LAPORAN HASIL PENELITIAN POLITICAL VOLUNTARISM

advertisement
LAPORAN HASIL PENELITIAN
POLITICAL VOLUNTARISM DALAM PENINGKATAN
PARTISIPASI PEMILIH
(Studi Penelitian Pemilu Tahun 2014 Di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali)
Peneliti :
Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos.,M.AP.
Dr. Nyoman Suartha, SE., SH., M.Si.
Dr. Ni Putu Tirka Widanti, M.M.,MBA.
Dr. Drs. Nyoman Sura Aditanaya, M.Si.
Dr. Drs. A.A. Gede Raka, M.Si.
Nyoman Diah Utari Dewi, STP.,M.AP
UNIVERSITAS NGURAH RAI
DENPASAR
2015
i
UNIVERSITAS NGURAH RAI
PROGRAM PASCASARJANA
Magister Ilmu Administrasi (SK BAN-PT No.: 020/BAN-PT/Ak.VIII/S2/I/2011)
Magister Ilmu Hukum (SK MENDIKBUD NO.: 525/E/0/2014
SEKRETARIAT : Jalan Padma, Penatih Telp / Fax 0361.4713030 Denpasar
Website : www.unr.ac.id – Email : [email protected]
HALAMAN PENGESAHAN
1
Judul
:
Political Voluntarism dalam Peningkatan
Partisipasi Pemilih (Studi Penelitian
Pemilu tahun 2014 di Kabupaten
Jembrana Provinsi Bali)
3
Peneliti
a. Nama
:
b.
c.
d.
e.
f.
g.
:
:
:
:
:
:
Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani,
S.Sos.,M.AP
0029067504
Lektor III/b
Ilmu Administrasi Publik
08124675413
[email protected]
Magister Ilmu Administrasi Program
Pascasarjana Universitas Ngurah Rai
Denpasar
3 Bulan
4
NIDN
Jabatan Fungsional
Program Studi
No HP
Alamat Surat / Email
Lembaga
Lama Penelitian Keseluruhan
Biaya Penelitian
a. Dari DIPA KPU Kab. Jembrana
:
:
:
Rp. 10.000.000,-
Denpasar, Agustus 2015
Mengetahui
Direktur PPS UNR,
Peneliti,
Dr. Nyoman Suartha,SE.,SH.,M.Si
NIDN. 0011035406
Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos.,M.AP
NIDN. 0029067504
Mengetahui
Ketua LPPM Universitas Ngurah Rai
Yudistira Adnyana, SE.,M.Si
NIDN. 0811037301
ii
SUSUNAN ANGGOTA TIM PENELITI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos.,M.AP. (Ketua Tim)
Dr. Nyoman Suartha, SE., SH., M.Si. (Anggota Tim)
Dr. Ni Putu Tirka Widanti, M.M.,MBA. (Anggota Tim)
Dr. Drs. Nyoman Sura Aditanaya, M.Si. (Anggota Tim)
Dr. Drs. A.A. Gede Raka, M.Si. (Anggota Tim)
Nyoman Diah Utari Dewi, STP.,M.AP (Anggota Tim)
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia
beliau maka penelitian dengan judul “Analisis Political Voluntarism Dalam
Peningkatan Partisipasi Pemilih (Studi Penelitian Pemilihan umum Tahun 2014 di
Kabupaten Jembrana Provinsi Bali)”, dapat terselesaikan.
Disadari bahwa penelitian ini karena keterbatasan sumber daya, maka
diperlukan sumbang saran dan pemikiran bagi para pembaca yang bersifat
konstruktif. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
stakehoders pemilu baik dalam penyelenggaraan maupun dalam merumuskan
kebijakan manajemen pemilu selanjutnya.
Denpasar,
Agustus 2015
Peneliti
iv
ABSTRAK
Banyak faktor yang mendasari tingkat partisipasi pemilih, salah satunya
adalah pentingnya kesukarelaan politik (political voluntarism) warga pemilih. Sangat
disadari bahwa sangat sulit menggugah hati warga pemilih supaya secara sukarela
dengan hati yang tulus, menyadari akan hak dan kewajibannya memberikan suara
dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sehingga perlu dilakukan kajian berupa riset
dengan batasan fokus permasalahan adalah: Bagaimanakah political voluntarism
dalam partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 di Kabupaten Jembrana? 2)
Bagaimanakah bentuk political voluntarism dan apakah faktor yang mempengaruhi
(pendukung dan penghambat) ? dan 3) Bagaimanakah model kebijakan untuk dapat
menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism ? Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan menganalisis ketiga permasalahan tersebut. Metode penelitian
yang dipergunakan adalah jenis deskriptif dan pendekatan kualitatif, penentuan
informan berdasarkan purposive sampling dan teori yang dipakai menganalisis adalah
budaya demokrasi dan demokrasi deliberatif.
Hasil penelitian adalah 1) Masyarakat Kabupaten Jembrana memiliki
partisipasi yang cukup tinggi dalam pemilu legislatif tahun 2014. Political
voluntarism dalam partisipasi masyarakat Kabupaten Jembrana adalah political
voluntarism yang terbatas. Terdapat pelanggaran terhadap prinsip demokrasi yaitu
tingkat kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga Negara dan
penghormatan terhadap supremasi hukum. Terdapat pelanggaran dari UndangUndang No 8 Tahun 2012 pasal 86 point j. 2) Bentuk Political voluntarism, dengan
mengikuti atau mendatangi TPS memberikan pilihan kepada para calon. Faktor yang
mempengaruhi sekaligus sebagai faktor pendorong dan penghambat Political
voluntarism dalam peningkatan partisipasi pemilih berupa dharma suaka dengan
memberikan sumbangan kepada kelompok masyarakat, faktor ajakan, keterikatan
terhadap kesepakatan kelompok. Selain faktor tersebut, kedekatan dengan pemilih
secara emosional dan rasional juga merupakan faktor pendorong Political
voluntarism. 3) Model kebijakan yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian
ini adalah Kebijakan Pemilu bidang peningkatan partisipasi pemilih berdasarkan
Political voluntarism yang deliberatif.
Kata Kunci : Political Voluntarism, Partisipasi Pemillih dan Pemilu Legislatif.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv
ABSTRAK .................................................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1.
Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2.
Perumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3.
Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
1.4.
Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 5
2.1
Konsep ........................................................................................................ 5
2.1.1 Kesukarelaan atau Political Voluntarism .................................................... 5
2.1.2 Partisipasi .................................................................................................... 6
2.1.3 Pemilu Legislatif tahun 2014 ...................................................................... 8
2.2
Landasan Teori ............................................................................................ 9
2.1.1 Budaya Demokrasi ...................................................................................... 9
2.1.2 Kebijakan deliberatif ................................................................................. 17
2.3
Kerangka pemikiran .................................................................................. 18
BAB III METODE PENELITIAN............................................................................. 20
3.1
Jenis dan Pendekatan Penelitian................................................................ 20
3.2
Sumber Data .............................................................................................. 20
3.3
Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 21
3.4
Metode Penentuan Informan ..................................................................... 21
3.5
Metode analisis Data ................................................................................. 22
vi
3.7
Lokasi Penelitian ....................................................................................... 22
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................................... 23
4.1
Deskripsi Daerah Penelitian ...................................................................... 23
4.2.1 Political voluntarism dalam partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 di
Kabupaten Jembrana ................................................................................. 32
4.2.2 Bentuk Political Voluntarism dan Faktor Yang Mempengaruhi
(pendukung dan penghambat) pemilih di Kabupaten Jembrana ............... 36
4.2.3 Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political
voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana ................................. 40
4.3
Pembahasan Hasil Penelitian .................................................................... 42
4.3.1 Political voluntarism dalam Partisipasi warga pemilih ............................ 42
4.3.2 Bentuk political voluntarism dan faktor yang mempengaruhi (pendukung
dan penghambat) warga pemilih di Kabupaten Jembrana ........................ 44
4.3.3 Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political
voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana ................................. 46
BAB V PENUTUP..................................................................................................... 57
5.1
Simpulan ................................................................................................... 57
5.2
Saran .......................................................................................................... 59
5.3
Rekomendasi Kebijakan............................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 61
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin tahun 2008 s/d 2014
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Wilayah tahun 2008 s/d 2014
Tabel 4.3 Jumlah DPT, Jumlah Pengguna dan Prosentase Partisipasi Pemilih
dalam Pemilu 2009 s/d 2014
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Praktik dalam negara berdemokrasi, yang menjadi elemen terpenting
adalah partisipasi pemilih terlebih untuk demokrasi perwakilan. Partisipasi pemilih
merupakan pondasi dari praktik demokrasi perwakilan. Sebagai pondasi, tentunya
harus kuat dan legitimit. Namun pada kenyataannya, sampai saat ini persoalan
partisipasi pemilih masih menggantung dan selalu menjadi permasalahan yang sangat
mendasar dalam setiap pelaksanaan pemilu. Partisipasi pemilih tetap berada pada
ruang abu-abu dan bahkan masih berada pada sisi gelap dari proses pelaksanaan
pemilu.
Banyak faktor yang mendasari tingkat partisipasi pemilih, salah satunya
adalah pentingnya kesukarelaan politik (political voluntarism) warga pemilih. sangat
disadari bahwa sangat sulit menggugah hati warga pemilih supaya secara sukarela
dengan hati yang tulus, menyadari akan hak dan kewajibannya memberikan suara
dalam setiap pelaksanaan pemilu.
Seperti yang terjadi di wilayah Kabupaten Jembrana, di mana tingkat
partisipasi pemilih masih kurang disebabkan oleh beberapa aspek antara lain:
pertama, aspek geografis, di mana secara kewilayahan Kabupaten Jembrana memiliki
sebaran wilayah yang sangat luas. Kedua aspek kependudukan, karena wilayah yang
luas sehingga penduduk di pedesaan sangat sulit menjangkau wilayah perkotaan
sebagai pusat kota dan pemerintahan. Ketiga aspek sosiologis yaitu selama
1
penyelenggaraan pemilu tahun 2014 sering terjadi konflik diantaranya konflik antar
penyelenggara, konflik penyelenggara dengan peserta pemilu dan konflik antar
peserta pemilu berikut. Walaupun euphoria politik di Kabupaten Jembrana tidak
begitu tinggi, namun ketegangan sering terjadi ketika tahap persiapan dan tahap
pelaksanaan. Ditambahkan dengan atensi media massa lokal maupun nasional yang
begitu intens melakukan liputan terhadap tahapan penyelenggaraan pemilu di
Kabupaten Jembrana. Barangkali lebih memicu ketegangan dan berakhir dengan
konflik.
Dengan permasalahan empiris yang sering terjadi dalam setiap
penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Jembrana, maka di pandang perlu dan sangat
penting untuk dilakukan kajian dengan melakukan penelitian. Agar mampu
meminimalisir permasalahan yang sering terjadi dan dapat dicarikan solusi yang tepat
sesuai dengan budaya setempat. Dengan demikian political voluntarism warga
pemilih dapat ditumbuhkan, dikembangkan dan diperkuat. Serta hasil pemilu yang
diperoleh lebih legitimit sehingga penyelenggaraan pemilu yang ideal yang menjadi
idaman setiap stakeholders dapat tercapai.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat
dirumuskan judul penelitian: ”Analisis Political Voluntarism dalam Peningkatan
Partisipasi Pemilih (Studi Penelitian Pemilihan Umum Tahun 2014 Di Kabupaten
Jembrana Provinsi Bali)”.
2
1.2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian seperti berikut ini.
1. Bagaimanakah political voluntarism dalam partisipasi pemilih pada Pemilu
2014 di Kabupaten Jembrana?
2. Bagaimanakah bentuk
political voluntarism dan apakah faktor yang
mempengaruhi (pendukung dan penghambat) political voluntarism warga
pemilih di Kabupaten Jembrana ?
3. Bagaimanakah model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat
political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan melalui penelitian. Adapun tujuan penelitian adalah seperti berikut ini.
1. Untuk mengetahui dan menganalisis political voluntarism dalam partisipasi
pemilih pada Pemilu 2014 di Kabupaten Jembrana?
2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk political voluntarism dan faktor
yang mempengaruhi (pendukung atau penghambat) warga pemilih di
Kabupaten Jembrana.
3. Untuk menemukan model kebijakan agar dapat menumbuhkan dan
memperkuat political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana.
3
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
input
terhadap
implementasi pemilu oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan juga oleh
masyarakat pemilih, serta sebagai bahan untuk perumusan kebijakan manajemen
pemilu di masa mendatang oleh KPU RI dan khususnya oleh KPU Kabupaten
Jembrana demi terwujudnya Pemilu yang Good Governance dan clean Governance.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
Konsep
Kesukarelaan atau Political Voluntarism
Mengutip pendapat Saifuddin Abdullah (2001) Konsep “sukarela”,
menurut Kamus Dewan, bermakna “dengan kehendak sendiri, tidak dipaksa, tidak
diajak dan dengan rela hati”. Manakala perkataan “kesukarelaan” pula membawa
makna “sikap sukarela”. Selanjutnya, mereka yang melakukan sesuatu dengan
sukarela disebut “sukarelawan”. Berasaskan makna tersebut, kesukarelaan dapat
dimaksudkan sebagai melakukan sesuatu dengan kehendak sendiri, tidak dipaksa atau
diajak, dengan niat yang ikhlas atau setulus hati dan dengan tidak mengharapkan apaapa kepada diri sendiri.
Dalam bahasa lain, misalnya bahasa Inggeris, terdapat perkataan
“voluntarism” yang menurut The Reader’s Digest-Oxford Wordfinder, membawa erti
“the principle of relying on voluntary action rather than compulsion; the doctrine
that the will is a fundamental or dominant factor in the individual or the universe; the
doctrine that the Church or schools should be independent of the state and supported
by voluntary contributions”.
Ketika konsep “voluntary” bermaksud “done, acting or able to act of
one’s free will; unpaid work; built, brought about, produced, maintained, etc., by
voluntary action or contribution”. konsep “volunteer” pula merujuk “a person who
5
voluntarily undertakes a task or enters a military or other service, undertakes or offer
one’s services, be a volunteer”. (Saifuddin, 2001; hal 7).
Konsep “kesukarelaan” biasanya digabungkan dengan perkataan
“khidmat” atau “pelayanan” (service). Makna perkhidmatan juga berbeda-beda dari
seorang ke seorang. Bagi sebagian orang, ia mungkin bermaksud “satu tradisi atau
tanggungjawab agama atau moral”. Orang kedua mungkin melihatnya sebagai “suatu
perlakuan yang jelas, yang tidak sentimental dan merupakan semangat pertemanan”.
selanjutnya orang ketiga bisa saja melihatnya sebagai “bukan saja kebaikan
kemanusiaan, malahan peluang untuk belajar tentang mereka yang diberikan
bantuan”. (Saifuddin, 2001; hal 9).
Dalam kerangka konsep yang luas ini, dapat dikenalkan dalam empat
bentuk kerja atau program kesukarelaan, yaitu: a) bantuan sendiri (self-help atau
mutual aid), b) kedermawanan (philanthropy) atau bakti pada orang lain, c)
partisipasi, dan d) advokasi. (Saifuddin, 2001; hal 11).
2.1.2
Partisipasi
Pengertian partisipasi sangat luas dan para pakar mengartikan partisipasi
dengan berbagai definisi. Penjelasan partisipasi mengacu kepada partisipasi yang
dilakukan oleh masyarakat, maka menurut Mubyarto (1994:35) merupakan kesediaan
untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa
berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Davis (dalam Ndraha, 1993:37)
mengartikan partisipasi sebagai suatu dorongan mental dan emosional yang
menggerakan mereka untuk bersama-sama mencapai tujuan dan bersamasama
6
bertanggung jawab. Secara sederhana partisipasi merupakan peran serta masyarakat
terhadap sebuah atau berbagai kegiatan dalam kehidupannya yang sifatnya sosial
(memasyarakat).
Faktor-Faktor Partisipasi Politik
Adapun menurut Milbrath dalam Maran (2007:156) menyebutkan dua faktor
utama yang mendorong orang berpartisipasi politik, bahwa adanya faktor pendukung
dan faktor penghambat yang dimana di dalam faktor pendukung terdapat lima unsur
diantaranya adanya perangsang politik, karakteristik pribadi seseorang, karakteristik
sosial, situasi atau lingkungan politik, dan pendidikan politik. Dari dua faktor utama
yang dikatakan Milbrath, terdapat faktor penghambat juga yang mendorong orang
tidak berpartisipasi politik, unsur yang ada dalam faktor penghambat tersebut yaitu
kebijakan induk yang selalu berubah, pemula yang otonom, dan dukungan yang
kurang dari induk organisasi untuk mensukseskan. Lima faktor utama yang
mendorong orang berpartisipasi politik, antara lain :
1. Sejauh mana orang menerima perangsang politik. Karena adanya
perangsang, maka orang mau berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam hal ini
minat berpatisipasi dipengaruhi misalnya sering mengikuti diskusi-diskusi politik
melalui media masa atau melalui diskusi formal maupun informal.
2. Faktor karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang berwatak sosial
yang mempunyai kepedulian sosial yang besar terhadap problem sosial, politik,
ekonomi, sosial budaya, hankam, biasanya mau terlihat dalam aktivitas politik.
7
3. Karakteristik sosial. Menyangkut status social ekonomi, kelompok ras,
etnis, dan agama seseorang. Bagaimanapun juga lingkungan sosial itu ikut
mempengaruhi persepsi, sikap perilaku seseorang dalam bidang politik. Oleh sebab
itulah, mereka mau berpartisipasi dalam bidang politik.
4. Situasi atau lingkungan politik itu sendiri. Lingkungan politik yang
kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Dalam lingkungan politik yang demokratis orang merasa lebih bebas dan nyaman
untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik dari pada dalam lingkungan politik
yang otoriter. Lingkungan politik yang sering diisi dengan aktivitas-aktivitas brutal
dan kekerasan dengan sendirinya menjauhkan masyarakat dari wilayah politik.
5. Pendidikan Politik. Ada pula yang menambahakan sebagai pendidikan
politik sebagai warga Negara merupakan faktor pendukung lainnya yang sifatnya
internal bagi suatu kelompok yang melaksanakan partisipasi politiknya. Milbrath
dalam Maran (2007:156)
2.1.3
Pemilu Legislatif tahun 2014
Pemilu legislative merupakan salah satu jenis pemilu yang terlaksana
dalam tahun 2014 di Kabupaten Jembrana Khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2009
atau Pileg 2009) diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan
8
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) seIndonesia periode 2009-2014.
Pemilihan
Umum
Anggota
DPR
dilaksanakan
dengan
sistem
proporsional terbuka yang perhitungannya didasarkan pada sejumlah daerah
pemilihan, dengan peserta pemilu adalah partai politik. Pemilihan umum ini adalah
yang pertama kalinya dilakukan dengan penetapan calon terpilih berdasarkan
perolehan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut (pemilih memilih calon
anggota DPR, bukan partai politik).
2.2
Landasan Teori
Referensi
sebagai landasan teori untuk memecahkan permasalahan
dalam penelitian ini adalah Budaya demokrasi dan model kebijakan deliberatif.
2.1.1
Budaya Demokrasi
Istilah Demokrasi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat dan
“kratein” yang berarti memerintah atau “kratos”. Tokoh-tokoh yang mempunyai andil
besar dalam memperjuangkan demokrasi, misalnya : John Locke (dari Inggris),
Montesquieu (dari Perancis), dan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln.
Menurut John Locke ada dua asas terbentuknya negara. Pertama, pactum unionis
yaitu perjanjian antar individu untuk membentuk negara. Kedua, pactum suvjektionis,
yaitu perjanjian negara yang dibentuknya. Abraham Lincoln berpendapat bahwa
demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat
(democracy is government of the people, by the people, for the people).
9
Ada dua asas pokok tentang demokrasi, yaitu sebagai berikut : a.
Pengakuan partisipasi rakyat di dalam pemerintahan. b. Pengakuan hakikat dan
martabat manusia HAM.
Prinsip-prinsip Demokrasi dapat diuraikan berikut ini.
a. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
b. Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu antara warga negara.
c. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para
warga negara.
d. Penghormatan terhadap supremasi hukum.
Prinsip demokrasi yang didasarkan pada konsep di atas (rule of law),
antara lain sebagai berikut :
a. Tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang;
b. Kedudukan yang sama dalam hukum;
c. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang.
Makna Budaya Demokrasi
Pertama kali demokrasi diterapkan di Yunani di kota Athena dengan
demokrasi langsung, yaitu pemerintahan dimana seluruh rakyat secara bersama-sama
diikutsertakan dalam menetapkan garis-garis besar kebijakan pemerintah negara baik
dalam pelaksanaan maupun permasalahannya.
Budaya Prinsip Demokrasi
Pada hakikatnya demokrasi adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan adalah
10
kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat. Hikmah kebijaksanaan adalah
penggunaan akal pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan
persatuan dan kesatuan bangsa.
Permusyawaratan adalah tata cara khas kepribadian Indonesia dalam
merumuskan dan memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga
mencapai mufakat. Isi pokok-pokok demokrasi Pancasila, antara lain sebagai berikut :
a. Pelaksanaan demokrasi harus berdasarkan Pancasila sesuai dengan yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
b. Demokrasi harus menghargai hak asasi manusia serta menjamin hak-hak
minoritas.
c. Pelaksanaan kehidupan ketatanegaraan harus berdasarkan berdasarkan atas
kelembagaan.
d. Demokrasi harus bersendikan pada hukum seperti dalam UUD 1945. Indonesia
adalah negara hukum (rechstaat) bukan berdasarkan kekuasaan belaka
(machstaat).
Demokrasi Pancasila juga mengajarkan prinsip-prinsip, antara lain
sebagai berikut:
a. Persamaan
b. Keseimbangan hak dan kewajiban
c. Kebebasan yang bertanggung jawab
d. Musyawarah untuk mufakat.
e. Mewujudkan rasa keadilan sosial.
11
f. Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan.
g. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.
Ada 11 prinsip yang diyakini sebagai kunci untuk memahami
perkembangan demokrasi, antara lain sebagai berikut :
a. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
b. Pemilu yang demokratis
c. Pemerintahan lokal (desentralisasi kekuasaan)
d. Pembuatan UU
e. Sistem peradilan yang independen
f. Kekuasaan lembaga kepresidenan
g. Media yang bebas
h.
Kelompok-kelompok kepentingan
i. Hak masyarakat untuk tahu
j. Melindungi hak-hak minoritas
k. Kontrol sipil atas militer
Di Indonesia istilah civil society” baru popular tahun 1990-an, pada
masa berkembangnya keterbukaan politik. Masyarakat madani mencerminkan tingkat
kemampuan dan kemajuan masyarakat yang tinggi untuk bersikap kritis dan
partisipatif dalam menghadapi berbagai persoalan sosial.
Ciri-ciri Masyarakat Madani
Masyarakat madani (civil society) sering diterjemahkan yaitu bidang
kehidupan sosial yang terorganisasi secara sukarela. Substansi civil society mencakup
12
lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok yang sangat luas baik formal maupun
non formal yang meliputi bidang ekonomi, kebudayaan, keagamaan, pendidikan dan
informasi, kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure
group), pembangunan atau organisasi kemasyarakatan lainnya.
Menurut Hikam ada empat ciri utama masyarakat madani, yaitu sebagai
berikut :
a.
Kesukarelaan, artinya tidak ada paksaan, namun mempunyai komitmen bersama
untuk mewujudkan cita-cita bersama.
b.
Keswasembadaan, artinya setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi,
kemandirian yang kuat tanpa menggantungkan pada negara, atau lembaga atau
organisasi lain.
c.
Kemandirian tinggi terhadap negara, artinya masyarakat madani tidak
tergantung pada perintah orang lain termasuk negara.
d.
Keterkaitan pada nilai-nilai hukum, artinya terkait pada nilai-nilai hukum yang
disepakati bersama.
Ciri khas masyarakat madani Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Kenyataan adanya keragaman budaya Indonesia yang merupakan dasar
pengembangan identitas bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional.
b. Pentingnya saling pengertian di antara sesama anggota masyarakat.
c. Ada toleransi yang tinggi
d. Adanya kepastian hukum.
Kendala yang Dihadapi Bangsa Indonesia
13
Antara lain sebagai berikut :
a. Belum tertanamnya jiwa kemandirian bangsa Indonesia
b. Kurangnya kesadaran pada hukum yang berlaku.
c. Masih rendahnya tingkat kesukarelaan dan keswasembadaan pada setiap warga
negara.
d. Masih kurangnya perangkat hukum.
e. Masih rendahnya sumber daya manusia bila dibandingkan dengan negara lain.
Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kendala yang dihadapi
seperti tersebut di atas antara lain sebagai berikut :
a. Meningkatkan jiwa kemandirian melalui kegiatan perekonomian dengan adanya
bapak angkat perusahaan.
b. Meningkatkan kesadaran hukum melalui berbagai media sosialisasi politik.
c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan.
d. Menciptakan perangkat hukum yang memadai dan berkeadilan sosial.
e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai kegiatan.
f. Mengembangkan media komunikasi politik di berbagai lingkungan kerja.
g. Menanamkan sikap positif pada proses demokratisasi di Indonesia pada setiap
warga negara.
Perilaku Budaya Demokrasi
Dalam rangka mengoptimalkan perilaku budaya demokrasi maka
sebagai generasi penerus yang akan mempertahankan negara demokrasi, perlu
mendemonstrasikan bagaimana peran serta kita dalam pelaksanaan pesta demokrasi.
14
Prinsip-prinsip yang patut kita demonstrasikan dalam kehidupan berdemokrasi, antara
lain sebagai berikut :
a. Membiasakan untuk berbuat sesuai dengan aturan main atau hukum yang berlaku.
b. Membiasakan bertindak secara demokratis bukan otokrasi atau tirani.
c. Membiasakan untuk menyelesaikan persoalan dengan musyawarah.
d. Membiasakan mengadakan perubahan secara damai tidak dengan kekerasan atau
anarkis.
e. Membiasakan untuk memilih pemimpin melalui cara-cara yang demokratis.
f. Selalu menggunakan akal sehat dan hati nurani luhur dalam musyawarah.
g. Selalu mempertanggungjawabkan hasil keputusan musyawarah baik kepada
Tuhan, masyarakat, bangsa, dan negara.
h. Menggunakan kebebasan dengan penuh tanggung jawab.
i. Membiasakan memberikan kritik yang bersifat membangun.
Perilaku Budaya Demokrasi dalam Lingkungan Keluarga dapat
diuraikan berikut ini.
a. Lingkungan Keluarga
a. Membiasakan diri untuk menempatkan anggota keluarga sesuai dengan
kedudukannya.
b. Membiasakan mengatasi dan memecahkan masalah dengan jalan
musyawarah mufakat.
c. Saling menghargai perbedaan pendapat masing-masing anggota keluarga.
d. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
15
b. Lingkungan Sekolah
a. Berusaha selalu berkomunikasi individual.
b. Ikut serta dalam kegiatan politik di sekolah seperti pemilihan ketua OSIS,
ketua kelas, maupun kegiatan yang lain yang relevan.
c. Berani mengajukan petisi (saran/usul).
d. Berani menulis artikel, pendapat, opini di majalah dinding.
e. Selalu mengikuti jenis pertemuan yang diselenggarakan OSIS.
f. Berani mengadakan kegiatan yang merupakan realisasi dari program OSIS
dan sebagainya.
c. Lingkungan masyarakat
a. Bersama-sama menjaga kedamaian masyarakat.
b. Berusaha mengatasi masalah yang timbul dengan pemikiran yang jernih.
c. Mengikuti kegiatan rembug desa.
d. Mengikuti kegiatan kerja bakti.
e. Bersama-sama memberikan usulan demi kemajuan masyarakat.
Ada beberapa contoh perilaku yang dapat mendukung tegaknya prinsipprinsip demokrasi, antara lain sebagai berikut :
a. Menghindarkan perbuatan otoriter.
b. Melaksanakan amanat rakyat.
c. Melaksanakan hak tanpa merugikan orang lain.
d. Mengembangkan toleransi antarumat beragama.
e. Menghormati pendapat orang lain.
16
f. Senang ikut serta dalam kegiatan organisasi misalnya OSIS,
Pramuka, PMR dan sebagainya.
g. Menentukan pemimpin dengan jalan damai melalui pemilihan.
h. Menerima perbedaan pendapat.
2.1.2
Kebijakan deliberatif
Konsep deliberatif merupakan pasangan dari istilah demokrasi, untuk
mengetahui makna deliberatif akan diuraikan berikut ini. Uraian deliberatif akan
dikutip dari karya Hardiman Budi. Istilah deliberatif/deliberasi berasal dari kata
Latin deliberatio selanjutnya dalam bahasa Inggris menjadi deliberation.
Istilah
deliberation berarti “konsultasi”, menimbang-nimbang atau dalam istilah politis di
Indonesia sebagai musyawarah. Semua arti leksikal ini harus ditempatkan dalam
konteks “publik” atau
“kebersamaan secara politis” (Hardiman, 2009 h. 128).
Menurut Rainer Forst yang dikutip oleh Hardiman merumuskan demokrasi deliberatif
berikut ini :
Demokrasi deliberatif adalah bahwa bukan berarti berdasarkan jumlah
dari kehendak individu atau jumlah dari kehendak umum sebagai
sumber legitimasi. Sumber legitimasi yang dimaksud dalam demokrasi
deliberatif adalah adanya argumentasi dalam perdebatan secara bersamasama dalam membuat keputusan yang bersifat terbuka terhadap
perbaikan dan sementara. (Hardiman, 2009 h.130).
Maksud dari pernyataan Forst bahwa sebuah keputusan bukan dari hasil
keputusan perorangan atau kelompok tertentu. Akan tetapi keputusan yang diambil
17
berdasarkan keinginan atau kesepakatan secara bersama-sama dari seluruh anggota
kelompok tanpa adanya diskriminasi. Keputusan yang diambil bukan sebuah harga
mati tetapi bersifat fleksibel, terbuka untuk dilakukan pembenahan atau perbaikan
tergantung dari kebutuhan serta keinginan anggota. Sehingga keputusan yang diambil
bersifat keadilan dan kebersamaan. Jadi benang merah dari teori deliberatif adalah
sebuah proses musyawarah dalam perumusan keputusan yang bersifat fleksibel,
terbuka berasaskan prinsip kebersamaan dan keadilan.
Asas kebersamaan dan keadilan sebagai bagian dari prinsip good
governance. Implementasi good governance dalam analisis kebijakan diberi nama
deliberatif policy analysis oleh Maarten Hajer dan Hendrik Wagenaar (2003).
Keduanya mengembangkan deliberatif analysis atau sebagai proses analisis kebijakan
publik model “musyawarah”. Model ini sebagai sebuah fakta ketika masyarakat
demokrasi modern bergerak menuju network society, atau masyarakat jejaring. Hajer
menguraikan lima elemen dalam masyarakat jejaring, dengan uraian berikut ini.
Pengambilan Kebijakan dan Politik dalam masyarakat jejaring ada 5
(lima) tantangan untuk kegiatan analisis yaitu :
1. Ruang baru untuk politik;
2. Politik dan pengambilan kebijakan di bawah ketidaktentuan kondisi radikal;
3. Peningkatan perbedaan kepentingan untuk pemahaman bersama tentang
politik;
4. Perbuatan akan kesadaran saling ketergantungan;
5. Pengambilan kebijakan dan dinamika kepercayaan. (Hajer, 2003 h. 8-12).
2.3
Kerangka pemikiran
Kerangka berpikir penelitian dapat digambarkan berikut ini.
18
PEMILU
2.4 Demokrasi
Budaya
Proses political
Voluntarism dalam
partisipasi pemilih
Demokrasi deliberatif
Bentuk dan Faktor yang mempengaruhi
munculnya political Voluntarism
Model kebijakan
Naiknya political
voluntarism pemilih
po
Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis dan pendekatan penelitian deskriptif
kualitatif. Alasan penentuan pendekatan kualitatif berdasarkan pendapat Staruss dan
Corbin yaitu “Metode kualitatif dapat memberi rincian yang kompleks tentang
fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif” (Strauss dan Corbin,
2009; 5).
Demikian dengan penelitian ini karena menyangkut sikap pemilih
tentang konsep kesukarelaan (voluntarism), sangat sulit ditentukan dengan hitungan
kuantitatif. Sehingga peneliti lebih tepat memilih metode kualitatif.
3.2
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah pertama, data primer berupa data
yang diperoleh melalui observasi seperti bentuk kesukarelaan atau political
voluntarism dan hasil wawancara secara mendalam terhadap informan yang telah
ditetapkan. Kedua adalah data sekunder berupa data yang diperoleh dari dokumen
hasil pemilu tahun 2014 di KPU Kabupaten Jembrana, seperti jumlah prosentase
tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Jembrana.
20
3.3
Metode Pengumpulan Data
Menurut
Creswell, metode pengumpulan data kualitatif melalui
beberapa cara yaitu “observasi, wawancara, dokumentasi (collect documents), audio
visual” (Creswell, 2006; 21-23). Berdasarkan pendapat Creswell maka metode
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan:
1. Observasi (observation),
yaitu pengamatan secara langsung terhadap obyek
penelitian yang meliputi perilaku dan benda-benda yang digunakan dan
dihasilkan, mengamati kondisi geografis lokus penelitian.
2. Dokumentasi (collect documents), yaitu pengumpulan data dengan penelusuran
data historis yang mendukung pemecahan permasalahan penelitian.
3. Wawancara (depth interview), yaitu merupakan proses tanya jawab antara peneliti
dengan informan secara berhadapan dengan tujuan mendapatkan
data,
keterangan, pendapat atau pandangan secara lisan.
3.4
Metode Penentuan Informan
Metode penentuan sampel untuk penelitian ini berupa purposive
sampling. Metode purposive sampling adalah “menentukan subjek/objek sesuai
dengan tujuan. Artinya sampling adalah sebuah proses seleksi atau proses untuk
mendapatkan orang, situasi, kegiatan, dokumen yang diperoleh dari sejumlah orang
yang dapat mengungkapkan informasi terkait tujuan yang inginkan sesuai
permasalahan”. (Satori dan Komariah, 2009; 47).
21
3.5
Metode analisis Data
Metode analisis data, peneliti pergunakan metode analisis dari Miles dan
Huberman (2014; 33), dengan tahapan seperti berikut ini:
1. Penyajian data, yaitu proses pemilahan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan.
2. Condensation data, yaitu proses pemilahan yang lebih terfokus pada obyek
permasalahan penelitian.
3. Verifying, yaitu melakukan pemeriksaan, pengujian terhadap kebenaran data
yang diperoleh di lapangan.
4. Penarikan kesimpulan yaitu merupakan tahap akhir dari metode analisis data
berupa penarikan kesimpulan atas temuan dan telah dilakukan verifikasi.
3.7
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Jembrana. Pemilihan lokus
penelitian karena terjadi permasalahan empiris pada setiap tahapan penyelenggaraan
Pemilu terjadi konflik dan kurangnya political voluntarism warga pemilih dalam
pemilihan umum khususnya pemilu tahun 2014.
22
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Daerah Penelitian
Deskripsi
daerah penelitian menggambarkan sejarah tentang lokus
penelitian, keadaan penduduk, kondisi demografi, peta wilayah Kabupaten Jembrana
dan partisipasi pemilih dalam pemilu.
4.1.1
Sejarah Kabupaten Jembarana
Menyitir dari Web Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana, Peneliti
deskripsikan sejarah kabupaten Jembarana
yang diperoleh dari
bukti-bukti
arkeologis dapat di interprestasikan bahwa munculnya komunitas di Jembrana sejak
6000 tahun yang lalu. Dari perspektif semiotik, asal-usul nama tempat atau kawasan
mengacu nama-nama fauna dan flora. Munculnya nama Jembrana berasal dari
kawasan hutan belantara (Jimbar-Wana) yang dihuni raja ular (Naga-Raja). Sifat-sifat
mitologis dari penyebutan nama-nama tempat telah mentradisi melalui cerita turuntemurun di kalangan penduduk. Berdasarkan cerita rakyat dan tradisi lisan (folklore)
yang muncul telah memberi inspirasi di kalangan pembangun lembaga kekuasaan
tradisional (raja dan kerajaan).
Raja dan pengikutnya yaitu rakyat yang berasal dari etnik Bali Hindu
maupun dari etnik non Bali yang beragama Islam telah membangun kraton sebagai
pusat pemerintahan yang diberi nama Puri Gede Jembrana pada awal abad XVII oleh
I Gusti Made Yasa (penguasa Brangbang). Raja I yang memerintah di kraton (Puri)
23
Gede Agung Jembrana adalah I Gusti Ngurah Jembrana. Selain kraton, diberikan pula
rakyat pengikut (wadwa), busana kerajaan yang dilengkapi barang-barang pusaka
berupa tombak dan tulup. Demikian pula keris pusaka yang diberi nama "Ki Tatas"
untuk memperbesar kewibawaan kerajaan. Tercatat bahwa ada tiga orang raja yang
berkuasa di pusat pemerintahan yaitu di Kraton (Puri) Agung Jembrana.
Sejak kekuasaan kerajaan dipegang oleh Raja Jembrana I Gusti Gede
Seloka, Kraton (Puri) baru sebagai pusat pemerintahan dibangun. Kraton (Puri) yang
dibangun itu diberi nama Puri Agung Negeri pada awal abad XIX. Kemudian lebih
dikenal dengan nama Puri Agung Negara. Patut diketahui bahwa raja-raja yang
memerintah
di
Kerajaan
Jembrana
berikutnya
pun
memusatkan
birokrasi
pemerintahannya di Kraton (Puri) Agung Negara. Patut dicatat pula bahwa ada dua
periode birokrasi pemerintahan yang berpusat di Kraton (Puri) Agung Negara.
Periode pertama ditandai oleh birokrasi pemerintahan kerajaan
tradisional yang berlangsung sampai tahun 1855. Telah tercatat pada lembaran
dokumen arsip pemerintahan Gubernemen bahwa kerajaan Jembrana yang otonom
diduduki oleh Raja Jembrana V (Sri Padoeka Ratoe) I Goesti Poetoe Ngoerah
Djembrana (1839 - 1855). Ketika berlangsung pemerintahannya lah telah
ditandatangani piagam perjanjian persahabatan bilateral antara pihak pemerintah
kerajaan dengan pihak pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Gubernemen) pada
tanggal 30 Juni 1849.
Periode kedua selanjutnya digantikan oleh birokrasi modern, melalui
tata pemerintahan daerah (Regentschap) yang merupakan bagian dari wilayah
24
administratif Keresidenan Banyuwangi. Pemerintahan daerah Regentschap yang
dikepalai oleh seorang kepala pribumi (Regent) sebagai pejabat yang dimasukkan
dalam struktur birokrasi Kolonial Modern Gubernemen yang berpusat di Batavia.
Status pemerintahan daerah (Regentschap) berlangsung selama 26 tahun (1856 1882).
Pada masa Kerajaan Jembrana VI I Gusti Ngurah Made Pasekan (1855 1866) mengalami dua peralihan status yaitu 1855 - 1862 sebagai Raja Jembrana dan
1862 - 1866 sebagai status Regent (Bupati) kedudukan kerajaan berada di Puri
Pacekan Jembrana. Ketika reorganisasi pemerintahan di daerah diberlakukan
berdasarkan Staatblad Nomor 123 tahun 1882, maka untuk wilayah administratif Bali
dan Lombok diberi status wilayah administratif Keresidenan tersendiri. Wilayah
Keresidenan Bali dan Lombok dibagi lagi menjadi dua daerah (Afdelingen) yaitu
Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana berdasarkan Staatblad Nomor 124 tahun
1882 dengan satu ibukota yaitu Singaraja. Selanjutnya daerah Afdeling Jembrana
terbagi atas distrik-distrik yang pada waktu itu terdiri dari tiga distrik yaitu Distrik
Negara, Distrik Jembrana, dan Distrik Mendoyo. Masing-masing distrik dikepalai
oleh seorang Punggawa. Selain distrik juga diberlakukan jabatan Perbekel, khusus
yang mengepalai komunitas Islam dan komunitas Timur Asing sebagai kondisi
daerah yang unik dari sudut interaksi dan integrasi antar etnik dan antar umat
beragama.
Sejak reorganisasi tahun 1882 telah ditetapkan dan disyahkan nama satu
ibukota untuk Keresidenan Bali dan Lombok yaitu Singaraja, yang akan membawahi
25
daerah-daerah (Afdeling) Buleleng dan Jembrana. Akan tetapi, pada proses waktu
selanjutnya memperhatikan munculnya aspirasi masyarakat di dua daerah afdeling
(Buleleng dan Jembrana), maka pihak Gubernemen menanggapi positif.
Respon positif pihak Gubernemen di Batavia dapat dibuktikan dengan
diterbitkannya sebuah Lembaran Negara (Staatsblad) tersendiri untuk melakukan
pembenahan (Reorganisasi) tata pemerintahan daerah di daerah-daerah (Afdeling)
Buleleng dan Jembrana. Pihak Gubernemen dan segenap jajaran bawahan di
Departemen Dalam Negeri (Binnenlandsch Bestuur) sangat memperhatikan dan
mendukung sepenuhnya aspirasi masyarakat untuk menetapkan nama-nama ibukota
Daerah-daerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Pihak Gubernemen dalam
pertimbangannya ingin mengakhiri kebiasaan yang menyebut nama Ibukota Afdeling
Buleleng dan Jembrana di Keresidenan Bali dan Lombok dengan nama lebih dari
satu. Semula (Tahun 1882-1895) hanya diberlakukan satu nama Ibukota yaitu
Singaraja untuk wilayah Keresidenan Bali dan Lombok yang membawahi Daerahdaerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Sejak disetujui dan untuk
kemudian, ditetapkanlah nama-nama Ibukota daerah tersendiri terhadap Afdeling
Buleleng dan Afdeling Jembrana di Keresidenan Bali dan Lombok. Berdasarkan
Staatsblad Van Nederlandsch - Indie Nomor 175 Tahun 1895, sampai seterusnya
ditetapkanlah Singaraja dan Negara sebagai ibukota dari masing-masing Afdeling.
Dengan demikian, sejak 15 Agustus 1895 berakhirlah nama satu ibu kota: Singaraja
sebagai ibukota Keresidenan Bali dan Lombok yang membawahi Daerah-daerah
Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Sejak itu pula dimulailah nama-nama
26
Ibukota: Singaraja untuk Keresidenan Bali dan Lombok dan Daerah bagiannya di
Afdeling Buleleng, serta Negara untuk Daerah Bagian Afdeling Jembrana.
Munculnya nama-nama Jembrana dan Negara hingga sekarang,
memiliki arti tersendiri dari perspektif historis. Rupanya nama-nama yang diwarisi itu
telah dipahatkan pada lembaran sejarah di Daerah Jembrana sejak digunakan sebagai
nama Kraton (Puri) yaitu Puri Gede / Agung Jembrana dan Puri Agung Negeri
Negara. Oleh Karena Kraton atau Puri adalah pusat birokrasi pemerintahan kerajaan
tradisional, maka dapat dikatakan bahwa Jembrana dan Negara merupakan Kratonkraton (Puri) yang dibangun pada permulaan abad XVIII dan permulaan abad XIX
adalah tipe kota-kota kerajaan yang bercorak Hinduistik. Jembrana sebagai sebuah
kerajaan yang ikut mengisi lembaran sejarah delapan kerajaan (asta negara) di Bali.
Sejak 1 Juli 1938, Daerah (Afdeling, Regentschap) Jembrana dan juga
daerah-daerah afdeling (Onder-afdeling, Regentschap) lainnya di Bali ditetapkan
sebagai daerah-daerah swapraja (Zelfbestuurlandschapen) yang masing-masing
dikepalai oleh Zelfbestuurder (Raja). Raja di Swapraja Jembrana (Anak Agoeng
Bagoes Negara) dan Raja-raja di swapraja lainnya di seluruh Bali terlebih dahulu
telah menyatakan kesetiaannya terhadap pemerintah Gubernemen.
Anak Agung Bagoes Negara memegang tampuk pemerintahan di
swapraja Jembrana secara terus-menerus selama 29 tahun meskipun terjadi perubahan
tatanegara dalam sistem pemerintahan. Kepemimpinannya di Jembrana berlangasung
paling lama dibandingkan dengan kepemimpinan yang dipegang oleh pejabat-pejabat
pelanjutnya. Selama kepemimpinannya pula, dua nama yaitu Jembrana dengan
27
ibukotanya Negara senantiasa terpateri dalam lembaran sejarah pemerintah di
Jembrana, baik dalan periode Pendudukan Jepang (Tahun 1943-1945), peiode
Republik Indonesia yang hanya beberapa bulan (Tahun 1946-1950) maupun pada
waktu kembali ke periode bentuk Negara Indonesia Timur (Tahun 1946-1950)
maupun pada waktu kembali ke periode bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Tahun 1950-1958).
Jabatan Bupati Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Jembrana untuk
pertama kalinya dijabat oleh Ida Bagus Gede Dosther dari tahun 1959 sampai tahun
1967. Pada periode selanjutnya jabatan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jembrana
dijabat oleh Bupati Kapten R. Syafroni (Tahun 1967-1969); Pjs Bupati Drs. Putu
Suasnawa (11 Maret - 30 Juni 1969); Bupati I Ketut Sirya (30 Juli 1969-31 Juli
1974); Pjs Bupati Drs. I Nyoman Tastra (31 Juli 1974 - 28 Juli 1975); Bupati Letkol.
Liek Rochadi (28 Juli 1975 - 26 Agustus 1980); Bupati Drs. Ida Bagus Ardana (26
Agustus 1980 - 27 Agustus 1990); Bupati Ida Bagus Indugosa,S.H Selama dua kali
masa jabatan (27 Agustus 1990 - 27 Agustus 1995 dan dari 27 Agustus 1995 - 27
Agustus 2000); Plt Bupati I Ketut Widjana, S.H (28 Agustus 2000 - 15 Nopember
2000), Prof.Dr.drg. I Gede Winasa menjabat sebagai Bupati Jembrana selama dua
periode (15 Nopember 2000 - 10 Oktober 2010) dan I Putu Artha SE, MM. sejak 16
Februari 2011 sampai saat ini.
Dapat dikatakan bahwa, sejak gelar "Bupati" yang mengepalai
pemerintahan di Daerah Tingkat II Jembrana untuk pertama kali diberlakukan pada
28
tahun 1959 sampai saat ini, nama "Negara" sebagai ibukota Daerah Kabupaten
Jembrana tetap dilestarikan.
4.1.2
Kondisi Demografi
Berdasarkan data yang tercatat pada Kantor Catatan Sipil dan
Kependudukan, jumlah penduduk Kabupaten Jembrana sampai dengan Desember
tahun 2014 adalah sebanyak 320.260 jiwa dengan penduduk Kabupaten Jembrana
yang wajib KK (Kartu Keluarga) sampai dengan Desember tahun 2014 tercatat
sebanyak 87.678 dengan jumlah penduduk wajib KTP (Kartu Tanda Penduduk)
sebanyak 232.914 orang. Penduduk yang telah memiliki KTP berjumlah 196.955.
Usaha yang telah dan terus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Jembrana untuk merangsang minat masyarakat agar memiliki KK ataupun KTP
adalah dengan cara memberikan Santunan Kematian. Dengan adanya program
Santunan Kematian ini maka penduduk Jembrana yang sudah memiliki KTP dan
masih berlaku, apabila meninggal dunia akan mendapat uang santunan.
Perkembangan Penduduk Jembrana sampai dengan Desember tahun
2014 terlihat dalam tabel berikut ini.
29
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin tahun 2008 s/d 2014
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
134.268 152.525 153.837 155.635 158.398 160.337 160.204
Laki
Perempuan 135.461 152.431 153.967 155.938 158.719 160.671 160.056
269.729 304.956 307.804 311.573 317.117 321.008 320.260
Total
Sumber data: Jembrana dalam angka
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin terlihat dalam tabel 4.1
setiap tahun di mulai dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 mengalami
peningkatan. Apabila dibandingkan berdasarkan jenis kelamin maka pada tahun 2014
jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki lebih besar dengan selisih 148 orang.
Berikut ditampilkan gambaran jumlah penduduk berdasarkan sebaran
wilayah di lima kecamatan kabupaten Jembrana mulai tahun 2008 sampai dengan
tahun 2014.
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Wilayah tahun 2008 s/d 2014
NO
1
2
3
4
5
Total
Kecamat
an
Melaya
Negara
Jembrana
Mendoyo
Pekutatan
2008
52.821
75.427
52.674
61.298
27.509
269.729
2009
58.087
84.485
63.939
68.312
30.133
304.956
2010
60.441
87.143
60.762
68.977
30.481
307.804
2011
2012
2013
2014
311.573
62.027
91.280
62.224
70.534
31.052
317.117
62.908
93.070
62.790
71.023
31.217
321.008
62.916
93.047
62.434
70.622
31.241
320.260
Sumber Data : Jembrana dalam angka
Seperti terlihat dalam tabel 4.2 berdasarkan data yang peneliti peroleh
dari dokumen Jembrana dalam angka yang termuat di dalam laman Pemkab Jembrana
30
bahwa pada tahun 2011 sebaran penduduk belum dilengkapi. Pada tahun 2014
kecamatan yang memiliki jumlah penduduk paling banyak adalah kecamatan Negara
dengan jumlah 93.041 jiwa. Sedangkan dalam tahun yang sama jumlah penduduk
paling sedikit ada di kecamatan Pekutatan berjumlah 31.241 jiwa.
Tabel 4.3
Jumlah DPT, Jumlah Pengguna dan Prosentase Partisipasi Pemilih
dalam Pemilu 2009 s/d 2014
NO
1
Pemilu Legislatif 2009
202.296
Jumlah
Pengguna surat
suara
145.474
2
205.548
145.237
74.33
3
Pemilu Presiden dan
Wapres tahun 2009
Pemilukada 2010
214.550
155.237
73.56
4
Pilgub Bali 2013
157.147
155.366
70.79
5
Pemilu Legislatif 2014
(DPR RI)
Pemilu Legislatif 2014
(DPD RI)
Pemilu legislatif 2014
(DPRD Prov.)
Pemilu DPRD Kabupaten
Jembrana 1 (Pekutatan)
Pemilu DPRD Kabupaten
Jembrana 2 (Mendoyo)
Pemilu DPRD Kabupaten
Jembrana 3 (Negara)
Pemilu DPRD Kabupaten
Jembrana 4 (Melaya)
Pilpres 2014
224.378
142.449
76.81
224.378
136.901
76.81
224.378
148.577
76.81
64.354
48.235
76.79
43.468
31.021
72.96
72.486
55.160
77.99
44.071
33.820
78.68
222.732
158.079
71,26
6
Pemilu
Jumlah DPT
Prosentase
partisipasi
75.79
Sumber: Dokumen KPU Jembrana tahun 2014
Tabel 4.3 menunjukkan tingkat partisipasi dalam bentuk prosentase
secara umum termasuk tinggi dan berfluktuasi. Apabila dibandingkan antara pemilu
31
legislatif tahun 2009 dengan pemilu legislatif tahun 2014 partisipasi masyarakat
mengalami peningkatan seperti terlihat dalam tabel. Namun Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden juga mengalami penurunan sebesar 3,07 %.
4.2
Hasil Penelitian
Hasil penelitian akan dideskripsikan berdasarkan hasil wawancara
dengan para informan berdasarkan tiga fokus penelitian.
4.2.1
Political voluntarism dalam partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 di
Kabupaten Jembrana
Political Voluntarism atau kesukarelaan pemilih dalam pemilihan umum
tahun 2014 berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah informan berdasarkan
informan kunci dan selebihnya informasi diperoleh dari informan berdasarkan
purposive sampling. Adapun pendapat dari informan, peneliti deskripsikan berikut
ini.
Kutipan wawancara dengan ibu Agus seorang pedagang yang berasal
dari Kecamatan Pekutatan menyatakan:
”Pemilu tahun 2014 saya ke TPS memilih karena mendapatkan surat
panggilan memilih, calon yang saya pilih adalah calon yang
memberikan sumbangan ke banjar saya”. (Wawancara tanggal 10 Juli
2015).
Informan Guru Buda seorang pengusaha dan juga ditokohkan di
Desanya juga mengatakan hal yang sama terkait partisipasinya dalam pemilu tahun
2014, dengan kutipan wawancara berikut.
32
“Tyang setiap pemilu memilih Bu, walaupun tyang ada di Denpasar,
kalau sudah pemilu tyang pulang untuk memilih termasuk pemilu
legislatif tahun 2014 sane atiban langkung punika. Sane pilih tyang
calon sane tawang tyang nika”. (Wawancara tanggal 17 Juli 2015).
Demikian juga Pekak Ika pemilih lansia mrngatakan partisipasinya
walaupun agak takut-takut menyampaikan karena menyangkut politik. Petikan
wawancaranya berikut ini.
“Nggih Bu, Tyang memilih nika. Nanging tyang ten uning sira-sira sane
coblos tyang. Santukan tyang ngaksi memaca ulian tulisanne cenikcenik tur makeh. Awagin tyang nika sane encen tujuinna ken pianak
tyang”. (Wawancara tanggal 24 Juli 2015).
Informan pemilih pemula yang bernama Putu Ika Pertiwi juga seorang
mahasiswa mengatakan tentang partisipasinya dalam pemilu legislatif 2014.
“Pemilu Legislatif merupakan pengalaman pertama saya memberikan
hak pilih. Terasa deg-degan dan sedikit gemeteran saat membuka surat
suara. Apalagi surat suaranya panjang dan lebar juga berjumlah empat.
Sesaat sempat bingung juga. Tetapi karena sudah pernah disampaikan
akhirnya saya berhasil mencoblos. Calon yang saya pilih adalah orang
yang saya kenal dan pintar di masyarakat. Saya tidak suka dengan calon
yang suka berjanji tidak pernah ditetapi”. (Wawancara tanggal 31 Juli
2015).
Seorang tokoh masyarakat yaitu informan Bapak Su (informan ini minta
namanya disamarkan). Menilai political voluntarism adalah sebagai berikut.
“Khusus desa tyang, kesukarelaan pemilih cukup tinggi, yang muda
memilih langsung calon, kalau yang tua cenderung memilih gambar,
kecuali pemilih yang bekerja terutama kerja di perusahaan swasta susah
memperoleh libur. Walaupun tidak ada sumbangan mereka (masyarakat)
mau koq, datang memilih, tetapi karena sekarang sudah jaman
memberikan sumbangan melalui dharma suaka oleh calon ataupun tim
sukses, akhirnya masyarakat sekarang memperhitungkan juga
kesepakatan untuk saling membantu. Artinya ada semacam transaksi ”.
(wawancara tanggal 2 Agustus 2015).
33
Hasil wawancara dengan Ibu Agus, Bapak Guru Buda, Pekak Ita, Putu
Ita dan Bapak Su yang berasal dari desa menyatakan adanya kesukarelaan pemilih
dalam pemilu legislatif tahun 2014, tetapi kesukarelaan tersebut dalam hal penentuan
calon
kesepakatan kelompok untuk memilih calon yang sudah ditentukan dan
partisipasi ini diakibatkan adanya dharmasuaka dengan memberikan sumbangan
berupa barang dan sejumlah uang untuk pembangunan. Selain karena diberikan
sumbangan, kesukarelaan pemilih atas dasar kedekatan calon dalam hal ini calon
berasal dari satu desa.
Informasi yang disampaikan oleh informan tersebut di atas, di perkuat
pula oleh keterangan informan berikut ini. Hasil wawancara dengan Ibu Siva yang
menyatakan kesukarelaannya dalam partisipasi pada pileg 2014, seperti petikan
wawancara berikut ini.
“Pileg tahun 2014, tyang memilih. Calon yang tyang pilih, yang
memberikan sumbangan ke kelompok. Karena sudah kesepakatan. Dan
juga calon itu berasal dari desa kami” (Wawancara tanggal 7 Agustus
2015).
Pernyataan Ibu Siva juga diperkuat oleh informan Ibu Suami yang
bertempat tinggal di Pendem, dengan kutipan wawancara berikut.
“Saya ke TPS waktu Pileg 2014, saya tidak tahu calon yang saya pilih
karena banyak. Tetapi sebelum memang sudah disiarkan untuk memilih
salah satu calon karena sudah memberi sumbangan ke banjar. Saya
pribadi tidak pernah mendapatkan amplop”. (Wawancara tanggal 9
Agustus 2015).
34
Informan Bapak Paing yang berasal dari Melaya adalah seorang
penyandang disabilitas mengungkapkan partisipasinya dalam pileg 2014, dengan
petikan wawancara berikut.
“Tyang memilih nika ibu.., atehang ajak kurenan tyang ke TPS. Tyang
icena kertas ngangge huruf braille. Calon sane pilih tyang wenten nika
sampun tujuina sane ngicen sumbangan ke banjar tyang”. (Wawancara
tanggal 15 Agustus 2015).
Informan Ibu Armini yang berasal dari Negara juga mengungkapkan
partisipasinya dalam Pileg 2014. Berikut petikan wawancaranya.
“Pileg 2014 tyang memilih, selalu tyang memilih. Dugas nika wenten
nak ngicen kostum kebaya satu stel dan juga sumbangan uang ke
tempekan tyang. Wenten nak mesuaka lebih dari dua calon, terpaksa
suara dibagi”. (Wawancara tanggal 16 Agustus 2015).
Informan Bapak Nengah Tamba selaku Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Bali dari Daerah Pemilihan Jembrana, membenarkan pernyataan
sejumlah informan di atas. Berikut petikan wawancaranya.
“Saya akui untuk kesukarelaan pemilih atau political voluntarism dalam
pemilu legislatif tahun 2014, khusus strategi yang saya lakukan salah
satunya memang dengan medharma suaka ke kelompok masyarakat,
melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat. Selama tahapan pileg
saya melakukan itu sampai tiga kali. Kalau tidak seperti itu, saya akan
kalah dengan lawan politik saya, yang juga melakukan hal yang sama.
Kegiatan politik dalam pemilu memang memerlukan ongkos politik
yang sangat tinggi”. (Wawancara tanggal 18 Agustus 2015).
Berdasarkan pendapat para informan tentang political voluntarism di
Kabupaten Jembrana, baik dari masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan,
dari pemilih umum maupun pemilih pemula, penyandang disabilitas dan anggota
dewan terpilih bahwa political voluntarism dalam partisipasi pemilih ketika
35
pemilihan umum tahun 2014 (Pemilu Legislatif) cukup tinggi, di mana prosesnya di
pengaruhi dan di awali oleh inisiatif dari para calon untuk memperoleh dukungan.
4.2.2
Bentuk
Political Voluntarism dan Faktor Yang Mempengaruhi
(pendukung dan penghambat) pemilih di Kabupaten Jembrana
Bentuk political voluntarism serta faktor yang mempengaruhi pemilih
dalam partisipasinya ketika pemilu legislatif di Kabupaten Jembrana berdasarkan
pendapat para informan, peneliti deskripsikan dalam petikan wawancara.
Kutipan wawancara dengan ibu Agus seorang pedagang yang berasal
dari Kecamatan Pekutatan menyatakan:
”Walaupun tidak ada sumbangan berupa materi saya tetap memilih
karena kewajiban, tetapi untuk pemberian suara demi kesepakatan yaa..
saya memilih calon yang disepakati banjar”. (Wawancara tanggal 10
Juli 2015).
Informan Gurun Buda seorang pengusaha dan juga ditokohkan di
Desanya juga mengatakan hal yang sama terkait bentuk kesukarelaannya dalam
pemilu tahun 2014, dengan kutipan wawancara berikut.
“Keweh masih memilih calon, bes akehan nika. Pilih tyang je ane
tawang tyang, polih orta uling pisaga. Biasane yen sangkepan ring
banjar polih gen orta uling timpal indik calon. Ten je langsung napi
ortange ken timpal sane pilih tyang. Pilih-pilihin je masih, utamang
dumun sane uling desa. Yadiastun keweh memilih calon, tyang ke
banjar memilih, selapang tyang uling Denpasar ”. (Terjemahan: Susah
juga memilih calon karena terlalu banyak. Ya, saya pilih calon yang
saya kenal, dapat informasi dari tetangga, biasanya dalam rapat dibanjar
juga mendapatkan informasi dari teman tentang calon. tetapi tidak
langsung saya memilih yang disampaikan teman. Saya tetap memilah,
calon yang saya utamakan berasal dari desa sendiri. Biarpun susah
memilih calon karena terlalu banyak, saya sisihkan waktu dari Denpasar
pulang untuk memilih ke Banjar). (Wawancara tanggal 17 Juli 2015).
36
Demikian juga Pekak Ika pemilih lansia mengatakan kesukarelaannya
dalam pemilu legislatif. Petikan wawancaranya berikut ini.
“Nggih Bu, Tyang memilih nika. Ten je uningin napi polih sumbangan
napi ten, yen tyang ten naenin nak ngicen jinah. Nak orine tyang ken
panak tyange ke bale banjar nyoblos. Tyang anak sampun tua tujuina
tyang nomor ongkona nyoblos nika”. ( Ya Bu, saya memilih. Tetapi
tidak tahu apakah mendapat sumbangan atau tidak, kalau saya tidak
pernah ada yang memberikan uang. Diberi tahu oleh anak saya ke balai
banjar untuk nyoblos. Saya sudah tua, ditunjukkan saya nomor untuk
nyoblos itu). (Wawancara tanggal 24 Juli 2015).
Informan pemilih pemula yang bernama Putu Ika Pertiwi juga seorang
mahasiswa mengatakan tentang partisipasinya dalam pemilu legislatif 2014.
“Saya sukarela memberikan pilihan karena kewajiban ya Bu, apalagi
saya baru pertama kali memilih. Untuk calon yang saya pilih adalah
orang yang saya kenal, mau memasyarakat. Saya tidak suka dengan
calon
yang suka berjanji tidak pernah ditetapi”. (Wawancara
tanggal 31 Juli 2015).
Seorang tokoh masyarakat yaitu informan Bapak Su (informan ini minta
namanya disamarkan). Menilai political voluntarism adalah sebagai berikut.
“Saya akui dalam kesukarelaan masyarakat untuk memberikan pilihan,
dipengaruhi oleh adanya sumbangan yang diberikan ke tempekan atau
ke banjar. Hal itu disebabkan rasa sungkan masyarakat untuk
mengingkari kesepakatan banjar, boleh saya katakana bahwa pemberian
sumbangan dan kesepakatan untuk memilih seseorang sudah
mengingkari prinsip pemilu yang luber jurdil. Sehingga kesukarelaan
pemilih menjadi terhambat, andaikan saja para calon sepakat tidak
memberikan sumbangan melalui dharma suaka, saya rasa kesukarelaan
pemilih murni dari dalam dirinya. Hal ini saya rasa sudah menjadi
budaya, sehingga mempengaruhi juga terhadap perilaku kesukarelaan
pemilih. di samping itu, ada unsur intervensi pemerintah seperti, apabila
ketika pemilu tidak mendapatkan suara sesuai dengan keinginan bahkan
tidak mendapat dukungan maka proposalnya akan dinomorduakan.
Begitu juga sangat kental unsur kedekatan dengan penguasa untuk
37
kelancaran mengajukan usulan pembangunan”. (Wawancara tanggal 2
Agustus 2015).
Hasil wawancara dengan Ibu Agus, Bapak Guru Buda, Pekak Ita, Putu
Ika dan Bapak Su yang berasal dari daerah pedesaan menyatakan adanya
kesukarelaan pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014, namun masih dipengaruhi
oleh adanya kesepakatan kelompok dalam hal ini adalah kesepakatan tempekan atau
banjar.
Informasi yang disampaikan oleh informan tersebut di atas, di perkuat
pula oleh keterangan informan berikut ini. Hasil wawancara dengan Ibu Siva yang
menyatakan kesukarelaannya dalam partisipasi pada pileg 2014, seperti petikan
wawancara berikut ini.
“Pileg tahun 2014, tyang memilih. Calon yang tyang pilih, yang
memberikan sumbangan ke kelompok. Karena sudah kesepakatan. Dan
juga calon itu berasal dari desa kami” (Wawancara tanggal 7 Agustus
2015).
Pernyataan Ibu Siva juga diperkuat oleh informan Ibu Suami yang
bertempat tinggal di Pendem, dengan kutipan wawancara berikut.
“Saya ke TPS waktu Pileg 2014, saya tidak tahu calon yang saya pilih
karena banyak. Tetapi sebelum memang sudah disiarkan untuk memilih
salah satu calon karena sudah memberi sumbangan ke banjar. Saya
pribadi tidak pernah mendapatkan amplop”. (Wawancara tanggal 9
Agustus 2015).
Informan Bapak Paing yang berasal dari Melaya adalah seorang
penyandang disabilitas mengungkapkan partisipasinya dalam pileg 2014, dengan
petikan wawancara berikut.
38
“Yen ten sane sepakatina pilih tyang, lek atine ken pisaga nika, sampun
icena sumbangan”. (apabila tidak memilih calon yang sudah disepakati,
malu dan tidak enak dengan tetangga). (Wawancara tanggal 15 Agustus
2015).
Informan Ibu Armini yang berasal dari Negara juga mengungkapkan
kesukarelaannya dalam Pileg 2014. Berikut petikan wawancaranya.
“Malu Bu kalau tidak memilih yang sudah memberikan sumbangan dan
memberikan bantuan baju, kasihan sudah banyak mengeluarkan uang.
Toh juga saya tidak kenal dengan calon mana yang baik dan yang
bagus”. (Wawancara tanggal 16 Agustus 2015).
Informan Kunci dalam penelitian ini adalah Bapak Nengah Tamba
selaku Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Bali dari Daerah Pemilihan
Jembrana, membenarkan pernyataan sejumlah informan di atas. Berikut petikan
wawancaranya.
“Melakukan dharma suaka dan memberikan sumbangan salah satu
strategi untuk menarik simpati pemilih, hal ini saya lakukan karena rival
saya juga lebih gila. Kalau saya tidak mengikuti permainan, tidak
mungkin berhasil. Saya tidak yakin setelah menjadi dewan hanya
mengandalkan bansos, karena pengalaman teman strateginya seperti itu
akhirnya tidak menjadi dewan”. (Wawancara tanggal 18 Agustus 2015).
Berdasarkan hasil wawancara terhadap sejumlah informan maka bentuk
kesukarelaan dan faktor yang mempengaruhi pemilih dalam pemilu legislatif tahun
2014 adalah adanya unsur kesepakatan yang dilakukan oleh kelompok dengan calon
yang melakukan dharma suaka dengan agenda memberikan sumbangan dan
dukungan suara, unsur kedekatan terhadap calon seperti masih ada hubungan
keluarga, berasal dari satu daerah.
39
4.2.3
Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political
voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana
Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political
voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana dapat di simak melalui petikan
wawancara dengan para informan berikut.
Kutipan wawancara dengan ibu Agus seorang pedagang yang berasal
dari Kecamatan Pekutatan menyatakan:
”Kalau memilih nika, tyang tetep memilih, tetapi memilih calon yang
memang susah karena banyak yang tidak dikenal. Yang penting nika
calon sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat. Pribadinya, sikapnya
baik”. (Wawancara tanggal 10 Juli 2015).
Informan Gurun Buda seorang pengusaha dan juga ditokohkan di
Desanya juga mengatakan hal yang sama terkait menumbuhkan dan memperkuat
kesukarelaan masyarakat dalam pemilu tahun 2014, dengan kutipan wawancara
berikut.
“Harus wenten sosialisasi dari semua pihak terkait tentang pemilu dan
juga para calon. calon itu tidak hanya datang menjelang pemilihan.
Calon agar memperkenalkan dirinya sebelum pemilu. Sehingga
masyarakat taulah bagaimana pribadinya”. (Wawancara tanggal 17 Juli
2015).
Informan pemilih pemula yang bernama Putu Ika Pertiwi juga seorang
mahasiswa
mengatakan
tentang
menumbuhkan
dan
mempertahankan
kesukarelaannya dalam pemilu legislatif 2014.
“Janji ataupun sumbangan bukan hal yang no satu untuk menjaga
kesukarelaan pemilih, tetapi sosialisasi yang benar yang lebih intens,
calon yang proaktif terjun ke masyarakat sebelum pemilu. Saya yakin
40
masyarakat akan menilai positif untuk calon yang baik dan dekat dengan
masyarakat, saya paling tidak suka dengan calon yang pencitraan,
senyum dalam foto balihonya menjelang pemilu”. (Wawancara tanggal
31 Juli 2015).
Seorang tokoh masyarakat yaitu informan Bapak Su (informan ini minta
namanya disamarkan). Menyatakan untuk menumbuhkan dan mempertahankan
political voluntarism adalah sebagai berikut.
“Kesukarelaan pemilih sebenarnya sudah tumbuh, namun saya
garisbawahi adanya hambatan transaksi suara. Hal ini sebenarnya dapat
diminimalisir dengan cara partai harus memberikan pendidikan politik
yang benar kepada masyarakat. Sikap dan tatakrama yang baik harus
ditunjukkan oleh calon. partai harus mampu memilih calon yang yang
kredibel, sehingga mampu menjaga nama baik partai. Calon juga harus
tumbuh dari dalam masyarakat jangan calon karbitan. Sehingga
masyarakat mampu melihat bagaimana pribadi, kinerja calon itu di
masyarakat. Saya rasa perlu dibuatkan semacam peraturan jangan ada
dharma suaka atau meberikan sumbangan berupa uang dan barang
ataupun janji-janji selama tahapan pemilu”. (Wawancara tanggal 2
Agustus 2015).
Hasil wawancara dengan Ibu Agus, Bapak Guru Buda, Putu Ika dan
Bapak Su yang berasal dari daerah pedesaan menyatakan tentang untuk
menumbuhkan dan memperkuat kesukarelaan pemilih dalam pemilu legislatif tahun
2014.
Informan Kunci Bapak Nengah Tamba selaku Dewan Perwakilan
Rakyat
Daerah Provinsi Bali dari Daerah Pemilihan Jembrana, membenarkan
pernyataan sejumlah informan di atas. Berikut petikan wawancaranya.
“Usulan saya untuk tetap meningkatkan political voluntarism untuk
warga pemilih, agar dibuatkan peraturan memperbolehkan memasang
spanduk selama tahapan pemilu khusus setelah penetapan nomor urut di
masing-masing desa, maksudnya supaya masyarakat lebih mengenali
calonnya”. (Wawancara tanggal 18 Agustus 2015).
41
Berdasarkan pendapat dari para informan tentang menumbuhkan dan
memperkuat political voluntarism atau kesukarelaan pemilih dalam pemilu legislatif
tahun 2014. Kesukarelaan pemilih sebenarnya sudah tumbuh, namun masih ada
hambatan-hambatan karena dipengaruhi oleh adanya dharma suaka memberikan
sumbangan dan kesepakatan kelompok. Beragam usulan yang diperoleh seperti
kredibilitas calon di mata masyarakat. Calon memang harus dikenal oleh masyarakat,
hal ini menjadi penting untuk partai politik dalam memilih kadernya untuk
dicalonkan. Sosialisasi memang perlu dilakukan secara intens oleh pihak terkait
menyasar seluruh lapisan masyarakat.
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Sub pembahasan hasil penelitian akan membahas hasil temuan
penelitian dari ketiga fokus permasalahan dianalisis dengan konsep dalam tinjauan
pustaka.
4.3.1
Political voluntarism dalam Partisipasi warga pemilih
Berdasarkan pendapat para informan tentang political voluntarism di
Kabupaten Jembrana, baik dari masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan,
dari pemilih umum maupun pemilih pemula, penyandang disabilitas dan anggota
dewan terpilih bahwa political voluntarism dalam partisipasi pemilih ketika
pemilihan umum tahun 2014 (Pemilu Legislatif) cukup tinggi, di mana prosesnya di
pengaruhi dan di awali oleh inisiatif dari para calon untuk memperoleh dukungan.
42
Political voluntarism atau kesukarelaan pemilih adalah memilih secara
sukarela tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun dalam pemilihan umum.
Berlangsungnya
Political voluntarism ketika pemilu legislatif di Kabupaten
Jembrana mengalami hambatan dengan memberikan pilihan atas dasar kesepakatan.
Hal ini disebabkan berbagai faktor, seperti: menjaga keamanan diri , keluarga dan
masyarakat. Pemilih tidak mengenal calonnya dengan baik sehingga mengikuti teman
atau lingkungan.
Apabila Political voluntarism dikaitkan dengan partisipasi pemilih,
maka akan selalu sejalan, karena Political voluntarism atau kesukarelaan dalam
pemilihan akan selalu diikuti oleh tingkat partisipasi artinya adanya Political
voluntarism berarti pemilih akan hadir ke TPS dan memberikan pilihan. Namun
secara teori, makna dari Political voluntarism berdasarkan prinsip demokrasi dan
prinsip pemilu yang langsung umum bebas dan rahasia tidak terpenuhi. Apabila di
kaji dari empat prinsip demokrasi berdasarkan teori budaya demokrasi seperti a)
Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik, b)
Tingkat
persamaan (kesetaraan) tertentu antara warga Negara, c) Tingkat kebebasan atau
kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga Negara, d)
Penghormatan terhadap supremasi hukum, maka terdapat pelanggaran terhadap
prinsip demokrasi poin ke tiga dan keempat yaitu tingkat kebebasan atau
kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga Negara dalam hal ini adalah ketika
memilih calon, sudah disepakati dan diikat oleh sumbangan. Pelanggaran yang kedua
adalah penghormatan terhadap supremasi hukum oleh para calon yaitu mengkemas
43
dengan budaya dharma suaka memberikan sumbangan berupa barang, uang dan janjijanji politik baik langsung bertemu dengan masyarakat pemilih maupun melakukan
pendekatan dengan tokoh masyarakat. Padahal perilaku memberikan sumbangan
ataupun memberikan janji-janji untuk mendapatkan dukungan selama tahapan pemilu
merupakan pelanggaran dari Undang-Undang No 8 Tahun 2012 pasal 86 point j
bahwa tidak dibenarkan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya
kepada peserta Kampanye Pemilu.
4.3.2
Bentuk political voluntarism dan faktor yang mempengaruhi (pendukung
dan penghambat) warga pemilih di Kabupaten Jembrana
Berdasarkan data primer hasil wawancara dari sejumlah informan maka
bentuk political voluntarism atau kesukarelaan pemilih dan faktor yang
mempengaruhi pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 adalah adanya unsur
kesepakatan yang dilakukan oleh kelompok dengan calon yang melakukan dharma
suaka dengan agenda memberikan sumbangan dan mencari dukungan suara, unsur
kedekatan terhadap calon seperti masih ada hubungan keluarga, berasal dari satu
daerah.
Disebut sebagai faktor pendukung dalam political voluntarism karena
dengan adanya pendekatan melalui dharma suaka kepada kelompok masyarakat dan
tokoh masyarakat dapat membantu para pemilih untuk mengenal calonnya secara
langsung. Dengan kesepakatan kelompok dan kepercayaan kepada tokoh masyarakat,
maka dapat membantu pemilih memudahkan untuk memilih calon. Dengan demikian
44
secara otomatis menumbuhkan kesukarelaan dalam melaksanakan kewajibannya
sebagai warga pemilih dalam pemilu legislatif.
Adanya unsur kedekatan calon
dengan masyarakat seperti hubungan keluarga atau berasal dari satu daerah
merupakan faktor pendukung political voluntarism. Unsur kedekatan dapat
menumbuhkan political voluntarism dengan alasan rasionalitas bahwa dengan
memiliki orang yang dekat dengan kekuasaan atau menjadi anggota dewan maka
dipercaya akan mampu membawa aspirasi masyarakat dan dapat mengalami
kemudahan ketika mengajukan proposal.
Berdasarkan alasan rasionalitas dari para pemilih berdasarkan pendapat
informan, dapat dikatakan bahwa sesuai dengan pendapat Hajeer dimana masyarakat
bergerak ke demokrasi modern yaitu untuk memperoleh tujuan dengan menciptakan
jejaring. Menurut Hajeer model demokrasi modern dikenal dengan demokrasi
deliberatif bahwa “model masyarakat jejaring sebagai sebuah fakta ketika masyarakat
demokrasi modern bergerak menuju network society, atau masyarakat jejaring
diharapkan akan mampu mempermudah akses melakukan komunikasi dalam segala
level di pemerintahan”(Hajer, 2003 h. 8-12). Jejaring yang dimaksudkan masyarakat
berdasarkan analisis teori demokrasi deliberatif adalah duduknya calon yang berasal
dari daerahnya sebagai anggota DPRD.
Bukan saja bentuk dharma suaka tersebut sebagai faktor pendukung
political voluntarism tetapi tanpa disadari juga merupakan faktor penghambat dari
political voluntarism. Karena terjadi pengekangan atau pembatasan terhadap pilihan
masyarakat demi memenuhi kesepakatan kelompok, demi menjaga kedamaian
45
lingkungan dan sesama warga. Dapat dikatakan bahwa political voluntarism yang
terjadi dalam pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Jembrana adalah political
voluntarism atau kesukarelaan yang terbatas.
Menurut pendapat informan, bahwa para pemilih yang berasal dari
masyarakat biasa tidak mempedulikan tentang makna dari political voluntarism.
Yang terpenting mereka mereka melaksanakan kewajiban dengan datang ke TPS dan
memilih dengan benar. Dikarenakan siapapun yang menang, mereka merasa tidak
mempengaruhi kehidupannya. Diantara para informan seperti Bapak Su, hanya
sedikit yang mengetahui bahwa terdapat pembatasan di dalam proses political
voluntarism melalui kesepakatan-kesepakatan kelompok.
4.3.3
Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political
voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana
Berdasarkan pendapat dari para informan tentang menumbuhkan dan
memperkuat political voluntarism atau kesukarelaan pemilih dalam pemilu legislatif
tahun 2014. Kesukarelaan pemilih sebenarnya sudah tumbuh, namun masih ada
hambatan-hambatan karena dipengaruhi oleh adanya dharma suaka memberikan
sumbangan dan kesepakatan kelompok. Beragam usulan yang diperoleh seperti
kredibilitas calon di mata masyarakat. Calon memang harus dikenal oleh masyarakat,
hal ini menjadi penting untuk partai politik dalam memilih kadernya untuk
dicalonkan. Sosialisasi memang perlu dilakukan secara intens oleh pihak terkait
menyasar seluruh lapisan masyarakat. Dari hasil penelitian dan pendapat dari
46
beberapa informan dan juga hasil kajian pustaka maka dapat dideskripsikan model
kebijakan untuk dapat menumbuhkan political voluntarism atau kesukarelaan pemilih
seperti berikut ini.
1. Sosialisasi untuk meningkatkan Voluntarism masyarakat
Dalam upaya meningkatakan kualitas voluntarism masyarakat, maka
meningkatkan kualitas sosialisasi dan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum
(pemilu), setidaknya terdapat 9 (sembilan) kelompok masyarakat yang perlu
diperhatikan oleh KPU.
Paling tidak ada 9 kelompok yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan sasaran sosialisasi yang akan dilakukan;
a. Harus dipetakan daerah mana saja yang tingkat partisipasi pemilihnya dibawah
rata-rata pemilih secara nasional, 75% untuk pileg, 71% untuk pilpres;
b. Harus diadvokasi kelompok masyarakat pada daerah terisolir yang rawan
manipulasi;
c. Perlu dipetakan daerah yang dalam penyelenggaraan pemilu lalu bermasalah,
terutama yang melibatkan penyelenggara pemilu;
d. Perlu dipetakan daerah yang disinyalir memiliki transaksi money politics tinggi;
e. Kelompok masyarakat marjinal, misalnya kelompok masyarakat yang terbentuk
akibat konflik, atau kelompok yang termarjinalkan;
f. Kelompok masyarakat disabilitas, yang dalam pemilu 2014 lalu menyuarakan
belum mendapat fasilitas baik, kemudian juga pasien rumah sakit yang menjalani
perawatan khusus;
47
g. Kelompok pemilih pemula, terutama mereka yang tidak mengenyam pendidikan
formal;
h. Mereka yang menjadi opinion leader, para tokoh masyarakat ini perlu diberi
sosialisasi betapa pentingnya pemilu berkualitas, sehingga kemudian, beliau dapat
memberikan pencerahan kepada lingkungannya;
i. Kelompok terakhir yang perlu diberi fasilitas dan perlu dijadikan mitra dalam
penyebarluasan informasi sosialisasi pemilu adalah media massa. KPU dalam
menjangkau masyarakat mempunyai keterbatasan, butuh media yang dapat
menduplikasi informasi penting dari penyelenggara untuk bisa sampai ke
masyarakat.
Kegiatan sosialisasi pada 9 kelompok tersebut, perlu dilakukan secara
baik sebelum memasuki tahun tahapan pemilu, sehingga tidak mempengaruhi
kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh para peserta pemilu. Diharapkan, kegiatan
sosialisasi tersebut dapat melahirkan komunitas yang peduli akan penyelenggaraan
pemilu berkualitas, sehingga muncul motivasi untuk terlibat secara langsung dalam
penyelenggaraan pemilu.
Dengan gencarnya sosialisasi yang nanti dilakukan, diharapkan muncul
sikap politik yang partisipatif dan sehat. Sehingga pada saat memilih masyarakat
tidak memilih berdasarkan pengaruh tokoh masyarakat maupun oleh suami.selama ini
terjadi di sebagian besar pemilih di Jembrana pemilihan dilakukan berdasarkan
arahan tokohnya. Mereka akhirnya memilih sesuai arahan tersebut karena takut
dikenakan sanksi oleh tokohnya. Dengan demikian terjadi voluntarism yang
48
setengah-setengah di Jembrana. Karena masyarakat memilih tanpa mendapat imbalan
langsung, padahal itu tidak sesuai hati nurani mereka.
2. Pendekatan/arahan
tokoh-tokoh
kepada
pengikutnya
mempengaruhi
kesukarelaan memilih
Adi Prasetijo (http://etnobudaya.net/2008/07/31/hubungan-patron-klien/)
Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat
dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan
instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih
tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan
perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang
dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan
menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya.
Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu maka dukungan klien kepada patron
adalah
memenuhi
arahan
patron
(tokoh
masyarakat/klian/bendesa/dan
lain
sebagainya) untuk memilih secara sukarela calon yang ditunjukkan oleh tokohnya.
Sehebat apapun track record para calon jika tidak diamini oleh tokohnya maka sangat
sulit mendapat pilihan dari masyarakat.
Hal ini terungkap dengan hasil wawancara
beberapa informan, di
Kabupaten Jembrana, tokoh masyarakat memiliki peran yang sangat kuat dalam
mendorong masyarakatnya untuk memilih secara sukarela. Namun dalam hal ini
kesukarelaan dimaksud masih terbatas pada tokoh yang diarahkan oleh para
tokohnya. Kesukarelaan belum mencapai pada kesukarelaan masyarakat berdasarkan
49
hati nurani. Ibu Ketut Siva yang tinggal di Kota Negara, menyampaikan tatkala
pemilu dilakukan dia menghentikan kegiatan bisnisnya berupa pembuatan kue.
Penghentian kegiatan itu dilakukan untuk membuat kesempatan baginya untuk
memilih di kampungnya. Pada saat memilih dia memilih berdasarkan arahan tokoh di
desanya melalui informasi yang disampaikan oleh mertuanya. Yang bersangkutan
tidak berani melanggar arahan dari tokohnya khawatir mendapat sanksi adat.
Hal senada juga diungkapkan oleh I Made Paing. Pria penyandang tuna
netra ini mengungkapkan, tatkala pemilu dia melakukan pemilih atas arahan
keliannya, melalui istrinya. Pada saat pemilih atas panduan dari istrinya yang
bersangkutan memilih calon yang direkomendasikan oleh kliannya. Keterbatasan
fisik yang dimilikinya membatasi pengenalan terhadap profil
calon. Sehingga
praktek hubungan patron dengan klien ini membuat I Made Paing mengetahui calon
yang akan dipilihnya melalui tokohnya tanpa peduli latar belakang si calon. Praktek
seperti inilah yang sering pula disebut patrimonialisme politik.
Moh.
Ikmal
(https://mohammadikmal.wordpress.com/2013/12/18)
menyampaikan Patrimonialisme politik adalah merupakan gambaran praktek
kekuasaan pemerintahan yang diselenggarakan dan dipertahankan dengan cara
bagaimana kekuasaaan tersebut mampu mempertahankan kesetiaan elit politik politik
yang ada. Dalam pemerintahan patrimonial, politik merupakan alat perjuangan elit
politik/kelompok/klien untuk mendapatkan balas jasa dari penguasa. Penguasa dapat
mempertahankan kekuasaannya dengan mempertahankan keseimbangan kelompokkelompok/elit yang bersaing.
50
3. Dampak pendidikan pemilih pada kesukarelaan pemilih
Margaretha
Saulinas
(http://demosindonesia.org/2014/02/traning-of-
fasilitator-tof-dan-ujicoba-pendidikan-pemilih-tentang-transaksi-politik-dalampemilu/) menyampaikan bahwa membicarakan politik bagi masyarakat awam
seringkali dimaknai negatif akibat banyaknya elit pemerintah pusat maupun daerah
kerapkali mengecewakan masyarakat. Politik, Pemilu dan demokrasi dipandang
terpisah oleh sebagian masyarakat karena bukan menyangkut urusan yang berkaitan
langsung dengan kesehariannya.dia menegaskan bahwa dengan pendidikan politik
maka pemilih mendapatkan pengetahuan, pemahaman serta kesadaran bahwa politik
itu tidaklah bermakna negatif. Namun politik merupakan alat dalam mengalokasikan
dan mendistribusikan sumberdaya yang dimiliki oleh negara dalam kurun waktu atau
siklus pemilu. Subjek (kandidat dan pemilih/warga) dalam siklus tersebut perlu
memiliki pemahaman dan ideologi yang sama (kepentingan publik).
Hal senada disampaikan oleh informan informan Ibu Agus, di Gumbrih.
Dengan pendidikan politik diharapkan mampu mengetahui sejauhmana kualitas dari
calon. Dengan keterbatasan pemahaman politik dia hanya memperoleh informasi
calon yang mesti dipilih dari tokoh, melalui suami, karena umumnya suami yang
mengikuti rapat yang melibatkan calon untuk dharma suaka. Sehingga kualitas calon
tidak diketahui persis. Pendidikan politik sangat kami butuhkan untuk mampu
menyeleksi kualitas para calon secara mandiri. Ibu Suami yang berprofesi sebagai
tukang sapu ini menyatakan bahwa tidak pernah mendapatkan pendidikan politik baik
dari KPU maupun partai politik. Seandainya saja dia paham politik maka akan
51
memilih calon sesuai hati nurani dan tidak perlu lagi memperhatikan apa pendapat
suami atau tokoh di desa.
4. Pengaruh Baliho/spanduk/iklan dikoran kepada kesukarelaan memilih
Informan ibu Agus di Gumbrih menyampaikan bahwa informasi tentang
keberadaan dan rekam jejak para calon sangat terbatas. Tidak pernah ditemukan visi
misi program kerja calon. Koran tidak mampu dibeli. Iklan para calon di televisi
sangat jarang kecuali hanya calon-calon berduit saja. Sedangkan dari Baliho sangat
sedikit informasi tentang calon dia dapatkan, hanya dalam baliho dapat menyimak
foto, nama, nomor urut, partai politik serta slogan/jargon para calon. Informasi
selebihnya tidak didapatkan, padahal informasi itu menjadi penting dalam upaya
untuk memahami kualitas calon.
Dengan demikian kami membutuhkan informasi yang lengkap tentang
rekam jejak para calon. Jika dia memahami rekam jejaknya tentu akan mampu
memilih calon secara selektif dan sukarela, tanpa intervensi maupun bayaran. Dia
mengatakan paling suka mendapatkan informasi calon dari media televisi dan Koran.
5. Pilihan terhadap nama caleg dalam pileg
Berdasarkan pendapat Kakek Ika bahwa Pada pemilu legislatif yang lalu
dia memilih nama caleg. Nama caleg tersebut diketahui dari kartu nama yang
diberikan oleh anaknya. Dari kartu nama itu dia mendapat informasi nama, nomor
urut serta partai calon yang bersangkutan. Jika dia mengetahui nama para calon
niscaya akan memilih nama calon yang bersangkutan dan bukan partai politiknya.
6. Cara mendapatkan pendidikan politik
52
Pendidikan politik setelah menyelesaikan studi nyaris tidak pernah
didapatkan.
Selama studi di SMA dia memperoleh pendidikan politik dalam
pelajaran Pancasila, itupun sekarang sudah tidak sesuai lagi. Sehingga dia merasa
sangat buta politik. Terlebih saat ini kesannya politik itu identik dengan kekerasan.
Partai politik yang memiliki tugas memberikan pendidikan politik tidak pernah
melakukan pendidikan politik, nampaknya mereka masih sibuk berebut kekuasaan.
Sehingga saat ini informasi politik hanya diperoleh dari mulut kemulut.
Informasi dari mulut ke mulut ini sering tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Ketidak sesuaian ini terjadi karena adanya distorsi informasi.
7. Pentingnya Peran KPU Memberikan pendidikan politik kepada para tokoh
agar mereka mampu secara sukarela mendidik masyarakatnya terhadap
pemahaman politik.
Mengingat di desa peran tokoh sangat strategis dalam politik, maka
pendidikan politik yang menyasar para tokoh menjadi sangat penting. Pemahaman
politik yang dipahami oleh tokoh akan disampaikan oleh tokoh kepada masyarakat.
Jika tokoh masyarakat yang menyampaikan informasi tentang pendidikan poltik
kepada masyarakat akan mudah diterima.
Jika KPU yang langsung memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat nampaknya akan kurang efektif. Karena masyarakat di desa sangat hatihati menerima informasi dari masyarakat luar yang motivasinya tidak jelas.
Pendidikan politik oleh KPU menjadi sangat penting karena partai politik tidak
53
menjalankan fungsinya untuk melakukan pendidikan politik. Demikian pendapat
informan sebagai tokoh masyarakat Bapak Su.
Pernyataan informan Bapak Su sejalan dengan pendapat Diah Setiawaty
(https://www.academia.edu/11158815)
yang menyatakan di Indonesia, pada
praktiknya partai politik masih sangat lemah dalam melakukan pendidikan politik. Ini
terlihat dari masih banyaknya partai yang belum melakukan pendidikan politik secara
terstruktur, sistematis dan masif terhadap kader-kadernya, apalagi terhadap
masyarakat awam dan pemilih pemula.
8. Alat peraga berupa surat suara membatu pemilih untuk memilih secara
sukarela
Alat peraga berbentuk surat suara sangat kami butuhkan untuk
memperlancar proses pencoblosan. Alat peraga berupa surat suara ini hanya
ditunjukkan oleh petugas PPS pada saat sosialisasi. Seandainya saja alat peraga surat
suara ini diperoleh oleh masyarakat tentu masyarakat akan lebih mudah memberikan
suaranya. Alat peraga dalam bentuk surat suara ini juga akan mengurangi
kemungkinan suara tidak sah. Demikian juga menjadi harapan dari Informan seorang
anggota Dewan Bapak Nengah Tamba bahwa agar diijinkan memasang baliho
disetiap desa untuk memudahkan masyarakat mengenal calonnya, dan perlu
disosialisasikan lebih gencar mekanisme pencoblosan.
9. Pengaruh pendidikan politik kepada pemilih pemula terhadap kesukarelaan
memilih caleg
54
Diah Setiawaty (https://www.academia.edu/11158815), Potensi pemilih
pemula di Indonesia cukup besar seiring dengan jumlah pemilih pemula yang
signifikan. Akan tetapi potensi rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat
khususnya di kalangan pemilih pemula juga diprediksi akan meningkat seiring
dengan meningkatnya apatisme publik dikarenakan kinerja pemerintah yang kurang
memuaskan.
Pendidikan
pemilih
adalah
sebuah
langkah
strategis
untuk
menanggulangi permasalahan tersebut. Sayangnya penyelenggara pemilu dari setiap
periode pemilu demokratis hingga saat ini masih belum melakukan pendidikan
pemilih yang programatik dan masih menggunakan pendekatan informasi pemilih
yang merupakan solusi sementara. Partai politik juga masih belum maksimal dalam
menjalankan fungsi pendidikan politik sebagaimana yang diamanatkan oleh undangundang. Perlu adanya komitmen bersama baik dari pihak pemerintah dan partai
politik dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat seperti CSO dan lembagalembaga pendidikan untuk mulai melakukan pendidikan pemilih yang programatik
untuk meningkatkan tidak hanya angka partisipasi pemilih dalam pemilu tetapi juga
partisipasi politik secara keseluruhan.
Informan Putu Ika mengharapkan agar partai politik juga dapat terus
melakukan pendidikan pemilih sesuai dengan mandat yang diamanahkan oleh UUD
1945. Karena ketika pendidikan pemilih berjalan baik partai politik sendiri yang akan
memetik buahnya dari kerja kerasnya tersebut dengan munculnya kader-kader muda
baru yang berkualitas dan dapat meningkatkan citra partai politik sendiri di hadapan
masyarakat. Hal ini sudah terlihat melalui beberapa fenomena yang terjadi akhir-akhir
55
ini. Ketika partai politik dapat mencetak kader-kader yang baik, berdedikasi dan
dapat membuat perubahan di mata masyarakat maka kemungkinan besar partisipasi
publik juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya popularitas dan
elektabilitas kandidat kader-kader tersebut.
Informan Bapak Su sebagai tokoh masyarakat
menyampaikan
permasalahan-permasalahan di dalam pemilu tidak dapat diselesaikan dengan formula
tunggal yang berlaku untuk setiap daerah. Akan tetapi salah satu solusi yang dapat
ditempuh untuk mengatasi permasalahan ini adalah melakukan pendidikan pemilih
yang programatik dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan institusi
pendidikan. Pendidikan politik ini memang sebaiknya mulai diinisiasi oleh
penyelenggara pemilu dengan mempertimbangkan berbagai unsur dan juga
menyesuaikan dengan konteks lokal perdaerah. Akan tetapi tentunya permasalahan
pemilu bukanlah pekerjaan rumah dari penyelenggara pemilu saja. Untuk itu
diperlukan komitmen bersama dari setiap stakeholders terutama dari partai politik
yang memang memiliki mandat dari pemerintah untuk melakukan pendidikan politik.
KPU sebagai aktor utama selayaknya berkoordinasi dengan setiap stakeholders dan
juga menggiatkan lagi keikutsertaan atau partisipasi masyarakat.
56
BAB V
PENUTUP
Bab penutup tentang simpulan, saran dan rekomendasi kebijakan
dideskripsikan berikut ini.
5.1 Simpulan
Hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan dengan uraian
berikut ini.
5.1.1
Masyarakat Kabupaten Jembrana memiliki partisipasi yang cukup tinggi
dalam pemilu legislatif tahun 2014. Political voluntarism dalam partisipasi
masyarakat Kabupaten Jembrana masih bersyarat atau political voluntarism
yang terbatas.
Berdasarkan teori budaya demokrasi terdapat pelanggaran
terhadap prinsip yaitu pertama tingkat kebebasan atau kemerdekaan yang
diakui dan dipakai oleh warga Negara dan kedua adalah penghormatan
terhadap supremasi hukum oleh para calon yaitu mengkemas dengan budaya
dharma suaka memberikan sumbangan berupa barang, uang dan janji-janji
politik baik langsung bertemu dengan masyarakat pemilih maupun melakukan
pendekatan dengan tokoh masyarakat. Terdapat pula pelanggaran dari
Undang-Undang No 8 Tahun 2012 pasal 86 point j bahwa tidak dibenarkan
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
Kampanye Pemilu.
57
5.1.2
Bentuk
Political voluntarism, dengan mengikuti atau mendatangi TPS
memberikan pilihan kepada para calon yang sudah ditentukan. Kebanyakan
para informan memilih calon bukan gambar partai. Sedangkan faktor yang
mempengaruhi Political voluntarism dalam peningkatan partisipasi pemilih
karena adanya sumbangan ke kelompok. Sehingga Political voluntarism
pemilih Kabupaten Jembrana bukan murni dari hati nuraninya sendiri, namun
adanya faktor ajakan, keterikatan dengan kesepakatan kelompok. Faktor
ajakan, keterikatan dengan kesepakatan kelompok dapat juga sebagai faktor
pendorong dan penghambat Political voluntarism. Selain faktor tersebut,
kedekatan dengan pemilih secara emosional dan rasional juga merupakan
faktor pendorong Political voluntarism.
5.1.1
Model kebijakan yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini
adalah Kebijakan Pemilu bidang peningkatan partisipasi pemilih berdasarkan
Political voluntarism yang deliberatif. Artinya membiarkan pemilih
menentukan pilihannya sendiri, menilai calon berdasarkan hati dan logikanya
secara rasional karena pemilih itu memiliki kedudukan yang sama tanpa
adanya intimidasi dari anggota kelompok ataupun tokoh masyarakat.
Kebijakan yang ditempuh hendaknya mampu meningkatkan pemahaman
masyarakat tentang politik guna menumbuhkan kesadaran politik. dari
kesadaran politik ini akan tumbuh Political voluntarism.
58
5.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan berdasarkan simpulan hasil penelitian
adalah berikut ini.
5.2.1
Kepada para penyelenggara agar dibuatkan peraturan tentang pelarangan
pemberian sumbangan yang mempengaruhi kesukarelaan masyarakat dalam
pemilu legislatif. Dengan pemberian hukuman atas pelanggaran. Agar
diarahkan pembuatan bahan kampanye dalam bentuk kartu nama, speciment
surat suara dan liflet/tabloid/Koran khusus yang memuat rekam jejak calon.
Lakukan sosialisasi yang lebih intens kepada seluruh elemen masyarakat.
Pendidikan politik hendaknya diutamakan kepada pemilih pemula dan tokoh
masyarakat dan dilakukan tidak hanya menjelang pemilu.
5.2.2
Kepada Calon Peserta Pemilu, agar memberikan pendidikan politik yang baik
kepada masyarakat. Jangan lagi pencitraan dengan memberikan janji atau
sumbangan yang mengikat pemilih. Setelah terpilih berlakulah adil bagi
semua masyarakat agar mengurangi fanatisme kedaerahan.
5.2.3
Kepada masyarakat hendaknya selalu berupaya mendapatkan informasiinformasi tentang perkembangan politik. Pemahaman politik masyarakat akan
meningkatkan partisipasi dan political volountarisme.
5.2.4
Kepada tokoh masyarakat, agar lebih proaktif mencari tahu tentang
kredibilitas dan performan calon. Para tokoh untuk menyerahkan sepenuhnya
keputusan kepada anggota kelompok tentang kesediaan calon melakukan
dharma suaka, serta memberi kebebasan kepada masyarakat untuk
59
menentukan sendiri pilihannya. Tokoh masyarakat hendaknya menjadi
perpanjangan tangan pemerintah dan partai politik untuk melakukan
pendidikan politik kepada anggotanya demi penikatan partisipasi dan political
voluntarism.
5.3 Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan yang dapat disampaikan terkait hasil penelitian
ini adalah tingkatkan pendidikan pemilih dengan memberikan pemahaman dan
penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya Political voluntarism mereka
berdasarkan hati nurani. Memberikan pengertian akan dampak dari Political
voluntarism yang bersyarat seperti transactional vote. Lakukan reformasi kebijakan
dengan mencantumkan pelarangan melakukan dharma suaka atau memberikan
sumbangan selama tahapan pemilu legislatif. Dengan memberikan edaran kepada
para ketua kelompok atau tokoh masyarakat masyarakat agar menolak menerima
calon atau partai politik yang berkehendak melakukan dharma suaka.
60
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, Jhon W., 2006, Research Design Qualitative, Quantitative, and mixed
methods approaches. London: Sage Publications.
Hajer. Marteen dan Wagenaar H, 2003. Deliberatif Policy Analysis Understanding
Governance in The Network Society. Cambrigde University Press, New
York.
Hardiman Budi, 2007. Filsafat Fragmentaris. Kanisius, Yogyakarta.
Hardiman Budi, 2009. Demokrasi Deliberatif. Kanisius, Yogyakarta.
Hardiman, Budi A.,1993. Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu Masyarakat,
Politik, dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Kanisius,
Yogyakarta.
Miles and Huberman, 2014. Qualitatif Data Analysis A Methods Sourcebook Edition
3. SAGE, Washinton DC.
Nasution, 2003. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Tarsito, Bandung.
Ndraha, Taliziduhu. 1993. Partisipasi Masyarakat. Jakarta : Yayasan Karya Dharma,
IIP Jakarta.
Raga Maran, Rafael. 2007. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta
Indonesia
Saifuddin Abdullah, 2001. Gerakan Kesukarelaan Menjana Perubahan Bermakna.
Majlis Belia Malaysia Yayasan Salam Malaysia Akademi Belia, Malaysia.
Strauss dan Corbin, 2009. Dasar-Dasar Penelitian, Tata Langkah dan Teknik-Teknik
Teoritisasi Data (Terjemahan). Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Satori dan Komariah, 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung.
Laman Pemkab Jembrana (pemkabjembrana.go.id)
http://mklh11demokrasi.blogspot.com/ 6 juni 2015
Adi Prasetijo (http://etnobudaya.net/2008/07/31/hubungan-patron-klien/)
61
Moh. Ikmal (https://mohammadikmal.wordpress.com/2013/12/18)
Margaretha Saulinas (http://demosindonesia.org/2014/02/traning-of-fasilitator-tofdan-ujicoba-pendidikan-pemilih-tentang-transaksi-politik-dalam-pemilu/)
Diah Setiawaty (https://www.academia.edu/11158815)
elib.unikom.ac.id/download.php?id=215780 Translate this page by A MUSLIM
62
PANDUAN WAWANCARA
Narasumber : MASYARAKAT
A. BENTUK VOLUNTARISME
1. apakah bapak/ibu memilih secara sukarela pada saat pileg?
2. Kesukarelaan seperti apa yang bapak/ibu ketahui?
3. Apakah bapak/ibu menilai caleg/parpol secara obyektif?
4. Apakah bapak/ibu memilih karena subyektif
(kedekatan/kerabat/saudara/sekampung dsb)
5. Apakah pada saat proses pemilihan bapak diberikan bantuan/sumbangan kepada
kelompok masyarakat?
6. Berapa banjar, kelompok masy, dadia yg diberi sumbangan atau bantuan?
7. Berapa banyak yh memilih seauai kesepakatan di TPS bapak/ibu?
8. Bagaimana reaksi pemilih ketika diberikan arahan untuk.memilih pada saat
simakrama?
B. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT
1. Bagaimana pengaruh faktor tingkat pendidikan akan mempengaruhi kesukarelaan
pemilih memilih pada saat pileg?
2. Bagaimana pengaruh faktor kesamaan kepentingan akan mempengaruhi
kesukarelaan bapak/ibu untuk memilih?
3. Bagaimana cara pada saat pileg para caleg melakukan pendekatan kepada para
tokoh?
4. Apakah pendekatan kepada tokoh-tokoh memberikan andil kepada kesukarelaan
pemilih memilih caleg?
5. Pada saat pileg pasti ada caleg yang mendekati bapak/ibu untuk memilih secara
sukarela kepada caleg tertentu, tetapi akhirnya dia tidak memilih caleg ybs, Kenapa
bapak/ibu tidak sukarela memilih ybs?
6. Adakah tidak adanya surat panggilan memilih/tidak terdaftarnya pemilih dalam
DPT mengakibatkan bapak/ibu/saudaranya tidak memilih?
7. Apa yang bapak lakukan sebelum memilih?
8. Apa yang bapak lakukan pada masa kampanye?
9. Apa saja alat peraga kampanye yang bapak/ibu senangi? Bagaimana bapak/ibu
menerima informasi kampanye?
10. Bagaimana pengaruh alat peraga kampanye terhadap kesukarelaan bapak/ibu
untuk memilih?
11. Bagaimana peran keterikatan banjar, desa, dan dadia dalam memepengaruhi
bapak/ibu memilih caleg secara sukarela? Diantara sekian mana yang paling
berpengaruh?
12. bagaimana pengaruh pemerintah dalam menumbuhkan keskarelaan pemilih?
13. Bagaimana pengaaruh pengusaha dalam menumbuhkan kesukarelaan pemilih
memilih?
14. Apakah faktor pengusaha yang tidak meliburkan karyawannya pada saat pemilu
mengurangi minat untuk memilih?
15. Tindakan pemerintah seperti apa yang menghambat atau mendorong bapak/ibu
untuk memilih caleg secara sukarela?
16. Bagaimana pengaruh hubungan sosial maupun konflik terhadap kesukarelaan
bapak/ibu untuk memilih?
C. KEBIJAKAN MENINGKATKAN VOLUNTARISME :
1. Apakah sosialisasi yang dilakukan KPU Memberi sumbangsih bagi kesukarelaan
bapak/ibu untuk memilih caleg?
2. Apakah pendekatan/arahan tokoh-tokoh kepda pengikutnya mempengaruhi
kesukarelaan memilih?
3. Apakah pendidikan pemilih berdapak pada kesukarelaan pemilih?
4. Apakah baliho/spanduk/iklan dikoran beperngaaruh kepada kesukarelaan
bapak/ibu untuk memilih?
5. Apakah pemilh memilih nama caleg dalam pileg?
6. Bagaimana bapak/ibu mendapatkan pendidika politik?
7. Perlukah KPU Memberikan pendidikan politik kepada para tokoh agar mereka
mampu secara sukarela mendidik masyarakatnya terhadap pemahaman politik?
8. Apakah alat peraga berupa surat suara membatu pemilih untuk memilih secara
sukarela?
9. Bagaimana pengaruh pendidikan politik kepada pemilih pemula terhadap
kesukarelaan bapak/ibu memilih caleg?
PANDUAN WAWANCARA
Narasumber : POLITISI
A. BENTUK VOLUNTARISME
1. Sampai akhirnya bapak terpilih jadi anggota dewan, menurut bapak apakah pemilih
memilih bapak secara sukarela?
2. Kesukarelaan seperti apa yang bapak ketahui?
3. Apakah pemilih yang memilih bapak menilai bapak secara obyektif?
4. Apakah pemilih yang memilih bapak karena subyektif
(kedekatan/kerabat/saudara/sekampung dsb)
5. Apakah pada saat proses pemilihan bapak memberikan bantuan/sumbangan kepada
kelompok masyarakat?
6. Berapa banjar, kelompok masy, dadia yg bapak beri sumbangan atau bantuan?
7. Berapa banyak banjar, kelompok msyarakat yg ada di dapil bapak?
8. Bagaimana reaksi pemilih ketika diberikan arahan untuk.memilih bapak pada saat
simakrama?
B. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT
1. Bagaimana pengaruh faktor tingkat pendidikan akan mempengaruhi kesukarelaan
pemilih memilih bapak?
2. Bagaimana pengaruh faktor kesamaan kepentingan akan mempengaruhi
kesukarelaan pemilih?
3. Bagaimana canya pada saat pileg bapak melakukan pendekatan kepada para tokoh?
4. Apakah pendekatan kepada tokoh-tokoh memberikan andil kepada kesukarelaan
pemilih memilih bapak?
5. Pada saat pileg pasti ada pemilih yang bapak dekati untuk memilih secara sukarela,
tetapi akhirnya dia tidak memilih bapaka, Kenapa pemilih tidak sukarela memilih
bapak?
6. Adakah tidak adanya surat panggilan memilih/tidak terdaftarnya pemilih dalam
DPT mengakibatkan konstituen bapak tidak memilih bapak?
7. Apa yang bapak lakukan sebelum menjadi calon?
8. Apa yang bapak lakukan pada masa kampanye?
9. Apa saja alat peraga kampanye yang bapak miliki? Bagaimana bagaimana bapak
menyampaikannya kepada konstituen?
10. Bagaimana pengaruh alat peraga kampanye bapak terhadap kesukarelaan pemilih
untuk memilih bapak?
11. Bagaimana peran keterikatan banjar, desa, dan dadia dalam memepengaruhi
konstituen bapak memilih bapak secara sukarela? Diantara sekian mana yang paling
berpengaruh?
12. bagaimana pengaruh pemerintah dalam menumbuhkan keskarelaan pemilih
meilih bapak?
13. Bagaimana pengaaruh pengusaha dalam menumbuhkan kesukarelaan pemilih
memilih bapak?
14. Apakah faktor pengusaha yang tidak meliburkan karyawannya pada saat pemilu
mengurangi dukungan terhadap bapak?
15. Tindakan pemerintah seperti apa yang menghambat atau mendorong konstituen
bapak untuk memilih bapak secara sukarela?
16. Bagaimana pengaruh hubungan sosial maupun konflik terhadap kesukarelaan
konstituen bapak untuk memilih?
C. KEBIJAKAN MENINGKATKAN VOLUNTARISME :
1. Apakah sosialisasi yang dilakukan KPU Memberi sumbangsih bagi kesukarelaan
pemilih memilih bapak?
2. Apakah pendekatan/arahan tokoh-tokoh kepda pengikutnya mempengaruhi
kesukarelaan pemilih memilih bapak?
3. Apakah pendidikan pemilih berdapak pada kesukarelaan pemikih memilih bapak?
4. Apakah baliho/spanduk/iklan dikoran beperngaaruh kepada kesukarelaan pemilih
memilih bapak?
5. Apakah pemilh memilih nama bapak dalam pileg?
6. Bagaimana bapak melakukan pendidika politik bagi konstituen bapak?
7. Perlukah KPU Memberikan pendidikan politik kepada para tokoh agar mereka
mampu secara sukarela mendidik masyarakatnya terhadap pemahaman politik?
8. Apakah alat peraga berupa surat suara membatu pemilih untuk memilih bapak
secara sukarela?
9. Bagaimana pengaruh pendidikan politik kepada pemilih pemula terhadap
keaukarelaan mereka memilih bapak?
JADWAL KEGIATAN TAHAPAN PENELITIAN
NO
KEGIATAN
1
1
2
3
4
2
Observasi awal
Data Awal
Penyusunan Proposal
Pengajuan proposal
5
Penandatanganan
MoU
Pengajuan Ijin
Penelitian
Penyusunan draft
wawancara
Ke lapangan Riset
Penyusunan Laporan
Penyampaian laporan
ke KPU Kab.
Jembrana
6
7
8
11
12
JADWAL (tahun 2015)
JUNI
JULI
AGUSTUS
3
4
5
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
KETE
RANG
AN
6
Download