BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. GAGAL JANTUNG 1.1. Definisi Gagal Jantung Gagal Jantung didefenisikan sebagai ketidakmampuan jantung memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi ke jaringan tubuh. Sering disebut juga dengan Congestive Heart Failure (CHF) karena umumnya pasien mengalami kongesti pulmonal dan perifer (Smeltzer et al., 2010). Menurut Crawford (2009) gagal Jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang dikarakteristikkan sebagai disfungsi ventrikel kanan, ventrikel kiri atau keduanya, yang menyebabkan perubahan pengaturan neuruhormonal. Sindrom ini biasanya diikuti dengan intoleransi aktivitas, retensi cairan dan upaya untuk bernafas normal. Umumnya terjadi pada penyakit jantung stadium akhir setelah miokard dan sirkulasi perifer mengalami kekurangan cadangan oksigen dan nutrisi serta sebagai akibat mekanisme kompensasi. 1.2. Etiologi Gagal Jantung Gagal Jantung disebabkan oleh disfungsi miokardial dimana jantung tidak mampu untuk mensuplai darah yang cukup untuk mempertahankan kebutuhan metabolik jaringan perifer dan organ tubuh lainnya. Gangguan fungsi miokard terjadi akibat dari miokard infark acut 9 Universitas Sumatera Utara 10 (MCI), Prolonged Cardiovaskular Stress (hipertensi dan penyakit katup), toksin (ketergantungan alkohol) atau infeksi (Crawford,2009). Menurut Lilly, 2011; Black & Hawks, 2009 didalam Yuliana, 2012. Penyebab Gagal jantung dapat dibedakan dalam tiga kelompok yang terdiri dari: (1) kerusakan kontraktilitas ventrikel, (2) peningkatan afterload, dan (3) kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel (kerusakan pengisian diastolik). Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan coronary arteri disease (miokard infark dan miokard iskemia), chronic volume overload (mitral dan aortic regurgitasi) dan cardiomyopathies. Peningkatan afterload terjadi karena stenosis aorta, mitral regurgitasi, hipervolemia, defek septum ventrikel, defek septum atrium, paten duktus arteriosus dan tidak terkontrolnya hipertensi berat. Sedangkan kerusakan pengisian diastolik pada ventrikel disebabkan karena hipertrofi ventrikel kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosi miokard, transient myocardial ischemia, dan kontriksi perikardial. Etiologi Gagal Jantung menurut Brunner & Suddarth, (2002) adalah kelainan otot jantung yang dapat menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi. Universitas Sumatera Utara 11 1.3. Patofisiologi Gagal Jantung Patofisiologi Gagal Jantung diuraikan berdasarkan tipe Gagal Jantung yang dibedakan atas Gagal Jantung Akut dan Kronik, Gagal Jantung kiri dan kanan, Gagal Jantung dengan output yang tinggi dan output yang rendah, Gagal Jantung dengan kemunduran dan kemajuan, serta Gagal Jantung sistolik dan diastolik (Crowford, 2009 didalam Yuliana 2012). Gagal Jantung Akut adalah timbulnya gejala secara mendadak, biasanya selama bebarapa hari atau beberapa jam. Gagal Jantung kronik adalah perkembangan gejala selama beberapa bulan sampai bebarapa tahun. Jika penyebab atau gejala gagal jantung akut tidak reversibel, maka gagal jantung menjadi kronis (Hudak & Gallo, 2011). Gagal Jantung kiri adalah kegagalan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengosongkan dengar benar. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam ventrikel dan kongesti pada sistem vaskular paru. Gagal Jantung kiri dapat lebih lanjut dklasifikasikan menjadi disfungsi sistolik dan diatolik. Disfungsi sistolik didefinisikan sebagai fraksi ejeksi kurang dari 40% dan disebabkan oleh penurunan kontraktilitas. Ventrikel tidak dikosongkan secara adekuat karena pemompaan yang buruk, dan hasil akhirnya adalah penurunan curah jantung. Sedangkan disfungsi diastolik sering disebut dengan Gagal Jantung dengan fungsi ventrikel kiri yang dipertahankan. Pemompaan normal atau bahkan meningkat, dengan fraksi Universitas Sumatera Utara 12 ejeksi kadang-kadang setinggi 80%. Disfungsi diastolik disebabkan oleh gangguan relaksasi dan pengisian (Hudak & Gallo, 2011). Gagal Jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa secara adekuat (Hudak & Gallo, 2011). Kegagalan jantung kanan sering kali mengikuti kegagalan jantung kiri tetapi bisa juga disebabkan oleh karena gangguan lain seperti atrial septal defek cor pulmonal (Lilly, 2011 didalam Crawford, 2009). Pada kondisi kegagalan jantung kanan terjadi afterload yang berlebihan pada ventrikel kanan karena peningkatan tekanan vaskular pulmonal sebagai akibat dari disfungsi ventrikel kiri. Ketika ventrikel kanan mengalami kegagalan, peningkatan tekanan diastolik akan berbalik arah ke atrium kanan yang kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena sistemik (Lilly, 2011). Pada beberapa kasus gagal jantung ditemukan kondisi penurunan output. Dan sebaliknya peninggian output pada gagal jantung sangat jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan kondisi hiperkinetik sistem sirkulasi yang terjadi karena meningkatnya kebutuhan jantung yang disebabkan oleh kondisi lain seperti anemia atau tiroksikosis. Vasokontriksi dapat terjadi pada kondisi gagal jantung dengan penurunan output sedangkan pada gagal jantung dengan peningkatan output terjadi vasodilatasi. Pada tipe gagal jantung dengan kemunduran merupakan kondisi dimana terjadi peningkatan dalam sistem pengosongan satu atau kedua ventrikel. ( Crawford, 2009). Universitas Sumatera Utara 13 1.4. Manifestasi Klinis Adapun manifestasi klinis yang ditemui pada pasien gagal jantung berdasarkan tipe gagal jantung itu sendiri, terdiri dari: (Lilly, 2011; Ignatavisius & Workman, 2010 dalam Yuliana 2012). Gagal Jantung kiri, dengan tanda dan gejala berupa: a. Penurunan cardiac output: kelelahan, oliguri, angina, konfusi dan gelisah, takikardi dan palpitasi, pucat, nadi perifer melemah, akral dingin. b. Kongesti pulmonal: batuk yang bertambah buruk saat malam hari (paroxysmal noctural dyspnea), dispnea, krakels, takipnea dan orthopnea. Gagal Jantung kanan, manifestasi klinisnya adalah kongesti sistemik yaitu berupa: distensi vena jugularis, pembesaran hati dan lien, anoreksia dan nausea, edema menetap, distensi abdomen, bengkak pada tangan dan jari, poliuri, peningkatan berat badan, peningkatan tekanan darah atau penurunan tekanan darah karena kegagalan pompa jantung Manifestasi klinis Gagal Jantung Menurut Hayes., dkk (2008). Yaitu: Demam, Hipertensi, Nocturia, Dypsnea, Paroxysmal atau dypsnea noctural, Batuk, Orthopnea, Hypoxemia, Pernafasan Cheyne-Stokes, Anorexia, Mual, Kelelahan, Kelemahan, Cemas, Bingung, Sakit kepala dan Insomnia. Universitas Sumatera Utara 14 1.5. Klasifikasi Gagal Jantung The New York Heart Association (NYHA) telah mengklasifikasikan batasan fungsional Gagal Jantung sebagai berikut: Tabel 2.1: Klasifikasi Gagal Jantung Kelas Definisi I Pasien dengan cardiac disease tetapi tidak menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas fisik. Pasien tidak mengalami fatique, palpitasi, dispnea dan nyeri dada saat aktivitas. II Pasien dengan cardiac disease yang menyebabkan gangguan aktivitas fisik ringan. Merasa nyaman ketika beristirahat, tetapi merasa fatique, sesak, palpitasi dan nyeri dada jika melakukan aktivitas biasa misalnya saat berjalan cepat menaiki tangga. III Keterbatasan aktivitas fisik sangat terasa pada pasien dengan cardiac disease. Nyaman beristirahat tetapi merasakan gejala walaupun hanya dengan aktivitas minimal. IV Pasien dengan cardiac disease dimana aktivitas fisik sangat terbatas dan gejala dirasakan walaupun saat istirahat, bahkan ketidaknyamanan semakin bertambah ketika melakukan aktivitas fisik apapun. Sumber: Modifikasi dari Kabo & Karim, 2008; dalam Gray et.al.,2005. 2. TIDUR 2.1. Definisi Tidur Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (Lilis & Taylor, 2001). Tidur dapat Mengatasi keadaan stress, cemas dan tekanan Universitas Sumatera Utara 15 dan tidur juga dapat membantu seseorang memperoleh energi untuk berkonsentrasi, pertahanan diri dan meningkatkan keinginan untuk beraktivitas sehari-hari (Kozier, 1991). Tiap individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk tidur. Tanpa jumlah tidur yang cukup, kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan, dan berpartisipasi dalam aktivitas harian akan menurun, dan meningkatkan iritabilitas (Potter & Perry, 2005). 2.2. Fisiologi Tidur Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi tinggi aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf periferal, endokrin, kardiovaskular, pernafasan dan muskular (Robinson, 1993 dalam Potter & Perry, 2005). Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermitten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain menyebabkan tertidur (Potter & Perry, 2005). Dua sistem dalam batang otak, Sistem Aktivasi Retikular (SAR) dan Regio Sinkronisasi Bulbar (BSR), diketahui bekerja sama untuk mengontrol siklus alami dari tidur. Formasi retikular ditemukan didalam batang otak yang akan menyampaikan keatas melalui medulla, pons, otak tengah, dan kedalam hipotalamus (Taylor, Lilis & Lemone, 2001). Universitas Sumatera Utara 16 Keadaan terjaga atau terbangun sangat dipengaruhi oleh sistem ARAS (Ascending Reticulary Activiy System). Bila aktivitas ARAS ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan tidur. Aktivitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas Neurotransmitter seperti seperti serotoninergik, noradrenergik, kholonergik dan histaminnergik (Japardi, 2001). Siklus tidur-bangun mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan respons prilaku. Jika siklus tidur-bangun seseorang terganggu, maka fungsi fisiologis tubuh yang lain juga dapat terganggu atau berubah. Kegagalan untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang normal dapat mempengaruhi kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2005). Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur Raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Zat agonis serotonin berguna untuk menekan tidur dan antagonis serotonin meningkatkan tidur gelombang-lambat pada manusia. Seseorang tetap tertidur atau terbangun tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi, reseptor sensori perifer dan sistem limbik. Ketika seseorang mencoba untuk tidur mereka akan menutup mata dan berada pada posisi relaks. Jika stimulus ke SAR menurun maka aktivasi SAR juga akan menurun. Pada beberapa bagian lain, BSR mengambil alih dan menyebabkan seseorang tidur (Ganong, 2008). Universitas Sumatera Utara 17 2.3. Tahapan Tidur Tidur yang normal melibatkan dua fase: pergerakan mata yang tidak cepat (tidur NonRapid Eye Movement: NREM) dan pergerakan mata yang cepat (tahapan tidur Rapid Eye Movement: REM). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam. Tiap siklus tidur terdiri 4 tahap dari tidur NREM dan satu periode dari tidur REM. Tahap NREM yaitu: Tahap 1 : NREM Tahap ini merupakan tingkat paling dangkal dari tidur, tahap berakhir beberapa menit,pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan penurunan secara bertahap tanda-tanda vital dan metabolisme. Seseorang lebih mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti suara dan ketika terbangun seseorang merasa seperti telah melamun. Tahap 2 : NREM Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara, kemajuan relaksasi, untuk terbangun masih relatif mudah, tahap berakhir 10 hingga 20 menit dan kelanjutan fungsi tubuh menjadi lambat. Tahap 3 : NREM Tahap 3 merupakan tahap awal tidur dalam, seorang yang tidur sulit di bangunkan dan jarang bergerak, otot-otot dalam keadaan santai penuh, tanda-tanda vital menurun tetapi tetap teratur dan tahap berakhir 15 hingga 30 menit. Universitas Sumatera Utara 18 Tahap 4 : NREM Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam, sangat sulit untuk membangunkan orang yang tidur, jika terjadi kurang tidur maka orang yang tidur akan menghabiskan porsi malam yang seimbang pada tahap ini, tandatanda vital menurun secara bermakna dibanding selama jam terjaga, tahap berakhir kurang lebih 15-30 menit, tidur sambil berjalan dan enuresis dapat terjadi ( Potter & Perry, 2005). Tahap REM, yaitu: Tidur REM merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 menit. Konsolidasi memori dan pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini. Faktor yang berbeda dapat meningkatkan atau menganggu tahapan siklus tidur yang berbeda ( Potter & Perry, 2005). Mimpi yang penuh warna dan tampak hidup dapat terjadi pada REM mimpi yang kurang hidup dapat terjadi pada tahap yang lain,tahap ini biasanya dimulai sekitar 90 menit setelah mulai tidur, hal ini dicirikan dengan respon otonom dari pergerakan mata yang cepat, fluktuasi jantung dan kecepatan respirasi dan peningkatan atau fluktuasi tekanan darah, terjadi tonus otot skelet penurunan, peningkatan sekresi lambung, sangat sulit sekali membangunkan orang tidur, durasi dari tidur REM meningkat pada tiap siklus dan rata-rata 20 menit ( Potter & Perry, 2005). Universitas Sumatera Utara 19 Skema 2.1 Tahap-Tahap siklus tidur orang dewasa: Tahap Pratidur NREM Tahap 1 NREM Tahap 2 NREM Tahap 3 NREM Tahap 4 Tidur REM NREM Tahap 2 NREM Tahap 3 2.4. Fungsi Tidur Fungsi tidur berdampak pada fisiologis tubuh yaitu sistem saraf pusat dan struktur tubuh. Selain itu tidur juga dapat memperbaiki aktivitas tubuh untuk kembali normal dan menyeimbangkan sistem saraf. Tidur juga perlu untuk sintesis protein yang mana dibutuhkan untuk perbaikan sel yang rusak (Kozier, et.,al. 2004) Tidur dipercayai mengkontribusi pemulihan fisiologi dan psikologis (Oswald, 1984; Anch dkk, 1988 ). Tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan untuk periode terjaga berikutnya. Selama tidur NREM, fungsi biologis menurun. Laju denyut jantung normal pada orang dewasa sehat sepanjang hari rata-rata 70 hingga 80 denyut permenit atau lebih rendah jika kondisi individu berada pada kondisi fisik yang kurang sempurna. Akan tetapi pada saat tidur laju jantung menurun hingga 60 denyut per menit atau lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa denyut jantung 10 sampai 20 kali menurun pada saat Universitas Sumatera Utara 20 tidur setiap menit. Secara jelas, tidur yang nyenyak bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung (Potter & Perry, 2005). Tidur diperlukan untuk memperbaiki proses biologis secara rutin. Selama tidur gelombang rendah yang dalam (NREM tahap 4), tubuh melepaskan hormone pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel otak (Horne, 1983; Mandleson, 1987; Born, Muth dan Fehm, 1988). Penelitian lain menunjukkan bahwa sintesis protein dan pembagian sel untuk pembaharuan jaringan seperti pada kulit, sumsum tulang, mukosa lambung, atau otak terjadi selama istirahat dan tidur (Oswald, 1984). Tidur NREM menjadi sangat penting khususnya pada anak-anak yang mengalami lebih banyak tidur tahap 4. Tidur REM terlihat penting untuk pemulihan kognitif. Tidur REM dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin (Potter & Perry, 2005). Dalam keadaan tidur maka tubuh akan menyimpan energi yaitu otot skeletal relaksasi maka energi tersebut dialihkan lebih untuk fungsi sel-sel tubuh yang penting, ditambah dengan terjadinya penurunan aktivitas saraf simpatis dan aktivitas saraf parasimpatis terkadang meningkat (Kozier,1991). Universitas Sumatera Utara 21 2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tidur Sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur. Seringkali faktor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur. Faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan dapat mengubah kuantitas dan kualitas tidur ( Potter & Perry, 2005). a. Factor fisiologis 1. Penyakit Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik (misalnya, kesulitan bernafas), atau masalah lain yang dapat menyebabkan masalah tidur. Penyakit juga dapat memaksa klien untuk tidur dalam posisi tidak biasa. Nokturia atau berkemih pada malam hari, mengganggu tidur dan siklus tidur. Kondisi ini yang paling umum terjadi pada lansia dengan penurunan tonus kandung kemih atau orang yang berpenyakit jantung, diabetes, uretritis, atau penyakit prostat. Setelah sesorang terbangun untuk berkemih menyebabkan sulit untuk tidur kembali (Potter & Perry, 2005) 2. Obat Obat-obatan dapat mempengaruhi proses tidur, seperti: Hipnotik dapat menyebabkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari, bingung dan penurunan energi. Diuretik dapat menyebabkan Nokturia. Antidepresan dan Stimulan dapat menekan tidur REM dan Menurunkan total waktu tidur. Alkohol dapat mengganggu tidur REM dan membangunkan tidur pada malam hari. Kafein dapat mencegah untuk dapat tertidur. dan Penyekat Beta dapat menyebabkan terbangun dari tidur. Universitas Sumatera Utara 22 3. Nutrisi Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya Tryptophan yang merupakan asam amino dari protein yang dicerna. Demikian sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang dapat juga mempengaruhi proses tidur bahkan terkadang sulit untuk tidur (Azis, 2006). a. Faktor Psikologis Stress Emosional Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur. Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stress juga menyebabkan seseorang sulit untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stress yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter & Perry 2005). b. Faktor lingkungan Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada kemampuan untuk tertidur. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang. Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur yang mempengaruhi kualitas tidur. Tempat tidur rumah sakit seringkali lebih keras daripada dirumah. Jika seseorang biasanya tidur dengan individu lain, maka tidur sendiri menyebabkan ia terjaga. Sebaliknya, tidur tanpa Universitas Sumatera Utara 23 ketenangan atau teman tidur yang mengorok juga mengganggu tidur (Potter & Perry, 2005). 3. KUALITAS TIDUR PASIEN GAGAL JANTUNG Kualitas tidur adalah suatu keadaan yang dapat dilihat dari kemampuan individu dalam mempertahankan tidur dan mendapat kebutuhan tidur REM dan Non REM ( Kozier.,et.al. 2004). Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur. Menurut Karota Bukit, 2003 Kualitas Tidur meliputi 7 Komponen yaitu total jam tidur malam, waktu memulai tidur, frekuensi terbangun pada malam hari, perasaan segar saat bangun pagi, kedalaman tidur, kepuasan tidur (kualitas tidur secara subjektif) dan perasaan lelah/Mengantuk pada siang hari. Menurut Buysse., dkk (1989) kualitas tidur meliputi kualitas tidur secara subjektif, tidur laten, lama waktu tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan medikasi sebelum tidur dan disfungsi siang hari. Menurut Wartonah (2006), pada usia >60 tahun pola tidur normal yaitu kurang lebih 6 jam dan sering terbangun pada malam hari, pada usia dewasa pertengahan yaitu 40-60 tahun pola tidur normalnya kurang lebih 7 jam dan pada usia dewasa muda yaitu 18-40 tahun pola tidur normalnya adalah berkisar antara 7-9 jam. Menurut Potter & Perry (2005) Frekuensi terbangun tidur malam normal orang dewasa yaitu 1-2 kali. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat tertidur normalnya yaitu antara 10-30 menit. Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah marah dan Universitas Sumatera Utara 24 gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas tidur dapat diketahui dengan melakukan pengkajian yang meliputi data subjektif dan objektif ( Craven & Hirnle, 2000). Data Subjektif merupakan kriteria yang sangat penting untuk menentukan kualitas tidur seseorang melalui pernyataan subjektif mengenai kualitas tidur yang dialaminya. Pernyataan subjektif ini sangat bervariasi pada individu. Contohnya, ada seseorang yang tidur selama 4 jam namun sudah merasa puas dengan tidurnya sementara yang lain memebutuhkan tidur selama 10 jam untuk merasa puas akan tidurnya (Potter & Perry, 2001). Data subjektif tidur yang baik atau buruk dapat dievaluasi dengan persepsi Pasien Gagal Jantung tentang parameter tidur diantaranya adalah total jam tidur pada malam hari, lama waktu yang dibutuhkan untuk memulai tidur, frekuensi terbangun pada malam hari, perasaan segar pada saat bangun pagi, kedalaman tidur, kepuasaan tidur pada malam hari dan mengantuk pada siang hari. Data Objektif bisa didapatkan melalui pengkajian fisik penderita penyakit yaitu dengan mengobservasi lingkaran mata, adanya respon yang lamban, ketidakmampuan/kelemahan, penurunan konsentrasi. Selain itu, data objektif kualitas tidur penderita penyakit juga bisa dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium yaitu EEG, EMG, dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan tingkat aktivitas yang berbeda dari otak, otot, dan Universitas Sumatera Utara 25 mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang berbeda (Sleep Research Society, 1993; dikutip dari (Potter & Perry, 2005). Selain itu, menurut Hidayat (2006), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Tanda fisik dapat dilihat dari ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing. Sedangkan Tanda psikologis meliputi Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan, malas berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan menurun. Menurut Briones dkk (1996), tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur yang buruk dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, koordinasi neuromukular buruk, proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun dan ketidakstabilan tanda vital. Sedangkan dampak psikologi meliputi depresi, cemas, tidak konsentrasi, dan koping tidak efektif. Kurang tidur selama periode yang lama dapat Universitas Sumatera Utara 26 menyebabkan penyakit lain atau memperburuk penyakit yang ada (Potter & Perry, 2005). Pada pasien Gagal Jantung terjadi penurunan cardiac output, kongesti vaskular pulmonal dan kongesti vena sistemik sehingga akan mengalami berbagai tanda dan gejala (Ignatavisius & Workman, 2010). Bengkak dan ortopnoe, merupakan gejala yang timbul akibat abnormalitas keseimbangan cairan akibat dari Disfungsi Jantung. Sesak nafas dan kelelahan menjadi gejala utama dan yang paling sering dilaporkan oleh Pasien Gagal Jantung (Rector, 2005). Dispnu merupakan gejala umum dari penyakit jantung, dispnu terjadi karena kongesti vena pulmonalis. Adanya tekanan pada atrium kiri akan menimbulkan tekanan vena pulmonalis. Yang normalnya berkisar 5 mmHg. Jika meningkat, vena pulmonalis akan teregang dan dinding bronkus terjepit dan mengalami edema, menyebabkan batuk iritatif nonproduktif dan mengi (Gray,. Dkk, 2005). Pasien dengan Gagal Jantung sering terjadi retensi cairan dan oedem sehingga terjadi akumulasi oedem pada jaringan lunak leher dan faring yang mempersempit saluran napas atas dan membuat lebih kolaps. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pernafasan pasien (Leung., dkk, 1999). Terjadinya edema pulmonal dapat menurunkan elastisitas paru dan meningkatkan kerja pernafasan sehingga pasien dengan Gagal Jantung mengalami dyspnoe, Orthopnoe/NPD (Dipsnoe Noktural Paroksimal) yang akan terasa enak dalam posisi duduk, dan batuk. Hal ini dapat Universitas Sumatera Utara 27 mengakibatkan gangguan tidur dengan kesulitan masuk dalam tahap tidur dan kesulitan mempertahankan tidur (Ruhyanudin, 2007). Pada PND penderita Gagal Jantung sering terbangun tengah malam diiringi batukbatuk (Hasan, 2001). Menurut Gray dkk, (2005). Dispnu Jantung akan memburuk dalam posisi berbaring telentang dan dapat membangunkan tidur pasien pada malam hari disertai keringat dan ansietas, dispnu noktural paroksisimal dan akan berkurang jika duduk tegak atau berdiri. Menurut Wilkinson (2005), pada Pasien Gagal Jantung dijumpai gangguan pada pola tidur, yang dapat disebabkan oleh nocturia, cemas, dan kesulitan mengatur posisi tidur karena Noctunal Dipsnue. Tanda dan gejala lain yang dijumpai pada pasien Gagal Jantung yaitu kelelahan, kelemahan, bernafas dangkal,dan edema. Universitas Sumatera Utara