BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog Cholera Hog cholera atau kolera babi merupakan salah satu penyakit menular yang secara ekonomi paling penting pada babi di dunia (Fenner et al., 2003) dengan tingkat kematian mendekati 100% pada daerah wabah baru (Ratundima et al., 2013). Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar karena biaya eradikasi serta vaksinasi yang sangat mahal. Hog cholera berlangsung secara akut, subakut, kronis atau subklinis yang ditandai dengan pendarahanpendarahan pada berbagai organ tubuh (Dharma dan Putra, 1997). Penyakit itu disebabkan oleh virus dari keluarga Flaviviridae, genus Pestivirus (Fenner et al., 2003), yang berbentuk bundar, berdiameter 40-50 nm, dengan nukleokapsid kira-kira berukuran 29 nm. Virus hog cholera merupakan suatu virus RNA beramplop dengan inti isometrik yang dikelilingi oleh membran. Nilai koefisien sedimentasinya adalah berkisar 140-180S (Horzinek, 1981). Nukleokapsid tersebut diselaputi oleh sebuah selubung yang mengandung tiga glikoprotein yakni glikoprotein El (gp55), E2 (gp44/48) dan E3 (gp33). Ketiga glikoprotein tersebut terdapat dalam bentuk dimer yang satu sama lain dihubungkan oleh ikatan disulfida. Glycoprotein E1 dan E2 masing-masing merupakan homodimer, sedangkan E3 dapat juga membentuk dimer dengan E1 (Thiel et al., 1991). 8 9 Hanya ada satu serotipe virus hog cholera namun gejala yang ditimbulkan sangat bervariasi tergantung dari strain yang menginfeksi (Geering et al.. 1995). Kasus penyakit hog cholera dengan morbiditas dan mortalitas tinggi biasanya disebabkan oleh virus yang virulensinya tinggi (Van Oirschott, 1986). Virus hog cholera berhubungan secara genetik dan antigenik dengan virus bovine viral diarrhea (BVD) (OIE, 2008), akan tetapi Gregg (2002) menyatakan bahwa infeksi hog cholera pada sapi belum pernah dilaporkan. Penularan alami terjadi melalui kontak langsung antara babi yang terinfeksi dengan babi sehat (Fenner et al., 2003), terutama melalui sekresi oronasal dan lakrimal (Ressang, 1973). Penularan penyakit dapat terjadi sebelum munculnya gejala klinis. Virus disebarkan lewat cairan mulut, hidung, mata, kemih, semen, tinja dan darah (Gregg, 2002). Disamping itu, penularan secara tidak langsung sering terjadi seperti adanya import daging babi yang tercemar virus hog cholera ke negara yang bebas dan babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung daging babi tercemar tersebut tanpa dimasak terlebih dahulu (Dunne, 1975). Pada kejadian hog cholera akut, virus berada di dalam tubuh penderita selama 10 sampai dengan 20 hari. Virus ini melakukan replikasi di dalam tonsil, dengan cara masuk ke dalam sel epitel dari kripte tonsil, meluas ke jaringan limfo retikuler disekitarnya. Dengan perantara cairan limfe, virus menyebar ke kelenjar limfe yang salurannya bermuara di daerah tonsil. Di kelenjar limfe, virus memperbanyak diri dan selanjutnya terbawa ke daerah perifer, kemudian ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe visceral (Subronto, 2003). 10 Virus hog cholera dapat bertahan selama berbulan-bulan di dalam daging yang dibekukan. Virus ini sensitif terhadap pengeringan (desiccation) dan dengan cepat inaktif oleh pH yang kurang dari 3 dan lebih besar dari 11 (Gilles, 2007). Virus relatif resisten terhadap panas, kering dan perubahan pH. Virus mengalami inaktivasi secara fisis, yang tergantung pada media tempat berkembangnya virus. Pada cairan biakan sel, virus menjadi inaktif selama 10 menit pada suhu 60°C, sedangkan di dalam darah tanpa fibrin virus tetap stabil setelah selama 30 menit dengan suhu 68°C. Pada derajat keasaman (pH) 5-10 virus tetap stabil (Subronto, 2003). Gejala hog cholera akut yang umumnya dilaporkan antara lain konjungtivitis, demam tinggi, anoreksia, diare yang encer berlendir dan berwarna abu-abu kekuningan, batuk dan sesak nafas. Pada akhir perjalanan penyakit babi menunjukkan gejala eritrema (di telinga, moncong, abdomen, dan paha sebelah dalam), ataksia dan paresis, kejang-kejang, dan kematian dalam waktu 5 sampai dengan 15 hari setelah gejala klinik mulai tampak (Gregg, 2002; Artois et al., 2002; Fenner et al., 2003; OIE, 2008). Gejala yang konsisten adalah anoreksia, demam (40 – 41,30C), konjungtivitis, eritrema (telinga, mulut, abdomen, dan ekor), dispnea, dan diare. Sedangkan gejala saraf, seperti inkoordinasi/ tremor/ gerakan mengayuh sepeda tidak selalu tercatat serta bervariasi antar kasus (Wirata et al., 2010). Pada kasus kronis umumnya babi terlihat kerdil, pertumbuhan badan terhambat, terdapat lesi pada kulit dan apabila babi dalam posisi berdiri biasanya badan belakang melengkung dan bertahan sampai lebih 100 hari. Induk babi yang 11 sedang bunting bila terinfeksi virus hog cholera dapat menyebabkan keguguran, mumifikasi, malformasi, lahir mati, lahir dalam keadaan lemah dan tremor (Joko dan Indah, 2000). 2.2 Vaksinasi Hog Cholera Vaksinasi adalah pemberian antigen untuk merangsang sistem kekebalan menghasilkan antibodi khusus terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri dan atau protozoa. Vaksinasi merupakan salah satu program penting yang akan menentukan keberhasilan suatu pengendalian penyakit. Negara yang mengalami enzootic hog cholera harus melaksanakan program vaksinasi dan stamping out. Vaksinasi terhadap anak babi yang induknya belum pernah diberikan vaksin, dilakukan pada umur 14 sampai dengan 21 hari. Sedangkan untuk anak babi yang induknya sudah pernah diberikan vaksin, vaksinasi dilakukan pada umur 30 hari (Dharmawan et al., 2013). Akan tetapi menurut Vandeputte (2001), vaksinasi pada anak babi yang berasal dari induk yang sudah divaksinasi dianjurkan berkisar antara umur 7–9 minggu. Program vaksinasi diharapkan dapat memberikan perlindungan pada babi, terutama pencegahan penyakit hog cholera. Efek perlindungan pada babi diharapkan dapat dicapai dalam waktu yang sesingkat mungkin, yang umumnya dicapai dalam waktu 2 minggu. Selain itu, program vaksinasi diharapkan dapat mengurangi wabah penyakit. Vaksinasi ulangan setidaknya diberikan setiap 6 bulan sekali, sedangkan vaksinasi dilarang pada daerah yang dinyatakan bebas tehadap penyakit hog cholera. 12 Subroto (2003), menyatakan bahwa di Indonesia telah dilakukan vaksinasi massal secara rutin dengan menggunakan vaksin yang telah dilemahkan melalui pasage berulang-ulang pada kelinci (galur C) atau dilemahkan melalui biakan sel secara berulang-ulang (galur Japanese GPE dan French Triverval). Vaksin-vaksin tersebut, terutama vaksin galur C, memacu kekebalan sejak 1 minggu pasca vaksinasi dan berlangsung selama 2 sampai dengan 3 tahun. Perlindungan vaksinasi jangka pendek, yakni untuk imunitas jangka waktu 3 minggu, dapat digunakan subkutan serum anti hog cholera babi. Babi yang diimunisasi dengan serum ini dapat tahan terhadap infeksi virus hog cholera paling sedikit selama 3 minggu setelah disuntik (Sihombing, 2006). Vaksin aktif strain Cina (C-strain) adalah jenis vaksin yang paling banyak digunakan. Strain ini diperoleh dari isolat virus yang virulen yang diatenuasi pada kelinci. Vaksin strain cina sangat efektif menginduksi kekebalan dengan cepat dan bertahan lama. Kekebalan terjadi 1 minggu setelah vaksinasi, dan bertahan selama 2-3 tahun (Van Oirchot, 1986). Hasil pengamatan Biront et al., (1987) menunjukkan bahwa antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi mampu melindungi babi dari ancaman hog cholera tetapi juga mampu mencegah replikasi virus di dalam tonsil atau tubuh babi. Hal tersebut berarti vaksinasi dapat memotong rantai penyebaran virus. Anak babi dari induk yang divaksin terlindungi tehadap infeksi hog cholera selama 5-8 minggu (Terpstra dan Robijns, 1977). 13 2.2.1. Vaksin Hog Cholera Strain C tipe A Vaksin strain C tipe A adalah vaksin hog cholera yang merupakan vaksin hidup modifikasi untuk pencegahan terhadap infeksi virus hog cholera. Vaksin aktif ini diproduksi dari teknologi kultur jaringan. Vaksin berasal dari cairan biakan sel yang relatif bebas dari jaringan yang tidak diinginkan dan bahan protein lain yang umumnya dapat memperpanjang keparahan atau reaksi alergi. Setiap dosis mengandung virus aktif hog cholera strain Chinese 100 PVD 50 (ASOHI, 2009). Vaksin dikemas dalam bentuk serbuk (beku-kering) serta dilengkapi dengan aquabidest steril non pyogenik yang berfungsi sebagai pelarut. 2.2.2. Vaksin Hog Cholera Strain C tipe B Vaksin strain C tipe B adalah vaksin hog cholera yang merupakan vaksin hidup modifikasi untuk pencegahan terhadap infeksi virus hog cholera. Vaksin aktif ini diproduksi dari teknologi kultur sel heterolog yang berasal dari sel ginjal domba. Isi rata-rata protein eksternal dari kultur sel tidak lebih dari 0,37 mg per dosis vaksin. Risiko reaksi anafilaksis pada pemakaian vaksin ini yang hampir tidak ada. Setiap dosis mengandung virus hog cholera strain China 105,5TCID50 (ASOHI, 2009). Vaksin dikemas dalam bentuk serbuk (beku-kering) serta dilengkapi dengan aquabidest steril non pyogenik yang berfungsi sebagai pelarut. 2.3 Antibodi Antibodi merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan 14 antigen tersebut (Emantoko, 2001). Ada dibedakan berdasarkan cara memperolehnya. Berdasarkan beberapa mempertahankan cara macam dan mempertahankan imunitas yang berdasarkan cara diri dari penyakit, imunitas dibedakan menjadi imunitas nonspesifik dan imunitas spesifik. Adapun berdasarkan cara memperolehnya dibedakan menjadi kekebalan aktif dan kekebalan pasif. 2.3.1. Antibodi Maternal Antibodi maternal merupakan antibodi yang diturunkan dari induk babi kepada anaknya, dengan kata lain merupakan imunitas pasif. Antibodi maternal pada anak babi yang induknya divaksin secara baik akan bertahan sampai umur 7 minggu (Lipowski et al., 2000). Antibodi maternal akan berkurang (menurun) secara periodik. Pada saat antibodi maternal rendah (di bawah standar protektif) peluang anak babi terinfeksi penyakit semakin besar. Oleh karena itu perlu dilakukan vaksinasi untuk menggertak pembentukan antibodi dalam tubuh babi yang protektif (Indriani dan Darminto, 2001). Akan tetapi vaksinasi yang dilakukan pada saat antibodi maternal masih tinggi (protektif) dalam darah sirkulasi, artinya belum secara total dikatabolisme, maka vaksin yang diberikan akan menjadi percuma karena vaksin akan dinetralisir oleh antibodi maternal (Putra et al., 2010). 2.3.2. Pembentukan Antibodi Leukosit yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh terdiri atas fagosit dan limfosit. Limfosit terdiri dari dua jenis, yaitu limfosit B dan limfosit T. 15 Limfosit B membentuk sistem imunitas humoral yaitu imunitas dengan cara membentuk antibodi yang berada di darah dan limfa. Limfosit B berfungsi secara spesifik mengenali antigen asing serta berperan membentuk kekebalan terhadap infeksi bakteri. Limfosit B mampu membentuk sel memori sehingga berfungsi untuk membentuk kekebalan tubuh dalam jangka panjang. Sedangkan limfosit T mengalami pematangan di timus dan membentuk sistem imunitas terhadap infeksi bakteri, virus, jamur, sel kanker, serta timbulnya alergi. Limfosit T tidak menghasilkan antibodi akan tetapi secara langsung dapat menyerang sel penghasil antigen (Soeroso, 2007). Rendahnya titer antibodi anak babi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti strain dan dosis vaksin, status kekebalan asal induk (maternal antibody) saat vaksinasi. Selain itu faktor nutrisi sangat berpengaruh terhadap respon antibodi (Putra et al., 2010).