Trinitas: Tuhan Kristen mewujud dan hidup. Tuhan dan

advertisement
Trinitas: Tuhan Kristen
mewujud dan hidup. Tuhan dan kemanusiaan tak lagi serumpun,
sebagaimana dalam pemikiran Yunani. Tuhan menciptakan setiap
satu wujud dari ketiadaan tak bertepi, dan kapan pun dia bisa menarik
kembali tangannya yang memberi sokongan. Tak ada lagi mata rantai
wujud yang secara abadi beremanasi dari Tuhan. Tak ada lagi perantara
alam wujud-wujud spiritual yang mengalirkan kekuatan mana ilahi
kepada dunia. Manusia tak dapat lagi mendaki mata rantai wujud
menuju Tuhan dengan usaha mereka sendiri. Hanya Tuhan, yang
telah menarik mereka dari ketiadaan pada awalnya dan menjaga
mereka agar terus mewujud, yang bisa menjamin keselamatan abadi
mereka.
Orang Kristen mengetahui bahwa Yesus Kristus telah menyelamatkan mereka melalui kematian dan kebangkitannya; mereka telah
diselamatkan dari kebinasaan dan pada suatu masa akan ikut
dalam
eksistensi Tuhan, yang Ada dan Hidup dengan sendirinya. Lewat
suatu cara Kristus telah membuat mereka mampu menyeberangi
jurang lebar yang memisahkan Tuhan dari manusia. Pertanyaannya
adalah, bagaimana cara dia melakukan hal itu? Pada sisi mana
dari
Jurang Lebar itu dia berada? Kini tak ada lagi Pleroma, tempat
yang
berisikan para perantara dan aeon-aeon. Apakah Kristus, sang Firman,
tergolong ke dalam alam suci (yang kini merupakan wilayah
Tuhan
sendirian) atau tergolong ke dalam tatanan ciptaan yang rentan. Arius
dan Athanasius meletakkannya pada sisi yang berseberangan:
Athanasius pada alam suci sedangkan Arius memilih tatanan makhluk.
Arius bermaksud menekankan perbedaan esensial antara Tuhan
yang unik dengan semua makhluk ciptaannya. Seperti tertulis
dalam
suratnya kepada Uskup Aleksander, Tuhan adalah "satu-satunya yang
tidak memperanakkan, satu-satunya yang abadi, satu-satunya yang
tak berawal, satu-satunya kebenaran, satu-satunya yang memiliki
keabadian, satu-satunya yang bijak, satu-satunya yang baik, dan satusatunya yang kuasa." 3 Arius menguasai isi kitab suci dengan baik
dan dia mempersenjatai argumennya dengan teks-teks kitab suci
untuk mendukung klaimnya bahwa Kristus sang Firman tak lain adalah
makhluk seperti kita semua. Sebuah ayat kunci adalah
deskripsi
tentang Hikmat suci dalam Kitab Amsal, yang menyatakan secara
eksplisit bahwa Tuhan telah menciptakan Hikmat sejak dahulu kala.4
Teks itu juga menyatakan bahwa Hikmat merupakan sarana
penciptaan, sebuah gagasan yang diulang lagi dalam prolog Injil
Yohanes. Firman itu telah ada bersama Allah sejak semula:
157
Sejarah Tuhan
Segala sesuatu dijadikan oleh Dia,
Dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi.5
Logos merupakan instrumen yang digunakan Tuhan untuk
membuat segala ciptaan menjadi ada. Oleh karena itu, ia sepenuhnya
berbeda dari wujud-wujud lain dan memiliki status sangat tinggi.
Namun karena diciptakan oleh Tuhan, logos secara esensial berbeda
dari Tuhan itu sendiri.
Yohanes mempertegas bahwa Yesus adalah logos; dia juga
mengatakan bahwa logos itu adalah Allah. 6 Sungguhpun demikian,
menurut Arius, Yesus bukanlah tuhan dalam hakikatnya, tetapi
diangkat Tuhan ke status ilahiah. Dia berbeda dengan kita semua
karena Tuhan telah menciptakannya secara langsung sedangkan
makhluk-makhluk lain diciptakan melalui dia. Tuhan telah mengetahui
bahwa jika logos menjadi manusia, dia akan mematuhi Tuhan secara
sempurna. Oleh karena itu, Tuhan telah, bisa dikatakan demikian,
menganugerahkan kesucian kepada Yesus sejak semula. Akan tetapi,
kesucian Yesus bukanlah alamiah baginya: itu hanyalah sebuah
pemberian atau karunia. Lagi-lagi, Arius dapat menampilkan banyak
teks yang tampaknya menopang pandangan ini. Kenyataan bahwa
Yesus telah menyebut Allah sebagai "Bapa-"nya mengimplikasikan
sebuah perbedaan; kebapakan pada dasarnya menyiratkan eksistensi
yang lebih dahulu dan menunjukkan superioritas terhadap anak.
Arius juga mengetengahkan ayat-ayat biblikal yang menekankan
kerendahan hati dan kerentanan Kristus.
Arius tak bermaksud merendahkan Yesus, sebagaimana dituduhkan oleh musuh-musuhnya. Dia mempunyai pandangan luhur tentang
keutamaan dan kerelaan pengurbanan Yesus, yang diyakini menjadi
jaminan keselamatan manusia. Tuhan Arius menyerupai Tuhan para
filosof Yunani, yang jauh dan sangat transenden terhadap dunia;
karena itu pula dia menganut konsep Yunani tentang penyelamatan.
Kaum Stoa, misalnya, selalu mengajarkan bahwa adalah mungkin
bagi manusia yang baik untuk menjadi kudus. Ini juga merupakan
hal yang esensial dalam pandangan Platonis. Arius secara antusias
percaya bahwa orang Kristen telah diselamatkan dan dijadikan suci,
ikut memiliki hakikat ilahi. Ini hanya mungkin karena Yesus telah
merintiskan sebuah jalan bagi manusia. Dia telah menjalani kehidupan
seorang manusia sempurna; dia telah mematuhi Allah bahkan hingga
kematian di kayu salib; seperti dikatakan oleh Paulus, adalah karena
158
Trinitas: Tuhan Kristen
kepatuhannya hingga mati maka Allah sangat meninggikannya dan
mengaruniakan kepadanya gelar Tuhan (kyrios). 7 Andaikata Yesus
bukan seorang manusia, takkan ada harapan buat kita. Tak ada yang
bisa kita teladani dari hidupnya jika dia memang adalah Tuhan secara
hakiki. Justru dengan merenungkan kehidupan Kristus yang sarat
dengan nilai-nilai kepatuhan seorang anak maka orang Kristen dapat
menjadikan diri mereka pun ilahiah. Dengan meneladani Kristus,
makhluk yang sempuma, mereka juga bisa menjadi "makhluk ciptaan
Allah dengan kesempurnaan yang tak dapat diubah dan tak dapat
berubah."8
Namun, Athanasius memiliki pandangan yang kurang optimis
terhadap kapasitas manusia di hadapan Tuhan. Dia memandang
kemanusiaan secara inheren merupakan sesuatu yang rapuh: kita
berasal dari ketiadaan dan akan kembali ke dalam ketiadaan jika kita
berdosa. Oleh karena itu, ketika merenungkan makhluknya, Tuhan,
melihat bahwa seluruh alam ciptaan, jika dibiarkan berjalan dengan
sendirinya, akan berubah dan bisa mengalami kehancuran. Untuk
mencegah ini dan menjaga agar alam semesta tidak kembali menjadi
tiada, dia ciptakan segala sesuatu dengan logos-nya sendiri yang abadi
dan mengaruniakan wujud kepada ciptaan.9
Hanya dengan cara turut serta dalam Tuhan, melalui logos-nya.,
manusia bisa terhindar dari ketiadaan karena Tuhan sajalah yang
merupakan Wujud sempurna. Jika logos pun merupakan makhluk
biasa, dia tak akan mampu menyelamatkan manusia dari kebinasaan.
Logos dibuat menjadi daging untuk memberi hidup kepada kita. Dia
telah turun ke alam manusia yang tidak abadi untuk memberi kita
bagian dalam ketidakberubahan dan keabadian Tuhan. Namun,
pembebasan ini mustahil adanya jika logos sendiri adalah makhluk
rentan, yang juga dapat jatuh ke dalam ketiadaan. Hanya dia yang
telah menciptakan dunialah yang mampu menyelamatkannya, dan
itu berarti bahwa Kristus, logos yang mendaging, pastilah berhakikat
sama dengan Tuhan Bapa. Sebagaimana dikatakan Athanasius, Firman
dibuat menjadi manusia dengan tujuan agar kita bisa menjadi kudus.10
Ketika para uskup berkumpul di Nicaea pada 20 Mei 325, untuk
mengatasi krisis ini, sedikit sekali yang mendukung pandangan Athanasius tentang Kristus. Kebanyakannya berpegang pada posisi menengah antara Athanasius dan Arius. Meskipun demikian, Athanasius
159
Sejarah Tuhan
berhasil mendesakkan teologinya kepada para delegasi dan, di bawah
ancaman kaisar, hanya Arius dan dua orang sahabatnya yang berani
menolak untuk menyetujui Kredo Athanasius. Dengan ini maka creatio
ex nihilo pun menjadi doktrin resmi Kristen untuk pertama kalinya,
menegaskan bahwa Kristus bukanlah sekadar makhluk atau aeon.
Sang Pencipta dan Penebus itu adalah satu.
Kami beriman kepada Allah Yang Esa,
Tuhan Bapa yang Mahakuasa,
pencipta segala sesuatu, yang dapat dilihat dan tak dapat dilihat,
dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus,
Anak Allah,
satu-satunya anak Tuhan Bapa,
yang berasal dari substansi (ousid) Tuhan Bapa,
Tuhan dari Tuhan,
cahaya dari cahaya,
Tuhan sejati dari Tuhan sejati,
diperanakkan, tidak diciptakan
dari satu substansi (homoousion) dengan Tuhan Bapa,
yang melaluinya segala sesuatu diciptakan,
segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi,
yang demi kita dan keselamatan kita,
turun dan dijadikan manusia,
yang menderita, bangkit kembali pada hari ketiga,
naik ke langit
dan akan datang untuk menjadi hakim bagi yang hidup dan yang mati
dan kami beriman kepada Roh Kudus.11
Tercapainya kesepakatan itu menyenangkan hati Konstantin yang
tidak memiliki pemahaman tentang isu-isu teologis. Tetapi, sebenarnya
tidak ada sebuah kesepakatan pun di Nicaea. Setelah konsili itu,
para uskup terus mengajar sebagaimana biasanya, dan krisis Arian
pun terus berlanjut selama enam puluh tahun berikutnya. Arius dan
pengikutnya terus melawan dan berhasil memperoleh dukungan
kekaisaran. Athanasius diasingkan tak kurang dari lima kali. Sangat
sulit untuk memegang kredonya. Khususnya, istilah homoousion
(secara harfiah berarti "dibuat dari bahan yang sama") sangat
kontroversial karena tidak berlandaskan kitab suci dan memiliki
asosiasi materialistik. Dua uang logam, misalnya, bisa dikatakan
homoousion karena keduanya dibuat dari substansi yang sama.
160
Trinitas: Tuhan Kristen
Lebih jauh lagi, kredo Athanasius menimbulkan banyak pertanyaan penting. Dinyatakannya bahwa Yesus itu ilahiah, tetapi tidak
dijelaskan bagaimana logos bisa berasal "dari bahan yang sama"
dengan Tuhan Bapa tanpa menjadi Tuhan kedua. Pada tahun 339,
Marcellus, Uskup Ankira—teman setia dan kolega Athanasius, yang
bahkan pernah ikut ke pengasingan bersamanya suatu kali—berpendapat bahwa logos tidak mungkin merupakan sebuah wujud suci
yang abadi. la hanyalah sebuah kualitas atau potensi yang inheren
di dalam Tuhan: secara apa adanya, rumusan Nicene dapat dituduh
sebagai triteisme, kepercayaan bahwa ada tiga tuhan: Tuhan Bapa,
Putra, dan Roh Kudus. Sebagai pengganti homoousion yang
kontroversial, Marcellus mengusulkan istilah yang kompromistis, yaitu
homoiousion, dari hakikat yang sama atau serupa. Perdebatan yang
berliku-liku ini sering menjadi bahan olok-olok, terutama oleh Gibbon,
yang merasa adalah tak masuk akal jika kesatuan Kristen mesti
terancam hanya oleh sebuah diftong. Akan tetapi, yang menarik
adalah
kegigihan yang terus dipertahankan oleh orang Kristen terhadap
perasaan mereka bahwa keilahian Yesus merupakan hal yang esensial, meski sangat sulit untuk merumuskannya dalam terma-terma
yang konseptual. Seperti Marcellus, banyak orang Kristen merasa
terusik oleh ancaman terhadap kesatuan ilahi. Marcellus kelihatannya percaya bahwa logos hanyalah sebuah fase sementara: ia
muncul dari Tuhan pada saat penciptaan, berinkarnasi dalam diri
Yesus
dan, ketika penebusan telah sempurna, ia akan kembali larut ke
dalam alam suci. Dengan demikian, Tuhan Yang Esa tetap
mencakup
segalanya.
Akhirnya, Athanasius mampu meyakinkan Marcellus dan para
pengikutnya bahwa mereka mesti menggalang kekuatan, karena
mereka memiliki lebih banyak kesamaan dibanding dengan sekte
Arius. Dengan demikian, siapa yang mengatakan bahwa logos
berhakikat sama dengan Tuhan Bapa dan yang mengatakan bahwa
ia berhakikat mirip dengan Tuhan Bapa adalah "bersaudara, yang
memaksudkan apa yang kita maksudkan dan hanya berselisih
dalam
soal terminologi." 12 Yang jadi prioritas seharusnya adalah menentang
Arius, yang menyatakan bahwa sang Putra secara keseluruhan berbeda
dari Tuhan dan secara mendasar memiliki hakikat yang berbeda.
Bagi orang luar, tak pelak lagi bahwa argumen-argumen teologis
semacam ini tampak hanya membuang-buang waktu saja: toh tak
ada pihak yang mungkin memberi bukti secara definitif,
dengan
161
Sejarah Tuhan
cara apa pun, dan perselisihan itu sendiri justru terbukti telah memecah
belah. Akan tetapi, bagi orang yang terlibat di dalamnya, ini bukanlah
perdebatan yang kering, tetapi menyangkut esensi pengalaman
Kristen. Arius, Athanasius, dan Marcellus yakin bahwa sesuatu yang
baru telah menyusup ke dunia bersama Yesus, dan mereka berupaya
untuk mengartikulasikan pengalaman ini ke dalam simbol-simbol
konseptual untuk menjelaskannya kepada diri mereka sendiri dan
kepada orang lain. Kata-kata itu sendiri hanya mungkin
bersifat
simbolik, sebab realitas yang ingin mereka tunjukkan memang tak
terucapkan. Namun sayangnya, sebuah intoleransi dogmatik telah
merayap ke dalam agama Kristen, yang akhirnya menetapkan pengadopsian simbol-simbol yang "benar" atau ortodoks sebagai sesuatu
yang penting dan wajib. Obsesi doktrinal ini, yang khas bagi Kristen,
dapat dengan mudah menggiring kepada pencampuradukan simbol
manusia dengan realitas ilahi. Kristen telah senantiasa merupakan
sebuah keimanan yang bersifat paradoks: pengalaman keagamaan
generasi awal Kristen yang kuat telah mengalahkan keberatan ideologis mereka terhadap skandal seorang Mesias yang disalib. Kini
di
Nicaea, Gereja telah memilih paradoks Inkarnasi, meskipun dengan
ketidaksesuaiannya yang terang-terangan dengan monoteisme.
Dalam karyanya yang berjudul Life of Anthony, tentang
seorang
asketik padang pasir yang masyhur, Athanasius berusaha memperlihatkan bagaimana doktrin barunya akan berpengaruh terhadap
spiritualitas Kristen. Antonius, yang dikenal sebagai bapak monastisisme, telah menjalani kehidupan yang penuh kesusahan di padang
sahara Mesir. Dalam The Sayings of The Fathers, sebuah
antologi
anonim tentang ujar-ujar para pendeta padang pasir, dia ditampilkan
sebagai manusia biasa yang rentan, terusik juga oleh rasa bosan, ikut
menderita karena problem-problem kemanusiaan, dan memberikan
nasihat langsung yang sederhana. Akan tetapi, dalam biografinya,
Athanasius menghadirkan Antonius dengan cara yang sepenuhnya
berbeda. Misalnya, dia berubah menjadi tokoh yang sangat keras menentang Arianisme; dia telah mulai mencicipi pengangkatannya ke
status ilahiah di masa depan, karena berhasil meraih apatheia ilahi
hingga tingkat yang cukup tinggi. Tatkala, misalnya, dia bangkit dari
pusara tempat dia menghabiskan waktu selama dua puluh tahun untuk
bertarung melawan setan-setan, Athanasius mengatakan bahwa tubuh
Antonius tidak memperlihatkan tanda-tanda menua. Dia adalah seorang
Kristen yang sempurna, yang ketenangannya telah membedakannya
162
Download