9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tekanan Darah 2.1.1 Definisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tekanan Darah
2.1.1 Definisi Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang diberikan oleh sirkulasi darah pada
dinding pembuluh darah dan merupakan salah satu tanda-tanda vital yang utama.
Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi homeostatis di
dalam tubuh. Tekanan darah selalu diperlukan untuk daya dorong mengalirnya
darah di dalam arteri, arteriola, kapiler dan sistem vena, sehingga terbentuklah
suatu aliran darah yang menetap. Jika sirkulasi darah menjadi tidak memadai lagi,
maka terjadilah gangguan pada sistem transportasi oksigen, karbondioksida, dan
hasil-hasil metabolisme lainnya. Terdapat dua macam kelainan tekanan darah,
antara lain yang dikenal sebagai hipertensi atau tekanan darah tinggi dan hipotensi
atau tekanan darah rendah (Potter & Perry 2005). Menurut Soeharto (2004), yang
mendefinisikan tekanan darah sebagai kekuatan yang dihasilkan oleh darah saat
dipompa dari jantung keseluruh pembuluh jaringan, fungsi tekanan darah untuk
mengalirkan darah keseluruh tubuh dengan demikian semua organ-organ penting
mendapatkan oksigen ( O2) dan gizi yang dibawa oleh darah.
2.1.2 Pengukuran Tekanan Darah
Menurut Palmer (2007), tekanan darah timbul ketika bersirkulasi di dalam
pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam
proses ini dimana jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk
9
10
menggerakkan darah, dan pembuluh darah yang diukur dalam satuan millimeter
air raksa (mmHg) serta memiliki dinding yang elastis dan ketahanan yang kuat.
Menurut Yogiantoro (2006), pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan
menggunakan Sphygmomanometer dan stetoskop. Alat ini dikalibrasi sedemikian
rupa sehingga tekanan yang terbaca pada manometer sesuai dengan tekanan dalam
milimeter air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis.
Cara mengukur tekanan darah yaitu dimulai dengan membalutkan manset
dengan kencang dan lembut pada lengan atas dan dikembangkan dengan pompa.
Tekanan dalam manset dinaikkan sampai denyut radial atau brakial menghilang.
Hilangnya denyutan menunjukkan bahwa tekanan sistolik darah telah dilampaui
dan arteri brakialis telah tertutup. Manset dikembangkan lagi sebesar 20 sampai
30 mmHg di atas titik hilangnya denyutan radial. Kemudian manset dikempiskan
perlahan, dan dilakukan pembacaan secara auskultasi maupun palpasi (Brunner &
Suddarth, 2005). Menurut (JNC VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa
terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat satu dan
hipertensi derajat dua.
2.1.3 Tekanan Darah Rendah
Tekanan darah rendah adalah kondisi abnormal dimana tekanan darah
seseorang lebih rendah dari pada biasanya, yang dapat menyebabkan gejala pusing
atau tidak bisa berpikir secara jernih. Seharusnya pembuluh darah berespon
terhadap gravitasi dengan kontraksi (menyempit), dan dengan demikian dapat
meningkatkan tekanan darah, jika kita berdiri dari posisi duduk atau berbaring.
Hipotensi ortostatik merupakan penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg atau
11
penurunan tekanan darah diastolik ≥10 mmHg dari posisi berbaring ke posisi
duduk atau berdiri. Penurunan harus ada dalam waktu tiga menit setelah
perubahan posisi (Martuti, 2009).
Penyebab hipotensi meliputi: penyakit sistem saraf, seperti neuropati,
istirahat di tempat tidur dalam waktu yang lama, irama jantung yang tidak teratur,
penyakit kencing manis, dimana kerusakan saraf mengganggu refleks yang
mengontrol tekanan darah. Penyebab tekanan darah rendah lainnya adalah
dehidrasi (kekurangan cairan), reaksi tubuh terhadap panas, sehingga darah
berpindah ke pembuluh kulit, sehingga memicu dehidrasi, gagal jantung, serangan
jantung, perubahan irama jantung, pingsan (stres emosional, takut, rasa tidak
aman/nyeri), anafilaksis (reaksi alergi yang mengancam jiwa), donor darah,
perdarahan di dalam tubuh, kehilangan darah, kehamilan, arteriosklerosis
(pengerasan dinding arteri), pelebaran pembuluh darah (dilatasi) yang dapat
menyebabkan menurunnya tekanan darah, hal ini biasanya sebagai dampak dari
syok septik, pemaparan oleh panas, diare, obat-obat vasodilator (nitrat,
penghambat kalsium, penghambat ACE) (Yugiantoro, 2006).
2.1.4 Tekanan Darah Tinggi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Pada
populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg
dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005). Dalimartha (2008) juga
menyebutkan, bahwa hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami
12
peningkatan tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan peningkatan angka
kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas).
Menurut Sustrany (2004), hipertensi atau yang sering disebut dengan
tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat
sampai ke jaringan tubuh dimana tekanan darah lebih dari normal. Hipertensi
sering juga disebut dengan pembunuh gelap (silent killer), karena termasuk
penyakit yang mematikan tanpa disertai gejala-gejala dahulu sebelum serangan.
Menurut Corwin (2009), hipertensi merupakan keadaan tekanan darah seseorang
yang abnormal yaitu tekanan darahnya lebih tinggi dari tekanan darah normal.
Menurut Hanns (2006), mengatakan beberapa penyebab hipertensi dikarenakan
asupan makanan yang tinggi sodium, stres psikilogi, kegelisahan dan
hiperaktivitas. Sekitar 20% dari semua orang dewasa yang menderita hipertensi
dan menurut statistik angka ini terus meningkat. Sekitar 40% dari semua kematian
di bawah usia 65 tahun adalah akibat hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan
(Ruhyanudin, 2007), yaitu:
a. Hipertensi Esensial
Biasa juga disebut dengan hipertensi primer yaitu hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya. Terdapat sekitar 90% kasus. Hipertensi esensial
kemungkinan disebabkan oleh beberapa perubahan pada jantung dan
pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya
tekanan darah (Ruhyanudin, 2007).
13
b. Hipertensi Sekunder yang telah diketahui penyebabnya.
Terdapat sekitar 5-10% kasus. Pada sekitar 1-2% penyebabnya adalah
kelainan hormonal atau pemakain obat-obatan tertentu. Beberapa penyebab
terjadinya hipertensi sekunder yaitu kelainan ginjal, sumbatan pada arteri
ginjal, koarktasio aorta, feokromositoma, hipertiroidisme, hipotiroidisme,
sindrom Chusing, aldosteronisme, penggunaan obat-obatan (Ruhyanudin,
2007). Menurut Susantry (2004) hipertensi sekunder atau hipertensi renal
terjadi pada 5-10% yang penyebab fisiknya sudah diketahui, yaitu gangguan
hormonal, penyakit jantung, diabetes, ginjal, penyakit pembuluh darah atau
juga berhubungan dengan kehamilan.
2.1.5 Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut (JNC VII) terbagi
menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat satu dan dua.
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Umur
Kelompok Umur
Hipertensi Bermakna
Hipertensi Berat
Neonatus -7 hari
Neonates 8-30 hari
TD S ≥ 96
TD S ≥ 104
TD S ≥106
TD S ≥ 110
Bayi
TD S ≥ 112
TD D ≥ 74
TD S ≥ 118
TD D ≥ 82
Anak-anak
TD S ≥ 116
TD D ≥ 75
TD S ≥ 124
TD D ≥ 84
Remaja
TD S ≥ 122
TD D ≥ 78
TD S ≥ 130
TD D ≥ 86
Dewasa
TD S ≥ 136
TD D ≥ 86
TD S ≥ 144
TD D ≥ 92
Lansia
TD S ≥ 142
TD D ≥ 92
TD S ≥ 150
TD D ≥ 98
14
Tabel 2.2 Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi tekanan
darah
Normal
Prehipertensi
Hipertensi derajat I
Hipertensi derajat II
TD S (mmHg)
TD D (mmHg)
<120
120-139
140-159
≥160
<80
80-89
90-99
≥100
Tabel 2.3 Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Umur
Kelompok usia
Bayi
Anak 7-11 tahun
Remaja 12-17 tahun
Dewasa 20-45 tahun
45-65 tahun
>65 tahun
Normal (mmHg)
80/40
100/60
115/70
120-125/75-80
135-140/85
150/85
Hipertensi (mmHg)
90/60
120/80
130/80
135/90
140/90-160/95
160/95
The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and
treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO
dengan International Society of Hipertention membuat definisi hipertensi yaitu
apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau
tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat anti
hipertensi. Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih
dari 95 persentil dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur
sekurang-kurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah (Bakri, 2008).
2.1.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah
Menurut Kozier (2005), ada beberapa hal yang mempengaruhi tekanan
darah, diantaranya adalah:
15
a. Umur
Tingkat normal tekanan darah bervariasi sepanjang kehidupan.
Tingkat tekanan darah pada anak-anak atau remaja dikaji dengan
memperhitungkan ukuran tubuh dan usia. Sedangkan tekanan darah orang
dewasa cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia. Penyakit
jantung dan pembuluh darah seperti hipertensi biasanya terjadi pada usia di
atas 40 tahun (Wiryowidagdo, 2002 dalam Agrina, 2011).
b. Jenis kelamin
Hipertensi banyak diderita pada jenis kelamin laki-laki dikarenakan
laki-laki memiliki gaya hidup yang cenderung meningkatkan tekanan darah.
Sejumlah fakta menyatakan hormon seks dapat mempengaruhi sistem renin
angiotensin. Pada perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa
menopause yang menunjukkan adanya pengaruh hormon (Julius, 2008).
c. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada
orang yang tidak melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi
denyut jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung
bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung
dalam memompa darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada
dinding arteri sehingga meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan
kenaikan tekanan darah (Sugiarto, 2007).
16
d. Kualitas tidur
Kualitas tidur juga dapat menyebabkan meningkatnya tekanan darah,
karena kualitas tidur yang buruk dapat meningkatkan aktivitas dalam korteks
otak dan menyebabkan otot-otot menjadi berkontraksi. Pada saat seseorang
mengalami gangguan tidur, jantung akan berdetak lebih cepat dan pembuluh
darah akan mengalami vasokontriksi sehingga menyebabkan tekanan darah
meningkat (Epstein, 2008).
2.1.7 Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan untuk menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi dapat dilakukan dengan dua jenis yaitu penatalaksanaan farmakologis
dan penatalaksanaan non farmakologis.
a. Penatalaksanaan Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis adalah penatalaksanaan hipertensi
dengan menggunakan obat-obatan kimiawi, seperti jenis obat anti hipertensi.
Ada berbagai macam jenis obat anti hipertensi pada penatalaksanaan
farmakologis, yaitu:
1) Diuretik
Obat-obatan jenis ini bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh
(melalui kencing). Dengan demikian, volume cairan dalam tubuh
berkurang sehingga daya pompa jantung lebih ringan (Dalimartha 2008).
2) Penghambat adrenergik (β-bloker)
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya
pompa jantung. Pemberian β-bloker tidak dianjurkan pada penderita
17
gangguan pernapasan seperti asma bronkial karena pada pemberian βbloker dapat menghambat reseptor beta dua di jantung lebih banyak
dibandingkan reseptor beta dua di tempat lain (Lenny, 2008).
3) Vasodilator
Agen vasodilator bekerja langsung pada pembuluh darah dengan
merelaksasi otot pembuluh darah. Contoh yang termasuk obat jenis
vasodilator adalah Prasosin dan Hidralasin. Kemungkinan yang akan
terjadi akibat pemberian obat ini adalah sakit kepala dan pusing
(Dalimartha, 2008).
4) Penghambat enzim konversi angiotensin (penghambat ACE)
Obat ini bekerja melalui penghambatan aksi dari sistem renin-angiotensin.
Efek utama ACE inhibitor adalah menurunkan efek enzim pengubah
angiotensin (angiotensin-converting enzym). Kondisi ini akan menurunkan
perlawanan pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah (Yogiantoro,
2006).
5) Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium adalah sekelompok obat yang berkerja mempengaruhi
jalan masuk kalsium ke sel-sel dan mengendurkan otot-otot di dalam
dinding pembuluh darah sehingga menurunkan perlawanan terhadap aliran
darah dan tekanan darah. Antagonis Kalsium bertindak sebagai vasodilator
atau pelebar. Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan
cara menghambat kontraksi jantung (Lenny, 2008).
18
b. Penatalaksanaan non farmakologis
Menurut Dalimartha (2008), upaya pengobatan hipertensi dapat
dilakukan dengan pengobatan non farmakologis, termasuk mengubah gaya
hidup yang tidak sehat. Penderita hipertensi membutuhkan perubahan gaya
hidup yang sulit dilakukan dalam jangka pendek. Oleh karena itu, faktor yang
menentukan dan membantu kesembuhan pada dasarnya adalah diri sendiri.
2.2 Kualitas Tidur
2.2.1 Definisi Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah suatu keadaan tidur yang dijalani seorang individu
untuk mendapatkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas tidur
mencakup aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur serta aspek
subjektif dari tidur. Kualitas tidur yang buruk sering dikaitkan dengan kesehatan
yang buruk (Buysse, 2008).
Menurut American Psychiatric Association (2000) dalam Wavy (2008),
kualitas tidur didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan
beberapa dimensi. Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur,
seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi
terbangun, dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur.
Menurut Lai (2001) dalam Wavy (2008), menyebutkan bahwa kualitas
tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada
malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan tinggal tidur, dan kemudahan
untuk tertidur tanpa bantuan medis.
19
2.2.2 Fisiologi Tidur
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur yang menghubungkan
mekanisme serebral secara bergantian agar mengaktifkan dan menekan pusat otak
untuk dapat tidur dan bangun. Salah satu aktivitas tidur ini diatur oleh sistem
pengaktivasi retikularis. Sistem pengaktivasi retikularis mengatur seluruh
tingkatan kegiatan susunan saraf pusat, termasuk pengaturan kewaspadaan dan
tidur. Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam
mesensefalon dan bagian atas pons. Dalam keadaan sadar, neuron dalam Reticular
Activating System (RAS) akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin
(Hidayat, 2006). Tidur diatur oleh tiga proses, yaitu: mekanisme homeostasis,
irama sirkadian dan irama ultradian.
a. Mekanisme homeostasis
Mekanisme
homeostasis
merupakan
sebuah
mekanisme
yang
menyebabkan seseorang terjaga dalam tidurnya (Potter & Perry, 2005).
b. Irama Sirkadian
Irama sirkadian adalah pola bioritme yang berulang selama rentang
waktu 24 jam. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan
darah, sekresi hormon, kemampuan sensorik dan suasana hati tergantung pada
pemeliharaan siklus sirkadian dalam 24 jam (Potter & Perry, 2005).
c. Irama Ultradian
Irama ultradian merupakan kejadian berulang pada jam biologis yang
kurang dari 24 jam. Siklus ultradian pada tahap tidur terdapat dua tahapan
yaitu REM dan NREM.
20
2.2.3 Tidur Berkualitas
Menurut Lumbantobing (2004) mengatakan tidur berkualitas merupakan
kebutuhan dasar manusia sama halnya dengan makanan bergizi dan olahraga.
Selama tidur, di dalam tubuh terjadi berbagai aktivitas yang akan berpengaruh
terhadap kesehatan fisik dan mental. Menurut LeBourgeois (2005) dalam Saputri
(2009) mengatakan kualitas tidur yang baik diperlihatkan dengan mudahnya
seseorang memulai tidur saat jam tidur, mempertahankan tidur, menginisiasi
untuk tidur kembali setelah terbangun di malam hari, dan peralihan dari tidur ke
bangun di pagi hari
dengan mudah. Kualitas tidur dapat diukur dengan
menggunakan PSQI yang terdiri dari tujuh komponen yaitu:
1
Kualitas tidur subyektif
Kualitas tidur subyektif merupakan evaluasi singkat terhadap tidur
seseorang tentang apakah tidurnya sangat baik atau sangat buruk.
2
Latensi tidur
Latensi tidur adalah durasi mulai dari tidur hingga tertidur. Seseorang
dengan kualitas tidur baik menghabiskan waktu kurang dari 15 menit
untuk dapat memasuki tahap tidur selanjutnya secara lengkap.
3
Durasi tidur
Durasi tidur dihitung dari waktu seseorang tidur sampai terbangun di pagi
hari tanpa menyebutkan terbangun pada tengah malam.
4
Efisiensi kebiasaan tidur
Efisiensi kebiasaan tidur adalah rasio persentase antara jumlah total jam
tidur dibagi dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat tidur.
21
5
Gangguan tidur
Gangguan tidur merupakan kondisi terputusnya tidur yang mana pola tidur
bangun seseorang berubah dari pola kebiasaannya, hal ini menyebabkan
penurunan baik kuantitas maupun kualitas tidur seseorang
6
Penggunaan obat
Penggunaan obat-obatan yang mengandung sedative mengindikasikan
adanya masalah tidur. obat-obatan mempunyai efek terhadap terganggunya
tidur pada tahap REM.
7
Disfungsi di siang hari
Seseorang dengan kualitas tidur yang buruk menunjukkan keadaan
mengantuk ketika beraktivitas di siang hari, kurang antusias atau
perhatian, tidur sepanjang siang, kelelahan, depresi, mudah mengalami
distres, dan penurunan kemampuan beraktivitas.
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur
diantaranya yaitu penyakit, stress emosional, obat-obatan, lingkungan, makanan
minuman, dan gaya hidup (Potter & Perry, 2005).
a. Penyakit
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik atau
masalah suasana hati seperti kecemasan atau depresi dapat mempengaruhi
masalah tidur (Kozier, 2005). Menurut Potter & Perry (2005), penyakit dapat
memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa, seperti memperoleh
22
posisi yang aneh saat tangan atau lengan diimobilisasi pada traksi dapat
mengganggu tidur.
b. Stres Emosional
Kecemasan tentang masalah pribadi dapat mempengaruhi situasi tidur.
Stres menyebabkan seseorang mencoba untuk tidur, namun selama siklus
tidurnya klien sering terbangun atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut
dapat mempengaruhi kebiasaan tidur yang buruk (Potter & Perry, 2005). Stres
emosional dapat menyebabkan tekanan yang seringkali menimbulkan frustasi
sehingga individu akan mengalami kesulitas untuk memulai tidur atau
sebaliknya pada beberapa individu yang stres akan menyebabkan individu
cenderung lebih banyak tidur.
c. Obat-obatan
Obat tidur seringkali membawa efek samping. Pada usia dewasa dapat
mengalami ketergantungan obat tidur untuk mengatasi stressor gaya hidup.
Obat tidur juga seringkali digunakan untuk mengontrol atau mengatasi sakit
kroniknya. Beberapa obat juga dapat menimbulkan efek samping penurunan
tidur REM (Potter & Perry, 2005).
d. Lingkungan
Lingkungan tempat seorang tidur berpengaruh pada kemampuan untuk
tertidur. Ventilasi yang baik memberikan kenyamanan untuk tidur tenang.
Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur.
Tingkat cahaya, suhu dan suara dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur.
Klien ada yang menyukai tidur dengan lampu yang dimatikan, remang-remang
23
atau tetap menyala. Suhu yang panas atau dingin menyebabkan klien
mengalami kegelisahan. Beberapa orang menyukai kondisi tenang untuk tidur
dan ada yang menyukai suara untuk membantu tidurnya seperti dengan musik
yang lembut (Potter & Perry, 2005).
e. Gaya hidup
Seseorang yang sering berganti jam kerja dapat menyebabkan
terganggunya pola tidur, sebaiknya aktivitas tersebut diatur agar tidur bisa
pada waktu yang tepat (Mubarak, 2007). Menurut Rafiudin (2004), kebiasaan
mengkonsumsi kafein dan alkohol juga mempunyai efek insomnia. Makan
dalam porsi besar, berat dan berbumbu pada makan malam juga menyebabkan
makanan sulit dicerna sehingga dapat mengganggu tidur.
2.2.5 Mekanisme Tidur
Tidur yang normal melibatkan dua fase yaitu gerakan bola mata cepat
(REM) dan tidur dengan gerakan bola lambat (NREM). Pada waktu REM jam
pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang
saat menjelang pagi atau bangun. Pola tidur REM ditandai dengan adanya gerakan
bola mata yang cepat dan tonus otot yang sangat rendah (Potter, 2005). Tidur
diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium
satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat, lalu diikuti
oleh fase REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian
sekitar empat sampai enam siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005).
Tidur dibagi dalam empat stadium diantaranya :
24
a. Tidur stadium satu
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat
terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap
pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot
melambat (Patlak, 2005). Menurut Potter & Perry (2005) pada tahap ini akan
terjadi pengurangan aktivitas fisiologis yang dimulai dengan penurunan tandatanda vital dan metabolisme secara bertahap.
b. Tidur stadium dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung
melambat dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Menurut Patlak
(2005), pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti.
c. Tidur stadium tiga
Tahap tiga merupakan tahap awal tidur yang dalam, yang berakhir 15
hingga 30 menit. Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika
terbangun, individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering
merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010).
d. Tidur stadium empat
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak
sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk
memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010). Menurut Potter (2005) pada
tahap ini akan sangat sulit dibangunkan. Jika terjadi kurang tidur, maka orang
yang tidur akan mengahabiskan waktu tidur malam yang seimbang pada tahap
ini.
25
2.2.6 Pola Tidur Normal
Tidur dengan pola yang teratur ternyata lebih penting jika dibandingkan
dengan jumlah jam tidur itu sendiri. Pada beberapa orang, mereka merasa cukup
dengan tidur selama lima jam saja pada tiap malamnya (Kozier, 2005). Menurut
Hidayat (2006), kebutuhan tidur manusia tergantung pada tingkat perkembangan
seseorang.
a. Bayi
Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18 jam sehari,
pernafasan teratur, gerak tubuh sedikit 50% tidur NREM dan terbagi dalam
tujuh periode (Asmadi, 2008).
b. Anak
Kebutuhan tidur pada anak menurun menjadi 10-12 jam sehari. Tidur
siang dapat hilang pada usia tiga tahun karena sering terbangun pada malam
hari yang menyebabkan mereka tidak ingin tidur pada malam hari (Asmadi,
2008). Menurut Potter & Perry (2005), pada tahap ini biasanya anak tidur
sekitar 11-12 jam/hari, tidur REM, tidur sepanjang malam dan tidur siang.
c. Pra sekolah
Pada usia pra sekolah biasanya waktu tidur 11-12 jam semalam.
Kebanyakan pada usia ini tidak menyukai waktu tidur siang, bisa jadi anak
usia empat sampai lima tahun mengalami kurang istirahat tidur dan mudah
sakit jika kebutuhan tidurnya kurang terpenuhi. Sekitar 20% tidurnya adalah
tidur REM (Asmadi, 2008).
26
d. Anak usia sekolah
Anak usia sekolah tidur antara 8-12 jam semalam tanpa tidur siang.
Anak usia delapan tahun membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam setiap
malam (Asmadi, 2008).
e. Remaja
Kebanyakan remaja memerlukan waktu tidur sekitar 8-10 jam tiap
malamnya untuk mencegah terjadinya kelemahan dan kerentanan terhadap
infeksi. Tidur pada usia ini 20% adalah REM (Potter & Perry 2005).
f. Dewasa muda
Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif dan membutuhkan waktu
tidur antara tujuh sampai delapan jam dalam semalam. Kurang lebih 20% tidur
mereka dalam REM. Dewasa muda yang sehat membutuhkan cukup tidur
untuk berpartisipasi dalam kesibukan aktifitas karena jarang sekali mereka
tidur siang (Asmadi, 2008).
g. Dewasa tengah
Pada masa ini mungkin akan mengalami insomnia atau sulit tidur,
mungkin disebabkan oleh perubahan gaya hidup atau stres. Mereka biasanya
tidur selama enam sampai delapan jam semalam (Asmadi, 2008).
h. Dewasa akhir
Pada dewasa akhir kebutuhan akan tidurnya kurang dari enam jam
semalam. Periode tidurnya REM cenderung memelek sekitar 20-25% dan
tidur tahap IV mengalami penurunan (Asmadi, 2008).
27
2.2.7 Siklus Tidur
Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan
NREM terjadi berselingan sebanyak empat sampai enam kali. Apabila seseorang
kurang cukup mengalami REM, maka besok harinya dia akan menunjukkan
kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya
dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik
menjadi lemah (Mardjono, 2008).
Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:
Tahap pratidur
NREM tahap I
NREM tahap II
NREM tahap III
NREM tahap IV
Tidur REM
NREM tahap IV
NREM tahap III
Gambar 2.1 Tahap-tahap siklus tidur normal (Potter & Perry, 2005).
2.2.8 Cara Mengkaji Kualitas Tidur
Pengkajian ditunjukkan pada pemahaman karakteristik suatu masalah tidur
dan kebiasaan tidur seseorang. Seseorang yang mengalami gangguan tidur
merupakan sumber terbaik untuk menggambarkan masalah tidur dan sampai
sejauh mana masalah tersebut mengganggu kualitas tidur. Ada dua kuesioner
untuk mengkaji kualitas tidur yang pertama dengan menggunakan kuisioner yang
terdapat pada The SMH (St. Marry’s Hospital Sleep Questionnaire) tahun 2006
yaitu kuesioner rumah sakit St. Marry tentang tidur (Potter & Perry, 2009) dan
28
yang kedua menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), yang
terdiri dari 7 (tujuh) komponen, yaitu kualitas tidur subyektif, latensi tidur, durasi
tidur, efisiensi tidur sehari-hari, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan
disfungsi aktivitas siang hari.
2.3 Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah
Hubungan kualitas tidur dengan tekanan darah ketika individu sedang
terjaga, pompa jantung akan lebih cepat untuk mengalirkan. Selama tidur, tubuh
tidak mengalirkan darah yang banyak, sehingga denyut jantung melambat dan hati
mendapat waktu istirahat yang sangat dibutuhkan. Tanpa waktu istirahat yang
cukup otot jantung akan lelah. Karena jantung harus bekerja keras sehingga dapat
menyebabkan tekanan darah atau mungkin penebalan otot jantung, yang dapat
menyebabkan masalah jantung yang serius. Kualitas dan kuantitas tidur dapat
mempengaruhi proses homeostasis dan bila proses ini terganggu, dapat menjadi
salah satu faktor meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler (Wendy, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Javaheri dan Redline (2008),
dari Case Western Reverse School of Medicine Cleveland, diketahui bahwa
terdapat hubungan antara kualitas tidur yang buruk dengan prehipertensi pada
orang dewasa dan dapat meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik pada
orang dewasa yang memiliki kualitas tidur buruk.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Nova dan Bebasari (2012),
dari Fakultas Kedokteran Universitas Riau, diketahui bahwa terdapat juga
hubungan yang bermakna antara kualitas tidur yang buruk dengan peningkatan
tekanan darah diastolik. Hal ini sesuai dengan penelitian Javaheri (2008) dimana
29
kualitas tidur yang buruk mempengaruhi peningkatan tekanan diastolik, namun
penelitian Javaheri tersebut lebih dari setengahnya terdiri atas sampel laki-laki
sementara dalam penelitian yang dilakukan oleh Nova dan Bebasari ini
melibatkan laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deshinta (2009), dari
fakultas kedokteran universitas Sumatra Utara, didapatkan bahwa tidak ada
perbedaan antara kualitas tidur yang baik maupun buruk dengan tekanan darah
sistolik maupun diastolik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Susan Readline (2008),
mengatakan bahwa dokter jantung perlu memberikan perhatian khusus terhadap
pasien yang mengalami gangguan tidur, karena gangguan tidur dianggap sebagai
salah satu faktor risiko hipertensi, baik pada pasien dewasa, anak-anak maupun
remaja.
Download