Silsila Asri Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia DIMENSI INTERNASIONAL DALAM DEFORESTASI DI INDONESIA Oleh: Silsila Asri Kepala Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau Abstract This paper describes about the involvement of international actors in deforestation in Indonesia. These international actors are classified into two main actor that are International Fund institutions and International creditors. International actors involved in deforestation started when Indonesia passed out the foreign investment policy, which allows any kinds of investment operate in Indonesia development and economic activities. These policies resulted and become Indonesian foreign debts. Private debts to the International creditors such as ECA (Export Credit Agency), in fact was not able to be repaid by the logging companies punctually. These cases were seen in PT. RAPP and PT Indah Kiat debts. Beside those factors above, decentralization of forest management which was started on 2001 resulted in contra productive policies due to insufficient law and legal instrument to accommodate the low enforcement of sustainable development in forestry sector As the solution for private debts, Indonesia government received loan from International donor such as CGI, IMF and World Bank. Those international donors imposed some structural adjustment programs and pushed Indonesia’s economic more liberal. This policy return in further exploitation of Indonesia’s forest and again resulted in deforestation. Key words : deforestation, International donors, International creditors, Foreign Debts Dewasa ini kerusakan lingkungan merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian dalam kajian ilmu hubungan Internasional. Isu ini telah dikategorikan sebagai salah satu isu keamanan non tradisional yang memerlukan sebuah kajian mendalam sehingga dapat diidentifikasi penyebab dan solusi dari perusakan lingkungan yang terus berlangsung. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas salah satu topik mengenai kerusakan lingkungan SPEKTRUM yakni mengenai deforestasi yang terjadi di Indonesia. Deforestasi disebabkan oleh proses eksploitasi hutan yang secara berlebihan untuk memenuhi kegiatan ekonomi dan pembangunan. Dalam proses perusakan hutan ini disinyalir adanya keterlibatan dimensi internasional. Bermula dari pertengahan tahun 1960-an ekploitasi komersial hutan-hutan di pulau-pulau luar jawa Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri telah tumbuh dengan pesat 1 . Akan tetapi kontribusi dari pendapatan hasil penjualan sumberdaya alam tersebut relative tidak berarti bagi pembangunan di daerah, karena hampir 80% pendapatan tersebut langsung diserahkan oleh para pengelola ke pemerintah pusat.2 Suatu kenyataan yang ironis, tatkala hutanhutan di daerah menuju titik kepunahan, sementara masyarkat yang berdomisili di sekitarnya tidak mengalami kemajuan pembangunan yang berarti. Daerah-daerah di propinsi yang terkenal kaya akan sumberdaya hutannya seperti Sumatra, Kalimantan dan Papua, ternyata selama Indonesia merdeka tingkat kemakmurannya masih jauh tertinggal. Dewasa ini Indonesia adalah produsen utama kayu bulat , kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan kertas di samping beberapa hasil perkebunan seperti kelapa sawit, karet, dan coklat seiring dengan perkembangan tersebut Indonesia pun kemudian dijadikan sebagai contoh kasus keberhasilan penyesuaian ekonomi makro, karena dengan kebijakan deregulasi meyeluruh, diversifikasi ekspor serta devaluasi mata uang rupiah, dapat mempertahankan laju pertumbuhan William D. Sunderlin dan Ida Ayu Pradnja Resosudarmo, Laju dan penyebab Deforestasi di Indonesia : Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya, CIFOR Occasional paper No. 9 (1), Maret 1997. hal : 1 2 Lesley Potter dan simon Badcock, The Effect of Indonesia’s Decentralisation on Forest and Estate Corps in Riau Province : Case Studies of the Original District of Kampar and Indragiri Hulu. Cifor, 2001, http://WWW.cifor.cgiar.org. 1 SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia ekonomi yang tinggi. Namun kestabilan tersebut hanya berlangsung sampai medio 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Pertumbuhan ekonomi yang telah diraih merupakan keberhasilan pembangunan yang mengabaikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan hak-hak penduduk lokal, sehingga terjadi krisis lingkungan yang cukup parah dan memerlukan perhatian serius. Krisis ekonomi menciptakan tuntutan baru yang mendorong perusakan hutan yang lebih hebat. Negara dan lembaga donor bagi Indonesia, dibawah kepemimpinan IMF, membuat paket kebijakan perbaikan ekonomi Indonesia, yang mensyaratkan penjualan aset negara serta meningkatkan pendapatan melalui ekploitasi sumber daya alam. Ini adalah salah satu alasan mengapa hingga saat ini pemerintah masih terus saja mengeluarkan kebijakan yang mendorong pengurasan sumberdaya (alam) ditengah gaung reformasi yang terjadi. Proses reformasi pasca Suharto serta dampaknya terhadap hutan dibentuk baik oleh krisis ekonomi itu sendiri maupun oleh campur tangan negara pengutang; serta oleh tuntutan masyarakat sipil dan proses desentralisasi yang ambisius namun kacau. Reformasi juga terhambat karena adanya pengaturan prioritas keuangan yang dilakukan oleh lembaga internasional serta aneka kepentingan para elit politik, bisnis dan militer. Melemahnya pemerintah pusat dan merajalelanya korupsi serta Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri tidak adanya kepastian hukum telah menyebabkan terjadinya peningkatan eksploitasi hutan secara tak terkontrol. Deforestasi harus dilihat sebagai suatu fenomena yang kompleks, dimana beragam factor dan kepentingan saling berinteraksi di dalamnya. Diperlukan suatu kehatihatian untuk mengusut pelaku-pelaku yang terlibat dalam deforestasi. Seringkali kita terjebak pada pandangan yang subjektif. Permasalahan deforestasi muncul sebagian besar akibat dari sistem ekonomi dan politik Indonesia yang korup. Rezim yang berkuasa di Indonesia memiliki sebuah anggapan bahwa sumberdaya alam khususnya hutan adalah sebagai sumber pendapatan yang utama untuk menopang keberlangsungan bangsa ini. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, akan tetapi amat disayangkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam tersebut tidak diseimbangkan dengan upaya pemeliharaannya serta lebih banyak diselewengkan untuk kepentingan pribadi para penguasa. Penyebab dan pelaku deforestasi yaitu pertanian rakyat, transmigrasi, perkebunan dan tanaman keras, industri perkayuan, pemerintah/politik dan perkembangan ekonomi. Penyebab langsung deforestasi ini masih menjadi sebuah perdebatan karena ketidak pastian dari data yang tersedia. Holmes (2002) menemukan bahwa penyebab langsung berikut ini berkontribusi terhadap hilangnya hutan di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi selama periode 1985-1997; “hutan tanaman SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia industri 1,9 juta hektar (11%) ; perkebunan, 2, juta hektar (14%) ; kebakaran hutan 1,74 juta hektar (10%) ; investor kecil 2,4 juta hektar (10%) ; petani pelopor 1,22 juta hektar (7 %)”3. Pengelolaan hutan tidak dilakukan oleh aktor-aktor ekonomi domestik dan pemerintah saja. dalam proses ini ada keterlibatan aktor internasional. Seiring dengan globalisasi produksi dan liberalisasi perdagangan, Indonesia telah membuka pasar dalam negeri dan penanaman modal asing untuk mengelola sumberdaya alam yang melimpah terutama sumber daya hutan dan pertambangan. Proses ini menuntun Indonesia untuk melakukan kegiatan pembangunan ekonomi yang berorientasi ekspor. Dalam implementasinya, terjadi kegiatan eksploitasi yang berlebihan sehingga berdampak terhadap perusakan hutan dan lingkungan. Permasalahan dalam studi ini adalah terjadinya deforestasi di Indonesia diasumsikan sebagai bagian dari keikutsertaan berbagai negara dan lembaga-lembaga internasional. Untuk itu, pertanyaan utama yang ingin dijawab adalah bagaimana mekanisme dan proses keikutsertaan aktor-aktor transnasional dalam kerusakan hutan di Indonesia? Kerangka Konseptual Deforetasi merupakan sebuah fenomena yang kompleks. Gejala ini melibatkan aktor politik yang Luca Tacconi dkk, Proses Pembelajaran (Learning Lesson) Promosi Sertifikasi Hutan Dan Pengendalian Penebangan Liar Di Indonesia, ( CIFOR : 31 September 2003) hal : 9 3 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri demikian luas mulai dari pemerintah, lembaga swadya internasional. Aktor yang terlibat meliputi departemen dalam pemerintahan, perusahaan pencari untung, termasuk perusahaan multi nasional, Program Pembangunan Perserikatan bangsa-bangsa, NGOs seperti kelompok konservasi. 4 Kompleksitas dari deforestasi muncul dari lingkungan dirinya sampai isu-isu lain. Untuk menjelaskan bagaimana keterkaitan antara deforestasi dengan institusi (aktor) di tingkat internasional, maka studi ini akan mengacu pada teori-teori yang relavan dengan politik kehutanan (forest politics). Ada sejumlah faktor yang mengakibatkan munculnya deforetasi. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Humprey, harus dibedakan antara penyebab dan agen yang menimbulkan kerusakan. Agen yang melakukan deforestasi biayanya dilakukan oleh masyarakat lokal mulai dari penebangan, pembakaran dan seterusnya yang dilakukan atas nama kepentingan ekonomi. Sementara itu, penyebab kerusakan dapat disebutkan sebagai berikut yakni pembangunan yang disponsori secara internasional, utang luar negeri dan program penyesuaian struktural, industri berorientasi eksport dan peran perusahaan trans nasional, penanaman obat, kebijakan pembangunan pemerintah, perang dan peranan militer, kemiskinan, pertumbuhan David Hmprey, 1996, Forest Politics: The Evolution of International Cooperation, London : Earthscan Publication. Hal 2-15 Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia penduduk, penyempitan lahan dan gejala alam. Keterkaitan dengan institusi internasional dalam kerusakan hutan dapat dilihat dari beberapa perspektif seperti pembangunan yang disponsori oleh lembaga internasional. Seringkali pembangunan tersebut didisain sesuai dengan kebutuhan dan kehendak dari lembaga-lembaga sponsor. Konsekuensinya, eksploitasi terhadap sumber daya alam menjadi sebuah pilihan dari kompensasi bantuan pembangunan. Selain itu, hutang luar negeri dan penyesuaian struktural adalah dua elemen penting yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana kerusakan hutan di negaranegara berkembang seperti dalam kasus Indonesia. Saat ini, misalnya, Indonesia tercatat sebagai negara penghutan dalam kategori terbesar di dunia. Hutang luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) telah mencapai jumlah sekitar Rp 1000 trilyun dengan rincian Rp 600 trilyun hutang swasta dan Rp 400 trilyun hutang pemerintah 5 . Besarnya pinjaman tersebut telah mengakibatkan sebagian besar dari alokasi ABPN dikeluarkan untuk membayar cicilan dan bungan pinjaman hutang luar negeri. Bahkan pada tahun 2000, perkiraan dari Bank Dunia (World Bank), persentase hutang luar negeri terhadap produk Domestik Broto (PDB) Indonesia telah mencapai angka 99 persen.6 4 SPEKTRUM Untuk informasi lebih jauh mengetai dampak hutang luar negeri, lihat Suzan George, 2002, The Debt Boomerang 6 Kompas, 1 Februari 2001. 5 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri Bagaimana hutang luar negeri mempengaruhi kelestarian sumber daya alam suatu negara? Salah satu cara yang paling lumrah dilakukan adalah dengan membuka akses pasar dalam negeri terhadap negara donor. Konsekuensinya, impor dari luar akan meningkat sementara ekspor cenderung stabil karena ketidak mampuan bersaing di pasar internasional. Akibat lain adalah terjadinya penyesuaian struktural (structural adjusment) berupa deregulasi dalam berbagai sektor seperti pertambangan, kehutanan dan sebagainya yang memberikan kemudahan (akses) bagi para investor terutama dari negara pemberi kredit.7 Pada kasus Indonesia, deforestasi juga dapat dijelaskan sebagai dampak dari kebijakan pemerintah yang berorientasi ekspor. Pada umumnya, perusahaan yang mengelola industri kehutanan berasal dari penmodal asing seperti Taiwan, Korea dan Singpura serta beberapa negara Eropah lainnya seperti Finlandia. Kepentingan atas sumber daya hutan bersifat multidimensi, lintas territorial serta lintas generasi. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis yang komprehnsif untuk menjustifikasi penyebabnya dalam rangka mencari solusi dari permasalahan deforestasi ini. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai aktor-aktor yang ikut andil dalam deforetasi di Indonesia, terlebih 7 Hanief. I. Furqon, 2002, Penyesuaian Struktural di Indonesia. Disertasi Ilmu Politik PPS UI. SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia dahulu diperlukan sebuah pemahaman terhadap proses deforestasi dan mengklasifikasi pendekatan yang digunakan. Aspek ekonomi merupakan dimensi yang paling dominan berkontribusi dalam proses deforestasi. Variabel-variabel dalam model deforestasi dari sisi ekonomi ini dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe yakni ; 1. Magnitude and location of deforstation (magnitudo dan lokasi deforestasi) : variabel ini merupakan variabel dependent utama. 2. Agent Of deforestation (agen deforestasi) : variabel ini mengacu kepada individuindividu atau perusahaan yang terlibat dalam perubahan penggunaaan lahan. Karakteristik agen deforestasi dapat diidentifikasi berdasarkan initial population, objectives and preference, initial resources endowments and knowledge dan cultural attributes. 3. Choice variables (variablevariabel pilihan) : yang dimaksud disini adalah aktivitas-aktivitas agenagen yang terlibat dalam pembuatan keputusan. Dengan pengertian bahwasanya mereka bersifat endogen. Masingmasing keputusan agen atau kelompok agen berhubungan dengan Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri 4. 5. Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia pemilihan variabelvariabel yang menentukan jumlah hutan-hutan yang akan ditebangi. Variabelvariabel pilihan ini dapat dilihat dari land allocation, labour allocation and migration, capital allocation, consumtion dan other technological and managemnt decisions. para agen secara langsung dan bersifat eksogen. Pada tingkat makro dan instrumen kebijakan faktor-faktor yang berpengaruh antara lain ; demographics, government policies, world market prices asset distribution, macroeconomic trends dan technology.8 Agent’s decision parameters ( paramter keputusan agen) ; variabel- variabel ini secara langsung mempengaruhi keputusan agen yang nantinya mengacu pada variabelvaribel pilihan, tetapi bersifat ekternal untuk masing-masing agen. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi parameter keputusan agen-agen tersebut antara lain ; outprices, labour costs, other factor (input) prices, accessibility, available technology and information, risk, property regimes, government restrictions, other constrains on factor use dan environmental factors (physical) Pada skema di bawah ini ( Skema 1), secara sederhana dapat digambarkan bagaimana interaksi antara varibel-variabel tersebut yang berakibat pada deforestasi [lihat lampiran: Skema 1] Macro-level variables and policy instrument ; variabelvariabel yang berakibat pada pembersihan hutan akan berpengaruh terhadap parameter keputusan, tetapi tidak berakibat pada keputusan SPEKTRUM Merujuk pada beberapa penelitian terdahulu penulis mencoba untuk mengambil kesimpulan umum bahwa penyebab utama deforestasi adalah kebijakan pembangunan Indonesia yang tidak dilandaskan kepada “sustainable development” (pembangunan yang berkelanjutan). Paradigma pembangunan berkelanjutan bertumpu pada keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial manusia dengan kemampuan sumber daya bumi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan9. Penelitian World Bank menunjukkan perubahan persepsi tentang pelaku dan penyebab deforestasi, yang pada mulanya David Kaimowitz dan Arild Angelsen, Economic Models of Tropical Deforestation A Rivew, CIFOR 9 Hira P. Jhamtani, Pembangunan Berkelanjutan diTtengah-tengah Globalisasi. Adakah harapan?, global Vol. 5 No. 1 November 2002 ( Jakarta : Lab HI Fisip UI ) hal : 2 8 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia menjustifikasi pertanian rakyat sebagai pelaku utama beralih melihat hutan tanaman industri. Perubahan pandangan ini sejalan juga dengan asumsi bahwa pengelolaan hutan Indonesia selama masa orde baru terpusat di tangan pemerintah dan orientasi utamanya adalah produksi dengan sedikit mengabaikan permasalahan lingkungan dan sosial. Dalam laporan penelitian ini yang akan dielaborasi lebih jauh adalah keterlibatan dimensi ekonomi politik global yang melakukan penentrasi dalam industri kehutanan Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tulisan ini terutama ditujukan untuk mengeksplorasi tentang keterlibatan aktor-aktor internasional dalam deforestasi di Indonesia. Aktoraktor tersebut mencakup perusahaanperusahaan multinasional atau transnasional yang beroperasi dan berinvestasi di Riau serta oraganisasiorganisasi internasional lainnya yang concern terhadap permasalahan lingkungan. Oleh karena itu pendekatan ekonomi yang digunakan dalam pelitian ini merujuk pada industri kehutanan yang berkembang pesat di di Indonesia selama beberapa dekade terakhir, terutama sejak krisis 1997. Ekonomi Indonesia Politik Kehutanan Merujuk pada pemaparan sebelumnya (deskripsi, skema dan tabel) serta beberapa penelitian terdahulu, tidak terlihat signifikansi yang jelas dan langsung dari pihak SPEKTRUM Internasional sebagai pelaku dan penyebab deforestasi Indonesia dan Riau khususnya. Namun demikian melalui pendekatan ekonomi politik global, benang merah keterkaitan tersebut dapat ditarik menjadi sebuah kesimpulan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi di luar negara ini berkontribusi secara langsung dan tidak langsung dalam permaslahanpermasalahan kehutanan di Indonesia. Periode pembangunan di Indonesia yang telah dimulai sejak repelita I pemerintahan orde baru berorientasi pada pencapaian tingkat modernisasi dan industrilisasi. Arief Ramelan Karseno mengelompokkan pembangunan ekonomi dan Industrialisasi Indonesia dalam empat tahap. Pertama, masa stabilisasi ekonomi antara tahun 1960-1970-an. Pemerintah mengeluarkan kebijakan kebijakan pemerintah mengenai penanaman modal asing (PMA), UU No. tahun 1967 dan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dalam UU No.6 tahun 1968. Dalam proses tersebut Indonesia membuka diri terhadap perekonomian luar negeri dan para investor asing untuk menggerakkan pembangunan. Fenomena yang terjadi adalah impor membanjir, dibarengi dengan tambahan dana pembangunan dari pinjaman luar negeri, sehingga mendorong pesatnya perkembangan ekonomi. Tahap kedua, disebut tahap Bonanza Minyak, dimana pembangunan sebagian besar dibiayai oleh penerimaan negara dari ekspor minyak. Pada saat itu terjadi kenaikan Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri harga minyak dunia akibat perang teluk. Dana pembangunan bertambah dari sumber investasi pemerintah. Tahap ketiga tahun 1982-1985 merupakan masa resesi ekonomi bagi Indonesia, Karen turunnya harga minyak dunia. Untuk mengatasi permasalahan ekonomi pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan ekspor non migas, terutama bersumber dari produkproduk hutan. Tahap keempat, 1986berakhirnya orde baru, adalah tahap deregulasi ekonomi. Pemerintah mulai mengurangi hambatan-hambatan perdagangan dan meningkatkan efisisensi industri nasional. Kebijaksanaan pemerintah berorientasi pada pembangunan industri dan perdagangan, dari subsitusi import menjadi orientasi ekspor. Tujuan akhirnya adalah peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk itu pemerintah melakukan beberapa deregulasi ekonomi, yang bertujuan mempersiapkan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan kawasan dan dunia, termasuk di dalamnya deregulasi sector industri kehutanan. Di bidang investasi asing derugulasi yang dikeluarkan pada tahun 1994, yaitu PP 20 /1994 mengakibatkan perekonomian Indonesia menjadi ekonomi paling terbuka di dunia bagi investasi asing 10. Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia Salah satu keunggulan ekonomi dan Industri suatu bangsa adalah keunggulan dalam hal faktor produksi . Indonesia kaya akan sumber bahan baku industri, terutama hasil-hasil hutannya, yang mendorong Indonesia menjadi pemasok utama bahan baku indutri yang memanfaatkan hasil-hasil hutan. Akibatnya hutan-hutan Indonesia mendapat tekanan ekstraktif yang besar. Dari keseluruhan tahap pembangunan ekonomi dan Industri di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keterbukaan perekonomian Indonesia telah mengundang teribatnya aktor-aktor ekonomi negara lain dalam pengelolaan sumberdaya alam Indonesia. pengelolaan sumberdaya hutan menjadi alternative pilihan ketika sumber daya migas tidak lagi sanggup menopang pendanaan pembangunan nasional. Dalam rentetan tersebut Indonesia juga telah beralih menjadi negara pengutang. Utang-utang tersebut tidak hanya hutang pemerintah, melainkan juga hutang-hutang perusahaan swasta nasional, yang kemudian menarik Indonesia ke dalam lilitan hutang seperti sekarang. Lilitan hutang luar negeri ini selanjutnya berimplikasi pada pengurasan sumberdaya alam yang lebih parah lagi. Tekanantekanan negara kreditur yang tergabung dalam lembaga donor Internasional secara tidak langsung memaksa Indonesia untuk mengekploitasi hutan. Keterlibatan Jaringan Internasional Arief Ramelan Karseno, Industrialisasi, Globalisasi dan Permasalahan Indonesia dalam Jurnal Kebangsaan Perekonomian Nasional Kita Antara Harapan Dan Kenyataan, Vol 1 No.2, 1997 10 SPEKTRUM Jaringan internasional yang berkontribusi dalam permasalahan Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri hutan di Indonesia dalam tulisan ini mengacu pada dua dikotomi. Pertama lembaga Donor Internasional dan kedua negara-negara patner dagang dan bisnis kehutanan. Keterlibatan jaringan internasional ini dapat dilihat dari dua sisi, yakni sebagai pelaku dan penyebab deforestasi di satu sisi. Di sisi lain sebagai pemerhati hutan tropis Indonesia yang memberikan tekanantekanan secara langsung dan tidak langsung terhadap pembenahan pengelolaan hutan yang lestari di Indonesia. berdasarkan pemikiran ini, dapat disimpulkan bahwasanya keterlibatan pihak asing menjerat Indonesia dalam dilemma. Kontribusi dunia internasional dalam deforestasi di Indonesia dapat dilihat dari dua hal yakni, pertama melalui kegiatan perdagangan produkproduk hutan secara internasional. Kedua melalui kegiatan investasi asing dalam pencapaian pertumbuhan pembangunan Indonesia, khususnya yang melibatkan sektor kehutanan. Ketiga utang luar negeri, dimana dalam hal ini melibatkan lembagalembaga donor dan lembaga kredit Internasional. Dalam prakteknya ketiga kegiatan tersebut saling berkontribusi satu sama lain membentuk sebuah jaringan kegiatan ekonomi internasional sektor kehutanan Indonesia, yang lebih lanjut berimplikasi pada deforestasi hutan Indonesia. Dalam konteks otonomi daerah, kegiatan ekonomi kehutanan merupakan sumber utama bagi daerah untuk memaksimal PAD. Berikut ini akan dibahas mengenai kegiatan Investasi asing dan utang luar negeri yang berimplikasi pada deforestasi SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia hutan Riau. Kegiatan perdagangan dalam hal telah include kedalam kegiatan Investasi. a. Investasi Asing dalam Sektor Kehutanan Indonesia Komoditi perdagangan terbesar kedua Indonesia setelah minyak adalah produk-produk hutan, terutama kayu. Disamping minyak, komoditi perdagangan Indonesia adalah produk-produk dari hasil pemanfaatan hutan. Kegiatan pemanfaatan hutan dalam pembahasan ini merujuk pada semua bentuk pengelolaan hutan seperti logging, hutan tanaman industri serta pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan. Investasi diperlukan untuk meningkatkan kapsitas produksi sektor kehutanan seiring dengan meningkatnya permintaan pasar terhdap produk-produk kehutanan dan perkebunan. Investasi asing masuk ke Indonesia sejak pemerintahan orde baru, dimana ketika itu seluruh pengelolaan investasi sector kehutanan masih terpusat. Seiring dengan bergulirnya orde reformasi dan otonomi daerah, daerah-daerah semakin terbuka bagi investai Asing. Pemerintah daerah telah melakukan berbagai promosi untuk menarik investor asing demi memajukan industri dan perdagangan. Pada tataran global ada suatu perubahan dramatis dalam investasi sejalan dengan ekspansi logging internasional di negara-negara Asia dan Pasifik. Hampir dari seluruh investasi tersebut baru-baru ini dicirikan dengan “south- Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri south”, dimana kontrol investasi dilakukan oleh perusahaan-perusahan dari negara-negara non-OECD mislnya seperti Malaysia dan Indonesia. Sedangkan dua puluh tahun yang lalu investasi-investasi di wilayah Asia dan pasifik terutama dikendalikan oleh Jepang, Amerika serikat dan negaranegara Eropa11. Dinamika ini didorong oleh berbagai faktor. Seperti peningkatan kekurangan log yang dihadapai oleh industri-industri kayu seperti sawmills, plywood dan pabrik-pabrik furniture di Jepang, Korea, Malaysia, Thailand, Filipina, dan negara-negara Asia lainnya, sementara itu pasar kayu tropis terus mengalami pertumbuhan. Operasi-operasi kehutanan yang paling menguntungkan dapat dilakukan di sisa-sisa hutan tropis Asia tenggara yang menyediakan konsensikonsesi kayu dengan biaya rendah. Indonesia memiliki hutan tropis yang menyediakan konsesi-konsesi kayu tersebut, dan investasi asing di daerah ini juga di dorong oleh letaknya yang strategis dekat dengan kawasan Asia. Di samping itu, Indonesia juga menyediakan kerja yang murah. Kondisi ini berimplikasi pada rendahnya biaya operasional yang merupakan salah satu faktor penting dalam pertimbangan operasional perusahaan industri sektor kehutanan. Nigel Sizer & Dominiek Plouvier, Increased Investment and trade by transnasional logging Companies in ACP-countries : Implications for sustainable forest management and conservation, A Joint Report of WWF-Belgium WRI & WWFInternational 11 SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia Dinamika peralihan investasi ini lebih mendorong bagi eksploitasi kehutanan yang unsustainable, karena tingakat kesadaran negara-negara sumber investasi masih rendah dalam memperhatikan lingkungan. Tidak seperti negara-negara Eropa yang sudah memberlakukan sistem sertifikasi dan ekolabel dalam impor produk-produk hutan. Kesepakatankesepakatan untuk bekerjasama dalam hal illegal logging antara-antara negaranegara importer asia baru terjadi ketika adanya tekanan dari partner bisnis mereka yang berasal dari Eropa, seperti Malaysia dan Cina. Namun beberapa sumber berita menyatakan bahwa diam-diam Cina masih menjadi pemasok illegal logging Indonesia. Selain itu, investasi south-south ini berdampak negatif terhadap lingkungan juga disebabkan oleh kapasitas perusahaan-perusahan pengolahan kayu tersebut dalam melakukan identifikasi area-area kritis yang penting untuk konservasi biodiversity dan pengelolaan batas air. Lebih jauh lagi, banyak dari mereka yang memiliki kapasitas kecil untuk memonitor operasional dilapangan sehingga hanya ada sedikit informasi yang tersedia mengenai dampakdampak aktualnya terhadap lingkungan. Investasi-investasi baru ini cendrung terkosentrasi di negaranegara yang secara umum lemah dalam masalah hokum, perangkat pengaturan sosial dan lingkungan, karena kapsitas pemaksaannya kecil. Kelemahan ini dalam beberapa kasus berimplikasi pada sering terjadinya sogokan dan korupsi. Kasus ini terjadi di Indonesia. selama era orde baru dan Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri bukannya tidak mungkin pada era otonomi daerah dan reformasi, operasional industri kehutanan Indonesia telah dan akan berlangsung dibawah sogokan dan korupsi. Kelemahan itu terjadi karena kurangnya good governance Indonesia, sehingga komitmen-komitmen internasional yang diratifikasi tidak disertai oleh perubahan kebijakan dan tindakan yang nyata. Meskipun ada kecendrungan bermunculannya investasi south-south, tidak menafikan bahwa andil terbesar dalam deforestasi Indonesia ini didalangi oleh lembaga-lembaga donor internasional yang didalamnya terlibat negara-negara maju. Sesungguhnya lembaga-lembaga donor internasional ini memiliki program untuk mempromosikan konservasi hutan dan pengelolaan yang bertanggung jawab. Namun kebanyakan dari inisiatifinisiatif tersebut mengalami kegagalan karena kurangnya komitmen dari negara-negara penerima, dan terlebih lagi didorong oleh kebijakan-kebijakan lembaga donor tersebut yang bersifat konfliktual dan didalamnya sarat persaingan dengan kepentingankepentingan politis. Keadaan ini menyebabkan negara-negara penerima terjebak dalam dilemma. b. Utang Luar Negeri Indonesia Persoalan utama yang melibatkan pihak asing dalam deforestasi Indonesia berkaitan dengan investasi asing yang berbalik menjadi utang luar negeri Indonesia. Hutang luar negeri Indonesia tersebut sebagian besar merupakan hutang-hutang para SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia konglomerat kayu yang diambil alih oleh negara dan harus ditanggung oleh rakyat Indonesia. Bagian yang signifikan dari hutang tersebut merupakan hutang perusahaanperusahaan yang pendapatannya amat tergantung pada produk hutan dan kelapa sawit. Peraturan pemerintah yang lemah dalam perbankan turut andil dalam memberikan peluang bagi praktek-praktek bisnis berisiko tinggi yang ternyata tidak berkelanjutan begitu terdepresiasinya rupiah pada tahun 1997 12 . Sektor kehutanan dan perkebunan menimbulkan resiko karena ketidakpastian atas ketersediaan bahan baku dalam jangka panjang , potensi konflik social yang besar dan industri ini sangat tergantung pada koneksi politik untuk mendapatkan akses pada bahan baku serta subsidi. Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh Christoper Barr dan kawan-kawan, kegiatan kehutanan dan perkebunan mencakup 8 % dari jumlah hutang perusahaan pada BPPN. Jumlahnya saat ini mencapai 28 triliun, dimana 18 triliunnya adalah kredir macet. Pada januari 1999, konglomerat dengan kepemilikan yang cukup besar dalam sector kehutanan mempunyai kredit macet US$ 4,3 milyar. Dari jumlah ini US$1,8 milyar langsung berkaitan dengan kegiatan kehutanan dan perkebunan 13 . Kelompok-kelompok konglomerat Christoper Barr dkk, Hutang Perusahaan dan Sektor Kehutanan Indonesia, dalam Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia ( Jakarta : Yayasn Obor Indonesia, 2003) hal: 338 13 ibid, hal : 340 12 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri beserta gambaran hutang dan kredit macetnya dapat dilihat pada table berikut [lahat tabel 1, terlampir] Salah satu kelompok tersebut yang beroperasi di Indonesia adalah Group Sinar Mas dengan anak perusahaannya RAPP dan Kelompok Raja Garuda MAS dengan anak perusahaannya Indah Kiat, yang beroperasi di Propinsi Riau. 14 Selain kewajiban-kewajiban dalam negeri, kelompok-kelompok ini mempunyai hutang dalam mata uanga dolar yang besar pada kreditur asing. Grup Sinar Mas , yang menguasai 50% produksi pulp dalam negeri, mempunyai hutang internasional lebih dari US$ 9 Milyar, kebanyakan melalui Asia Pulp & Paper (APP) yakni sebuah anak perusahaannya di Singapura yang juga beroperasi di Riau dengan RAPP. Kelompok raja garuda Mas meminjam US$ 1,6 milyar dari pasar uang luar negeri (offshore) melalui perusahaan holding company-nya sendiri di Singapura, Asia Pacific Resource International Ltd. (APRIL)15. Lembaga Keuangan Internasional yang concern terhadap permasalahan kehutanan Indonesia diantaranya adalah CGI, World Bank, IMF dan ECA. Lembaga-lembaga ini sendiri telah mengalami perubahan persfektif terhadap pengelolaan hutan di Indonesia. pada tahap awal, secara implisit memberikan tekanan ekstraktif yang besar terhadap sumber daya hutan Indonesia, kemuadian Riau, diambil sebagai sampel untuk menjelaskan kondisi investasi yang berbalik menjadi utang luar negeri Indonesia 15 ibid, hal : 341-342 14 SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia beralih menjadi pengecam atas pengelolaan hutan Indonesia yang tidak mendukung terhadap pelestarian lingkungan. Meskipun kecaman tersebut juga tidak menghilangkan tekanan implisit yang membuat Indoensia tidak bisa berhenti dalam mengeksploitasi hutan. Pergeseran persfektif ini seiring dengan munculnya wacana tentang lingkungan hidup dalam tataran global beberapa tahun terakhir. 1. Export Credit Agency (ECA) Langsung atau tidak langsung, pinjaman sektor kehutanan cenderung mempercepat kerusakan hutan. Pinjaman sektor kehutanan tidak memenuhi tujuan untuk mencegah degradasi dan kerusakan hutan. Konsekuensi ril dari pinjaman tersebut malah sebaliknya menaikkan beban utang Pemerintah Indonesia dan nilai tukar mata uang asing. Solusi yang tergambar untuk permasalahan ini adalah dengan mengeksploitasi sumber-sumber hutan. Export Credit Agencies (ECA) merupakan suatu institusi Financial Public terbesar di dunia dan mengalahkan peranan bantuan pembangunan bilateral dan multilateral lainnya. Institusi yang tergabung dalam ECAs ini antara lain US Export Import Bank dan The Japan Bank for International Cooperation (JBIC, Germany’s Hermesbuergschaft, France’s COFACE, The British Export Credit and Guarantee Department (ESGD), Canada’s Export Development Corporation (EDC, Italy SACE dan Scandinavian ECAs. Selanjutnya yang bertindak sebagai Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri World Bank ECA adalah MIGA (Multilateral Investment Guarantee Agency). Institusi-institusi tersebut baru-baru ini menyetujui pinjaman lunak baru dan jaminan sebesar US$ 15 Juta. Proyek-proyek pinjaman dari Institusi ECAs melalui MIGA telah mendorong mega proyek destruktif yang berbahaya secara ekonomi, sosial dan lingkungan sepanjang region asia pasifik. Utang, hibah dan dana Badan Kredit Ekspor pemerintah (ECA) berdampak besar pada hutan dan masyarakat sekitar hutan. Tujuan utama dari ECAs adalah mempromosikan ekspor dan investasi asing perusahaan-perusahaan dari negara-negara mereka yang tergabung dalam ECAs. Fasilitas-fasilitas ECAs disediakan untuk proyek-proyek kewirausahaan atau institusi finansial, dimana proyek-proyek tersebut bisa jadi melakukan usaha patungan (Joint Venture), pengalihan proyek-proyek kunci atau pembelian peralatan serta jasa. Bagi klien ECAs yang menginginkan investasi atau proyek lainnya di suatu negara sedang berkembang akan dihubungkan dengan ketersediaan bahan baku, tenaga kerja dan keamanan. Negaranegara penerima investasi biasanya akan mengkondisikan keamanan tersebut melalui militer, sementara itu keamanan politik dan ekonomi bisa disediakan oleh ECAs yang memberikan pinjaman lunak, asuransi resiko politik dan jaminan investasi. Hal ini dilakukan ECAs melalui kerjasamanya dengan lembagalembaga keuangan lain seperti IMF, CGI dan World Bank yang menyaratkan SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia penyesuaian struktural seperti deregulasi, privatisasi dan liberalisasi bagi negara-negara penerima bantuan. Suatu perusahaan yang mencari pinjaman lunak dari bankbank komersil untuk suatu proyek yang besar dengan mempertimbangkan resiko ekonomi dan politik akan cendrung pertama kali berusaha mendapat dukungan ECAs, apakah dalam bentuk pinjaman lunak langsung, jaminan investasi atau asuransi resiko politik. Dalam banyak kasus ECAs kemudian akan menyaratkan suatu soverign counter guarantee (semacam jaminan dari pemerintah yang berkuasa ) pada negara dimana proyek tersebut akan diimplementasikan. Jika proyek tersebut gagal karena alasan-alasan ekonomi dan politik, ECAs akan mengganti kerugian, namun selanjutnya akan membebankannya pada negara penerima (host country) untuk mengganti sejumlah uang yang sudah dikeluarkan ECAs. Apabila Host Country tersebut tidak memiliki cukup dana, maka World Bank akan membantu memberi pinjaman yang nanti pada akhirnya meningkatkan jumlah hutang negara. Sistim ini mengkonversikan resiko-resiko inherent dalam transaksi untunguntungan suatu sector swasta menjadi hutang publik negara-negara berkembang16. Dari uraian mengenai jaringan kerja ECAs tersebut, yang menjadi NADI dan Environmental Defence, A Brief Overview of Export Credit Agencies in the Asia Pacific Region, (Mumbai, India : World Social Forum, Januari 2004). Hal : 1-9 16 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri pertanyaan adalah ; siapa yang berkompeten melobi pemerintah untuk mendapatkan soverign counter guarantee tersebut?. Sovereign Counter Guarantee tersebut dapat diperoleh oleh perusahaan dengan mudah di negara-negara yang korup. Untuk kasus Indonesia pada masa era pemerintahan Soeharto, mega-mega proyek yang didukung oleh ECAs ini bayak terjadi. Salah satunya adalah kasus perusahaan pulp dan kerta yang terbesar di Riau yaitu RAPP dan Indah Kiat. Mekanisme Hutang ECAs dan APP Asia Pulp and Paper (APP) adalah perusahaan kertas dan pulp terbesar di Indoensia. APP anggota dari Sinar Mas Group, suatu konglomerasi perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar yang dimiliki oleh Eka Tjipta Wijaya. APP merupakan perusahaan induk dari empat operasi perusahaan kertas dan pulp di Indonesia yakni Indah Kiat, Lontar Papyrus, Pindo Deli dan Tjiwi Kimia. Bersamaan dengan krisis ekonomi Asia, APP juga mengalami krisis pada tahun1997. perusahaan memperoleh pinjaman lunak sebesar US$2,9 pada tahun 1998 dan 1999, termasuk US$1,2 juta dari bank konlomerasi SMG sendiri yaitu BII. Tahun 1999 perusahaan mengumumkan bahwa perusahaan tidak dapat membayar bunga hutangnya. Sementara waktu itu dana cadangan BII mulai habis, pemerintah dengan cepat melakukan bail-out terhadap BII untuk mencegah penarikan dana besar-besaran oleh para nasabah. Kondisi ini memaksa SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia Indonesia untuk menambil alih hutang tersebut karena dalam rantai hutang antara APP-SMG-BII-IBRA, telah ditanda tangani oleh pemerintah suatu perjanjian rekapitalisasi antara BII dan IBRA. Skema di bawah ini memperlihatkan jaringan hutang SMG dan IBRA. Dalam upaya untuk memenuhi kewajiban hutang tersebut, APP harus meningkatkan kapasitas produksi dengan pasokan bahan baku murah. Indah Kiat menyatakan 70% supply kayu untuk produksi berasal dari log legal hutan-hutan konsesi di Riau, terutama dari PT. Arara Abadi. Sisa kebutuhan kayu lainnya dipasok dari berasal dari penebangan illegal, bahkan diassumsikan pasokan log illegal untuk Indah Kiat memiliki porsi substansial yang signifikan dibanding pasokan legal. 2. Consultative Indonesia (CGI) Group on Organisasi kreditur multilateral dan bilateral bagi Indonesia, di bawah kepemimpinan Bank Dunia, kelompok donor yang beranggotakan antara lain: IMF, Asian Development Bank, The European Comission dan lembaga-lembaga PBB serta kreditur bilateral seperti AS, Inggris dan Jepang, setiap tahun dalam forum Consultative Group on Indonesia (CGI) bertemu untuk menentukan besarnya bantuan pinjaman yang akan diberikan. telah Dalam pembicaraan tersebut terjadi perubahan dasar Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri pengembilan kebijakan. Selama pemerintahan Suharto, kelompok ini sering mengabaikan masalah HAM dan lingkungan. Namun, setelah era Suharto agenda utama para donor tersebut adalah mencoba menuntut perbaikan dalam pengelolaan dan pengaturan hutan. Mereka menenkankan “Good governance” dalam pengelolaan sumberdaya yang sebelumnya dianggap sebagai campur tangan politik. Perubahan perspektif ini berpengaruh pada perdebatan mengenai kebijakan hutan.Manajemen hutan untuk pertama kali disebut pada pertemuan CGI bulan Juli 1999. Pada kesempatan tersebut, Bank Dunia membeberkan bukti bahwa tingkat kerusakan hutan yang terjadi dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya. Pada bulan Januari tahun berikutnya CGI mengadakan pertemuan pertama yang secara khusus membahas masalah kehutanan dan menghasilkan delapan petunjuk pelaksanaan (action point) untuk diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Di dalamnya terdapat penekanan-penekanan pada penegakkan hukum, aturan-aturan anti korupsi dan partisipasi stakeholder serta lebih memusatkan perhatian pada penebangan illegal . Kedelapan poin tersebut adalah: 1) Menghentikan penebangan ilegal; 2) Mempercepat penilaian terhadap hutan sebagai landasan program hutan nasional (National Forest Program); 3) Moratorium terhadap seluruh konversi hutan alam sampai adanya SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia kesepakatan yang dicapai dalam NFP; 4) Memperkecil industri berbasis kayu untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran terhadap kayu serta meningkatkan persaingan; 5) Menutup perusahaanperusahaan yang memiliki banyak hutang yang berada dalam kontrol BPPN; 6) Menghubungkan antara program reboisasi hutan dengan industri hutan serta program lainnya yang sedang dikerjakan; 7) Mengkalkulasi ulang “ nilai nyata “ dari kayu; 8) Memanfaatkan proses desentralisasi sebagai sarana untuk mengembangkan manajemen keberlanjutan hutan17. Program program yang dijalankan untuk memnuhi delapan poin tersebut diatas tidak terlaksan secara maksimal karena masih terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam implementasi setiap kebijakan pemerintah yang mengakomodasi pelaksanaannya. Hal ini merupakan syarat Bank Dunia, namun bukan hasil yang diharapkan oleh para kreditur. Benturan kepentingan antara kelompok bisnis baik domestic, internasional dan pemerintah serta Edisi Bahasa Indonesia dari Bagian II: Reformasi Hutan pasca era Suharto "Forests, people and Rights, A Down to Earth Special Report, Juni 2002" 17 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri lembaga donor internasional mengakibat kebijakan-kebijakan tumpang tindih dan konsekuensinya pengelolaan hutan Indonesia tetap sama, tidak ada perubahan kea rah perbaikan yang signifikan. 3. (IMF) International Monetary Fund Reformasi peraturan pertama yang berdampak kepada hutan termuat dalam letter of intent (LoI) antara IMF dengan pemerintah Indonesia bulan Oktober 1997 dan Januari 1998. LoI adalah dokumen yang menjabarkan persyaratan hutang yang harus disetujui Indonesia untuk mendapatkan pinjaman sebesar USD 11 milyar sebagai bagian dari paket bantuan hutang (lihat catatan dibawah untuk rincian tentang LoI ini). Sejak penandatanganan LoI pertama dari 17 yang ditanda-tangani dalam 4 tahun berikutnya, sudah ada kontradiksi. Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia keberlanjutan lingkungan hutan” tidak konsisten dengan penghapusan pelarangan ekspor minyak sawit dan diperbolehkannya investasi asing pada sektor ini, sebuah langkah yang nampaknya memicu terjadinya percepatan konversi hutan menjadi perkebunan. Ketentuan-ketentuan ini tidak menjamah penyebab mendasar terjadinya penggundulan dan degradasi hutan. Masyarakat adat dan penduduk sekitar hutan semakin terpinggirkan karena hak mereka untuk ikut menguasai hutan dan sumber daya hutan terabaikan. Ironisnya meskipun LoI mengharuskan adanya transparansi yang lebih besar serta konsultasi dengan masyarakat sipil, proses pembuatan rancangan LoI itu sendiri sama sekali tidak transparan karena tidak melalui uji kelayakan publik. 4. Meskipun ada peningkatan dalam pengelolaan dan transparansi (contohnya tuntutan untuk mereformasi aturan-aturan konsesi HPH, pengenalan surat jaminan dana kinerja/performance bonds dan penghapusan kartel) yang secara jelas memberikan manfaat baik bagi hutan maupun bagi penerimaan pemerintah. Namun beberapa kebijakan lainnya seperti mengurangi pajak ekspor kayu pada akhirnya akan mengakibatkan terjadi kecendrungan untuk meningkatkan ekspor kayu. Kemudian persyaratan untuk mengurangi target luas hutan yang dapat dikonversi (menjadi lahan pertanian) sampai “tingkat yang diperbolehkan untuk SPEKTRUM World Bank (WB) Pada tahun 1993 Bank Dunia memberikan pinjaman sebesar USD 120 juta dengan persyaratan reformasi kehutanan, namun gagal karena program pinjaman tersebut dianggap dapat mengancam kepentingan bisnis dari pihak-pihak yang dekat dengan Suharto. Barulah pada tahun 1989 Bank Dunia (dengan FAO) berhasil memulai program kehutanan. Proyek kedua didesain untuk penyediaan nasehat mengenai kebijakan kehutanan namun hal ini dihentikan pada tahun 1995. Sejak saat itu terjadi keterlibatan Bank Dunia dalam bidang kehutanan secara tidak langsung melalui proyekproyek seperti proyek administrasi Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri tanah (LAP) yang kontroversial (1995 hingga sekarang). Tim review Bank Dunia sendiri telah menyimpulkan bahwa kebijakan dan praktek Bank Dunia dalam bidang kehutanan gagal total. Setelah krisis ekonomi, Bank Dunia memperbaiki dan menambahkan persyaratan pinjaman IMF menjadi dua pinjaman penyesuaian terstruktur – PRSL I (April 1998) dan PRSL II (Mei 1999). Saat itu diadakan konsultasi stakeholder secara luas dengan persiapan makalah yang menanggapi tuntutan sosial dengan secara ekplisist meminta dibentuknya konservasi dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dalam PRSL II dilampirkan persyaratan bahwa draft perundang-undangan kehutanan harus mengakomadasi “hak dan kewajiban daerah adat di dalam kawasan hutan” dan peraturan khusus tentang “partisipasi masyarakat hutan”. Bank Dunia juga meminta adanya transparansi yang lebih luas (dengan membuat peta kawasan hutan yang baru yang mudah didapatkan oleh masyarakat) dan “proses konsultasi multi-stakeholder” selama penyusunan rancangan peraturan dan perundangundangan. Bank Dunia terus melanjutkan program PRSL II meskipun tidak ada kemajuan berarti sesuai kesepakatan pada pinjaman pertama. Mereka juga mengabaikan peringatan yang disampaikan tentang tidak adanya komitmen dari departemen kehutanan untuk bersungguh-sunguh melakukan konsultasi dalam menyusun draft SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia undang-undang hutan yang baru yang disetujui pada tahun 1999. Lagipula ada banyak kelemahan dalam paket tersebut. Tidak konsistennya persyaratan (misalnya tentang konversi hutan dan minyak sawit) ditambah dengan permasalahan kelayakan dan keefektifannya (muncul pertanyaan; dapatkah tujuan yang sudah secara tegas ditetapkan bisa tercapai?). Mereka lebih terfokus kepada kebijakan yang dianut Bank Dunia – yaitu meningkatkan efisiensi dengan paradigma manajemen hutan yang ada. Di beberapa tempat, reformasi sangat minimal dilaksanakan – contohnya hanya 15% dari pemegang HPH yang diketahui memperoleh ijinnya secara illegal yang dicabut ijinnya dan walaupun iuran hasil hutan telah dinaikkan, penerimaannya malah menurun karena pembayaran dapat menggunakan mata uang rupiah dengan nilai tukar yang menguntungkan. Tidak adanya perkembangan yang berarti menyebabkan Bank Dunia menunda pengucuran dana bagi proyek ini diakhir 1998. Jelas terlihat adanya kelemahan mendasar reformasi karena pemerintah lebih mementingkan butirbutir perjanjian daripada jiwa paket reformasi yang diharapkan IFI. Sejak terjadinya krisis ekonomi Indonesia, lembaga keuangan internasional (LKI) semakin berperan dan mempengaruhi keputusan yang dibuat pemerintah, dan memainkan peran yang fundamental dalam menentukan arah reformasi yang berkaitan dengan hutan dan orang- Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri orang yang berada di sekitar hutan. Para kreditur yang dipimpin oleh IMF dan Bank Dunia telah menggunakan posisi strategis mereka untuk mencoba memaksakan kehendak mereka terhadap Indonesia agar melaksanakan reformasi ekonomi yang selaras dengan ekonomi pasar bebas dunia, disamping tetap memastikan bahwa Indonesia harus melunasi hutanghutangnya. Namun dilain pihak mereka menolak untuk ikut bertanggungjawab memikul beban dari hutang tersebut yang merupakan warisan dari era Suharto yang sebagian besar telah disalahgunakan. Tiga puluh persen dari pinjaman Bank Dunia yang berjumlah sekitar USD 30 milyar telah dikorupsi selama masa tersebut. Pada saat yang bersamaan Bank Dunia secara khusus didesak untuk lebih memperhatikan suara masyarakat sipil baik didalam maupun diluar negeri yang menuntut diakhirinya ketergantungan terhadap hutang luar negeri, akuntabilitas (tanggung gugat) dari lembaga donor terhadap terhadap rezim yang korup ini dan mengakhiri hutang-hutang dan persyaratan hutang yang memiliki dampak negatif terhadap hutan dan masyarakat luas. Akibatnya, persyaratan hutang oleh IMF, Bank Dunia serta donor lainnya mengandung pesan yang saling berlawanan. Pada satu sisi mereka meminta adanya peningkatan perlindungan terhadap hutan, namun pada sisi lain mereka membuat aturanaturan yang pada akhirnya akan mendorong kerusakan hutan lebih jauh. SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia Sesungguhnya tidak bisa mengambing hitamkan lembaga donor internasional saja yang menjerat Indonesia dengan hutang-hutang, eksploitasi hutan yang terjadi diluar kontrol lebih banyak disebabkan oleh rendahnya low enforcement Indonesia serta kesadaran nasional akan pentingnya melertasikan sumberdaya hutan. Lemahnya pengakan hukum kehutanan dan investasi mendorong berbagai perusahaan tersebut menggunakan hutan secara tidak berkelanjutan. Tingkat peraturan terhadap pengelolaan sumberdaya telah berlaku sebagai subsidi terhadap industri hutan dengan cara memberikan akses murah dan sebagaian besar tidak diatur atas areal hutan yang sangat luas dan kaya dengan kayu, sehingga membuat biaya produksi menjadi rendah. Berbagai kebijakan tersebut telah memberikan keuntungan kompetitif bagi industri kehutanan, pada akhirnya peraturan yang lemah terhadap indutri dan perbankan yang menyediakan dana mendorong ke arah penambahan kapasitas yang berlebihan dan kearah penggundulan hutan. Pada masa pemerintahan orde baru penguasaan hutan merupakan alat sekaligus hadiah bagi kekuasaan negaraa. Hutan- hutan tropis yang lebat ditebang untuk memperoleh kayu dan diganti dengan perkebunan yang luas dengan metode spesies monokultur eksotis yang cepat tumbuh dalam baris lurus dan dibersihkan dari tumbuhan tingkat bawah. Ekspansi dan peningkatan Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri produksi kehutanan telah melebihi kemampuan perkebuna-perkebunan yang sangat besar untuk memasok bahan baku dan telah mendorong perluasan perkebunan lebih jauh menembus hutan alam. Berbagai kritik, di anataranya dari Bank Dunia dan anggota-anggota lain dari forum donor consultative group on Indonesia (CGI), menuduh bahwa perluasan industri pulp yang berlebihan ini juga telah mendorong penebangan liar, yang sebagaian besar terjadi di taman-taman nasional dan hutan lindung yang lebat pohonnya. Hutan menghilang dengan laju yang pesat, saat ini mencapai 2 juta ha/tahun, yang hampir sama dengan luas suatu negara. Menurut perkiraan bank dunia, jika kondisi ini terus berlanjut maka seluruh hutan dataran rendah di Riau dan Sumatra akan hilang sebelum tahun 2005. untuk memperoleh persfektif dari perkiraaan ini, United States Agency For International (USAID) menggunakan angka-angka ini untuk menghitung bahwa tiap menit hutan enam kali luas lapangan sepak bola menghilang18. Industri kehutanan yang melebihi kapasitas dan kesenjangan pasokan kayu telah mendorong hutan Indonesia lenyap dngan cepat akibat operasi penenbangan liar maupun resmi. Lahan yang sangat luas tersebut kemudian dklasifikasikan sebagai “hutan negara”, luasnya mencakup 75 % dari luas total lahan Indonesia. 18Forests, people and Rights, A Down to Earth Special Report, Juni 2002 SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia Sebagai hutan negara, secara hukum lebih dari seratus juta hektar diperuntukkan sebagai areal penebangan atau hutan konversi untuk perkebunan (yaitu tebang habis dan diikuti dengam penanaman secara monokultur untuk perkebunan kayu pulp and paper dan tanaman perkebunan lainnya. Pemerintah Indonesia mengeluarkan ijin konsesi HPH, HTI dan perkebunan ke berbagai perusahaan berupa hak atas lahan yang diakui secara hukum. Peta kalsisfikasi hutan negara di provinsi Riau menunjukkan bagian yang sangat kecil dari total lahan yang tidak diklasifikasikan sebagai “hutan negara”. Kesimpulan Dalam bagian terdahulu studi ini telah diperlihatkan bahwa kelemahan dalam low enforcement dan kebijakan yang cendrung berpihak pada sektor pengusaha industri kehutanan merupakan faktor terbesar sebagai penyebab deforestasi kehutanan, karena pengelolaan hutan Indonesia pada umumnya sejak jaman orde baru dikendalikan oleh kebijakankebijakan pembangunan unsustainable yakni kebijakan yang tidak memperhatikaan keseimbangan lingkungan serta kepentingan masyarakat lokal. Dalam instrumen kebijakan yang lemah tersebut, investasi sektor kehutanan telah mengakibatkan laju deforestasi yang cukup parah di hutan-hutan tropis Indonesia sebagai produsen terbesar produk-produk hutan seperti pulp dan paper, kayu Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri bulat, kayu lapis,dan hasil perkebunan terutama kelapa sawit ternyata saat ini berbalik menjadi utang luar negeri yang harus dituntaskan oleh Negara. Keterlibatan kreditor asing itu terjadi pada PT. RAPP dan PT. Indah Kiat yang keduanya terlibat utang dengan ECA (Export Credit Agencies). Dalam prosedur peminjaman kredit dengan ECA, perusahaan tersebut harus bisa memperoleh jaminan pemerintah. Perusahaan-perusahaan konglomerat kayu pada era orde baru memiliki kemudahan dalam memperoleh jaminan pemerintah tersebut. Konsekuensinya hutang-hutang perusahaan tersebut kini telah beralih menjadi tanggungan negara, sementara kedua perusahaan tersebut yang memiliki kinerja buruk dalam mengelola sebagaian besar hutan Riau masih diijinkan untuk beroperasi sebagai mana biasanya. Operasi perusahaanperusahaan tersebut akan semakin berdampak buruk terhadap hutan, karena mereka dituntut untuk meningkatkan kapasitas produksi. Untuk memenuhi tuntutan tersebut perusahaan-perusahaan tersebut tentu saja memerlukan pasokan kayu yang lebih besar, pada akhirnya akan mengeksplotasi hutan-hutan Riau lebih parah lagi. Kedua perusahaan diatas juga dalam operasinya secara sembunyi sering menerima pasokan kayu dari illegal logging dan mereka diindikasikan terlibat dalam beberapa peritiwa pembakaran hutan Riau baik langsung mau pun tidak langsung. Restrukturisasi hutang dan perbankan disektor kehutanan tidak SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia disertai dengan restrukturisasi perusahaan pengelola hutan. Sehingga kebijakan-kebijakan dalam mengatasi hutang luar negeri sektor swasta tidak mendukung pada pengelolaan hutan yang lestari. Tekanan-tekanan lembaga donor Internasional dalam penyelesaian hutang Indonesia yang terkait dengan sektor kehutanan menghendaki adanya reformasi pengelolaan hutan yang mengarah pada pengelolaan hutan lestari, namun dalam prakteknya tuntutan-tuntutan tersebut malah memberikan kesempatan yang lebih besar bagi pengelolaan hutan yang berujung pada deforestasi. Lembaga-lebaga donor seperti World Bank dan IMF ternyata memiliki hubungan dengan ECA, sebagai lembaga kredit Internasional yang dindikasikan telah banyak turut andil dalam pengruskan hutan- hutan tropis dunia. Meskipun saat ini pengelolaan hutan telah dilimpahkan kepada daerah dan telah dilakukan perubahan-perubahan kebijakan seperti kebijakan No. 41 tahun 1999, yang seyogyanya diharapkan sebagai kebijkan pengelolaan hutan lestari dan lebih banyak melibatkan masyarakat lokal, namun ditingkat daerah terjadi perbedaan interpretasi. Otonomi kehutanan Indonesia belum dilengkapi dengan sumberdaya daerah yang memadai untuk melaksanakannya. Daerah tidak diberikan koridor yang jelas dalam mengimlementasikan berbagai kebijakan tersebut, sehingga tidak jarang pemerintah daerah frustasi dan terjadinya distorsi. Akibatnya sejak otonomi daerah laju deforestasi semakin tinggi, hal ini juga diperburuk oleh euphoria reformasi Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri yang masih masyarakat Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia menggejala dalam Dalam tulisan ini ditemukan beberapa kondisi yang mengindikasikan keterlibatan kreditor internasional beserta lembaga donor internasional secara langsung maupun tidak langsung dalam laju peningkatan deforestasi di Indonesis. Dari beberapa kasus perusahaan pengolahan kayu Indonesia yang terlibat hutang dengan ECAs dapat disimpulkan bahwa kebijakan restrukturisasi hutang dan rekapitalisasi perbankan yang terkait tidak memberikan solusi effektif terhadap permasalahan kehutanan Indonesia. Dalam ikatan rantai yang cukup berbelit antara lembaga kredit Internasional, Bank Dunia, perbankan, BPPN dan pemerintah tidak terlihat keterlibatan pemerintah daerah dalam penyelesaian benang kusut hutang tersebut. Pemerintah daerah, meskipun era otonomi tidak memiliki andil yang cukup signifikan. Otonomi Daerah lebih banyak menyebabkan permasalahan-permasalahan baru dalam pengelolaan hutan Riau, hal ini juga disebabkan oleh ketidaksiapan kapasitas institusional dalam menyambut pelimpahan wewenang yang biasanya sentralistis. Daftar Pustaka Agung Nugraha dkk, Tantangan Menuju Pengelolaan Hutan Alam Produk Lestari Di Indonesia, hal. 3 www.aphinet.com. SPEKTRUM Barr, Christoper dkk., Hutang Perusahaan dan Sektor Kehutanan Indonesia, dalam Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia ( Jakarta : Yayasn Obor Indonesia, 2003). George, Susan., The Debt Boomerang, 2002 Hmprey, David., Forest Politics: The Evolution of International Cooperation (London, Earthscan Publication, 1996). Forests, people and Rights, A Down to Earth Special Report, Juni 2002 Furqon, Hanief. I., Penyesuaian Struktural di Indonesia. Disertasi Ilmu Politik PPS UI (200). Hariadi Kartodiharjo, Masalah Structural Dalam Implementasi Kebijakan Baru Kehutanan, dalam Kemana Harus Melangkah ? : Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, disunting oleh Ida Aju pradnja Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003). Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Tinjauan Atas Kebijakan Sector Perkayuan Dan Kebijakan Terkait Lainnya. Jhamtani, Hira.P., Pembangunan Berkelanjutan diTtengah-tengah Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri Globalisasi. Adakah harapan?, global Vol. 5 No. 1 November 2002 ( Jakarta : Lab HI Fisip UI ) hal : 2 Karseno, Arief Ramelan., Industrialisasi, Globalisasi dan Permasalahan Indonesia dalam Jurnal Kebangsaan Perekonomian Nasional Kita Antara Harapan Dan Kenyataan, Vol 1 No.2, 1997 Potter, Lesley dan simon Badcock, The Effect of Indonesia’s Decentralisation on Forest and Estate Corps in Riau Province : Case Studies of the Original District of Kampar and Indragiri Hulu. Cifor, 2001, http://WWW.cifor.cgiar.org. Pusat Inventarisasi dan statistic Kehutanan, Data Informasi Kehutanan Riau, (Jakarta: Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, 2002). Rita Lindayati, Gagasan Kelembagaan Dalam Kebijakan Perhutanan Sosial, dalam Kemana Harus Melangkah ? : Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, disunting oleh Ida Aju pradnja Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer, SPEKTRUM Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia (Jakarta: Yayasan Indonesia, 2003). Obor Sizer, Niegel & Dominiek Plouvier, Increased Investment and trade by transnasional logging Companies in ACP-countries : Implications for sustainable forest management and conservation, A Joint Report of Sunderlin, William D dan Ida Ayu Pradnja Resosudarmo, Laju dan penyebab Deforestasi di Indonesia : Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya, CIFOR Occasional paper No. 9 (1), Maret 1997. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia No.53/KMK.017/1999 dan 31/12/KEP/GBI Tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum. Tacconi, Luca dkk, Proses Pembelajaran (Learning Lesson) Promosi Sertifikasi Hutan Dan Pengendalian Penebangan Liar Di Indonesia, ( CIFOR : 31 September 2003). Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia Lampiran Skema 1 A Framework of Different Types of Variables Affecting Deforestation Deforestation Sources of deforestation Agents of deforeststion : choice of variables Decision Parameters & agent characteristics Immediate causes of deforestation Institutions infrastructure markets technology Macro level variables and policy instruments Underlying causes of deforestation Sumber : David Kaimowitz(underlying and Arild Angelsen causes) Economic Models of Tropical Deforestation A Review CIFOR SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia Tabel 1 Gambaran Hutang Konglomerat Kayu di Indonesia Grup konglomerat Hutang anak perusahaan kayu lapis Andatu 314 Hutang anak perusahaan pulp and kertas Hutang anak perusahaan kelapa sawit Hutang anak perusahaan lain Total hutang 314 Astra 411 411 Bakrie 2.353 2.353 6.249 6.395 24 4.477 Barito Pacific 146 Bob Hasan 1.973 Djanti 2.418 98 2.516 Gemala 15 401 416 RGM 404 2.480 485 Salim Sinar Mas 80 Total 5.350 SPEKTRUM 2.965 28 917 18 834 46 343 423 10.713 19.074 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Silsila Asri Dimensi Internasional dalam Deforestasi di Indonesia Sumber : www.bppn.go.id Juni 1999 Sumber : Bisnis Indonesia 12 Juni 2002 SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional