ANALISA BIAYA-MANFAAT DAN IDENTIFIKASI PENYEBABNYA DEFORESTASI DI INDONESIA : STUDI KASUS PROPINSI KALIMANTAN TENGAH Peneliti : Sugiharso Safuan abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biaya manfaat dari deforestasi dan dan melakukan identifikasi faktor faktor apa yang menjadi pendorongnya. Penelitian ini dimulai dengan menjelaskan secara konsepsual dengan menggunakan teori ekonomi untuk menjelaskan pilihan manfaat dan kerugian apabila deforestasi menjadi sebuah pilihan ( atau tidak menjadi pilihan ) kebijakan. Analisa yang dilakukan diharapkan mampu memberikan alternative pilihan kebijakan (optimal) yang dapat dilakukan dalam konteks pengurangan emisi CO2 tersebut di Indonesia. Keywords: deforestation, economic analysis. JEL classification: C23, Q23 1. Latar Belakang Jika populasi dinosaurus tidak punah 65 juta tahun silam, mungkin kita dapat bertanya kepadanya tentang perubahan iklim bumi yang terjadi di masa itu. Salah satu penelitian ilmiah penyebab kepunahan dinosaurus adalah kepunahan sumber makanannya sendiri. Rantai makanan dinosaurus terganggu akibat matinya tumbuh-tumbuhan yang disebabkan hujan asteroid. Kini, peristiwa kepunahan dinosaurus menginspirasi para ahli ilmu hayati untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap populasi manusia. Walaupun tidak sedrastis dan semenakutkan seperti kepunahan dinosaurus, perubahan iklim secara perlahan telah menurunkan daya dukung sumber daya alam dan lingkungan bagi kehidupan manusia di bumi. Hampir 7 milyar manusia menghadapi risiko akibat perubahan iklim berupa kenaikan temperatur bumi. Sejak tahun 1800 hingga kini, temperatur bumi mengalami kenaikan 0,74 derajat Celsius, diperkirakan di akhir tahun 2100 temperatur bumi akan meningkat 4 derajat Celsius (UNFCCC, 2007). Penyebab prinsipil kenaikan temperatur dalam satu abad terakhir ini ialah: penggunaan energi minyak bumi, batu bara, perambahan hutan dan kesalahan teknik pertanian tertentu. Aktivitas tersebut melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer. Beberapa gas rumah kaca utama adalah karbon dioksida, methane dan nitrioksida. Dalam jumlah yang cukup gas rumah kaca diperlukan untuk menghangatkan 1 suhu bumi. Namun dalam jumlah yang berlebihan dan terus meningkat, keberadaan gas ini meningkatkan temperatur bumi. Bumi yang semakin menghangat menyebabkan perubahan iklim yang saat ini dikenal dengan istilah climate change yang disebabkan oleh global warming. Dampak pemanasan global yang mulai dapat diamati seperti mencairnya es di wilayah kutub, meningginya permukaan air laut, anomali cuaca dan iklim, bencana banjir dan menurunnya produksi pertanian. Diperkirakan dalam jangka panjang output perekonomian baik di negara maju maupun negara berkembang akan mengalami penurunan (Nordhaus, 2002). Pemanasan global merupakan permasalahan sosial ekonomi modern yang sangat kompleks, karena sangat terkait dengan permasalahan kemiskinan, pembangunan dan pertumbuhan penduduk. Adaptasi dan mitigasi terhadap pemanasan global merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Namun, ketidakpedulian atas pemanasan global justru membuat keadaan semakin buruk. Komitmen menghadapi pemanasan global sangat tidak efektif jika hanya melibatkan segelintir individu, kelompok atau negara saja. Karena, iklim dan temperatur global yang kondusif adalah global public goods, dengan karakteristik penggunaan yang nonrivalry dan nonexcludable (Stiglitz, 1999). Selain itu biaya produksi barang publik akan membutuhkan biaya yang besar, sehingga perlu dibuat mekanisme penanggungan bersama. Kerangka perubahan iklim dibawah PBB (UNFCCC) adalah sebuah kerangka konvensi internasional yang mewadahi mekanisme bersama negara-negara mengatasi perubahan iklim. Hasilnya, saat ini hingga tahun 2012 sebagian besar negara dunia (184 negara) berada dalam ikatan komitmen sah Protokol Kyoto. Dokumen ini berisikan kewajiban, hak dan mekanisme setiap negara menghadapi perubahan iklim. Negara yang terlibat pada perjanjian ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama: Annex I, Annex II, Non-Annex dan Least Developing Country (LDC). Sejumlah 37 negara maju dan 1 persatuan kawasan (Uni Eropa) masuk dalam kelompok Annex 1. Sedangkan negara berkembang dikelompokkan dalam negara Non-Annex. Mulai tahun 2008-2012 negara Annex 1 berkewajiban mengurangi gas rumah kaca berupa emisi karbon dalam batas tertentu (baseline). Jumlah baseline emisi karbon setiap negara maju tersebut berbeda-beda dan surplus-defisit karbon dapat ditransaksikan. Maka muncullah istilah carbon market. Mekanisme perdagangan karbon lainnya adalah clean development mechanism (CDM) dan joint implementation (JI). Mekanisme ini memberikan alternatif dan fleksibilitas bagi negara maju untuk memenuhi kewajibannya. Bagaimana peran negara berkembang dan Indonesia? Pada periode 2008-2012, dengan prinsip polluter pay principle (PPP), hanya negara maju yang dikenakan kewajiban pengurangan atau pembatasan emisi karbon sesuai baseline. Hal ini didasari oleh, pemanasan global merupakan hasil dari 2 150 tahun pembangunan negara maju dan industri. Walaupun tidak dikenakan kewajiban pengurangan emisi karbon, negara berkembang dapat turut aktif mengatasi pemanasan global. Salah satunya dengan membantu negara maju atau industri memenuhi kewajibannya, sekaligus berkesempatan memperoleh keuntungan dari setiap proyek pengurangan emisi karbon tersebut. China dan Thailand adalah kelompok negara Non-Annex yang telah memulainya, dengan proyek Energi Angin. Indonesia yang termasuk dalam kelompok non Annex 1 dapat berkontribusi aktif dalam proyek seperti: pengendalian deforestasi, usaha reboisasi (REDD) dan pembangunan energi alternatif menggantikan energi minyak bumi dan batu bara. Selain memberikan manfaat pada iklim global, kontribusi ini berpotensi cukup besar pada perekonomian nasional. Maka jika pemerintah negara maju menerapkan sistem pajak karbon (carbon tax), pemerintah negara berkembang seperti Indonesia harus mampu menciptakan pasar pengurangan karbon (market creation). Untuk memperoleh certified emission reduction (CER) melalui mekanisme CDM. Salah satu program yang perlu diperhitungkan Indonesia adalah program reboisasi atau reforestasi. Mengingat sumber daya hutan di Indonesia yang telah mengalami konversi tinggi sejak tahun 1980-an (deforestasi) perlu ditanam kembali (reforestasi). Namun, pertimbangan sosial ekonomi untuk menanam kembali hutan akan tradeoff dengan penggunaan lahan lainnya. Seperti untuk pembangunan infrastruktur dan ekspansi pertanian. Maka perhitungan empiris ilmiah atas pemanfaatan lahan hutan yang optimal dan efektif sangat dibutuhkan untuk mengetahui biaya dan manfaat (konsekuensi) setiap pilihan program/kebijakan yang diambil. Serta mendukung kerangka global dalam adaptasi dan mitigasi akibat perubahan iklim. 2. Permasalahan dan Tujuan Pentingnya isu deforestasi dan potensi hutan di Indonesia sebagaimana yang diungkapkan di atas menjadi alasan timbulnya pemikiran akan peranan yang dapat dimainkan Indonesia sebagai bagian dalam upaya mengurangi emisi CO2. Dalam rangka peranan deforestasi di Indonesia untuk mengurangi emisi CO2 tersebut, penelitian ini secara khusus akan menyoroti efektivitas cost dan benefit dari deforestasi dan upaya yang dapat dilakukan untuk memperlambat deforestasi. Dalam framework ilmu ekonomi juga akan diperhitungkan target konversi hutan optimal di tengah trade-off antara manfaat konversi di masa sekarang dan kerusakan lingkungan (beserta dampak negative lainnya) yang ditimbulkan di masa yang akan datang. Analisa yang dilakukan pada akhirnya diharapkan mampu menawarkan kebijakan (optimal) yang dapat diberlakukan dalam rangka penurunan deforestasi dan pengurangan emisi CO2 tersebut di Indonesia. 3 Penelitian yang dilakukan nantinya sekaligus secara bertahap akan menjawab pertanyaan berikut: Siapa saja pihak pengguna hutan sekaligus mengidentifikasi agen dari deforestasi di Indonesia? Bagaimana teori ekonomi menjelaskan deforestasi? Berapa biaya dari perlambatan deforestasi di Indonesia? Berapa besar keuntungan dan potensi ekonomi dari perlambatan deforestasi di Indonesia? Berapa baseline dari perlambatan deforestasi dalam konteks government failure (atau no-policy option) sebagaimana kondisi Indonesia dalam menghadapi climate change sekarang ini? Kebijakan apa yang dapat diajukan dalam rangka perlambatan deforestasi di Indonesia (sekaligus analisa cost dan benefit dari tiap-tiap mekanisme kebijakan)? 2. The driving forces of deforestation - a conceptual framework. Sumber : Secreciu (2002), modifikasi oleh penulis Gambar 2. Kerangka Konsepsual Penyebab Deforestasi Pada gambar 2 dapat dijelaskan bahwa besarnya deforestasi ditentukan oleh sejumlah faktor yang dapat mendorong untuk melakukan kegiatan ekonomi yang berimplikasi secara tidak langsung pada masalah pemanasan global. Secara umum faktor faktor tersebut terbagi kedalam dua kategori yaitu : faktor fundamental dan faktor spesifik. Faktor fundamental berpengaruh pada deforestasi dapat bersumber dari 4 adanya persaingan atau kompetisi penggunaan “resourse” untuk kepentingan manusia dan makhluk hidup yang lain. Selain faktor persaingan, dorongan ternjadina deforestasi juga disebabkan oleh adanya kegagalan pasar ( market failure), kebijakan yang gagal ( policy failure), kegagalan secara institusi dalam sistem perekonomian atau ( institution failure). 3. Metodologi Penelitian Secara umum, penelitian ini merupakan penelitian kuantiitatif dimana untuk mejawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagaimana yang disebutkan di atas, akan digunakan studi literatur dan studi empiris dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda yang bergantung pada masing-masing pertanyaan penelitian. Berikut langkah penelitian yang akan dilakukan untuk menjawab masing-masing pertanyaan berikut: Bagaimana teori ekonomi dapat menjelaskan deforestasi? Teori ekonomi yang digunakan sebagai dasar analisa deforestasi sudah sedemikian berkembang. Studi literatur akan membantu sejauh mana teori ekonomi berhasil menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi deforestasi dan dampak yang ditimbulkan dari deforestasi (termasuk peluang trade-off yang ditimbulkan oleh deforestasi terhadap variabel-variabel lainnya. 5 Selanjutnya, teori ekonomi yang ada akan dikembangkan sedemikian rupa hingga menjadi dasar penentuan model dalam mengestimasi dampak perlambatan deforestasi. Berapa besar keuntungan dan potensi ekonomi dari perlambatan deforestasi di Indonesia? Menentukan biaya dari perlambatan deforestasi serta potensi ekonomi dari perlambatan deforestasi di Indonesia merupakan bagian dari analisa cost dan benefit (Cost Benefit Analysis) dari upaya perlambatan deforestasi di Indonesia. Dalam perhitungan biaya, akan dibedakan dan diperhitungkan baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung dari perlambatan deforestasi. Biaya tidak langsung yang akan diperhitungkan antara lain adalah kesempatan yang hilang (opportunity cost) jika menggunakan lahan hutan tersebut untuk alternatif penggunaan lahan oleh sektor lainnya (industri berbahan kayu, industri pertambangan, pertanian dan agribisnis, serta sektor jasa –contoh pariwisata). Untuk memperoleh nilai komponen dari sebagian biaya tidak langsung mungkin akan diperlukan estimasi dimana dalam hal ini metode dynamic panel data analysis akan kembali digunakan sebagai alat estimasi. Adanya kemungkinan efek keuntungan lanjutan (spillover effect) akibat menggunakan lahan untuk alternatif lain kecuali penanaman hutan di masa depan menyebabkan metode penghitungan discounted value (menghitung net present value) juga akan digunakan, dimana pemilihan tingkat discounted value juga memerlukan estimasi tersendiri. Seperti halnya penentuan biaya perlambatan deforestasi, penghitungan keuntungan dan potensi ekonomi dari perlambatan deforestasi di Indonesia merupakan bagian dari analisa cost dan benefit (Cost Benefit Analysis) dari upaya perlambatan deforestasi di Indonesia. Termasuk dalam perhitungan keuntungan adalah kegunaan hutan dalam menjaga kondisi tanah serta sebagai penyerap air, mencegah kebakaran, siklus daur ulang air, sebagai penyerap karbon dan keutuhan keanekaragaman hayati, dimana dalam hal ini keuntungan hutan sebagai penyerap karbon akan menjadi faktor perhatian utama. Dengan demikian, antara lain keuntungan bagi sektor pertanian akibat tidak lepasnya karbon ke alam dan keuntungan bagi pemerintah dalam hal penghematan anggaran infrastruktur akibat naiknya permukaan air, atau keuntungan tidak perlunya biaya migrasi bagi masyarakat pesisir pantai, akan menjadi komponen perhitungan.Untuk memperoleh nilai komponen dari sebagian keuntungan tidak langsung mungkin akan diperlukan estimasi dimana dalam hal ini metode dynamic panel data analysis akan kembali digunakan sebagai alat estimasi. Adanya kemungkinan efek keuntungan lanjutan (spillover effect) akibat pelestarian hutan pan 6 menyebabkan metode penghitungan discounted value (menghitung net present value) juga akan digunakan kembali, dimana pemilihan tingkat discounted value juga memerlukan estimasi tersendiri. Siapa saja pihak pengguna hutan sekaligus mengidentifikasi agen dari deforestasi di Indonesia? Identifikasi pengguna hutan dan pelaku deforestasi di Indonesia merupakan tahapan awal penting dalam studi ini. Dalam rangka mengidentifikasi pengguna hutan akan digunakan analisa deskriptif terhadap pengguna hutan, sementara dalam mengidentifikasi pelaku deforestasi berikut tingkat kerusakan yang ditimbulkan terhadap hutan akan diestimasi dengan menggunakan dynamic panel data model- dimana uji dan analisa ekonometrik akan menentukan apakah metode fixed effect, random effect, GMM, dll akan menjadi model estimasi terbaik untuk hal ini. Berapa baseline dari perlambatan deforestasi dalam konteks government failure (atau nopolicy option) sebagaimana kondisi Indonesia dalam menghadapi situasi sekarang ini? Saat ini dapat dikatakan bahwa saat ini tidak ada kebijakan yang secara khusus diberlakukan di Indonesia dalam rangka menghadapi deforestasi, terutama melalui upaya perlambatan deforestasi. Kondisi ketiadaan kebijakan ini akan menjadi baseline pengukuran jika tidak ada kebijakan kebijakan di Indonesia. Indikator yang secara umum terjadi di Indonesia selama rentang waktu penelitian (antara lain waktu proses deforestasi dan berbagai variabel yang mempengaruhi) akan dijadikan dasar pertimbangan dan referensi untuk menentukan baseline rujukan kebijakan-kebijakan perlambatan deforestasi. Rekomendasi Kebijakan-kebijakan apa yang dapat diajukan dalam rangka perlambatan deforestasi di Indonesia didasarkan atas analisa cost dan benefit dari tiap-tiap mekanisme kebijakan? Berbagai kebijakan mulai dipertimbangkan dan dilaksanakan oleh berbagai negara sebagai upaya untuk memperlambat deforestasi. Penelitian ini akan mengukur cost dan benefit dari setiap kebijakan beserta instrumen keebijakan yang memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia. Kebijakan yang antara lain akan diperhitungkan adalah pengenaan pajak terhadap penggunaan hutan, perhitungan kesediaan masyarakat (willingness to pay) untuk membayar premium assurance untuk kelestarian hutan, dll. 7 Sampel Penelitian Penelitian ini akan mengambil kasus deforestrasi di tingkat propinsi. Propinsi yang dianalisis adalah Kalimantan Tengah atau Propinsi Riau. Pemilihan kedua propinsi ini disebabkan oleh karena banyaknya perusahaan yang menggunakan basis penebangan hutan sebagai sumber utama dalam kegiatan ekonominya. Beberapa contoh jenis kegiatan yang berbasis sumber daya alam ( terutama produk yang dihasilkan oleh sektor kehutanan ) antara lain adalah perusahan pengolahan hasil hutan ( plywood) Organisasi Laporan Penelitian Laporan penelitian dalam studi ini akan disajikan kedalam 5 bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah serta tujuan penelitian. Kerangka konsepsual dengan menggunakan teori ekonomi yang menjelaskan bagaimana manfaat dan biaya yang ditimbulkan akibat kebijakan deforestasi. Selain itu, dalam bab ini juga akan dijelakan secara teoretis faktor faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya deforestasi.Bab III akan menyajikan berkembang termasuk Indonesia serta bagimana deforestasi terjadi di negara negara studi empiris yang pernah dilakukan. Metodologi penelitan yang digunakan dalam studi ini akan diuraikan pada bab IV. Bab V merupakan hasil dan pembahasan. Bab VI merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari studi ini Jadwal Penelitian. Penelitian ini akan berlangsung selama 10 ( sepuluh) bulan sejak proposal disetuji oleh pihak Universitas Indonesia. Tahap tahap pelaksanaan penelitian berserta waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian kegiatan tersebut dapat dilihat dalam Lampiran studi ini. 8 Glossary Annex I Parties The industrialized countries listed in this annex to the Convention which were committed return their greenhousegas emissions to 1990 levels by the year 2000 as per Article 4.2 (a) and (b). They have also accepted emissions targets for the period 2008-12 as per Article 3 and Annex B of the Kyoto Protocol. They include the 24 original OECD members, the European Union, and 14 countries with economies in transition. (Croatia, Liechtenstein, Monaco, and Slovenia joined Annex 1 at COP-3, and the Czech Republic and Slovakia replaced Czechoslovakia.) Annex II Parties The countries listed in Annex II to the Convention which have a special obligation to provide financial resources and facilitate technology transfer to developing countries. Annex II Parties include the 24 original OECD members plus the European Union. Carbon market A popular but misleading term for a trading system through which countries may buy or sell units of greenhouse-gas emissions in an effort to meet their national limits on emissions, either under the Kyoto Protocol or under other agreements, such as that among member states of the European Union. The term comes from the fact that carbon dioxide is the predominant greenhouse gas and other gases are measured in units called "carbon-dioxide equivalents." Clean Development Mechanism (CDM) A mechanism under the Kyoto Protocol through which developed countries may finance greenhouse-gas emission reduction or removal projects in developing countries, and receive credits for doing so which they may apply towards meeting mandatory limits on their own emissions. Certified emission reductions (CER) A Kyoto Protocol unit equal to 1 metric tonne of CO2 equivalent. CERs are issued for emission reductions from CDM project activities. Two special types of CERs called temporary certified emission reduction (tCERs) and longterm certified emission reductions (lCERs) are issued for emission removals from afforestation and reforestation CDM projects. 9 Greenhouse gases (GHGs) The atmospheric gases responsible for causing global warming and climate change. The major GHGs are carbon dioxide (CO2), methane (CH4) and nitrous oxide (N20). Less prevalent --but very powerful -- greenhouse gases are hydrofluorocarbons (HFCs), perfluorocarbons (PFCs) and sulphur hexafluoride (SF6). Joint implementation (JI) A mechanism under the Kyoto Protocol through which a developed country can receive "emissions reduction units" when it helps to finance projects that reduce net greenhouse-gas emissions in another developed country (in practice, the recipient state is likely to be a country with an "economy in transition"). An Annex I Party must meet specific eligibility requirements to participate in joint implementation. Least Developed Countries (LDCs) The World’s poorest countries. The criteria currently used by the Economic and Social Council (ECOSOC) for designation as an LDC include low income, human resource weakness and economic vulnerability. Currently 50 countries have been designated by the UN General Assembly as LDCs. Non-Annex I Parties Refers to countries that have ratified or acceded to the United Nations Framework Convention on Climate Change that are not included in Annex I of the Convention. 10 11 12