Dimensi Internasional Dalam Deforestasi di Indonesia

advertisement
Silsila Asri
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
DIMENSI INTERNASIONAL DALAM DEFORESTASI DI INDONESIA
Oleh:
Silsila Asri
Kepala Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau
Abstract
This paper describes about the involvement of international actors in
deforestation in Indonesia. These international actors are classified into two main
actor that are International Fund institutions and International creditors.
International actors involved in deforestation started when Indonesia passed out the
foreign investment policy, which allows any kinds of investment operate in Indonesia
development and economic activities.
These policies resulted and become Indonesian foreign debts. Private debts to
the International creditors such as ECA (Export Credit Agency), in fact was not able
to be repaid by the logging companies punctually. These cases were seen in PT. RAPP
and PT Indah Kiat debts. Beside those factors above, decentralization of forest
management which was started on 2001 resulted in contra productive policies due to
insufficient law and legal instrument to accommodate the low enforcement of
sustainable development in forestry sector
As the solution for private debts, Indonesia government received loan from
International donor such as CGI, IMF and World Bank. Those international donors
imposed some structural adjustment programs and pushed Indonesia’s economic more
liberal. This policy return in further exploitation of Indonesia’s forest and again
resulted in deforestation.
Key words : deforestation, International donors, International creditors, Foreign
Debts
Dewasa
ini
kerusakan
lingkungan merupakan salah satu isu
yang menjadi perhatian dalam kajian
ilmu hubungan Internasional. Isu ini
telah dikategorikan sebagai salah satu
isu keamanan non tradisional yang
memerlukan sebuah kajian mendalam
sehingga dapat diidentifikasi penyebab
dan solusi dari perusakan lingkungan
yang terus berlangsung. Tulisan ini
bertujuan untuk mengulas salah satu
topik mengenai kerusakan lingkungan
SPEKTRUM
yakni mengenai deforestasi yang
terjadi di Indonesia. Deforestasi
disebabkan oleh proses eksploitasi
hutan yang secara berlebihan untuk
memenuhi kegiatan ekonomi dan
pembangunan.
Dalam
proses
perusakan hutan ini disinyalir adanya
keterlibatan dimensi internasional.
Bermula dari pertengahan
tahun 1960-an ekploitasi komersial
hutan-hutan di pulau-pulau luar jawa
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
telah tumbuh dengan pesat 1 . Akan
tetapi kontribusi dari pendapatan hasil
penjualan sumberdaya alam tersebut
relative
tidak
berarti
bagi
pembangunan di daerah, karena
hampir 80% pendapatan tersebut
langsung
diserahkan
oleh
para
pengelola ke pemerintah pusat.2 Suatu
kenyataan yang ironis, tatkala hutanhutan di daerah menuju titik
kepunahan, sementara masyarkat yang
berdomisili
di
sekitarnya
tidak
mengalami kemajuan pembangunan
yang
berarti.
Daerah-daerah
di
propinsi yang terkenal kaya akan
sumberdaya
hutannya
seperti
Sumatra, Kalimantan dan Papua,
ternyata selama Indonesia merdeka
tingkat kemakmurannya masih jauh
tertinggal.
Dewasa ini Indonesia adalah
produsen utama kayu bulat , kayu
gergajian, kayu lapis, pulp dan kertas
di samping beberapa hasil perkebunan
seperti kelapa sawit, karet, dan coklat
seiring dengan perkembangan tersebut
Indonesia pun kemudian dijadikan
sebagai contoh kasus keberhasilan
penyesuaian ekonomi makro, karena
dengan
kebijakan
deregulasi
meyeluruh, diversifikasi ekspor serta
devaluasi mata uang rupiah, dapat
mempertahankan laju pertumbuhan
William D. Sunderlin dan Ida Ayu Pradnja
Resosudarmo, Laju dan penyebab Deforestasi di
Indonesia : Penelaahan Kerancuan dan
Penyelesaiannya, CIFOR Occasional paper No. 9
(1), Maret 1997. hal : 1
2 Lesley Potter dan simon Badcock, The Effect of
Indonesia’s Decentralisation on Forest and Estate
Corps in Riau Province : Case Studies of the Original
District of Kampar and Indragiri Hulu. Cifor, 2001,
http://WWW.cifor.cgiar.org.
1
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
ekonomi
yang
tinggi.
Namun
kestabilan tersebut hanya berlangsung
sampai
medio
1997,
Indonesia
mengalami krisis ekonomi, sosial,
politik dan lingkungan. Pertumbuhan
ekonomi yang telah diraih merupakan
keberhasilan
pembangunan
yang
mengabaikan
pengelolaan
hutan
secara berkelanjutan dan hak-hak
penduduk lokal, sehingga terjadi krisis
lingkungan yang cukup parah dan
memerlukan perhatian serius.
Krisis ekonomi menciptakan
tuntutan baru yang mendorong
perusakan hutan yang lebih hebat.
Negara dan lembaga donor bagi
Indonesia, dibawah kepemimpinan
IMF, membuat paket kebijakan
perbaikan ekonomi Indonesia, yang
mensyaratkan penjualan aset negara
serta
meningkatkan
pendapatan
melalui ekploitasi sumber daya alam.
Ini adalah salah satu alasan mengapa
hingga saat ini pemerintah masih terus
saja mengeluarkan kebijakan yang
mendorong pengurasan sumberdaya
(alam) ditengah gaung reformasi yang
terjadi.
Proses reformasi pasca Suharto
serta dampaknya terhadap hutan
dibentuk baik oleh krisis ekonomi itu
sendiri maupun oleh campur tangan
negara pengutang; serta oleh tuntutan
masyarakat
sipil
dan
proses
desentralisasi yang ambisius namun
kacau. Reformasi juga terhambat
karena adanya pengaturan prioritas
keuangan
yang
dilakukan
oleh
lembaga internasional serta aneka
kepentingan para elit politik, bisnis
dan militer. Melemahnya pemerintah
pusat dan merajalelanya korupsi serta
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
tidak adanya kepastian hukum telah
menyebabkan terjadinya peningkatan
eksploitasi hutan secara tak terkontrol.
Deforestasi
harus
dilihat
sebagai
suatu
fenomena
yang
kompleks, dimana beragam factor dan
kepentingan saling berinteraksi di
dalamnya. Diperlukan suatu kehatihatian untuk mengusut pelaku-pelaku
yang terlibat dalam deforestasi.
Seringkali
kita
terjebak
pada
pandangan
yang
subjektif.
Permasalahan
deforestasi
muncul
sebagian besar akibat dari sistem
ekonomi dan politik Indonesia yang
korup. Rezim yang berkuasa di
Indonesia memiliki sebuah anggapan
bahwa sumberdaya alam khususnya
hutan
adalah
sebagai
sumber
pendapatan
yang
utama
untuk
menopang keberlangsungan bangsa
ini. Anggapan ini tidak sepenuhnya
salah, akan tetapi amat disayangkan
bahwa pemanfaatan sumberdaya alam
tersebut tidak diseimbangkan dengan
upaya pemeliharaannya serta lebih
banyak
diselewengkan
untuk
kepentingan pribadi para penguasa.
Penyebab
dan
pelaku
deforestasi
yaitu pertanian rakyat,
transmigrasi,
perkebunan
dan
tanaman keras, industri perkayuan,
pemerintah/politik dan perkembangan
ekonomi.
Penyebab
langsung
deforestasi ini masih menjadi sebuah
perdebatan karena ketidak pastian dari
data yang tersedia. Holmes (2002)
menemukan
bahwa
penyebab
langsung berikut ini berkontribusi
terhadap hilangnya hutan di Sumatra,
Kalimantan dan Sulawesi selama
periode 1985-1997; “hutan tanaman
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
industri 1,9 juta hektar (11%) ;
perkebunan, 2, juta hektar (14%) ;
kebakaran hutan 1,74 juta hektar (10%)
; investor kecil 2,4 juta hektar (10%) ;
petani pelopor 1,22 juta hektar (7 %)”3.
Pengelolaan
hutan
tidak
dilakukan oleh aktor-aktor ekonomi
domestik dan pemerintah saja. dalam
proses ini ada keterlibatan aktor
internasional.
Seiring
dengan
globalisasi produksi dan liberalisasi
perdagangan,
Indonesia
telah
membuka pasar dalam negeri dan
penanaman modal asing untuk
mengelola sumberdaya alam yang
melimpah terutama sumber daya
hutan dan pertambangan. Proses ini
menuntun Indonesia untuk melakukan
kegiatan pembangunan ekonomi yang
berorientasi
ekspor.
Dalam
implementasinya, terjadi kegiatan
eksploitasi yang berlebihan sehingga
berdampak terhadap perusakan hutan
dan lingkungan. Permasalahan dalam
studi ini adalah terjadinya deforestasi
di Indonesia diasumsikan sebagai
bagian dari keikutsertaan berbagai
negara
dan
lembaga-lembaga
internasional. Untuk itu, pertanyaan
utama yang ingin dijawab adalah
bagaimana mekanisme dan proses
keikutsertaan aktor-aktor transnasional
dalam kerusakan hutan di Indonesia?
Kerangka Konseptual
Deforetasi merupakan sebuah
fenomena yang kompleks. Gejala ini
melibatkan
aktor
politik
yang
Luca Tacconi dkk, Proses Pembelajaran (Learning
Lesson) Promosi Sertifikasi Hutan Dan Pengendalian
Penebangan Liar Di Indonesia, ( CIFOR : 31
September 2003) hal : 9
3
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
demikian luas mulai dari pemerintah,
lembaga swadya internasional. Aktor
yang terlibat meliputi departemen
dalam
pemerintahan,
perusahaan
pencari untung, termasuk perusahaan
multi nasional, Program Pembangunan
Perserikatan bangsa-bangsa, NGOs
seperti
kelompok
konservasi. 4
Kompleksitas dari deforestasi muncul
dari lingkungan dirinya sampai isu-isu
lain. Untuk menjelaskan bagaimana
keterkaitan antara deforestasi dengan
institusi
(aktor)
di
tingkat
internasional, maka studi ini akan
mengacu pada teori-teori yang relavan
dengan politik kehutanan (forest
politics).
Ada sejumlah faktor yang
mengakibatkan munculnya deforetasi.
Akan
tetapi
sebagaimana
dikemukakan oleh Humprey, harus
dibedakan antara penyebab dan agen
yang menimbulkan kerusakan. Agen
yang melakukan deforestasi biayanya
dilakukan oleh masyarakat lokal mulai
dari penebangan, pembakaran dan
seterusnya yang dilakukan atas nama
kepentingan ekonomi. Sementara itu,
penyebab kerusakan dapat disebutkan
sebagai berikut yakni pembangunan
yang disponsori secara internasional,
utang luar negeri dan program
penyesuaian
struktural,
industri
berorientasi
eksport
dan
peran
perusahaan trans nasional, penanaman
obat,
kebijakan
pembangunan
pemerintah, perang dan peranan
militer, kemiskinan, pertumbuhan
David Hmprey, 1996, Forest Politics: The Evolution
of International Cooperation, London : Earthscan
Publication. Hal 2-15
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
penduduk, penyempitan lahan dan
gejala alam.
Keterkaitan dengan institusi
internasional dalam kerusakan hutan
dapat dilihat dari beberapa perspektif
seperti pembangunan yang disponsori
oleh lembaga internasional. Seringkali
pembangunan tersebut didisain sesuai
dengan kebutuhan dan kehendak dari
lembaga-lembaga
sponsor.
Konsekuensinya, eksploitasi terhadap
sumber daya alam menjadi sebuah
pilihan dari kompensasi bantuan
pembangunan. Selain itu, hutang luar
negeri dan penyesuaian struktural
adalah dua elemen penting yang dapat
digunakan
untuk
memahami
bagaimana kerusakan hutan di negaranegara berkembang seperti dalam
kasus Indonesia. Saat ini, misalnya,
Indonesia tercatat sebagai negara
penghutan dalam kategori terbesar di
dunia. Hutang luar negeri Indonesia
(pemerintah
dan
swasta)
telah
mencapai jumlah sekitar Rp 1000
trilyun dengan rincian Rp 600 trilyun
hutang swasta dan Rp 400 trilyun
hutang pemerintah 5 . Besarnya
pinjaman
tersebut
telah
mengakibatkan sebagian besar dari
alokasi ABPN dikeluarkan untuk
membayar
cicilan
dan
bungan
pinjaman hutang luar negeri. Bahkan
pada tahun 2000, perkiraan dari Bank
Dunia (World Bank), persentase hutang
luar negeri terhadap produk Domestik
Broto (PDB) Indonesia telah mencapai
angka 99 persen.6
4
SPEKTRUM
Untuk informasi lebih jauh mengetai dampak
hutang luar negeri, lihat Suzan George, 2002, The
Debt Boomerang
6 Kompas, 1 Februari 2001.
5
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
Bagaimana hutang luar negeri
mempengaruhi kelestarian sumber
daya alam suatu negara? Salah satu
cara yang paling lumrah dilakukan
adalah dengan membuka akses pasar
dalam negeri terhadap negara donor.
Konsekuensinya, impor dari luar akan
meningkat
sementara
ekspor
cenderung stabil karena ketidak
mampuan
bersaing
di
pasar
internasional. Akibat lain adalah
terjadinya penyesuaian struktural
(structural
adjusment)
berupa
deregulasi dalam berbagai sektor
seperti pertambangan, kehutanan dan
sebagainya
yang
memberikan
kemudahan (akses) bagi para investor
terutama dari negara pemberi kredit.7
Pada kasus Indonesia, deforestasi juga
dapat dijelaskan sebagai dampak dari
kebijakan
pemerintah
yang
berorientasi ekspor. Pada umumnya,
perusahaan yang mengelola industri
kehutanan berasal dari penmodal
asing seperti Taiwan, Korea dan
Singpura serta beberapa negara
Eropah lainnya seperti Finlandia.
Kepentingan atas sumber daya
hutan bersifat multidimensi, lintas
territorial serta lintas generasi. Oleh
karena itu diperlukan suatu analisis
yang
komprehnsif
untuk
menjustifikasi penyebabnya dalam
rangka
mencari
solusi
dari
permasalahan deforestasi ini. Sebelum
membahas lebih lanjut mengenai
aktor-aktor yang ikut andil dalam
deforetasi di Indonesia, terlebih
7
Hanief. I. Furqon, 2002, Penyesuaian Struktural di
Indonesia. Disertasi Ilmu
Politik PPS UI.
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
dahulu
diperlukan
sebuah
pemahaman
terhadap
proses
deforestasi
dan
mengklasifikasi
pendekatan yang digunakan. Aspek
ekonomi merupakan dimensi yang
paling dominan berkontribusi dalam
proses deforestasi. Variabel-variabel
dalam model deforestasi dari sisi
ekonomi ini dapat diklasifikasikan
menjadi lima tipe yakni ;
1.
Magnitude and location of
deforstation
(magnitudo
dan lokasi deforestasi) :
variabel ini merupakan
variabel dependent utama.
2.
Agent Of deforestation (agen
deforestasi) : variabel ini
mengacu kepada individuindividu atau perusahaan
yang
terlibat
dalam
perubahan penggunaaan
lahan. Karakteristik agen
deforestasi
dapat
diidentifikasi berdasarkan
initial population, objectives
and
preference,
initial
resources endowments and
knowledge
dan
cultural
attributes.
3.
Choice variables (variablevariabel pilihan) : yang
dimaksud disini adalah
aktivitas-aktivitas
agenagen yang terlibat dalam
pembuatan
keputusan.
Dengan
pengertian
bahwasanya
mereka
bersifat endogen. Masingmasing keputusan agen
atau
kelompok
agen
berhubungan
dengan
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
4.
5.
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
pemilihan
variabelvariabel yang menentukan
jumlah hutan-hutan yang
akan ditebangi. Variabelvariabel pilihan ini dapat
dilihat dari land allocation,
labour
allocation
and
migration, capital allocation,
consumtion
dan
other
technological and managemnt
decisions.
para agen secara langsung
dan bersifat eksogen. Pada
tingkat
makro
dan
instrumen
kebijakan
faktor-faktor
yang
berpengaruh antara lain ;
demographics, government
policies, world market prices
asset
distribution,
macroeconomic trends dan
technology.8
Agent’s decision parameters (
paramter keputusan agen)
; variabel- variabel ini
secara
langsung
mempengaruhi keputusan
agen
yang
nantinya
mengacu pada variabelvaribel
pilihan,
tetapi
bersifat ekternal untuk
masing-masing
agen.
Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi parameter
keputusan
agen-agen
tersebut antara lain ;
outprices, labour costs, other
factor
(input)
prices,
accessibility,
available
technology and information,
risk,
property
regimes,
government
restrictions,
other constrains on factor use
dan environmental factors
(physical)
Pada skema di bawah ini (
Skema 1), secara sederhana dapat
digambarkan bagaimana interaksi
antara varibel-variabel tersebut yang
berakibat pada deforestasi [lihat
lampiran: Skema 1]
Macro-level variables and
policy instrument ; variabelvariabel yang berakibat
pada pembersihan hutan
akan
berpengaruh
terhadap
parameter
keputusan, tetapi tidak
berakibat pada keputusan
SPEKTRUM
Merujuk
pada
beberapa
penelitian terdahulu penulis mencoba
untuk mengambil kesimpulan umum
bahwa penyebab utama deforestasi
adalah
kebijakan
pembangunan
Indonesia yang tidak dilandaskan
kepada
“sustainable
development”
(pembangunan yang berkelanjutan).
Paradigma
pembangunan
berkelanjutan
bertumpu
pada
keseimbangan
antara pemenuhan
kebutuhan
ekonomi
dan
sosial
manusia dengan kemampuan sumber
daya
bumi
untuk
memenuhi
kebutuhan masa kini dan masa depan9.
Penelitian
World
Bank
menunjukkan perubahan persepsi
tentang
pelaku
dan
penyebab
deforestasi, yang pada mulanya
David Kaimowitz dan Arild Angelsen, Economic
Models of Tropical Deforestation A Rivew, CIFOR
9 Hira P. Jhamtani, Pembangunan Berkelanjutan
diTtengah-tengah Globalisasi. Adakah harapan?,
global Vol. 5 No. 1 November 2002 ( Jakarta : Lab HI
Fisip UI ) hal : 2
8
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
menjustifikasi pertanian rakyat sebagai
pelaku utama beralih melihat hutan
tanaman
industri.
Perubahan
pandangan ini sejalan juga dengan
asumsi bahwa pengelolaan hutan
Indonesia selama masa orde baru
terpusat di tangan pemerintah dan
orientasi utamanya adalah produksi
dengan
sedikit
mengabaikan
permasalahan lingkungan dan sosial.
Dalam laporan penelitian ini yang
akan dielaborasi lebih jauh adalah
keterlibatan dimensi ekonomi politik
global yang melakukan penentrasi
dalam industri kehutanan Indonesia,
baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Tulisan ini terutama ditujukan
untuk
mengeksplorasi
tentang
keterlibatan aktor-aktor internasional
dalam deforestasi di Indonesia. Aktoraktor tersebut mencakup perusahaanperusahaan
multinasional
atau
transnasional yang beroperasi dan
berinvestasi di Riau serta oraganisasiorganisasi internasional lainnya yang
concern
terhadap
permasalahan
lingkungan.
Oleh
karena
itu
pendekatan ekonomi yang digunakan
dalam pelitian ini merujuk pada
industri kehutanan yang berkembang
pesat di di Indonesia selama beberapa
dekade terakhir, terutama sejak krisis
1997.
Ekonomi
Indonesia
Politik
Kehutanan
Merujuk pada pemaparan
sebelumnya (deskripsi, skema dan
tabel) serta beberapa penelitian
terdahulu, tidak terlihat signifikansi
yang jelas dan langsung dari pihak
SPEKTRUM
Internasional sebagai pelaku dan
penyebab deforestasi Indonesia dan
Riau khususnya. Namun demikian
melalui pendekatan ekonomi politik
global, benang merah keterkaitan
tersebut dapat ditarik menjadi sebuah
kesimpulan bahwa kekuatan-kekuatan
ekonomi
di
luar
negara
ini
berkontribusi secara langsung dan
tidak langsung dalam permaslahanpermasalahan kehutanan di Indonesia.
Periode
pembangunan
di
Indonesia yang telah dimulai sejak
repelita I pemerintahan orde baru
berorientasi pada pencapaian tingkat
modernisasi dan industrilisasi. Arief
Ramelan Karseno mengelompokkan
pembangunan
ekonomi
dan
Industrialisasi Indonesia dalam empat
tahap. Pertama, masa stabilisasi
ekonomi antara tahun 1960-1970-an.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan
kebijakan
pemerintah
mengenai
penanaman modal asing (PMA), UU
No.
tahun
1967
dan
PMDN
(Penanaman Modal Dalam Negeri)
dalam UU No.6 tahun 1968. Dalam
proses tersebut Indonesia membuka
diri terhadap perekonomian luar
negeri dan para investor asing untuk
menggerakkan
pembangunan.
Fenomena yang terjadi adalah impor
membanjir,
dibarengi
dengan
tambahan dana pembangunan dari
pinjaman
luar
negeri,
sehingga
mendorong pesatnya perkembangan
ekonomi.
Tahap kedua, disebut tahap
Bonanza Minyak, dimana pembangunan
sebagian
besar
dibiayai
oleh
penerimaan negara dari ekspor
minyak. Pada saat itu terjadi kenaikan
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
harga minyak dunia akibat perang
teluk. Dana pembangunan bertambah
dari sumber investasi pemerintah.
Tahap
ketiga
tahun
1982-1985
merupakan masa resesi ekonomi bagi
Indonesia, Karen turunnya harga
minyak dunia. Untuk mengatasi
permasalahan ekonomi pemerintah
mengeluarkan
kebijakan
pengembangan ekspor non migas,
terutama bersumber dari produkproduk hutan.
Tahap
keempat,
1986berakhirnya orde baru, adalah tahap
deregulasi ekonomi. Pemerintah mulai
mengurangi
hambatan-hambatan
perdagangan
dan
meningkatkan
efisisensi
industri
nasional.
Kebijaksanaan pemerintah berorientasi
pada pembangunan industri dan
perdagangan, dari subsitusi import
menjadi orientasi ekspor. Tujuan
akhirnya adalah peningkatan daya
saing produk Indonesia di pasar global
serta pertumbuhan ekonomi yang
tinggi.
Untuk itu pemerintah
melakukan
beberapa
deregulasi
ekonomi,
yang
bertujuan
mempersiapkan
Indonesia
menghadapi liberalisasi perdagangan
kawasan dan dunia,
termasuk di
dalamnya deregulasi sector industri
kehutanan. Di bidang investasi asing
derugulasi yang dikeluarkan pada
tahun 1994, yaitu PP 20 /1994
mengakibatkan
perekonomian
Indonesia menjadi ekonomi paling
terbuka di dunia bagi investasi asing 10.
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
Salah
satu
keunggulan
ekonomi dan Industri suatu bangsa
adalah keunggulan dalam hal faktor
produksi . Indonesia kaya akan
sumber bahan baku industri, terutama
hasil-hasil hutannya, yang mendorong
Indonesia menjadi pemasok utama
bahan
baku
indutri
yang
memanfaatkan
hasil-hasil
hutan.
Akibatnya hutan-hutan Indonesia
mendapat tekanan ekstraktif yang
besar.
Dari
keseluruhan
tahap
pembangunan ekonomi dan Industri
di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa keterbukaan perekonomian
Indonesia
telah
mengundang
teribatnya aktor-aktor ekonomi negara
lain dalam pengelolaan sumberdaya
alam
Indonesia.
pengelolaan
sumberdaya hutan menjadi alternative
pilihan ketika sumber daya migas
tidak
lagi
sanggup
menopang
pendanaan pembangunan nasional.
Dalam rentetan tersebut Indonesia juga
telah
beralih
menjadi
negara
pengutang. Utang-utang tersebut tidak
hanya hutang pemerintah, melainkan
juga hutang-hutang perusahaan swasta
nasional, yang kemudian menarik
Indonesia ke dalam lilitan hutang
seperti sekarang. Lilitan hutang luar
negeri ini selanjutnya berimplikasi
pada pengurasan sumberdaya alam
yang lebih parah lagi. Tekanantekanan
negara
kreditur
yang
tergabung dalam lembaga donor
Internasional secara tidak langsung
memaksa
Indonesia
untuk
mengekploitasi hutan.
Keterlibatan Jaringan Internasional
Arief Ramelan Karseno, Industrialisasi, Globalisasi
dan Permasalahan Indonesia dalam Jurnal
Kebangsaan Perekonomian Nasional Kita Antara
Harapan Dan Kenyataan, Vol 1 No.2, 1997
10
SPEKTRUM
Jaringan internasional yang
berkontribusi dalam permasalahan
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
hutan di Indonesia dalam tulisan ini
mengacu pada dua dikotomi. Pertama
lembaga Donor Internasional dan
kedua negara-negara patner dagang
dan bisnis kehutanan. Keterlibatan
jaringan internasional ini dapat dilihat
dari dua sisi, yakni sebagai pelaku dan
penyebab deforestasi di satu sisi. Di
sisi lain sebagai pemerhati hutan tropis
Indonesia yang memberikan tekanantekanan secara langsung dan tidak
langsung
terhadap
pembenahan
pengelolaan hutan yang lestari di
Indonesia. berdasarkan pemikiran ini,
dapat
disimpulkan
bahwasanya
keterlibatan pihak asing menjerat
Indonesia dalam dilemma.
Kontribusi dunia internasional
dalam deforestasi di Indonesia dapat
dilihat dari dua hal yakni, pertama
melalui kegiatan perdagangan produkproduk hutan secara internasional.
Kedua melalui kegiatan investasi asing
dalam
pencapaian
pertumbuhan
pembangunan Indonesia, khususnya
yang melibatkan sektor kehutanan.
Ketiga utang luar negeri, dimana
dalam hal ini melibatkan lembagalembaga donor dan lembaga kredit
Internasional.
Dalam
prakteknya
ketiga
kegiatan
tersebut
saling
berkontribusi
satu
sama
lain
membentuk sebuah jaringan kegiatan
ekonomi
internasional
sektor
kehutanan Indonesia, yang lebih lanjut
berimplikasi pada deforestasi hutan
Indonesia. Dalam konteks otonomi
daerah, kegiatan ekonomi kehutanan
merupakan sumber utama bagi daerah
untuk memaksimal PAD. Berikut ini
akan dibahas mengenai kegiatan
Investasi asing dan utang luar negeri
yang berimplikasi pada deforestasi
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
hutan Riau. Kegiatan perdagangan
dalam hal telah include kedalam
kegiatan Investasi.
a.
Investasi Asing dalam Sektor
Kehutanan Indonesia
Komoditi
perdagangan
terbesar kedua Indonesia setelah
minyak adalah produk-produk hutan,
terutama kayu. Disamping minyak,
komoditi
perdagangan
Indonesia
adalah produk-produk dari hasil
pemanfaatan
hutan.
Kegiatan
pemanfaatan
hutan
dalam
pembahasan ini merujuk pada semua
bentuk pengelolaan hutan seperti
logging, hutan tanaman industri serta
pengalihan fungsi hutan menjadi
perkebunan.
Investasi
diperlukan
untuk
meningkatkan
kapsitas
produksi sektor kehutanan seiring
dengan meningkatnya permintaan
pasar
terhdap
produk-produk
kehutanan dan perkebunan.
Investasi asing masuk ke
Indonesia sejak pemerintahan orde
baru, dimana ketika itu seluruh
pengelolaan investasi sector kehutanan
masih terpusat. Seiring dengan
bergulirnya orde reformasi dan
otonomi
daerah,
daerah-daerah
semakin terbuka bagi investai Asing.
Pemerintah daerah telah melakukan
berbagai promosi untuk menarik
investor asing demi memajukan
industri dan perdagangan. Pada
tataran global ada suatu perubahan
dramatis dalam investasi sejalan
dengan ekspansi logging internasional
di negara-negara Asia dan Pasifik.
Hampir dari seluruh investasi tersebut
baru-baru ini dicirikan dengan “south-
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
south”, dimana kontrol investasi
dilakukan oleh perusahaan-perusahan
dari negara-negara non-OECD mislnya
seperti Malaysia dan Indonesia.
Sedangkan dua puluh tahun yang lalu
investasi-investasi di wilayah Asia dan
pasifik terutama dikendalikan oleh
Jepang, Amerika serikat dan negaranegara Eropa11.
Dinamika ini didorong oleh
berbagai faktor. Seperti peningkatan
kekurangan log yang dihadapai oleh
industri-industri kayu seperti sawmills,
plywood dan pabrik-pabrik furniture di
Jepang, Korea, Malaysia, Thailand,
Filipina, dan negara-negara Asia
lainnya, sementara itu pasar kayu
tropis terus mengalami pertumbuhan.
Operasi-operasi
kehutanan
yang
paling
menguntungkan
dapat
dilakukan di sisa-sisa hutan tropis Asia
tenggara yang menyediakan konsensikonsesi kayu dengan biaya rendah.
Indonesia memiliki hutan tropis yang
menyediakan konsesi-konsesi kayu
tersebut, dan investasi asing di daerah
ini juga di dorong oleh letaknya yang
strategis dekat dengan kawasan Asia.
Di samping itu, Indonesia juga
menyediakan kerja yang murah.
Kondisi
ini
berimplikasi
pada
rendahnya biaya operasional yang
merupakan salah satu faktor penting
dalam
pertimbangan
operasional
perusahaan industri sektor kehutanan.
Nigel Sizer & Dominiek Plouvier, Increased
Investment and trade by transnasional logging
Companies in ACP-countries : Implications for
sustainable forest management and conservation, A
Joint Report of WWF-Belgium WRI & WWFInternational
11
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
Dinamika peralihan investasi
ini lebih mendorong bagi eksploitasi
kehutanan yang unsustainable, karena
tingakat kesadaran negara-negara
sumber investasi masih rendah dalam
memperhatikan lingkungan. Tidak
seperti negara-negara Eropa yang
sudah
memberlakukan
sistem
sertifikasi dan ekolabel dalam impor
produk-produk hutan. Kesepakatankesepakatan untuk bekerjasama dalam
hal illegal logging antara-antara negaranegara importer asia baru terjadi
ketika adanya tekanan dari partner
bisnis mereka yang berasal dari Eropa,
seperti Malaysia dan Cina. Namun
beberapa sumber berita menyatakan
bahwa diam-diam Cina masih menjadi
pemasok illegal logging Indonesia.
Selain itu, investasi south-south
ini berdampak negatif terhadap
lingkungan juga disebabkan oleh
kapasitas
perusahaan-perusahan
pengolahan kayu tersebut dalam
melakukan identifikasi area-area kritis
yang penting untuk konservasi
biodiversity dan pengelolaan batas air.
Lebih jauh lagi, banyak dari mereka
yang memiliki kapasitas kecil untuk
memonitor operasional dilapangan
sehingga hanya ada sedikit informasi
yang tersedia mengenai dampakdampak
aktualnya
terhadap
lingkungan. Investasi-investasi baru
ini cendrung terkosentrasi di negaranegara yang secara umum lemah
dalam masalah hokum, perangkat
pengaturan sosial dan lingkungan,
karena kapsitas pemaksaannya kecil.
Kelemahan ini dalam beberapa kasus
berimplikasi pada sering terjadinya
sogokan dan korupsi. Kasus ini terjadi
di Indonesia. selama era orde baru dan
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
bukannya tidak mungkin pada era
otonomi
daerah
dan
reformasi,
operasional
industri
kehutanan
Indonesia telah dan akan berlangsung
dibawah
sogokan
dan
korupsi.
Kelemahan
itu
terjadi
karena
kurangnya good governance Indonesia,
sehingga
komitmen-komitmen
internasional yang diratifikasi tidak
disertai oleh perubahan kebijakan dan
tindakan yang nyata.
Meskipun ada kecendrungan
bermunculannya investasi south-south,
tidak menafikan bahwa andil terbesar
dalam deforestasi Indonesia ini
didalangi oleh lembaga-lembaga donor
internasional yang didalamnya terlibat
negara-negara maju. Sesungguhnya
lembaga-lembaga donor internasional
ini
memiliki
program
untuk
mempromosikan konservasi hutan dan
pengelolaan yang bertanggung jawab.
Namun kebanyakan dari inisiatifinisiatif tersebut mengalami kegagalan
karena kurangnya komitmen dari
negara-negara penerima, dan terlebih
lagi didorong oleh kebijakan-kebijakan
lembaga donor tersebut yang bersifat
konfliktual dan didalamnya sarat
persaingan
dengan
kepentingankepentingan politis. Keadaan ini
menyebabkan negara-negara penerima
terjebak dalam dilemma.
b.
Utang Luar Negeri Indonesia
Persoalan
utama
yang
melibatkan
pihak
asing
dalam
deforestasi Indonesia berkaitan dengan
investasi asing yang berbalik menjadi
utang luar negeri Indonesia. Hutang
luar negeri Indonesia tersebut sebagian
besar merupakan hutang-hutang para
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
konglomerat kayu yang diambil alih
oleh negara dan harus ditanggung oleh
rakyat
Indonesia.
Bagian
yang
signifikan
dari
hutang
tersebut
merupakan
hutang
perusahaanperusahaan yang pendapatannya amat
tergantung pada produk hutan dan
kelapa sawit. Peraturan pemerintah
yang lemah dalam perbankan turut
andil dalam memberikan peluang bagi
praktek-praktek bisnis berisiko tinggi
yang ternyata tidak berkelanjutan
begitu terdepresiasinya rupiah pada
tahun 1997 12 . Sektor kehutanan dan
perkebunan
menimbulkan
resiko
karena
ketidakpastian
atas
ketersediaan bahan baku dalam jangka
panjang , potensi konflik social yang
besar dan industri ini sangat
tergantung pada koneksi politik untuk
mendapatkan akses pada bahan baku
serta subsidi.
Berdasarkan
analisa
yang
dilakukan oleh Christoper Barr dan
kawan-kawan, kegiatan kehutanan
dan perkebunan mencakup 8 % dari
jumlah hutang perusahaan pada
BPPN. Jumlahnya saat ini mencapai 28
triliun, dimana 18 triliunnya adalah
kredir macet. Pada januari 1999,
konglomerat dengan kepemilikan yang
cukup besar dalam sector kehutanan
mempunyai kredit macet US$ 4,3
milyar. Dari jumlah ini US$1,8 milyar
langsung berkaitan dengan kegiatan
kehutanan dan perkebunan 13 .
Kelompok-kelompok
konglomerat
Christoper Barr dkk, Hutang Perusahaan dan
Sektor Kehutanan Indonesia, dalam Kemana Harus
Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan
Kebijakan di Indonesia ( Jakarta : Yayasn Obor
Indonesia, 2003) hal: 338
13 ibid, hal : 340
12
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
beserta gambaran hutang dan kredit
macetnya dapat dilihat pada table
berikut [lahat tabel 1, terlampir]
Salah satu kelompok tersebut
yang beroperasi di Indonesia adalah
Group Sinar Mas dengan anak
perusahaannya RAPP dan Kelompok
Raja Garuda MAS dengan anak
perusahaannya Indah Kiat, yang
beroperasi di Propinsi Riau. 14 Selain
kewajiban-kewajiban dalam negeri,
kelompok-kelompok ini mempunyai
hutang dalam mata uanga dolar yang
besar pada kreditur asing. Grup Sinar
Mas , yang menguasai 50% produksi
pulp dalam negeri, mempunyai hutang
internasional lebih dari US$ 9 Milyar,
kebanyakan melalui Asia Pulp & Paper
(APP)
yakni
sebuah
anak
perusahaannya di Singapura yang juga
beroperasi di Riau dengan RAPP.
Kelompok raja garuda Mas meminjam
US$ 1,6 milyar dari pasar uang luar
negeri (offshore) melalui perusahaan
holding
company-nya
sendiri
di
Singapura,
Asia
Pacific
Resource
International Ltd. (APRIL)15.
Lembaga
Keuangan
Internasional yang concern terhadap
permasalahan kehutanan Indonesia
diantaranya adalah CGI, World Bank,
IMF dan ECA. Lembaga-lembaga ini
sendiri telah mengalami perubahan
persfektif terhadap pengelolaan hutan
di Indonesia. pada tahap awal, secara
implisit
memberikan
tekanan
ekstraktif yang besar terhadap sumber
daya hutan Indonesia, kemuadian
Riau, diambil sebagai sampel untuk menjelaskan
kondisi investasi yang berbalik menjadi utang luar
negeri Indonesia
15 ibid, hal : 341-342
14
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
beralih
menjadi
pengecam
atas
pengelolaan hutan Indonesia yang
tidak mendukung terhadap pelestarian
lingkungan.
Meskipun
kecaman
tersebut juga tidak menghilangkan
tekanan implisit yang membuat
Indoensia tidak bisa berhenti dalam
mengeksploitasi hutan. Pergeseran
persfektif
ini
seiring
dengan
munculnya
wacana
tentang
lingkungan hidup dalam tataran global
beberapa tahun terakhir.
1.
Export Credit Agency (ECA)
Langsung atau tidak langsung,
pinjaman sektor kehutanan cenderung
mempercepat
kerusakan
hutan.
Pinjaman sektor kehutanan
tidak
memenuhi tujuan untuk mencegah
degradasi dan kerusakan hutan.
Konsekuensi ril dari pinjaman tersebut
malah sebaliknya menaikkan beban
utang Pemerintah Indonesia dan nilai
tukar mata uang asing. Solusi yang
tergambar untuk permasalahan ini
adalah
dengan mengeksploitasi
sumber-sumber hutan.
Export Credit Agencies (ECA)
merupakan suatu institusi Financial
Public
terbesar
di
dunia
dan
mengalahkan
peranan
bantuan
pembangunan
bilateral
dan
multilateral lainnya. Institusi yang
tergabung dalam ECAs ini antara lain
US Export Import Bank dan The Japan
Bank for International Cooperation (JBIC,
Germany’s Hermesbuergschaft, France’s
COFACE, The British Export Credit and
Guarantee Department (ESGD), Canada’s
Export Development Corporation (EDC,
Italy SACE dan Scandinavian ECAs.
Selanjutnya yang bertindak sebagai
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
World Bank ECA adalah MIGA
(Multilateral
Investment
Guarantee
Agency). Institusi-institusi tersebut
baru-baru ini menyetujui pinjaman
lunak baru dan jaminan sebesar US$ 15
Juta. Proyek-proyek pinjaman dari
Institusi ECAs melalui MIGA telah
mendorong mega proyek destruktif
yang berbahaya secara ekonomi, sosial
dan lingkungan sepanjang region asia
pasifik.
Utang, hibah dan dana Badan
Kredit Ekspor pemerintah (ECA)
berdampak besar pada hutan dan
masyarakat sekitar hutan. Tujuan
utama
dari
ECAs
adalah
mempromosikan ekspor dan investasi
asing perusahaan-perusahaan dari
negara-negara mereka yang tergabung
dalam ECAs. Fasilitas-fasilitas ECAs
disediakan
untuk
proyek-proyek
kewirausahaan atau institusi finansial,
dimana proyek-proyek tersebut bisa
jadi melakukan usaha patungan (Joint
Venture), pengalihan proyek-proyek
kunci atau pembelian peralatan serta
jasa.
Bagi
klien
ECAs
yang
menginginkan investasi atau proyek
lainnya di suatu negara sedang
berkembang
akan
dihubungkan
dengan ketersediaan bahan baku,
tenaga kerja dan keamanan. Negaranegara penerima investasi biasanya
akan
mengkondisikan
keamanan
tersebut melalui militer, sementara itu
keamanan politik dan ekonomi bisa
disediakan
oleh
ECAs
yang
memberikan pinjaman lunak, asuransi
resiko politik dan jaminan investasi.
Hal ini dilakukan ECAs melalui
kerjasamanya
dengan
lembagalembaga keuangan lain seperti IMF,
CGI dan World Bank yang menyaratkan
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
penyesuaian struktural
seperti
deregulasi, privatisasi dan liberalisasi
bagi negara-negara penerima bantuan.
Suatu
perusahaan
yang
mencari pinjaman lunak dari bankbank komersil untuk suatu proyek
yang
besar
dengan
mempertimbangkan resiko ekonomi
dan politik akan cendrung pertama
kali berusaha mendapat dukungan
ECAs, apakah dalam bentuk pinjaman
lunak langsung, jaminan investasi atau
asuransi resiko politik. Dalam banyak
kasus
ECAs
kemudian
akan
menyaratkan suatu soverign counter
guarantee (semacam jaminan dari
pemerintah yang berkuasa ) pada
negara dimana proyek tersebut akan
diimplementasikan.
Jika
proyek
tersebut gagal karena alasan-alasan
ekonomi dan politik, ECAs akan
mengganti
kerugian,
namun
selanjutnya akan membebankannya
pada negara penerima (host country)
untuk mengganti sejumlah uang yang
sudah dikeluarkan ECAs. Apabila Host
Country tersebut tidak memiliki cukup
dana, maka World Bank akan
membantu memberi pinjaman yang
nanti pada akhirnya meningkatkan
jumlah hutang negara. Sistim ini
mengkonversikan
resiko-resiko
inherent dalam transaksi untunguntungan suatu sector swasta menjadi
hutang
publik
negara-negara
berkembang16.
Dari uraian mengenai jaringan
kerja ECAs tersebut, yang menjadi
NADI dan Environmental Defence, A Brief
Overview of Export Credit Agencies in the Asia
Pacific Region, (Mumbai, India : World Social Forum,
Januari 2004). Hal : 1-9
16
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
pertanyaan adalah ; siapa yang
berkompeten
melobi
pemerintah
untuk mendapatkan soverign counter
guarantee tersebut?. Sovereign Counter
Guarantee tersebut dapat diperoleh
oleh perusahaan dengan mudah di
negara-negara yang korup. Untuk
kasus Indonesia pada masa era
pemerintahan Soeharto, mega-mega
proyek yang didukung oleh ECAs ini
bayak terjadi. Salah satunya adalah
kasus perusahaan pulp dan kerta yang
terbesar di Riau yaitu RAPP dan Indah
Kiat.
Mekanisme Hutang ECAs dan APP
Asia Pulp and Paper (APP)
adalah perusahaan kertas dan pulp
terbesar di Indoensia. APP anggota
dari Sinar Mas Group, suatu
konglomerasi perusahaan perkebunan
kelapa sawit terbesar yang dimiliki
oleh
Eka Tjipta Wijaya.
APP
merupakan perusahaan induk dari
empat operasi perusahaan kertas dan
pulp di Indonesia yakni Indah Kiat,
Lontar Papyrus, Pindo Deli dan Tjiwi
Kimia. Bersamaan dengan krisis
ekonomi Asia, APP juga mengalami
krisis pada tahun1997. perusahaan
memperoleh pinjaman lunak sebesar
US$2,9 pada tahun 1998 dan 1999,
termasuk US$1,2 juta dari bank
konlomerasi SMG sendiri yaitu BII.
Tahun
1999
perusahaan
mengumumkan bahwa perusahaan
tidak
dapat
membayar
bunga
hutangnya. Sementara waktu itu dana
cadangan BII mulai habis, pemerintah
dengan cepat melakukan bail-out
terhadap
BII
untuk
mencegah
penarikan dana besar-besaran oleh
para nasabah. Kondisi ini memaksa
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
Indonesia untuk menambil alih hutang
tersebut karena dalam rantai hutang
antara
APP-SMG-BII-IBRA,
telah
ditanda tangani oleh pemerintah suatu
perjanjian rekapitalisasi antara BII dan
IBRA.
Skema
di
bawah
ini
memperlihatkan jaringan hutang SMG
dan IBRA. Dalam upaya untuk
memenuhi kewajiban hutang tersebut,
APP harus meningkatkan kapasitas
produksi dengan pasokan bahan baku
murah. Indah Kiat menyatakan 70%
supply kayu untuk produksi berasal
dari log legal hutan-hutan konsesi di
Riau, terutama dari PT. Arara Abadi.
Sisa kebutuhan kayu lainnya dipasok
dari berasal dari penebangan illegal,
bahkan diassumsikan pasokan log
illegal untuk Indah Kiat memiliki porsi
substansial yang signifikan dibanding
pasokan legal.
2.
Consultative
Indonesia (CGI)
Group
on
Organisasi
kreditur
multilateral
dan
bilateral
bagi
Indonesia, di bawah kepemimpinan
Bank Dunia, kelompok donor yang
beranggotakan antara lain: IMF, Asian
Development Bank,
The European
Comission dan lembaga-lembaga PBB
serta kreditur bilateral seperti AS,
Inggris dan Jepang, setiap tahun dalam
forum Consultative Group on Indonesia
(CGI) bertemu untuk menentukan
besarnya bantuan pinjaman yang akan
diberikan.
telah
Dalam pembicaraan tersebut
terjadi
perubahan
dasar
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
pengembilan
kebijakan.
Selama
pemerintahan Suharto, kelompok ini
sering mengabaikan masalah HAM
dan lingkungan. Namun, setelah era
Suharto agenda utama para donor
tersebut adalah mencoba menuntut
perbaikan dalam pengelolaan dan
pengaturan
hutan.
Mereka
menenkankan
“Good
governance”
dalam pengelolaan sumberdaya yang
sebelumnya dianggap sebagai campur
tangan politik. Perubahan perspektif
ini berpengaruh pada perdebatan
mengenai kebijakan hutan.Manajemen
hutan untuk pertama kali disebut pada
pertemuan CGI bulan Juli 1999. Pada
kesempatan tersebut, Bank Dunia
membeberkan bukti bahwa tingkat
kerusakan hutan yang terjadi dua kali
lipat dari perkiraan sebelumnya. Pada
bulan Januari tahun berikutnya CGI
mengadakan pertemuan pertama yang
secara khusus membahas masalah
kehutanan dan menghasilkan delapan
petunjuk pelaksanaan (action point)
untuk diterapkan oleh pemerintah
Indonesia.
Di dalamnya terdapat
penekanan-penekanan
pada
penegakkan hukum, aturan-aturan
anti korupsi dan partisipasi stakeholder
serta lebih memusatkan perhatian
pada penebangan illegal . Kedelapan
poin tersebut adalah:
1)
Menghentikan
penebangan
ilegal;
2)
Mempercepat
penilaian
terhadap hutan sebagai
landasan program hutan
nasional
(National
Forest
Program);
3)
Moratorium
terhadap
seluruh konversi hutan
alam
sampai
adanya
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
kesepakatan yang dicapai
dalam NFP; 4) Memperkecil
industri
berbasis
kayu
untuk
menyeimbangkan
permintaan dan penawaran
terhadap
kayu
serta
meningkatkan persaingan;
5) Menutup perusahaanperusahaan yang memiliki
banyak hutang yang berada
dalam kontrol BPPN; 6)
Menghubungkan
antara
program reboisasi hutan
dengan industri hutan serta
program
lainnya
yang
sedang
dikerjakan;
7)
Mengkalkulasi ulang “ nilai
nyata “ dari kayu; 8)
Memanfaatkan
proses
desentralisasi
sebagai
sarana
untuk
mengembangkan
manajemen keberlanjutan
hutan17.
Program
program
yang
dijalankan untuk memnuhi delapan
poin tersebut diatas tidak terlaksan
secara
maksimal
karena
masih
terdapat
ketimpangan-ketimpangan
dalam implementasi setiap kebijakan
pemerintah yang mengakomodasi
pelaksanaannya. Hal ini merupakan
syarat Bank Dunia, namun bukan hasil
yang diharapkan oleh para kreditur.
Benturan
kepentingan
antara
kelompok bisnis baik domestic,
internasional dan pemerintah serta
Edisi Bahasa Indonesia dari Bagian II: Reformasi
Hutan pasca era Suharto "Forests, people and
Rights, A Down to Earth Special Report, Juni 2002"
17
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
lembaga
donor
internasional
mengakibat
kebijakan-kebijakan
tumpang tindih dan konsekuensinya
pengelolaan hutan Indonesia tetap
sama, tidak ada perubahan kea rah
perbaikan yang signifikan.
3.
(IMF)
International Monetary Fund
Reformasi peraturan pertama
yang berdampak kepada hutan
termuat dalam letter of intent (LoI)
antara IMF dengan pemerintah
Indonesia bulan Oktober 1997 dan
Januari 1998. LoI adalah dokumen
yang menjabarkan persyaratan hutang
yang harus disetujui Indonesia untuk
mendapatkan pinjaman sebesar USD
11 milyar sebagai bagian dari paket
bantuan hutang (lihat catatan dibawah
untuk rincian tentang LoI ini). Sejak
penandatanganan LoI pertama dari 17
yang ditanda-tangani dalam 4 tahun
berikutnya, sudah ada kontradiksi.
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
keberlanjutan lingkungan hutan” tidak
konsisten
dengan
penghapusan
pelarangan ekspor minyak sawit dan
diperbolehkannya investasi asing pada
sektor ini, sebuah langkah yang
nampaknya
memicu
terjadinya
percepatan konversi hutan menjadi
perkebunan.
Ketentuan-ketentuan ini tidak
menjamah
penyebab
mendasar
terjadinya
penggundulan
dan
degradasi hutan. Masyarakat adat dan
penduduk sekitar hutan semakin
terpinggirkan karena hak mereka
untuk ikut menguasai hutan dan
sumber daya hutan terabaikan.
Ironisnya
meskipun
LoI
mengharuskan adanya transparansi
yang lebih besar serta konsultasi
dengan masyarakat sipil, proses
pembuatan rancangan LoI itu sendiri
sama sekali tidak transparan karena
tidak melalui uji kelayakan publik.
4.
Meskipun ada peningkatan
dalam pengelolaan dan transparansi
(contohnya
tuntutan
untuk
mereformasi aturan-aturan konsesi
HPH, pengenalan surat jaminan dana
kinerja/performance
bonds
dan
penghapusan kartel) yang secara jelas
memberikan manfaat baik bagi hutan
maupun bagi penerimaan pemerintah.
Namun beberapa kebijakan lainnya
seperti mengurangi pajak ekspor kayu
pada akhirnya akan mengakibatkan
terjadi
kecendrungan
untuk
meningkatkan ekspor kayu. Kemudian
persyaratan untuk mengurangi target
luas hutan yang dapat dikonversi
(menjadi lahan pertanian) sampai
“tingkat yang diperbolehkan untuk
SPEKTRUM
World Bank (WB)
Pada tahun 1993 Bank Dunia
memberikan pinjaman sebesar USD
120 juta dengan persyaratan reformasi
kehutanan, namun gagal karena
program pinjaman tersebut dianggap
dapat mengancam kepentingan bisnis
dari pihak-pihak yang dekat dengan
Suharto. Barulah pada tahun 1989
Bank Dunia (dengan FAO) berhasil
memulai program kehutanan. Proyek
kedua didesain untuk penyediaan
nasehat mengenai kebijakan kehutanan
namun hal ini dihentikan pada tahun
1995. Sejak saat itu terjadi keterlibatan
Bank Dunia dalam bidang kehutanan
secara tidak langsung melalui proyekproyek seperti proyek administrasi
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
tanah (LAP) yang kontroversial (1995
hingga sekarang). Tim review Bank
Dunia sendiri telah menyimpulkan
bahwa kebijakan dan praktek Bank
Dunia dalam bidang kehutanan gagal
total.
Setelah krisis ekonomi, Bank
Dunia
memperbaiki
dan
menambahkan persyaratan pinjaman
IMF
menjadi
dua
pinjaman
penyesuaian terstruktur – PRSL I
(April 1998) dan PRSL II (Mei 1999).
Saat itu diadakan konsultasi stakeholder
secara luas dengan persiapan makalah
yang menanggapi tuntutan sosial
dengan secara ekplisist meminta
dibentuknya
konservasi
dan
pengelolaan
hutan
berbasis
masyarakat.
Dalam
PRSL
II
dilampirkan persyaratan bahwa draft
perundang-undangan
kehutanan
harus mengakomadasi “hak dan
kewajiban daerah adat di dalam kawasan
hutan” dan peraturan khusus tentang
“partisipasi masyarakat hutan”. Bank
Dunia
juga
meminta
adanya
transparansi yang lebih luas (dengan
membuat peta kawasan hutan yang
baru yang mudah didapatkan oleh
masyarakat) dan “proses konsultasi
multi-stakeholder” selama penyusunan
rancangan peraturan dan perundangundangan.
Bank
Dunia
terus
melanjutkan
program
PRSL
II
meskipun tidak ada kemajuan berarti
sesuai kesepakatan pada pinjaman
pertama. Mereka juga mengabaikan
peringatan yang disampaikan tentang
tidak
adanya
komitmen
dari
departemen
kehutanan
untuk
bersungguh-sunguh
melakukan
konsultasi dalam menyusun draft
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
undang-undang hutan yang baru yang
disetujui pada tahun 1999.
Lagipula
ada
banyak
kelemahan dalam paket tersebut.
Tidak
konsistennya
persyaratan
(misalnya tentang konversi hutan dan
minyak sawit) ditambah dengan
permasalahan
kelayakan
dan
keefektifannya (muncul pertanyaan;
dapatkah tujuan yang sudah secara
tegas ditetapkan bisa tercapai?).
Mereka
lebih
terfokus
kepada
kebijakan yang dianut Bank Dunia –
yaitu meningkatkan efisiensi dengan
paradigma manajemen hutan yang
ada. Di beberapa tempat, reformasi
sangat minimal
dilaksanakan
–
contohnya hanya 15% dari pemegang
HPH yang diketahui memperoleh
ijinnya secara illegal yang dicabut
ijinnya dan walaupun iuran hasil
hutan telah dinaikkan, penerimaannya
malah menurun karena pembayaran
dapat menggunakan mata uang rupiah
dengan
nilai
tukar
yang
menguntungkan.
Tidak
adanya
perkembangan
yang
berarti
menyebabkan Bank Dunia menunda
pengucuran dana bagi proyek ini
diakhir 1998. Jelas terlihat adanya
kelemahan mendasar reformasi karena
pemerintah lebih mementingkan butirbutir perjanjian daripada jiwa paket
reformasi yang diharapkan IFI.
Sejak terjadinya krisis ekonomi
Indonesia,
lembaga
keuangan
internasional (LKI) semakin berperan
dan mempengaruhi keputusan yang
dibuat pemerintah, dan memainkan
peran yang fundamental dalam
menentukan arah reformasi yang
berkaitan dengan hutan dan orang-
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
orang yang berada di sekitar hutan.
Para kreditur yang dipimpin oleh IMF
dan Bank Dunia telah menggunakan
posisi strategis mereka untuk mencoba
memaksakan
kehendak
mereka
terhadap Indonesia agar melaksanakan
reformasi ekonomi yang selaras
dengan ekonomi pasar bebas dunia,
disamping tetap memastikan bahwa
Indonesia harus melunasi hutanghutangnya. Namun dilain pihak
mereka
menolak
untuk
ikut
bertanggungjawab memikul beban
dari hutang tersebut yang merupakan
warisan dari era Suharto yang
sebagian besar telah disalahgunakan.
Tiga puluh persen dari pinjaman Bank
Dunia yang berjumlah sekitar USD 30
milyar telah dikorupsi selama masa
tersebut.
Pada saat yang bersamaan
Bank Dunia secara khusus didesak
untuk lebih memperhatikan suara
masyarakat sipil baik didalam maupun
diluar
negeri
yang
menuntut
diakhirinya ketergantungan terhadap
hutang luar negeri, akuntabilitas
(tanggung gugat) dari lembaga donor
terhadap terhadap rezim yang korup
ini dan mengakhiri hutang-hutang dan
persyaratan hutang yang memiliki
dampak negatif terhadap hutan dan
masyarakat
luas.
Akibatnya,
persyaratan hutang oleh IMF, Bank
Dunia
serta
donor
lainnya
mengandung pesan yang saling
berlawanan. Pada satu sisi mereka
meminta
adanya
peningkatan
perlindungan terhadap hutan, namun
pada sisi lain mereka membuat aturanaturan yang pada akhirnya akan
mendorong kerusakan hutan lebih
jauh.
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
Sesungguhnya
tidak
bisa
mengambing hitamkan lembaga donor
internasional saja yang menjerat
Indonesia dengan hutang-hutang,
eksploitasi hutan yang terjadi diluar
kontrol lebih banyak disebabkan oleh
rendahnya low enforcement Indonesia
serta
kesadaran
nasional
akan
pentingnya melertasikan sumberdaya
hutan. Lemahnya pengakan hukum
kehutanan dan investasi mendorong
berbagai
perusahaan
tersebut
menggunakan hutan secara tidak
berkelanjutan.
Tingkat peraturan terhadap
pengelolaan sumberdaya telah berlaku
sebagai subsidi terhadap industri
hutan dengan cara memberikan akses
murah dan sebagaian besar tidak
diatur atas areal hutan yang sangat
luas dan kaya dengan kayu, sehingga
membuat biaya produksi menjadi
rendah. Berbagai kebijakan tersebut
telah
memberikan
keuntungan
kompetitif bagi industri kehutanan,
pada akhirnya peraturan yang lemah
terhadap indutri dan perbankan yang
menyediakan dana mendorong ke arah
penambahan
kapasitas
yang
berlebihan dan kearah penggundulan
hutan.
Pada masa pemerintahan orde
baru penguasaan hutan merupakan
alat sekaligus hadiah bagi kekuasaan
negaraa. Hutan- hutan tropis yang
lebat
ditebang untuk memperoleh
kayu dan diganti dengan perkebunan
yang luas dengan metode spesies
monokultur
eksotis
yang
cepat
tumbuh dalam baris lurus dan
dibersihkan dari tumbuhan tingkat
bawah. Ekspansi dan peningkatan
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
produksi kehutanan telah melebihi
kemampuan perkebuna-perkebunan
yang sangat besar untuk memasok
bahan baku dan telah mendorong
perluasan perkebunan lebih jauh
menembus hutan alam. Berbagai kritik,
di anataranya dari Bank Dunia dan
anggota-anggota lain dari forum donor
consultative group on Indonesia (CGI),
menuduh bahwa perluasan industri
pulp yang berlebihan ini juga telah
mendorong penebangan liar, yang
sebagaian besar terjadi di taman-taman
nasional dan hutan lindung yang lebat
pohonnya.
Hutan menghilang dengan laju
yang pesat, saat ini mencapai 2 juta
ha/tahun, yang hampir sama dengan
luas suatu negara. Menurut perkiraan
bank dunia, jika kondisi ini terus
berlanjut maka seluruh hutan dataran
rendah di Riau dan Sumatra akan
hilang sebelum tahun 2005. untuk
memperoleh persfektif dari perkiraaan
ini,
United
States
Agency
For
International (USAID) menggunakan
angka-angka ini untuk menghitung
bahwa tiap menit hutan enam kali luas
lapangan sepak bola menghilang18.
Industri
kehutanan
yang
melebihi kapasitas dan kesenjangan
pasokan kayu telah mendorong hutan
Indonesia lenyap dngan cepat akibat
operasi penenbangan liar maupun
resmi. Lahan yang sangat luas tersebut
kemudian dklasifikasikan sebagai
“hutan negara”, luasnya mencakup 75
% dari luas total lahan Indonesia.
18Forests,
people and Rights, A Down to Earth
Special Report, Juni 2002
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
Sebagai hutan negara, secara hukum
lebih dari seratus juta hektar
diperuntukkan
sebagai
areal
penebangan atau hutan konversi untuk
perkebunan (yaitu tebang habis dan
diikuti dengam penanaman secara
monokultur untuk perkebunan kayu
pulp
and
paper
dan
tanaman
perkebunan
lainnya.
Pemerintah
Indonesia mengeluarkan ijin konsesi
HPH, HTI dan perkebunan ke berbagai
perusahaan berupa hak atas lahan
yang diakui secara hukum. Peta
kalsisfikasi hutan negara di provinsi
Riau menunjukkan bagian yang sangat
kecil dari total lahan yang tidak
diklasifikasikan
sebagai
“hutan
negara”.
Kesimpulan
Dalam bagian terdahulu studi
ini
telah
diperlihatkan
bahwa
kelemahan dalam low enforcement dan
kebijakan yang cendrung berpihak
pada sektor pengusaha industri
kehutanan merupakan faktor terbesar
sebagai
penyebab
deforestasi
kehutanan, karena pengelolaan hutan
Indonesia pada umumnya sejak jaman
orde baru dikendalikan oleh kebijakankebijakan pembangunan unsustainable
yakni
kebijakan
yang
tidak
memperhatikaan
keseimbangan
lingkungan
serta
kepentingan
masyarakat lokal.
Dalam instrumen kebijakan
yang lemah tersebut, investasi sektor
kehutanan telah mengakibatkan laju
deforestasi yang cukup
parah di
hutan-hutan tropis Indonesia sebagai
produsen terbesar produk-produk
hutan seperti pulp dan paper, kayu
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
bulat, kayu lapis,dan hasil perkebunan
terutama kelapa sawit ternyata saat ini
berbalik menjadi utang luar negeri
yang harus dituntaskan oleh Negara.
Keterlibatan kreditor asing itu terjadi
pada PT. RAPP dan PT. Indah Kiat
yang keduanya terlibat utang dengan
ECA (Export Credit Agencies). Dalam
prosedur peminjaman kredit dengan
ECA, perusahaan tersebut harus bisa
memperoleh jaminan pemerintah.
Perusahaan-perusahaan konglomerat
kayu pada era orde baru memiliki
kemudahan
dalam
memperoleh
jaminan
pemerintah
tersebut.
Konsekuensinya
hutang-hutang
perusahaan tersebut kini telah beralih
menjadi
tanggungan
negara,
sementara kedua perusahaan tersebut
yang memiliki kinerja buruk dalam
mengelola sebagaian besar hutan Riau
masih diijinkan untuk beroperasi
sebagai mana biasanya.
Operasi
perusahaanperusahaan tersebut akan semakin
berdampak buruk terhadap hutan,
karena
mereka
dituntut
untuk
meningkatkan kapasitas produksi.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut
perusahaan-perusahaan tersebut tentu
saja memerlukan pasokan kayu yang
lebih besar, pada akhirnya akan
mengeksplotasi hutan-hutan Riau
lebih parah lagi. Kedua perusahaan
diatas juga dalam operasinya secara
sembunyi sering menerima pasokan
kayu dari illegal logging dan mereka
diindikasikan terlibat dalam beberapa
peritiwa pembakaran hutan Riau baik
langsung mau pun tidak langsung.
Restrukturisasi hutang dan
perbankan disektor kehutanan tidak
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
disertai
dengan
restrukturisasi
perusahaan pengelola hutan. Sehingga
kebijakan-kebijakan dalam mengatasi
hutang luar negeri sektor swasta tidak
mendukung pada pengelolaan hutan
yang lestari. Tekanan-tekanan lembaga
donor
Internasional
dalam
penyelesaian hutang Indonesia yang
terkait dengan sektor kehutanan
menghendaki
adanya
reformasi
pengelolaan hutan yang mengarah
pada pengelolaan hutan lestari, namun
dalam prakteknya tuntutan-tuntutan
tersebut
malah
memberikan
kesempatan yang lebih besar bagi
pengelolaan hutan yang berujung pada
deforestasi. Lembaga-lebaga donor
seperti World Bank dan IMF ternyata
memiliki hubungan dengan ECA,
sebagai lembaga kredit Internasional
yang dindikasikan telah banyak turut
andil dalam pengruskan hutan- hutan
tropis dunia. Meskipun saat ini
pengelolaan hutan telah dilimpahkan
kepada daerah dan telah dilakukan
perubahan-perubahan
kebijakan
seperti kebijakan No. 41 tahun 1999,
yang seyogyanya diharapkan sebagai
kebijkan pengelolaan hutan lestari dan
lebih banyak melibatkan masyarakat
lokal, namun ditingkat daerah terjadi
perbedaan
interpretasi.
Otonomi
kehutanan Indonesia belum dilengkapi
dengan sumberdaya daerah yang
memadai untuk melaksanakannya.
Daerah tidak diberikan koridor yang
jelas
dalam
mengimlementasikan
berbagai kebijakan tersebut, sehingga
tidak jarang pemerintah daerah
frustasi dan terjadinya distorsi.
Akibatnya sejak otonomi daerah laju
deforestasi semakin tinggi, hal ini juga
diperburuk oleh euphoria reformasi
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
yang
masih
masyarakat
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
menggejala
dalam
Dalam tulisan ini ditemukan
beberapa
kondisi
yang
mengindikasikan keterlibatan kreditor
internasional beserta lembaga donor
internasional secara langsung maupun
tidak langsung dalam laju peningkatan
deforestasi di Indonesis. Dari beberapa
kasus perusahaan pengolahan kayu
Indonesia yang terlibat hutang dengan
ECAs dapat disimpulkan bahwa
kebijakan restrukturisasi hutang dan
rekapitalisasi perbankan yang terkait
tidak memberikan solusi effektif
terhadap permasalahan kehutanan
Indonesia.
Dalam ikatan rantai yang
cukup berbelit antara lembaga kredit
Internasional, Bank Dunia, perbankan,
BPPN dan pemerintah tidak terlihat
keterlibatan pemerintah daerah dalam
penyelesaian benang kusut hutang
tersebut. Pemerintah daerah, meskipun
era otonomi tidak memiliki andil yang
cukup signifikan. Otonomi Daerah
lebih
banyak
menyebabkan
permasalahan-permasalahan
baru
dalam pengelolaan hutan Riau, hal ini
juga disebabkan oleh ketidaksiapan
kapasitas
institusional
dalam
menyambut pelimpahan wewenang
yang biasanya sentralistis.
Daftar Pustaka
Agung Nugraha dkk, Tantangan
Menuju Pengelolaan Hutan
Alam Produk Lestari Di
Indonesia, hal. 3 www.aphinet.com.
SPEKTRUM
Barr, Christoper dkk., Hutang
Perusahaan dan Sektor
Kehutanan Indonesia, dalam
Kemana Harus Melangkah?
Masyarakat, Hutan dan
Perumusan Kebijakan di
Indonesia ( Jakarta : Yayasn
Obor Indonesia, 2003).
George, Susan., The Debt Boomerang,
2002
Hmprey, David., Forest Politics: The
Evolution of International
Cooperation
(London,
Earthscan Publication, 1996).
Forests, people and Rights, A Down to
Earth Special Report, Juni 2002
Furqon,
Hanief.
I.,
Penyesuaian
Struktural
di
Indonesia.
Disertasi Ilmu Politik PPS UI
(200).
Hariadi Kartodiharjo, Masalah
Structural Dalam Implementasi
Kebijakan Baru Kehutanan,
dalam Kemana Harus
Melangkah ? : Masyarakat,
Hutan, dan Perumusan
Kebijakan di Indonesia,
disunting oleh Ida Aju
pradnja Resosudarmo dan
Carol J. Pierce Colfer,
(Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003).
Ida Aju Pradnja Resosudarmo,
Tinjauan Atas Kebijakan
Sector Perkayuan Dan
Kebijakan Terkait Lainnya.
Jhamtani, Hira.P., Pembangunan
Berkelanjutan diTtengah-tengah
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
Globalisasi. Adakah harapan?,
global Vol. 5 No. 1 November
2002 ( Jakarta : Lab HI Fisip
UI ) hal : 2
Karseno, Arief Ramelan., Industrialisasi,
Globalisasi dan Permasalahan
Indonesia dalam Jurnal
Kebangsaan Perekonomian
Nasional Kita Antara
Harapan Dan Kenyataan, Vol
1 No.2, 1997
Potter, Lesley dan simon Badcock, The
Effect
of
Indonesia’s
Decentralisation on Forest and
Estate Corps in Riau Province :
Case Studies of the Original
District
of
Kampar
and
Indragiri Hulu. Cifor, 2001,
http://WWW.cifor.cgiar.org.
Pusat
Inventarisasi dan statistic
Kehutanan, Data Informasi
Kehutanan Riau, (Jakarta:
Badan Planologi Kehutanan
Departemen
Kehutanan,
2002).
Rita Lindayati, Gagasan Kelembagaan
Dalam Kebijakan Perhutanan
Sosial, dalam Kemana Harus
Melangkah ? : Masyarakat,
Hutan,
dan
Perumusan
Kebijakan
di
Indonesia,
disunting oleh Ida Aju
pradnja Resosudarmo dan
Carol
J. Pierce Colfer,
SPEKTRUM
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
(Jakarta:
Yayasan
Indonesia, 2003).
Obor
Sizer, Niegel & Dominiek Plouvier,
Increased Investment and trade
by
transnasional
logging
Companies in ACP-countries :
Implications for sustainable
forest
management
and
conservation, A Joint Report of
Sunderlin, William D dan Ida Ayu
Pradnja Resosudarmo, Laju
dan penyebab Deforestasi di
Indonesia
:
Penelaahan
Kerancuan
dan
Penyelesaiannya,
CIFOR
Occasional paper No. 9 (1),
Maret 1997.
Surat
Keputusan Bersama Menteri
Keuangan Republik Indonesia
dan Gubernur Bank Indonesia
No.53/KMK.017/1999
dan
31/12/KEP/GBI
Tentang
Pelaksanaan
Program
Rekapitalisasi Bank Umum.
Tacconi, Luca dkk, Proses Pembelajaran
(Learning Lesson) Promosi
Sertifikasi
Hutan
Dan
Pengendalian Penebangan Liar
Di Indonesia, ( CIFOR : 31
September 2003).
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
Lampiran
Skema 1
A Framework of Different Types of Variables Affecting Deforestation
Deforestation
Sources of
deforestation
Agents of deforeststion : choice of variables
Decision Parameters & agent characteristics
Immediate causes of
deforestation
Institutions
infrastructure
markets
technology
Macro level variables and policy
instruments
Underlying causes
of deforestation
Sumber : David Kaimowitz(underlying
and Arild Angelsen
causes)
Economic Models of Tropical Deforestation A Review
CIFOR
SPEKTRUM
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
Tabel 1 Gambaran Hutang Konglomerat Kayu di Indonesia
Grup
konglomerat
Hutang
anak
perusahaan
kayu lapis
Andatu
314
Hutang
anak
perusahaan
pulp
and
kertas
Hutang
anak
perusahaan
kelapa sawit
Hutang
anak
perusahaan
lain
Total
hutang
314
Astra
411
411
Bakrie
2.353
2.353
6.249
6.395
24
4.477
Barito Pacific
146
Bob Hasan
1.973
Djanti
2.418
98
2.516
Gemala
15
401
416
RGM
404
2.480
485
Salim
Sinar Mas
80
Total
5.350
SPEKTRUM
2.965
28
917
18
834
46
343
423
10.713
19.074
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Silsila Asri
Dimensi Internasional dalam
Deforestasi di Indonesia
Sumber : www.bppn.go.id Juni 1999
Sumber : Bisnis Indonesia 12 Juni 2002
SPEKTRUM
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Download