RESPONS INDONESIA DALAM PERSAINGAN MILITER DI ASIA TENGGARA Yoan Pellokila1 Abstract A few decades, Southeast Asia region saw a massive military build-up. To some extent it is motivated by growing external and internal threats facing by countries in the region, as well as steady economic growth. Amongst countries such as Malaysia, Singapore, Vietnam, and Thailand have been undergoing military modernisation through military procurement. This paper seeks to find out how does Indonesia respond to the military modernisation if not military competition in the region. This paper argues that Indonesia has been conducting military modernisation through so-called Minimum Essential Forces Policy. Among other Indonesia’s important responses are military cooperation and procurement from many countries, conducting joint military operation, and strengthening national military industry. Keywords: Military competition, Southeast Asia, Indonesia Pendahuluan Para analis Asia Tenggara menunjukkan bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara melakukan modernisasi kekuatan militer dalam berbagai variasi. Andrew Tan, misalnya mensinyalir bahwa sejak pertengahan 2000an tren modernisasi ini dapat dilihat dari meningkatnya kecanggihan teknologi, sumber daya yang semakin beragam, pengenalan kapabilitas baru, penekanan pada perlindungan sumber daya alam (khususnya sumberdaya maritim) dan tren perlombaan akuisisi senjata (Tan, 2004; 24). Richard A. Bitzinger, seorang peneliti pertahanan dan keamanan Asia Pasifik dan koordinator Military Transformations Program di S.Rajaratnam School of International Studies menggambarkannya dengan faktor penggerak (driver) dan faktor yang memampukan (enabler). Faktor penggerak ini meliputi adanya ketegangan regional, kebutuhan proyeksi kekuatan baru, pergeseran aktivitas militer Amerika Serikat ke Asia dan semakin meningkatnya kehadiran China di Laut China Selatan. Sedangkan faktor yang memampukan Asia melakukan modernisasi militernya adalah meningkatnya anggaran pertahanan negara-negara ini dan sisi penawaran ekonomi yaitu “pasar pembeli” untuk persenjataan (Dikutip dari Simatupang, Alumnus Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta. 1 Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 81 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara 2015). Pendapat Bitzinger dan Tan ini mengafirmasi bahwa pertumbuhan ekonomi, kewajiban pengawasan dan perlindungan ZEE, ketegangan antar negara di kawasan, keamanan dalam negeri, meluasnya cakupan keamanan regional dan gengsi (menjaga kehormatan/ kewibawaan) merupakan faktor dibalik pembangunan kekuatan bersenjata di kawasan ini. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara memang memiliki arsitektur kerja sama dan instrumen yang bisa mencegah terjadinya konflik terbuka dan benturan kekuatan di kawasan ini yakni kerja sama yang digerakkan oleh ASEAN. Namun demikian tidak pernah ada garansi bahwa konflik dan benturan kekuatan itu tidak terjadi. Peluang adanya perang terbuka tetap ada sebagai konsekuensi logis dari perbedaan antar negara-negara Asia Tenggara; mulai dari sistem politik, segi ideologi, kepentingan, kebijakan ekonomi, serta strategi dan kebijakan nasionalnya masing-masing negara anggota ASEAN. Di samping itu, bahwa di antara negaranegara di kawasan ini masih ada yang memiliki akar konflik, seperti sengketa perbatasan, kompetisi politik dan rivalitas, benturan kepentingan ekonomi dan energi, dan lain-lain. Juga ada negara yang di masa lalu pernah terlibat dalam konflik bahkan peperangan dengan negara lain di kawasan ini. Sebagai gambaran adanya pembangunan militer yang intensif di kawasan ini antara lain, Vietnam yang memodernisasi persenjataan utamanya dengan 97 persen dibeli dari Rusia pada 2007 sampai 2011 yang diantaranya berupa fregat (kapal perang ukuran menengah), pesawat tempur dan sistem rudal pantai Bastion (Gurov, 2015). Hal ini pun berimplikasi terhadap negara tetangga vietnam yaitu Thailand yang meningkatkan 82 Yoan Pellokila belanja militernya dari 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2011 menjadi 1,8 persen tahun 2016. Alutsista yang banyak dipesan adalah sistem canggih pertahanan seperti pesawat tempur, helikopter militer, kendaraan lapis baja, alat-alat pengintai, kapal perang dan kapal selam (Simatupang, 2015). Filipina, yang bergantung pada Amerika Serikat untuk 90 persen persenjataan mereka, berencana menganggarkan $1,8 miliar di tahun 2015 untuk meningkatkan mutu persenjataan selama lima tahun setelah melihat ancaman yang meningkat dari Tiongkok terkait konflik Laut Cina Selatan yang berfokus pada angkatan laut dan angkatan udara yang dianggap kurang memadai seperti pembelian jet tempur dari Korea Selatan dan kapal Landing Platform Dock (kapal pendarat) dari Indonesia (O’Callahan, 2015). Bahkan Singapura, negara kecil ini telah menjadi negara terbesar kelima di dunia dalam urusan impor senjata. Di tahun 2012 saja, Singapura telah mengalokasikan US$ 9,7 miliar untuk belanja pertahanan. Ini merupakan 24 persen dari anggaran nasionalnya. Beberapa pembelian Negara ini yaitu membeli jet tempur dari Amerika Serikat dan kapal selam dari Swedia (Syah, 2012). Di Indonesia sendiri sistem keamanan negara sudah diatur dalam undang-undang dimana pertahanan negara merupakan salah satu elemen pokok karena menyangkut kepentingan untuk melindungi warga negara, wilayah, dan sistem politiknya dari ancaman negara lain. Berdasarkan data yang dirilis oleh Markas Besar Tentara Nasional Indonesia tahun 2010, 70 persen alutsista Indonesia berada dalam kondisi yang sudah tua, atau minimal berusia 20 tahun. Kendalanya lainnya ada pada pemeliharaan dan perawatan yang kadang kala terbentur pada ketersedian suku cadang walaupun Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara anggarannya sudah ada dalam perencanaan. Selain itu, ancaman keamanan regional yang semakin kompleks dalam berbagai bentuk gangguan baik langsung, tidak langsung, terlihat maupun tidak terlihat terhadap kedaulatan, basis-basis vital regional (ekonomi, militer, dan informasi), penduduk, teritorial, ataupun segala bentuk usaha serangan secara konvensional, nonkonvensional, maupun asimetrik terhadap suatu bangsa dalam skala regional. Karena itu, upaya peningkatan kemampuan pertahanan melalui kebijakan, strategi, dan perencanaan pertahanan yang mengarah kepada pembentukan minimum essential force mesti disesuaikan dengan kemajuan zaman serta rintangan ke depan yang menyangkut ancaman negara dan potensi bencana alam. Menanggapi hal tersebut dan seiring dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang makin membaik, maka alokasi anggaran untuk pertahanan Indonesia pun mengalami peningkatan meski masih relatif kecil dibandingkan negara-negara ASEAN lain dalam hal belanja modal persenjataan. Kebijakan modernisasi alat utama sistem persenjataan diantaranya dengan pembelian kapal perang kelas Sigma dari Belanda dan rudal anti kapal dari Tiongkok. Tak hanya membeli persenjataan baru, Indonesia selama 2011 juga telah menjajaki dan menyepakati sejumlah hibah alat utama sistem senjata yang ditawarkan seperti pesawat tempur F-16 Fighting Falcon. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka paper ini akan membahas mengenai bagaimana kebijakan pertahanan Indonesia dalam menyikapi persaingan persenjataan di kawasan Asia Tenggara. Perkembangan kekuatan militer di Asia Tenggara Ancaman keamanan regional merupakan segala bentuk gangguan baik langsung, Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila tidak langsung, terlihat maupun tidak terlihat terhadap kedaulatan suatu bangsa dalam skala regional. Ancaman keamanan dapat berkembang semakin besar dan kompleks hingga mengganggu stabilitas kawasan. Asia Tenggara tidak terlepas dari bahaya ancaman keamanan regional yang dapat mengganggu stabilitas kawasannya, misalnya berkurangnya intensitas hubungan dan kerjasama antar negara baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, sosial dan budaya, dan bidang lainnya. Dalam konteks stabilitas keamanan regional, sejumlah isu keamanan terdapat dalam negara-negara Asia Tenggara baik isu keamanan tradisional (military security) dan isu keamanan non tradisional (nonmilitary security). Isu keamanan tradisional mencakup sengketa wilayah perbatasan, perlombaan persenjataan, dan proliferasi senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, Isu keamanan non tradisional seperti terorisme, narkotika, perompakan, human trafficking, Illegal fishing, illegal logging, hingga gerakan separatis. Permasalahan ini menyebabkan setiap negara berupaya untuk melakukan peningkatan kekuatan militer yang dipandangnya dapat digunakan untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut (Khairendi, 2014; 210). Peningkatan kemampuan persenjataan negara-negara anggota ASEAN salah satunya disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mempertemukannya dengan pemasok senjata yang melihat kawasan Asia Tenggara sebagai pasar untuk menjual produk - produk mereka. Pada kurun waktu 2013, sebagian besar negaranegara Asia Tenggara meningkatkan belanja pertahanannya sehingga membuat Asia Tenggara merupakan pasar yang menarik bagi industri-industri pertahanan Internasional. Pertumbuhan belanja pertahanan menopang program Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 83 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara modernisasi pertahanan di negara-negara besar Asia Tenggara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand. Pertumbuhan ekonomi yang kuat ditambah dengan isu keamanan internal maupun perselisihan regional menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan belanja pertahanan di Asia Tenggara. Berikut tabel presentase besaran belanja regional negara – negara di Asia Tenggara tahun 2013: Yoan Pellokila ditujukan untuk menghadapi ancaman, semakin kuat kemampuan ofensif negara tersebut dan semakin besar kemampuan penangkalan terdapat ancaman yang ada. Singapura Kebijakan pertahanan Singapura bertujuan untuk menjamin negeri itu menikmati perdamaian dan stabilitas dan melindungi kedaulatan dan keutuhan wilayah negeri itu. Untuk mencapai tujuan tersebut, diplomasi dan penangkalan merupakan Diagram.1 Sumber : Australian Department of Defence (DOD). (2014). South East Asia Regional Overview., Defence Economic Trends In The Asia - Pasific 2014, DIO Reference Aid 14–004, April.hal.6 Nilai Kedaulatan dan kepentingan politik yang mengarah pada potensi konflik laut dan maraknya konflik wilayah teritorial antar negara di kawasan memicu sikap negara, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menggunakan pendekatan militeristik dan mulai mengembangkan kemampuan persenjataan dan militernya. Pengembangan kekuatan militer terlihat dari besarnya belanja militer yang ditujukan untuk melakukan balancing kekuatan oleh negara – negara di kawasan Asia Tenggara. Pengembangan militer menjadi salah satu langkah bagi beberapa negara di kawasan untuk mendukung kesiapan operasi militer pasukan dalam upaya menangkal ancaman. Semakin besar belanja militer yang 84 dua pilar dalam kebijakan pertahanan Singapura. Singapura dikenal merupakan salah satu negara dengan sistem pertahanan yang terbaik di dunia. Setiap warga negara Singapura yang telah dewasa dipastikan telah mengikuti program National Service dan merupakan bagian dari komponen cadangan pertahanan (Ali, 2015). Singapura, sebagai negara kecil dikelilingi tetangga-tetangga yang lebih besar di kawasan Asia tenggara mempunyai perasaan kerentanan yang kemudian mendorong pemerintah Singapura menjadi negara dengan anggaran terbesar di kawasan Asia Tenggara. Singapura terus menjaga peningkatan anggaran pertahanan yang stabil. Anggaran pertahanan Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Singapura 2014 diumumkan senilai $12.56 miliar SGD ($9.93 miliar USD), naik 3,2 persen dari anggaran pengeluaran pada 2013 (Chow, 2015). Menteri Pertahanan Ng Eng Hen di depan Parlemen Singapura mengatakan bahwa alasan peningkatan anggaran yang stabil adalah upaya Singapura dalam pembangunan kemampuan pertahanannya sehingga mencapai kemampuan pencegahan strategis, dan juga untuk menghindari kondisi tidak siap menghadapi potensi resiko ancaman yang tidak diperkirakan dan bisa terjadi kapan saja (Chow, 2015). Di bulan Desember 2013, Singapura menendatangani kontrak dengan galangan kapal Jerman, ThyssenKrupp Marine Systems, untuk medatangkan dua kapal selam tipe 218SG. Singapura juga mengumumkan untuk membuat delapan kapal patrol baru yang akan menggantikan kapal patrol lama dari kelas Fearless, yang akan didatangkan bertahap mulai tahun 2016. Sebelumnya, Di bulan September tahun 2013, pemerintah Singapura mengumumkan rencana untuk mengakusisi sistem rudal pertahanan udara Aster-30 dan juga untuk memodernisasi armada pesawat tempur F-16 mereka. Singapura juga berencana mengganti pesawat tanker KC-135R dengan pesawat tanker multiperan Airbus A330 atau Boeing 767 (Australian DOD, 2014; 23). Industri militer di Singapura itu pun sangat maju, berdasarkan data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Singapore Technologies Engineering menempati peringkat 49 di antara perusahaan-perusahaan senjata terbesar di dunia pada tahun 2013, dengan nilai penjualan mencapai sekitar Rp 26 triliun. Dari 100 produsen senjata terbesar dunia (tidak termasuk Cina yang tidak ada datanya), 47 perusahaan diantaranya adalah perusahaan AS, 27 perusahaan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila Eropa, dan 9 perusahaan Rusia (SIPRI, 2015). Dalam daftar 50 perusahaan senjata terbesar dunia itu, hanya ada tiga perusahaan senjata dari negara-negara berpenduduk sedikit yang mengungguli ST Engg, yaitu Israel Aerospace Industries (peringkat 37), Elbit Systems Israel (35) dan Saab Swedia (28). Beberapa produk alutsista Singapura adalah: meriam Pegasus, senjata artileri otomatis Primus, kendaraan tempur Bionix, dan pesawat tanpa awak Hermes. Tidak diragukan, industri senjata Singapura telah mampu membangun, mengembangkan, mempertahankan, dan menempatkanya pada posisi industri alutsista besar dunia (Darwanto, 2015). Malaysia Dimulai dengan program PERISTA (Perkembangan Istimewa Angkatan Tentera) pada tahun 1979, Malaysia bertekad untuk membangun dan memodernisasi kemampuan konvensional angkatan bersenjatanya yang di tandai dengan pembelian pesawat tempur F-18 Hornet dari Amerika Serikat dan Mig 29 dari Russia karena terdorong dengan kebijakan Singapura dan Indonesia yang lebih dahulu mengakusisi pesawat tempur F16 dari Amerika. Namun krisis ekonomi tahun 1997 membuat program modernisasi angkatan bersenjata Malaysia tertahan (Tan, 2004; 9). Di tahun 2002, menteri pertahanan Najib Tun Razak memgumumkan akan melanjutkan program modernisasi dengan menganggarkan dana satu Milyar Ringgit untuk membeli 48 Tank T-91 dari Polandia dan diikuti dengan pembelian senapan serbu Styer serta kendaraan tempur lapis baja (IFV) dari Turki. Pada bulan Mei 2003, Malaysia memperkuat armada angkatan udaranya dengan memesan 18 Sukhoi SU30 MKM senilai enam miliar Ringgit dari Rusia yang dikirim ke Malaysia secara Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 85 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara bertahap dari tahun 2007 sampai tahun 2009 (Tan, 2004, 10). Sukhoi SU-30 MKM ini disebut – sebut merupakan varian Sukhoi tercanggih di Asia Tenggara. Tidak hanya di armada udara dan armada darat, proses modernisasi juga terjadi di armada laut yaitu pengadaan dua kapal selam Scorpene dari Prancis dengan kontrak senilai 3,4 miliar Ringgit Malaysia termasuk dengan program pelatihan awak kapal selam. Selain kapal selam, sebelumnya Malaysia juga sudah mendatangkan 2 unit kapal fregat kelas Lekiu dari Inggris yang dibangun berdasarkan desain YARROW F2000. Kedua fregat tersebut adalah KD Jebat (29) dan KD Lekiu (30). Fregat - fregat ini dipersenjatai dengan rudal permukaanpermukaan Exocet MM40 SSM dan rudal anti pesawat udara Sea Wolf dengan sistem peluncur tegak (VLS). Fregat ini juga mampu menampung sebuah helikopter Westland Super Lynx 300 buatan Inggris. Tidak hanya melakukan pembelian, galangan kapal lokal Malaysia, Boustead Naval Shipyard bekerjasama dengan galangan kapal jerman, German Naval Group juga sukses membangun kapal patroli kelas Kedah. Boustead Naval Shipyard juga di tunjuk oleh pemerintah Malaysia untuk membuat kapal perang masa depan Malaysia. Kontrak senilai 9 miliar Ringgit di keluarkan Kementrian Pertahanan Malaysia kepada Boustead Naval Shipyard untuk membangun enam Kapal Patroli Generasi Kedua (Second Generation Patrol Vessel /SGPV) sebagai bagian dari program Kapal Perang Litoral (Littoral Combat Ship/LCS) dengan kemampuan kombatan untuk Tentera Laut Diraja Malaysia. Selain pengadaan kapal perang, Malaysia juga membangun sejumlah pangkalan baru Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM), seperti di Lumut dan Sabah. Untuk memperkuat pertahanan maritim di sekitar Laut Sulu, Laut 86 Yoan Pellokila Sulawesi dan Laut Cina Selatan, Malaysia mengembangkan pangkalan Angkatan Laut di Teluk Sepanggar, Sabah, yang menjadi pangkalan induk kapal selam. Pembangunan sejumlah pangkalan TLDM di wilayah Sabah menandakan adanya perluasan strategi maritim Malaysia, yang semula hanya berfokus terhadap keamanan Selat Malaka, kini melebar ke Laut Natuna, Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Perluasan strategi maritim hingga ke ketiga perairan dilatarbelakangi oleh isu politik keamanan dan ekonomi. Dari isu politik keamanan, wilayah Serawak dan Sabah merupakan bagian integral dari Malaysia, sehingga salah satu tugas pokok TLDM adalah menjamin kedaulatan wilayahnya. Perairan Laut Sulu dan Laut Sulawesi merupakan kawasan rawan aktivitas terorisme yang berpusat di Pulau Mindanao, Filipina yang berimplikasi negatif terhadap keamanan Malaysia di wilayah Sabah dan sekitarnya. Sedangkan isu ekonomi tak lepas dari banyaknya potensi kandungan minyak dan gas bumi di Blok Ambalat yang membuat Malaysia harus terlibat sengketa dengan Indonesia. Vietnam Vietnam menyadari bahwa dihadapkan dengan tantangan keamanan yang lebih beragam dan kompleks, seperti masalah di Laut Tiongkok Selatan yang memiliki dampak serius pada kegiatan maritim Vietnam, dan juga ancaman non-tradisional, seperti pembajakan dan terorisme. Selama era Perang Dingin, Uni Soviet adalah donor terbesar bantuan untuk Vietnam. Setelah runtuhnya Uni Soviet, Vietnam dengan cepat memperluas hubungan diplomatik, termasuk dengan Amerika Serikat. Dalam beberapa tahun terakhir, Vietnam memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat di bidang militer melalui latihan bersama dengan Angkatan Laut AS dan Angkatan Udara Amerika Serikat. Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Pada bulan September 2011, kedua negara menandatangani nota kesepahaman kerja sama antara kedua kementerian pertahanan. Pada bulan Desember tahun 2013, AS Menteri Luar Negeri John Kerry mengunjungi Vietnam, mengumumkan dukungan dari 1,8 juta Dollar dalam pengembangan kapasitas maritim. Vietnam juga meningkatkan hubungan bilateral dengan Rusia dalam kemitraan strategis yang komprehensif dan untuk memperkuat kerjasama di bidang pertahanan. Pada Maret 2013, Menteri Pertahanan Federasi Rusia, Sergey Shoygu, mengunjungi Vietnam dan kedua belah pihak sepakat untuk bersamasama membangun fasilitas pemeliharaan kapal perang di teluk Cam Ranh. Selanjutnya, ketika Presiden Vladimir Putin mengunjungi Vietnam pada bulan November tahun yang sama, ia setuju bahwa Rusia akan memberikan dukungan untuk pelatihan Tentara Rakyat Vietnam dan Angkatan Laut Rakyat Vietnam. Dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara juga mengembangkan kerjasama di sektor energi, seperti pembangkit listrik tenaga nuklir. Vietnam juga hampir sepenuhnya tergantung pada Rusia untuk peralatan pertahanan. Pada rentang waktu 2004-2013. Vietnam adalah negara dengan peningkatan anggaran terbesar yaitu 113 persen (Defense of Japan, 2013; 70). Peningkatan anggaran pertahanan secara signifikan dilakukan oleh Vietnam yang secara jelas dapat dimengerti jika dipandang sebagai respon terhadap kebijakan Tiongkok yang menunjukan sikap semakin berkehendak untuk menguasi Laut China Selatan baik secara diplomasi dan disertai dengan kekuatan militernya yang terus dibangun. Posisi Vietnam sebagai pihak yang mengklaim Laut China Selatan juga semakin mendorong Vietnam untuk memodernisasi Angkatan Lautnya. Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila Ekspansi Tiongkok telah menjadi salah satu alasan utama mengapa Vietnam mempercepat modernisasi kekuatan lautnya. Kebijakan Vietnam di matra lautnya dilakukan dengan pembelian alutsista seperti kapal selam tipe Kilo-class dari Rusia sebanyak 6 unit. Kapal selam tipe Kiloclass dikenal sebagai kapal selam dengan daya senyap dan daya hancur yang tinggi serta dilengkapi perangkat anti deteksi. Kerjasama angkatan laut Vietnam dengan Rusia dilanjutkan dengan pembelian sistem pertahanan pantai Bastion–P dan kapal perang kelas Gepard disertai dengan rudal anti kapal Kh-35 Uran (SIPRI, 2015). Selain dengan Rusia, Vietnam juga bekerjasama dengan perusahaan pembuat kapal perang dari Belanda, Damen Schelde Naval Shipbuilding, untuk membuat empat korvet SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modular Approach). Untuk matra udara, pada tahun 2012, Angkatan Udara Vietnam tercatat memiliki setidaknya 24 pesawat Su-30 MK2V dan sekitar 15 pesawat Su-27 SK/UBK. Untuk Su-30MK2V ini adalah pesawat yang hampir sama dengan pesawat Su-30MK2 yang dimiliki Indonesia. Gabungan antara 24 SU-30 MK2V dan 15 Su-27 SK/UBK akan menghasilkan kekuatan sekitar 39 Sukhoi series, tentunya memberikan efek deterrent yang dahsyat. Pesawat-pesawat ini merupakan First Class Jet Fighter di Angkatan Udara Vietnam. Selain pesawat itu, kekuatan AU Vietnam masih ditambah dengan kehadiran sekitar 144 pesawat Mig-21 dan sekitar 53 pesawat Sukhoi-22. Kedua jenis pesawat ini sudah termasuk kategori “tua”, namun jumlahnya yang begitu banyak tentunya juga akan memberikan efek gentar yang tidak bisa diabaikan (http://analisismiliter.com/artikel/ part/15/Peta_Kekuatan_Angkatan_Udara_di_ Asia_Tenggara_Part_1). Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 87 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Thailand Penguatan militer Thailand ditandai dengan dianggarkannya dana senilai 3 miliar Baht untuk membeli sistem radar pertahanan udara dan sistem komunikasi yang di tempatkan di perbatasan dengan Myanmar dan Kamboja. Dilanjutkan dengan pembelian 2 kapal Frigate dari Inggris dengan dana sebesar 4 miliar Baht yang dilakukan dengan imbal-dagang komoditas pertanian. Pada tahun 2005, Thailand berencana membeli sejumlah senjata sebagai respon terhadap gangguan keamanan yang dilakukan oleh separatis di propinsi Thailand selatan. Dengan menganggarkan dana 640 juta Baht Thailand berencana membeli sejumlah persenjataan dari Amerika Serikat termasuk senapan serbu M16. Selain itu militer Thailand juga mengumumkan bahwa ada keinginan untuk mengganti peralatan yang lama dengan yang baru. Thailand juga mengumumkan rencana sepuluh tahun dalam jangka waktu tahun 2006 – 2014, yang terdiri dari perbaikan senjata yang rusak, pembelian senjata baru, dan modernisasi peralatan militer (National Institute for Defence Studies, 2007; 160). Pada tahun 2011, Thailand mengumumkan kebijakan pertahanan dan keamanannya, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan, militer mengembangkan industri pertahanan, mempromosikan kerjasama yang kooperatif dengan negara – negara tetangga serta memperkuat kemampuan pertahanan dalam menghadapi ancaman tradisional seperti masalah sengketa perbatasan dan non-tradisional seperti serangan dari kelompok radikal yang sering terjadi di Thailand selatan. Hal ini ditandai dengan pembelian peralatan militer seperti 49 unit MBT (Main Battle Tank) baru T-84 Oplot-M dari Ukraina senilai 7.155 miliar bath, Helikopter tempur Bell AH-1F Cobra dan 88 Yoan Pellokila helicopter angkut Bell-214 dari Amerika Serikat serta sejumlah kendaraan taktis dari Afrika Selatan (Defense of Japan,2013; 69). Angkatan udara Thailand memiliki armada udara yang sebagian besar merupakan buatan negara-negara barat, berbeda dengan Malaysia dan Indonesia, yang memiliki kombinasi barat dan timur. Kekuatan udara Thailand sendiri cukup disegani karena memiliki jumlah jet tempur yang banyak, bahkan jauh lebih banyak dari TNI AU saat ini. Tercatat saat ini, sebagai First Class Jet Fighter mereka memiliki 18 pesawat JAS-39 Grippin dari Swedia. Pesawat ini masih tergolong baru. Pesawat ini memang tidak termasuk dalam kategori Heavy Jet Fighter sekelas Su-30MKM Malaysia, Su-27SKM/Su30MK2 Indonesia, F-15 SG Singapura maupun Su-27SK/Su-30MK2V Vietnam. Namun kualitasnya cukup disegani karena dilengkapi radar dan senjata yang cukup mumpuni. Selain Gippen, Thailand memiliki sekitar 56 pesawat F-16 A/B yang sebagian sudah di upgrade setara Block 52. Tentunya jumlah yang sedemikian banyak akan memberikan efek gentar yang menggetarkan. Dibandingkan dengan Indonesia yang hanya 14 F-16 A/B dan C/D, tentunya jumlah F-16 Thailand ini cukup disegani. Selain itu mereka juga masih memiliki sekitar 30 F-5. Ditambah lagi beberapa pesawat lainnya seperti Alpha Jet dan L-39ZA yang difungsikan sebagai pesawat latih namun juga memiliki perang sebagai pesawat serang ringan (http://analisismiliter.com/artikel/part/15/ Peta_Kekuatan_Angkatan_Udara_di_Asia_ Tenggara_Part_1). Thailand sudah memiliki pesawat peringatan dini (AEW) yaitu 2 pesawat Saab 340 dari Swedia yang merupakan satu paket pembelian dengan JAS-39 Grippen. Kehadiran 2 buah pesawat peringatan dini Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara ini setidaknya sudah memberikan tambahan kekuatan bagi angkatan udara Thailand. Pesawat ini akan memberikan peringatan jika ada bahaya yang mengancam sehingga pesawat lainnya bisa menyiapkan tindakan terhadap semua ancaman tersebut. Sedangkan senjata untuk pesawatnya, Thailand cukup memiliki arsenal yang mumpuni. Diantaranya merekan memiliki rudal AIM-120C5 sejenis dengan yang dimiliki Malaysia namun masih kalah dari rudal AIM-120C7 milik Singapura. Selain itu, AU Thailand juga memiliki rudal AIM-9 Sidewinder, rudal IRIS-T dari Jerman dan Phyton-4 dari Israel. Kehadirannya rudalrudal cukup memberikan efek gentar di kawasan. Thailand saat ini belum memiliki alutsista kapal selam, namun Thailand punya rencana serius untuk segera memiliki alutsista berupa kapal selam canggih. Thailand bahkan sudah mengirimkan banyak personel militer mereka untuk belajar ke beberapa negara. Secara resmi, angkatan laut Thailand meluncurkan pusat pelatihan kapal selam dengan mengirim petugas ke Korea Selatan dan Jerman untuk program pelatihan (Nugroho, 2015). Tujuan dari pengiriman personil militer ini adalah agar Thailand memiliki Sumber daya manusia (SDM) yang mencukupi ketika mereka punya alutsista kapal selam. Selain mempersiapkan SDM, Thailand juga mempersiapkan fasilitas dan infrastruktur untuk kapal selam, meski mereka belum punya satupun alutsista kapal selam. Langkah ini diambil pemerintah Thailand agar mereka tidak tertinggal dari negara tetangganya yang sudah terlebih dahulu memiliki kapal selam. Kementerian Pertahanan Thailand mengharapkan pengadaan dua sampai tiga kapal selam dalam anggaran 2016. Menteri Pertahanan Thailand yang merupakan Pensiunan Angkatan Darat, Jenderal Prawit Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila Wongsuwon sudah mendukung rencana tersebut, dan menunggu pertimbangan biaya. Diantara kapal selam canggih yang sudah ditawarkan ke Thailand seperti Kapal selam dari China, Rusia dan Jerman, pemerintah Thailand akhinya memilih untuk mengakusisi 3 kapal selam buatan China dengan kontrak senilai 1,1 miliar Dollar (Reuter, 2015). Fokus pertahanan dan keamanan Thailand saat ini adalah memelihara keamanan internalnya karena meningkatnya aktivitas terorisme, demonstrasi massal dan instabilitas internal. Selain masalah internal, ketegangan masalah perbatasan antara Malaysia, Kamboja dan Myanmar juga menjadi perhatian negara ini. Di lain pihak, keamanan Laut Andaman juga diperketat. Imigran ilegal, narkoba dan pengungsi yang melintasi perbatasan adalah isu-isu khusus yang menjadi perhatian Thailand. Thailand dan Kamboja juga bermasalah dengan perbatasan maritim di Teluk Thailand yang dipercaya mengandung sumberdaya gas dan mineral dan juga sengketa terhadap Kuil Preah Vihear. Respons Indonesia Melalui Kerjasama Pengadaan Alutsista Pengadaan alutsista TNI sudah diatur dalam Keppres Nomor 1 dan Keppres Nomor 15 Tahun 2005 untuk pengadaan di atas Rp 50 miliar atau bila menggunakan kredit ekspor. Dalam pengaturan pembelian alutsista, fungsi TNI adalah sebagai pengguna (user) dan Kementerian Pertahanan (Kemhan) sebagai pengambil kebijakan dan eksekutor. Tentu saja TNI akan menetapkan tim penilai agar spesiļ¬kasi alutsista yang akan dibeli sesuai kebutuhan. Dalam pengadaan alutsista, kebijakan yang dirumuskan Kementerian Pertahanan harus memprioritaskan kepentingan nasional. Dalam hal ini, Program Pembangunan Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 89 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Kekuatan (Probangkuat) harus terpadu antara kepentingan angkatan, Mabes TNI, dan Kemhan (Zulkarnain, 2015). Apabila produk tersebut belum dapat dibuat di Indonesia, maka pembelian tersebut harus disertai dengan skema offset atau alih teknologi. Skema offset adalah alah satu bentuk imbal dagang anatar dua negara, dimana negara pemasok menyetujui memberikan sejumlah barang/ jasa ataupun dana untuk investasi, joint production, transfer teknologi, memberikan peralatan, dan bentuan yang diperlukan di negara penerima/pembeli. Kesepakatan imbal dagang ini dituangkan dalam kontrak agreement lengkap (http://www.indag-diy. go.id/program_d.php?id=4). Mekanisme offset dipilih karena dapat memperkecil biaya yang harus ditanggung bahkan diharapkan dapat menjadi sumber devisa. Selain itu offset juga akan mendorong atau menjaga tingkat ketersediaan lapangan kerja di industri nasional. Offset juga akan dapat menyediakan peluang terjadinya proses alih teknologi. Karena itu Selain pihak internal Kementerian pertahanan dan TNI, pihak-pihak lain seperti Kementerian Keuangan, Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS), Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) juga dilibatkan untuk senantiasa berkoordinasi dalam proses pengadaan alutsista. Dengan begitu, tujuan pembelian alutsista selain untuk kebutuhan kekuatan minimum pertahanan, juga dalam jangka panjang dapat mendukung kemandirian bangsa di bidang pertahanan. Berikut pengadaan alutsista Indonesia dari beberapa negara: Pengadaan Alusista dari Korea Selatan Pada tanggal 23 Jannuari 2006 pemerintah Indonesia dan Korea Selatan yang diwakili oleh Menteri Pertahanan Kedua Negara, Juwono Sudarsono (Indonesia) dan Yoon 90 Yoan Pellokila Kwan G-ung (Korea Selatan) membuat kesepakatan untuk meningkatkan status komite kerjasama bidang pertahanan di tingkat antar pemerintahan atau Government to Government (G to G). Kerjasama bidang pertahanan kedua negara yang selama ini masih bersifat teknis ditingkatkan pada level pemerintah antar pemerintah kedua negara. Kerjasama militer Indonesia dengan Korea Selatan yang terbilang sukses adalah pembuatan 4 unit kapal perang Landing Platform Dock (LPD) Makassar Class pada tahun 2004 lalu (http://www.naval-technology. com/projects/makassar-class-landing-platformdocks/). Dalam kerjasama ini, Indonesia membeli 4 unit kapal perang LPD Makassar Class, dimana dua unit pertama dikerjakan di Korea Selatan dan sisanya dikerjakan di PT PAL di Surabaya Indonesia (http:// militerindonesia.net/read/43/4_Kerjasama_ Militer_Indonesia_dengan_Korea_Selatan_1,). Selain membeli LPD, di tahun 2011, pemerintah Indonesia menandatangani kontrak pembelian tiga kapal selam DSME-209 (Improved Changbogo) dari Korea Selatan dengan nilai kontrak 1,1 miliar Dollar. Dua unit kapal selam Indonesia ini akan dikerjakan di Korea Selatan, dimana unit pertama akan dikerjakan seluruhnya oleh ahli Korea Selatan. Lalu unit kedua akan dikerjakan juga di Korea Selatan dengan melibatkan ahli Korea Selatan dan Indonesia. Sedangkan unit ketiga kapal selam Indonesia ini akan dikerjakan di Indonesia oleh tenaga ahli Indonesia dengan dibantu oleh ahli dari Korea Selatan. Di tahun yang sama, Kementerian Pertahanan RI juga telah melakukan penandatanganan kontrak dengan perusahaan Korea Aerospace Industries, untuk pengadaan 16 Unit pesawat latih tempur T-50 seharga USD 400 juta. Proses pengiriman dilakukan pada bulan September 2013 hingga Februari 2014. Pesawat latih tempur T-50 Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara ini akan menjadi pengganti dari pesawat Hawk MK-53 di Skadron Udara 15 Lanud Iswahyudi Madiun. T-50 memberikan total sistem pelatihan lanjutan yang akan memperkenalkan kepada para penerbang generasi baru pesawat tempur yang modern dan canggih. Kerjasama Indonesia dan Korea Selatan juga tertuang dalam pembelian 22 unit panser pengangkut pasukan yang sering disebut dengan panser Tarantula. Di Korea Selatan, panser Tarantula ini memiliki nama resmi Black Fox. Mirip dengan kerjasama sebelumnya, sebagian panser ini juga dikerjakan di Indonesia sebagai bagian dari transfer of technology dari Korea Selatan ke Indonesia. Pengadaan Alutsista dari Rusia Rusia (kala itu masih Uni Soviet) mulai menjual senjata kepada Indonesia segera setelah kedua negara menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1950. Pada tahuntahun awal itu, personil angkatan laut dan udara Indonesia dikirim untuk belajar ke Uni Soviet. Namun demikian, hubungan ini memburuk pada pertengahan 1960an karena alasan politik. Kedua pihak berusaha untuk membangun kembali hubungan yang dekat di tahun 2003 yang diawali dengan kunjungan Presiden Megawati ke Moskow, Rusia. Presiden Megawati menandatangani deklarasi mengenai dasar hubungan persahabatan dan kemitraan Indonesia dan Rusia dalam abad 21. Dalam kunjungan tersebut disepakati perjanjian kerjasama teknikmiliter yang menghasilkan kerjasama pembelian 2 pesawat jet tempur Sukhoi Su27SK, 2 Sukhoi Su-30MK, 4 helikopter Mi17 dan 2 helikopter Mi-35P dengan sistem pembayaran melalui imbal dagang dengan komoditi yang dimiliki oleh Indonesia, antara lain produk minyak kelapa sawit mentah dan karet. Dalam bidang teknik juga telah terjadi pelatihan bagi anggota TNI, 24 personil TNI Angkatan Udara Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila menjalani pelatihan mekanik dan pilot untuk pesawat tempur Su-27MK dan Su30MK di Moscow . Pada tahun 2006 pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui kunjungannya ke Moskow juga terjadi kerjasama dengan Rusia dalam berbagai bidang selain bidang militer, diantaranya dalam bidang penanganan terorisme, bidang perdagangan dan investasi, bidang kebudayaan. Dalam kerjasama teknikmiliter disepakati pelaksanaan program kerjasama 2006 - 2010, yang meliputi pengadaan alutsista, perbaikan dan perawatan suku cadang, pelatihan personel, pelibatan industri dalam negeri, serta pemberian lisensi produk. Lalu pada tahun 2007 melalui kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Indonesia disepakati perjanjian Kerjasama teknik-militer antara Indonesia dan Rusia, Rusia bersedia memberikan pinjaman sebesar 1 miliar US$ yang direalisasikan diantaranya dengan pembelian 3unit Su-30MK2, yang diterima pada bulan Febuari 2009, 3 unit Su-27SKM, yang diterima secara bertahap pada tahun 2010, tambahan 3 unit helicopter serang MI-35P dan 17 Tank Amfibi BMP-3F. Pada tahun 2011, Indonesia dan Rusia kembali sepakat untuk melakukan pembelian tambahan enam unit Sukhoi SU-30 MK2 termasuk suku cadang senilai 470 juta Dollar. Enam unit pesawat tempur Sukhoi Su-30 MK2 kemudian diterima Kementerian Pertahanan dari pihak Rosoboronexport Rusia dalam empat tahap. Pada tanggal 22 Februari 2013 telah diterima dua unit pesawat dan suku cadang. Tanggal 27 Februari 2013 diterima empat unit engine dan suku cadang. Pada tanggal 27 April 2013 telah diterima dua unit pesawat, delapan engine dan suku cadang. Terakhir pada tanggal 4 September 2013 diterima dua unit pesawat (http://www. kemhan.go.id/kemhan/?pg=31&id=1199). Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 91 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Pemerintah Indonesia juga menambah jumlah Tank dengan menandatangani kontrak pembelian 37 unit BMP-3F bernilai 114 juta dolar AS yang diperuntukkan bagi marinir Indonesia pada bulan Mei 2013. Pada bulan Januari 2014, kelompok pengiriman kedua BMP-3F secara resmi diserahkan kepada Tentara Nasional Indonesia sehingga total BMP-3F yang dimiliki TNI adalah sebanyak 54 unit (http://indonesia.rbth. com/news/2015/03/18/siap_tanda_tangan_ kontrak_baru_rosoboronexport_berencana_ kirim_50_unit_b_27133.html,). Pembelian paling memberikan efek deterrence oleh Indonesia dari Rusia adalah diakusisinya rudal anti kapal Yakhont pada tahun 2009. Rudal ini dipasang di Kapal perang Oswald Siahaan dalam posisi vertikal (VLS). Rudal Yakhont adalah rudal yang memiliki kemampuan untuk bisa meluncur pada ketinggian 5-15 meter di atas permukaan laut. Dengan ketinggian terbangnya yang begitu dekat dengan permukaan air, mengakibatkan radar dari kapal musuh akan kesulitan untuk melacak keberadaan rudal ini. Selain itu, rudal ini memiliki kecepatan luncur 2,5 kali kecepatan suara (Mach 2,5) dengan jangkauan tembak yang mencapai 300 km. Pengadaan Alutsista dari Amerika Serikat Hubungan Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sempat mengalami penurunan dimana pada tahun 1991, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan menghentikan pasokan alat pertahanan atau embargo militer ke Indonesia. Embargo diberlakukan terhadap Indonesia atas sejumlah pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Timor – Timur maupun di Aceh. Hukuman dari AS itu membuat Indonesia sempat tidak berdaya dalam upaya modernisasi alutsista. Banyak peralatan perangnya, termasuk jet F-16, dibeli dari Amerika 92 Yoan Pellokila namun tak bisa dimutakhirkan karena embargo dari Washington. Kesulitan ini diperparah oleh krisis moneter 1997-1998 yang membuat pemerintah Indonesia harus berhemat untuk beberapa tahun. Sikap Amerika mulai berubah saat presiden George W. Bush, mencabut embargo penjualan senjata atas Indonesia setelah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Korea Selatan pada November 2005. Di mata Bush, Indonesia mulai transparan dan menghormati HAM sekaligus menjadi salah satu mitra kunci kampanye perang melawan terorisme. Setelah mencabut embargo, Amerika pun terlihat aktif menawarkan mesin-mesin perangnya kepada Indonesia. Pada 2011, AS sepakat menghibahkan 24 unit jet tempur bekas tipe F-16 seri C/D blok 25 yang dimutakhirkan (upgrade) menjadi standar blok 52 dengan biaya upgrade senilai 750 juta USD ditanggung oleh Indonesia. Kesepakatan tesebut juga diikuti dengan kesepakatan pembelian rudal AGM-65K2 Maverick senilai 25 juta USD dan AIM-9X-2 Sidewinder senilai 47 juta USD (http://www.dsca.mil/major-armssales/indonesia-regeneration-and-upgrade-f16cd-block-25-aircraft,). Pada 2012, AS dan Indonesia sepakat menyepakati pembelian delapan helikopter tempur AH-60E Apache Guardian buatan Boeing dengan nilai kontrak sebesar 500 juta USD (http://www. janes.com/article/48321/boeing-awardedindonesian-ah-64e-contract,). Di tahun yang sama, Departemen Pertahanan maupun Kongres AS juga menyetujui pembelian rudal anti tank Javelin I, sebanyak 25 peluncur dengan 180 rudal oleh Indonesia. Pembelian ini juga meliputi rudal simulasi, baterai, suku cadang, sumulator serta training personil dengan nilai kontrak seharga 60 juta USD (http://www.dsca.mil/ Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara major-arms-sales/indonesia-javelin-missiles,). Pengadaan Alutsista dari Negara – Negara Anggota Uni Eropa Negara-negara anggota Uni Eropa sudah lama menjadi pasar senjata bagi Indonesia untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya. Pada tahun 2009, untuk menandai 60 tahun hubungan diplomatik dan melanjutkan persahabatan antara kedua negara, Presiden Republik Perancis, Nicolas Sarkozy, dan Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, telah mengadopsi Pernyataan Bersama pada tanggal 14 Desember 2009 di Paris, mengharapkan untuk membangun kemitraan strategis antara Perancis dan Indonesia. Salah satu poin yang disepakati adalah “Untuk mempromosikan kerja sama yang lebih erat di bidang pertahanan dan keamanan, dan kerja sama strategis jangka panjang seperti peningkatan kapasitas, pendidikan dan pertukaran pejabat pertahanan, industri pertahanan serta pada operasi penjaga perdamaian PBB” (http://www.ambafrance-ide.org/IMG/ pdf/Part_Strat_FR_RI01072011.pdf). Dengan demikian Perancis dan Indonesia saling mendukung terutama disektor pertahanan dan keamanan yang direlisasikan dengan sejumlah pembelian alutsista seperti radar Ocean Master yang nantinya akan dipasang di pesawat NC212 dan CN-235 jenis MPA (Maritime Patrol Aircraft) untuk patrol laut. TNI AL juga turut membeli 4 unit Sonar TSM-2633 Sperion-B, 80 unit Rudal Anti Pesawat Mistral, 30 unit Rudal Anti Kapal MM-40 Block-3 Exocet untuk Korvet kelas SIGMA Indonesia. Bahkan sejak awal tahun 2000-an Indonesia telah membeli 15 unit helicopter ringan EC 120 Colibri sebagai helikopter latih TNI AU dan 5 unit pesawat latih TB-10 TOBAGOGT dari Perancis. Baru pada tahun 2010 PT. Dirgantara Indonesia merakit 4 unit helicopter AS-532 Cougar dari 10 unit yang Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila dipesan (Setiawan, 2015). Pada tahun 2012, Indonesia dan Perancis sepakati kontrak 108 Juta Euro untuk pembelian 37 meriam Caesar. Untuk meningkatkan kemampuan militer Indonesia dari ancaman bawah laut, pada tahun 2014, 11 helikopter anti-kapal selam AS-565 MBe Panther dipesan dari Perusahaan Airbus Perancis. Helikopter tersebut akan menjadi inti dari Skuadron 100 yang akan diaktifkan kembali oleh TNI Angkatan Laut (http://www.cnnindonesia. com/nasional/20150625090159-20-62231/ tni-borong-helikopter-hidupkan-skuadronpemburu-kapal-selam/,). Negara tetangga Prancis yaitu Jerman juga terlibat dalam rencana modernisasi angkatan bersenjata Indonesia. TNI AD memperkuat postur pertahanannya dengan mendatangkan Tank Tempur Utama Leopard dan Tank medium Marder dari Jerman. Pengadaan Tank tersebut dilaksanakan melalui nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kementrian Pertahanan Indonesia dan Rheinmetall Defence Jerman di sela-sela acara pameran alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indo Defence 2012 di Jakarta. Pembelian tank seberat 63 ton ini juga sudah dilengkapi dengan kesepakatan transfer teknologi yang mana PT Pindad dan Bengkel Pusat Angkatan Darat akan mendapatkan kerja sama pelatihan untuk perbaikan ringan hingga berat. Selain Prancis dan Jerman, Indonesia juga mengadakan kerjasama dengan negara Eropa lainnya yaitu Belanda dan Inggris dalam pengadaan kapal perang untuk TNI Angkatan Laut. Pada 5 Juni 2012, Kementerian Pertahanan melalui Badan Sarana Pertahanan menandatangani kontrak pembelian 1 unit Kapal Perusak Rudal seri 10514 dari perusahaan galangan kapal Belanda, Damen Schelde Naval Shipbuilding senilai US$220 juta. Sebelumnya, Indonesia telah membeli 4 Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 93 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Kapal Korvet kelas Sigma (ship integrated geometrical modularity Approach) tipe 9113 dari Damen Shipbuilding senilai 700 juta Euro dan sudah aktif bertugas di TNI AL sejak periode 2007 hingga 2009 (Syah, 2015). Empat kapal ini bahkan secara bergantian telah menjalani misi perdamaian di Lebanon dibawah bendera PBB. Sedangkan dari Inggris, Indonesia membeli tiga unit kapal kelas fregat ringan jenis Nakhoda Ragam buatan Inggris yang tidak jadi digunakan Brunei. Kapal ini sebelumnya dibuat khusus untuk Angkatan Laut Kerajaan Brunei Darussalam. Kontrak dimulai sejak tahun 1995, dan diluncurkan berturut-turut pada Januari 2001, Juni 2001 hingga Juni 2002 (http://maritimemagz. com/kri-usman-harun-simbolkedaulatannegara-maritim/,). Sesuai kontrak, kapal ini seharusnya sudah dipindahtangankan kepada Brunei pada Juni 2007. Namun Brunei memutuskan perjanjian dan ketiga kapal diserahkan kepada perusahaan Lurrsen Jerman. Selang lima tahun, Indonesia menyatakan tertarik membeli ketiga kapal itu dan mengoperasikan seluruhnya mulai tahun 2014. Respons Indonesia dalam Bentuk Kerjasama Latihan Militer Indonesia sejak lama telah menggagas dan melaksanakan latihan bersama dengan Angkatan Bersenjata negara-negara lain. Kalau di masa lalu kerjasama latihan bersama yang dilaksanakan oleh Indonesia lebih diutamakan pada latihan bersama dengan satu negara, sejak beberapa tahun silam Indonesia sudah terlibat aktif dalam latihan bersama beberapa negara. Latihan bersama dilaksanakan oleh ketiga matra TNI dengan mitra masing-masing, misalnya Latma Indosin antara TNI Angkatan Laut dengan Republic of Singapore Navy, Elang Thainesia antara TNI Angkatan Udara dengan Royal Thai Air Force dan Darsasa Malindo antara TNI dengan Tentera Diraja 94 Yoan Pellokila Malaysia (Salim, 2014; 3-4). Adapun latihan bersama beberapa negara yang telah diikuti oleh TNI seperti Army Skill at Arms Meeting (AASAM) yang merupakan latihan antar negara dalam bentuk kejuaraan menembak. Dalam latihan, TNI menunjukkan kemampuannya yang tinggi dalam skill menembak dimana dalam kompetisi ini Indonesia selalu menjadi juara umum dari tahun 2008 hingga tahun 2015. Lebih istimewanya lagi, Indonesia selalu menggunakan senjata SS1 dan SS2 yang merupakan senjata buatan dalam negeri. Selain AASAM, Australia juga menjadi tuan rumah latihan gabungan angkatan udara yang bersandi Pitch Black. Kurikulum dalam latihan gabungan ini meliputi air lift, air to air combat, surface attack, deep interdiction, close air support, airborne early warning and control, air to air refuelling, tactical air transport (Pane, 2015). Angkatan Udara Indonesia mengikuti latihan Pitch Black ini pada tahun 2012 yang juga diikuti oleh angkatan udara dari Australia, Amerika Serikat, Singapura, Indonesia dan Thailand. Dalam latihan ini melibatkan 94 pesawat, dimana diantaranya Australia dengan F/A-18 Super Hornet dan F/A18 Hornet, Singapura dengan F-16 C/D dan F-15 mereka, Thailand dengan F-16 A/B mereka dan Amerika Serikat dengan F/A-18 C Hornet milik US Navy. TNI AU sendiri mengirimkan Sukhoi dalam latihan ini. Dalam war games ini, Sukhoi TNI AU ternyata lebih unggul dibandingkan F-18F Super Hornet hampir disemua lini (Ramelan, 2015). Walaupun cuma dalam skala latihan, ini membuktikan bahwa Sukhoi Indonesia ternyata memiliki efek tangkal yang mumpuni selain juga faktor man behind gun yang terlatih. Skala dan kompleksitas Pitch Black juga menambah wawasan, pengetahuan serta bekal yang lain bagi penerbang TNI AU terutama Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara dalam operasi gabungan skala besar multinasional. Latihan lain yang diikuti Indonesia adalah RIMPAC (Rim of the Pacific) yang merupakan latihan multilateral angkatan laut yang diselenggarakan oleh US Pacific Command (USPACOM) dan dilaksanakan dua tahun sekali, bertempat di Pangkalan Utama Armada Ketujuh Angkatan Laut Amerika Serikat, Pearl Harbour, Hawaii. Pada RIMPAC 2014, selain Indonesia, tercatat ada 23 negara yang ikut serta, diantaranya Thailand, Perancis, Chile, Korea Selatan dan Singapura yang melibatkan 49 kapal perang, 6 kapal selam, 200 pesawat tempur, dan 25.000 personel yang merupakan latihan multilateral terbesar di dunia. Indonesia sendiri yang diwakili TNI AL telah tiga kali ikut serta, namun selama ini hanya mengirimkan kontingen Korps Marinir. Pada RIMPAC tahun 2014, TNI AL menghadirkan proyeksi kekuatan melalui KRI Banda Aceh-593 (kelas Makassar, Landing Platform Dock). Pengiriman KRI Banda Aceh-593 berusaha mewujudkan TNI AL berkelas dunia atau World Class Navy sekaligus membuktikan kepada dunia bahwa TNI AL juga bisa mengirimkan kapal perang produksi dalam negeri yang kemampuannya dapat disejajarkan dengan kapal perang buatan asing. Dalam pelatihan tersebut, Indonesia kembali berprestasi. Dua anggota Datasemen Jala Mangkara (Denjaka), sebuah Datasemen pasukan khusus TNI AL menerima label “Godzilla” sebagai penghargaan bagi peserta tertangguh selama pelatihan (Halili, 2014). Tujuan latihan ini bagi anggota TNI AL sendiri adalah memantapkan profesionalisme prajurit dihadapkan dengan tuntutan tugas, juga sebagai tolak ukur kemampuan masing-masing individu maupun kerja sama di bidang operasional. Pada tingkat Angkatan Bersenjata, Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila kerjasama pertahanan multilateral yang sudah dilaksanakan oleh Indonesia mencakup patroli terkoordinasi, latihan bersama, pertukaran intelijen dan pemeliharaan perdamaian. Untuk patroli terkoordinasi, sejauh ini yang bersifat multilateral adalah The Malacca Straits Security Patrol antara Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Adapun pertukaran intelijen telah pula dilaksanakan secara multilateral, misalnya pertukaran intelijen keamanan maritim lewat Information Fusion Center di mana Indonesia juga terlibat di dalamnya. Sedangkan kerjasama pemeliharaan perdamaian adalah partisipasi Indonesia dalam beberapa misi pemeliharaan perdamaian PBB, termasuk dalam UNIFIL Maritime Task Force. Dengan adanya kantor Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) yang berada di sentul menunjukkan bahwa peran aktif Indonesia dalam menjaga perdamain dunia lewat pasukan PBB dapat diwujudkan baik dalam lingkup kawasan maupun dalam lingkup Internasional (Salim, 2015; 3-4). Sebagai tambahan, Indonesia juga berperan dalam upaya menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan yang mana Indonesia dalam mengembangkan keamanan di Asia Tenggara, mengajukan suatu konsep keamanan yang berlandaskan keamanan komprehensif, yang menyesuaikan dengan perubahan perubahan lingkungan global. Keinginan Indonesia tersebut kemudian diwujudkan dalam konsep ASEAN Security Community (ASC) yang pelaksanaannya berlandaskan pada norma – norma yang ada di ASEAN serta instrument politik dan prinsip – prinsip hokum internasional lainnya yang diakui. Indonesia memandang penting terbentuknya ASC, mengingat kenyataan bahwa mekanisme kerjasama ekonomi, Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 95 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara sosial dan budaya yang selama ini digunakan ASEAN dalam mencapai perdamaian dan stabilitas kawasan tidak dapat menghadapi perubahan situasi politik internasional dan stabilitas yang terjadi di kawasan. Selain itu, timbulnya berbagai isu keamanan non tradisional di kawasan seperti kejahatan transnasional, terorisme, separatisme, konflik wilayah yang senantiasa menjadi sumber instabilisasi ekonomi dan keamanan bersama di kawasan Asia Tenggara, mendorong Indonesia untuk mewujudkan ASC sebagai kerjasama regional yang dapat memainkan peran perdamaian dan berusaha untuk mengelola resolusi konflik antar negara anggota ASEAN. Respons Indonesia Melalui Pengembangan Potensi Industri Pertahanan Dalam Negeri Industri pertahanan merupakan salah satu komponen vital dari kemampuan pertahanan. Industri pertahanan yang kuat mempunyai dua efek utama, yakni efek langsung terhadap pembangunan kemampuan pertahanan dan efek terhadap pembangunan ekonomi dan teknologi nasional. Dalam bidang kemampuan pertahanan, industri pertahanan yang kuat menjamin pasokan kebutuhan alutsista dan sarana pertahanan secara berkelanjutan yang merupakan prasyarat mutlak bagi keleluasaan dan kepastian untuk menyusun rencana pembangunan kemampuan pertahanan jangka panjang tanpa adanya kekhawatiran akan faktor – faktor politik dan ekonomi seperti embargo. Industri pertahanan juga dapat memberikan efek pertumbuhan ekonomi dan mendorong pertumbuhan industri nasional yang berskala internasional. Untuk mengembangkan industri pertahanan domestik, Indonesia telah mengesahkan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan 96 Yoan Pellokila yang menegaskan komitmen politik-legal pemerintah dan para pelaku industri pertahanan untuk menjadikan mandiri dalam pemenuhan kebutuhan alutsista yang efisien, modern, dan berteknologi tinggi. Pemikiran dasar dari undang – undang ini menempatkan industri pertahanan sebagai industri strategis yang harus dilindungi oleh negara karena industri ini menempati ranah salah satu pilar utama kedaulatan negara untuk memenuhi kebutuhan alutsista (weapon systems). Selain itu, Industri pertahanan juga strategis karena dapat memberikan efek tangkal (deterrence effect) bagi Indonesia dalam interaksi strategis dengan negara – negara lain. Oleh karena itu industri pertahanan menjadi unsure penring kekuatan nasional, terutama kekuatan militer. Secara operasional, kemampuan untuk membuat alutsista menjadikan Indonesia mempunyai kekuatan yang secara terus - menerus dapat menopang kemampuan operasional militer (Wijayanto, Prasetyono & Keliat, 2012; 47-48). Peran TNI kedepan tidak hanya sebagai pengawal kedaulatan bangsa dan negara tetapi juga dituntut untuk mampu melaksanakan tugas-tugas perdamaian dunia maupun tugas-tugas kemanusiaan tingkat regional dan global. Namun dengan demikian bahwa pemenuhan kebutuhan Alutsista TNI yang modern dengan teknologi mutakhir membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Oleh karena itu pemerintah mendorong adanya pemberdayaan Industri Pertahanan nasional agar mampu memenuhi kebutuhan Alutsista TNI mewujudkan kekuataan pokok TNI sampai 2024. Berikut pembahasan tentang beberapa Industri Pertahanan Indonesia dan kontribusinya terhadap perkembangan alutsista nasional: Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI) PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI) adalam BUMN, merupakan perusahaan yang memproduksi pesawat komersial, pesawat militer, helikopter, senjata, komponen pesawat, servis pesawat, Pertahanan, teknik (engineering). PT. DI merupakan industri pesawat terbang yang pertama di Asia Tenggara dan satu-satunya di Indonesia. PT. DI didirikan pada 26 April 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direktur. Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah nama menjadi Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000 (http:// www.alasaya.com/2014/04/industri-industripertahanan-indonesia.html). Dalam mengoptimalkan kapabilitasnya, PT DI melakukan kemitraan strategis dengan produsen pesawat dari luar negeri, seperti Airbus Military, Messerschmitt-Bölkow-Blohm dan Eurocopter European Aeronautic Defense Space Company (EADS). Kemitraan strategis dengan berbagai negara tersebut diantaranya dengan pengembangan dan produksi bersama sejumlah pesawat seperti C 212-400, CN-235 dan CN-295 serta helicopter seperti Bell 412, Cougar EC-725 maupun Super Puma. Dengan ini PT DI dapat memberikan sumbangsihnya untuk pembangunan postur pertahanan Indonesia dimana sejumlah pesawat dan helikopter buatan PT DI digunakan untuk memperkuat alutsista TNI seperti NC 212 dan CN-235 khusus militer yang dilengkapi dengan avionik digital dan sistem radar terkini untuk kepentingan angkut, pengawasan dan patrol di darat maupun patrol maritime (http://www.indonesian-aerospace.com/view. php?m=product&t=aircraft,). Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila Proyek terbaru pemerintah yang melibatkan PT Dirgantara Indonesia adalah pengembangan jet tempur. Untuk pengembangan ini, Indonesia menggendeng Korea Selatan. Program tersebut bernama Korea Fighter experiment/ Indonesia Fighter experiment (KFX/IFX). Pesawat tempur ini merupakan generasi 4.5 atau pesaing dari F16 versi terbaru. Selain memproduksi alat – alat kedirgantaraan, PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI), ditunjuk oleh pemerintah sebagai produsen torpedo dalam negeri. Menggunakan lisensi dari AEG (Allgemeine Elektrizitäts-Gesellschaft, General Electricity Company) Jerman, PT. DI mulai memproduksi SUT (Surface and Underwater Target) Torpedo di Kawasan Produksi V di Pulau Madura. Torpedo merupakan senjata andalan kapal selam dalam suatu pertempuran laut. Kebutuhan akan torpedo akan meningkat bersamaan kedatangan dua buah kapal selam KRI Cakra dan KRI Nanggala dari Jerman. Selain itu torpedo digunakan juga oleh kapal permukaan milik TNI-AL. SUT Torpedo dapat ditembakan dari helikopter, seperti NAS 332 Super Puma atau dari pesawat CN-235 MPA (http://www.apkdriver. com/2012/12/10-senjata-militer-buatanindonesia.html?m=0,). PT Pindad PT. Pindad adalah BUMN yang memproduksi produk militer dan komersial di Indonesia. Didirikan pada tahun 1808 sebagai sebuah bengkel peralatan militer di Surabaya dengan nama Artillerie Constructie Winkel (ACW). Pada tahun 1950, berubah nama menjadi Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM) yang berlokasi di PT. Pindad sekarang ini. Sejak saat itu PT. Pindad berubah menjadi sebuah industri alat peralatan militer yang dikelola oleh Angkatan Darat. PT. Pindad berubah status menjadi Badan Usaha Milik Negara Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 97 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara (BUMN) dengan nama PT. Pindad (Persero) pada tanggal 29 April 1983, kemudian pada tahun 1989 perusahaan ini berada dibawah pembinaan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang kemudian pada tahun 1999 berubah menjadi PT. Pakarya Industri (Persero) dan kemudian berubah lagi namanya menjadi PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (Persero). Dan tahun 2002, PT. BPIS (Persero) dibubarkan oleh Pemerintah, dan sejak itu PT. Pindad beralih status menjadi PT. Pindad (Persero) yang langsung berada dibawah pembinaan Kementerian. Produk Pindad diantaranya adalah senapan, pistol, meriam dan kendaraan taktis (http://www.pindad.com/ bumn-strategis-tertua-pindad-produksisenjata-sejak-zaman-belanda,). Produk PT Pindad sudah sangat dikenal dunia, utamanya senapan serbu SS1 dan SS2 yang diakui sebagai salah satu senjata serbu terbaik dunia. Oleh Pindad, SS2 telah diproduksi menjadi beberapa versi, SS2-V1, SS2-V2 dan SS2-V4. SS2 adalah senapan serbu generasi baru kaliber 5,56 x 45 mm dengan laras kisar 7 (Kemenperindag, 2011a; 15). SS2 cukup ringan, handal dan memiliki akurasi tinggi, dengan menggunakan popor lipat sehingga fleksibel untuk digunakan sesuai kebutuhan. Senjata senjata ini mampu memenuhi kebutuhan senjata ringan bagi TNI. Bahkan senjata tersebut menjadi senjata standar TNI. Dengan memakai SS2, TNI menjuarai sejumlah kejuaraan menembak internasional seperti Australian Army Skill at Arms Meeting (AASAM) dan Asean Armies Rifle Meet (AARM). Untuk kejuaraan menembak AASAM, sejak tahun 2008 hingga tahun 2015, TNI AD selalu mendapat juara umum mengalahkan negara – negara maju seperi Australia, Amerika Serikat dan Inggris (Rinaldi & Pattisina, 2015). Sedangakan untuk 98 Yoan Pellokila Asean Armies Rifle Meet (AARM) yang penyelanggaraannya telah berlangsung sejak tahun 2006 tersebut, kontingen TNI AD selalu berhasil menjadi juara satu. Ini membuktikan kehandalan TNI dilengkapi dengan senjata buatan dalam negeri mampu membuktikan kekuatannya di tingkat internasional, selain itu juga dapat mempromosikan senjata buatan PINDAD di luar negeri. Pindad juga mampu memproduksi senapan untuk keperluan khusus seperti untuk pasukan penembak jitu atau sniper yaitu SPR (Senapan Penembak Runduk). SPR produksi PT Pindad ada tiga varian, SPR-1, SPR-2 dan SPR-3. Senapan ini bahkan bisa menembus baja yang tebalnya tiga sentimeter dari jarak 900 meter sehingga senapan ini bisa digunakan untuk mampu menembus berbagai jenis material bahkan baja sebuah tank (Oktavian, 2012; 67). Khusus senapan SPR-2 dan SPR-3, senjata ini telah digunakan oleh kesatuan elit TNI seperti Kopassus. PT. Pindad juga memproduksi kendaraan militer lapis baja seperti kendaraan taktis Komodo dan Panser Anoa. Panser Anoa menjadi andalan produk PT. Pindad untuk kategori spesial purpose vehicles dan telah dikenal dunia sehingga menjadi kendaraan taktis dalam misi perdamaian PBB. Selain menerima pesanan dari lingkungan TNI, PT. Pindad juga memasok Panser Anoa untuk kebutuhan luar negeri seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Timor Leste. Sedangkan Komodo merupakan kendaraan taktis baru buatan PT. Pindad yang dibuat berdasarkan permintaan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merancang kendaraan taktis (rantis) berpenggerak 4×4 untuk kebutuhan manuver pasukan TNI dan anggota Polri. PT Pindad menyediakan beberapa varian Komodo sesuai dengan kebutuhan, yaitu: Armoured Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Personnel Carrier (APC/angkut personel), Command (kendaraan komandan), Recon (pengintaian), Ambulance, Battering Ram (pendobrak, digunakan oleh Gultor Kopassus), Cannon Towing (penarik meriam) dan Rocket Launcher (peluncur roket) (http://www.kodam17cenderawasih. mil.id/pengetahuan/militer/alat-utama-sistemsenjata/rantis-komodo-4x4-meneruskan-tuahsukses-anoa-6x6/,). PT. Pindad saat ini juga tengah mengembangkan Tank medium yang merupakan proyek Tank Nasional. Pengembangan medium tank ini melibatkan PT. Pindad dan pemerintah Turki. Kedua pihak menandatangani kesepakatan kerjasama pembuatan tank medium pada ajang International Defence Industry Fair (IDEF) 2013 di Turki, awal Mei 2013. Turki dinilai memiliki kapasitas mengembangkan dan memproduksi medium tank canggih (Munandar, 2015). PT. Penataran Angkatan Laut (PT PAL) PT. PAL Indonesia adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang industri galangan kapal. PT. PAL Indonesia (Persero), bermula dari sebuah galangan kapal yang bernama MARINA dan didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1939. Pada masa pendudukan Jepang, Perusahaan ini beralih nama menjadi Kaigun SE 2124. Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia menasionalisasi Perusahaan ini dan mengubah namanya menjadi Penataran Angkatan Laut (PAL). Pada tanggal 15 April 1980, Pemerintah mengubah status Perusahaan dari Perusahaan Umum menjadi Perseroan Terbatas. Perusahaan ini memproduksi kapal laut untuk pertahanan maupun komersil (Kurniawan, 2011). PT PAL saat ini sedang mengerjakan proyek strategis yaitu pembuatan kapal selam dan kapal perang kelas Perusak Kawal Rudal (PKR). Proyek ini diharapkan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila dapat menjadi momentum kebangkitan industri pertahanan Indonesia dalam pembuatan kapal kombatan. Kapal PKR merupakan kapal dengan ukuran panjang 105 meter dan lebar 14meter yang memiliki kemampuan untuk menghadapi peperangan, baik di permukaan, di bawah air, maupun perang udara. Sebab, sudah dilengkapi torpedo, rudal, dan perangkat perang elektronik terbaru. Dalam membuat Kapal PKR ini, PT. PAL melakukan joint production dengan Damen Schelde Naval Shipbuilding (DSNS) dengan kontrak untuk membangun dua kapal. Kapal pertama yang dibangun terdiri atas enam modul. Dalam pembangunannya, empat modul dibuat di PT. PAL dan sisanya dua modul dikerjakan oleh DSNS Belanda. Dalam proyek kapal selam, PT. PAL akan bekerjasama dengan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) dengan kontrak 3 kapal selam senilai 1,1 miliar Dollar yang turut disertai transfer teknologi. Dalam proses pembuatannya, dua kapal selam akan dikerjakan di Korea dengan melibatkan 206 tenaga ahli dari PT. PAL untuk mempelajari produksi kapal selam di Korea. Selanjutnya kapal selam ketiga akan dibuat di fasilitas kapal selam PT. PAL di Surabaya. Sebelumnya PT. PAL telah mempersiapkan infrastruktur untuk membangun kapal selam yang meliputi gedung dan fasilitas yang menghabiskan dana 1,7 triliun Rupiah (Radar Bisnis, 2015). Bukan pertama kalinya mendapatkan pesanan untuk membangun kapal perang, khususnya dari Kementerian Pertahanan/TNI Angkatan Laut. Sebelumnya PT PAL telah berhasil membangun 12 unit Fast Patrol Boat 57M untuk Kementerian Pertahanan RI, Fast Patrol Boat 28 M sebanyak dua unit atas pesanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan dan Landing Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 99 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Platform Dock 125 m (LPD) yang merupakan kapal pengangkut pasukan dan peralatan militer pesanan TNI AL (Kemenperindag, 2011b; 18-19). Khusus untuk kapal LPD, PT. PAL bahkan mendapat pesanan untuk membuat LPD untuk Angkatan Laut Filipina senilai 90 juta Dollar yang merupakan ekspor kapal perang pertama ke luar negeri. Selain memproduksi kapal, PT PAL juga melayani perbaikan dan pemeliharaan kapal. Perusahaan Swasta Undang-Undang Industri Pertahanan yang mencakup kewajiban untuk menggunakan produk-produk yang sudah bisa dibuat di Indonesia, atau ada upaya untuk meningkatkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) membuat industri pertahanan Indonesia mendapat porsi lebih untuk berkontribusi dalam pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia, tidak terkecuali industri pertahanan milik swasta. Kemajuan teknologi dan informasi serta kebutuhan akan produk-produk pertahanan mendorong pihak swasta dalam negeri untuk menghasilkan produk yang bisa bersaing dengan produk luar negeri. Beberapa perusahaan swasta seperti galangan kapal PT. Palindo Marine Shipyard di Batam dan PT. Lundin Industry Invest yang berlokasi di kabupaten Banyuwangi sudah mampu membuat kapal – kapal patrol berteknologi canggih untuk memenuhi pesanan kementerian Pertahanan. PT. Palindo Marine Shipyard sudah berhasil mengerjakan empat Kapal Cepat Rudal 40 (KCR 40) dengan total pengadaan senilai Rp300 miliar. Desain dan teknologi yang dimiliki kapal ini, tidak kalah dengan kapal yang dibuat oleh negara-negara lain, seperti Sensor Weapon Control (Sewaco) dan meriam caliber 30 mm enam laras sebagai Close in Weapon System (CIWS). Ditambah, 100 Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Yoan Pellokila dengan peluru kendali rudal anti kapal buatan China C 705, mampu menjangkau sasaran sejauh 140 km (Kemenperindag, 2011). PT Lundin tengah membuat Kapal Perang jenis Trimaran yang merupakan Kapal Cepat Rudal (KCR) berlambung tiga (Trimaran) dengan panjang 63 meter. Kapal perang jenis Trimaran ini memiliki keunggulan dalam hal kesetabilan, serta kecepatannya. Selain itu kapal perang jenis ini tidak mudah tenggelam karena salah satu hull bisa menyeimbangkan kapal walau diterjang gelombang laut. Selain itu kapal perang canggih ini memiliki desain stealth atau sulit dideteksi radar. KCR Trimaran ini merupakan kapal tercanggih dan kapal pertama yang dikembangkan di Indonesia dengan fitur anti radar. Kapal ini diproyeksikan menjadi kekuatan pemukul yang handal dan juga menakutkan di lautan, sebab mampu menginduksi panas dan juga sulit dideteksi oleh radar lawan. Kesimpulan Dinamika lingkungan strategis yang terus berubah menghasilkan beragam isu keamanan baik berupa isu keamanan non tradisional seperti terorisme, piracy dan illegal Fishing maupun isu keamanan tradisional seperti sengketa wilayah perbatasan dan pelanggaran wilayah kedaulatan mendorong negara – negaraAsia Tenggara khususnya Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam meningkatkan kekuatan militernya. Menanggapi hal tersebut, Indonesia pun merespon dengan mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk menguatkan postur pertahanan Indonesia. Kebijakan yang dilakukan adalah melalui rencana pemenuhan kebutuhan minimum (minimum essential force) yang diimplementasikan melalui kerjasama pertahanan dan juga revitalisasi industri pertahanan dalam negeri. Kerjasama Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara pertahanan meliputi pengadaan alutsista, kerjasama dalam bentuk latihan dan operasi. Kerjasama pertahanan dalam bentuk pengadaan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan alutsista TNI yang dilaksanakan melalui pemeliharaan, repowering/retrofiting alutsista dan pengadaan alutsista baru sesuai dengan kebutuhan yang mendesak untuk menggantikan alutsista yang sudah tidak layak pakai. Di mana dalam pencapaiannya saat ini (tahun 2015), Indonesia sudah dan akan memiliki senjata konvensional yang modern seperti Tank Tempur Utama (MBT/ Main Battle Tank) Leopard, Tank medium Marder, Peluncur Roket Multilaras (Multiple Launch Rocket System /MLRS) Astros II, jet tempur Sukhoi, Helikopter Apache AH64E Guardian dan kapal perang kelas Bung Tomo. Selain kerjasama melalui pengadaan, Indonesia juga melakukan kerjasama melalui latihan dan operasi dengan negara lain yang bertujuan meningkatkan profesionalisme prajurit melalui latihan dan operasi nyata dilapangan. Selain itu, Indonesia juga aktif menjaga keamanan kawasan dengan menggagas pembentukan ASEAN Security Community (ASC). Hal ini sejalan dengan strategi pertahanan Indonesia yaitu defensif aktif yang mana salah satu perwujudan pertahanan defensif aktif adalah melalui diplomasi pertahanan. Indonesia juga berkomitmen dalam mengejar kemandirian bangsa di bidang pertahanan. Komitmen tersebut diperkuat ditetapkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan Negara sebagai legalisasi dan legitimasi menghidupkan dan mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Bahkan kemampuan industri dalam negeri Indonesia sekarang ini sudah pada tingkat Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila teknologi menengah. Artinya, industri pertahanan Indonesia sudah dapat membuat dan sudah digunakan oleh TNI. Sebagai contoh, alutsista buatan PT Pindad mulai dari pistol dan senjata serbu sampai mortir serta kendaraan tempur roda ban (panser Anoa) sudah digunakan TNI AD, kapal patrol dan kapal amfibi jenis Landing Platform Dock (LPD) buatan PT PAL yang digunakan TNI AL dan pesawat CN-235 yang sudah mendukung kebutuhan TNI AU. Sebagai penutup, penulis beragumen bahwa upaya pembangunan postur pertahanan Indonesia menuju kekuatan pokok minimal (Minimum Essential Force) yang tengah dilaksanakan ini bertumpu pada kemampuan penangkalan (deterrence) dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI guna menjamin pelaksanaan kepentingan nasional di tengah dinamika lingkungan strategis. Berdasarkan program yang telah dicanangkan oleh pemerintah dan pencapaian yang telah diraih, Indonesia sanggup menjadi kekuatan regional yang disegani dan didukung oleh kemampuan industri teknologi pertahanan dalam negeri. Daftar Pustaka Buku: Octavian, Amarulla. (2012). Militer dan Globalisasi. Jakarta: UI Press. Widjajanto, Andy. Edy Prasetyono. Makmur Keliat. (2012). Dinamika Persenjataan dan Revitalisasi Industri Pertahanan, Jakarta: UI Press. Jurnal: Austalian Government Department of Defence. (2014). South East Asia Regional Overview. Defence Economic Trends In The Asia - Pasific 2014. DIO Reference Aid 14–004, April. hal. 6-29. Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 101 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Defence of Japan, (2013). Defense Policies of Countries - South East Asia. Security Environment Surrounding Japan, Tokyo. hal. 65-73. Khairendi, Abdi. (2014). Analisis Kebijakan Peningkatan Kapabilitas Militer Negara – Negara Anggota ASEAN 2002 – 2012. eJournal Ilmu Hubungan Internasional. Volume 2. No.1. hal. 209-220. Salim. (2012). Peningkatan Kerjasama Pertahanan Indonesia di Kawasan Asia Tenggara Guna Mendukung Diplomasi Pertahanan dalam Rangka Mewujudkan Stabilitas Kawasan. Pusat Pengkajian Maritim. Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut. hal. 1-18. Tan, Andrew. (2004). Force Modernisation Trends in Southeast Asia. Rajaratnam School of International Studies Working Paper. no.59. Januari. hal. 24-29. The National Institute for Defence Studies. (2007). Chapter 5 Southeast Asia - Formation of a Community and the Challenges. East Asian Strategic Review 2007. Tokyo. Hal.155-160. Artikel Media Cetak: Kemenperindag RI. (2012).Disahkannya UU Industri Pertahanan Tonggak Bangkitnya Industri Pertahanan Lokal. KINA – Media Ekuitas Produk Indonesia. Edisi 02 . hal. 6. Kemenperindag RI. (2011a). Siap Penuhi Kebutuhan Peralatan Militer Nasional, Pindad Perlu Dukungan Penuh Pemerintah. KINA – Media Ekuitas Produk Indonesia, Edisi 01. hal. 15. Kemenperindag RI. (2011b). Dorong Kemandirian Alutsista Nasional, PAL Siap Bangun Kapal Perang. KINA – Media Ekuitas Produk Indonesia. Edisi 01. hal. 18-19. 102 Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Yoan Pellokila Ali, A.H. (2015). Analisis Terhadap Kebijakan Pertahanan Singapura. diakses pada tanggal 12 Juni 2015. http://www. fkpmaritim.org/analisis-terhadapkebijakan-pertahanan-singapura/, Arismunandar, Satrio. (2015). PT. PINDAD Kerjasama Dengan Turki, Mau Bikin Tank Medium. diakses pada tanggal 12 Juni 2015. http://www. theglobalreview.com/content_detail. php?lang=id&id=12243&type=113#. VbMI67NViko, Chow, Jermyn. (2015). Singapore Budget 2014: Steady defence spending will continue. diakses pada tanggal 12 Juni 2015. http://www.straitstimes. com/singapore/singapore-budget-2014steady-defence-spending-will-continue, Defence Security CooperationAgency News Release, “Indonesia – Regeneration and Upgrade of F-16C/D Block 25 Aircraft”, http://www.dsca. mil/major-arms-sales/indonesiaregeneration-and-upgrade-f-16cdblock-25-aircraft, diakses pada tanggal 13 Juli 2015. Detik News, “SBY: Tidak Ada Garansi ASEAN Bebas dari Perang”, http://news.detik. com/berita/2122268/sby-tidak-adagaransi-asean-bebas-dari-perang, diaksespada tanggal 5 Juni 2015. Halili. (2014). Press Release - Latihan RIMPAC 2014. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http://www. embassyofindonesia.org/wordpress/ wp-content/uploads/2014/07/PR-KRIBanda-Aceh-1Juli2014.pdf, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Kementerian Pertahanan RI Tahun 2013. Maret 2014. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http:// www.kemhan.go.id/kemhan/files/5a79d Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara 2011bccd166f7b7598e8a942c8f.pdf, Kurniawan, Hariyanto. (2012). Pertahanan Berbasis Alusista Lokal. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http://economy.okezone.com/ read/2011/09/12/448/501801/index_ news.html, Nugroho, Adityo. (2015). Hadapi Eskalasi Konflik, Thailand Mulai Perkuat Armada Kapal Selam. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http://jurnalmaritim. com/2015/01/hadapi-eskalasi-konflikthailand-mulai-perkuat-armada-kapalselam/, O’Callaghan, John. (2015). Asia Tenggara Ramai – Ramai Belanja Alat pertahanan Maritim. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http://www.voaindonesia. com/content/asia-tenggara-ramairamai-belanja-alat-pertahananmaritim/1522260.html. Pane, Jagarin. (2012). Sukhoi Bertarung di Pitch Black Australia. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http:// suaramerdeka.com/v1/index.php/read/ cetak/2012/08/06/195032/SukhoiBertarung-di-Pitch-Black-Australia, Radar Bisnis. (2015). PT PAL Bangun Industri Kapal Selam Siapkan Rp. 1,7 Triliun. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http://www.pelindomarine.com/ information/news/248.html, Ramelan, Prayitno. (2015). Australia makin Gundah dengan Modernisasi Alutsista TNI AU. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http://tni-au.mil.id/pustaka/ australia-makin-gundah-denganmodernisasi-alutsista-tni-au, Reuters. (2015). Thai navy approves US$1.1b plan to buy submarines from China. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http://www.channelnewsasia.com/ news/asiapacific/thai-navy-approvesus-1/1956272.html, Rinaldi, Ingki dan Edna Pattisina. Volume 8, Nomor 1, Juni 2016 Yoan Pellokila (2015). Kemenangan Petembak Indonesia di Australia Terus Bergema. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http://nasional.kompas. c o m / re a d / 2 0 1 5 / 0 6 / 0 5 / 2 3 0 0 0 0 8 1 / Kemenangan.Petembak.Indonesia. di.Australia.Terus.Bergema?utm_ s o u rc e = n e w s & u t m _ m e d i u m = b p kompas&utm_campaign=related&, Said, Budiman Djoko. (2015). Penangkalan (Strategi) atau Penggetaran. diakses pada tanggal 25 Juli 2015. http://www. fkpmaritim.org/penangkalan-strategiatau-penggetaran/, Salim. (2015). Perspektif keamanan di kawasan ASEAN dan campur tangan negara besar. diakses pada tanggal 28 April 2015. http://www.tandef.net/perspektifkeamanan-di-kawasan-asean-dancampur-tangan-negara-besar, Setiawan, Agus. (2015). Perancis Tawarkan Alih Teknologi “Stealth” Indonesian Fighter Jets Experiment (IFX). diakses pada tanggal 28 April 2015. http:// theglobal-review.com/content_detail. php?lang=id&id=8722&type=7#. Va7YZflViko Simatupang, G.E.G. (2015). Diplomasi Pertahanan ASEAN dalam Rangka Stabilitas Kawasan. diakses pada tanggal 28 April 2015. http://www. fkpmaritim.org/diplomasi-pertahananasean-dalam-rangka-stabilitaskawasan/, Syah, Efran. (2015). Persaingan Senjata di kawasan asia Tenggara. diakses pada tanggal 28 April 2015. http:// www.artileri.org/2012/11/persaingansenjata-di-kawasan-asia.html, SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). (2013). “The sipri top 100 arms - producing companies, 2013. diakses pada tanggal 28 April 2015. http://www.sipri.org/research/ armaments/production/recent-trendsJurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 103 Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara Yoan Pellokila in-arms-industry/The%20SIPRI%20 Top%20100%202013.pdf, Siap Tanda Tangan Kontrak Baru, Rosoboronexport Berencana Kirim 50 Unit BMP-3F ke Indonesia. diakses pada tanggal 25 Juli 2015. http:// indonesia.rbth.com/news/2015/03/18/ siap_tanda_tangan_kontrak_baru_ rosoboronexport_berencana_kirim_50_ unit_b_27133.html, Rantis Komodo 4×4, Meneruskan Tuah Sukses Anoa 6×6. diakses pada tanggal 23 Juli 2015. http://www. kodam17cenderawasih.mil.id/ pengetahuan/militer/alat-utamasistem-senjata/rantis-komodo-4x4meneruskan-tuah-sukses-anoa-6x6/, 104 Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan Volume 8, Nomor 1, Juni 2016