Tugas Ujian Akhir Semester Filsafat Administrasi Terjemahan The Nature of Value Yang Dibina oleh Ibu Farida Nurani, S.Sos, M.Si Kelompok 6 : 1. Annisa Ayu Faradilla (115030100111035) 2. Ria Nur Ambarwati (115030100111046) 3. Hatfina Izzati (115030101111022) 4. Erlin Rakhmawati (115030101111038) ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA JUNI 2012 6 SIFAT NILAI Pengetahuan tentang nilai yang berada di luar pikiran manusia biasa adalah sebuah atribut profesional dalam administrasi. Argumen tersebut bisa persuasif tapi tidak konklusif. Orang masih ngotot bahwa pengetahuan nilai insting atau keawaman di manusia yang hidup di jalan dianggap cukup untuk menjalankan praktek manajemen dan administrasi. Lalu mengapa administrator haru s lebih paham tentang nilai dibanding orang lain? Bukankah ini berlebihan atau tidak perlu? Nilai ada di banyak tempat, dan konflik bisa terjadi setiap hari. Filsuf dan ilmuwan politik berkutat dengan perumusan dan penyelesaian masalah, sedangkan administrator berkonsentrasi dengan pelaksanaan organisasi. Ada banyak pertanyaan tentang sikap laissez faire, tapi untuk sekarang kita hanya perlu tahu bahwa ada satu komponen besar penetapan nilai dalam praktek administrasi, dan bahwa aksi administratif bisa mempengaruhi kualitas kehidupan organisasi dan ekstra-organisasi. Ini bisa menjadi insentif. Sebelum mempelajari masalah nilai, nilai perlu didefinisikan menurut beberapa kondisi dan menurut pemahaman yang umum. DUALISME DASAR Administrasi digambarkan oleh sejumlah dualisme. Tapi dualisme yang paling menonjol di sini adalah antara fakta dan nilai. Perbedaannya cenderung berdasarkan common sense, tapi tidak sejelas penjelasan Simon, yang membedakannya dari sudut pandang positivistik. “Proposisi fakta”, men urtunya, “adalah pernyataan tentang dunia yang diamati dan cara dunia dijalankan” (1965). Dia menamakan dunia sebagai wilayah pengalaman yang bisa diverifikasi secara publik dimana pengukuran digunakan dan disepakati berdasarkan warna, pandangan dan suara yang diberi label nama bahasa biasa. Tapi, beberapa pernyataan privat yang tidak bisa diverifikasi juga disebut fakta. Sakit gigi tidak lalu dirasakan oleh setiap orang, dan ini adalah proposisi fakta di dunia observasi dokter gigi, dan mempengaruhi cara kerja dokter gigi. Masalahnya adalah bahwa kita hidup di dua sisi, dunia nilai dan fakta. Tidak benar bila mendefinisikan fakta hanya kepada proposisi fisik, karena fisik adalah hipotesis konsep yang tidak bisa diakses oleh pengalaman indera langsung. Pensil adalah wujud kepadatan partikel molekul (atau atom dalam fluks), tapi ini adalah fakta yang tangibel, persisten dan unik dalam lingkup aksi pengguna pensil. Pensil memiliki nilai karena berguna bagi penggunanya, atau bisa juga karena ini bisa digunakan , dibaut dari emas, diberikan oleh pacar, dan menyertai penggunanya setiap saat, dan seterusnya, sampai obyek bantual yang pada intinya tidak bernilai dianggap memiliki nilai. Nilai, fakta dan hipotesis konsepsi ilmiah saling berkoherensi dan berdiri sejajar. Lalu bagaimana membedakannya? Tidak benar bila kita mengatakan bahwa salahsatu dari dunia tersebut, dunia fakta, adalah bawaan/diberi, dan lainnya, dunia nilai, adalah dibuat. Yang pertama adalah obyektif. Kita sering tidak bisa memegangnya. Yang kedua adalah subyektif, karena kita bisa merasakannya dengan tangan. Karakteristik dunia fakta bawaan adalah bahwa ini diverifikasi ke publik dan konsisten secara logika. Karena ada rumusan arimatika bahwa satu tambah satu sama dengan dua, maka proposisi ini a dalah sebuah fakta konseptual atau intelektual. Dunia fakta juga menjadi dunia observasi. Dunia ini adalah sebuah obyek persepsi, dan ilmu adalah diskriminasi, analisis dan sintesis komprehensif yang mengikuti tindakan persepsi. Persepsi menstimulasi konsepsi, dan begitu pula sebaliknya. Ini berinteraksi. Karena persepsi dan konsepsi sering berkembang, maka sub-bahasa atau jargon wacana ilmiahnya juga berkembang. Jadi, menurut pilihan atau preferensi, dunia bisa direduksi menjadi biologi, kimia atau fisika, atau transkendensi asing dan disolusi medan energi sub-atomik. Di level ini, tepi yang sulit dan sudut tajam di dunia fakta hilang bersama dengan infinitas, improbabilitas, dan indeterminasi. Energi adalah benteng terakhir dari materialisme. Semua ini di luar range wacana faktual administratif. Setidaknya, ini seperti mundur kembali ke fokus kejadian seperti ledakan fusi nuklir atau negosiasi dana untuk menghasilkan ledakan tersebut. Perubahan level wacana mencerminkan perubahan nilai. Nilai dari pakar f isika tidak sama seperti nilai yang digunakan administrator. Meski begitu, ada kata sepakat bahwa fakta, meski sulit didefinisikan, adalah proposisi yang bisa diverifikasi secara publik dan memiliki kualitas sebagai benar. Atribut terakhir, yaitu kualitas kebenaran, adalah yang membedakan nilai dari fakta karena nilai tidak pernah benar atau salah. Nilai adalah fakta dalam satu jenisnya sendiri. Nilai adalah konsep. Nilai bisa subyektif. Nilai terjadi hanya di kepala. Ini bisa didefinisikan dalam cara ter tentu sebagai “konsep keinginan dengan kekuatan motivasi”. Ada point penting yang harus dipertimbangkan. Meski nilai bisa dianggap sebagai satu jenis fakta, ini berbeda logika dengan fakta. Dunia nilai sepenuhnya berbeda dari dunia fakta meski dunia fakta berisi dunia nilai. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Sebuah nilai hanya ada di dalam pikiran pemilik nilai, dan ini adalah prinsip keinginan atau preferensi, atau kondisi keseharusan. Ini menjadi “faktual” bila ini diekspresikan dalam bahasa atau dij adikan obyek observasi. Tapi untuk pindah dari fakta atau logika menuju “keseharusan”, maka harus ada lompatan besar. Karena itu, dunia eksistensi faktual saat ini bisa dikatakan tanpa nilai. Perubahan energi massa dalam sebuah kontinum ruang waktu juga dikatakan tanpa nilai. Terminologi obyektif dari sains dan logika berbicara tentang kebenaran dan kesalahan. Makna subyektif dari nilai adalah “baik” dan “buruk”, dan “benar” dan “salah”. Apa yang ingin diketahui oleh administrator, filsuf, dan orang di jalan, dan apa yang tidak pernah ditunjukkan oleh sains, adalah cara “mengetahui” baik dan buruk, benar dan salah. Ini adalah pertimbangan khusus dalam filosofi administratif. Sains tidak menjawab pertanyaan nilai, tapi menciptakan pertanyaan nilai karena i ni memperluas bidang kemajuan faktual. Menyamakan nilai dengan fakta, atau menganggap bahwa nilai bisa didapat dari fakta, berarti menggunakan kesalahan naturalistik (naturalistic fallacy) (Moore, 1903). Moore mengatakan bahwa nilai “baik” tidak bisa didefinisikan atau dianalisa karena ini adalah istilah primitif dalam bahasa. Ini selalu bersifat privat. Pengalaman baik selalu subyektif, dan ini adalah superimposisi di atas dasar obyektif. Nilai adalah fungsi dari pikiran, sentimen, dan kesadaran indivi du. Fakta bisa muncul (meski jika berbentuk harapan) di luar kesadaran individu. Pohon yang dilihat orang dan dunia yang menjadi bagian alaminya tetap bertahan sebagai kejadian kontinyu bagi pengamat lain setelah pengamat sekarang. Rangkaian kejadian tersebut bisa putus dan berhenti pada saat pengamat masa depan melakukan postulasi di masanya. Tapi, apa yang tidak bisa dilakukan adalah menemukan nilai “di luar sana” dalam skenario kejadian sekarang. Tidak ada “obyek” di dunia yang bisa dikatakan baik. Tidak ada kebaikan dalam dunia karena dunia cenderung gelap, besar, atau kasar bila disentuh. Ada banyak hal yang bisa dinilai, tapi tidak ada yang menjadi nilai. Selain itu, tidak ada yang indah. Dasar persepsi kita adalah kanvas kosong yang diatasnya kita gambarkan kebaikan dan keindahan, dan juga kita tambahkan semua warna nilai. Maksudnya, kita tidak menilai sesuatu dengan anggapan bahwa sesuatu tersebut memiliki nilai, tapi kitalah yang memberikan nilai kepada sesuatu tersebut. Bila menilai sesuatu dengan m enganggap sesuatu sebagai bernilai (seperti yang ingin dilakukan administrator) berarti melakukan kesalahan naturalistik. Di luar persepsi manusia, dunia adalah tidak bernilai. Interaksi manusia dengan dunia akan menemukan fakta dan juga menghasilkan nilai. Meski dua aktivitas ini bisa digabung, penemuan fakta bisa mendorong orang membedakan imposisi nilai. Pola nilai bisa menentukan fakta mana yang ditemukan. Tidak ada pengetahuan empiris atau logika yang bisa membuktikan, menjustifikasi, atau melegitimasi nilai dalam arti obyektif. Bila berpikir bahwa kita bisa menemukan kebenaran nilai dari studi tentang alam, kita berarti melakukan kesalahan naturalistik. Terminologi Nilai Untuk menguraikan, sejauh yang kita bisa, value/nilai dari fakta adalah sebuah langkah maju dalam pemahaman kita, tapi kini kita harus berurusan dengan tingkat kebingungan linguistik lainnya. Hal ini berakar dari rasionalitas dan dari fakta serta teori psikologi. Sebuah contoh diberikan oleh istilah “kebutuhan – needs”. Maslow, ahli teori value psikologis yang terkemuka, jarang menulis tentang value sedemikian rupa, tapi lebih memilih untuk berbicara mengenai kebutuhan. Apa yang dimaksud dengan kebutuhan dan bagaimana mereka bisa dibedakan dari (katakanlah) kemauan atau keinginan? Ide dibalik kebutuhan adalah perbedaan atau ketidakseimbangan yang tidak diinginkan dalam kondisi urusan. Kebutuhan mengimplikasikan tensi dan disequilibrium dan memberikan sebuah dinamika untuk tindakan rektifikasi. Kita harus mengambil kebutuhan dan istilah kognasi “keinginan atau kemauan” sebagai indikator kondisi yang sama dari defisiensi atau kekurangan individu atau grup dengan potensi atau kecenderungan dampaknya untuk aksi remedial. Sebagai demikian ini mereka adalah sumber-sumber value. Kebutuhan, kemauan dan keinginan juga terkait dengan konsep motif. Ide dibalik perilaku yang termotivasi biasanya merupakan end-in-view bagi pelaku termotivasi. Masalah dengan interpretasi ini adalah bahwa akhir (end) mungkin saja tidak terlihat (in-view). Hal ini bisa saja semi-sadar atau bahkan tidak sadar (unconscious). Impuls untuk aksi ini bisa jadi subliminal; bahasa psikologis mengandung konsep-konsep seperti misalnya “drivers” dan “drive state” dimana terdapat banyak konten dan eksperimentasi yang inkonklusif. Untuk tujuan kita, mari kita terima motif sebagai alasan sadar (conscious reason) atau penggerak tidak sadar (unconscious driver), atau kombinasi dari keduanya, yang merupakan sebuah sumber value. Saya bisa jadi sepenuhnya sadar, sebagian sadar atau bahkan sama sekali tidak sadar mengenai motif tindakan saya, tapi faktanya adalah saya sendiri atau orang lain yang mengamati dapat memberikan penilaian value atas apakah motif-motif itu memadai untuk menunjukkan bahwa value merupakan sesuatu hal yang lain daripada motif, keinginan, kemauan atau kebutuhan. Motif memiliki korelasi push-pull dengan kesadaran (consciousness) dan beragam alasan. Untuk bisa sepenuhnya tidak termotivasi adalah tidak eksis sebagai sebuah makhluk yang berperasaan. Untuk bisa sepenuhnya menyadari motif kita maka kita menjadi superberperasaan. Dan menyetujui itu semua akan berarti merupakan superhuman. Motif eksis di kedalaman psikis sebagai kekuatan gelap dari orang yang tak punya naluri atau sepenuhnya terekspos di siang hari sebagai alasan tervalidasi dan terjustifikasi yang juga berkorelasi dengan fenomena sikap. Saya berharap untuk mendefinisikan sikap sebagai fenomena permukaan, predisposisi untuk bertindak atau merespon pada stimuli dalam cara-cara yang relatif stabil atau persisten. Dengan motif memberikan sebuah sumber value, maka value adalah sumber sikap. Sikap merupakan manifestasi value di interface kulit (skin) dan dunia (world). Dunia menuntut perhatian dalam sejumlah besar cara. Bagaimana kita memperhatikan adalah sebuah fungsi dari sikap kita. Dan sikap merupakan fakta yang dapat diukur di dunia. Jika kita mengambil organisme biologis paling sederhana maka kita, berdasarkan atas observasi/pengamatan, akan dapat mengurangi dan mengklasifikasikan jumlah sikap menjadi dua atau tiga: berkelahi (fight), kabur (flight) atau diam di tempat (freeze). Untuk organisme manusia yang kompleks maka sikap bisa terdiri atas banyak sekali hal karena level kompleksitas organik ini termasuk linguistik, terlibat secara berkelanjutan dalam permainan bahasa (salah satunya dinamakan administrasi) dan mengekspresikan sikap-sikapnya dalam kategori-kategori bahasa, beberapa dirujuk sebagai opini. Sehingga, polling menilai sikap-sikap kolektif dan individual dikategorikan sebagai open-minded (berpikiran-luas/terbuka) atau close-minded (berpikiran sempit), konservatif, radikal, authoritarian, permisif, inovatif, dan juga psychologium nauseamque infinitum. Mari kita mencatat aritmatika dari penalaran ini. Pertama, terdapat diri kita sendiri (kita menghindari kepribadian terpisah (split personality) dan multiple personality yang dibahas dalam literatur psikoanalitik). Kemudian, sebuah motif yang sangat mendasar: mungkin keinginan untuk bertahan hidup atau dualisme Freudian dari Eros dan Thanatos, sebuah dorongan untuk hidup yang diimbangi dengan keinginan untuk penghentian (surcease). Di level yang lebih dekat ke permukaan, tapi masih termasuk interior dan berkaitan erat dengan integrasi dari motif dalam diri adalah yang termanifestasikan dalam sebuah sistem values. Kompleks-kompleks atau orientasi-orientasi values ini tergantung pada situasi pemegangnya, biografi dan kulturnya. Mereka bisa jadi tidak sadar (unconscious) dan berada dalam kontradiksi logis ketika, misalnya, saat kebaikan hati (kindness) dan kejujuran (honesty) diekspresikan secara terbuka, tapi kezaliman dan ketidakjujuran dalam mendapatkan kekayaan dan kesuksesan secara tersembunyi juga dikagumi. Values lebih banyak dalam angka dibandingkan motif tapi masih lebih sedikit dibandingkan sikap. Keduanya diorganisir secara kurang atau lebih kohesif ke dalam sistem. Muncul di interface psikis dan dunia, di level-kulit/skin, maka sikap, ekspresi preferensi dan predisposisi untuk bertindak sebagai respon terhadap beragam isu kehidupan dan gaya hidup yang tidak terhitung banyaknya. Mereka setara sejauh mereka dapat diobservasi, diklasifikasi, dan diorganisir untuk membuat pengertian konseptual. Dalam jumlah mereka secara logis melebihi value-value dasar yang mereka wakili. Terakhir, terdapat pula realitas perilaku dan tindakan dengan ketidakterbatasan kemungkinan yang tidak sepadan. Perilaku-perilaku termanifestasi sebagai fakta yang dapat teramati dan terkoneksi oleh inferensi melalui rantai sebab akibat ke dalam fenomena psikologis sikap, orientasi value, values, motif dan konsep diri. Skema yang dideskripsikan diatas ditunjukkan secara diagram di dalam Bagan 10. Bagan ini tidak dimaksudkan sebagai rujukan dogmatis atau definitif. Bagan tersebut tidak menspesifikasikan, misalnya, lokus atau fungsi keinginan, mengenai berapa banyak keinginan yang harus dikatakan kemudian, juga tidak menjelaskan bagaimana beberapa komponen diartikulasikan. Tapi bagan ini cukup berguna sebagai sebuah alat deskriptif dan penjelas (explicatory) untuk argumen berikut. Bagan ini mengusung sebuah kontinuum di satu sisi yang merupakan fenomena value privat (tapi terkondisikan secara kultural), mungkin sangat privat dan tidak dapat diakses untuk verifikasi publik. Di sisi lain kontinuum ini adalah perilaku purposif dan pencapaian keras yang terjadi dalam realitas publik, kolektif dan dapat diamati dimana motif-motif dapat dilontarkan keluar secara linguistik sebagai tujuan dan tujuan kolektif dan dimana values dapat diekspresikan secara verbal sebagai ide-ide, summa boni, norma-norma sosial, dan standar-standar kultural. Values semacam ini kadang akan diobyektifikasi ke dalam sistem hukum, kode etika, filosofi dan ideologi yang tersistematisasi. Antara kedua titik ekstrim ini terletak rentang sikap, opini, preferensi. Kontinuum ini cukup dinamis melalui tindakan memodulasikan feedback dan feedforwards. Dari landasannya dalam kesadaran individual ke pengangkatannya dalam permainan data sensorik publik, seluruh jagat adalah hal yang disengaja dan teleologis. Model Nilai Sekarang saya ingin menampilkan model analitik dari konsep nilai yang saya percaya memiliki beberapa manfaat dalam membantu kita untuk memetakan perjalanan melintasi lautan kebingungan nilai. Ini juga akan memungkinkan kita untuk mengelompokkan nilai-nilai dan membentuk akhirnya beberapa basis bagi penyelesaian konflik-konflik nilai, namun penggunaannya sekarang akan dalam mengembangkan pemahaman bersama dan terminologi untuk sisa pertanyaan ini. Model ini diberikan dalam Gambar 11 yang berlawanan. Perbedaan pertama digambarkan dalam model ini adalah untuk pecah konsep dasar nilai ke dalam dua komponen yang 'benar' dan 'baik'. Ini adalah perbedaan antara 'diinginkan' dan 'diinginkan (lih. Kant, 1909, 285) dan secara teknis dikenal sebagai perbedaan antara aksiologis (baik) dan deontologis (kanan). Yang pertama mengacu pada apa yang menyenangkan, menyenangkan, kesenangan-mampu, yang terakhir untuk apa yang tepat, "moral", dutybound. atau hanya apa yang seharusnya 'Bagus dikenal langsung sebagai hal yang lebih memilih ence ¬. Kita tidak perlu diberitahu apa yang baik (meskipun Madison Avenue terus mencoba) karena kita sudah tahu. Kita minum saat kita haus dan lebih suka bir. Atau teh. Pengetahuan tentang yang baik datang secara spontan dari impuls atau introspeksi langsung dan merupakan jenis pengalaman nilai yang kita memiliki kesamaan dengan hewan lainnya. Mungkin bawaan, biokimia, genetika, atau dipelajari, diprogram, AC. Ini adalah bagian dari biologis kita make-up dan pada dasarnya hedonistik, menyimpulkan dalam psikologi unsur mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit. Hal ini menimbulkan tidak konflik ¬ nilai internal konflik yang (sebuah 'nilai problem' maka non-manusia binatang tidak memiliki), tapi menciptakan potensi konflik nilai eksternal interhuman dalam kompetisi umum untuk kepuasan dari sumber daya terbatas. Dimensi lain dari nilai adalah satu, kita tergoda untuk mengatakan, yang benar-benar menyebabkan masalah, dan secara logika berbeda. Kami memiliki (meskipun itu akan ditolak oleh beberapa filsuf) arti moral, atau rasa tanggung jawab kolektif, hati nurani, atau mungkin, secara psikologis, sebuah 'superego'. Pada tingkat pribadi ini menimbulkan semacam konflik internal-dua tak diinginkan berperang dalam dada diri karena kita merasa di satu sisi tarikan pengaruh dan di sisi lain tuntutan situasi dan apa yang seharusnya tunggal menjadi dilakukan. Ini adalah pengalaman umum disiplin sehari-hari di brondong memanjakan diri kita keinginan yang mendukung tuntutan lainnya nomotetis belaka. Gambar 11: Model Analitik dari konsepsi Nilai (Deontologis-nomotetis-Disiplin-Dimensi) Grounding PRINSIP Psikologis Korespondensi CONACTIVE Filosofi Korespendsi Jenis Nilai RELIGIONISM I EXISTENTIALISM IDEOLOGISM ( transrational) “benar” KONSEKUENSI ( IIA) KOGNITIF HUMANISM PRAGMATISM NILAI UTILITARIANISM KONSENSUS (IIB) II “Baik” PREFERENSI AFFECTIVE LOGICAL POSITIFISME III PERILAKU HEDONISM ( subrational) ( Axiological-Idiografik-Indulgence-Dimensi) Tapi bagaimana tuntutan ini dibenarkan? Setelah dasar apa kita mengesampingkan klaim emotif dan impuls? Ini adalah pertanyaan nilai dasar baik untuk administrator dan filsuf. Bagaimana seseorang bisa memvalidasi, membenarkan, menentukan, pangkat-perintah yang diberikan konsep-konsep dalam konteks yang diinginkan diberikan? Kolom pertama dari Gambar 11 mengklasifikasikan beberapa alasan untuk pertimbangan nilai dan, sejauh yang saya telah mampu untuk menentukan, lengkap! Kita hanya bisa membangun nilai-nilai kita dalam satu empat cara. Jika kita mengakui bahwa konsekuensi (IIa) dan konsensus (IIb) dapat dianggap sebagai subtipe dari tanah Tipe II nilai tunggal, maka ini memberi kita tiga jenis yang berbeda nilai. Mari kita perhatikan secara singkat pada gilirannya, dari 'bawah' up. Tipe III adalah nilai yang membenarkan diri, karena mereka didasarkan pada individu mempengaruhi dan merupakan preferensi individu struktur ¬ mendatang. Mengapa x baik? Karena saya menyukainya. Mengapa saya menyukainya? Aku menyukainya karena aku menyukainya. Saya tidak bisa lebih dari itu: Tipe III nilai-nilai primitif. Fakta alam. Dibenarkan hanya karena dunia adalah apa itu dan bukan hal lainnya. Bergerak ke atas dalam hirarki, ada tiga cara di mana sebuah nilai dapat divonis sebagai benar. Pertama, jika sepakat dengan kehendak mayoritas dalam kolektivitas tertentu, kolektivitas dari konteks. Ini-adalah dasar konsensus dan nilai-nilai hasil Tipe IIb. Kedua, jika pada analisis yang wajar dari konsekuensi emban oleh pertimbangan nilai tertunda beberapa negara resultan masa depan urusan yang dianggap diinginkan. Ini adalah Tipe IIa nilai. Tipe II nilai meminta alasan, fakultas kognitif, apakah itu untuk menghitung kepala (IIb) atau untuk menilai kontinjensi (IIa); dengan alasan bersifat sosial karena mereka bergantung pada kolektivitas dan pembenaran kolektif. Analisis konsekuensi ¬ mengandaikan quences konteks sosial dan skema yang diberikan norma-norma sosial, harapan, dan standar. Jika penalaran yang digunakan murni untuk 'mencari peluang' secara bijaksana untuk akhir memaksimalkan kepuasan hedonis individu maka ini tidak akan menjadi tipe IIa melainkan Jenis perilaku III nilai. Juga harus dicatat bahwa nilai-nilai Ha Jenis mohon pertanyaan dasar sejauh mereka proyek ke masa depan keadaan 'keinginan'. Dengan alasan bahwa keinginan diproyeksikan kemudian harus diputuskan baik pada Tipe I atau Tipe dasar IIb atau bahkan, sebagai positivis logis berpendapat, atas dasar preferensial kolektif TipeIII. Terakhir, ada busur Tipe I nilai-nilai. Landasan Tipe I adalah nilai-nilai metafisik. Kita bisa mengakui ini tanpa permintaan maaf. Saya sebut alasan seperti prinsip. Prinsip-prinsip dalam bentuk kode etik, perintah, atau perintah, seperti imperatif kategoris Kantian atau 'Janganlah engkau membunuh' Mosaic, tapi apakah mereka berasal dari wawasan moral yang didalilkan, sebuah menegaskan wahyu agama, atau rasa estetika drama individu, fitur umum mereka adalah bahwa mereka diverifikasi oleh teknik ilmu pengetahuan dan tidak dapat dibenarkan oleh argumen hanya logis. Paling jauh argumen yang dapat menyebabkan adalah untuk etika tercerahkan kepentingan pribadi. Tapi ini dasarnya Ketik IIa di landasan, semacam solusi teori permainan untuk masalah memaksimalkan hedonis (Tipe III) kepuasan. Type I memiliki nilai-nilai, apalagi, sebuah kualitas an ¬ mutlak yang membedakan mereka dari nilai-nilai lebih relatif Type II dan Type III seluruhnya relatif nilai. Prinsip juga trans-rasional dalam hal itu, sementara mereka tidak harus bertentangan dengan rasionalitas, mereka mungkin sama baiknya melakukannya dan mungkin, dari sudut pandang Tipe II, sesat, irasional, tidak masuk akal sebagai (katakanlah) ketika korban manusia dari berbagai Kamikaze adalah didasarkan pada patriotisme yang ekstrim atau ketika orang menemukan pembunuhan diinginkan dengan alasan eksistensial (Camus, Dos ¬ toievsky). Karakteristik Tipe I adalah bahwa nilai-nilai mereka didasarkan pada keinginan daripada pada fakultas penalaran; adopsi mereka menyiratkan semacam tindakan iman, komitmen keyakinan. Kolom kedua dari Gambar 11 menunjukkan Korespon psikologis ¬ pondences untuk masingmasing tiga jenis nilai. Tipe III nilai berakar dalam struktur emosional, mereka afektif, istimewa, idiografis, dan langsung. Mereka pada dasarnya a-sosial dan hedonistik. Tipe II nilai melibatkan fakultas penalaran, mereka adalah yang paling utama rasional, kognitif, kolektif dan sosial. Sampai-sampai mereka bertentangan dengan dan menimpa kecenderungan untuk kesenangan individu, mereka disiplin dan nomotetis. Mereka cenderung mengarah pada etika kepentingan pribadi yang tercerahkan atau beberapa bentuk liberalisme humanistik, ini yang sejauh logika dan fakultas kognitif dapat pergi di determi ¬ bangsa dari etika atau sistem imperatif moral yang kohesif. Tipe I menghargai memanggil kehendak. Sebuah tindakan iman atau komitmen yang diperlukan. Tindakan ini hanya dapat dilakukan secara individual, sehingga dalam Tipe rasa saya nilai sangat idiografis, meskipun mereka mungkin nomothetically disahkan. Mari saya ilustrasikan. Sebuah perusahaan balet mendukung bernilai seni, sebuah organisasi militer menganut nilai patriotisme, sebuah tim sepak bola didedikasikan untuk menang, Dalam setiap Jenis kasus saya nilai ditetapkan yang harus diadopsi oleh individu penari berkeringat, prajurit berdarah, dan memar pemain. Penari, prajurit, dan pemain masing-masing harus di beberapa titik telah membuat beberapa tindakan komitmen pribadi untuk nilai masing-masing. Jika mereka belum, mereka masih dapat menerima Tipe terdegradasi saya nilai di tingkat konsensus, Tipe IIb, yaitu, sebagai norma atau tingkat harapan khas kolektivitas itu. Tak perlu dikatakan, ada perubahan dalam kualitas komitmen jika hal ini terjadi dan administrator umumnya lebih memilih untuk menginduksi jenis tingkat yang lebih tinggi keterlibatan dalam bawahan. Moro dari alasan anggota pasti terlibat di mana Tipe I nilai adalah operasi, dan ini lebih tidak masalah sederhana preferensi emotif. Karena itu lebih banyak, karena aspek deontologis atau tugas yang bernilai, setiap pembahasan tentang konsep nilai mengarah dengan mudah ke dalam pertanyaan tentang fenomena loyalitas, komitmen, rasa bersalah, hati nurani tanggung jawab, dan. Konsep-konsep ini sulit baik pada tingkat filosofis dan psikologis analisis tetapi mereka umumnya merujuk kepada pengalaman-pengalaman pribadi dari negara internal ketegangan antara jenis nilai yang digambarkan dalam dua lengan model. Angka tersebut juga menunjukkan dalam kolom 3 beberapa korespondensi filosofis utama. Tipe III nilai adalah mereka yang meminjamkan diri untuk pengurangan positivisme logis dan behaviorisme. Dalam kasus ekstrim kita dapat menyatakan bahwa semua nilai adalah ekspresi belaka preferensi emotif. Menyatakan 'pembunuhan adalah salah' atau 'orang tidak boleh membunuh' adalah Pembunuhan hanya mengatakan ', ugh! Atau aku tidak suka membunuh. '(Ayer, 1946, 103-110) Orang mungkin melawan posisi ini secara bersamaan melakukan kekeliruan naturalistik dan tidak dibenarkan mengangkat logika dan ilmu pengetahuan di atas etika dan nilai-nilai (sendiri merupakan preferensi emotif), tetapi kekuatan argumen yang mendasarinya tidak berada di bawah ¬ diperkirakan dan, dalam filsafat administrasi, posisi exemp ¬ lified oleh Simon. Sekali lagi, di tingkat sosiologis, permainan yang disebut ¬ anak dan hippie filosofi pemanjaan diri yang tidak berarti tidak konsisten dengan posisi positivis. Tipe II nilai, sebagaimana telah ditunjukkan, sesuai dengan posisi filosofis dari humanisme, utilitarianisme dan pragmatisme. Mereka ditopang oleh status quo sosial, dan etos, adat istiadat, hukum, adat dan tradisi budaya tertentu. Hal ini mungkin disebabkan oleh postulat degenerasi, seperti yang dijelaskan di bawah ini. Secara umum, alasan dan kompromi yang dihormati, dan langganan ¬ tion untuk kehati-hatian dan kebijaksanaan membuat seperti orientasi filosofis sangat menarik bagi administrator. Type I memiliki dasar nilai-nilai metafisik atau transrational. Karena itu, mereka sering dikodifikasikan dalam sistem keagamaan. Sistem seperti bisa, tentu saja, cukup ateistik, seperti dalam komunisme dan dalam beberapa bentuk agama Buddha. Mereka juga dapat sengaja tidak rasional, atau mungkin anti-rasional, sebagai mana merekrut Nazi bersumpah sumpah darah di hutan atau eksistensialis Prancis, yakin bahwa alam semesta adalah asing dan tidak masuk akal, namun mencari 'keaslian' dengan 'menjadi terlibat untuk kode nilai. Sekali lagi, dengan nilai-nilai logis seperti positivis baik secara harfiah non-sense atau mereka, seperti nilai-nilai tipe II, yang menyamar ungkapan emotif-mempengaruhi preferensi pada satu atau dua menghilangkan. Kita tidak perlu memasukkan argumen antara sekolah filsafat pada saat ini-kami objek hanya untuk memahami model-tapi kita dapat mencatat bahwa sementara positivis menolak dimensi atas sama sekali penganut nilai-nilai tipe II harus berjalan tepi pisau cukur yang antara jurang-jurang dari positivistik nihilisme di satu pihak dan komitmen metafisik di sisi lain. Postulat/Dalil Model nilai yang dijelaskan sebelumnya memiliki dampak yang jauh jangkauannya. Ini memperpanjang kedua masalah untuk penyelesaian konflik nilai dan perumusan teori nilai atau filsafat. Sebagai contoh, melibatkan model bahwa masalah nilai adalah bentuk keseluruhan dari kondisi manusia dan didefinisikan oleh ketegangan yang ada antara dimensi yang lbih rendah dari pemanjaan dan dimensi atas penyangkalan. Setiap orang, dengan kemungkinan pengecualian orang suci, orang luar biasa dan psikopat mengalami ketegangan dialektis. Untuk orang suci menghilang karena dia ingin melakukan apa yang harus dilakukan; mempengaruhi; dan mempetsatukan. Dan untuk Superman Nietzschean, sebaliknya tidak bertentangan, untuk apa yang dia inginkan adalah apa yang benar: ia adalah Jenseits Gûte und Bôse, di luar baik dan buruk. Tetapi orang biasa menjalani kehidupan dari konflik dalam, mereka terkena benturan karena berperang tanpa kode moral dan stres internal antara dimensi dalam nilai.Konflik tidak hanya masalah yang diinginkan melawan keinginan, lebih mungkin menjadi salah satu antara dua atau lebih ketidak inginan atau antara dua atau lebih keinginan. Kita harus memilih antara kebenaran dan harta antara benar dan baik. Pada hakekatnya perilaku organisasi ini merupakan nilai secara keseluruhan. Bernard (272-278) menyatakan bahwa kontribusi penting dari kepemimpinan adalah kapasitas administratif untuk memecahkan konflik moral yang ada secara kreatif. Model ini menyatakan 3 postulat,yaitu: Postulat I: Hirarki, yang harus dipatuhi model tersebut adalah bahwa gagasan Tipe I lebih unggul, lebih otentik, lebih baik dibenarkan, landasan dipertahankan lebih dari Tipe II. Dengan demikian Tipe III dan dimensi nomotetis atau moral untuk dimensi ideografis atau diabaikan. Hirarki dari peringkat yang ada. Postulat II: Degenerasi, cenderung menurunkan tingkat nilai dari waktu ke waktu, ada kecenderungan alami nilai-nilai untuk kehilangan keasliannya atau kekuatannya, yang melemahkan kekuatan wawasan moral. Postulat III: Penghindaran, ada kecenderungan alami untuk menyelesaikan konflik nilai pada tingkat terendah dari hirarki dalam situasi tertentu, berusaha untuk menghindari masalah moral, ini khususnya berlaku dalam administrasi. Mari saya mengilustrasikan ini dengan mengendalilkan contoh-contoh dari etika, estetika, dan administrasi. Gagasan perzinahan sebagai salah (dan sebaliknya kesetiaan pernikahan sebagai barang positif), awalnya mungkin telah dilembagakan oleh pemikir moral yang kreatif atau pemimpin moral berdasarkan wawasan moral, intuisi, dan keyakinan. Dalam perjalanan waktu yang ada dengan penerimaan publik, lembaga ini mungkin mengalami penurunan, gaya asli moralnya mungkin menjadi lemah, tetapi nilai tetsebut mash dapat dibenarkan atas kehati-hatian, kebijaksanaan, alasan pragmatis seperti kepentingan pribadi yang tercerahkan, argumen di tingkat kognitif misalnya, dimana sebuah masyarakat tidak menyetujui perzinahan secara keseluruhan dan lebih fungsional. Sekali lagi, penalaran kekuatan nilai moral kognitif ini dapat melemahkan dan merosotkan kebenaran atau nonperzinahan menjadi norma atau harapan sosial, karena apa yang benar itu adalah harapan konvensional mayoritas. Pada akhirnya, semua dapat menghabiskan kekuatan moral dan nilai hanya menjadi sebuah barang pilihan individu. Dari estetika mengambil contoh (kataknlah) lukisan Turner. Ini mungkin telah dikandung oleh seniman berdasarkan wawasan tentang alam yang mendalam, konsepsi yang mendalam yang berusaha untuk dibuat dalam karyanya. Awalnya mereka tidak dipahami dan dihargai oleh para kritikus yang kurang memahami wawasan ini, tetapi dengan berjalannya waktu mereka dibela pada tingkat kognitif atau intelektual, dalam hal ini kritikus Ruskin. Akhirnya sejumlah besar estetika berasal dari nilai mereka dan dalam waktu tertentu apresiasi Turner menjadi norma estetika atau konvensional sosial. Akhirnya tingkat pembenaran terbukti dan dapat dikatakan bahwa karya-karya memiliki nilai yang hanya bekerja sesuai dengan keinginan individu, keindahannya bersifat subyektif. Dalil-dalil penghindaran oleh Broudy (1965, 42-48), dia memberi contoh orang negro melawan deskriminasi perlindungan (masalah normal) yang ditangkap akibat pelanggaran lalu lintas (yang relatif sepele). Lagi ada seorang mahasiswa bersalah atas kecurangan yang tak bearti dengan alasan tidak membayar biaya dan konflik pada tingkat moral dihindari yang diselesaikan di tingkat nirmatif. Secara umum, dapat kita katakan bahwa itu adalah tujuan birokrasi untuk merasionalisasi dan menaklukkan prosedur untuk menyelesaikan masalah nilai pada tingkat biaya terendah di organisasi. Pilihan manajerial administrasi untuk menghindari "isu-isu moral" atau konteks prinsip yang dapat dijelaskan oleh fakta bahwa tingkat rendah pemecahan masalah mungkin dapat digunakan untuk berkompromi dan menentukan pilihan, sedangkan yang lebih tinggi konflik mungkin dapat didamaikan tidak hanya moral, tetapi juga manusianya. Konsepsi Alternatif Konsep nilai bisa dijelaskan secara sangat berbeda dan ini menambah wawasan disipliner spesialis. Dalam sebuah konteks sosial dari pluralisme budaya dan relativisme moral, tepatnya konteks yang ada di demokrasi Barat yang kontemporer dan maju secara teknologi, ada kecenderungan rasional untuk menggunakan penjelasan psikologi dibanding filosofi dalam memahami isu nilai. Ini mungkin menjadi sebab terkenalnya pakar teori administratif Abraham Maslow (1943,1954, 1965, 1968). Karyanya memberikan pengaruh besar. Banyak organisasi sekarang ini bukan lagi menggunakan motif profit yang dulu sering digunakan, tapi memberikan peluang aktualisasi diri bagi anggotanya. Sistim pendidikan publik sangat terpengaruh dengan ini dan banyak sekolah, program, kurikulum, mulai dibuat untuk memunculkan kemungkinan pertumbuhan dan memberikan peluang untuk memaksimalkan pertumbuhan dan potensi realisasi diri dari kliennya. Maslow sendiri menggambarkan sisi administrator dalam bukunya Euphyscian Management (1965), yang mengedepankan "kemandirian" di dalam dunia industri dan perdagangan. Model manusia dari Maslow adalah optimistik. Ini menggunakan skema motivasi kebutuhan, seperti yang ditunjukkan di Gambar 12 (Maslow, 1943). Kebutuhan yang lebih rendah adalah kebutuhan esensial, primer, pokok atau defisiensi, yang harus dipuaskan sebelum muncul kebutuhan level yang lebih tinggi. Orang tidak bisa menjadi filsuf dengan contoh sakit gigi. Orang harus punya ukuran oksigen, kehangatan, makanan, pakaian, dan tempat tinggal sebelum bisa mencari kepuasan sosial dan membina hubungan kasih sayang dengan temannya. Dengan dipuaskannya kebutuhan level bawah, kebutuhan level tinggi bisa diaktifkan. Orang bisa membentuk kecenderungan sosialnya, memenuhi usaha sosial kolektifnya, menemukan kepuasan ( yaitu nilai, konsep harapannya) dalam hubungan cinta dan dewasa dan jika bergerak ke puncak hirarki, bisa meraih potensinya secara penuh ( mendapat nilai tertinggi) dalam aktualisasi diri. Dia menjadi apa uang bisa mampu dicapainya dengan potensinya. Maslow adalah psikolog klinik dan teorinya dibuat berdasarkan observasinya ke orang sehat. Ini berbeda dengan Freud yang observasinya adalah orang sakit. Orang sangat sehat menurut Maslow, cenderung mengarah ke level hirarki aktualisasi diri. Mereka mencari pertumbuhan atau bernilai, yang berlawanan dengan nilai defisiansi atau maintenans. Dalam mencari kepuasan di level keburuhan tertinggi, mereka mempunyai " pengalaman puncak", yaitu kondisi kuasi-mistik tentang kehidupan yang membuat kita harmonis dengan dunia yang kita sukai (1964). Skema ini memiliki kadar persuasi awal dan ketika diterjemahkan dari ndividu ke kolektivitas ada beberapa kogensi dan tampilan ide organisasi yang tujuannya mencari kemungkinan pemuasan kebutuhan individu level tinggi. Teori motivasi Maslow ini bisa dikatakan sama seperti psikolog industri Herzberg (1964,1966). Penelitian Herzberg yang dijalankan lewat wawancara manajemen tengah, memudahkan dia menemukan faktor seperti gaji, status, keamanan kerja, tanggung jawab, dan promosi yang membentuk basis sikap kerjanya. Di analisis lebih jauh, ini menghasilkan apa yang disebut skema dualistik " stastifier" dan "dissatisfier" yang disebutnya sebagai faktor motivasi dan higienis. Sumber nilai ini bercocokkan dengan kluster kebutuhan pertumbuhan dan defisiensi. Motivatornya adalah prestasi, rekognisi, kepuasan intrinsik ke pekerjaan, tanggung jawab, promosi dan gaji, sedangkan faktor higienis (termasuk gaji) lebih terkait kerja dan lebih dibutuhkan. Dengan bekerja sebagai alat untuk mengatasi ketidakpuasan sebagai penganggur dan meraih kepuasan motivasional (pemenuhan diri), membuat subyek berhadapan dengan batasan faktor administratif, manajerial, dan realita. Arti filsafat administrasi dari Maslow dan Herzberg berada dalam anggapan mereka dalam optimism. Teori Maslow memisalkan nilai yang hakiki dari diri manusia; diri yang akan mewujudkan suatu yang berharga dalam diri tersebut. Potensi manusia dalam organisasi mungkin tidak terbatas, bagi manusia pada dasarnya ini baik. Penjahat dan Psikopat mungkin juga memiliki sifat baik, perwujudan kejahatan mereka diakibatkan oleh perkembangan tidak sempurna yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan dalam kebutuhan berkembang. (Ajaran tentang tanggung jawab sosial di perdebatkan bersama oleh Professor Skinner (1971) Saya harus menjauhkan diri saya dari itu dalam pekerjaan saya.) Demikian juga, Teori Hezberg tampak menganjurkan nilai yang hakiki dalam pekerjaan. Pekerjaan dapat menjadi jalan untuk aktualisasi diri untuk penyempurnaan pekerjaan. Pada akhirnya, pekerjaan berpotensi untuk berbagai kemungkinan yang tidak terbatas jika sudah diatur dan dirancang. Pekerjaan adalah kebaikan. Secara filsafat, kedua teori ini telah mendapatkan berbagai kesulitan dalam tingkat empiris. Dahulu kesulitan terdapat dalam menerapkan dan menguji dan sejauh ini penelitian tersebut gagal untuk divalidasi atau pada akhirnya gagal dengan percobaan (Alderfer,1969;Schneider dan Aldefer, 1973). Teori Hezberg juga menimbulkan kekhawatiran di penelitian tingkat empiris (House dan Wigder, 1967; Schneider dan Locke, 1971). Di sisi lain perkara ini tidak terbukti, dan sampai ini terjadi mereka beralasan yang mana administrator dapat membangun ke arah pemikiran personalnya. Kita harus mengakui Teori Maslow pada setidaknya secara logika dapat dipertahankan model manusia dan berbeda dengan Teori Kebutuhan dari Maslow, Teori Motivasi Kerja dari Herzberg tidak konsisten dengan bentuk dari nilai yang terperinci di bab ini. Orientasi kejiwaan mereka, bagaimanapn, menolak perhatian dari tegangan dialektikal yang melekat dalam sifat alami dari nilai itu sendiri. Teori Psikologis dalam perkembangan akhlak seperti Formulasi tingkatan Piaget (1932) dan pengalaman duniawi dalam Teori Kohlberg (1963) sesuai dengan model dari figure 12, namun, menjadi berhubungan dengan perkembangan, kembali berbagi anggapan tentang karakteristik optimisme dari Maslow dan tampak merugikan ke arah lembaga demokratis. Selain itu, Maslow dan Herzberg, teori mereka tidak terpengaruh dalam lingkaran administratif. Pemahaman terhadap (Towards Understanding) Nilai didefinisikan di atas (p.105) sebagai konsep yang diinginkan dengan memotivasi kekerasan. Hal ini, tentu saja, tautologis jika diasumsikan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh keinginan. Lebih mudah untuk menentukan untuk tujuan kita tetapi kita dapat mengadopsi, tanpa kontes atau argumen, definisi yang lebih rumit definisi dibingkai oleh Kluckhohn: Nilai adalah konsepsi, eksplisit atau implisit, distinotive individu atau karakteristik dari sebuah kelompok, dari yang diinginkan sangat berpengaruh terhadap pilihan dari mode yang tersedia, sarana, dan diakhiri dengan tindakan. (Parsons dan Shils, 1962,395).Nilai tersebut dapat ditandai dengan berbagai cara (katakanlah) sebagai politik, moral, agama, estetika, ekonomi, seperti yang telah dijelaskan kepada mereka bahwa mereka adalah badan fenomenologi penengah antara motif (yang mungkin atau mungkin yang tidak dapat diakses untuk inspeksi) dan sikap . Nilai dapat diatur ke dalam kelompok yang mencerminkan orientasi dalam sikap dan kecenderungan umum untuk bertindak. Mereka adalah tiga jenis dengan korespondensi psikologis dan filosofis masing-masing dan menimbulkan dalil-dalil hirarki, degenerasi penghindaran, dan. Beberapa tingkat konflik nilai adalah kondisi manusia normal. Bahkan lebih sehingga itu kondisi administratif. Nilai memiliki relevansi khusus untuk perilaku administrasi dan ini akan dibahas dalam dua bab berikutnya. Tujuan utama kami adalah untuk mengeksplorasi kemungkinan dari sebuah filsafat administrasi yang akan memberikan teknik dan pembenaran untuk resolusi yang tepat dari konflik nilai dan kepentingan. Kecanggihan tentang sifat nilai merupakan prasyarat yang diperlukan untuk tujuan ini.