atau dalam kepalanya (pikiran),
sumber harus mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam
seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang idealnya dipahami
oleh penerima pesan. Proses inilah yang disebut penyandian
(encoding).
b. Pesan
Pesan adalah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada
penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan/atau
nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud
sumber tadi.
c. Saluran atau media
Saluran atau media adalah alat atau wahana yang digunakan sumber
untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.
d. Penerima
Penerima adalah orang yang menerima pesan dari sumber.
e. Efek
Efek adalah apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan
tersebut.
1.5.2
Komunikasi Publik dalam Konteks Komunikasi
Membawakan homili merupakan sebuah manisfestasi dari sebuah bentuk
komunikasi publik dalam bentuk pidato atau ceramah. Komunikasi publik (public
communication) adalah komunikasi antara seseorang pembicara dengan sejumlah
besar orang (publik), yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi publik
6
biasanya berlangsung lebih formal dan lebih sulit daripada komunikasi
antarpribadi atau komunikasi kelompok. Karena komunikasi publik menuntut
persiapan pesan yang cermat, keberanian dan kemampuan menghadapi sejumlah
besar orang. (Mulyana,2002)
Ciri-ciri komunikasi publik adalah: terjadi di tempat umum (publik),
misalnya di auditorium, kelas, tempat ibadah, atau tempat lainnya yang dihadiri
sejumlah besar orang; merupakan peristiwa sosial yang biasanya telah
direncanakan alih-alih peristiwa relatif informal yang tidak terstruktur; terdapat
agenda; beberapa orang ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus, seperti
memperkenalkan
pembicara, dan sebagainya;
acara-acara lain mungkin
direncanakan sebelum dan/atau sesudah ceramah disampaikan pembicara.
Komunikasi publik sering bertujuan memberikan penerangan, menghibur,
memberikan penghormatan, atau membujuk. (Mulyana,2002)
Menurut Hart dan kawan-kawan (Tubbs & Moss, 1996), terdapat
setidaknya sepuluh tuntutan dalam komunikasi publik.
1. Pesan harus relevan dengan kelompok sebagai suatu keseluruhan,
tidak hanya bagi satu atau segelintir individu dalam kelompok itu.
Dalam komunikasi publik, “kepentingan yang sama” harus terusmenerus diusahakan oleh pembicara.
2. Bahasa “publik” lebih terbatas, yaitu kurang luwes, menggunakan
lebih banyak bahasa yang sudah dikenal umum, lebih sedikit
ungkapan pribadi, dan mengandung lebih sedikit konotasi daripada
percakapan “pribadi”.
3. Umpan balik lebih terbatas. Dalam banyak kasus, umpan balik
tersebut terbatas pada respons nonverbal yang terselubung.
4. Publik yang dihadapi lebih beraneka-ragam. Dalam komunikasi
publik, kita menghadapi kesulitan memasuki banyak “dunia
perseptual” secara serentak.
5. Meningkatnya jumlah publik pendengar memperbesar kemungkinan
kesalahan menafsirkan umpan balik, karena banyaknya reaksi
pendengar yang harus diamati.
7
6. Pembicara harus membuat persiapan pidato yang lebih lengkap,
karena hanya sedikit kesempatan mendapat umpan balik langsung
yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi pembicaraannya.
7. Persoalan adaptasi menjadi hal terpenting karena sebuah pesan harus
sesuai untuk banyak orang yang berbeda-beda.
8. Analisis publik pendengar lebih sulit dan lebih tidak akurat karena
pembicara berinteraksi dengan banyak orang secara serentak.
9. Kadang-kadang sulit memusatkan perhatian terhadap pesan karena
banyak situasi lain yang menarik perhatian publik.
10. Jumlah perubahan pesan dalam komunikasi publik bisa lebih banyak
karena pesan sampai kepada lebih banyak orang dalam satuan waktu
tertentu.
Dalam berbicara di depan hadirin, seorang pembicara biasanya
mempunyai sedikitnya satu dari tiga tujuan berikut: memberi informasi,
menghibur, membujuk (meyakinkan) pendengar. Jika tujuannya memberi
informasi, perhatian utama pembicara adalah hasil perolehan informasi. Berbicara
untuk menghibur diarahkan pada kesenangan. Bila maksud pembicara adalah
meyakinkan, hasil yang diharapkan adalah pengaruhnya pada sikap.
1.5.3
Retorika Aristoteles
Pada saat pemimpin misa membawakan homili maka ia melakukan seni
berbicara atau yang biasa disebut retorika. Komunikasi terjadi ketika seorang
pembicara menyampaikan pembicaraannya kepada publik dalam upaya mengubah
sikap mereka. Tepatnya, ia mengemukakan tiga unsur dasar proses komunikasi,
yaitu pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener).
(Mulyana,2002)
8
Ada dua hal yang menjadi asumsi utama teori ini menurut Aristoteles,
(West & Turner, 2010), yaitu:
o Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan publik mereka.
o Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti pada presentasi
mereka.
Asumsi yang pertama menjelaskan bahwa komunikasi adalah proses
transaksional. Pada konteks public-speaking, Aristoteles menjelaskan bahwa relasi
pembicara-publik harus diakui. Pembicara seharusnya tidak membangun atau
menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan publik mereka.
Pembicara seharusnya menggunakan audience-centered. Mereka harus berfikir
bahwa publik adalah satu grup yang terdiri dari banyak individu dengan motivasi,
keputusan, dan pilihan, tidak menyetarakan semua orang.
Aristoteles merasa bahwa publik itu penting bagi efektifitas utama
pembicara. Ia menyatakan,”Dari tiga elemen dalam pembuatan pidato—
pembicara, pesan, dan publik yang dituju—Adalah yang terakhir, pendengar, yang
menentukan akhir pidato dan objek”. Masing-masing publik itu unik, dan yang
bekerja pada seorang publik dapat gagal pada yang lainnya. Carnes Lord (1994)
menyatakan bahwa publik tidak selalu terbuka pada argumen rasional. Seperti
yang bisa dilihat, pemahaman publik itu kritikal sebelum pembicara memulai
membawakan pidatonya.
Asumsi yang kedua yang menjadi dasar teori Aristoteles menyinggung apa
yang pembicara lakukan pada persiapan pidato mereka dan pada saat mereka
menyampaikannya. Bukti yang dimiliki Aristoteles menunjuk arti persuasi, dan,
bagi Aristoteles, tiga bukti yang ada : ethos, pathos, dan logos. Ethos merasakan
karakter, kecerdasan, dan kehendak baik pembicara selama mereka menyatakan
pidatonya. Eugene Ryan (1984) menyatakan ethos adalah istilah yang menunjuk
pada pengaruh bersama yang dimiliki antara pembicara dan publik. Aristoteles
percaya bahwa pembicara dapat dipengaruhi oleh publik dengan cara yang sama
di mana publik dapat dipengaruhi oleh pembicara.
Logos adalah bukti logikal yang dimanfaatkan oleh pembicara—argumen
mereka dan rasionalisasi. Logos menyertakan penggunaan banyaknya latihan,
9
termasuk menggunakan klaim secara logikal dan bahasa yang jelas.Untuk
menggunakan frase poetik,harus menghasilkan kejelasan dan kewajaran.
Pathos menyinggung tentang emosi yang digambarkan oleh publik.
Aristoteles menentang bahwa publik menjadi instrumen dari bukti ketika emosi
diaduk pada mereka. Pendengar menentukan berbagai macam ketika mereka
terpengaruh oleh kebahagiaan, sakit, kebencian, atau ketakutan.
Dengan kata lain, faktor-faktor yang memainkan peran dalam menentukan
efek persuasif suatu pidato meliputi isi pidato, susunannya, dan cara
penyampaiannya. Arirtoteles juga menyadari peran publik pendengar. Persuasi
berlangsung melalui publik ketika mereka diarahkan oleh pidato itu ke dalam
suatu keadaan emosi. (Mulyana,2002)
Aristoteles menyatakan bahwa agar pidato persuasif dapat efektif,
pembicara harus mengikuti panduan yang pasti atau prinsip-prinsip tertentu, yang
dikenal sebagai dalih. Lima resep atau dalih untuk menghasilkan orasi yang
efektif. (West & Turner,2010)
1) Rekaan (Invention)
Rekaan diartikan sebagai konstruksi atau membangun argumen yang relevan
untuk maksud dari pidato. Rekaan menemukan semua bukti yang diperlukan.
Rekaan merupakan integrasi dari alasan dan argumen pada pidato. Menggunakan
logika dan bukti-bukti pada pidato menjadikan pidato lebih kuat dan lebih
persuasif.
2) Susunan (Arrangement)
Pembicara harus mengorganisasikan pola untuk pidato mereka untuk
mempertinggi efektifitas pidato. Memelihara struktur pidato—pengenalan, isi,
penutup—mendukung kredibilitas pembicara, mempertinggi persuasif, dan
mengurangi kekecewaan publik.
3) Style
Style ditunjukkan dengan penggunaan bahasa untuk mengemukakan ide-ide
pada cara tertentu. Di dalamnya termasuk pemilihan kata, perumpamaan, dan
kelayakan kata. Masing-masing retorika memiliki gaya masing-masing, kini style
10
terkadang dilupakan. Style menjamin bahwa pidato itu mengesankan dan
memperjelas ide pembicara.
4) Penyampaian (Delivery)
Bagaimana pembicara menyampaikan ide-ide yang telah disusunnya. Dalam
kasus ini, penyampaian menunjukkan presentasi nonverbal dari ide-idenya.
Penyampaian pada normalnya terdiri dari keseluruhan tingkah laku, termasuk
kontak mata, isyarat vokal, pelafalan, ucapan, dialek, body movement, dan
penampilan fisik. Penyampaian menunjukkan manipulasi vokal. Pembicara
menggunakan penempatan yang tepat dari pitch, ritme, volume, dan emosi.
Penyampaian yang efektif melengkapi kata-kata pembicara dan membantu untuk
mengurangi kegelisahan pembicara.
5) Memory
Agar dapat berbicara persuasif, pembicara harus memiliki pemahaman dasar pada
banyak alat ketika membentuk dan menyampaikan pidato. Di pihak lain,
pembicara perlu untuk mengingat uraian yang baik sebelum memulai berbicara.
Menunjukkan upaya pembicara dalam menyimpan informasi untuk pidato dalam
benaknya. Mengetahui apa yang akan dikatakan dan ketika untuk menyatakan
meringankan
kegelisahan
pembicara
dan
menghargai
pembicara
untuk
menanggapi event yang tidak bisa diantisipasi.
1.5.4
Komunikator/Pembicara
Tubbs & Moss (1996) menyatakan keberhasilan seorang komunikator
membawakan pidato berkaitan erat dengan kredibilitas yang ia miliki. Dalam arti
luas, kredibilitas berarti kesediaan kita mempercayai sesuatu yang dikatakan dan
dilakukan seseorang. Hal ini berkaitan erat dengan prinsip “etos” yang
dikemukakan oleh Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa seseorang dengan
etos tinggi dianggap memiliki kompetensi tingkat tinggi, watak yang baik, dan
niat baik terhadap pendengarnya. Aristoteles percaya bahwa kualitas-kualitas
tersebut membantu pembicara meningkatkan penerimaan pendengar atas pesanpesannya.
11
McCroskey menemukan dua dimensi utama etos: keotoritatifan dan watak.
Keotoratifan, atau keahlian menunjukkan bagaimana pembicara dipersepsi
berkenaan dengan subjek yang disajikannya. Karakter atau watak, menunjukkan
bagaimana pembicara dipersepsi sehubungan dengan maksud dan tujuannya.
Tubbs & Moss menambahkan banyak penulis pidato percaya bahwa dimensi etos
ketiga adalah kedinamisan, yaitu bagaimana kemampuan pembicara dalam
membujuk, keaktifannya, dan semangatnya sebagai pembicara ditampakkan.
DeVito memiliki kata lain untuk ketiga dimensi etos ini, yaitu kompetensi,
karakter, dan karisma.
1.5.5
Persiapan Pidato
Menurut DeVito (1997) ada delapan langkah yang diperlukan untuk
menyiapkan suatu pidato di depan umum.
1. Memilih Topik dan Tujuan
Topik dan tujuan yang dipilih disesuaikan dengan konteks pidato yang
akan dibawakan.
2. Analisis Pemahaman Publik
Menurut Clevenger (Tubbs & Moss, 1996), sedikitnya ada dua metode
bagi para pembicara untuk menentukan bagaimana cara terbaik untuk
menyesuaikan pesan dengan hadirin tertentu: analisi-demografis dan
analisis berorientasi-tujuan.
a. Analisis Demografis
Dalam analisis demografis, hal-hal yang perlu diperhatikan seperti
umur, jenis kelamin, latar belakang geografis, pekerjaan, tingkat sosial
ekonomi, pendidikan, agama, dan sebagainya. Analisis ini diperlukan
untuk menyesuaikan pesan dengan tingkat dan minat publik.
b. Analisis Berorientasi-Tujuan
Berbeda dengan analisis demografis, yaitu pembicara mengumpulkan
informasi mengenai publik sebelum mempersiapkan pidato. Analisis
berorientasi tujuan berlangsung selama persiapan pidato. Pembicara
12
mulai memikirkan informasi mengenai publik yang paling penting
bagi tujuan pembicara.
3. Penelitian Topik
Sebuah pidato akan bermutu bila pembicara melakukan penelitian
mengenai topiknya terlebih dahulu. Diawali dengan membaca sumber
yang berkaitan dengan topik yang akan dibawakan.
4. Merumuskan Tesis dan Mengidentifikasi Beberapa Masalah Pokok.
Tesis dari pidato merupakan isi pokok penyampaian pidato. Isi inilah
yang diharapkan dapat diketahui oleh publik.
5. Menyiapkan Data Pendukung
Data pendukung memiliki peran penting untuk memperkuat tesis.
Salah satunya dengan menggunakan contoh dan ilustrasi.
a. Contoh
Contoh diambil sebagai perbandingan atau analogi untuk menjelaskan
sesuatu hal yang tidak dapat begitu saja ditangkap kecuali dengan
contoh dari kehidupan sehari-hari. Contoh harus konkret, sesuai
dengan kenyataan, mengungkapkan pengalaman yang cukup umum
sehingga setiap orang dapat mengidentifikasikan dirinya di dalamnya.
Akan tetapi, contoh tidak boleh diberikan terlalu mendetail karena ada
bahaya tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini berlaku khususnya
tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman batiniah.
(Anton, 2010)
b. Ilustrasi
Ilustrasi adalah cerita (rakyat, sinetron, novel), peristiwa (nasional,
sosial politik, pengalaman hidup orang-orang suci) atau contoh yang
diambil oleh pengkotbah dari kehidupan untuk memperlihatkan suatu
kebenaran secara lebih jelas. Cerita, peristiwa atau contoh bisa tidak
dialami oleh jemaat yang mendengarnya. Ilustrasi digunakan kalau
ada analogi yang jelas antara gagasan dalam isi pidato dengan salah
satu aspek dari ilustrasi tersebut. (Anton, 2010)
13
6. Mengorganisasikan Bahan Pembicaraan
Agar pendengar memahami dan mengingat apa yang dibicarakan maka
pembicara harus mengorganisasikan bahan-bahan yang disajikan.
Pengorganisasian ini bisa dalam pola temporal, pola pemecahanmasalah, maupun pola topik.
7. Kalimat Dalam Pidato
Bahasa dan kalimat yang disampaikan untuk menyajikan gagasan
pokok harus dengan mudah dipahami oleh publik.
8. Menyusun Kesimpulan dan Introduksi
Suatu pidato harus diawali dengan introduksi, dilanjutkan dengan isi
dan diakhiri dengan kesimpulan.
1.5.6
Metode Penyampaian Homili Di Depan Umum
Menurut Tubbs & Moss (1996) pada umumnya ada empat metode umum
penyampaian pidato atau ceramah, yaitu:
a. Metode penyampaian mendadak (impromptu manuskrip), yaitu pidato
yang disampaikan hanya dengan sedikit persiapan. Pada pokoknya,
pembicara berdiri di hadapan darinin, mengatakan apa yang ada dalam
pikirannya.
b. Metode penyampaian naskah (manuskrip), merupakan cara penyampaian
yang paling formal. Berlawanan dengan penyampaian mendadak, jenis
cara berpidato ini memerlukan persiapan lengkap. Pidato disampaikan
persis seperi yang telah disiapkan. Pembicara membacakan pidato bagi
publik. Metode naskah ini paling aman digunakan dalam situasi yang
menuntut ketepatan waktu dan kata-kata yang dipakai.
c. Metode penyampaian dengan menghafal (memorized speech) seluruh
pidato direncanakan sebelumnya, ditulis dengan manuskrip, kemudian
dihafalkan. Jadi pembicara dapat bebas memandang hadirin karena tidak
membawa catatan atau manuskrip.
d. Metode penyampaian tanpa persiapan lengkap (ekstemporanous speaking)
menggabungkan keuntungan dari pidato berpedoman dan direncanakan
14
dengan baik, dengan spontanitas pidato mendadak. Pembicara berbicara
hanya dengan bantuan sedikit catatan (lebih disukai ditulis pada kartukartu
kecil).
Gaya
pidato
ini
lebih
memungkinkan
pembicara
mempersiapkannya dengan baik dan cukup fleksibel untuk merespon
umpan balik publik.
1.5.7
Komunikasi Verbal
Deddy Mulyana (2002) menyatakan simbol atau pesan verbal adalah
semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua
dangsangan wicara yang kita sadari termasuk dalam kategori pesan verbal. Bahasa
juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan
untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami
suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,
perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang
merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita.
Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki
orang, objek, dan peristiwa. Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga
fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.
Sementara Book mengemukakan, agar komunikasi kita berhasil, setidaknya
bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu: Untuk mengenal dunia di sekitar kita;
berhubungan dengan orang lain; dan untuk menciptakan koherensi dalam
kehidupan kita. Untuk melakukan komunikasi yang efektif, kita harus menguasai
bahasa mitra komunikasi kita, dalam hal ini publik.
1.5.8
Komunikasi Non-Verbal
Komunikasi nonverbal merupakan sesuatu yang dilakukan manusia (1) di
samping kata-kata yang digunakan) dengan sengaja, terarah, dengan tujuan
tertentu pada orang lain dan (2) sesuatu yang dilakukan manusia di luar
kebiasaannya atau karena perasaan-perasaan yang muncul secara tiba-tiba—
15
bahkan meskipun tidak disadari—jika orang lain menangkap makna yang sama
atas tindakan itu. (Bowmann & Bowmann,1991; DeVito, 1997; Bradley,1981)
Kategori perilaku nonverbal, yaitu:

paralinguistik, berkaitan dengan cara berbicara dan artikulasi.

kinesika, mencakup gerakan tubuh

proxemiks, mencakup posisi partisipasi dalam suasana komunikasi yang
berkaitan satu dengan lainnya dan dengan objek lain di sekitarnya.
Komunikasi nonverbal dapat disalurkan melalui,

Paralinguistik
o Penekanan (stressing)
o Nada (pitch)
o Kerasnya suara (volume)
o Kecepatan (rate)
o Jeda (pause)

Gerak-isyarat dan gerak tubuh
o Sikap
o Ekspresi wajah
o Kontak mata
o Gerak-isyarat

Proxemiks
o Ruang
o Kewilayahan
o Sentuhan
1.5.9
Pesan/Homili
Martasudjita (2004) menyatakan menurut istilahnya, homili berasal dari
kata Yunani homilia, yang berarti : percakapan atau pembicaraan yang enak,
akrab, saling memahami. Dalam pengertian liturgis, homili memiliki arti yang
jelas dan dibedakan dengan khotbah. Kotbah dapat dipahami sebagai pewartaan
yang bisa menyangkut tema apa saja, bisa bertolak dari apa saja, dan bisa di luar
liturgi atau ibadat. Lain halnya dengan homili. Homili itu selalu merupakan
16
penjelasan atas bacaan Kitab Suci yang dibacakan dalam suatu liturgi atau ibadat.
Dengan demikian, homili selalu bertolak dari Kitab Suci, sebab sifatnya
mengupas dan menjelaskan isi Kitab Suci sesuai dengan konteks hidup jemaat
saat itu. Dalam Tata Perayaan Ekaristi, Homili menjadi inti rangkaian Liturgi
Sabda. Berkat (+) dan Perutusan
1.6 KERANGKA KONSEP.
Berbeda dengan Perayaan Ekaristi mingguan pada umumnya, Ekaristi
Kaum Anak (EKA) Gereja St. Antonius Kotabaru adalah Perayaan Ekaristi yang
identik dengan kreativitas dan sukacita anak-anak. Liturginya disusun dengan
memperhatikan karakter anak-anak yang ceria. Penyusunannya memperhatikan
Pedoman Umum Tata Perayaan Ekaristi. Pengolahan tema, doa-doa, lagu-lagu,
bacaan-bacaan, homili, termasuk dekorasi dan suasana atau dinamika liturgi EKA
dirancang untuk anak-anak sebagai umat. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan
pemimpin misa ketika mempersiapkan dan membawakan homili pada saat EKA.
Pemimpin misa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Pastor di
paroki St. Antonius Kotabaru yang kerap memimpin EKA, yaitu Rm. P. Mutiara
Andalas, SJ dan Rm. Ant. Padua Danang Bramasti, SJ. Pemimpin misa tentu
memiliki konsep-konsep ideal ketika mempersiapkan dan membawakan homili
dalam EKA. Konsep-konsep ini berkaitan dengan konsep-konsep ideal yang
dimiliki oleh komunikator pada komunikasi publik pada saat membawakan
pidato, karena pada dasarnya homili merupakan implementasi dari komunikasi
publik.
Konsep-konsep ideal ini berkaitan dengan dua hal yang menjadi asumsi
utama retorika Aristoteles, yaitu pembicara yang efektif harus mempertimbangkan
audiens mereka dan menggunakan beberapa bukti pada presentasi mereka.
Aristoteles juga memberikan lima resep atau dalih saat membawakan orasi yang
dapat diterapkan oleh pemimpin misa saat membawakan homili, yaitu Rekaan,
Susunan, Style, Penyampaian, dan Memori. Dalih ini dapat digunakan Pastor
ketika hendak menyampaikan homili, mulai dari membangun sebuah tema homili
dan mengumpulkan argumen-argumen untuk mendukung tema tersebut,
17
mengorganisasikan pola homili, memilih dan menggunakan bahasa yang sesuai
dengan keadaan umat, menyampaikan homili yang telah disusunnya, sampai
pemahaman Pastor terhadap hal-hal tertentu ketika menyusun dan menyampaikan
homili.
DeVito juga memberikan tawaran persiapan pidato yang dapat digunakan
oleh Pastor saat membawakan homili, yaitu:
1. Memilih topik & tujuan
2. Analisis pemahaman publik
3. Penelitian topik
4. Merumuskan tesis & identifikasi beberapa masalah pokok
5. Menyiapkan data pendukung
6. Mengorganisasikan bahan pembicaraan
7. Kalimat dalam pidato
8. Menyusun kesimpulan & introduksi.
Tubbs & Moss menawarkan beberapa metode pada saat menyampaikan
homili, yaitu metode penyampaian mendadak (impromptu manuskrip), metode
penyampaian naskah (manuskrip), metode penyampaian menghafal (memorized
speech), dan metode penyampaian tanpa persiapan lengkap (ekstemporanous
speaking). Selain itu Deddy Mulyana memberikan petunjuk pada saat Pastor akan
memilih penggunaan bahasa sebagai bagian dalam komunikasi verbal.
Bowmann & Bowmann, DeVito, dan Bradley memberikan kategori
komunikasi non verbal yang dapat digunakan yaitu paralinguistik, kinesika,
proxemiks. Komunikasi non verbal ini juga dapat disalurkan melalui,
 Paralinguistik
o Penekanan (stressing)
o Nada (pitch)
o Kerasnya suara (volume)
o Kecepatan (rate)
o Jeda (pause)
 Gerak-isyarat dan gerak tubuh
o Sikap
18
o Ekspresi wajah
o Kontak mata
o Gerak-isyarat
Teori-teori dan konsep-konsep di atas adalah konsep ideal yang dapat
menjadi pertimbanagan Pastor saat melakukan praktek membawakan homili saat
EKA. Konsep ideal ini diasumsikan ketika umat yang hadir didominasi oleh anakanak, seperti yang digambarkan sebelumnya. Pada kenyataannya EKA yang
diselenggarakan di Gereja St. Antonius Kotabaru sebagian besar umatnya adalah
orangtua dan remaja. Adanya ketidakserasian antara konsep awal EKA dengan
kontkes yang terjadi dapat mempengaruhi Pastor dalam membawakan homili.
Maka penekanan penelitian ini adalah sejauh mana pergeseran improvisasi
yang dilakukan oleh pemimpin misa ketika konsep ideal tersebut tidak sesuai
dengan konteks yang terjadi pada saat Ekaristi Kaum Anak.
1.7 METODOLOGI PENELITIAN
1.7.1
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang akan dilakukan adalah
penelitian bersifat kualitatif.
Analisis deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan
berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada
di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke
permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang
kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.(Bungin, 2011)
Penelitian ini menampilkan gambaran mengenai praktek komunikasi
publik yang dilakukan oleh pemimpin misa dalam menyampaikan homili pada
saat Ekaristi Kaum Anak..
1.7.2
Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru
Yogyakarta. Gereja St. Antonius Kotabaru adalah salah satu gereja katolik yang
termasuk dalam wilayah Keuskupan Agung Semarang. Gereja St. Antonius
19
Kotabaru yang diresmikan pada 18 Februari 1923 ini mulai berfungsi pada 16 Juni
1923. Paroki St. Antonius Kotabaru memiliki 5 wilayah dan 24 lingkungan.
Menurut hasil survei umat 2011, Paroki St. Antonius Kotabaru melayani 1024
kepala keluarga dengan jumlah umat 3.131. Berdasarkan persentase usia, umat
anak berjumlah 11,95%, remaja dan Orang Muda Katolik (OMK) berjumlah
38,16%, dan dewasa serta lansia 49,89%. Walaupun umat paroki berjumlah 3.131
orang, namun yang hadir pada Ekaristi, yang diselenggarakan sebanyak 7 kali
mulai dari Sabtu sore hingga Minggu Sore, berkisar 9.000-11.000 orang.
Paroki St. Antonius sebagai Gereja terbuka melahirkan komunitaskomunitas kategorial. Pendampingan Iman Anak (PIA) Gereja St. Antonius,
misalnya, memiliki kegiatan utama yaitu Ekaristi Kaum Anak (EKA) dan sekolah
minggu. EKA melibatkan anak-anak di lingkungan dan sekolah-sekolah taman
kanak-kanak dan sekolah dasar di sekitar gereja sebagai penyelenggaranya. Anakanak mendalami iman Katolik dengan tarian, cerita, dan visualisasi yang dekat
dengan hidup anak. Keterlibatan ini mendidik mereka untuk melayani gereja sejak
usia dini. Jumlah umat yang hadir pada EKA berkisar 2.500 orang, namun jumlah
anak-anak yang hadir hanya 5-7% selebihnya adalah orangtua dan remaja.
Saat ini Paroki St. Antonius Kotabaru dipimpin oleh Rm. R.
Hardaputranta, SJ sebagai Pastor Paroki. Gereja St. Antonius Kotabaru juga
memiliki empat Pastor Pembantu, yaitu: Rm. V. Seno Hari Prakoso, SJ; Rm. St.
Bagus Aris Rudiyanto, SJ; Rm. P. Mutiara Andalas, SJ dan Rm. Ant. Padua
Danang Bramasti, SJ. Menurut Kitab Hukum Kanonik, Pastor Pembantu sebagai
rekan kerja Pastor Paroki memiliki tugas memberikan bantuan dalam seluruh
pelayanan pastoral, atau untuk seluruh paroki, atau untuk kelompok kaum
beriman kristiani tertentu, maupun juga untuk memberikan bantuan guna
pelaksanaan pelayanan tertentu di pelbagai paroki sekaligus. Salah satu bentuknya
adalah memimpin Ekaristi Kaum Anak, yang dilakukan oleh Rm. P. Mutiara
Andalas, SJ dan Rm. Ant. Padua Danang Bramasti, SJ.
Sebagai pemimpin misa EKA, Rm. Andalas dan Rm. Danang bertugas
untuk membawakan homili. Problematiknya adalah ketika Rm. Andalas dan Rm.
Danang berada dalam situasi dimana pada saat EKA umat yang hadir mayoritas
20
adalah
remaja
dan
orangtua.
Ketidakcocokan
situasi
ketika
mereka
mempersiapkan homili dengan keadaan saat mereka menyampaikan homili
memungkinkan mereka untuk melakukan improvisasi.
1.7.3
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Burhan Bungin
(2012) menyatakan bahwa studi kasus, dalam khazanah metodologi, dikenal
sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci, dan mendalam serta
lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang
bersifat kontemporer, kekinian.
Secara umum studi kasus memberikan akses atau peluan yang luas kepada
peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh
terhadap unit sosial yang diteliti.
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus karena hal yang diangkat
dalam penelitian ini bersifat unik dan spesifik. Unik, Ekaristi Kaum Anak yang
idealnya dihadiri oleh anak-anak sebagai umat dominan, namun pada
kenyataannya di Gereja Katolik St. Antonius Kotabaru Ekaristi Kaum Anak
didominasi oleh orangtua dan remaja sebagai umat. Penelitian ini tidak hanya
meneliti tentang praktek komunikasi publik yang dilakukan oleh pemimpin misa
dalam membawakan homili pada umumnya, tetapi juga menggali lebih dalam
bagaimana pemimpin misa melakukan proses komunikasi saat membawakan
homili pada saat Ekaristi Kaum Anak; Spesifik, penelitian ini secara khusus
memaparkan improvisasi yang dilakukan oleh pemimpin misa sebagai
komunikator pada saat membawakan homili pada Ekaristi Kaum Anak;
1.7.4
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Gereja Katolik Santo Antonius
Kotabaru Yogyakarta dari bulan Juni hingga bulan September 2013.
21
1.7.5
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari objek utama penelitian,
sementara data sekunder diperoleh dari data-data yang terkait dengan objek
penelitian.
1.7.6
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam,
pengamatan (observasi), dan penelaah dokumen.
a. Data Primer
1) Wawancara mendalam
Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab sambil bertatap
muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif
lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah
keterlibatannya dalam kehidupan informan. (Bungin,2011)
Peneliti akan melakukan wawancara mendalam pada:
1. Rm. P. Mutiara Andalas, SJ dan Rm. Ant. Padua Danang Bramasti,
SJ sebagai pemimpin misa yang membawakan homili dalam
Ekaristi Kaum Anak sebagai data primer.
2. Umat secara umum (orang tua & remaja) yang mengikuti Ekaristi
Kaum Anak sebagai data sekunder.
3. Pihak-pihak yang terkait dengan Ekaristi Kaum Anak, seperti Pastor
Paroki dan anggota Pendampingan Iman Anak, sebagai data
sekunder.
Wawancara yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana komunikator,
dalam hal ini pemimpin misa melakukan homili, mulai dari persiapan,
improvisasi saat membawakan homili, hingga evaluasi yang dilakukan
komunikator.
22
2) Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan.
(Bungin,2011).
Observasi dilakukan dengan cara peneliti mengamati secara langsung
pemimpin misa pada saat membawakan homili dalam Ekaristi Kaum
Anak dan mencatat temuan-temuan yang terdapat pada saat pengamatan
berlangsung.
Observasi dilakukan di Gereja St. Antonius Kotabaru pada saat Ekaristi
Kaum Anak berlangsung. Peneliti memperhatikan komunikasi verbal
dan komunikasi non verbal pemimpin misa membawakan homili saat
Ekaristi Kaum Anak.
b. Data Sekunder
1) Dokumentasi
Pengumpulan data dan teori yang relevan dalam penelitian ini
diperoleh
melalui
sumber-sumber
tertulis.
Dokumen
yang
dipertimbangkan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah data
kepustakaan seperti buku, teks misa, dan bahan tertulis lainnya. Selain
itu juga data pendukung berupa dokumen administratif, foto, video,
dan dokumen internal.
1.7.7
Teknik Analisis Data
Peneliti menggunakan gagasan Donald Campbell tentang “pola perjodohan
(pattern matching)” sebagai acuan peneliti menganalisis data. Teknik ini
menggambarkan dua pola potensial yang menunjukkan bahwa data-data yang
diperoleh memiliki kesesuaian yang seimbang satu sama lain.
Peneliti akan mengumpulkan data-data yang peneliti dapat baik berupa
hasil wawancara maupun dokumentasi hasil observasi yang dilakukan berkaitan
dengan proses komunikasi pemimpin misa membawakan homili pada saat Ekaristi
Kaum Anak, antara lain persiapan homili yang dilakukan oleh pemimpin misa,
23
komunikasi verbal dan komunikasi non verbal yang digunakan oleh pemimpin
misa saat membawakan homili pada Ekaristi Kaum Anak.
Setelah itu mengkategorikan data-data tersebut berdasarkan teori yang
dipaparkan pada kerangka konsep. Peneliti kemudian menganalisisnya dengan
melihat kesesuaian bukti empiris dengan pola yang telah diprediksi dalam teoriteori komunikasi publik, seperti teori retorika, persiapan pidato, dan keterampilan
komunikasi. Keterampilan komunikasi termasuk metode penyampaian homili,
komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal yang digunakan oleh pemimpin
misa sebagai komunikator. Hasil perjodohan bukti empiris dengan teori ini akan
disajikan dalam bentuk deskriptif untuk menggambarkan temuan dan menganilisi
kasus.
24
Download