reSPonS inDoneSia Dalam PerSaingan militer Di

advertisement
RESPONS INDONESIA DALAM PERSAINGAN MILITER
DI ASIA TENGGARA
Yoan Pellokila1
Abstract
A few decades, Southeast Asia region saw a massive military build-up. To some extent it is
motivated by growing external and internal threats facing by countries in the region, as well as
steady economic growth. Amongst countries such as Malaysia, Singapore, Vietnam, and Thailand
have been undergoing military modernisation through military procurement. This paper seeks to
find out how does Indonesia respond to the military modernisation if not military competition in
the region. This paper argues that Indonesia has been conducting military modernisation through
so-called Minimum Essential Forces Policy. Among other Indonesia’s important responses are
military cooperation and procurement from many countries, conducting joint military operation,
and strengthening national military industry.
Keywords: Military competition, Southeast Asia, Indonesia
Pendahuluan
Para analis Asia Tenggara menunjukkan
bahwa negara-negara di kawasan Asia
Tenggara
melakukan
modernisasi
kekuatan militer dalam berbagai variasi.
Andrew Tan, misalnya mensinyalir
bahwa sejak pertengahan 2000an tren
modernisasi ini dapat dilihat dari
meningkatnya kecanggihan teknologi,
sumber daya yang semakin beragam,
pengenalan kapabilitas baru, penekanan
pada perlindungan sumber daya alam
(khususnya sumberdaya maritim) dan tren
perlombaan akuisisi senjata (Tan, 2004;
24). Richard A. Bitzinger, seorang peneliti
pertahanan dan keamanan Asia Pasifik
dan koordinator Military Transformations
Program di S.Rajaratnam School of
International Studies menggambarkannya
dengan faktor penggerak (driver) dan
faktor yang memampukan (enabler). Faktor
penggerak ini meliputi adanya ketegangan
regional, kebutuhan proyeksi kekuatan
baru, pergeseran aktivitas militer Amerika
Serikat ke Asia dan semakin meningkatnya
kehadiran China di Laut China Selatan.
Sedangkan faktor yang memampukan Asia
melakukan modernisasi militernya adalah
meningkatnya
anggaran
pertahanan
negara-negara ini dan sisi penawaran
ekonomi yaitu “pasar pembeli” untuk
persenjataan (Dikutip dari Simatupang,
Alumnus Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta.
1
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 81
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
2015). Pendapat Bitzinger dan Tan ini
mengafirmasi
bahwa
pertumbuhan
ekonomi, kewajiban pengawasan dan
perlindungan ZEE, ketegangan antar
negara di kawasan, keamanan dalam
negeri, meluasnya cakupan keamanan
regional dan gengsi (menjaga kehormatan/
kewibawaan) merupakan faktor dibalik
pembangunan kekuatan bersenjata di
kawasan ini.
Negara-negara di kawasan Asia
Tenggara memang memiliki arsitektur kerja
sama dan instrumen yang bisa mencegah
terjadinya konflik terbuka dan benturan
kekuatan di kawasan ini yakni kerja sama
yang digerakkan oleh ASEAN. Namun
demikian tidak pernah ada garansi bahwa
konflik dan benturan kekuatan itu tidak
terjadi. Peluang adanya perang terbuka
tetap ada sebagai konsekuensi logis dari
perbedaan antar negara-negara Asia
Tenggara; mulai dari sistem politik, segi
ideologi, kepentingan, kebijakan ekonomi,
serta strategi dan kebijakan nasionalnya
masing-masing negara anggota ASEAN.
Di samping itu, bahwa di antara negaranegara di kawasan ini masih ada yang
memiliki akar konflik, seperti sengketa
perbatasan, kompetisi politik dan rivalitas,
benturan kepentingan ekonomi dan
energi, dan lain-lain. Juga ada negara yang
di masa lalu pernah terlibat dalam konflik
bahkan peperangan dengan negara lain di
kawasan ini.
Sebagai
gambaran
adanya
pembangunan militer yang intensif di
kawasan ini antara lain, Vietnam yang
memodernisasi persenjataan utamanya
dengan 97 persen dibeli dari Rusia pada
2007 sampai 2011 yang diantaranya berupa
fregat (kapal perang ukuran menengah),
pesawat tempur dan sistem rudal pantai
Bastion (Gurov, 2015). Hal ini pun
berimplikasi terhadap negara tetangga
vietnam yaitu Thailand yang meningkatkan
82
Yoan Pellokila
belanja militernya dari 1,5 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2011
menjadi 1,8 persen tahun 2016. Alutsista
yang banyak dipesan adalah sistem canggih
pertahanan seperti pesawat tempur,
helikopter militer, kendaraan lapis baja,
alat-alat pengintai, kapal perang dan kapal
selam (Simatupang, 2015). Filipina, yang
bergantung pada Amerika Serikat untuk
90 persen persenjataan mereka, berencana
menganggarkan $1,8 miliar di tahun 2015
untuk meningkatkan mutu persenjataan
selama lima tahun setelah melihat ancaman
yang meningkat dari Tiongkok terkait
konflik Laut Cina Selatan yang berfokus
pada angkatan laut dan angkatan udara
yang dianggap kurang memadai seperti
pembelian jet tempur dari Korea Selatan
dan kapal Landing Platform Dock (kapal
pendarat) dari Indonesia (O’Callahan,
2015). Bahkan Singapura, negara kecil ini
telah menjadi negara terbesar kelima di
dunia dalam urusan impor senjata. Di tahun
2012 saja, Singapura telah mengalokasikan
US$ 9,7 miliar untuk belanja pertahanan.
Ini merupakan 24 persen dari anggaran
nasionalnya. Beberapa pembelian Negara
ini yaitu membeli jet tempur dari Amerika
Serikat dan kapal selam dari Swedia (Syah,
2012).
Di
Indonesia
sendiri
sistem
keamanan negara sudah diatur dalam
undang-undang
dimana
pertahanan
negara merupakan salah satu elemen
pokok karena menyangkut kepentingan
untuk melindungi warga negara, wilayah,
dan sistem politiknya dari ancaman negara
lain. Berdasarkan data yang dirilis oleh
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia
tahun 2010, 70 persen alutsista Indonesia
berada dalam kondisi yang sudah tua, atau
minimal berusia 20 tahun. Kendalanya
lainnya ada pada pemeliharaan dan
perawatan yang kadang kala terbentur
pada ketersedian suku cadang walaupun
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
anggarannya sudah ada dalam perencanaan.
Selain itu, ancaman keamanan regional
yang semakin kompleks dalam berbagai
bentuk gangguan baik langsung, tidak
langsung, terlihat maupun tidak terlihat
terhadap kedaulatan, basis-basis vital
regional (ekonomi, militer, dan informasi),
penduduk, teritorial, ataupun segala bentuk
usaha serangan secara konvensional, nonkonvensional, maupun asimetrik terhadap
suatu bangsa dalam skala regional. Karena
itu, upaya peningkatan kemampuan
pertahanan melalui kebijakan, strategi, dan
perencanaan pertahanan yang mengarah
kepada pembentukan minimum essential
force mesti disesuaikan dengan kemajuan
zaman serta rintangan ke depan yang
menyangkut ancaman negara dan potensi
bencana alam.
Menanggapi hal tersebut dan seiring
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang makin membaik, maka alokasi
anggaran untuk pertahanan Indonesia
pun mengalami peningkatan meski masih
relatif kecil dibandingkan negara-negara
ASEAN lain dalam hal belanja modal
persenjataan. Kebijakan modernisasi alat
utama sistem persenjataan diantaranya
dengan pembelian kapal perang kelas
Sigma dari Belanda dan rudal anti kapal
dari Tiongkok. Tak hanya membeli
persenjataan baru, Indonesia selama 2011
juga telah menjajaki dan menyepakati
sejumlah hibah alat utama sistem senjata
yang ditawarkan seperti pesawat tempur
F-16 Fighting Falcon. Berdasarkan latar
belakang masalah di atas maka paper ini
akan membahas mengenai bagaimana
kebijakan pertahanan Indonesia dalam
menyikapi persaingan persenjataan di
kawasan Asia Tenggara. Perkembangan kekuatan militer di Asia
Tenggara
Ancaman keamanan regional merupakan
segala bentuk gangguan baik langsung,
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
tidak langsung, terlihat maupun tidak
terlihat terhadap kedaulatan suatu bangsa
dalam skala regional. Ancaman keamanan
dapat berkembang semakin besar dan
kompleks hingga mengganggu stabilitas
kawasan. Asia Tenggara tidak terlepas dari
bahaya ancaman keamanan regional yang
dapat mengganggu stabilitas kawasannya,
misalnya
berkurangnya
intensitas
hubungan dan kerjasama antar negara baik
dalam bidang politik, ekonomi, militer,
sosial dan budaya, dan bidang lainnya.
Dalam konteks stabilitas keamanan
regional, sejumlah isu keamanan terdapat
dalam negara-negara Asia Tenggara baik
isu keamanan tradisional (military security)
dan isu keamanan non tradisional (nonmilitary security). Isu keamanan tradisional
mencakup sengketa wilayah perbatasan,
perlombaan persenjataan, dan proliferasi
senjata nuklir dan senjata pemusnah massal,
Isu keamanan non tradisional seperti
terorisme, narkotika, perompakan, human
trafficking, Illegal fishing, illegal logging,
hingga gerakan separatis. Permasalahan
ini menyebabkan setiap negara berupaya
untuk melakukan peningkatan kekuatan
militer
yang
dipandangnya
dapat
digunakan untuk mencegah dan mengatasi
masalah tersebut (Khairendi, 2014; 210).
Peningkatan
kemampuan
persenjataan
negara-negara
anggota
ASEAN salah satunya disebabkan oleh
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
mempertemukannya dengan pemasok
senjata yang melihat kawasan Asia
Tenggara sebagai pasar untuk menjual
produk - produk mereka. Pada kurun
waktu 2013, sebagian besar negaranegara Asia Tenggara meningkatkan
belanja
pertahanannya
sehingga
membuat Asia Tenggara merupakan
pasar yang menarik bagi industri-industri
pertahanan Internasional. Pertumbuhan
belanja pertahanan menopang program
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 83
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
modernisasi pertahanan di negara-negara
besar Asia Tenggara seperti Indonesia,
Singapura, Malaysia, Vietnam dan
Thailand. Pertumbuhan ekonomi yang kuat
ditambah dengan isu keamanan internal
maupun perselisihan regional menjadi
pendorong utama bagi pertumbuhan
belanja pertahanan di Asia Tenggara.
Berikut tabel presentase besaran belanja
regional negara – negara di Asia Tenggara
tahun 2013:
Yoan Pellokila
ditujukan untuk menghadapi ancaman,
semakin kuat kemampuan ofensif negara
tersebut dan semakin besar kemampuan
penangkalan terdapat ancaman yang ada.
Singapura
Kebijakan pertahanan Singapura bertujuan
untuk menjamin negeri itu menikmati
perdamaian dan stabilitas dan melindungi
kedaulatan dan keutuhan wilayah negeri
itu. Untuk mencapai tujuan tersebut,
diplomasi dan penangkalan merupakan
Diagram.1
Sumber : Australian Department of Defence (DOD). (2014). South East Asia Regional
Overview., Defence Economic Trends In The Asia - Pasific 2014, DIO Reference Aid 14–004,
April.hal.6
Nilai Kedaulatan dan kepentingan
politik yang mengarah pada potensi konflik
laut dan maraknya konflik wilayah teritorial
antar negara di kawasan memicu sikap
negara, baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk menggunakan pendekatan
militeristik dan mulai mengembangkan
kemampuan persenjataan dan militernya.
Pengembangan kekuatan militer terlihat
dari besarnya belanja militer yang ditujukan
untuk melakukan balancing kekuatan oleh
negara – negara di kawasan Asia Tenggara.
Pengembangan militer menjadi salah satu
langkah bagi beberapa negara di kawasan
untuk mendukung kesiapan operasi militer
pasukan dalam upaya menangkal ancaman.
Semakin besar belanja militer yang
84
dua pilar dalam kebijakan pertahanan
Singapura. Singapura dikenal merupakan
salah satu negara dengan sistem pertahanan
yang terbaik di dunia. Setiap warga negara
Singapura yang telah dewasa dipastikan
telah mengikuti program National Service
dan merupakan bagian dari komponen
cadangan pertahanan (Ali, 2015).
Singapura, sebagai negara kecil
dikelilingi tetangga-tetangga yang lebih
besar di kawasan Asia tenggara mempunyai
perasaan kerentanan yang kemudian
mendorong
pemerintah
Singapura
menjadi negara dengan anggaran terbesar
di kawasan Asia Tenggara. Singapura terus
menjaga peningkatan anggaran pertahanan
yang
stabil.
Anggaran
pertahanan
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Singapura 2014 diumumkan senilai $12.56
miliar SGD ($9.93 miliar USD), naik 3,2
persen dari anggaran pengeluaran pada
2013 (Chow, 2015). Menteri Pertahanan
Ng Eng Hen di depan Parlemen
Singapura mengatakan bahwa alasan
peningkatan anggaran yang stabil adalah
upaya Singapura dalam pembangunan
kemampuan pertahanannya sehingga
mencapai
kemampuan
pencegahan
strategis, dan juga untuk menghindari
kondisi tidak siap menghadapi potensi
resiko ancaman yang tidak diperkirakan
dan bisa terjadi kapan saja (Chow, 2015).
Di bulan Desember 2013, Singapura
menendatangani
kontrak
dengan
galangan kapal Jerman, ThyssenKrupp
Marine Systems, untuk medatangkan
dua kapal selam tipe 218SG. Singapura
juga mengumumkan untuk membuat
delapan kapal patrol baru yang akan
menggantikan kapal patrol lama dari kelas
Fearless, yang akan didatangkan bertahap
mulai tahun 2016. Sebelumnya, Di bulan
September tahun 2013, pemerintah
Singapura mengumumkan rencana untuk
mengakusisi sistem rudal pertahanan udara
Aster-30 dan juga untuk memodernisasi
armada pesawat tempur F-16 mereka.
Singapura juga berencana mengganti
pesawat tanker KC-135R dengan pesawat
tanker multiperan Airbus A330 atau Boeing
767 (Australian DOD, 2014; 23).
Industri militer di Singapura itu
pun sangat maju, berdasarkan data dari
Stockholm International Peace Research
Institute (SIPRI), Singapore Technologies
Engineering menempati peringkat 49 di
antara perusahaan-perusahaan senjata
terbesar di dunia pada tahun 2013, dengan
nilai penjualan mencapai sekitar Rp 26
triliun. Dari 100 produsen senjata terbesar
dunia (tidak termasuk Cina yang tidak
ada datanya), 47 perusahaan diantaranya
adalah perusahaan AS, 27 perusahaan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
Eropa, dan 9 perusahaan Rusia (SIPRI,
2015).
Dalam daftar 50 perusahaan
senjata terbesar dunia itu, hanya ada tiga
perusahaan senjata dari negara-negara
berpenduduk sedikit yang mengungguli
ST Engg, yaitu Israel Aerospace Industries
(peringkat 37), Elbit Systems Israel (35) dan
Saab Swedia (28). Beberapa produk alutsista
Singapura adalah: meriam Pegasus,
senjata artileri otomatis Primus, kendaraan
tempur Bionix, dan pesawat tanpa awak
Hermes. Tidak diragukan, industri senjata
Singapura telah mampu membangun,
mengembangkan, mempertahankan, dan
menempatkanya pada posisi industri
alutsista besar dunia (Darwanto, 2015).
Malaysia
Dimulai dengan program PERISTA
(Perkembangan
Istimewa
Angkatan
Tentera) pada tahun 1979, Malaysia
bertekad
untuk
membangun
dan
memodernisasi kemampuan konvensional
angkatan bersenjatanya yang di tandai
dengan pembelian pesawat tempur F-18
Hornet dari Amerika Serikat dan Mig
29 dari Russia karena terdorong dengan
kebijakan Singapura dan Indonesia yang
lebih dahulu mengakusisi pesawat tempur
F16 dari Amerika. Namun krisis ekonomi
tahun 1997 membuat program modernisasi
angkatan bersenjata Malaysia tertahan
(Tan, 2004; 9).
Di tahun 2002, menteri pertahanan
Najib Tun Razak memgumumkan akan
melanjutkan program modernisasi dengan
menganggarkan dana satu Milyar Ringgit
untuk membeli 48 Tank T-91 dari Polandia
dan diikuti dengan pembelian senapan
serbu Styer serta kendaraan tempur lapis
baja (IFV) dari Turki. Pada bulan Mei 2003,
Malaysia memperkuat armada angkatan
udaranya dengan memesan 18 Sukhoi SU30 MKM senilai enam miliar Ringgit dari
Rusia yang dikirim ke Malaysia secara
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 85
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
bertahap dari tahun 2007 sampai tahun
2009 (Tan, 2004, 10). Sukhoi SU-30 MKM ini
disebut – sebut merupakan varian Sukhoi
tercanggih di Asia Tenggara.
Tidak hanya di armada udara dan
armada darat, proses modernisasi juga
terjadi di armada laut yaitu pengadaan dua
kapal selam Scorpene dari Prancis dengan
kontrak senilai 3,4 miliar Ringgit Malaysia
termasuk dengan program pelatihan awak
kapal selam. Selain kapal selam, sebelumnya
Malaysia juga sudah mendatangkan 2 unit
kapal fregat kelas Lekiu dari Inggris yang
dibangun berdasarkan desain YARROW
F2000. Kedua fregat tersebut adalah KD
Jebat (29) dan KD Lekiu (30). Fregat - fregat
ini dipersenjatai dengan rudal permukaanpermukaan Exocet MM40 SSM dan rudal
anti pesawat udara Sea Wolf dengan sistem
peluncur tegak (VLS). Fregat ini juga
mampu menampung sebuah helikopter
Westland Super Lynx 300 buatan Inggris.
Tidak hanya melakukan pembelian,
galangan kapal lokal Malaysia, Boustead
Naval Shipyard bekerjasama dengan
galangan kapal jerman, German Naval
Group juga sukses membangun kapal
patroli kelas Kedah. Boustead Naval
Shipyard juga di tunjuk oleh pemerintah
Malaysia untuk membuat kapal perang
masa depan Malaysia. Kontrak senilai 9
miliar Ringgit di keluarkan Kementrian
Pertahanan Malaysia kepada Boustead
Naval Shipyard untuk membangun enam
Kapal Patroli Generasi Kedua (Second
Generation Patrol Vessel /SGPV) sebagai
bagian dari program Kapal Perang
Litoral (Littoral Combat Ship/LCS) dengan
kemampuan kombatan untuk Tentera
Laut Diraja Malaysia. Selain pengadaan
kapal perang, Malaysia juga membangun
sejumlah pangkalan baru Tentara Laut
Diraja Malaysia (TLDM), seperti di Lumut
dan Sabah. Untuk memperkuat pertahanan
maritim di sekitar Laut Sulu, Laut
86
Yoan Pellokila
Sulawesi dan Laut Cina Selatan, Malaysia
mengembangkan pangkalan Angkatan
Laut di Teluk Sepanggar, Sabah, yang
menjadi pangkalan induk kapal selam.
Pembangunan sejumlah pangkalan
TLDM di wilayah Sabah menandakan
adanya perluasan strategi maritim
Malaysia, yang semula hanya berfokus
terhadap keamanan Selat Malaka, kini
melebar ke Laut Natuna, Laut Sulu dan
Laut Sulawesi. Perluasan strategi maritim
hingga ke ketiga perairan dilatarbelakangi
oleh isu politik keamanan dan ekonomi.
Dari isu politik keamanan, wilayah Serawak
dan Sabah merupakan bagian integral dari
Malaysia, sehingga salah satu tugas pokok
TLDM adalah menjamin kedaulatan
wilayahnya. Perairan Laut Sulu dan Laut
Sulawesi merupakan kawasan rawan
aktivitas terorisme yang berpusat di Pulau
Mindanao, Filipina yang berimplikasi
negatif terhadap keamanan Malaysia di
wilayah Sabah dan sekitarnya. Sedangkan
isu ekonomi tak lepas dari banyaknya
potensi kandungan minyak dan gas bumi
di Blok Ambalat yang membuat Malaysia
harus terlibat sengketa dengan Indonesia.
Vietnam
Vietnam menyadari bahwa dihadapkan
dengan tantangan keamanan yang lebih
beragam dan kompleks, seperti masalah
di Laut Tiongkok Selatan yang memiliki
dampak serius pada kegiatan maritim
Vietnam, dan juga ancaman non-tradisional,
seperti pembajakan dan terorisme. Selama
era Perang Dingin, Uni Soviet adalah donor
terbesar bantuan untuk Vietnam. Setelah
runtuhnya Uni Soviet, Vietnam dengan
cepat memperluas hubungan diplomatik,
termasuk dengan Amerika Serikat.
Dalam beberapa tahun terakhir,
Vietnam memperkuat hubungan dengan
Amerika Serikat di bidang militer melalui
latihan bersama dengan Angkatan Laut
AS dan Angkatan Udara Amerika Serikat.
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Pada bulan September 2011, kedua negara
menandatangani
nota
kesepahaman
kerja sama antara kedua kementerian
pertahanan. Pada bulan Desember tahun
2013, AS Menteri Luar Negeri John Kerry
mengunjungi Vietnam, mengumumkan
dukungan dari 1,8 juta Dollar dalam
pengembangan kapasitas maritim.
Vietnam
juga
meningkatkan
hubungan bilateral dengan Rusia dalam
kemitraan strategis yang komprehensif
dan untuk memperkuat kerjasama di
bidang pertahanan. Pada Maret 2013,
Menteri Pertahanan Federasi Rusia, Sergey
Shoygu, mengunjungi Vietnam dan kedua
belah pihak sepakat untuk bersamasama membangun fasilitas pemeliharaan
kapal perang di teluk Cam Ranh.
Selanjutnya, ketika Presiden Vladimir
Putin mengunjungi Vietnam pada bulan
November tahun yang sama, ia setuju
bahwa Rusia akan memberikan dukungan
untuk pelatihan Tentara Rakyat Vietnam
dan Angkatan Laut Rakyat Vietnam. Dalam
beberapa tahun terakhir, kedua negara
juga mengembangkan kerjasama di sektor
energi, seperti pembangkit listrik tenaga
nuklir. Vietnam juga hampir sepenuhnya
tergantung pada Rusia untuk peralatan
pertahanan.
Pada rentang waktu 2004-2013.
Vietnam adalah negara dengan peningkatan
anggaran terbesar yaitu 113 persen (Defense
of Japan, 2013; 70). Peningkatan anggaran
pertahanan secara signifikan dilakukan oleh
Vietnam yang secara jelas dapat dimengerti
jika dipandang sebagai respon terhadap
kebijakan Tiongkok yang menunjukan sikap
semakin berkehendak untuk menguasi
Laut China Selatan baik secara diplomasi
dan disertai dengan kekuatan militernya
yang terus dibangun. Posisi Vietnam
sebagai pihak yang mengklaim Laut China
Selatan juga semakin mendorong Vietnam
untuk memodernisasi Angkatan Lautnya.
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
Ekspansi Tiongkok telah menjadi salah
satu alasan utama mengapa Vietnam
mempercepat
modernisasi
kekuatan
lautnya.
Kebijakan Vietnam di matra lautnya
dilakukan dengan pembelian alutsista
seperti kapal selam tipe Kilo-class dari Rusia
sebanyak 6 unit. Kapal selam tipe Kiloclass dikenal sebagai kapal selam dengan
daya senyap dan daya hancur yang tinggi
serta dilengkapi perangkat anti deteksi.
Kerjasama angkatan laut Vietnam dengan
Rusia dilanjutkan dengan pembelian
sistem pertahanan pantai Bastion–P dan
kapal perang kelas Gepard disertai dengan
rudal anti kapal Kh-35 Uran (SIPRI,
2015). Selain dengan Rusia, Vietnam juga
bekerjasama dengan perusahaan pembuat
kapal perang dari Belanda, Damen Schelde
Naval Shipbuilding, untuk membuat empat
korvet SIGMA (Ship Integrated Geometrical
Modular Approach).
Untuk matra udara, pada tahun 2012,
Angkatan Udara Vietnam tercatat memiliki
setidaknya 24 pesawat Su-30 MK2V dan
sekitar 15 pesawat Su-27 SK/UBK. Untuk
Su-30MK2V ini adalah pesawat yang
hampir sama dengan pesawat Su-30MK2
yang dimiliki Indonesia. Gabungan antara
24 SU-30 MK2V dan 15 Su-27 SK/UBK
akan menghasilkan kekuatan sekitar 39
Sukhoi series, tentunya memberikan efek
deterrent yang dahsyat. Pesawat-pesawat
ini merupakan First Class Jet Fighter di
Angkatan Udara Vietnam. Selain pesawat
itu, kekuatan AU Vietnam masih ditambah
dengan kehadiran sekitar 144 pesawat
Mig-21 dan sekitar 53 pesawat Sukhoi-22.
Kedua jenis pesawat ini sudah termasuk
kategori “tua”, namun jumlahnya yang
begitu banyak tentunya juga akan
memberikan efek gentar yang tidak bisa
diabaikan (http://analisismiliter.com/artikel/
part/15/Peta_Kekuatan_Angkatan_Udara_di_
Asia_Tenggara_Part_1).
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 87
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Thailand
Penguatan militer Thailand ditandai
dengan dianggarkannya dana senilai 3
miliar Baht untuk membeli sistem radar
pertahanan udara dan sistem komunikasi
yang di tempatkan di perbatasan dengan
Myanmar dan Kamboja. Dilanjutkan
dengan pembelian 2 kapal Frigate dari
Inggris dengan dana sebesar 4 miliar Baht
yang dilakukan dengan imbal-dagang
komoditas pertanian. Pada tahun 2005,
Thailand berencana membeli sejumlah
senjata sebagai respon terhadap gangguan
keamanan yang dilakukan oleh separatis
di propinsi Thailand selatan. Dengan
menganggarkan dana 640 juta Baht
Thailand berencana membeli sejumlah
persenjataan dari Amerika Serikat termasuk
senapan serbu M16. Selain itu militer
Thailand juga mengumumkan bahwa ada
keinginan untuk mengganti peralatan
yang lama dengan yang baru. Thailand
juga mengumumkan rencana sepuluh
tahun dalam jangka waktu tahun 2006 –
2014, yang terdiri dari perbaikan senjata
yang rusak, pembelian senjata baru, dan
modernisasi peralatan militer (National
Institute for Defence Studies, 2007; 160).
Pada
tahun
2011,
Thailand
mengumumkan kebijakan pertahanan
dan keamanannya, yang bertujuan untuk
meningkatkan
kemampuan,
militer
mengembangkan industri pertahanan,
mempromosikan kerjasama yang kooperatif
dengan negara – negara tetangga serta
memperkuat kemampuan pertahanan
dalam menghadapi ancaman tradisional
seperti masalah sengketa perbatasan dan
non-tradisional seperti serangan dari
kelompok radikal yang sering terjadi di
Thailand selatan. Hal ini ditandai dengan
pembelian peralatan militer seperti 49 unit
MBT (Main Battle Tank) baru T-84 Oplot-M
dari Ukraina senilai 7.155 miliar bath,
Helikopter tempur Bell AH-1F Cobra dan
88
Yoan Pellokila
helicopter angkut Bell-214 dari Amerika
Serikat serta sejumlah kendaraan taktis
dari Afrika Selatan (Defense of Japan,2013;
69).
Angkatan udara Thailand memiliki
armada udara yang sebagian besar
merupakan buatan negara-negara barat,
berbeda dengan Malaysia dan Indonesia,
yang memiliki kombinasi barat dan timur.
Kekuatan udara Thailand sendiri cukup
disegani karena memiliki jumlah jet
tempur yang banyak, bahkan jauh lebih
banyak dari TNI AU saat ini. Tercatat saat
ini, sebagai First Class Jet Fighter mereka
memiliki 18 pesawat JAS-39 Grippin dari
Swedia. Pesawat ini masih tergolong
baru. Pesawat ini memang tidak termasuk
dalam kategori Heavy Jet Fighter sekelas
Su-30MKM
Malaysia,
Su-27SKM/Su30MK2 Indonesia, F-15 SG Singapura
maupun Su-27SK/Su-30MK2V Vietnam.
Namun kualitasnya cukup disegani
karena dilengkapi radar dan senjata yang
cukup mumpuni. Selain Gippen, Thailand
memiliki sekitar 56 pesawat F-16 A/B yang
sebagian sudah di upgrade setara Block
52. Tentunya jumlah yang sedemikian
banyak akan memberikan efek gentar yang
menggetarkan. Dibandingkan dengan
Indonesia yang hanya 14 F-16 A/B dan
C/D, tentunya jumlah F-16 Thailand ini
cukup disegani. Selain itu mereka juga
masih memiliki sekitar 30 F-5. Ditambah
lagi beberapa pesawat lainnya seperti
Alpha Jet dan L-39ZA yang difungsikan
sebagai pesawat latih namun juga memiliki
perang sebagai pesawat serang ringan
(http://analisismiliter.com/artikel/part/15/
Peta_Kekuatan_Angkatan_Udara_di_Asia_
Tenggara_Part_1).
Thailand sudah memiliki pesawat
peringatan dini (AEW) yaitu 2 pesawat
Saab 340 dari Swedia yang merupakan satu
paket pembelian dengan JAS-39 Grippen.
Kehadiran 2 buah pesawat peringatan dini
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
ini setidaknya sudah memberikan tambahan
kekuatan bagi angkatan udara Thailand.
Pesawat ini akan memberikan peringatan
jika ada bahaya yang mengancam sehingga
pesawat lainnya bisa menyiapkan tindakan
terhadap semua ancaman tersebut.
Sedangkan senjata untuk pesawatnya,
Thailand cukup memiliki arsenal yang
mumpuni. Diantaranya merekan memiliki
rudal AIM-120C5 sejenis dengan yang
dimiliki Malaysia namun masih kalah dari
rudal AIM-120C7 milik Singapura. Selain
itu, AU Thailand juga memiliki rudal AIM-9
Sidewinder, rudal IRIS-T dari Jerman dan
Phyton-4 dari Israel. Kehadirannya rudalrudal cukup memberikan efek gentar di
kawasan.
Thailand saat ini belum memiliki
alutsista kapal selam, namun Thailand
punya rencana serius untuk segera memiliki
alutsista berupa kapal selam canggih.
Thailand bahkan sudah mengirimkan
banyak personel militer mereka untuk
belajar ke beberapa negara. Secara resmi,
angkatan laut Thailand meluncurkan pusat
pelatihan kapal selam dengan mengirim
petugas ke Korea Selatan dan Jerman
untuk program pelatihan (Nugroho, 2015).
Tujuan dari pengiriman personil militer
ini adalah agar Thailand memiliki Sumber
daya manusia (SDM) yang mencukupi
ketika mereka punya alutsista kapal selam.
Selain mempersiapkan SDM, Thailand juga
mempersiapkan fasilitas dan infrastruktur
untuk kapal selam, meski mereka belum
punya satupun alutsista kapal selam.
Langkah ini diambil pemerintah Thailand
agar mereka tidak tertinggal dari negara
tetangganya yang sudah terlebih dahulu
memiliki kapal selam.
Kementerian Pertahanan Thailand
mengharapkan pengadaan dua sampai tiga
kapal selam dalam anggaran 2016. Menteri
Pertahanan Thailand yang merupakan
Pensiunan Angkatan Darat, Jenderal Prawit
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
Wongsuwon sudah mendukung rencana
tersebut, dan menunggu pertimbangan
biaya. Diantara kapal selam canggih yang
sudah ditawarkan ke Thailand seperti
Kapal selam dari China, Rusia dan Jerman,
pemerintah Thailand akhinya memilih
untuk mengakusisi 3 kapal selam buatan
China dengan kontrak senilai 1,1 miliar
Dollar (Reuter, 2015).
Fokus pertahanan dan keamanan
Thailand saat ini adalah memelihara
keamanan
internalnya
karena
meningkatnya
aktivitas
terorisme,
demonstrasi massal dan instabilitas
internal.
Selain
masalah
internal,
ketegangan masalah perbatasan antara
Malaysia, Kamboja dan Myanmar juga
menjadi perhatian negara ini. Di lain pihak,
keamanan Laut Andaman juga diperketat.
Imigran ilegal, narkoba dan pengungsi
yang melintasi perbatasan adalah isu-isu
khusus yang menjadi perhatian Thailand.
Thailand dan Kamboja juga bermasalah
dengan perbatasan maritim di Teluk
Thailand yang dipercaya mengandung
sumberdaya gas dan mineral dan juga
sengketa terhadap Kuil Preah Vihear.
Respons Indonesia Melalui Kerjasama
Pengadaan Alutsista
Pengadaan alutsista TNI sudah diatur
dalam Keppres Nomor 1 dan Keppres
Nomor 15 Tahun 2005 untuk pengadaan di
atas Rp 50 miliar atau bila menggunakan
kredit
ekspor.
Dalam
pengaturan
pembelian alutsista, fungsi TNI adalah
sebagai pengguna (user) dan Kementerian
Pertahanan (Kemhan) sebagai pengambil
kebijakan dan eksekutor. Tentu saja TNI
akan menetapkan tim penilai agar spesiļ¬kasi
alutsista yang akan dibeli sesuai kebutuhan.
Dalam pengadaan alutsista, kebijakan yang
dirumuskan Kementerian Pertahanan harus
memprioritaskan kepentingan nasional.
Dalam hal ini, Program Pembangunan
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 89
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Kekuatan (Probangkuat) harus terpadu
antara kepentingan angkatan, Mabes TNI,
dan Kemhan (Zulkarnain, 2015).
Apabila produk tersebut belum
dapat dibuat di Indonesia, maka pembelian
tersebut harus disertai dengan skema offset
atau alih teknologi. Skema offset adalah
alah satu bentuk imbal dagang anatar
dua negara, dimana negara pemasok
menyetujui memberikan sejumlah barang/
jasa ataupun dana untuk investasi, joint
production, transfer teknologi, memberikan
peralatan, dan bentuan yang diperlukan
di negara penerima/pembeli. Kesepakatan
imbal dagang ini dituangkan dalam kontrak
agreement lengkap (http://www.indag-diy.
go.id/program_d.php?id=4). Mekanisme offset
dipilih karena dapat memperkecil biaya
yang harus ditanggung bahkan diharapkan
dapat menjadi sumber devisa. Selain itu
offset juga akan mendorong atau menjaga
tingkat ketersediaan lapangan kerja di
industri nasional. Offset juga akan dapat
menyediakan peluang terjadinya proses
alih teknologi. Karena itu Selain pihak
internal Kementerian pertahanan dan
TNI, pihak-pihak lain seperti Kementerian
Keuangan, Badan Usaha Milik Negara
Industri Strategis (BUMNIS), Badan
Usaha Milik Negara Industri Pertahanan
(BUMNIP) dan Badan Usaha Milik Swasta
(BUMS) juga dilibatkan untuk senantiasa
berkoordinasi dalam proses pengadaan
alutsista. Dengan begitu, tujuan pembelian
alutsista selain untuk kebutuhan kekuatan
minimum pertahanan, juga dalam jangka
panjang dapat mendukung kemandirian
bangsa di bidang pertahanan. Berikut
pengadaan alutsista Indonesia dari
beberapa negara:
Pengadaan Alusista dari Korea Selatan
Pada tanggal 23 Jannuari 2006 pemerintah
Indonesia dan Korea Selatan yang diwakili
oleh Menteri Pertahanan Kedua Negara,
Juwono Sudarsono (Indonesia) dan Yoon
90
Yoan Pellokila
Kwan G-ung (Korea Selatan) membuat
kesepakatan untuk meningkatkan status
komite kerjasama bidang pertahanan di
tingkat antar pemerintahan atau Government
to Government (G to G). Kerjasama bidang
pertahanan kedua negara yang selama ini
masih bersifat teknis ditingkatkan pada
level pemerintah antar pemerintah kedua
negara.
Kerjasama militer Indonesia dengan
Korea Selatan yang terbilang sukses adalah
pembuatan 4 unit kapal perang Landing
Platform Dock (LPD) Makassar Class pada
tahun 2004 lalu (http://www.naval-technology.
com/projects/makassar-class-landing-platformdocks/). Dalam kerjasama ini, Indonesia
membeli 4 unit kapal perang LPD Makassar
Class, dimana dua unit pertama dikerjakan
di Korea Selatan dan sisanya dikerjakan
di PT PAL di Surabaya Indonesia (http://
militerindonesia.net/read/43/4_Kerjasama_
Militer_Indonesia_dengan_Korea_Selatan_1,).
Selain membeli LPD, di tahun 2011,
pemerintah Indonesia menandatangani
kontrak pembelian tiga kapal selam
DSME-209 (Improved Changbogo) dari Korea
Selatan dengan nilai kontrak 1,1 miliar
Dollar. Dua unit kapal selam Indonesia ini
akan dikerjakan di Korea Selatan, dimana
unit pertama akan dikerjakan seluruhnya
oleh ahli Korea Selatan. Lalu unit kedua
akan dikerjakan juga di Korea Selatan
dengan melibatkan ahli Korea Selatan dan
Indonesia. Sedangkan unit ketiga kapal
selam Indonesia ini akan dikerjakan di
Indonesia oleh tenaga ahli Indonesia dengan
dibantu oleh ahli dari Korea Selatan. Di
tahun yang sama, Kementerian Pertahanan
RI juga telah melakukan penandatanganan
kontrak dengan perusahaan Korea
Aerospace Industries, untuk pengadaan
16 Unit pesawat latih tempur T-50 seharga
USD 400 juta. Proses pengiriman dilakukan
pada bulan September 2013 hingga
Februari 2014. Pesawat latih tempur T-50
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
ini akan menjadi pengganti dari pesawat
Hawk MK-53 di Skadron Udara 15 Lanud
Iswahyudi Madiun. T-50 memberikan
total sistem pelatihan lanjutan yang akan
memperkenalkan kepada para penerbang
generasi baru pesawat tempur yang
modern dan canggih. Kerjasama Indonesia
dan Korea Selatan juga tertuang dalam
pembelian 22 unit panser pengangkut
pasukan yang sering disebut dengan
panser Tarantula. Di Korea Selatan, panser
Tarantula ini memiliki nama resmi Black
Fox. Mirip dengan kerjasama sebelumnya,
sebagian panser ini juga dikerjakan di
Indonesia sebagai bagian dari transfer of
technology dari Korea Selatan ke Indonesia.
Pengadaan Alutsista dari Rusia
Rusia (kala itu masih Uni Soviet) mulai
menjual senjata kepada Indonesia segera
setelah kedua negara menjalin hubungan
diplomatik pada tahun 1950. Pada tahuntahun awal itu, personil angkatan laut dan
udara Indonesia dikirim untuk belajar ke
Uni Soviet. Namun demikian, hubungan
ini memburuk pada pertengahan 1960an karena alasan politik. Kedua pihak
berusaha untuk membangun kembali
hubungan yang dekat di tahun 2003 yang
diawali dengan kunjungan Presiden
Megawati ke Moskow, Rusia. Presiden
Megawati menandatangani deklarasi
mengenai dasar hubungan persahabatan
dan kemitraan Indonesia dan Rusia
dalam abad 21. Dalam kunjungan tersebut
disepakati perjanjian kerjasama teknikmiliter yang menghasilkan kerjasama
pembelian 2 pesawat jet tempur Sukhoi Su27SK, 2 Sukhoi Su-30MK, 4 helikopter Mi17 dan 2 helikopter Mi-35P dengan sistem
pembayaran melalui imbal dagang dengan
komoditi yang dimiliki oleh Indonesia,
antara lain produk minyak kelapa sawit
mentah dan karet. Dalam bidang teknik
juga telah terjadi pelatihan bagi anggota
TNI, 24 personil TNI Angkatan Udara
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
menjalani pelatihan mekanik dan pilot
untuk pesawat tempur Su-27MK dan Su30MK di Moscow .
Pada tahun 2006 pada masa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono melalui
kunjungannya ke Moskow juga terjadi
kerjasama dengan Rusia dalam berbagai
bidang selain bidang militer, diantaranya
dalam bidang penanganan terorisme,
bidang perdagangan dan investasi, bidang
kebudayaan. Dalam kerjasama teknikmiliter disepakati pelaksanaan program
kerjasama 2006 - 2010, yang meliputi
pengadaan alutsista, perbaikan dan
perawatan suku cadang, pelatihan personel,
pelibatan industri dalam negeri, serta
pemberian lisensi produk. Lalu pada tahun
2007 melalui kunjungan Presiden Rusia
Vladimir Putin ke Indonesia disepakati
perjanjian Kerjasama teknik-militer antara
Indonesia dan Rusia, Rusia bersedia
memberikan pinjaman sebesar 1 miliar US$
yang direalisasikan diantaranya dengan
pembelian 3unit Su-30MK2, yang diterima
pada bulan Febuari 2009, 3 unit Su-27SKM,
yang diterima secara bertahap pada tahun
2010, tambahan 3 unit helicopter serang
MI-35P dan 17 Tank Amfibi BMP-3F.
Pada tahun 2011, Indonesia dan
Rusia kembali sepakat untuk melakukan
pembelian tambahan enam unit Sukhoi
SU-30 MK2 termasuk suku cadang senilai
470 juta Dollar. Enam unit pesawat tempur
Sukhoi Su-30 MK2 kemudian diterima
Kementerian Pertahanan dari pihak
Rosoboronexport Rusia dalam empat
tahap. Pada tanggal 22 Februari 2013
telah diterima dua unit pesawat dan suku
cadang. Tanggal 27 Februari 2013 diterima
empat unit engine dan suku cadang. Pada
tanggal 27 April 2013 telah diterima dua
unit pesawat, delapan engine dan suku
cadang. Terakhir pada tanggal 4 September
2013 diterima dua unit pesawat (http://www.
kemhan.go.id/kemhan/?pg=31&id=1199).
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 91
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Pemerintah
Indonesia
juga
menambah
jumlah
Tank
dengan
menandatangani
kontrak
pembelian
37 unit BMP-3F bernilai 114 juta dolar
AS yang diperuntukkan bagi marinir
Indonesia pada bulan Mei 2013. Pada bulan
Januari 2014, kelompok pengiriman kedua
BMP-3F secara resmi diserahkan kepada
Tentara Nasional Indonesia sehingga
total BMP-3F yang dimiliki TNI adalah
sebanyak 54 unit (http://indonesia.rbth.
com/news/2015/03/18/siap_tanda_tangan_
kontrak_baru_rosoboronexport_berencana_
kirim_50_unit_b_27133.html,).
Pembelian paling memberikan efek
deterrence oleh Indonesia dari Rusia adalah
diakusisinya rudal anti kapal Yakhont
pada tahun 2009. Rudal ini dipasang di
Kapal perang Oswald Siahaan dalam posisi
vertikal (VLS). Rudal Yakhont adalah rudal
yang memiliki kemampuan untuk bisa
meluncur pada ketinggian 5-15 meter di
atas permukaan laut. Dengan ketinggian
terbangnya yang begitu dekat dengan
permukaan air, mengakibatkan radar
dari kapal musuh akan kesulitan untuk
melacak keberadaan rudal ini. Selain itu,
rudal ini memiliki kecepatan luncur 2,5
kali kecepatan suara (Mach 2,5) dengan
jangkauan tembak yang mencapai 300 km.
Pengadaan Alutsista dari Amerika
Serikat
Hubungan Indonesia dan Amerika Serikat
(AS) sempat mengalami penurunan
dimana pada tahun 1991, Amerika Serikat
mengeluarkan kebijakan menghentikan
pasokan alat pertahanan atau embargo
militer ke Indonesia. Embargo diberlakukan
terhadap
Indonesia
atas
sejumlah
pelanggaran HAM seperti yang terjadi di
Timor – Timur maupun di Aceh. Hukuman
dari AS itu membuat Indonesia sempat
tidak berdaya dalam upaya modernisasi
alutsista. Banyak peralatan perangnya,
termasuk jet F-16, dibeli dari Amerika
92
Yoan Pellokila
namun tak bisa dimutakhirkan karena
embargo dari Washington. Kesulitan ini
diperparah oleh krisis moneter 1997-1998
yang membuat pemerintah Indonesia
harus berhemat untuk beberapa tahun.
Sikap Amerika mulai berubah
saat presiden George W. Bush, mencabut
embargo penjualan senjata atas Indonesia
setelah bertemu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di sela-sela Konferensi Tingkat
Tinggi APEC di Korea Selatan pada
November 2005. Di mata Bush, Indonesia
mulai transparan dan menghormati HAM
sekaligus menjadi salah satu mitra kunci
kampanye perang melawan terorisme.
Setelah
mencabut
embargo,
Amerika pun terlihat aktif menawarkan
mesin-mesin perangnya kepada Indonesia.
Pada 2011, AS sepakat menghibahkan 24
unit jet tempur bekas tipe F-16 seri C/D
blok 25 yang dimutakhirkan (upgrade)
menjadi standar blok 52 dengan biaya
upgrade senilai 750 juta USD ditanggung
oleh Indonesia. Kesepakatan tesebut juga
diikuti dengan kesepakatan pembelian
rudal AGM-65K2 Maverick senilai 25 juta
USD dan AIM-9X-2 Sidewinder senilai 47
juta USD (http://www.dsca.mil/major-armssales/indonesia-regeneration-and-upgrade-f16cd-block-25-aircraft,).
Pada 2012, AS dan Indonesia
sepakat menyepakati pembelian delapan
helikopter tempur AH-60E Apache
Guardian buatan Boeing dengan nilai
kontrak sebesar 500 juta USD (http://www.
janes.com/article/48321/boeing-awardedindonesian-ah-64e-contract,). Di tahun yang
sama, Departemen Pertahanan maupun
Kongres AS juga menyetujui pembelian
rudal anti tank Javelin I, sebanyak 25
peluncur dengan 180 rudal oleh Indonesia.
Pembelian ini juga meliputi rudal simulasi,
baterai, suku cadang, sumulator serta
training personil dengan nilai kontrak
seharga 60 juta USD (http://www.dsca.mil/
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
major-arms-sales/indonesia-javelin-missiles,).
Pengadaan Alutsista dari Negara – Negara
Anggota Uni Eropa
Negara-negara anggota Uni Eropa sudah
lama menjadi pasar senjata bagi Indonesia
untuk
meningkatkan
kemampuan
pertahanannya. Pada tahun 2009, untuk
menandai 60 tahun hubungan diplomatik
dan melanjutkan persahabatan antara
kedua negara, Presiden Republik Perancis,
Nicolas Sarkozy, dan Presiden Republik
Indonesia,
Bapak
Susilo
Bambang
Yudhoyono, telah mengadopsi Pernyataan
Bersama pada tanggal 14 Desember 2009 di
Paris, mengharapkan untuk membangun
kemitraan strategis antara Perancis dan
Indonesia. Salah satu poin yang disepakati
adalah “Untuk mempromosikan kerja
sama yang lebih erat di bidang pertahanan
dan keamanan, dan kerja sama strategis
jangka panjang seperti peningkatan
kapasitas, pendidikan dan pertukaran
pejabat pertahanan, industri pertahanan
serta pada operasi penjaga perdamaian
PBB” (http://www.ambafrance-ide.org/IMG/
pdf/Part_Strat_FR_RI01072011.pdf).
Dengan demikian Perancis dan
Indonesia saling mendukung terutama
disektor pertahanan dan keamanan yang
direlisasikan dengan sejumlah pembelian
alutsista seperti radar Ocean Master yang
nantinya akan dipasang di pesawat NC212 dan CN-235 jenis MPA (Maritime Patrol
Aircraft) untuk patrol laut. TNI AL juga turut
membeli 4 unit Sonar TSM-2633 Sperion-B,
80 unit Rudal Anti Pesawat Mistral, 30 unit
Rudal Anti Kapal MM-40 Block-3 Exocet
untuk Korvet kelas SIGMA Indonesia.
Bahkan sejak awal tahun 2000-an Indonesia
telah membeli 15 unit helicopter ringan EC
120 Colibri sebagai helikopter latih TNI AU
dan 5 unit pesawat latih TB-10 TOBAGOGT dari Perancis. Baru pada tahun 2010
PT. Dirgantara Indonesia merakit 4 unit
helicopter AS-532 Cougar dari 10 unit yang
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
dipesan (Setiawan, 2015). Pada tahun 2012,
Indonesia dan Perancis sepakati kontrak
108 Juta Euro untuk pembelian 37 meriam
Caesar. Untuk meningkatkan kemampuan
militer Indonesia dari ancaman bawah laut,
pada tahun 2014, 11 helikopter anti-kapal
selam AS-565 MBe Panther dipesan dari
Perusahaan Airbus Perancis. Helikopter
tersebut akan menjadi inti dari Skuadron
100 yang akan diaktifkan kembali oleh TNI
Angkatan Laut (http://www.cnnindonesia.
com/nasional/20150625090159-20-62231/
tni-borong-helikopter-hidupkan-skuadronpemburu-kapal-selam/,).
Negara tetangga Prancis yaitu Jerman
juga terlibat dalam rencana modernisasi
angkatan bersenjata Indonesia. TNI AD
memperkuat
postur
pertahanannya
dengan mendatangkan Tank Tempur
Utama Leopard dan Tank medium Marder
dari Jerman. Pengadaan Tank tersebut
dilaksanakan melalui nota kesepakatan
yang ditandatangani oleh Kementrian
Pertahanan Indonesia dan Rheinmetall
Defence Jerman di sela-sela acara pameran
alat utama sistem pertahanan (alutsista)
Indo Defence 2012 di Jakarta. Pembelian
tank seberat 63 ton ini juga sudah dilengkapi
dengan kesepakatan transfer teknologi
yang mana PT Pindad dan Bengkel Pusat
Angkatan Darat akan mendapatkan kerja
sama pelatihan untuk perbaikan ringan
hingga berat.
Selain Prancis dan Jerman, Indonesia
juga mengadakan kerjasama dengan
negara Eropa lainnya yaitu Belanda dan
Inggris dalam pengadaan kapal perang
untuk TNI Angkatan Laut. Pada 5 Juni
2012, Kementerian Pertahanan melalui
Badan Sarana Pertahanan menandatangani
kontrak pembelian 1 unit Kapal Perusak
Rudal seri 10514 dari perusahaan
galangan kapal Belanda, Damen Schelde
Naval Shipbuilding senilai US$220 juta.
Sebelumnya, Indonesia telah membeli 4
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 93
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Kapal Korvet kelas Sigma (ship integrated
geometrical modularity Approach) tipe
9113 dari Damen Shipbuilding senilai 700
juta Euro dan sudah aktif bertugas di TNI
AL sejak periode 2007 hingga 2009 (Syah,
2015). Empat kapal ini bahkan secara
bergantian telah menjalani misi perdamaian
di Lebanon dibawah bendera PBB.
Sedangkan dari Inggris, Indonesia
membeli tiga unit kapal kelas fregat ringan
jenis Nakhoda Ragam buatan Inggris yang
tidak jadi digunakan Brunei. Kapal ini
sebelumnya dibuat khusus untuk Angkatan
Laut Kerajaan Brunei Darussalam. Kontrak
dimulai sejak tahun 1995, dan diluncurkan
berturut-turut pada Januari 2001, Juni
2001 hingga Juni 2002 (http://maritimemagz.
com/kri-usman-harun-simbolkedaulatannegara-maritim/,). Sesuai kontrak, kapal
ini seharusnya sudah dipindahtangankan
kepada Brunei pada Juni 2007. Namun
Brunei memutuskan perjanjian dan ketiga
kapal diserahkan kepada perusahaan
Lurrsen Jerman. Selang lima tahun,
Indonesia menyatakan tertarik membeli
ketiga kapal itu dan mengoperasikan
seluruhnya mulai tahun 2014.
Respons Indonesia dalam Bentuk
Kerjasama Latihan Militer
Indonesia sejak lama telah menggagas dan
melaksanakan latihan bersama dengan
Angkatan Bersenjata negara-negara lain.
Kalau di masa lalu kerjasama latihan
bersama yang dilaksanakan oleh Indonesia
lebih diutamakan pada latihan bersama
dengan satu negara, sejak beberapa tahun
silam Indonesia sudah terlibat aktif dalam
latihan bersama beberapa negara. Latihan
bersama dilaksanakan oleh ketiga matra
TNI dengan mitra masing-masing, misalnya
Latma Indosin antara TNI Angkatan Laut
dengan Republic of Singapore Navy, Elang
Thainesia antara TNI Angkatan Udara
dengan Royal Thai Air Force dan Darsasa
Malindo antara TNI dengan Tentera Diraja
94
Yoan Pellokila
Malaysia (Salim, 2014; 3-4).
Adapun latihan bersama beberapa
negara yang telah diikuti oleh TNI seperti
Army Skill at Arms Meeting (AASAM) yang
merupakan latihan antar negara dalam
bentuk kejuaraan menembak. Dalam
latihan, TNI menunjukkan kemampuannya
yang tinggi dalam skill menembak dimana
dalam kompetisi ini Indonesia selalu
menjadi juara umum dari tahun 2008
hingga tahun 2015. Lebih istimewanya lagi,
Indonesia selalu menggunakan senjata SS1
dan SS2 yang merupakan senjata buatan
dalam negeri.
Selain AASAM, Australia juga
menjadi tuan rumah latihan gabungan
angkatan udara yang bersandi Pitch Black.
Kurikulum dalam latihan gabungan ini
meliputi air lift, air to air combat, surface attack,
deep interdiction, close air support, airborne
early warning and control, air to air refuelling,
tactical air transport (Pane, 2015). Angkatan
Udara Indonesia mengikuti latihan Pitch
Black ini pada tahun 2012 yang juga
diikuti oleh angkatan udara dari Australia,
Amerika Serikat, Singapura, Indonesia dan
Thailand. Dalam latihan ini melibatkan 94
pesawat, dimana diantaranya Australia
dengan F/A-18 Super Hornet dan F/A18 Hornet, Singapura dengan F-16 C/D
dan F-15 mereka, Thailand dengan F-16
A/B mereka dan Amerika Serikat dengan
F/A-18 C Hornet milik US Navy. TNI AU
sendiri mengirimkan Sukhoi dalam latihan
ini. Dalam war games ini, Sukhoi TNI
AU ternyata lebih unggul dibandingkan
F-18F Super Hornet hampir disemua lini
(Ramelan, 2015). Walaupun cuma dalam
skala latihan, ini membuktikan bahwa
Sukhoi Indonesia ternyata memiliki efek
tangkal yang mumpuni selain juga faktor
man behind gun yang terlatih. Skala dan
kompleksitas Pitch Black juga menambah
wawasan, pengetahuan serta bekal yang
lain bagi penerbang TNI AU terutama
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
dalam operasi gabungan skala besar multinasional.
Latihan lain yang diikuti Indonesia
adalah RIMPAC (Rim of the Pacific) yang
merupakan latihan multilateral angkatan
laut yang diselenggarakan oleh US Pacific
Command (USPACOM) dan dilaksanakan
dua tahun sekali, bertempat di Pangkalan
Utama Armada Ketujuh Angkatan Laut
Amerika Serikat, Pearl Harbour, Hawaii.
Pada RIMPAC 2014, selain Indonesia,
tercatat ada 23 negara yang ikut serta,
diantaranya Thailand, Perancis, Chile,
Korea Selatan dan Singapura yang
melibatkan 49 kapal perang, 6 kapal selam,
200 pesawat tempur, dan 25.000 personel
yang merupakan latihan multilateral
terbesar di dunia. Indonesia sendiri yang
diwakili TNI AL telah tiga kali ikut serta,
namun selama ini hanya mengirimkan
kontingen Korps Marinir. Pada RIMPAC
tahun 2014, TNI AL menghadirkan proyeksi
kekuatan melalui KRI Banda Aceh-593
(kelas Makassar, Landing Platform Dock).
Pengiriman KRI Banda Aceh-593 berusaha
mewujudkan TNI AL berkelas dunia atau
World Class Navy sekaligus membuktikan
kepada dunia bahwa TNI AL juga bisa
mengirimkan kapal perang produksi
dalam negeri yang kemampuannya dapat
disejajarkan dengan kapal perang buatan
asing. Dalam pelatihan tersebut, Indonesia
kembali
berprestasi.
Dua
anggota
Datasemen Jala Mangkara (Denjaka),
sebuah Datasemen pasukan khusus TNI
AL menerima label “Godzilla” sebagai
penghargaan bagi peserta tertangguh
selama pelatihan (Halili, 2014). Tujuan
latihan ini bagi anggota TNI AL sendiri
adalah memantapkan profesionalisme
prajurit dihadapkan dengan tuntutan
tugas, juga sebagai tolak ukur kemampuan
masing-masing individu maupun kerja
sama di bidang operasional.
Pada tingkat Angkatan Bersenjata,
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
kerjasama pertahanan multilateral yang
sudah dilaksanakan oleh Indonesia
mencakup
patroli
terkoordinasi,
latihan bersama, pertukaran intelijen
dan pemeliharaan perdamaian. Untuk
patroli terkoordinasi, sejauh ini yang
bersifat multilateral adalah The Malacca
Straits Security Patrol antara Indonesia,
Malaysia, Singapura dan Thailand.
Adapun pertukaran intelijen telah pula
dilaksanakan secara multilateral, misalnya
pertukaran intelijen keamanan maritim
lewat Information Fusion Center di mana
Indonesia juga terlibat di dalamnya.
Sedangkan kerjasama pemeliharaan
perdamaian adalah partisipasi Indonesia
dalam beberapa misi pemeliharaan
perdamaian
PBB,
termasuk
dalam
UNIFIL Maritime Task Force. Dengan
adanya kantor Pusat Misi Pemeliharaan
Perdamaian (PMPP) yang berada di sentul
menunjukkan bahwa peran aktif Indonesia
dalam menjaga perdamain dunia lewat
pasukan PBB dapat diwujudkan baik
dalam lingkup kawasan maupun dalam
lingkup Internasional (Salim, 2015; 3-4).
Sebagai tambahan, Indonesia juga
berperan dalam upaya menjaga perdamaian
dan keamanan di kawasan yang mana
Indonesia
dalam
mengembangkan
keamanan di Asia Tenggara, mengajukan
suatu
konsep
keamanan
yang
berlandaskan keamanan komprehensif,
yang menyesuaikan dengan perubahan
perubahan lingkungan global. Keinginan
Indonesia tersebut kemudian diwujudkan
dalam konsep ASEAN Security Community
(ASC) yang pelaksanaannya berlandaskan
pada norma – norma yang ada di ASEAN
serta instrument politik dan prinsip –
prinsip hokum internasional lainnya yang
diakui.
Indonesia memandang penting
terbentuknya ASC, mengingat kenyataan
bahwa mekanisme kerjasama ekonomi,
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 95
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
sosial dan budaya yang selama ini digunakan
ASEAN dalam mencapai perdamaian dan
stabilitas kawasan tidak dapat menghadapi
perubahan situasi politik internasional dan
stabilitas yang terjadi di kawasan. Selain
itu, timbulnya berbagai isu keamanan non
tradisional di kawasan seperti kejahatan
transnasional, terorisme, separatisme,
konflik wilayah yang senantiasa menjadi
sumber instabilisasi ekonomi dan keamanan
bersama di kawasan Asia Tenggara,
mendorong Indonesia untuk mewujudkan
ASC sebagai kerjasama regional yang
dapat memainkan peran perdamaian dan
berusaha untuk mengelola resolusi konflik
antar negara anggota ASEAN.
Respons
Indonesia
Melalui
Pengembangan
Potensi
Industri
Pertahanan Dalam Negeri
Industri pertahanan merupakan salah
satu komponen vital dari kemampuan
pertahanan. Industri pertahanan yang
kuat mempunyai dua efek utama, yakni
efek langsung terhadap pembangunan
kemampuan pertahanan dan efek terhadap
pembangunan ekonomi dan teknologi
nasional. Dalam bidang kemampuan
pertahanan, industri pertahanan yang
kuat menjamin pasokan kebutuhan
alutsista dan sarana pertahanan secara
berkelanjutan yang merupakan prasyarat
mutlak bagi keleluasaan dan kepastian
untuk menyusun rencana pembangunan
kemampuan pertahanan jangka panjang
tanpa adanya kekhawatiran akan faktor
– faktor politik dan ekonomi seperti
embargo. Industri pertahanan juga dapat
memberikan efek pertumbuhan ekonomi
dan mendorong pertumbuhan industri
nasional yang berskala internasional.
Untuk mengembangkan industri
pertahanan domestik, Indonesia telah
mengesahkan Undang – Undang Nomor
16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
96
Yoan Pellokila
yang menegaskan komitmen politik-legal
pemerintah dan para pelaku industri
pertahanan untuk menjadikan mandiri
dalam pemenuhan kebutuhan alutsista yang
efisien, modern, dan berteknologi tinggi.
Pemikiran dasar dari undang – undang
ini menempatkan industri pertahanan
sebagai industri strategis yang harus
dilindungi oleh negara karena industri ini
menempati ranah salah satu pilar utama
kedaulatan negara untuk memenuhi
kebutuhan alutsista (weapon systems). Selain
itu, Industri pertahanan juga strategis
karena dapat memberikan efek tangkal
(deterrence effect) bagi Indonesia dalam
interaksi strategis dengan negara – negara
lain. Oleh karena itu industri pertahanan
menjadi
unsure
penring
kekuatan
nasional, terutama kekuatan militer.
Secara operasional, kemampuan untuk
membuat alutsista menjadikan Indonesia
mempunyai kekuatan yang secara terus
- menerus dapat menopang kemampuan
operasional militer (Wijayanto, Prasetyono
& Keliat, 2012; 47-48).
Peran TNI kedepan tidak hanya
sebagai pengawal kedaulatan bangsa dan
negara tetapi juga dituntut untuk mampu
melaksanakan tugas-tugas perdamaian
dunia maupun tugas-tugas kemanusiaan
tingkat regional dan global. Namun
dengan demikian bahwa pemenuhan
kebutuhan Alutsista TNI yang modern
dengan teknologi mutakhir membutuhkan
anggaran yang tidak sedikit. Oleh karena
itu pemerintah mendorong adanya
pemberdayaan
Industri
Pertahanan
nasional
agar
mampu
memenuhi
kebutuhan Alutsista TNI mewujudkan
kekuataan pokok TNI sampai 2024.
Berikut
pembahasan
tentang
beberapa Industri Pertahanan Indonesia
dan kontribusinya terhadap perkembangan
alutsista nasional:
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI)
PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI) adalam
BUMN, merupakan perusahaan yang
memproduksi pesawat komersial, pesawat
militer, helikopter, senjata, komponen
pesawat, servis pesawat, Pertahanan,
teknik (engineering). PT. DI merupakan
industri pesawat terbang yang pertama
di Asia Tenggara dan satu-satunya di
Indonesia. PT. DI didirikan pada 26 April
1976 dengan nama PT. Industri Pesawat
Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai
Presiden Direktur. Industri Pesawat
Terbang Nurtanio kemudian berganti
nama menjadi Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985.
Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian
berubah nama menjadi Dirgantara
Indonesia pada 24 Agustus 2000 (http://
www.alasaya.com/2014/04/industri-industripertahanan-indonesia.html).
Dalam
mengoptimalkan
kapabilitasnya,
PT
DI
melakukan
kemitraan strategis dengan produsen
pesawat dari luar negeri, seperti Airbus
Military, Messerschmitt-Bölkow-Blohm dan
Eurocopter European Aeronautic Defense
Space Company (EADS). Kemitraan
strategis dengan berbagai negara tersebut
diantaranya dengan pengembangan dan
produksi bersama sejumlah pesawat
seperti C 212-400, CN-235 dan CN-295 serta
helicopter seperti Bell 412, Cougar EC-725
maupun Super Puma. Dengan ini PT DI
dapat memberikan sumbangsihnya untuk
pembangunan postur pertahanan Indonesia
dimana sejumlah pesawat dan helikopter
buatan PT DI digunakan untuk memperkuat
alutsista TNI seperti NC 212 dan CN-235
khusus militer yang dilengkapi dengan
avionik digital dan sistem radar terkini
untuk kepentingan angkut, pengawasan
dan patrol di darat maupun patrol maritime
(http://www.indonesian-aerospace.com/view.
php?m=product&t=aircraft,).
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
Proyek terbaru pemerintah yang
melibatkan PT Dirgantara Indonesia
adalah
pengembangan
jet
tempur.
Untuk pengembangan ini, Indonesia
menggendeng Korea Selatan. Program
tersebut bernama Korea Fighter experiment/
Indonesia Fighter experiment (KFX/IFX).
Pesawat tempur ini merupakan generasi
4.5 atau pesaing dari F16 versi terbaru.
Selain memproduksi alat – alat
kedirgantaraan, PT. Dirgantara Indonesia
(PT. DI), ditunjuk oleh pemerintah
sebagai
produsen
torpedo
dalam
negeri. Menggunakan lisensi dari AEG
(Allgemeine
Elektrizitäts-Gesellschaft,
General Electricity Company) Jerman, PT.
DI mulai memproduksi SUT (Surface and
Underwater Target) Torpedo di Kawasan
Produksi V di Pulau Madura. Torpedo
merupakan senjata andalan kapal selam
dalam suatu pertempuran laut. Kebutuhan
akan torpedo akan meningkat bersamaan
kedatangan dua buah kapal selam KRI
Cakra dan KRI Nanggala dari Jerman.
Selain itu torpedo digunakan juga oleh
kapal permukaan milik TNI-AL. SUT
Torpedo dapat ditembakan dari helikopter,
seperti NAS 332 Super Puma atau dari
pesawat CN-235 MPA (http://www.apkdriver.
com/2012/12/10-senjata-militer-buatanindonesia.html?m=0,).
PT Pindad
PT. Pindad adalah BUMN yang
memproduksi
produk
militer
dan
komersial di Indonesia. Didirikan pada
tahun 1808 sebagai sebuah bengkel
peralatan militer di Surabaya dengan nama
Artillerie Constructie Winkel (ACW). Pada
tahun 1950, berubah nama menjadi Pabrik
Senjata dan Mesiu (PSM) yang berlokasi di
PT. Pindad sekarang ini. Sejak saat itu PT.
Pindad berubah menjadi sebuah industri
alat peralatan militer yang dikelola oleh
Angkatan Darat. PT. Pindad berubah
status menjadi Badan Usaha Milik Negara
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 97
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
(BUMN) dengan nama PT. Pindad (Persero)
pada tanggal 29 April 1983, kemudian
pada tahun 1989 perusahaan ini berada
dibawah pembinaan Badan Pengelola
Industri Strategis (BPIS) yang kemudian
pada tahun 1999 berubah menjadi PT.
Pakarya Industri (Persero) dan kemudian
berubah lagi namanya menjadi PT. Bahana
Pakarya Industri Strategis (Persero). Dan
tahun 2002, PT. BPIS (Persero) dibubarkan
oleh Pemerintah, dan sejak itu PT. Pindad
beralih status menjadi PT. Pindad (Persero)
yang langsung berada dibawah pembinaan
Kementerian. Produk Pindad diantaranya
adalah senapan, pistol, meriam dan
kendaraan taktis (http://www.pindad.com/
bumn-strategis-tertua-pindad-produksisenjata-sejak-zaman-belanda,).
Produk PT Pindad sudah sangat
dikenal dunia, utamanya senapan serbu
SS1 dan SS2 yang diakui sebagai salah
satu senjata serbu terbaik dunia. Oleh
Pindad, SS2 telah diproduksi menjadi
beberapa versi, SS2-V1, SS2-V2 dan SS2-V4.
SS2 adalah senapan serbu generasi baru
kaliber 5,56 x 45 mm dengan laras kisar
7 (Kemenperindag, 2011a; 15). SS2 cukup
ringan, handal dan memiliki akurasi
tinggi, dengan menggunakan popor lipat
sehingga fleksibel untuk digunakan sesuai
kebutuhan.
Senjata
senjata
ini
mampu
memenuhi kebutuhan senjata ringan bagi
TNI. Bahkan senjata tersebut menjadi
senjata standar TNI. Dengan memakai
SS2, TNI menjuarai sejumlah kejuaraan
menembak internasional seperti Australian
Army Skill at Arms Meeting (AASAM) dan
Asean Armies Rifle Meet (AARM). Untuk
kejuaraan menembak AASAM, sejak tahun
2008 hingga tahun 2015, TNI AD selalu
mendapat juara umum mengalahkan
negara – negara maju seperi Australia,
Amerika Serikat dan Inggris (Rinaldi
& Pattisina, 2015). Sedangakan untuk
98
Yoan Pellokila
Asean Armies Rifle Meet (AARM) yang
penyelanggaraannya telah berlangsung
sejak tahun 2006 tersebut, kontingen TNI
AD selalu berhasil menjadi juara satu. Ini
membuktikan kehandalan TNI dilengkapi
dengan senjata buatan dalam negeri
mampu membuktikan kekuatannya di
tingkat internasional, selain itu juga dapat
mempromosikan senjata buatan PINDAD
di luar negeri.
Pindad juga mampu memproduksi
senapan untuk keperluan khusus seperti
untuk pasukan penembak jitu atau sniper
yaitu SPR (Senapan Penembak Runduk).
SPR produksi PT Pindad ada tiga varian,
SPR-1, SPR-2 dan SPR-3. Senapan ini bahkan
bisa menembus baja yang tebalnya tiga
sentimeter dari jarak 900 meter sehingga
senapan ini bisa digunakan untuk mampu
menembus berbagai jenis material bahkan
baja sebuah tank (Oktavian, 2012; 67).
Khusus senapan SPR-2 dan SPR-3, senjata
ini telah digunakan oleh kesatuan elit TNI
seperti Kopassus.
PT. Pindad juga memproduksi
kendaraan militer lapis baja seperti
kendaraan taktis Komodo dan Panser Anoa.
Panser Anoa menjadi andalan produk
PT. Pindad untuk kategori spesial purpose
vehicles dan telah dikenal dunia sehingga
menjadi kendaraan taktis dalam misi
perdamaian PBB. Selain menerima pesanan
dari lingkungan TNI, PT. Pindad juga
memasok Panser Anoa untuk kebutuhan
luar negeri seperti Malaysia, Brunei
Darussalam dan Timor Leste. Sedangkan
Komodo merupakan kendaraan taktis baru
buatan PT. Pindad yang dibuat berdasarkan
permintaan mantan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk merancang
kendaraan taktis (rantis) berpenggerak
4×4 untuk kebutuhan manuver pasukan
TNI dan anggota Polri. PT Pindad
menyediakan beberapa varian Komodo
sesuai dengan kebutuhan, yaitu: Armoured
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Personnel Carrier (APC/angkut personel),
Command (kendaraan komandan), Recon
(pengintaian), Ambulance, Battering Ram
(pendobrak, digunakan oleh Gultor
Kopassus), Cannon Towing (penarik
meriam) dan Rocket Launcher (peluncur
roket)
(http://www.kodam17cenderawasih.
mil.id/pengetahuan/militer/alat-utama-sistemsenjata/rantis-komodo-4x4-meneruskan-tuahsukses-anoa-6x6/,).
PT. Pindad saat ini juga tengah
mengembangkan Tank medium yang
merupakan proyek Tank Nasional.
Pengembangan
medium
tank
ini
melibatkan PT. Pindad dan pemerintah
Turki. Kedua pihak menandatangani
kesepakatan kerjasama pembuatan tank
medium pada ajang International Defence
Industry Fair (IDEF) 2013 di Turki, awal
Mei 2013. Turki dinilai memiliki kapasitas
mengembangkan
dan
memproduksi
medium tank canggih (Munandar, 2015).
PT. Penataran Angkatan Laut (PT PAL)
PT. PAL Indonesia adalah Badan Usaha
Milik Negara yang bergerak di bidang
industri galangan kapal. PT. PAL Indonesia
(Persero), bermula dari sebuah galangan
kapal yang bernama MARINA dan
didirikan oleh pemerintah Belanda pada
tahun 1939. Pada masa pendudukan Jepang,
Perusahaan ini beralih nama menjadi
Kaigun SE 2124. Setelah kemerdekaan,
Pemerintah Indonesia menasionalisasi
Perusahaan ini dan mengubah namanya
menjadi Penataran Angkatan Laut (PAL).
Pada tanggal 15 April 1980, Pemerintah
mengubah
status
Perusahaan
dari
Perusahaan Umum menjadi Perseroan
Terbatas. Perusahaan ini memproduksi
kapal laut untuk pertahanan maupun
komersil (Kurniawan, 2011).
PT PAL saat ini sedang mengerjakan
proyek strategis yaitu pembuatan kapal
selam dan kapal perang kelas Perusak
Kawal Rudal (PKR). Proyek ini diharapkan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
dapat menjadi momentum kebangkitan
industri pertahanan Indonesia dalam
pembuatan kapal kombatan. Kapal
PKR merupakan kapal dengan ukuran
panjang 105 meter dan lebar 14meter yang
memiliki kemampuan untuk menghadapi
peperangan, baik di permukaan, di bawah
air, maupun perang udara. Sebab, sudah
dilengkapi torpedo, rudal, dan perangkat
perang elektronik terbaru. Dalam membuat
Kapal PKR ini, PT. PAL melakukan joint
production dengan Damen Schelde Naval
Shipbuilding (DSNS) dengan kontrak
untuk membangun dua kapal. Kapal
pertama yang dibangun terdiri atas enam
modul. Dalam pembangunannya, empat
modul dibuat di PT. PAL dan sisanya dua
modul dikerjakan oleh DSNS Belanda.
Dalam proyek kapal selam, PT.
PAL akan bekerjasama dengan Daewoo
Shipbuilding and Marine Engineering
(DSME) dengan kontrak 3 kapal selam senilai
1,1 miliar Dollar yang turut disertai transfer
teknologi. Dalam proses pembuatannya,
dua kapal selam akan dikerjakan di Korea
dengan melibatkan 206 tenaga ahli dari PT.
PAL untuk mempelajari produksi kapal
selam di Korea. Selanjutnya kapal selam
ketiga akan dibuat di fasilitas kapal selam
PT. PAL di Surabaya. Sebelumnya PT. PAL
telah mempersiapkan infrastruktur untuk
membangun kapal selam yang meliputi
gedung dan fasilitas yang menghabiskan
dana 1,7 triliun Rupiah (Radar Bisnis,
2015).
Bukan
pertama
kalinya
mendapatkan pesanan untuk membangun
kapal
perang,
khususnya
dari
Kementerian Pertahanan/TNI Angkatan
Laut. Sebelumnya PT PAL telah berhasil
membangun 12 unit Fast Patrol Boat 57M
untuk Kementerian Pertahanan RI, Fast
Patrol Boat 28 M sebanyak dua unit atas
pesanan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, Kementerian Keuangan dan Landing
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 99
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Platform Dock 125 m (LPD) yang merupakan
kapal pengangkut pasukan dan peralatan
militer pesanan TNI AL (Kemenperindag,
2011b; 18-19). Khusus untuk kapal LPD,
PT. PAL bahkan mendapat pesanan
untuk membuat LPD untuk Angkatan
Laut Filipina senilai 90 juta Dollar yang
merupakan ekspor kapal perang pertama
ke luar negeri. Selain memproduksi kapal,
PT PAL juga melayani perbaikan dan
pemeliharaan kapal.
Perusahaan Swasta
Undang-Undang Industri Pertahanan
yang
mencakup
kewajiban
untuk
menggunakan produk-produk yang sudah
bisa dibuat di Indonesia, atau ada upaya
untuk meningkatkan Tingkat Kandungan
Dalam Negeri (TKDN) membuat industri
pertahanan Indonesia mendapat porsi lebih
untuk berkontribusi dalam pembangunan
kekuatan pertahanan Indonesia, tidak
terkecuali industri pertahanan milik
swasta. Kemajuan teknologi dan informasi
serta kebutuhan akan produk-produk
pertahanan mendorong pihak swasta
dalam negeri untuk menghasilkan produk
yang bisa bersaing dengan produk luar
negeri. Beberapa perusahaan swasta
seperti galangan kapal PT. Palindo Marine
Shipyard di Batam dan PT. Lundin Industry
Invest yang berlokasi di kabupaten
Banyuwangi sudah mampu membuat
kapal – kapal patrol berteknologi canggih
untuk memenuhi pesanan kementerian
Pertahanan.
PT. Palindo Marine Shipyard sudah
berhasil mengerjakan empat Kapal Cepat
Rudal 40 (KCR 40) dengan total pengadaan
senilai Rp300 miliar. Desain dan teknologi
yang dimiliki kapal ini, tidak kalah dengan
kapal yang dibuat oleh negara-negara lain,
seperti Sensor Weapon Control (Sewaco) dan
meriam caliber 30 mm enam laras sebagai
Close in Weapon System (CIWS). Ditambah,
100 Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Yoan Pellokila
dengan peluru kendali rudal anti kapal
buatan China C 705, mampu menjangkau
sasaran sejauh 140 km (Kemenperindag,
2011).
PT Lundin tengah membuat Kapal
Perang jenis Trimaran yang merupakan
Kapal Cepat Rudal (KCR) berlambung
tiga (Trimaran) dengan panjang 63 meter.
Kapal perang jenis Trimaran ini memiliki
keunggulan dalam hal kesetabilan, serta
kecepatannya. Selain itu kapal perang jenis
ini tidak mudah tenggelam karena salah
satu hull bisa menyeimbangkan kapal
walau diterjang gelombang laut. Selain itu
kapal perang canggih ini memiliki desain
stealth atau sulit dideteksi radar. KCR
Trimaran ini merupakan kapal tercanggih
dan kapal pertama yang dikembangkan di
Indonesia dengan fitur anti radar. Kapal ini
diproyeksikan menjadi kekuatan pemukul
yang handal dan juga menakutkan di
lautan, sebab mampu menginduksi panas
dan juga sulit dideteksi oleh radar lawan.
Kesimpulan
Dinamika lingkungan strategis yang
terus berubah menghasilkan beragam
isu keamanan baik berupa isu keamanan
non tradisional seperti terorisme, piracy
dan illegal Fishing maupun isu keamanan
tradisional seperti sengketa wilayah
perbatasan dan pelanggaran wilayah
kedaulatan mendorong negara – negaraAsia
Tenggara khususnya Malaysia, Singapura,
Thailand dan Vietnam meningkatkan
kekuatan militernya. Menanggapi hal
tersebut, Indonesia pun merespon dengan
mengeluarkan kebijakan yang bertujuan
untuk menguatkan postur pertahanan
Indonesia.
Kebijakan yang dilakukan adalah
melalui rencana pemenuhan kebutuhan
minimum (minimum essential force) yang
diimplementasikan melalui kerjasama
pertahanan dan juga revitalisasi industri
pertahanan dalam negeri. Kerjasama
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
pertahanan meliputi pengadaan alutsista,
kerjasama dalam bentuk latihan dan
operasi.
Kerjasama
pertahanan
dalam
bentuk pengadaan bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan alutsista TNI
yang dilaksanakan melalui pemeliharaan,
repowering/retrofiting
alutsista
dan
pengadaan alutsista baru sesuai dengan
kebutuhan
yang
mendesak
untuk
menggantikan alutsista yang sudah tidak
layak pakai. Di mana dalam pencapaiannya
saat ini (tahun 2015), Indonesia sudah dan
akan memiliki senjata konvensional yang
modern seperti Tank Tempur Utama (MBT/
Main Battle Tank) Leopard, Tank medium
Marder, Peluncur Roket Multilaras (Multiple
Launch Rocket System /MLRS) Astros II, jet
tempur Sukhoi, Helikopter Apache AH64E Guardian dan kapal perang kelas Bung
Tomo.
Selain kerjasama melalui pengadaan,
Indonesia juga melakukan kerjasama
melalui latihan dan operasi dengan
negara lain yang bertujuan meningkatkan
profesionalisme prajurit melalui latihan
dan operasi nyata dilapangan. Selain itu,
Indonesia juga aktif menjaga keamanan
kawasan dengan menggagas pembentukan
ASEAN Security Community (ASC). Hal
ini sejalan dengan strategi pertahanan
Indonesia yaitu defensif aktif yang mana
salah satu perwujudan pertahanan
defensif aktif adalah melalui diplomasi
pertahanan.
Indonesia juga berkomitmen dalam
mengejar kemandirian bangsa di bidang
pertahanan. Komitmen tersebut diperkuat
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
Negara sebagai legalisasi dan legitimasi
menghidupkan dan mengembangkan
industri pertahanan dalam negeri. Bahkan
kemampuan industri dalam negeri
Indonesia sekarang ini sudah pada tingkat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
teknologi menengah. Artinya, industri
pertahanan Indonesia sudah dapat
membuat dan sudah digunakan oleh TNI.
Sebagai contoh, alutsista buatan PT Pindad
mulai dari pistol dan senjata serbu sampai
mortir serta kendaraan tempur roda ban
(panser Anoa) sudah digunakan TNI AD,
kapal patrol dan kapal amfibi jenis Landing
Platform Dock (LPD) buatan PT PAL yang
digunakan TNI AL dan pesawat CN-235
yang sudah mendukung kebutuhan TNI
AU.
Sebagai penutup, penulis beragumen
bahwa upaya pembangunan postur
pertahanan Indonesia menuju kekuatan
pokok minimal (Minimum Essential
Force) yang tengah dilaksanakan ini
bertumpu pada kemampuan penangkalan
(deterrence)
dalam
mempertahankan
kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI
guna menjamin pelaksanaan kepentingan
nasional di tengah dinamika lingkungan
strategis. Berdasarkan program yang
telah dicanangkan oleh pemerintah dan
pencapaian yang telah diraih, Indonesia
sanggup menjadi kekuatan regional yang
disegani dan didukung oleh kemampuan
industri teknologi pertahanan dalam
negeri.
Daftar Pustaka
Buku:
Octavian, Amarulla. (2012). Militer dan
Globalisasi. Jakarta: UI Press.
Widjajanto, Andy. Edy Prasetyono. Makmur
Keliat. (2012). Dinamika Persenjataan
dan Revitalisasi Industri Pertahanan,
Jakarta: UI Press.
Jurnal:
Austalian Government Department of
Defence. (2014). South East Asia
Regional Overview. Defence Economic
Trends In The Asia - Pasific 2014. DIO
Reference Aid 14–004, April. hal.
6-29.
Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 101
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Defence of Japan, (2013). Defense Policies
of Countries - South East Asia.
Security Environment Surrounding
Japan, Tokyo. hal. 65-73.
Khairendi, Abdi. (2014). Analisis Kebijakan
Peningkatan Kapabilitas Militer
Negara – Negara Anggota ASEAN
2002 – 2012. eJournal Ilmu Hubungan
Internasional. Volume 2. No.1. hal.
209-220.
Salim. (2012). Peningkatan Kerjasama
Pertahanan Indonesia di Kawasan
Asia Tenggara Guna Mendukung
Diplomasi Pertahanan dalam Rangka
Mewujudkan Stabilitas Kawasan.
Pusat Pengkajian Maritim. Sekolah
Staf dan Komando Angkatan Laut.
hal. 1-18.
Tan, Andrew. (2004). Force Modernisation
Trends in Southeast Asia. Rajaratnam
School of International Studies Working
Paper. no.59. Januari. hal. 24-29.
The National Institute for Defence Studies.
(2007). Chapter 5 Southeast Asia
- Formation of a Community and
the Challenges. East Asian Strategic
Review 2007. Tokyo. Hal.155-160.
Artikel Media Cetak:
Kemenperindag RI. (2012).Disahkannya
UU Industri Pertahanan Tonggak
Bangkitnya Industri Pertahanan
Lokal. KINA – Media Ekuitas Produk
Indonesia. Edisi 02 . hal. 6.
Kemenperindag RI. (2011a). Siap Penuhi
Kebutuhan
Peralatan
Militer
Nasional, Pindad Perlu Dukungan
Penuh Pemerintah. KINA – Media
Ekuitas Produk Indonesia, Edisi 01.
hal. 15.
Kemenperindag RI. (2011b). Dorong
Kemandirian Alutsista Nasional,
PAL Siap Bangun Kapal Perang.
KINA – Media Ekuitas Produk
Indonesia. Edisi 01. hal. 18-19.
102 Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Yoan Pellokila
Ali, A.H. (2015). Analisis Terhadap Kebijakan
Pertahanan Singapura. diakses pada
tanggal 12 Juni 2015. http://www.
fkpmaritim.org/analisis-terhadapkebijakan-pertahanan-singapura/,
Arismunandar, Satrio. (2015). PT. PINDAD
Kerjasama Dengan Turki, Mau
Bikin Tank Medium. diakses pada
tanggal 12 Juni 2015. http://www.
theglobalreview.com/content_detail.
php?lang=id&id=12243&type=113#.
VbMI67NViko,
Chow, Jermyn. (2015). Singapore Budget
2014: Steady defence spending will
continue. diakses pada tanggal 12
Juni 2015. http://www.straitstimes.
com/singapore/singapore-budget-2014steady-defence-spending-will-continue,
Defence Security CooperationAgency News
Release, “Indonesia – Regeneration
and Upgrade of F-16C/D Block
25
Aircraft”,
http://www.dsca.
mil/major-arms-sales/indonesiaregeneration-and-upgrade-f-16cdblock-25-aircraft, diakses pada
tanggal 13 Juli 2015.
Detik News, “SBY: Tidak Ada Garansi ASEAN
Bebas dari Perang”, http://news.detik.
com/berita/2122268/sby-tidak-adagaransi-asean-bebas-dari-perang,
diaksespada tanggal 5 Juni 2015.
Halili. (2014). Press Release - Latihan
RIMPAC 2014. diakses pada
tanggal 23 Juli 2015. http://www.
embassyofindonesia.org/wordpress/
wp-content/uploads/2014/07/PR-KRIBanda-Aceh-1Juli2014.pdf,
Kementerian
Pertahanan
Republik
Indonesia.
(2014).
Laporan
Akuntabilitas
Kinerja
Instansi
Pemerintah Kementerian Pertahanan
RI Tahun 2013. Maret 2014. diakses
pada tanggal 23 Juli 2015. http://
www.kemhan.go.id/kemhan/files/5a79d
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
2011bccd166f7b7598e8a942c8f.pdf,
Kurniawan,
Hariyanto.
(2012).
Pertahanan Berbasis Alusista Lokal.
diakses pada tanggal 23 Juli
2015.
http://economy.okezone.com/
read/2011/09/12/448/501801/index_
news.html,
Nugroho, Adityo. (2015). Hadapi Eskalasi
Konflik, Thailand Mulai Perkuat Armada
Kapal Selam. diakses pada tanggal
23 Juli 2015. http://jurnalmaritim.
com/2015/01/hadapi-eskalasi-konflikthailand-mulai-perkuat-armada-kapalselam/,
O’Callaghan, John. (2015). Asia Tenggara
Ramai – Ramai Belanja Alat pertahanan
Maritim. diakses pada tanggal 23
Juli 2015. http://www.voaindonesia.
com/content/asia-tenggara-ramairamai-belanja-alat-pertahananmaritim/1522260.html.
Pane, Jagarin. (2012). Sukhoi Bertarung
di Pitch Black Australia. diakses
pada tanggal 23 Juli 2015. http://
suaramerdeka.com/v1/index.php/read/
cetak/2012/08/06/195032/SukhoiBertarung-di-Pitch-Black-Australia,
Radar Bisnis. (2015). PT PAL Bangun
Industri Kapal Selam Siapkan Rp. 1,7
Triliun. diakses pada tanggal 23 Juli
2015. http://www.pelindomarine.com/
information/news/248.html,
Ramelan, Prayitno. (2015). Australia makin
Gundah dengan Modernisasi Alutsista
TNI AU. diakses pada tanggal 23
Juli 2015. http://tni-au.mil.id/pustaka/
australia-makin-gundah-denganmodernisasi-alutsista-tni-au,
Reuters. (2015). Thai navy approves US$1.1b
plan to buy submarines from China.
diakses pada tanggal 23 Juli 2015.
http://www.channelnewsasia.com/
news/asiapacific/thai-navy-approvesus-1/1956272.html,
Rinaldi, Ingki dan Edna Pattisina.
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Yoan Pellokila
(2015).
Kemenangan
Petembak
Indonesia
di
Australia
Terus
Bergema. diakses pada tanggal 23
Juli 2015. http://nasional.kompas.
c o m / re a d / 2 0 1 5 / 0 6 / 0 5 / 2 3 0 0 0 0 8 1 /
Kemenangan.Petembak.Indonesia.
di.Australia.Terus.Bergema?utm_
s o u rc e = n e w s & u t m _ m e d i u m = b p kompas&utm_campaign=related&,
Said, Budiman Djoko. (2015). Penangkalan
(Strategi) atau Penggetaran. diakses
pada tanggal 25 Juli 2015. http://www.
fkpmaritim.org/penangkalan-strategiatau-penggetaran/,
Salim. (2015). Perspektif keamanan di kawasan
ASEAN dan campur tangan negara
besar. diakses pada tanggal 28 April
2015. http://www.tandef.net/perspektifkeamanan-di-kawasan-asean-dancampur-tangan-negara-besar,
Setiawan, Agus. (2015). Perancis Tawarkan
Alih Teknologi “Stealth” Indonesian
Fighter Jets Experiment (IFX). diakses
pada tanggal 28 April 2015. http://
theglobal-review.com/content_detail.
php?lang=id&id=8722&type=7#.
Va7YZflViko
Simatupang, G.E.G. (2015). Diplomasi
Pertahanan ASEAN dalam Rangka
Stabilitas Kawasan. diakses pada
tanggal 28 April 2015. http://www.
fkpmaritim.org/diplomasi-pertahananasean-dalam-rangka-stabilitaskawasan/,
Syah, Efran. (2015). Persaingan Senjata
di kawasan asia Tenggara. diakses
pada tanggal 28 April 2015. http://
www.artileri.org/2012/11/persaingansenjata-di-kawasan-asia.html,
SIPRI (Stockholm International Peace
Research Institute). (2013). “The sipri
top 100 arms - producing companies,
2013. diakses pada tanggal 28 April
2015.
http://www.sipri.org/research/
armaments/production/recent-trendsJurnal Studi Diplomasi dan Keamanan 103
Respons Indonesia Dalam Persaingan Militer Di Asia Tenggara
Yoan Pellokila
in-arms-industry/The%20SIPRI%20
Top%20100%202013.pdf,
Siap
Tanda
Tangan
Kontrak
Baru,
Rosoboronexport Berencana Kirim 50
Unit BMP-3F ke Indonesia. diakses
pada tanggal 25 Juli 2015. http://
indonesia.rbth.com/news/2015/03/18/
siap_tanda_tangan_kontrak_baru_
rosoboronexport_berencana_kirim_50_
unit_b_27133.html,
Rantis Komodo 4×4, Meneruskan Tuah
Sukses Anoa 6×6. diakses pada
tanggal 23 Juli 2015. http://www.
kodam17cenderawasih.mil.id/
pengetahuan/militer/alat-utamasistem-senjata/rantis-komodo-4x4meneruskan-tuah-sukses-anoa-6x6/,
104 Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan
Volume 8, Nomor 1, Juni 2016
Download