NASKAH PUBLIKASI PENGARUH PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL TERHADAP EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA Oleh : Rachmawatie 01 320 227 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA JOGJAKARTA 2006 NASKAH PUBLIKASI PENGARUH PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL TERHADAP EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA Telah Disetujui Pada Tanggal _________________________ Dosen Pembimbing (Irwan Nuryana K., S.psi, M. Si) PENGARUH PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL TERHADAP EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA Rachmawatie 01 320 227 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik apakah pelatihan keterampilan sosial berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi interpersonal pada remaja . penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan memberikan perlakuan berupa pelatihan keterampilan sosial pada kelompok eksperimen. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini antara lain mengenal diri sendiri, toleransi, komunikasi verbal dan non verbal, menyatakan pendapat, menyatakan penolakan, menjalin dan memperbaiki hubungan. Subjek penelitian ini adalah siswa Sekolah Proklamsi ’45 yang masih tergolong remaja dengan rentang usia dari 14 – 20 tahun. Subjek penelitian seluruhnya berjumlah sebanyak 30 orang, yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen sebanyak 15 orang dan kelompok kontrol sebanyak 15 orang. Data diperoleh dari skala efektivitas komunikasi interpersonal yang terdiri dari dua aspek, yaitu keterampilan mengirim pesan dan keterampilan menerima pesan. Metode analisis data yang digunakan adalah independent sample t-test. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap efektivitas komunikasi interpersonal pada remaja. Kata kunci : Pelatihan keterampilan sosial, efektivitas komunikasi interpersonal PENDAHULUAN Pertumbuhan dan perkembangan yang di alami manusia pada suatu saat akan membawa dan mengarahkan pada cakupan pergaulan yang lebih luas dan lebih kompleks. Masa kanak-kanak yang terbatas pada lingkup pergaulan rumah, kemudian dibawa ke lingkup pergaulan formal di sekolah, untuk selanjutnya diperluas dengan teman sebaya dan tetangga di sekitar rumah, dan pada akhirnya pada perluasan kehidupan sosial yang melibatkan hampir semua aspek yang ada di lingkungan sosialnya. Ini pula yang mendasari manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, maka kehidupan manusia akan selalu ditandai dengan pergaulan antarmanusia. Dalam membangun pergaulan atau interaksi sosial dengan lingkunannya manusia memerlukan komunikasi sebagai media untuk mewujudkannya. Seperti yang diungkapkan oleh Johnson & Johnson (1991) yang mengatakan bahwa komunikasi adalah dasar bagi semua interaksi individu dan kelompok, dan hidup manusia sehari-hari di isi dengan pengalaman komunikasi antara satu orang dengan orang lain. Hal ini dipertegas oleh Rakhmat (2002) bahwa komunikasi adalah peristiwa sosial yang paling esensial dalam kehidupan sosial manusia. Komunikasi dengan orang lain di istilahkan dengan komunikasi interpersonal yang didefinisikan sebagai suatu transaksi antara seseorang dengan lingkungannya, yang mencakup orang lain sebagai teman, keluarga, anak-anak, rekan kerja, dan bahkan orang asing (Myers & Myers, 1992). Komunikasi interpersonal dikenal juga dengan sebutan komunikasi antarpribadi atau komunikasi antarpersona (Liliweri, 1997). Ketika mulai memasuki dunia remaja, berarti seseorang tersebut sedang memasuki suatu masa transisi, yang bagi sebagian orang menilai masa ini adalah masa paling rumit yang harus dihadapai terutama oleh remaja itu sendiri, orang tua dan lingkungan yang ada di sekitar mereka, karena mereka bukan lagi anakanak tapi juga belum sepenuhnya mampu bersikap seperti orang dewasa. Hurlock (1979) mengatakan bahwa kesulitan yang dapat di alami remaja pada masa transisinya adalah belum adanya kemandirian pada sikap dan perilaku karena dalam beberapa hal masih memiliki ketergantungan pada orang lain. Masa ini juga sering terjadi tarik menarik kepentingan antara diri individu itu sendiri dengan orang tua, teman-teman dan lingkungan sosialnya. Ketidakmampuan mengungkapkan keinginan, perasaan serta mengekspresikan apa yang ada dalam diri mereka menjadikan masalah yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks. Sehingga, remaja memerlukan sebuah kemampuan dan keterampilan untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi kepada orang lain, kemampuan dan keterampilan itu adalah komunikasi yang baik dengan lingkungan. Masa remaja juga dikenal sebagai masa dimana seorang remaja berusaha mencari identitasnya. Komunikasi interpersonal yang dibangun dengan baik akan membantu remaja untuk menemukan identitasnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh De Vito (1997) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan utama komunikasi meyangkut penemuan diri (personal discovery), karena berkomunikasi dengan orang lain berarti juga belajar mengenai diri sendiri dan juga orang lain. Kenyataannya, persepsi-diri sebagian besar dihasilkan dari apa yang telah dipelajari tentang diri sendiri dan orang lain selama berkomunikasi, khususnya dalam perjumpaan dan komunikasi antarpribadi. Komunikasi menjadi semakin penting pada masa remaja, terlebih lagi komunikasi interpersonal, karena pada masa remaja ini seseorang menaruh perhatian lebih besar terhadap pergaulan dengan orang lain. Pertama mereka bergaul dengan kelompok yang terbatas yang sama jenis kelaminnya., kemudain berkembang dengan ketertarikan melakukan pergaulan dengan lawan jenis. Mereka juga belajar berperilaku sebagaimana orang dewasa berperilaku dengan sesamanya, seperti dalam (1) mengoraganisasikan kegiatan-kegiatan olahraga dan sosial, (2) memilih pemimpin, dan (3) menciptakan peraturan dalam kelompok. Mereka juga belajar keterampilan-keterampilan sosial orang dewasa, seperti berkomunikasi yang baik dan memimpin kelompok (Yusuf, 2002) Komunikasi antarpribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial manusia. Perkembangan kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya ketergantungan pada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, masa kanak-kanak komunikasi berkembang pada orang-orang terdekatnya, seterusnya lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersamaan proses itu, perkembangan intelektual dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi dengan orang lain (Supratiknya, 1995). Adanya status yang belum jelas dan kondisi yang menuntut lebih banyak belajar agar dapat memikul tanggung jawab dimasa dewasa, membuat tidak mudah bagi individu untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan dan melalui masa-masa remajanya begitu saja. Pernyataan Hurlock, (1979) mempertegas hal di atas bahwa tidak mudah bagi remaja untuk memenuhi berbagai macam tuntutan dalam proses perkembangan yang dilalui, terlebih apabila mereka tidak memiliki kemampun untuk berhubungan secara memuaskan dengan masayarakat. Hubungan yang dibangun dengan masyarakat tentu saja terjadi melalui proses komunikasi. Artinya, jika remaja tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik, maka tentu saja hubungan dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya pun menjadi tidak baik. Keterampilan berkomunikasi secara interpersonal akan membantu remaja melewati tahap-tahap perkembangannya dengan lebih baik. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa secara otomatis dalam perkembangannya remaja telah belajar dan mengembangkan kemampuan berkomunikasinya dengan orang lain. Remaja bersangkutan mungkin telah ribuan kali melakukan komunikasi interpersonal, tapi tidak jarang hubungan sosial yang mereka jalani bukannya semakin membaik, tapi justru sebaliknya. Disinilah pentingnya memperbaiki cara berkomunikasi pada remaja, agar komunikasi interpersonal yang mereka lakukan semakin efektif, sehingga mereka bisa melalui setiap tahap tugas perkembangannya dengan pengertian dan dukungan dari lingkungan sosialnya. Seperti yang diungkapkan oleh Decker (1991) yang menyatakan bahwa efektifnya sebuah komunikasi akan menentukan besar-kecilnya keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan. Kemampuan berkomunikasi secara baik yang mengarah pada efektivitas sebuah komunikasi bukan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir dan juga tidak muncul begitu saja ketika diperlukan. Kemampuan semacam ini harus dilatih dan dipelajari. Salah satu hal yang bisa dilakukan dalam rangka meningktakan efektivitas komunikasi adalah dengan melatih keterampilan sosial yang dimiliki. Karena pada dasarnya keterampilan sosial bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan sosial individu (Ramdhani, 2002). Tanpa keterampilan sosial yang baik, seorang remaja akan sulit melakukan komunikasi dengan lingkungan sosialnya, dan juga akan mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi dan masalah yang dihadapinya. Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Remaja akan memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu , tahu situasi dengan siapa dan kondisi bagaimana mereka berbicara, maupun menolak dan menyatakan ketidasetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan secara langsung maupun tidak. Mereka akan dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku dilingkungannya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sangat penting bagi remaja untuk memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif, karena dengan komunikasi yang efektif menjadikan remaja seorang komunikator sekaligus komunikan yang menyenangkan bagi orang lain, meskipun hal yang diungkapkannya adalah sebuah kritikan ataupun teguran. Komunikasi yang efektif akan membantu remaja untuk menjadi orang yang lebih terbuka dan disenangi oleh lingkungannya, dan salah satu cara untuk meningkatkan keefektifan berkomunikasi pada remaja adalah dengan melatih keterampilan sosial yang dimilki remaja. DASAR TEORI Effendy (1986) mengemukakan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara seorang komunikator dengan komuni kan. Hardjana (2003) berpendapat bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal atau non verbal yang mengandung umpan balik dan interaksi.Tan (Liliweri, 1997) berpendapat bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi tatap muka antara dua orng atau lebih, pengertian yang hampir sama juga diungkapkan oleh Rogers yang mengatakan bahwa komunikasi antapribadi adalah komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Pakar komunikasi interpersonal, De Vito (1995) mengungkapkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. Lunandi (1994) tidak memberikan pengertian tentang komunikasi interpersonal secara detail, tapi beliau menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana komunikasi interpersonal bisa berlangsung, yaitu : 1. Citra diri yaitu bagaimana individu melihat dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain dalm situasi tertentu. 2. Citra pihak lain adalah bagaimana individu melihat pihak lain yang diajak berkomunikasi. 3. Lingkungan fisik dimana tempatindividu berada ketika berkomunikasi dengan orang lain. 4. Lingkungan sosial yaitu keberadaan individu lain sebagai penerima pesan atau hanya sekedar hadir disana. 5. Kondisi fisik, mental,emosi dan kecerdasan dari individu-individu yang berkomunikasi 6. Bahasa badan meruapakan gerakan-gerakan tubuh yang mencerminkan sesuatu. Berbeda dengan Lunandi, Rogers (Liliweri, 1997) menyebutkan beberapa ciri komunikasi interpersonal, yaitu : (1) arus pesan cenderung dua arah; (2) konteks komunikasi adalah tatap muka; (3) tingkat umpan balik yang tinggi; (4) kemampuan untuk mengatasi tingkat selektivitas sangt tinggi; (5) kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lamban; (6) efek yang umum terjadi adalah adanya perubahan sikap. Barnlund dalam Liliweri (1997) juga mengemukakan beberapa ciri yang umumnya selalu terjadi dalam komunikasi interpersonal, yaitu: (1) terjadi secara spontan; (2) tidak mempunyai strukutur tang teratur dan diatur; (3) tidak mengejar tujuan yang tidak direncanakan terlebih dahulu; (4) identitas keanggotaan dalam komunikasi kadang-kadang kurang jelas; (5) bisa terjadi sambil lalu. Reardon( Liliweri,1997) juga memberikan beberapa ciri tentang komunikasi interpersonal, bahwa komunikasi interpersonal itu : (1) dilaksanakan atas dorongan berbagai faktor; (2) mengakibatkan dampak yang disengaja atau tidak disengaja; (3) kerap kali berbalas-balasn; (4) mengisyaratkan hubungan antarpribadi paling sedikit dua orang; (5) berlangsung dalam suasana bebas, bervariasi dan berpengaruh; (6) menggunkan berbagai lambang yang bermakna. Beberapa pengertian dan ciri-ciri komunikasi interpersonal di atas memberi gambaran bahwa komunikasi interpersonal menekankan pada sebuah komunikasi yang terjadi secara langsung atau bertatap muka antara komunikator dengan komunikan sehingga memungkinkan terjadi umpan balik secara langsung, serta pengaruh dari komunikasi bisa langsung dilihat. Inilah yang membedakan komunikasi interpersonal dengan komunikasi massa. Terjadinya umpan balik secara langsung memungkinkan terjadinya perubahan tempat dalam komunikasi interpersonal. Seperti yang diungkapkan oleh Liliweri (1997) yang mengatakan bahwa sulit mengetahui siapa yang menjadi komunikator dan komunikan dalam komunikasi interpersonal karena proses pengiriman pesan dan umpan balik langsung berbalas-balasan, bergantigantian secara sinambung. Inilah yang menjadi keistimewaan komunikasi interpersonal yang menekankan komunikasi secara langsung atau tatap muka, karena secara langsung, komunikator juga dapat mengetahui apakah pesan-pesan yang dari dirinya dapat diterima atau ditolak oleh komunikan. Kesimpulan yang bisa diambil dari uraian di atas adalah bahwa komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih baik verbal maupun non verbal yang dilakukan ssecara langsung dengan umpan balik langsung dari komunikan, pengaruh komunikasi pun dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh komunikator. Rakhmat (2002) mengemukakan bahwa tidak benar anggapan orang, semakin sering orang melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Yang terpenting bukanlah berapa kali komunikasi itu dilakukan, tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Menurut beliau, komunikasi interpersonal yang baik adalah komunikasi yang dilakukan dengan efektif yaitu bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan. Supratiknya (1995) mengatakan bahwa komuniksi interpersonal yang efektif adalah apabila penerima menginterpretasikan pesan yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim. Kenyataannya seringkali terjadi kegagalan saling memahami. Kegagalan komunikasi yang terjadi menurut beliau dikarenakan cara penerima menangkap pesan berbeda dari yang dimaksud oleh pengirim. Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mengefektifkan komunikasi interpersonal menurut beliau adalah dengan mengirimkan pesan secara efektif. Mengirimkan pesan secara efektif menurut Johnson (Supratiknya, 1995) adalah dengan cara : (1) Mengusahakan agar pesan-pesan yang dikirim menggunakan bahasa yang mudah dipahami; (2) Pengirim harus memiliki kredibilitas dimata penerima baik secara pribadi maupun terhadap pesan yang akan disampaikan. Seperti yang dikutip oleh penulis pada sebuah sumber yang mengatakan bahwa komunikasi interpersonal yang efektif memiliki dua aspek penting, yaitu keterampilan dalam memberi dan menerima pesan (FkBa, 2001). Ini membuktikan bahwa dalam komunikasi interpersonal diperlukan keterampilan-keterampilan yang bisa menjadikan seseorang sebagi pengirim pesan sekaligus penerima pesan yang efektif. De Vito (1995) menyebutkan sejumlah faktor yang dapat meningkatkan efektivitas komunikasi interpersonal, yaitu : 1. Keterbukaan Keterbukaan yang dimaksud adalah mencakup keinginan untuk saling memberi informasi mengenai diri sendiri, keinginan untuk berinteraksi secara jujur terhadap pesan yang disampaikan orang lain dan bertanggung jawab terhadap perasaan dan pikiran-pikiran yang dimiliki dalam arti tidak mengkambinghitamkan orang lain. 2. Empati Merupakan kemampuan untuk merasakan dan mengalami apa yang dirasakan orang lain tanpa kehilangan identitas diri sendiri. 3. Supportiveness Bersikap deskriptif dalam berkomunikasi dibanding bersikap evaluatif, serta kesediaan untuk mendengarkan dan membuka diri terhadap pendapat yang berbeda. 4. Positiveness Sikap ini bisa ditunjukkan dengan mengutarakan kata-kata yang bersifat positf. 5. Kesamaan atau kesederajatan Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila setiap perbedaan atau konflik dipandang sebagai usaha untuk perbedaan yang tidak terelakkan daripada menjadikannya sebagai usaha untuk menjatuhkan orang lain atau mendapatkan posisi menang. De Vito (1995) juga menyatakan pendapat mengenai keterampilanketerampilan yang spesifik yang dapat menunjang efektivitas komunikasi interpersonal yang diambil dari hasil penelitian tokoh-tokoh komunikasi sebelumnya. Keterampilan-keterampilan tersebut antara lain : 1. Keberanian Seorang komunikator yang efektif menunjukkan kemantapan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Wujud dari kematapan tersebut adalah perilaku rileks dan fleksibel. 2. Kedekatan Menunjukkan pada penciptaan rasa kesatuan dan kebersamaan antara pembicara dan pendengar . hal ini ditampakkan dengan memberi perhatian dan menunjukkan ketertarikan pada teman bicara, baik secara verbal maupun non verbal. 3. Manajemen interaksi Komunikator yang efektif dapat mengontrol komunikasi sehingga memuaskan ke-2 belah pihak, yaitu menyesuaikan perilakunya sesuai umpan balik yang diterima orang lain, misalnya dengan kepekaan dan tidak membiarkan situasi menjadi canggung. 4. Ekspresivitas Menunjukkan keterlibatan pada interaksi. Mirip dengan keterbuka, ekspresivitas mencakup penghargaan akan pikiran dan perasaan yang dimilki dengan mengungkapkan rasa suka atau ketidaksetujuan, menghargai keterbukaan orang lain, dan memberi umpan balik yang tepat dengan situasi komunikiasi. 5. Orientasi pada orang lain Merupakan kemampuan untuk menyesuaikan diri ketika berdialog dengan orang lain, yaitu dengan memberikan perhatian dan minat terhadap teman bicara dan apa yang disampaikan. Komunikasi interpersonal umumnya dilakukan dengan lisan, karena biasanya antara komunikator dengan komunikan berhadapan langsung. Untuk komunikasi lisan, kemampuan mendengarkan dan menyampaikan gagasan secara lisan perlu dikembangkan karena sebelum orang berbicara, orang harus terlebih dulu mendengarkan. Seperti yang dinyatakan oleh Ibrahim (Pikiran Rakyat, 2005) bahwa hampir semua kegagalan dalam berkomunikasi secara efektif dianggap berawal dari ketidakmampuan untuk membangun budaya dengar. Kecakapan mendengarkan dengan empati akan membuat orang mampu memahami isi pembicaraan orang lain, sementara lawan bicara merasa diperhatikan dan dihargai (Direktorat Pembinaan sekolah Manengah Atas, 2005). Hardjana (2003) mengatakan bahwa dalam percakan dengan orang lain sebaiknya sseeorang tidak mendengarkan sebatas isi saja, juga tidak mendengarkan secara kritis, tetapi berusaha untuk mendengarkan secara emaptik dan aktif. Tujuannya adalah agar kita dapat mendengarkan secara efektif dan akhirnya bisa mencapai tujuan dan hasil yang dinginkan. Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan tersebut di atas adalah, bahwa komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan sebuah informasi kepada seseorang, tapi juga melihat bagaimana para komunikan yang melakukan komunikasi merasa nyaman. Komunikasi interpersonal akan menjadi efektif bila seseorang memiliki keterampilan-keterampilan yang bisa menjadikan dirinya sebagai seorang komunikator sekaligus komunikan yang baik. Karena, dua orang yang melakukan komunikasi interpersonal sudah pasti akan terlibat dengan proses mengirim dan menerima pesan.. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas komunikasi interpersonal memiliki dua aspek, yaitu : (1) keterampilan dalam mengirim pesan yang bertujuan untuk menjadi komunikator yang efktif dan; (2) keterampilan dalam menerima pesan sehingga seseorang bisa menjadi komunikan yang efektif. Kedua aspek di atas tentu saja memerlukan faktor yang dapat mendukungnya. Penulis mengambil faktor-faktor pendukung efektivitas komunikasi yang dikemukakan oleh De Vito sebagai faktor-faktor pendukung dalam aspek-aspek tersebut. Penulis menyimpulkan dan mengelompokkannya menjadi : 1. Keterampilan mengirim Kegagalan komunikasi sering terjadi dikarenakan cara penerima menangkap pesan berbeda dari yang dimaksud oleh pengirim (Supratiknya, 1995), Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mengefektifkan komunikasi interpersonal menurut beliau adalah dengan mengirimkan pesan secara efektif. Seeorang bisa menjadi terampil dan efektif dalam mengirimkan pesan jika: a. Bersikap asertif Sikap asertif diperlukan dalam komunikasi interpersonal agar seorang komunikator bisa mengekspresikan pikiran secara lugas dan jelas (FkBA, 2001). De Vito (1995) menyebutnya sebagai keberanian. b. Percaya dan terbuka terhadap lawan bicara Rakhmat (2002) mengatakan bahwa percaya dan bersikap terbuka menentukan efektivitas komunikasi interpersonal. Percaya meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan pesan (Rakhmat, 200). Bersikap terbuka berarti mencoba membuka diri dengan orang lain serta terbuka terhadap pikiran orang lain. c. Memiliki pengetahun dan kemampuan merancang pesan yang akan disampaikan. mengetahui Maksudnya betul apa yaitu, yang bahwa akan seorang komunikator disampaikan dan harus bagaimana menyampaikannya. Menurut Johnson (Supratiknya, 1995) hal ini bisa dilakukan dengan mengusahakan agar pesan-pesan yang dikirim menggunakan bahasa yang mudah dipahami, serta pengirim harus memiliki kredibilitas dimata penerima baik secara pribadi maupun terhadap pesan yang akan disampaikan. 2. Keterampilan menerima pesan Menjadi penerima pesan yang terampil dan efektif bisa dilakukan dengan : a. Mendengarkan dengan empati Mendengarkan dengan empati akan membuat orang mampu memahami isi pembicaraan orang lain, sehingga reaksi yang muncul dengan kata-kata akan lebih santun, sementara lawan bicara merasa diperhatikan dan dihargai (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, 2005). b. Mendengarkan dengan aktif Mendengarkan dengan aktif adalah kemampuan mendengarkan secara akurat dan memberikan feed back pada komunikator terhadap pesan yang didengarnya (David & Amy, 2000). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas komunikasi interpersonal terdiri dari dua aspek, yaitu :(1) keterampilan mengirim pesan yang dengan faktor pendukungnya berupa bersikap asertif, percaya dan terbuka terhadap lawan bicara serta memiliki pengetahun dan merancang pesan yang akan disampaikan; (2) keterampilan menerima pesan yang didukung oleh kemampuan mendengarkan dengan empati dan aktif. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang efektif, dan mempelajari bagaimana berkomunikasi yang efektif sama seperti belajar bagaimana tatacara makan dengan sendok dan garpu, yaitu melalui pengamatan terhadap orang lain, melalui petunjuk-petunjuk, melalui latihan atau coba-coba, dan sebagainya (De Vito, 1997). Salah satu latihan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi interpersonal pada remaja adalah dengan melatih keterampilan sosial yang dimiliki, karena keterampilan sosial mempengaruhi efektivitas komunikasi pada remaja seperti yang diungkapkan Michelson (Ramdhani, 1994) yang mengemukakan bahwa pelatihan keterampilan sosial dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan sosial individu. Lebih tegas lagi pengaruh keterampilan sosial mempengaruhi efektivitas komunikasi remaja dikemukakan oleh Sasongko (2001) yang meyatakan bahwa salah satu gejala yang teramati akibat erosi nilai-nilai dan keterampilan sosial di kalangan remaja adalah kurangnya efektivitas dalam berkomunikasi. Pelatihan keterampilan sosial bertujuan untuk mengajarkan kepada individu-individu yang tidak terampil menjadi terampil dalam berinteraksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya, karena individu-individu yang terampil dalam berinteraksi tidak mengalami kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain, berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan, dan dapat mengakhiri pembicaraan tanpa mengecewakan atau menyakiti orang lain (Ramdhani dalam Subandi, 2002). Uraian di atas menjelaskan bahwa sebenarnya pelatihan keterampilan sosial mengajarkan bagaimana cara berkomunikasi yang baik agar hubungan atau interaksi dengan orang lain bisa berjalan dengan baik. Karena pada umunya pelatihan keterampilan sosial mengajarkan cara-cara memberikan pujian, mengemukakan keluhan atau ketidaksetujuan terhadap sesuatu hal, menolak permintaan orang lain, keterampilan bertukar pengalaman, cara-cara menuntut hak pribadi, memberikan saran kepada orang lain, tekhnik pemecahan masalah atau konflik, cara-cara berhubungan atau bekerjasama dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin maupuan orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya, dan beberapa tingkah laku lainnya (Michelson dalam Ramdhani, 1993). Shapiro (1999) juga mengemukakan bahwa bentuk-bentuk keterampilan sosial antara lain meliputi : keterampilan bercakap-cakap baik nerbal maupun non verbal, keterampilan melontarkan humor, keterampilan untuk berteman dan menjalin persahabatan, keterampilan bergaul dalam kelompok, dan keterampilan bertata krama. Uraian di atas memberi gambaran bahwa proses yang terjadi dalam pelatihan keterampilan sosial tidak akan pernah lepas dari kegiatan komunikasi interpersonal baik secara verbal maupun non verbal, sehingga penulis menyimpulkan bahwa dengan memberi pelatihan keterampilan sosial pada remaja, secara otomatis sebenarnya remaja telah memdapat pembelajaran bagaimana berkomunikasi yang baik dan efektif, karena pada dasarnya hubungan sosial yang harmonis dengan lingkungan sekitar yang dicapai dari keterampilan remaja bersosialisai didasari oleh sebuah komunikasi yang baik. Adapun materi-materi pelatihan keterampilan sosial yang dapat meningkatkian efektivitas komunikasi interpersonal remaja adalah : mengenal diri sendiri, toleransi, komunikasi verbal non verbal, menyatakan pendapat, menyatakan penolakan, menjalin dan memperbaiki hubungan. HIPOTESIS Berdasarka teori-teori yang telah dikemukakan di atas, maka disusun sebuah hipotesis untuk penelitian ini, yaitu : “Ada pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap efektivitas komunikasi interpersonal pada remaja”. METODE PENELITIAN Variabel-variabel yang akan diungkap dalam penelitian ini meliputi : 1. Variabel Dependen : Efektivitas komunikasi interpersonal 2. Variabel Independen : Pelatihan keterampilan sosial Definisi operasional setiap variabel sebagai berikut : 1. Efektivitas Komunikasi Interpersonal Efektivitas komunikasi interpersonal adalah sejauh mana seseorang mampu melakukan sebuah komunikasi yang tepat sasaran dan tidak menimbulkan ketidakjelasan yang bisa memunculkan masalah, artinya pesan yang akan disampaikan melalui komunikasi bisa diterima baik oleh orang yang diajak berkomunikasi. Tinggri rendahnya efektivitas komunikasi interpersonal diukur dengan menggunakan skala efektivitas komunikasi yang disusun oleh penulis sendiri, berdasarkan teori komunikasi interpersonal yang dikemukakan oleh De Vito. Efektivitas komunikasi interpersonal diketahui melalui skor yang diperoleh subjek setelah mengisi skala efektivitas komunkasi interpersonal. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek menunjukkan semakin tinggi efektivitas komunikasi yang dilakukan oleh subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh, maka semakin rendah pula efektivitas komunikasi yang dilakukan oleh subjek 2. Pelatihan Keterampilan Sosial Pelatihan keterampilan sosial adalah suatu metode untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan remaja dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Peningkatan kemampuan dan keterampilan ini diperoleh melalui serangkaian kegiatan yang sitematis agar nantinya remaja lebih bisa mengenali dan mengekspresikan diri, pikiran dan perasaan yang mereka miliki dengan baik, lebih terbuka dengan lingkungannya baik dalam memberi dan menerima informasi baik tentang diri mereka sendiri atau yang lainnya. Pelatihan keterampilan sosial ini akan dilaksanakan dalam kelompok, karena sesuai dengan tujuannya yaitu mengajarkan keterampilan-keterampilan dalam berhubungan sosial. Karena, dengan berada dalam kelompok, subjek juga sebenarnya juga sudah berada pada lingkungan masyarakat yang sesungguhnya dalam bentuk kecil, sehingga subjek dapat melatih keterampilan yang diperolehnya selama pelatihan ini dalam situasi yang sebenarnya. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang umur antara 14-20 tahun. Subjek penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen akan dikenai perlakuan berupa pelatihan keterampilan sosial, sedangkan kelompok kontrol tidak dikenai perlakuan Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimental, yaitu suatu penelitian yang digunakan untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan dari suatu perlakuan secara sengaja diberikan oleh peneliti. Perlakuan yang diberikan bisa berupa situasi atau tindakan tertentu yang diberikan kepada individu atau kelompok untuk kemudian dilihat pengaruhnya (Latipun, 2004). Desain eksperimen dalam penelitian ini adalah non randomized control – group pretest posttest design yang merupakan desain eksperimen yang dilakukan dengan pretest sebelum perlakuan diberikan dan posttest sesudahnya, sekaligus ada kelompok perlakuan/eksperimen dan kontrol (Latipun, 2002). Kelompok kontrol berfungsi sebagai pembanding terhadap kelompok ekasperimen yang telah mendapatkan perlakuan. Desain penelitian ini akan menguji efek pelatihan keterampilan sosial terhadap efektivitas komunikasi interpersonal dengan cara pemberian beberapa jenis perlakuan secara berturut-turut kepada sekelompok subjek yang sama. Perlakuan yang akan dikenakan kepada subjek penelitian adalah pelatihan keterampilan sosial. Materi-materi yang akan diberikan dalam pelatihan ini diantaranya adalah : mengenal diri sendiri, toleransi, komunikasi verbal dan non verbal, menyatakan pendapat, meyatakan penolakan dan menjalin serta memperbaiki hubungan. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan metode skala yang dibuat sendiri oleh penulis. Penulis juga melakukan metode wawancara dan observasi yang bertujuan untuk menunjang metode utama penelitian ini yaitu skala efektivitas komunikasi interpersonal. Skala efektivitas komunikasi interpersonal dalam penelitian ini lebih banyak merujuk pada teori komunikasi interpersonal yang dikembangkan oleh De Vito yang dilengkapi. Aspek-aspek yang diungkap dalam skala efekivitas komunikasi interpersonal ini yaitu keterampilan menyampaikan pesan dan keterampilan menerima pesan. Metode lain yang digunakan adalah wawancara. Wawancara dipakai sebagai metode pendukung. Tujuan adalah untuk memperlengakp data yang dimiliki oleh penulis, sehingga memungkinkan penelitian lebih bersifat mendalam dalam arti tidak hanya mengukur efektivitas komunikasi interpersonal dari permukaan saja. Selain wawancara, metode lain yang mendukung dalam penelitian ini adalah obsrvasi. Tujuan dilakukannya observasi adalah untuk memperlengkap data-data yang sudah ada. Alasan diikutsertakannya metode ini adalah karena observasi memungkinkan penulis untuk melihat dan mangamati sendiri, serta kemudian mencatat perilaku atau kejadian-kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya (Moloeng, 2002). Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis independent sample t-test pada program SPSS 12.00 for wondows. Analisis dilakukan pada beberapa pasangan variabel, yaitu : skor pretest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, skor posttest pertama kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, skor posttest kedua kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, selisih skor pretest-posttest pertama kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, selisih skor pretest-posttest kedua kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Sebelum melakukan analisis data, dilakukan uji asumsi berupa uji normalitas dan uji homogenitas. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 12.00 for windows. HASIL PENELITIAN 1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan tekhnik One Sample Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 12.00 for windows. Hasil uji asumsi ini menunjukkan nilai K-SZ untuk skor efektivitas komunikasi interpersonal pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah sebesar 0.701 dengan nilai p=0.709 (p>0.05). Artinya skor pretest variabel efektivitas komunikasi interpersonal pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah normal. 2. Uji Homogenitas Hasil uji homogenitas pada skor pretest variabel efektivitas komunikasi interpersonal kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memperlihatkan nilai Levene Statitic sebesar 4.288 dengan p= 0.082 (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa varians skor pretest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol relatif homogen. Setelah uji asumsi seluruhnya terpenuhi, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah uji hipotesis. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji beda, dalam hal ini digunakan tekhnik independent sample t-test pada program SPSS 12.00 for wondows. Uji perbedaan dilakukan pada beberapa pasangan variabel, yaitu : skor pretest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, skor posttest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, skor posttest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, skor posttest kedua kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, selisih skor pretest-posttest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, selisih skor pretest-posttest kedua kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Hasil analisis untuk skor pretest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol manunjukkan nilai beda (t) sebesar 1.730 dengan p= 0.99 (p>0.05). Artinya tidak ada perbedaan pada skor pretest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Hasil analisis untuk pasangan selanjutnya, yaitu antara skor posttest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Hasil analisis menjukkan bahwa nilai beda (t) yang didapat adalah sebesar 0.467 dengan p= 0.646 (p>0.05) yang berarti bahwa skor posttest antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Analisis selanjutnya dilakukan pada skor posttest kedua kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol yang menunjukkan nilai beda (t) sebesar -0.385 dengan p= 0.704 (p>0.05) yang artinya bahwa tidak ada perbedaan pada skor posttest kedua antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Selanjutnya, analisis berikut dilakukan pada selisih skor pretest dan posttest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Hasilnya menunjukkan uji beda dari (t) yang dihasilkan sebesar -1.604 dengan p=0.123 (p>0.05). Artinya bahwa tidak ada perbedaan pada selisih skor pretest-posttest antar kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Analisis selanjutnya juga dilakukan pada selisih skor pretest-posttest kedua kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol yang menunjukkan nilai beda (t) sebesar -2.595 dengan p=0.015. berbeda dengan analisis–analisis sebelumnya yang tidak menunjukkan adanya perbedaan. Ternyata pada selisih skor pretest-posttest kedua antar kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol menunjukkan adanya perbedaan. Melihat hasil analisis diatas, secara umum hipotesis yang diajukan oleh penulis ditolak, meskipun salah satu pasangan analisis penelitian menunjukkan adanya perbedaan. PEMBAHASAN Tujuan penelitian yang ingin menguji secara empirik apakah pelatihan keterampilan sosial dapat meningkatkan efektivitas komunikasi interpersonal pada remaja tidak terbukti secara empirik. Hipotesis penelitian yang berbunyi ada pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap efektivitas komunikasi interpersonal pada remaja ditolak Tidak adanya pengaruh pelatihan keterampilan sosial pada efektivitas komunikasi interpersonal pada remaja yang ditunjukkan dengan tidak adanya perbedaan pada pada kelompok eksperimen dan kontrol, namun bukan berarti pelatihan keterampilan sosial tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap efektivitas efektivitas komunikasi interpersonal pada remaja. Secara kualitatif, pelatihan keterampilan sosial menunjukkan adanya pengaruh terhadap efektivitas komunikasi interpersonal pada remaja, karena dari hasil secara individual bisa dilihat adanya peningkatan pada beberapa indikator aspek efektivitas komunikasi interpersonal meskipun ada juga yang mengalami penurunan. Peserta juga sudah terlihat mulai lebih terbuka dengan orang yang lebih tua ataupun lebih kecil. Perilaku ini menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial mempengaruhi beberapa perilaku subjek penelitian, dari usaha memperbaiki hubungan dengan cara meminta maaf, dan juga keterbukaan dalam menjalin dan berkomunikasi dengan orang lain. Hasil wawancara dari penelitian ini menunjukkan sebagian besar subjek penelitian merasa bahwa pelatihan yang dilakukan memberikan suatu cara pandang baru terhdapa komunikasi yang selama ini mereka lakukan. Secara umum terdapat peningkatan pada setiap indikator aspek-aspek efektivitas komunikasi interpersonal pada kelompok eksprimen. Namun, peningkatan yang terjadi tidak bersifat signifikan. Peningkatan yang cukup besar terdapat pada inidkator aspek mendengarkan dengan aktif yang mencapai peningkatan sampai 24 poin. Penelitian ini juga memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan, salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah desain penelitian yang digunakan adalah non randomized control – group pretest posttest design yang tentu saja berpengaruh terhadap hasil penelitian, karena dengan desain ini kemungkinan mendapatkan subjek penelitian yang lebih bervariatif pada kelompok eksperimen dan kontrol lebih kecil, disamping itu subjek penelitian antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dalam penelitian ini tidak dipasangpasangkan. Kelemahan lainnya dalam penelitian ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam wawancara kurang mampu menunjukkan perlilakuperilaku tentang peningkatan efektivitas komunikasi interpersonal yang ditunjukkan oleh subjek penelitian, perlakuan terhadap kelompok kontrol tidak menggunakan sistem waiting list. Keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah waktu pelaksanaanya. Waktu pelaksanaan penelitian ini hanya berlangsung dalam 3 kali pertemuan dengan rata-rata pertemuan berjalan kurang lebih 1 jam permaterinya. Keterbatasan lainnya juga terdapat pada skala yang dibuat oleh penulis karena tidak mampu mengungkap perilaku atau indikator yang lebih mewakili efektivitas komunikasi interpersonal. Berdasarakan hasil penelitian yang diperoleh, maka penulis ingin memberikan beberapa saran, yaitu : 1. Untuk subjek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi interpersonal subjek penelitin berada pada level tinggi dan harus dipertahankan, dengan cara semua yang diberikan dalam pelatihan hendaknya benar-benar dipraktekkan dan lebih dikembangkan lagi. 2. Untuk sekolah Penulis menyarakan kepada sekola, selain memberikan materi yang isinya pelajaran, sekolah juga dianjurkan membuat program-program yang bisa meningkatkan efektivitas komunikasi antara siswa dengan orang tua, guru dan juga lingkungan sosialnya, dengan cara memberikan materi-materi tentang keterampilan sosial. 3. Untuk peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan merubah waktu pertemua agar lebih banyak, serta varias-variasi games serta role playing harus lebih dikembangkan, sehingga subjek penelitian merasa senang dalam mengikuti pelatihandan dan merasa benar-beanr berada pada lingkungan sosial yang sebenarnya. Disamping itu peneliti selanjutnya harus lebih menyempurnakan desain, skala, materi wawancara terhadap kelompok eksperimen, dan perlakuan yang akan diberikan kepada kelompok kontrol. DAFTAR PUSTAKA Decker, B. 1991. Seni Berkomunikasi (Menjalin hubungan yang lebih harmonis antar perorangan dalam bisnis). Jakarta : Binarupa Aksara De Vito, J.A. 1995. The Interpersonal Communication Book, 7th. Edition. New York : Harpercollins Colledge Publisher Giblin, L. 2002. Skill With People. Terjemahan : Purnomo, Y, D, H. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Johnson D.W. & Johnson F.P. 1991. Joining Together, Group Theory and Group Skill: 4Th. Ed. USA : Prentice Hall International Inc Myers, E.G & Myers, M.T. The Dinamic of Human Communication : A Laboratory Aprooach. Singapore : MC. Graw Hill Liliweri, A, Dr, M.S. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung : PT Citra Aditya Bakti Hardjana, A, M. 2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta : Kanisius Hurloock, E, B. 1979. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Penerbit Erlangga Lunandi, A.G. 1994. Komunikasi Mengena : Meningkatkan Efektivitas Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta : Kanisius Rakhmat, J, Drs, M.Sc. 2002. Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi). Bandung. : PT Remaja Rosdakarya Ramdhani, N. 1994. Pelatihan Keterampilan Sosial Pada Mahasiswa yang Sulit Bergaul. Tesis Program Pasca Sarjana. Yogyakarta :UGM Sasongko, R, N, Dr, H. 2001. Pengembangan Nilai-Nilai dan Keterampilan Sosial Melalui Pembelajaran Aksi Sosial. http//www.DEPDIKNAS.co.id Shapiro, L, E, Ph.D. 1997. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Subandi, M.A. 2002. Psikoterapi (Pendekatan Konvensional dan Kontemporer). Yogyakarta : Pustaka Pelajar Supratiknya, A, Dr. 1995. Komunikasi Antarpribadi (Tinjauan Psikologis). Yogyakarta : Kanisius Yusuf, LN., Syamsu, Dr. H, M.Pd. 2002. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya ---------- FkBA. 2001. Modul Pelatihan. Yogtakarta : FkBA dab BEP