LAPORAN HASIL PENELITIAN POLITICAL VOLUNTARISM DALAM PENINGKATAN PARTISIPASI PEMILIH (Studi Penelitian Pemilu Tahun 2014 Di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali) Peneliti : Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos.,M.AP. Dr. Nyoman Suartha, SE., SH., M.Si. Dr. Ni Putu Tirka Widanti, M.M.,MBA. Dr. Drs. Nyoman Sura Aditanaya, M.Si. Dr. Drs. A.A. Gede Raka, M.Si. Nyoman Diah Utari Dewi, STP.,M.AP UNIVERSITAS NGURAH RAI DENPASAR 2015 i UNIVERSITAS NGURAH RAI PROGRAM PASCASARJANA Magister Ilmu Administrasi (SK BAN-PT No.: 020/BAN-PT/Ak.VIII/S2/I/2011) Magister Ilmu Hukum (SK MENDIKBUD NO.: 525/E/0/2014 SEKRETARIAT : Jalan Padma, Penatih Telp / Fax 0361.4713030 Denpasar Website : www.unr.ac.id – Email : [email protected] HALAMAN PENGESAHAN 1 Judul : Political Voluntarism dalam Peningkatan Partisipasi Pemilih (Studi Penelitian Pemilu tahun 2014 di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali) 3 Peneliti a. Nama : b. c. d. e. f. g. : : : : : : Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos.,M.AP 0029067504 Lektor III/b Ilmu Administrasi Publik 08124675413 [email protected] Magister Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Ngurah Rai Denpasar 3 Bulan 4 NIDN Jabatan Fungsional Program Studi No HP Alamat Surat / Email Lembaga Lama Penelitian Keseluruhan Biaya Penelitian a. Dari DIPA KPU Kab. Jembrana : : : Rp. 10.000.000,- Denpasar, Agustus 2015 Mengetahui Direktur PPS UNR, Peneliti, Dr. Nyoman Suartha,SE.,SH.,M.Si NIDN. 0011035406 Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos.,M.AP NIDN. 0029067504 Mengetahui Ketua LPPM Universitas Ngurah Rai Yudistira Adnyana, SE.,M.Si NIDN. 0811037301 ii SUSUNAN ANGGOTA TIM PENELITI 1. 2. 3. 4. 5. 6. Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos.,M.AP. (Ketua Tim) Dr. Nyoman Suartha, SE., SH., M.Si. (Anggota Tim) Dr. Ni Putu Tirka Widanti, M.M.,MBA. (Anggota Tim) Dr. Drs. Nyoman Sura Aditanaya, M.Si. (Anggota Tim) Dr. Drs. A.A. Gede Raka, M.Si. (Anggota Tim) Nyoman Diah Utari Dewi, STP.,M.AP (Anggota Tim) iii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia beliau maka penelitian dengan judul “Analisis Political Voluntarism Dalam Peningkatan Partisipasi Pemilih (Studi Penelitian Pemilihan umum Tahun 2014 di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali)”, dapat terselesaikan. Disadari bahwa penelitian ini karena keterbatasan sumber daya, maka diperlukan sumbang saran dan pemikiran bagi para pembaca yang bersifat konstruktif. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan stakehoders pemilu baik dalam penyelenggaraan maupun dalam merumuskan kebijakan manajemen pemilu selanjutnya. Denpasar, Agustus 2015 Peneliti iv ABSTRAK Banyak faktor yang mendasari tingkat partisipasi pemilih, salah satunya adalah pentingnya kesukarelaan politik (political voluntarism) warga pemilih. Sangat disadari bahwa sangat sulit menggugah hati warga pemilih supaya secara sukarela dengan hati yang tulus, menyadari akan hak dan kewajibannya memberikan suara dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sehingga perlu dilakukan kajian berupa riset dengan batasan fokus permasalahan adalah: Bagaimanakah political voluntarism dalam partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 di Kabupaten Jembrana? 2) Bagaimanakah bentuk political voluntarism dan apakah faktor yang mempengaruhi (pendukung dan penghambat) ? dan 3) Bagaimanakah model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism ? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis ketiga permasalahan tersebut. Metode penelitian yang dipergunakan adalah jenis deskriptif dan pendekatan kualitatif, penentuan informan berdasarkan purposive sampling dan teori yang dipakai menganalisis adalah budaya demokrasi dan demokrasi deliberatif. Hasil penelitian adalah 1) Masyarakat Kabupaten Jembrana memiliki partisipasi yang cukup tinggi dalam pemilu legislatif tahun 2014. Political voluntarism dalam partisipasi masyarakat Kabupaten Jembrana adalah political voluntarism yang terbatas. Terdapat pelanggaran terhadap prinsip demokrasi yaitu tingkat kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga Negara dan penghormatan terhadap supremasi hukum. Terdapat pelanggaran dari UndangUndang No 8 Tahun 2012 pasal 86 point j. 2) Bentuk Political voluntarism, dengan mengikuti atau mendatangi TPS memberikan pilihan kepada para calon. Faktor yang mempengaruhi sekaligus sebagai faktor pendorong dan penghambat Political voluntarism dalam peningkatan partisipasi pemilih berupa dharma suaka dengan memberikan sumbangan kepada kelompok masyarakat, faktor ajakan, keterikatan terhadap kesepakatan kelompok. Selain faktor tersebut, kedekatan dengan pemilih secara emosional dan rasional juga merupakan faktor pendorong Political voluntarism. 3) Model kebijakan yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah Kebijakan Pemilu bidang peningkatan partisipasi pemilih berdasarkan Political voluntarism yang deliberatif. Kata Kunci : Political Voluntarism, Partisipasi Pemillih dan Pemilu Legislatif. v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ii KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv ABSTRAK .................................................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................................ vi DAFTAR TABEL ...................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................... 3 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 5 2.1 Konsep ........................................................................................................ 5 2.1.1 Kesukarelaan atau Political Voluntarism .................................................... 5 2.1.2 Partisipasi .................................................................................................... 6 2.1.3 Pemilu Legislatif tahun 2014 ...................................................................... 8 2.2 Landasan Teori ............................................................................................ 9 2.1.1 Budaya Demokrasi ...................................................................................... 9 2.1.2 Kebijakan deliberatif ................................................................................. 17 2.3 Kerangka pemikiran .................................................................................. 18 BAB III METODE PENELITIAN............................................................................. 20 3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian................................................................ 20 3.2 Sumber Data .............................................................................................. 20 3.3 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 21 3.4 Metode Penentuan Informan ..................................................................... 21 3.5 Metode analisis Data ................................................................................. 22 vi 3.7 Lokasi Penelitian ....................................................................................... 22 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................................... 23 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ...................................................................... 23 4.2.1 Political voluntarism dalam partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 di Kabupaten Jembrana ................................................................................. 32 4.2.2 Bentuk Political Voluntarism dan Faktor Yang Mempengaruhi (pendukung dan penghambat) pemilih di Kabupaten Jembrana ............... 36 4.2.3 Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana ................................. 40 4.3 Pembahasan Hasil Penelitian .................................................................... 42 4.3.1 Political voluntarism dalam Partisipasi warga pemilih ............................ 42 4.3.2 Bentuk political voluntarism dan faktor yang mempengaruhi (pendukung dan penghambat) warga pemilih di Kabupaten Jembrana ........................ 44 4.3.3 Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana ................................. 46 BAB V PENUTUP..................................................................................................... 57 5.1 Simpulan ................................................................................................... 57 5.2 Saran .......................................................................................................... 59 5.3 Rekomendasi Kebijakan............................................................................ 60 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 61 vii DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin tahun 2008 s/d 2014 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Wilayah tahun 2008 s/d 2014 Tabel 4.3 Jumlah DPT, Jumlah Pengguna dan Prosentase Partisipasi Pemilih dalam Pemilu 2009 s/d 2014 viii DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktik dalam negara berdemokrasi, yang menjadi elemen terpenting adalah partisipasi pemilih terlebih untuk demokrasi perwakilan. Partisipasi pemilih merupakan pondasi dari praktik demokrasi perwakilan. Sebagai pondasi, tentunya harus kuat dan legitimit. Namun pada kenyataannya, sampai saat ini persoalan partisipasi pemilih masih menggantung dan selalu menjadi permasalahan yang sangat mendasar dalam setiap pelaksanaan pemilu. Partisipasi pemilih tetap berada pada ruang abu-abu dan bahkan masih berada pada sisi gelap dari proses pelaksanaan pemilu. Banyak faktor yang mendasari tingkat partisipasi pemilih, salah satunya adalah pentingnya kesukarelaan politik (political voluntarism) warga pemilih. sangat disadari bahwa sangat sulit menggugah hati warga pemilih supaya secara sukarela dengan hati yang tulus, menyadari akan hak dan kewajibannya memberikan suara dalam setiap pelaksanaan pemilu. Seperti yang terjadi di wilayah Kabupaten Jembrana, di mana tingkat partisipasi pemilih masih kurang disebabkan oleh beberapa aspek antara lain: pertama, aspek geografis, di mana secara kewilayahan Kabupaten Jembrana memiliki sebaran wilayah yang sangat luas. Kedua aspek kependudukan, karena wilayah yang luas sehingga penduduk di pedesaan sangat sulit menjangkau wilayah perkotaan sebagai pusat kota dan pemerintahan. Ketiga aspek sosiologis yaitu selama 1 penyelenggaraan pemilu tahun 2014 sering terjadi konflik diantaranya konflik antar penyelenggara, konflik penyelenggara dengan peserta pemilu dan konflik antar peserta pemilu berikut. Walaupun euphoria politik di Kabupaten Jembrana tidak begitu tinggi, namun ketegangan sering terjadi ketika tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Ditambahkan dengan atensi media massa lokal maupun nasional yang begitu intens melakukan liputan terhadap tahapan penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Jembrana. Barangkali lebih memicu ketegangan dan berakhir dengan konflik. Dengan permasalahan empiris yang sering terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Jembrana, maka di pandang perlu dan sangat penting untuk dilakukan kajian dengan melakukan penelitian. Agar mampu meminimalisir permasalahan yang sering terjadi dan dapat dicarikan solusi yang tepat sesuai dengan budaya setempat. Dengan demikian political voluntarism warga pemilih dapat ditumbuhkan, dikembangkan dan diperkuat. Serta hasil pemilu yang diperoleh lebih legitimit sehingga penyelenggaraan pemilu yang ideal yang menjadi idaman setiap stakeholders dapat tercapai. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan judul penelitian: ”Analisis Political Voluntarism dalam Peningkatan Partisipasi Pemilih (Studi Penelitian Pemilihan Umum Tahun 2014 Di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali)”. 2 1.2. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian seperti berikut ini. 1. Bagaimanakah political voluntarism dalam partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 di Kabupaten Jembrana? 2. Bagaimanakah bentuk political voluntarism dan apakah faktor yang mempengaruhi (pendukung dan penghambat) political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana ? 3. Bagaimanakah model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana ? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan melalui penelitian. Adapun tujuan penelitian adalah seperti berikut ini. 1. Untuk mengetahui dan menganalisis political voluntarism dalam partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 di Kabupaten Jembrana? 2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk political voluntarism dan faktor yang mempengaruhi (pendukung atau penghambat) warga pemilih di Kabupaten Jembrana. 3. Untuk menemukan model kebijakan agar dapat menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana. 3 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan input terhadap implementasi pemilu oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan juga oleh masyarakat pemilih, serta sebagai bahan untuk perumusan kebijakan manajemen pemilu di masa mendatang oleh KPU RI dan khususnya oleh KPU Kabupaten Jembrana demi terwujudnya Pemilu yang Good Governance dan clean Governance. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Konsep Kesukarelaan atau Political Voluntarism Mengutip pendapat Saifuddin Abdullah (2001) Konsep “sukarela”, menurut Kamus Dewan, bermakna “dengan kehendak sendiri, tidak dipaksa, tidak diajak dan dengan rela hati”. Manakala perkataan “kesukarelaan” pula membawa makna “sikap sukarela”. Selanjutnya, mereka yang melakukan sesuatu dengan sukarela disebut “sukarelawan”. Berasaskan makna tersebut, kesukarelaan dapat dimaksudkan sebagai melakukan sesuatu dengan kehendak sendiri, tidak dipaksa atau diajak, dengan niat yang ikhlas atau setulus hati dan dengan tidak mengharapkan apaapa kepada diri sendiri. Dalam bahasa lain, misalnya bahasa Inggeris, terdapat perkataan “voluntarism” yang menurut The Reader’s Digest-Oxford Wordfinder, membawa erti “the principle of relying on voluntary action rather than compulsion; the doctrine that the will is a fundamental or dominant factor in the individual or the universe; the doctrine that the Church or schools should be independent of the state and supported by voluntary contributions”. Ketika konsep “voluntary” bermaksud “done, acting or able to act of one’s free will; unpaid work; built, brought about, produced, maintained, etc., by voluntary action or contribution”. konsep “volunteer” pula merujuk “a person who 5 voluntarily undertakes a task or enters a military or other service, undertakes or offer one’s services, be a volunteer”. (Saifuddin, 2001; hal 7). Konsep “kesukarelaan” biasanya digabungkan dengan perkataan “khidmat” atau “pelayanan” (service). Makna perkhidmatan juga berbeda-beda dari seorang ke seorang. Bagi sebagian orang, ia mungkin bermaksud “satu tradisi atau tanggungjawab agama atau moral”. Orang kedua mungkin melihatnya sebagai “suatu perlakuan yang jelas, yang tidak sentimental dan merupakan semangat pertemanan”. selanjutnya orang ketiga bisa saja melihatnya sebagai “bukan saja kebaikan kemanusiaan, malahan peluang untuk belajar tentang mereka yang diberikan bantuan”. (Saifuddin, 2001; hal 9). Dalam kerangka konsep yang luas ini, dapat dikenalkan dalam empat bentuk kerja atau program kesukarelaan, yaitu: a) bantuan sendiri (self-help atau mutual aid), b) kedermawanan (philanthropy) atau bakti pada orang lain, c) partisipasi, dan d) advokasi. (Saifuddin, 2001; hal 11). 2.1.2 Partisipasi Pengertian partisipasi sangat luas dan para pakar mengartikan partisipasi dengan berbagai definisi. Penjelasan partisipasi mengacu kepada partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat, maka menurut Mubyarto (1994:35) merupakan kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Davis (dalam Ndraha, 1993:37) mengartikan partisipasi sebagai suatu dorongan mental dan emosional yang menggerakan mereka untuk bersama-sama mencapai tujuan dan bersamasama 6 bertanggung jawab. Secara sederhana partisipasi merupakan peran serta masyarakat terhadap sebuah atau berbagai kegiatan dalam kehidupannya yang sifatnya sosial (memasyarakat). Faktor-Faktor Partisipasi Politik Adapun menurut Milbrath dalam Maran (2007:156) menyebutkan dua faktor utama yang mendorong orang berpartisipasi politik, bahwa adanya faktor pendukung dan faktor penghambat yang dimana di dalam faktor pendukung terdapat lima unsur diantaranya adanya perangsang politik, karakteristik pribadi seseorang, karakteristik sosial, situasi atau lingkungan politik, dan pendidikan politik. Dari dua faktor utama yang dikatakan Milbrath, terdapat faktor penghambat juga yang mendorong orang tidak berpartisipasi politik, unsur yang ada dalam faktor penghambat tersebut yaitu kebijakan induk yang selalu berubah, pemula yang otonom, dan dukungan yang kurang dari induk organisasi untuk mensukseskan. Lima faktor utama yang mendorong orang berpartisipasi politik, antara lain : 1. Sejauh mana orang menerima perangsang politik. Karena adanya perangsang, maka orang mau berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam hal ini minat berpatisipasi dipengaruhi misalnya sering mengikuti diskusi-diskusi politik melalui media masa atau melalui diskusi formal maupun informal. 2. Faktor karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang berwatak sosial yang mempunyai kepedulian sosial yang besar terhadap problem sosial, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam, biasanya mau terlihat dalam aktivitas politik. 7 3. Karakteristik sosial. Menyangkut status social ekonomi, kelompok ras, etnis, dan agama seseorang. Bagaimanapun juga lingkungan sosial itu ikut mempengaruhi persepsi, sikap perilaku seseorang dalam bidang politik. Oleh sebab itulah, mereka mau berpartisipasi dalam bidang politik. 4. Situasi atau lingkungan politik itu sendiri. Lingkungan politik yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam lingkungan politik yang demokratis orang merasa lebih bebas dan nyaman untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik dari pada dalam lingkungan politik yang otoriter. Lingkungan politik yang sering diisi dengan aktivitas-aktivitas brutal dan kekerasan dengan sendirinya menjauhkan masyarakat dari wilayah politik. 5. Pendidikan Politik. Ada pula yang menambahakan sebagai pendidikan politik sebagai warga Negara merupakan faktor pendukung lainnya yang sifatnya internal bagi suatu kelompok yang melaksanakan partisipasi politiknya. Milbrath dalam Maran (2007:156) 2.1.3 Pemilu Legislatif tahun 2014 Pemilu legislative merupakan salah satu jenis pemilu yang terlaksana dalam tahun 2014 di Kabupaten Jembrana Khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2009 atau Pileg 2009) diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan 8 Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) seIndonesia periode 2009-2014. Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka yang perhitungannya didasarkan pada sejumlah daerah pemilihan, dengan peserta pemilu adalah partai politik. Pemilihan umum ini adalah yang pertama kalinya dilakukan dengan penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut (pemilih memilih calon anggota DPR, bukan partai politik). 2.2 Landasan Teori Referensi sebagai landasan teori untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini adalah Budaya demokrasi dan model kebijakan deliberatif. 2.1.1 Budaya Demokrasi Istilah Demokrasi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratein” yang berarti memerintah atau “kratos”. Tokoh-tokoh yang mempunyai andil besar dalam memperjuangkan demokrasi, misalnya : John Locke (dari Inggris), Montesquieu (dari Perancis), dan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln. Menurut John Locke ada dua asas terbentuknya negara. Pertama, pactum unionis yaitu perjanjian antar individu untuk membentuk negara. Kedua, pactum suvjektionis, yaitu perjanjian negara yang dibentuknya. Abraham Lincoln berpendapat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (democracy is government of the people, by the people, for the people). 9 Ada dua asas pokok tentang demokrasi, yaitu sebagai berikut : a. Pengakuan partisipasi rakyat di dalam pemerintahan. b. Pengakuan hakikat dan martabat manusia HAM. Prinsip-prinsip Demokrasi dapat diuraikan berikut ini. a. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik. b. Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu antara warga negara. c. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga negara. d. Penghormatan terhadap supremasi hukum. Prinsip demokrasi yang didasarkan pada konsep di atas (rule of law), antara lain sebagai berikut : a. Tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang; b. Kedudukan yang sama dalam hukum; c. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang. Makna Budaya Demokrasi Pertama kali demokrasi diterapkan di Yunani di kota Athena dengan demokrasi langsung, yaitu pemerintahan dimana seluruh rakyat secara bersama-sama diikutsertakan dalam menetapkan garis-garis besar kebijakan pemerintah negara baik dalam pelaksanaan maupun permasalahannya. Budaya Prinsip Demokrasi Pada hakikatnya demokrasi adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan adalah 10 kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat. Hikmah kebijaksanaan adalah penggunaan akal pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa. Permusyawaratan adalah tata cara khas kepribadian Indonesia dalam merumuskan dan memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga mencapai mufakat. Isi pokok-pokok demokrasi Pancasila, antara lain sebagai berikut : a. Pelaksanaan demokrasi harus berdasarkan Pancasila sesuai dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. b. Demokrasi harus menghargai hak asasi manusia serta menjamin hak-hak minoritas. c. Pelaksanaan kehidupan ketatanegaraan harus berdasarkan berdasarkan atas kelembagaan. d. Demokrasi harus bersendikan pada hukum seperti dalam UUD 1945. Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Demokrasi Pancasila juga mengajarkan prinsip-prinsip, antara lain sebagai berikut: a. Persamaan b. Keseimbangan hak dan kewajiban c. Kebebasan yang bertanggung jawab d. Musyawarah untuk mufakat. e. Mewujudkan rasa keadilan sosial. 11 f. Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan. g. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional. Ada 11 prinsip yang diyakini sebagai kunci untuk memahami perkembangan demokrasi, antara lain sebagai berikut : a. Pemerintahan berdasarkan konstitusi b. Pemilu yang demokratis c. Pemerintahan lokal (desentralisasi kekuasaan) d. Pembuatan UU e. Sistem peradilan yang independen f. Kekuasaan lembaga kepresidenan g. Media yang bebas h. Kelompok-kelompok kepentingan i. Hak masyarakat untuk tahu j. Melindungi hak-hak minoritas k. Kontrol sipil atas militer Di Indonesia istilah civil society” baru popular tahun 1990-an, pada masa berkembangnya keterbukaan politik. Masyarakat madani mencerminkan tingkat kemampuan dan kemajuan masyarakat yang tinggi untuk bersikap kritis dan partisipatif dalam menghadapi berbagai persoalan sosial. Ciri-ciri Masyarakat Madani Masyarakat madani (civil society) sering diterjemahkan yaitu bidang kehidupan sosial yang terorganisasi secara sukarela. Substansi civil society mencakup 12 lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok yang sangat luas baik formal maupun non formal yang meliputi bidang ekonomi, kebudayaan, keagamaan, pendidikan dan informasi, kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), pembangunan atau organisasi kemasyarakatan lainnya. Menurut Hikam ada empat ciri utama masyarakat madani, yaitu sebagai berikut : a. Kesukarelaan, artinya tidak ada paksaan, namun mempunyai komitmen bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama. b. Keswasembadaan, artinya setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi, kemandirian yang kuat tanpa menggantungkan pada negara, atau lembaga atau organisasi lain. c. Kemandirian tinggi terhadap negara, artinya masyarakat madani tidak tergantung pada perintah orang lain termasuk negara. d. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum, artinya terkait pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Ciri khas masyarakat madani Indonesia adalah sebagai berikut: a. Kenyataan adanya keragaman budaya Indonesia yang merupakan dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional. b. Pentingnya saling pengertian di antara sesama anggota masyarakat. c. Ada toleransi yang tinggi d. Adanya kepastian hukum. Kendala yang Dihadapi Bangsa Indonesia 13 Antara lain sebagai berikut : a. Belum tertanamnya jiwa kemandirian bangsa Indonesia b. Kurangnya kesadaran pada hukum yang berlaku. c. Masih rendahnya tingkat kesukarelaan dan keswasembadaan pada setiap warga negara. d. Masih kurangnya perangkat hukum. e. Masih rendahnya sumber daya manusia bila dibandingkan dengan negara lain. Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kendala yang dihadapi seperti tersebut di atas antara lain sebagai berikut : a. Meningkatkan jiwa kemandirian melalui kegiatan perekonomian dengan adanya bapak angkat perusahaan. b. Meningkatkan kesadaran hukum melalui berbagai media sosialisasi politik. c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. d. Menciptakan perangkat hukum yang memadai dan berkeadilan sosial. e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai kegiatan. f. Mengembangkan media komunikasi politik di berbagai lingkungan kerja. g. Menanamkan sikap positif pada proses demokratisasi di Indonesia pada setiap warga negara. Perilaku Budaya Demokrasi Dalam rangka mengoptimalkan perilaku budaya demokrasi maka sebagai generasi penerus yang akan mempertahankan negara demokrasi, perlu mendemonstrasikan bagaimana peran serta kita dalam pelaksanaan pesta demokrasi. 14 Prinsip-prinsip yang patut kita demonstrasikan dalam kehidupan berdemokrasi, antara lain sebagai berikut : a. Membiasakan untuk berbuat sesuai dengan aturan main atau hukum yang berlaku. b. Membiasakan bertindak secara demokratis bukan otokrasi atau tirani. c. Membiasakan untuk menyelesaikan persoalan dengan musyawarah. d. Membiasakan mengadakan perubahan secara damai tidak dengan kekerasan atau anarkis. e. Membiasakan untuk memilih pemimpin melalui cara-cara yang demokratis. f. Selalu menggunakan akal sehat dan hati nurani luhur dalam musyawarah. g. Selalu mempertanggungjawabkan hasil keputusan musyawarah baik kepada Tuhan, masyarakat, bangsa, dan negara. h. Menggunakan kebebasan dengan penuh tanggung jawab. i. Membiasakan memberikan kritik yang bersifat membangun. Perilaku Budaya Demokrasi dalam Lingkungan Keluarga dapat diuraikan berikut ini. a. Lingkungan Keluarga a. Membiasakan diri untuk menempatkan anggota keluarga sesuai dengan kedudukannya. b. Membiasakan mengatasi dan memecahkan masalah dengan jalan musyawarah mufakat. c. Saling menghargai perbedaan pendapat masing-masing anggota keluarga. d. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. 15 b. Lingkungan Sekolah a. Berusaha selalu berkomunikasi individual. b. Ikut serta dalam kegiatan politik di sekolah seperti pemilihan ketua OSIS, ketua kelas, maupun kegiatan yang lain yang relevan. c. Berani mengajukan petisi (saran/usul). d. Berani menulis artikel, pendapat, opini di majalah dinding. e. Selalu mengikuti jenis pertemuan yang diselenggarakan OSIS. f. Berani mengadakan kegiatan yang merupakan realisasi dari program OSIS dan sebagainya. c. Lingkungan masyarakat a. Bersama-sama menjaga kedamaian masyarakat. b. Berusaha mengatasi masalah yang timbul dengan pemikiran yang jernih. c. Mengikuti kegiatan rembug desa. d. Mengikuti kegiatan kerja bakti. e. Bersama-sama memberikan usulan demi kemajuan masyarakat. Ada beberapa contoh perilaku yang dapat mendukung tegaknya prinsipprinsip demokrasi, antara lain sebagai berikut : a. Menghindarkan perbuatan otoriter. b. Melaksanakan amanat rakyat. c. Melaksanakan hak tanpa merugikan orang lain. d. Mengembangkan toleransi antarumat beragama. e. Menghormati pendapat orang lain. 16 f. Senang ikut serta dalam kegiatan organisasi misalnya OSIS, Pramuka, PMR dan sebagainya. g. Menentukan pemimpin dengan jalan damai melalui pemilihan. h. Menerima perbedaan pendapat. 2.1.2 Kebijakan deliberatif Konsep deliberatif merupakan pasangan dari istilah demokrasi, untuk mengetahui makna deliberatif akan diuraikan berikut ini. Uraian deliberatif akan dikutip dari karya Hardiman Budi. Istilah deliberatif/deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio selanjutnya dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah deliberation berarti “konsultasi”, menimbang-nimbang atau dalam istilah politis di Indonesia sebagai musyawarah. Semua arti leksikal ini harus ditempatkan dalam konteks “publik” atau “kebersamaan secara politis” (Hardiman, 2009 h. 128). Menurut Rainer Forst yang dikutip oleh Hardiman merumuskan demokrasi deliberatif berikut ini : Demokrasi deliberatif adalah bahwa bukan berarti berdasarkan jumlah dari kehendak individu atau jumlah dari kehendak umum sebagai sumber legitimasi. Sumber legitimasi yang dimaksud dalam demokrasi deliberatif adalah adanya argumentasi dalam perdebatan secara bersamasama dalam membuat keputusan yang bersifat terbuka terhadap perbaikan dan sementara. (Hardiman, 2009 h.130). Maksud dari pernyataan Forst bahwa sebuah keputusan bukan dari hasil keputusan perorangan atau kelompok tertentu. Akan tetapi keputusan yang diambil 17 berdasarkan keinginan atau kesepakatan secara bersama-sama dari seluruh anggota kelompok tanpa adanya diskriminasi. Keputusan yang diambil bukan sebuah harga mati tetapi bersifat fleksibel, terbuka untuk dilakukan pembenahan atau perbaikan tergantung dari kebutuhan serta keinginan anggota. Sehingga keputusan yang diambil bersifat keadilan dan kebersamaan. Jadi benang merah dari teori deliberatif adalah sebuah proses musyawarah dalam perumusan keputusan yang bersifat fleksibel, terbuka berasaskan prinsip kebersamaan dan keadilan. Asas kebersamaan dan keadilan sebagai bagian dari prinsip good governance. Implementasi good governance dalam analisis kebijakan diberi nama deliberatif policy analysis oleh Maarten Hajer dan Hendrik Wagenaar (2003). Keduanya mengembangkan deliberatif analysis atau sebagai proses analisis kebijakan publik model “musyawarah”. Model ini sebagai sebuah fakta ketika masyarakat demokrasi modern bergerak menuju network society, atau masyarakat jejaring. Hajer menguraikan lima elemen dalam masyarakat jejaring, dengan uraian berikut ini. Pengambilan Kebijakan dan Politik dalam masyarakat jejaring ada 5 (lima) tantangan untuk kegiatan analisis yaitu : 1. Ruang baru untuk politik; 2. Politik dan pengambilan kebijakan di bawah ketidaktentuan kondisi radikal; 3. Peningkatan perbedaan kepentingan untuk pemahaman bersama tentang politik; 4. Perbuatan akan kesadaran saling ketergantungan; 5. Pengambilan kebijakan dan dinamika kepercayaan. (Hajer, 2003 h. 8-12). 2.3 Kerangka pemikiran Kerangka berpikir penelitian dapat digambarkan berikut ini. 18 PEMILU 2.4 Demokrasi Budaya Proses political Voluntarism dalam partisipasi pemilih Demokrasi deliberatif Bentuk dan Faktor yang mempengaruhi munculnya political Voluntarism Model kebijakan Naiknya political voluntarism pemilih po Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis dan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Alasan penentuan pendekatan kualitatif berdasarkan pendapat Staruss dan Corbin yaitu “Metode kualitatif dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif” (Strauss dan Corbin, 2009; 5). Demikian dengan penelitian ini karena menyangkut sikap pemilih tentang konsep kesukarelaan (voluntarism), sangat sulit ditentukan dengan hitungan kuantitatif. Sehingga peneliti lebih tepat memilih metode kualitatif. 3.2 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah pertama, data primer berupa data yang diperoleh melalui observasi seperti bentuk kesukarelaan atau political voluntarism dan hasil wawancara secara mendalam terhadap informan yang telah ditetapkan. Kedua adalah data sekunder berupa data yang diperoleh dari dokumen hasil pemilu tahun 2014 di KPU Kabupaten Jembrana, seperti jumlah prosentase tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Jembrana. 20 3.3 Metode Pengumpulan Data Menurut Creswell, metode pengumpulan data kualitatif melalui beberapa cara yaitu “observasi, wawancara, dokumentasi (collect documents), audio visual” (Creswell, 2006; 21-23). Berdasarkan pendapat Creswell maka metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan: 1. Observasi (observation), yaitu pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian yang meliputi perilaku dan benda-benda yang digunakan dan dihasilkan, mengamati kondisi geografis lokus penelitian. 2. Dokumentasi (collect documents), yaitu pengumpulan data dengan penelusuran data historis yang mendukung pemecahan permasalahan penelitian. 3. Wawancara (depth interview), yaitu merupakan proses tanya jawab antara peneliti dengan informan secara berhadapan dengan tujuan mendapatkan data, keterangan, pendapat atau pandangan secara lisan. 3.4 Metode Penentuan Informan Metode penentuan sampel untuk penelitian ini berupa purposive sampling. Metode purposive sampling adalah “menentukan subjek/objek sesuai dengan tujuan. Artinya sampling adalah sebuah proses seleksi atau proses untuk mendapatkan orang, situasi, kegiatan, dokumen yang diperoleh dari sejumlah orang yang dapat mengungkapkan informasi terkait tujuan yang inginkan sesuai permasalahan”. (Satori dan Komariah, 2009; 47). 21 3.5 Metode analisis Data Metode analisis data, peneliti pergunakan metode analisis dari Miles dan Huberman (2014; 33), dengan tahapan seperti berikut ini: 1. Penyajian data, yaitu proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. 2. Condensation data, yaitu proses pemilahan yang lebih terfokus pada obyek permasalahan penelitian. 3. Verifying, yaitu melakukan pemeriksaan, pengujian terhadap kebenaran data yang diperoleh di lapangan. 4. Penarikan kesimpulan yaitu merupakan tahap akhir dari metode analisis data berupa penarikan kesimpulan atas temuan dan telah dilakukan verifikasi. 3.7 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Jembrana. Pemilihan lokus penelitian karena terjadi permasalahan empiris pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu terjadi konflik dan kurangnya political voluntarism warga pemilih dalam pemilihan umum khususnya pemilu tahun 2014. 22 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian Deskripsi daerah penelitian menggambarkan sejarah tentang lokus penelitian, keadaan penduduk, kondisi demografi, peta wilayah Kabupaten Jembrana dan partisipasi pemilih dalam pemilu. 4.1.1 Sejarah Kabupaten Jembarana Menyitir dari Web Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana, Peneliti deskripsikan sejarah kabupaten Jembarana yang diperoleh dari bukti-bukti arkeologis dapat di interprestasikan bahwa munculnya komunitas di Jembrana sejak 6000 tahun yang lalu. Dari perspektif semiotik, asal-usul nama tempat atau kawasan mengacu nama-nama fauna dan flora. Munculnya nama Jembrana berasal dari kawasan hutan belantara (Jimbar-Wana) yang dihuni raja ular (Naga-Raja). Sifat-sifat mitologis dari penyebutan nama-nama tempat telah mentradisi melalui cerita turuntemurun di kalangan penduduk. Berdasarkan cerita rakyat dan tradisi lisan (folklore) yang muncul telah memberi inspirasi di kalangan pembangun lembaga kekuasaan tradisional (raja dan kerajaan). Raja dan pengikutnya yaitu rakyat yang berasal dari etnik Bali Hindu maupun dari etnik non Bali yang beragama Islam telah membangun kraton sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama Puri Gede Jembrana pada awal abad XVII oleh I Gusti Made Yasa (penguasa Brangbang). Raja I yang memerintah di kraton (Puri) 23 Gede Agung Jembrana adalah I Gusti Ngurah Jembrana. Selain kraton, diberikan pula rakyat pengikut (wadwa), busana kerajaan yang dilengkapi barang-barang pusaka berupa tombak dan tulup. Demikian pula keris pusaka yang diberi nama "Ki Tatas" untuk memperbesar kewibawaan kerajaan. Tercatat bahwa ada tiga orang raja yang berkuasa di pusat pemerintahan yaitu di Kraton (Puri) Agung Jembrana. Sejak kekuasaan kerajaan dipegang oleh Raja Jembrana I Gusti Gede Seloka, Kraton (Puri) baru sebagai pusat pemerintahan dibangun. Kraton (Puri) yang dibangun itu diberi nama Puri Agung Negeri pada awal abad XIX. Kemudian lebih dikenal dengan nama Puri Agung Negara. Patut diketahui bahwa raja-raja yang memerintah di Kerajaan Jembrana berikutnya pun memusatkan birokrasi pemerintahannya di Kraton (Puri) Agung Negara. Patut dicatat pula bahwa ada dua periode birokrasi pemerintahan yang berpusat di Kraton (Puri) Agung Negara. Periode pertama ditandai oleh birokrasi pemerintahan kerajaan tradisional yang berlangsung sampai tahun 1855. Telah tercatat pada lembaran dokumen arsip pemerintahan Gubernemen bahwa kerajaan Jembrana yang otonom diduduki oleh Raja Jembrana V (Sri Padoeka Ratoe) I Goesti Poetoe Ngoerah Djembrana (1839 - 1855). Ketika berlangsung pemerintahannya lah telah ditandatangani piagam perjanjian persahabatan bilateral antara pihak pemerintah kerajaan dengan pihak pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Gubernemen) pada tanggal 30 Juni 1849. Periode kedua selanjutnya digantikan oleh birokrasi modern, melalui tata pemerintahan daerah (Regentschap) yang merupakan bagian dari wilayah 24 administratif Keresidenan Banyuwangi. Pemerintahan daerah Regentschap yang dikepalai oleh seorang kepala pribumi (Regent) sebagai pejabat yang dimasukkan dalam struktur birokrasi Kolonial Modern Gubernemen yang berpusat di Batavia. Status pemerintahan daerah (Regentschap) berlangsung selama 26 tahun (1856 1882). Pada masa Kerajaan Jembrana VI I Gusti Ngurah Made Pasekan (1855 1866) mengalami dua peralihan status yaitu 1855 - 1862 sebagai Raja Jembrana dan 1862 - 1866 sebagai status Regent (Bupati) kedudukan kerajaan berada di Puri Pacekan Jembrana. Ketika reorganisasi pemerintahan di daerah diberlakukan berdasarkan Staatblad Nomor 123 tahun 1882, maka untuk wilayah administratif Bali dan Lombok diberi status wilayah administratif Keresidenan tersendiri. Wilayah Keresidenan Bali dan Lombok dibagi lagi menjadi dua daerah (Afdelingen) yaitu Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana berdasarkan Staatblad Nomor 124 tahun 1882 dengan satu ibukota yaitu Singaraja. Selanjutnya daerah Afdeling Jembrana terbagi atas distrik-distrik yang pada waktu itu terdiri dari tiga distrik yaitu Distrik Negara, Distrik Jembrana, dan Distrik Mendoyo. Masing-masing distrik dikepalai oleh seorang Punggawa. Selain distrik juga diberlakukan jabatan Perbekel, khusus yang mengepalai komunitas Islam dan komunitas Timur Asing sebagai kondisi daerah yang unik dari sudut interaksi dan integrasi antar etnik dan antar umat beragama. Sejak reorganisasi tahun 1882 telah ditetapkan dan disyahkan nama satu ibukota untuk Keresidenan Bali dan Lombok yaitu Singaraja, yang akan membawahi 25 daerah-daerah (Afdeling) Buleleng dan Jembrana. Akan tetapi, pada proses waktu selanjutnya memperhatikan munculnya aspirasi masyarakat di dua daerah afdeling (Buleleng dan Jembrana), maka pihak Gubernemen menanggapi positif. Respon positif pihak Gubernemen di Batavia dapat dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah Lembaran Negara (Staatsblad) tersendiri untuk melakukan pembenahan (Reorganisasi) tata pemerintahan daerah di daerah-daerah (Afdeling) Buleleng dan Jembrana. Pihak Gubernemen dan segenap jajaran bawahan di Departemen Dalam Negeri (Binnenlandsch Bestuur) sangat memperhatikan dan mendukung sepenuhnya aspirasi masyarakat untuk menetapkan nama-nama ibukota Daerah-daerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Pihak Gubernemen dalam pertimbangannya ingin mengakhiri kebiasaan yang menyebut nama Ibukota Afdeling Buleleng dan Jembrana di Keresidenan Bali dan Lombok dengan nama lebih dari satu. Semula (Tahun 1882-1895) hanya diberlakukan satu nama Ibukota yaitu Singaraja untuk wilayah Keresidenan Bali dan Lombok yang membawahi Daerahdaerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Sejak disetujui dan untuk kemudian, ditetapkanlah nama-nama Ibukota daerah tersendiri terhadap Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana di Keresidenan Bali dan Lombok. Berdasarkan Staatsblad Van Nederlandsch - Indie Nomor 175 Tahun 1895, sampai seterusnya ditetapkanlah Singaraja dan Negara sebagai ibukota dari masing-masing Afdeling. Dengan demikian, sejak 15 Agustus 1895 berakhirlah nama satu ibu kota: Singaraja sebagai ibukota Keresidenan Bali dan Lombok yang membawahi Daerah-daerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Sejak itu pula dimulailah nama-nama 26 Ibukota: Singaraja untuk Keresidenan Bali dan Lombok dan Daerah bagiannya di Afdeling Buleleng, serta Negara untuk Daerah Bagian Afdeling Jembrana. Munculnya nama-nama Jembrana dan Negara hingga sekarang, memiliki arti tersendiri dari perspektif historis. Rupanya nama-nama yang diwarisi itu telah dipahatkan pada lembaran sejarah di Daerah Jembrana sejak digunakan sebagai nama Kraton (Puri) yaitu Puri Gede / Agung Jembrana dan Puri Agung Negeri Negara. Oleh Karena Kraton atau Puri adalah pusat birokrasi pemerintahan kerajaan tradisional, maka dapat dikatakan bahwa Jembrana dan Negara merupakan Kratonkraton (Puri) yang dibangun pada permulaan abad XVIII dan permulaan abad XIX adalah tipe kota-kota kerajaan yang bercorak Hinduistik. Jembrana sebagai sebuah kerajaan yang ikut mengisi lembaran sejarah delapan kerajaan (asta negara) di Bali. Sejak 1 Juli 1938, Daerah (Afdeling, Regentschap) Jembrana dan juga daerah-daerah afdeling (Onder-afdeling, Regentschap) lainnya di Bali ditetapkan sebagai daerah-daerah swapraja (Zelfbestuurlandschapen) yang masing-masing dikepalai oleh Zelfbestuurder (Raja). Raja di Swapraja Jembrana (Anak Agoeng Bagoes Negara) dan Raja-raja di swapraja lainnya di seluruh Bali terlebih dahulu telah menyatakan kesetiaannya terhadap pemerintah Gubernemen. Anak Agung Bagoes Negara memegang tampuk pemerintahan di swapraja Jembrana secara terus-menerus selama 29 tahun meskipun terjadi perubahan tatanegara dalam sistem pemerintahan. Kepemimpinannya di Jembrana berlangasung paling lama dibandingkan dengan kepemimpinan yang dipegang oleh pejabat-pejabat pelanjutnya. Selama kepemimpinannya pula, dua nama yaitu Jembrana dengan 27 ibukotanya Negara senantiasa terpateri dalam lembaran sejarah pemerintah di Jembrana, baik dalan periode Pendudukan Jepang (Tahun 1943-1945), peiode Republik Indonesia yang hanya beberapa bulan (Tahun 1946-1950) maupun pada waktu kembali ke periode bentuk Negara Indonesia Timur (Tahun 1946-1950) maupun pada waktu kembali ke periode bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tahun 1950-1958). Jabatan Bupati Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Jembrana untuk pertama kalinya dijabat oleh Ida Bagus Gede Dosther dari tahun 1959 sampai tahun 1967. Pada periode selanjutnya jabatan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jembrana dijabat oleh Bupati Kapten R. Syafroni (Tahun 1967-1969); Pjs Bupati Drs. Putu Suasnawa (11 Maret - 30 Juni 1969); Bupati I Ketut Sirya (30 Juli 1969-31 Juli 1974); Pjs Bupati Drs. I Nyoman Tastra (31 Juli 1974 - 28 Juli 1975); Bupati Letkol. Liek Rochadi (28 Juli 1975 - 26 Agustus 1980); Bupati Drs. Ida Bagus Ardana (26 Agustus 1980 - 27 Agustus 1990); Bupati Ida Bagus Indugosa,S.H Selama dua kali masa jabatan (27 Agustus 1990 - 27 Agustus 1995 dan dari 27 Agustus 1995 - 27 Agustus 2000); Plt Bupati I Ketut Widjana, S.H (28 Agustus 2000 - 15 Nopember 2000), Prof.Dr.drg. I Gede Winasa menjabat sebagai Bupati Jembrana selama dua periode (15 Nopember 2000 - 10 Oktober 2010) dan I Putu Artha SE, MM. sejak 16 Februari 2011 sampai saat ini. Dapat dikatakan bahwa, sejak gelar "Bupati" yang mengepalai pemerintahan di Daerah Tingkat II Jembrana untuk pertama kali diberlakukan pada 28 tahun 1959 sampai saat ini, nama "Negara" sebagai ibukota Daerah Kabupaten Jembrana tetap dilestarikan. 4.1.2 Kondisi Demografi Berdasarkan data yang tercatat pada Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan, jumlah penduduk Kabupaten Jembrana sampai dengan Desember tahun 2014 adalah sebanyak 320.260 jiwa dengan penduduk Kabupaten Jembrana yang wajib KK (Kartu Keluarga) sampai dengan Desember tahun 2014 tercatat sebanyak 87.678 dengan jumlah penduduk wajib KTP (Kartu Tanda Penduduk) sebanyak 232.914 orang. Penduduk yang telah memiliki KTP berjumlah 196.955. Usaha yang telah dan terus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana untuk merangsang minat masyarakat agar memiliki KK ataupun KTP adalah dengan cara memberikan Santunan Kematian. Dengan adanya program Santunan Kematian ini maka penduduk Jembrana yang sudah memiliki KTP dan masih berlaku, apabila meninggal dunia akan mendapat uang santunan. Perkembangan Penduduk Jembrana sampai dengan Desember tahun 2014 terlihat dalam tabel berikut ini. 29 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin tahun 2008 s/d 2014 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 134.268 152.525 153.837 155.635 158.398 160.337 160.204 Laki Perempuan 135.461 152.431 153.967 155.938 158.719 160.671 160.056 269.729 304.956 307.804 311.573 317.117 321.008 320.260 Total Sumber data: Jembrana dalam angka Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin terlihat dalam tabel 4.1 setiap tahun di mulai dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 mengalami peningkatan. Apabila dibandingkan berdasarkan jenis kelamin maka pada tahun 2014 jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki lebih besar dengan selisih 148 orang. Berikut ditampilkan gambaran jumlah penduduk berdasarkan sebaran wilayah di lima kecamatan kabupaten Jembrana mulai tahun 2008 sampai dengan tahun 2014. Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Wilayah tahun 2008 s/d 2014 NO 1 2 3 4 5 Total Kecamat an Melaya Negara Jembrana Mendoyo Pekutatan 2008 52.821 75.427 52.674 61.298 27.509 269.729 2009 58.087 84.485 63.939 68.312 30.133 304.956 2010 60.441 87.143 60.762 68.977 30.481 307.804 2011 2012 2013 2014 311.573 62.027 91.280 62.224 70.534 31.052 317.117 62.908 93.070 62.790 71.023 31.217 321.008 62.916 93.047 62.434 70.622 31.241 320.260 Sumber Data : Jembrana dalam angka Seperti terlihat dalam tabel 4.2 berdasarkan data yang peneliti peroleh dari dokumen Jembrana dalam angka yang termuat di dalam laman Pemkab Jembrana 30 bahwa pada tahun 2011 sebaran penduduk belum dilengkapi. Pada tahun 2014 kecamatan yang memiliki jumlah penduduk paling banyak adalah kecamatan Negara dengan jumlah 93.041 jiwa. Sedangkan dalam tahun yang sama jumlah penduduk paling sedikit ada di kecamatan Pekutatan berjumlah 31.241 jiwa. Tabel 4.3 Jumlah DPT, Jumlah Pengguna dan Prosentase Partisipasi Pemilih dalam Pemilu 2009 s/d 2014 NO 1 Pemilu Legislatif 2009 202.296 Jumlah Pengguna surat suara 145.474 2 205.548 145.237 74.33 3 Pemilu Presiden dan Wapres tahun 2009 Pemilukada 2010 214.550 155.237 73.56 4 Pilgub Bali 2013 157.147 155.366 70.79 5 Pemilu Legislatif 2014 (DPR RI) Pemilu Legislatif 2014 (DPD RI) Pemilu legislatif 2014 (DPRD Prov.) Pemilu DPRD Kabupaten Jembrana 1 (Pekutatan) Pemilu DPRD Kabupaten Jembrana 2 (Mendoyo) Pemilu DPRD Kabupaten Jembrana 3 (Negara) Pemilu DPRD Kabupaten Jembrana 4 (Melaya) Pilpres 2014 224.378 142.449 76.81 224.378 136.901 76.81 224.378 148.577 76.81 64.354 48.235 76.79 43.468 31.021 72.96 72.486 55.160 77.99 44.071 33.820 78.68 222.732 158.079 71,26 6 Pemilu Jumlah DPT Prosentase partisipasi 75.79 Sumber: Dokumen KPU Jembrana tahun 2014 Tabel 4.3 menunjukkan tingkat partisipasi dalam bentuk prosentase secara umum termasuk tinggi dan berfluktuasi. Apabila dibandingkan antara pemilu 31 legislatif tahun 2009 dengan pemilu legislatif tahun 2014 partisipasi masyarakat mengalami peningkatan seperti terlihat dalam tabel. Namun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden juga mengalami penurunan sebesar 3,07 %. 4.2 Hasil Penelitian Hasil penelitian akan dideskripsikan berdasarkan hasil wawancara dengan para informan berdasarkan tiga fokus penelitian. 4.2.1 Political voluntarism dalam partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 di Kabupaten Jembrana Political Voluntarism atau kesukarelaan pemilih dalam pemilihan umum tahun 2014 berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah informan berdasarkan informan kunci dan selebihnya informasi diperoleh dari informan berdasarkan purposive sampling. Adapun pendapat dari informan, peneliti deskripsikan berikut ini. Kutipan wawancara dengan ibu Agus seorang pedagang yang berasal dari Kecamatan Pekutatan menyatakan: ”Pemilu tahun 2014 saya ke TPS memilih karena mendapatkan surat panggilan memilih, calon yang saya pilih adalah calon yang memberikan sumbangan ke banjar saya”. (Wawancara tanggal 10 Juli 2015). Informan Guru Buda seorang pengusaha dan juga ditokohkan di Desanya juga mengatakan hal yang sama terkait partisipasinya dalam pemilu tahun 2014, dengan kutipan wawancara berikut. 32 “Tyang setiap pemilu memilih Bu, walaupun tyang ada di Denpasar, kalau sudah pemilu tyang pulang untuk memilih termasuk pemilu legislatif tahun 2014 sane atiban langkung punika. Sane pilih tyang calon sane tawang tyang nika”. (Wawancara tanggal 17 Juli 2015). Demikian juga Pekak Ika pemilih lansia mrngatakan partisipasinya walaupun agak takut-takut menyampaikan karena menyangkut politik. Petikan wawancaranya berikut ini. “Nggih Bu, Tyang memilih nika. Nanging tyang ten uning sira-sira sane coblos tyang. Santukan tyang ngaksi memaca ulian tulisanne cenikcenik tur makeh. Awagin tyang nika sane encen tujuinna ken pianak tyang”. (Wawancara tanggal 24 Juli 2015). Informan pemilih pemula yang bernama Putu Ika Pertiwi juga seorang mahasiswa mengatakan tentang partisipasinya dalam pemilu legislatif 2014. “Pemilu Legislatif merupakan pengalaman pertama saya memberikan hak pilih. Terasa deg-degan dan sedikit gemeteran saat membuka surat suara. Apalagi surat suaranya panjang dan lebar juga berjumlah empat. Sesaat sempat bingung juga. Tetapi karena sudah pernah disampaikan akhirnya saya berhasil mencoblos. Calon yang saya pilih adalah orang yang saya kenal dan pintar di masyarakat. Saya tidak suka dengan calon yang suka berjanji tidak pernah ditetapi”. (Wawancara tanggal 31 Juli 2015). Seorang tokoh masyarakat yaitu informan Bapak Su (informan ini minta namanya disamarkan). Menilai political voluntarism adalah sebagai berikut. “Khusus desa tyang, kesukarelaan pemilih cukup tinggi, yang muda memilih langsung calon, kalau yang tua cenderung memilih gambar, kecuali pemilih yang bekerja terutama kerja di perusahaan swasta susah memperoleh libur. Walaupun tidak ada sumbangan mereka (masyarakat) mau koq, datang memilih, tetapi karena sekarang sudah jaman memberikan sumbangan melalui dharma suaka oleh calon ataupun tim sukses, akhirnya masyarakat sekarang memperhitungkan juga kesepakatan untuk saling membantu. Artinya ada semacam transaksi ”. (wawancara tanggal 2 Agustus 2015). 33 Hasil wawancara dengan Ibu Agus, Bapak Guru Buda, Pekak Ita, Putu Ita dan Bapak Su yang berasal dari desa menyatakan adanya kesukarelaan pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014, tetapi kesukarelaan tersebut dalam hal penentuan calon kesepakatan kelompok untuk memilih calon yang sudah ditentukan dan partisipasi ini diakibatkan adanya dharmasuaka dengan memberikan sumbangan berupa barang dan sejumlah uang untuk pembangunan. Selain karena diberikan sumbangan, kesukarelaan pemilih atas dasar kedekatan calon dalam hal ini calon berasal dari satu desa. Informasi yang disampaikan oleh informan tersebut di atas, di perkuat pula oleh keterangan informan berikut ini. Hasil wawancara dengan Ibu Siva yang menyatakan kesukarelaannya dalam partisipasi pada pileg 2014, seperti petikan wawancara berikut ini. “Pileg tahun 2014, tyang memilih. Calon yang tyang pilih, yang memberikan sumbangan ke kelompok. Karena sudah kesepakatan. Dan juga calon itu berasal dari desa kami” (Wawancara tanggal 7 Agustus 2015). Pernyataan Ibu Siva juga diperkuat oleh informan Ibu Suami yang bertempat tinggal di Pendem, dengan kutipan wawancara berikut. “Saya ke TPS waktu Pileg 2014, saya tidak tahu calon yang saya pilih karena banyak. Tetapi sebelum memang sudah disiarkan untuk memilih salah satu calon karena sudah memberi sumbangan ke banjar. Saya pribadi tidak pernah mendapatkan amplop”. (Wawancara tanggal 9 Agustus 2015). 34 Informan Bapak Paing yang berasal dari Melaya adalah seorang penyandang disabilitas mengungkapkan partisipasinya dalam pileg 2014, dengan petikan wawancara berikut. “Tyang memilih nika ibu.., atehang ajak kurenan tyang ke TPS. Tyang icena kertas ngangge huruf braille. Calon sane pilih tyang wenten nika sampun tujuina sane ngicen sumbangan ke banjar tyang”. (Wawancara tanggal 15 Agustus 2015). Informan Ibu Armini yang berasal dari Negara juga mengungkapkan partisipasinya dalam Pileg 2014. Berikut petikan wawancaranya. “Pileg 2014 tyang memilih, selalu tyang memilih. Dugas nika wenten nak ngicen kostum kebaya satu stel dan juga sumbangan uang ke tempekan tyang. Wenten nak mesuaka lebih dari dua calon, terpaksa suara dibagi”. (Wawancara tanggal 16 Agustus 2015). Informan Bapak Nengah Tamba selaku Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali dari Daerah Pemilihan Jembrana, membenarkan pernyataan sejumlah informan di atas. Berikut petikan wawancaranya. “Saya akui untuk kesukarelaan pemilih atau political voluntarism dalam pemilu legislatif tahun 2014, khusus strategi yang saya lakukan salah satunya memang dengan medharma suaka ke kelompok masyarakat, melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat. Selama tahapan pileg saya melakukan itu sampai tiga kali. Kalau tidak seperti itu, saya akan kalah dengan lawan politik saya, yang juga melakukan hal yang sama. Kegiatan politik dalam pemilu memang memerlukan ongkos politik yang sangat tinggi”. (Wawancara tanggal 18 Agustus 2015). Berdasarkan pendapat para informan tentang political voluntarism di Kabupaten Jembrana, baik dari masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan, dari pemilih umum maupun pemilih pemula, penyandang disabilitas dan anggota dewan terpilih bahwa political voluntarism dalam partisipasi pemilih ketika 35 pemilihan umum tahun 2014 (Pemilu Legislatif) cukup tinggi, di mana prosesnya di pengaruhi dan di awali oleh inisiatif dari para calon untuk memperoleh dukungan. 4.2.2 Bentuk Political Voluntarism dan Faktor Yang Mempengaruhi (pendukung dan penghambat) pemilih di Kabupaten Jembrana Bentuk political voluntarism serta faktor yang mempengaruhi pemilih dalam partisipasinya ketika pemilu legislatif di Kabupaten Jembrana berdasarkan pendapat para informan, peneliti deskripsikan dalam petikan wawancara. Kutipan wawancara dengan ibu Agus seorang pedagang yang berasal dari Kecamatan Pekutatan menyatakan: ”Walaupun tidak ada sumbangan berupa materi saya tetap memilih karena kewajiban, tetapi untuk pemberian suara demi kesepakatan yaa.. saya memilih calon yang disepakati banjar”. (Wawancara tanggal 10 Juli 2015). Informan Gurun Buda seorang pengusaha dan juga ditokohkan di Desanya juga mengatakan hal yang sama terkait bentuk kesukarelaannya dalam pemilu tahun 2014, dengan kutipan wawancara berikut. “Keweh masih memilih calon, bes akehan nika. Pilih tyang je ane tawang tyang, polih orta uling pisaga. Biasane yen sangkepan ring banjar polih gen orta uling timpal indik calon. Ten je langsung napi ortange ken timpal sane pilih tyang. Pilih-pilihin je masih, utamang dumun sane uling desa. Yadiastun keweh memilih calon, tyang ke banjar memilih, selapang tyang uling Denpasar ”. (Terjemahan: Susah juga memilih calon karena terlalu banyak. Ya, saya pilih calon yang saya kenal, dapat informasi dari tetangga, biasanya dalam rapat dibanjar juga mendapatkan informasi dari teman tentang calon. tetapi tidak langsung saya memilih yang disampaikan teman. Saya tetap memilah, calon yang saya utamakan berasal dari desa sendiri. Biarpun susah memilih calon karena terlalu banyak, saya sisihkan waktu dari Denpasar pulang untuk memilih ke Banjar). (Wawancara tanggal 17 Juli 2015). 36 Demikian juga Pekak Ika pemilih lansia mengatakan kesukarelaannya dalam pemilu legislatif. Petikan wawancaranya berikut ini. “Nggih Bu, Tyang memilih nika. Ten je uningin napi polih sumbangan napi ten, yen tyang ten naenin nak ngicen jinah. Nak orine tyang ken panak tyange ke bale banjar nyoblos. Tyang anak sampun tua tujuina tyang nomor ongkona nyoblos nika”. ( Ya Bu, saya memilih. Tetapi tidak tahu apakah mendapat sumbangan atau tidak, kalau saya tidak pernah ada yang memberikan uang. Diberi tahu oleh anak saya ke balai banjar untuk nyoblos. Saya sudah tua, ditunjukkan saya nomor untuk nyoblos itu). (Wawancara tanggal 24 Juli 2015). Informan pemilih pemula yang bernama Putu Ika Pertiwi juga seorang mahasiswa mengatakan tentang partisipasinya dalam pemilu legislatif 2014. “Saya sukarela memberikan pilihan karena kewajiban ya Bu, apalagi saya baru pertama kali memilih. Untuk calon yang saya pilih adalah orang yang saya kenal, mau memasyarakat. Saya tidak suka dengan calon yang suka berjanji tidak pernah ditetapi”. (Wawancara tanggal 31 Juli 2015). Seorang tokoh masyarakat yaitu informan Bapak Su (informan ini minta namanya disamarkan). Menilai political voluntarism adalah sebagai berikut. “Saya akui dalam kesukarelaan masyarakat untuk memberikan pilihan, dipengaruhi oleh adanya sumbangan yang diberikan ke tempekan atau ke banjar. Hal itu disebabkan rasa sungkan masyarakat untuk mengingkari kesepakatan banjar, boleh saya katakana bahwa pemberian sumbangan dan kesepakatan untuk memilih seseorang sudah mengingkari prinsip pemilu yang luber jurdil. Sehingga kesukarelaan pemilih menjadi terhambat, andaikan saja para calon sepakat tidak memberikan sumbangan melalui dharma suaka, saya rasa kesukarelaan pemilih murni dari dalam dirinya. Hal ini saya rasa sudah menjadi budaya, sehingga mempengaruhi juga terhadap perilaku kesukarelaan pemilih. di samping itu, ada unsur intervensi pemerintah seperti, apabila ketika pemilu tidak mendapatkan suara sesuai dengan keinginan bahkan tidak mendapat dukungan maka proposalnya akan dinomorduakan. Begitu juga sangat kental unsur kedekatan dengan penguasa untuk 37 kelancaran mengajukan usulan pembangunan”. (Wawancara tanggal 2 Agustus 2015). Hasil wawancara dengan Ibu Agus, Bapak Guru Buda, Pekak Ita, Putu Ika dan Bapak Su yang berasal dari daerah pedesaan menyatakan adanya kesukarelaan pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014, namun masih dipengaruhi oleh adanya kesepakatan kelompok dalam hal ini adalah kesepakatan tempekan atau banjar. Informasi yang disampaikan oleh informan tersebut di atas, di perkuat pula oleh keterangan informan berikut ini. Hasil wawancara dengan Ibu Siva yang menyatakan kesukarelaannya dalam partisipasi pada pileg 2014, seperti petikan wawancara berikut ini. “Pileg tahun 2014, tyang memilih. Calon yang tyang pilih, yang memberikan sumbangan ke kelompok. Karena sudah kesepakatan. Dan juga calon itu berasal dari desa kami” (Wawancara tanggal 7 Agustus 2015). Pernyataan Ibu Siva juga diperkuat oleh informan Ibu Suami yang bertempat tinggal di Pendem, dengan kutipan wawancara berikut. “Saya ke TPS waktu Pileg 2014, saya tidak tahu calon yang saya pilih karena banyak. Tetapi sebelum memang sudah disiarkan untuk memilih salah satu calon karena sudah memberi sumbangan ke banjar. Saya pribadi tidak pernah mendapatkan amplop”. (Wawancara tanggal 9 Agustus 2015). Informan Bapak Paing yang berasal dari Melaya adalah seorang penyandang disabilitas mengungkapkan partisipasinya dalam pileg 2014, dengan petikan wawancara berikut. 38 “Yen ten sane sepakatina pilih tyang, lek atine ken pisaga nika, sampun icena sumbangan”. (apabila tidak memilih calon yang sudah disepakati, malu dan tidak enak dengan tetangga). (Wawancara tanggal 15 Agustus 2015). Informan Ibu Armini yang berasal dari Negara juga mengungkapkan kesukarelaannya dalam Pileg 2014. Berikut petikan wawancaranya. “Malu Bu kalau tidak memilih yang sudah memberikan sumbangan dan memberikan bantuan baju, kasihan sudah banyak mengeluarkan uang. Toh juga saya tidak kenal dengan calon mana yang baik dan yang bagus”. (Wawancara tanggal 16 Agustus 2015). Informan Kunci dalam penelitian ini adalah Bapak Nengah Tamba selaku Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali dari Daerah Pemilihan Jembrana, membenarkan pernyataan sejumlah informan di atas. Berikut petikan wawancaranya. “Melakukan dharma suaka dan memberikan sumbangan salah satu strategi untuk menarik simpati pemilih, hal ini saya lakukan karena rival saya juga lebih gila. Kalau saya tidak mengikuti permainan, tidak mungkin berhasil. Saya tidak yakin setelah menjadi dewan hanya mengandalkan bansos, karena pengalaman teman strateginya seperti itu akhirnya tidak menjadi dewan”. (Wawancara tanggal 18 Agustus 2015). Berdasarkan hasil wawancara terhadap sejumlah informan maka bentuk kesukarelaan dan faktor yang mempengaruhi pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 adalah adanya unsur kesepakatan yang dilakukan oleh kelompok dengan calon yang melakukan dharma suaka dengan agenda memberikan sumbangan dan dukungan suara, unsur kedekatan terhadap calon seperti masih ada hubungan keluarga, berasal dari satu daerah. 39 4.2.3 Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana dapat di simak melalui petikan wawancara dengan para informan berikut. Kutipan wawancara dengan ibu Agus seorang pedagang yang berasal dari Kecamatan Pekutatan menyatakan: ”Kalau memilih nika, tyang tetep memilih, tetapi memilih calon yang memang susah karena banyak yang tidak dikenal. Yang penting nika calon sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat. Pribadinya, sikapnya baik”. (Wawancara tanggal 10 Juli 2015). Informan Gurun Buda seorang pengusaha dan juga ditokohkan di Desanya juga mengatakan hal yang sama terkait menumbuhkan dan memperkuat kesukarelaan masyarakat dalam pemilu tahun 2014, dengan kutipan wawancara berikut. “Harus wenten sosialisasi dari semua pihak terkait tentang pemilu dan juga para calon. calon itu tidak hanya datang menjelang pemilihan. Calon agar memperkenalkan dirinya sebelum pemilu. Sehingga masyarakat taulah bagaimana pribadinya”. (Wawancara tanggal 17 Juli 2015). Informan pemilih pemula yang bernama Putu Ika Pertiwi juga seorang mahasiswa mengatakan tentang menumbuhkan dan mempertahankan kesukarelaannya dalam pemilu legislatif 2014. “Janji ataupun sumbangan bukan hal yang no satu untuk menjaga kesukarelaan pemilih, tetapi sosialisasi yang benar yang lebih intens, calon yang proaktif terjun ke masyarakat sebelum pemilu. Saya yakin 40 masyarakat akan menilai positif untuk calon yang baik dan dekat dengan masyarakat, saya paling tidak suka dengan calon yang pencitraan, senyum dalam foto balihonya menjelang pemilu”. (Wawancara tanggal 31 Juli 2015). Seorang tokoh masyarakat yaitu informan Bapak Su (informan ini minta namanya disamarkan). Menyatakan untuk menumbuhkan dan mempertahankan political voluntarism adalah sebagai berikut. “Kesukarelaan pemilih sebenarnya sudah tumbuh, namun saya garisbawahi adanya hambatan transaksi suara. Hal ini sebenarnya dapat diminimalisir dengan cara partai harus memberikan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat. Sikap dan tatakrama yang baik harus ditunjukkan oleh calon. partai harus mampu memilih calon yang yang kredibel, sehingga mampu menjaga nama baik partai. Calon juga harus tumbuh dari dalam masyarakat jangan calon karbitan. Sehingga masyarakat mampu melihat bagaimana pribadi, kinerja calon itu di masyarakat. Saya rasa perlu dibuatkan semacam peraturan jangan ada dharma suaka atau meberikan sumbangan berupa uang dan barang ataupun janji-janji selama tahapan pemilu”. (Wawancara tanggal 2 Agustus 2015). Hasil wawancara dengan Ibu Agus, Bapak Guru Buda, Putu Ika dan Bapak Su yang berasal dari daerah pedesaan menyatakan tentang untuk menumbuhkan dan memperkuat kesukarelaan pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014. Informan Kunci Bapak Nengah Tamba selaku Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali dari Daerah Pemilihan Jembrana, membenarkan pernyataan sejumlah informan di atas. Berikut petikan wawancaranya. “Usulan saya untuk tetap meningkatkan political voluntarism untuk warga pemilih, agar dibuatkan peraturan memperbolehkan memasang spanduk selama tahapan pemilu khusus setelah penetapan nomor urut di masing-masing desa, maksudnya supaya masyarakat lebih mengenali calonnya”. (Wawancara tanggal 18 Agustus 2015). 41 Berdasarkan pendapat dari para informan tentang menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism atau kesukarelaan pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014. Kesukarelaan pemilih sebenarnya sudah tumbuh, namun masih ada hambatan-hambatan karena dipengaruhi oleh adanya dharma suaka memberikan sumbangan dan kesepakatan kelompok. Beragam usulan yang diperoleh seperti kredibilitas calon di mata masyarakat. Calon memang harus dikenal oleh masyarakat, hal ini menjadi penting untuk partai politik dalam memilih kadernya untuk dicalonkan. Sosialisasi memang perlu dilakukan secara intens oleh pihak terkait menyasar seluruh lapisan masyarakat. 4.3 Pembahasan Hasil Penelitian Sub pembahasan hasil penelitian akan membahas hasil temuan penelitian dari ketiga fokus permasalahan dianalisis dengan konsep dalam tinjauan pustaka. 4.3.1 Political voluntarism dalam Partisipasi warga pemilih Berdasarkan pendapat para informan tentang political voluntarism di Kabupaten Jembrana, baik dari masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan, dari pemilih umum maupun pemilih pemula, penyandang disabilitas dan anggota dewan terpilih bahwa political voluntarism dalam partisipasi pemilih ketika pemilihan umum tahun 2014 (Pemilu Legislatif) cukup tinggi, di mana prosesnya di pengaruhi dan di awali oleh inisiatif dari para calon untuk memperoleh dukungan. 42 Political voluntarism atau kesukarelaan pemilih adalah memilih secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun dalam pemilihan umum. Berlangsungnya Political voluntarism ketika pemilu legislatif di Kabupaten Jembrana mengalami hambatan dengan memberikan pilihan atas dasar kesepakatan. Hal ini disebabkan berbagai faktor, seperti: menjaga keamanan diri , keluarga dan masyarakat. Pemilih tidak mengenal calonnya dengan baik sehingga mengikuti teman atau lingkungan. Apabila Political voluntarism dikaitkan dengan partisipasi pemilih, maka akan selalu sejalan, karena Political voluntarism atau kesukarelaan dalam pemilihan akan selalu diikuti oleh tingkat partisipasi artinya adanya Political voluntarism berarti pemilih akan hadir ke TPS dan memberikan pilihan. Namun secara teori, makna dari Political voluntarism berdasarkan prinsip demokrasi dan prinsip pemilu yang langsung umum bebas dan rahasia tidak terpenuhi. Apabila di kaji dari empat prinsip demokrasi berdasarkan teori budaya demokrasi seperti a) Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik, b) Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu antara warga Negara, c) Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga Negara, d) Penghormatan terhadap supremasi hukum, maka terdapat pelanggaran terhadap prinsip demokrasi poin ke tiga dan keempat yaitu tingkat kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga Negara dalam hal ini adalah ketika memilih calon, sudah disepakati dan diikat oleh sumbangan. Pelanggaran yang kedua adalah penghormatan terhadap supremasi hukum oleh para calon yaitu mengkemas 43 dengan budaya dharma suaka memberikan sumbangan berupa barang, uang dan janjijanji politik baik langsung bertemu dengan masyarakat pemilih maupun melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat. Padahal perilaku memberikan sumbangan ataupun memberikan janji-janji untuk mendapatkan dukungan selama tahapan pemilu merupakan pelanggaran dari Undang-Undang No 8 Tahun 2012 pasal 86 point j bahwa tidak dibenarkan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu. 4.3.2 Bentuk political voluntarism dan faktor yang mempengaruhi (pendukung dan penghambat) warga pemilih di Kabupaten Jembrana Berdasarkan data primer hasil wawancara dari sejumlah informan maka bentuk political voluntarism atau kesukarelaan pemilih dan faktor yang mempengaruhi pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 adalah adanya unsur kesepakatan yang dilakukan oleh kelompok dengan calon yang melakukan dharma suaka dengan agenda memberikan sumbangan dan mencari dukungan suara, unsur kedekatan terhadap calon seperti masih ada hubungan keluarga, berasal dari satu daerah. Disebut sebagai faktor pendukung dalam political voluntarism karena dengan adanya pendekatan melalui dharma suaka kepada kelompok masyarakat dan tokoh masyarakat dapat membantu para pemilih untuk mengenal calonnya secara langsung. Dengan kesepakatan kelompok dan kepercayaan kepada tokoh masyarakat, maka dapat membantu pemilih memudahkan untuk memilih calon. Dengan demikian 44 secara otomatis menumbuhkan kesukarelaan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai warga pemilih dalam pemilu legislatif. Adanya unsur kedekatan calon dengan masyarakat seperti hubungan keluarga atau berasal dari satu daerah merupakan faktor pendukung political voluntarism. Unsur kedekatan dapat menumbuhkan political voluntarism dengan alasan rasionalitas bahwa dengan memiliki orang yang dekat dengan kekuasaan atau menjadi anggota dewan maka dipercaya akan mampu membawa aspirasi masyarakat dan dapat mengalami kemudahan ketika mengajukan proposal. Berdasarkan alasan rasionalitas dari para pemilih berdasarkan pendapat informan, dapat dikatakan bahwa sesuai dengan pendapat Hajeer dimana masyarakat bergerak ke demokrasi modern yaitu untuk memperoleh tujuan dengan menciptakan jejaring. Menurut Hajeer model demokrasi modern dikenal dengan demokrasi deliberatif bahwa “model masyarakat jejaring sebagai sebuah fakta ketika masyarakat demokrasi modern bergerak menuju network society, atau masyarakat jejaring diharapkan akan mampu mempermudah akses melakukan komunikasi dalam segala level di pemerintahan”(Hajer, 2003 h. 8-12). Jejaring yang dimaksudkan masyarakat berdasarkan analisis teori demokrasi deliberatif adalah duduknya calon yang berasal dari daerahnya sebagai anggota DPRD. Bukan saja bentuk dharma suaka tersebut sebagai faktor pendukung political voluntarism tetapi tanpa disadari juga merupakan faktor penghambat dari political voluntarism. Karena terjadi pengekangan atau pembatasan terhadap pilihan masyarakat demi memenuhi kesepakatan kelompok, demi menjaga kedamaian 45 lingkungan dan sesama warga. Dapat dikatakan bahwa political voluntarism yang terjadi dalam pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Jembrana adalah political voluntarism atau kesukarelaan yang terbatas. Menurut pendapat informan, bahwa para pemilih yang berasal dari masyarakat biasa tidak mempedulikan tentang makna dari political voluntarism. Yang terpenting mereka mereka melaksanakan kewajiban dengan datang ke TPS dan memilih dengan benar. Dikarenakan siapapun yang menang, mereka merasa tidak mempengaruhi kehidupannya. Diantara para informan seperti Bapak Su, hanya sedikit yang mengetahui bahwa terdapat pembatasan di dalam proses political voluntarism melalui kesepakatan-kesepakatan kelompok. 4.3.3 Model kebijakan untuk dapat menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism warga pemilih di Kabupaten Jembrana Berdasarkan pendapat dari para informan tentang menumbuhkan dan memperkuat political voluntarism atau kesukarelaan pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014. Kesukarelaan pemilih sebenarnya sudah tumbuh, namun masih ada hambatan-hambatan karena dipengaruhi oleh adanya dharma suaka memberikan sumbangan dan kesepakatan kelompok. Beragam usulan yang diperoleh seperti kredibilitas calon di mata masyarakat. Calon memang harus dikenal oleh masyarakat, hal ini menjadi penting untuk partai politik dalam memilih kadernya untuk dicalonkan. Sosialisasi memang perlu dilakukan secara intens oleh pihak terkait menyasar seluruh lapisan masyarakat. Dari hasil penelitian dan pendapat dari 46 beberapa informan dan juga hasil kajian pustaka maka dapat dideskripsikan model kebijakan untuk dapat menumbuhkan political voluntarism atau kesukarelaan pemilih seperti berikut ini. 1. Sosialisasi untuk meningkatkan Voluntarism masyarakat Dalam upaya meningkatakan kualitas voluntarism masyarakat, maka meningkatkan kualitas sosialisasi dan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum (pemilu), setidaknya terdapat 9 (sembilan) kelompok masyarakat yang perlu diperhatikan oleh KPU. Paling tidak ada 9 kelompok yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan sasaran sosialisasi yang akan dilakukan; a. Harus dipetakan daerah mana saja yang tingkat partisipasi pemilihnya dibawah rata-rata pemilih secara nasional, 75% untuk pileg, 71% untuk pilpres; b. Harus diadvokasi kelompok masyarakat pada daerah terisolir yang rawan manipulasi; c. Perlu dipetakan daerah yang dalam penyelenggaraan pemilu lalu bermasalah, terutama yang melibatkan penyelenggara pemilu; d. Perlu dipetakan daerah yang disinyalir memiliki transaksi money politics tinggi; e. Kelompok masyarakat marjinal, misalnya kelompok masyarakat yang terbentuk akibat konflik, atau kelompok yang termarjinalkan; f. Kelompok masyarakat disabilitas, yang dalam pemilu 2014 lalu menyuarakan belum mendapat fasilitas baik, kemudian juga pasien rumah sakit yang menjalani perawatan khusus; 47 g. Kelompok pemilih pemula, terutama mereka yang tidak mengenyam pendidikan formal; h. Mereka yang menjadi opinion leader, para tokoh masyarakat ini perlu diberi sosialisasi betapa pentingnya pemilu berkualitas, sehingga kemudian, beliau dapat memberikan pencerahan kepada lingkungannya; i. Kelompok terakhir yang perlu diberi fasilitas dan perlu dijadikan mitra dalam penyebarluasan informasi sosialisasi pemilu adalah media massa. KPU dalam menjangkau masyarakat mempunyai keterbatasan, butuh media yang dapat menduplikasi informasi penting dari penyelenggara untuk bisa sampai ke masyarakat. Kegiatan sosialisasi pada 9 kelompok tersebut, perlu dilakukan secara baik sebelum memasuki tahun tahapan pemilu, sehingga tidak mempengaruhi kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh para peserta pemilu. Diharapkan, kegiatan sosialisasi tersebut dapat melahirkan komunitas yang peduli akan penyelenggaraan pemilu berkualitas, sehingga muncul motivasi untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemilu. Dengan gencarnya sosialisasi yang nanti dilakukan, diharapkan muncul sikap politik yang partisipatif dan sehat. Sehingga pada saat memilih masyarakat tidak memilih berdasarkan pengaruh tokoh masyarakat maupun oleh suami.selama ini terjadi di sebagian besar pemilih di Jembrana pemilihan dilakukan berdasarkan arahan tokohnya. Mereka akhirnya memilih sesuai arahan tersebut karena takut dikenakan sanksi oleh tokohnya. Dengan demikian terjadi voluntarism yang 48 setengah-setengah di Jembrana. Karena masyarakat memilih tanpa mendapat imbalan langsung, padahal itu tidak sesuai hati nurani mereka. 2. Pendekatan/arahan tokoh-tokoh kepada pengikutnya mempengaruhi kesukarelaan memilih Adi Prasetijo (http://etnobudaya.net/2008/07/31/hubungan-patron-klien/) Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu maka dukungan klien kepada patron adalah memenuhi arahan patron (tokoh masyarakat/klian/bendesa/dan lain sebagainya) untuk memilih secara sukarela calon yang ditunjukkan oleh tokohnya. Sehebat apapun track record para calon jika tidak diamini oleh tokohnya maka sangat sulit mendapat pilihan dari masyarakat. Hal ini terungkap dengan hasil wawancara beberapa informan, di Kabupaten Jembrana, tokoh masyarakat memiliki peran yang sangat kuat dalam mendorong masyarakatnya untuk memilih secara sukarela. Namun dalam hal ini kesukarelaan dimaksud masih terbatas pada tokoh yang diarahkan oleh para tokohnya. Kesukarelaan belum mencapai pada kesukarelaan masyarakat berdasarkan 49 hati nurani. Ibu Ketut Siva yang tinggal di Kota Negara, menyampaikan tatkala pemilu dilakukan dia menghentikan kegiatan bisnisnya berupa pembuatan kue. Penghentian kegiatan itu dilakukan untuk membuat kesempatan baginya untuk memilih di kampungnya. Pada saat memilih dia memilih berdasarkan arahan tokoh di desanya melalui informasi yang disampaikan oleh mertuanya. Yang bersangkutan tidak berani melanggar arahan dari tokohnya khawatir mendapat sanksi adat. Hal senada juga diungkapkan oleh I Made Paing. Pria penyandang tuna netra ini mengungkapkan, tatkala pemilu dia melakukan pemilih atas arahan keliannya, melalui istrinya. Pada saat pemilih atas panduan dari istrinya yang bersangkutan memilih calon yang direkomendasikan oleh kliannya. Keterbatasan fisik yang dimilikinya membatasi pengenalan terhadap profil calon. Sehingga praktek hubungan patron dengan klien ini membuat I Made Paing mengetahui calon yang akan dipilihnya melalui tokohnya tanpa peduli latar belakang si calon. Praktek seperti inilah yang sering pula disebut patrimonialisme politik. Moh. Ikmal (https://mohammadikmal.wordpress.com/2013/12/18) menyampaikan Patrimonialisme politik adalah merupakan gambaran praktek kekuasaan pemerintahan yang diselenggarakan dan dipertahankan dengan cara bagaimana kekuasaaan tersebut mampu mempertahankan kesetiaan elit politik politik yang ada. Dalam pemerintahan patrimonial, politik merupakan alat perjuangan elit politik/kelompok/klien untuk mendapatkan balas jasa dari penguasa. Penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya dengan mempertahankan keseimbangan kelompokkelompok/elit yang bersaing. 50 3. Dampak pendidikan pemilih pada kesukarelaan pemilih Margaretha Saulinas (http://demosindonesia.org/2014/02/traning-of- fasilitator-tof-dan-ujicoba-pendidikan-pemilih-tentang-transaksi-politik-dalampemilu/) menyampaikan bahwa membicarakan politik bagi masyarakat awam seringkali dimaknai negatif akibat banyaknya elit pemerintah pusat maupun daerah kerapkali mengecewakan masyarakat. Politik, Pemilu dan demokrasi dipandang terpisah oleh sebagian masyarakat karena bukan menyangkut urusan yang berkaitan langsung dengan kesehariannya.dia menegaskan bahwa dengan pendidikan politik maka pemilih mendapatkan pengetahuan, pemahaman serta kesadaran bahwa politik itu tidaklah bermakna negatif. Namun politik merupakan alat dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya yang dimiliki oleh negara dalam kurun waktu atau siklus pemilu. Subjek (kandidat dan pemilih/warga) dalam siklus tersebut perlu memiliki pemahaman dan ideologi yang sama (kepentingan publik). Hal senada disampaikan oleh informan informan Ibu Agus, di Gumbrih. Dengan pendidikan politik diharapkan mampu mengetahui sejauhmana kualitas dari calon. Dengan keterbatasan pemahaman politik dia hanya memperoleh informasi calon yang mesti dipilih dari tokoh, melalui suami, karena umumnya suami yang mengikuti rapat yang melibatkan calon untuk dharma suaka. Sehingga kualitas calon tidak diketahui persis. Pendidikan politik sangat kami butuhkan untuk mampu menyeleksi kualitas para calon secara mandiri. Ibu Suami yang berprofesi sebagai tukang sapu ini menyatakan bahwa tidak pernah mendapatkan pendidikan politik baik dari KPU maupun partai politik. Seandainya saja dia paham politik maka akan 51 memilih calon sesuai hati nurani dan tidak perlu lagi memperhatikan apa pendapat suami atau tokoh di desa. 4. Pengaruh Baliho/spanduk/iklan dikoran kepada kesukarelaan memilih Informan ibu Agus di Gumbrih menyampaikan bahwa informasi tentang keberadaan dan rekam jejak para calon sangat terbatas. Tidak pernah ditemukan visi misi program kerja calon. Koran tidak mampu dibeli. Iklan para calon di televisi sangat jarang kecuali hanya calon-calon berduit saja. Sedangkan dari Baliho sangat sedikit informasi tentang calon dia dapatkan, hanya dalam baliho dapat menyimak foto, nama, nomor urut, partai politik serta slogan/jargon para calon. Informasi selebihnya tidak didapatkan, padahal informasi itu menjadi penting dalam upaya untuk memahami kualitas calon. Dengan demikian kami membutuhkan informasi yang lengkap tentang rekam jejak para calon. Jika dia memahami rekam jejaknya tentu akan mampu memilih calon secara selektif dan sukarela, tanpa intervensi maupun bayaran. Dia mengatakan paling suka mendapatkan informasi calon dari media televisi dan Koran. 5. Pilihan terhadap nama caleg dalam pileg Berdasarkan pendapat Kakek Ika bahwa Pada pemilu legislatif yang lalu dia memilih nama caleg. Nama caleg tersebut diketahui dari kartu nama yang diberikan oleh anaknya. Dari kartu nama itu dia mendapat informasi nama, nomor urut serta partai calon yang bersangkutan. Jika dia mengetahui nama para calon niscaya akan memilih nama calon yang bersangkutan dan bukan partai politiknya. 6. Cara mendapatkan pendidikan politik 52 Pendidikan politik setelah menyelesaikan studi nyaris tidak pernah didapatkan. Selama studi di SMA dia memperoleh pendidikan politik dalam pelajaran Pancasila, itupun sekarang sudah tidak sesuai lagi. Sehingga dia merasa sangat buta politik. Terlebih saat ini kesannya politik itu identik dengan kekerasan. Partai politik yang memiliki tugas memberikan pendidikan politik tidak pernah melakukan pendidikan politik, nampaknya mereka masih sibuk berebut kekuasaan. Sehingga saat ini informasi politik hanya diperoleh dari mulut kemulut. Informasi dari mulut ke mulut ini sering tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Ketidak sesuaian ini terjadi karena adanya distorsi informasi. 7. Pentingnya Peran KPU Memberikan pendidikan politik kepada para tokoh agar mereka mampu secara sukarela mendidik masyarakatnya terhadap pemahaman politik. Mengingat di desa peran tokoh sangat strategis dalam politik, maka pendidikan politik yang menyasar para tokoh menjadi sangat penting. Pemahaman politik yang dipahami oleh tokoh akan disampaikan oleh tokoh kepada masyarakat. Jika tokoh masyarakat yang menyampaikan informasi tentang pendidikan poltik kepada masyarakat akan mudah diterima. Jika KPU yang langsung memberikan pendidikan politik kepada masyarakat nampaknya akan kurang efektif. Karena masyarakat di desa sangat hatihati menerima informasi dari masyarakat luar yang motivasinya tidak jelas. Pendidikan politik oleh KPU menjadi sangat penting karena partai politik tidak 53 menjalankan fungsinya untuk melakukan pendidikan politik. Demikian pendapat informan sebagai tokoh masyarakat Bapak Su. Pernyataan informan Bapak Su sejalan dengan pendapat Diah Setiawaty (https://www.academia.edu/11158815) yang menyatakan di Indonesia, pada praktiknya partai politik masih sangat lemah dalam melakukan pendidikan politik. Ini terlihat dari masih banyaknya partai yang belum melakukan pendidikan politik secara terstruktur, sistematis dan masif terhadap kader-kadernya, apalagi terhadap masyarakat awam dan pemilih pemula. 8. Alat peraga berupa surat suara membatu pemilih untuk memilih secara sukarela Alat peraga berbentuk surat suara sangat kami butuhkan untuk memperlancar proses pencoblosan. Alat peraga berupa surat suara ini hanya ditunjukkan oleh petugas PPS pada saat sosialisasi. Seandainya saja alat peraga surat suara ini diperoleh oleh masyarakat tentu masyarakat akan lebih mudah memberikan suaranya. Alat peraga dalam bentuk surat suara ini juga akan mengurangi kemungkinan suara tidak sah. Demikian juga menjadi harapan dari Informan seorang anggota Dewan Bapak Nengah Tamba bahwa agar diijinkan memasang baliho disetiap desa untuk memudahkan masyarakat mengenal calonnya, dan perlu disosialisasikan lebih gencar mekanisme pencoblosan. 9. Pengaruh pendidikan politik kepada pemilih pemula terhadap kesukarelaan memilih caleg 54 Diah Setiawaty (https://www.academia.edu/11158815), Potensi pemilih pemula di Indonesia cukup besar seiring dengan jumlah pemilih pemula yang signifikan. Akan tetapi potensi rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat khususnya di kalangan pemilih pemula juga diprediksi akan meningkat seiring dengan meningkatnya apatisme publik dikarenakan kinerja pemerintah yang kurang memuaskan. Pendidikan pemilih adalah sebuah langkah strategis untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Sayangnya penyelenggara pemilu dari setiap periode pemilu demokratis hingga saat ini masih belum melakukan pendidikan pemilih yang programatik dan masih menggunakan pendekatan informasi pemilih yang merupakan solusi sementara. Partai politik juga masih belum maksimal dalam menjalankan fungsi pendidikan politik sebagaimana yang diamanatkan oleh undangundang. Perlu adanya komitmen bersama baik dari pihak pemerintah dan partai politik dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat seperti CSO dan lembagalembaga pendidikan untuk mulai melakukan pendidikan pemilih yang programatik untuk meningkatkan tidak hanya angka partisipasi pemilih dalam pemilu tetapi juga partisipasi politik secara keseluruhan. Informan Putu Ika mengharapkan agar partai politik juga dapat terus melakukan pendidikan pemilih sesuai dengan mandat yang diamanahkan oleh UUD 1945. Karena ketika pendidikan pemilih berjalan baik partai politik sendiri yang akan memetik buahnya dari kerja kerasnya tersebut dengan munculnya kader-kader muda baru yang berkualitas dan dapat meningkatkan citra partai politik sendiri di hadapan masyarakat. Hal ini sudah terlihat melalui beberapa fenomena yang terjadi akhir-akhir 55 ini. Ketika partai politik dapat mencetak kader-kader yang baik, berdedikasi dan dapat membuat perubahan di mata masyarakat maka kemungkinan besar partisipasi publik juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya popularitas dan elektabilitas kandidat kader-kader tersebut. Informan Bapak Su sebagai tokoh masyarakat menyampaikan permasalahan-permasalahan di dalam pemilu tidak dapat diselesaikan dengan formula tunggal yang berlaku untuk setiap daerah. Akan tetapi salah satu solusi yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan ini adalah melakukan pendidikan pemilih yang programatik dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan institusi pendidikan. Pendidikan politik ini memang sebaiknya mulai diinisiasi oleh penyelenggara pemilu dengan mempertimbangkan berbagai unsur dan juga menyesuaikan dengan konteks lokal perdaerah. Akan tetapi tentunya permasalahan pemilu bukanlah pekerjaan rumah dari penyelenggara pemilu saja. Untuk itu diperlukan komitmen bersama dari setiap stakeholders terutama dari partai politik yang memang memiliki mandat dari pemerintah untuk melakukan pendidikan politik. KPU sebagai aktor utama selayaknya berkoordinasi dengan setiap stakeholders dan juga menggiatkan lagi keikutsertaan atau partisipasi masyarakat. 56 BAB V PENUTUP Bab penutup tentang simpulan, saran dan rekomendasi kebijakan dideskripsikan berikut ini. 5.1 Simpulan Hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan dengan uraian berikut ini. 5.1.1 Masyarakat Kabupaten Jembrana memiliki partisipasi yang cukup tinggi dalam pemilu legislatif tahun 2014. Political voluntarism dalam partisipasi masyarakat Kabupaten Jembrana masih bersyarat atau political voluntarism yang terbatas. Berdasarkan teori budaya demokrasi terdapat pelanggaran terhadap prinsip yaitu pertama tingkat kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga Negara dan kedua adalah penghormatan terhadap supremasi hukum oleh para calon yaitu mengkemas dengan budaya dharma suaka memberikan sumbangan berupa barang, uang dan janji-janji politik baik langsung bertemu dengan masyarakat pemilih maupun melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat. Terdapat pula pelanggaran dari Undang-Undang No 8 Tahun 2012 pasal 86 point j bahwa tidak dibenarkan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu. 57 5.1.2 Bentuk Political voluntarism, dengan mengikuti atau mendatangi TPS memberikan pilihan kepada para calon yang sudah ditentukan. Kebanyakan para informan memilih calon bukan gambar partai. Sedangkan faktor yang mempengaruhi Political voluntarism dalam peningkatan partisipasi pemilih karena adanya sumbangan ke kelompok. Sehingga Political voluntarism pemilih Kabupaten Jembrana bukan murni dari hati nuraninya sendiri, namun adanya faktor ajakan, keterikatan dengan kesepakatan kelompok. Faktor ajakan, keterikatan dengan kesepakatan kelompok dapat juga sebagai faktor pendorong dan penghambat Political voluntarism. Selain faktor tersebut, kedekatan dengan pemilih secara emosional dan rasional juga merupakan faktor pendorong Political voluntarism. 5.1.1 Model kebijakan yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah Kebijakan Pemilu bidang peningkatan partisipasi pemilih berdasarkan Political voluntarism yang deliberatif. Artinya membiarkan pemilih menentukan pilihannya sendiri, menilai calon berdasarkan hati dan logikanya secara rasional karena pemilih itu memiliki kedudukan yang sama tanpa adanya intimidasi dari anggota kelompok ataupun tokoh masyarakat. Kebijakan yang ditempuh hendaknya mampu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang politik guna menumbuhkan kesadaran politik. dari kesadaran politik ini akan tumbuh Political voluntarism. 58 5.2 Saran Saran yang dapat disampaikan berdasarkan simpulan hasil penelitian adalah berikut ini. 5.2.1 Kepada para penyelenggara agar dibuatkan peraturan tentang pelarangan pemberian sumbangan yang mempengaruhi kesukarelaan masyarakat dalam pemilu legislatif. Dengan pemberian hukuman atas pelanggaran. Agar diarahkan pembuatan bahan kampanye dalam bentuk kartu nama, speciment surat suara dan liflet/tabloid/Koran khusus yang memuat rekam jejak calon. Lakukan sosialisasi yang lebih intens kepada seluruh elemen masyarakat. Pendidikan politik hendaknya diutamakan kepada pemilih pemula dan tokoh masyarakat dan dilakukan tidak hanya menjelang pemilu. 5.2.2 Kepada Calon Peserta Pemilu, agar memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Jangan lagi pencitraan dengan memberikan janji atau sumbangan yang mengikat pemilih. Setelah terpilih berlakulah adil bagi semua masyarakat agar mengurangi fanatisme kedaerahan. 5.2.3 Kepada masyarakat hendaknya selalu berupaya mendapatkan informasiinformasi tentang perkembangan politik. Pemahaman politik masyarakat akan meningkatkan partisipasi dan political volountarisme. 5.2.4 Kepada tokoh masyarakat, agar lebih proaktif mencari tahu tentang kredibilitas dan performan calon. Para tokoh untuk menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada anggota kelompok tentang kesediaan calon melakukan dharma suaka, serta memberi kebebasan kepada masyarakat untuk 59 menentukan sendiri pilihannya. Tokoh masyarakat hendaknya menjadi perpanjangan tangan pemerintah dan partai politik untuk melakukan pendidikan politik kepada anggotanya demi penikatan partisipasi dan political voluntarism. 5.3 Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang dapat disampaikan terkait hasil penelitian ini adalah tingkatkan pendidikan pemilih dengan memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya Political voluntarism mereka berdasarkan hati nurani. Memberikan pengertian akan dampak dari Political voluntarism yang bersyarat seperti transactional vote. Lakukan reformasi kebijakan dengan mencantumkan pelarangan melakukan dharma suaka atau memberikan sumbangan selama tahapan pemilu legislatif. Dengan memberikan edaran kepada para ketua kelompok atau tokoh masyarakat masyarakat agar menolak menerima calon atau partai politik yang berkehendak melakukan dharma suaka. 60 DAFTAR PUSTAKA Creswell, Jhon W., 2006, Research Design Qualitative, Quantitative, and mixed methods approaches. London: Sage Publications. Hajer. Marteen dan Wagenaar H, 2003. Deliberatif Policy Analysis Understanding Governance in The Network Society. Cambrigde University Press, New York. Hardiman Budi, 2007. Filsafat Fragmentaris. Kanisius, Yogyakarta. Hardiman Budi, 2009. Demokrasi Deliberatif. Kanisius, Yogyakarta. Hardiman, Budi A.,1993. Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Kanisius, Yogyakarta. Miles and Huberman, 2014. Qualitatif Data Analysis A Methods Sourcebook Edition 3. SAGE, Washinton DC. Nasution, 2003. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Tarsito, Bandung. Ndraha, Taliziduhu. 1993. Partisipasi Masyarakat. Jakarta : Yayasan Karya Dharma, IIP Jakarta. Raga Maran, Rafael. 2007. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta Indonesia Saifuddin Abdullah, 2001. Gerakan Kesukarelaan Menjana Perubahan Bermakna. Majlis Belia Malaysia Yayasan Salam Malaysia Akademi Belia, Malaysia. Strauss dan Corbin, 2009. Dasar-Dasar Penelitian, Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data (Terjemahan). Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Satori dan Komariah, 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung. Laman Pemkab Jembrana (pemkabjembrana.go.id) http://mklh11demokrasi.blogspot.com/ 6 juni 2015 Adi Prasetijo (http://etnobudaya.net/2008/07/31/hubungan-patron-klien/) 61 Moh. Ikmal (https://mohammadikmal.wordpress.com/2013/12/18) Margaretha Saulinas (http://demosindonesia.org/2014/02/traning-of-fasilitator-tofdan-ujicoba-pendidikan-pemilih-tentang-transaksi-politik-dalam-pemilu/) Diah Setiawaty (https://www.academia.edu/11158815) elib.unikom.ac.id/download.php?id=215780 Translate this page by A MUSLIM 62 PANDUAN WAWANCARA Narasumber : MASYARAKAT A. BENTUK VOLUNTARISME 1. apakah bapak/ibu memilih secara sukarela pada saat pileg? 2. Kesukarelaan seperti apa yang bapak/ibu ketahui? 3. Apakah bapak/ibu menilai caleg/parpol secara obyektif? 4. Apakah bapak/ibu memilih karena subyektif (kedekatan/kerabat/saudara/sekampung dsb) 5. Apakah pada saat proses pemilihan bapak diberikan bantuan/sumbangan kepada kelompok masyarakat? 6. Berapa banjar, kelompok masy, dadia yg diberi sumbangan atau bantuan? 7. Berapa banyak yh memilih seauai kesepakatan di TPS bapak/ibu? 8. Bagaimana reaksi pemilih ketika diberikan arahan untuk.memilih pada saat simakrama? B. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT 1. Bagaimana pengaruh faktor tingkat pendidikan akan mempengaruhi kesukarelaan pemilih memilih pada saat pileg? 2. Bagaimana pengaruh faktor kesamaan kepentingan akan mempengaruhi kesukarelaan bapak/ibu untuk memilih? 3. Bagaimana cara pada saat pileg para caleg melakukan pendekatan kepada para tokoh? 4. Apakah pendekatan kepada tokoh-tokoh memberikan andil kepada kesukarelaan pemilih memilih caleg? 5. Pada saat pileg pasti ada caleg yang mendekati bapak/ibu untuk memilih secara sukarela kepada caleg tertentu, tetapi akhirnya dia tidak memilih caleg ybs, Kenapa bapak/ibu tidak sukarela memilih ybs? 6. Adakah tidak adanya surat panggilan memilih/tidak terdaftarnya pemilih dalam DPT mengakibatkan bapak/ibu/saudaranya tidak memilih? 7. Apa yang bapak lakukan sebelum memilih? 8. Apa yang bapak lakukan pada masa kampanye? 9. Apa saja alat peraga kampanye yang bapak/ibu senangi? Bagaimana bapak/ibu menerima informasi kampanye? 10. Bagaimana pengaruh alat peraga kampanye terhadap kesukarelaan bapak/ibu untuk memilih? 11. Bagaimana peran keterikatan banjar, desa, dan dadia dalam memepengaruhi bapak/ibu memilih caleg secara sukarela? Diantara sekian mana yang paling berpengaruh? 12. bagaimana pengaruh pemerintah dalam menumbuhkan keskarelaan pemilih? 13. Bagaimana pengaaruh pengusaha dalam menumbuhkan kesukarelaan pemilih memilih? 14. Apakah faktor pengusaha yang tidak meliburkan karyawannya pada saat pemilu mengurangi minat untuk memilih? 15. Tindakan pemerintah seperti apa yang menghambat atau mendorong bapak/ibu untuk memilih caleg secara sukarela? 16. Bagaimana pengaruh hubungan sosial maupun konflik terhadap kesukarelaan bapak/ibu untuk memilih? C. KEBIJAKAN MENINGKATKAN VOLUNTARISME : 1. Apakah sosialisasi yang dilakukan KPU Memberi sumbangsih bagi kesukarelaan bapak/ibu untuk memilih caleg? 2. Apakah pendekatan/arahan tokoh-tokoh kepda pengikutnya mempengaruhi kesukarelaan memilih? 3. Apakah pendidikan pemilih berdapak pada kesukarelaan pemilih? 4. Apakah baliho/spanduk/iklan dikoran beperngaaruh kepada kesukarelaan bapak/ibu untuk memilih? 5. Apakah pemilh memilih nama caleg dalam pileg? 6. Bagaimana bapak/ibu mendapatkan pendidika politik? 7. Perlukah KPU Memberikan pendidikan politik kepada para tokoh agar mereka mampu secara sukarela mendidik masyarakatnya terhadap pemahaman politik? 8. Apakah alat peraga berupa surat suara membatu pemilih untuk memilih secara sukarela? 9. Bagaimana pengaruh pendidikan politik kepada pemilih pemula terhadap kesukarelaan bapak/ibu memilih caleg? PANDUAN WAWANCARA Narasumber : POLITISI A. BENTUK VOLUNTARISME 1. Sampai akhirnya bapak terpilih jadi anggota dewan, menurut bapak apakah pemilih memilih bapak secara sukarela? 2. Kesukarelaan seperti apa yang bapak ketahui? 3. Apakah pemilih yang memilih bapak menilai bapak secara obyektif? 4. Apakah pemilih yang memilih bapak karena subyektif (kedekatan/kerabat/saudara/sekampung dsb) 5. Apakah pada saat proses pemilihan bapak memberikan bantuan/sumbangan kepada kelompok masyarakat? 6. Berapa banjar, kelompok masy, dadia yg bapak beri sumbangan atau bantuan? 7. Berapa banyak banjar, kelompok msyarakat yg ada di dapil bapak? 8. Bagaimana reaksi pemilih ketika diberikan arahan untuk.memilih bapak pada saat simakrama? B. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT 1. Bagaimana pengaruh faktor tingkat pendidikan akan mempengaruhi kesukarelaan pemilih memilih bapak? 2. Bagaimana pengaruh faktor kesamaan kepentingan akan mempengaruhi kesukarelaan pemilih? 3. Bagaimana canya pada saat pileg bapak melakukan pendekatan kepada para tokoh? 4. Apakah pendekatan kepada tokoh-tokoh memberikan andil kepada kesukarelaan pemilih memilih bapak? 5. Pada saat pileg pasti ada pemilih yang bapak dekati untuk memilih secara sukarela, tetapi akhirnya dia tidak memilih bapaka, Kenapa pemilih tidak sukarela memilih bapak? 6. Adakah tidak adanya surat panggilan memilih/tidak terdaftarnya pemilih dalam DPT mengakibatkan konstituen bapak tidak memilih bapak? 7. Apa yang bapak lakukan sebelum menjadi calon? 8. Apa yang bapak lakukan pada masa kampanye? 9. Apa saja alat peraga kampanye yang bapak miliki? Bagaimana bagaimana bapak menyampaikannya kepada konstituen? 10. Bagaimana pengaruh alat peraga kampanye bapak terhadap kesukarelaan pemilih untuk memilih bapak? 11. Bagaimana peran keterikatan banjar, desa, dan dadia dalam memepengaruhi konstituen bapak memilih bapak secara sukarela? Diantara sekian mana yang paling berpengaruh? 12. bagaimana pengaruh pemerintah dalam menumbuhkan keskarelaan pemilih meilih bapak? 13. Bagaimana pengaaruh pengusaha dalam menumbuhkan kesukarelaan pemilih memilih bapak? 14. Apakah faktor pengusaha yang tidak meliburkan karyawannya pada saat pemilu mengurangi dukungan terhadap bapak? 15. Tindakan pemerintah seperti apa yang menghambat atau mendorong konstituen bapak untuk memilih bapak secara sukarela? 16. Bagaimana pengaruh hubungan sosial maupun konflik terhadap kesukarelaan konstituen bapak untuk memilih? C. KEBIJAKAN MENINGKATKAN VOLUNTARISME : 1. Apakah sosialisasi yang dilakukan KPU Memberi sumbangsih bagi kesukarelaan pemilih memilih bapak? 2. Apakah pendekatan/arahan tokoh-tokoh kepda pengikutnya mempengaruhi kesukarelaan pemilih memilih bapak? 3. Apakah pendidikan pemilih berdapak pada kesukarelaan pemikih memilih bapak? 4. Apakah baliho/spanduk/iklan dikoran beperngaaruh kepada kesukarelaan pemilih memilih bapak? 5. Apakah pemilh memilih nama bapak dalam pileg? 6. Bagaimana bapak melakukan pendidika politik bagi konstituen bapak? 7. Perlukah KPU Memberikan pendidikan politik kepada para tokoh agar mereka mampu secara sukarela mendidik masyarakatnya terhadap pemahaman politik? 8. Apakah alat peraga berupa surat suara membatu pemilih untuk memilih bapak secara sukarela? 9. Bagaimana pengaruh pendidikan politik kepada pemilih pemula terhadap keaukarelaan mereka memilih bapak? JADWAL KEGIATAN TAHAPAN PENELITIAN NO KEGIATAN 1 1 2 3 4 2 Observasi awal Data Awal Penyusunan Proposal Pengajuan proposal 5 Penandatanganan MoU Pengajuan Ijin Penelitian Penyusunan draft wawancara Ke lapangan Riset Penyusunan Laporan Penyampaian laporan ke KPU Kab. Jembrana 6 7 8 11 12 JADWAL (tahun 2015) JUNI JULI AGUSTUS 3 4 5 X X X X X X X X X X KETE RANG AN 6