MARKAS BESAR ANGKATAN UDARA DINAS PENERANGAN LINTASAN SEJARAH TNI ANGKATAN UDARA Tanggal 9 April enam puluh lima tahun yang lalu, melalui Penetapan Pemerintah Nomor : 6/SD/1946 dinyatakan berdirinya Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara. Bersamaan dengan itu juga ditetapkan Komodor Udara Suryadi Suryadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Udara yang pertama. Tanggal tersebut kemudian setiap tahun sebagai hari Angkatan Udara yang sedang kita peringati saat ini. Bila disimak jejak perjalanan TNI Angkatan Udara sebagai sebuah angkatan perang, memang terkesan unik. Berawal dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawatan Penerbangan menjadi TRI Angkatan Udara. Selain proses kelahirannya yang begitu singkat, yaitu sekitar tujuh bulan sejak Indonesia merdeka, alutsista yang dimiliki juga sangat sederhana. Waktu itu TNI Angkatan Udara hanya bermodalkan pesawat-pesawat bekas yang diperoleh dari rampasan tentara Jepang, seperti pesawat jenis Chureng, Nishikoreng, Guntei dan Hayabusha. Jumlah penerbang dan teknisinya pun sangat terbatas. Dalam keterbatasan alutsista yang dimiliki waktu itu, TNI Angkatan Udara mampu menorehkan tinta emas dalam lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Untuk pertama kalinya pesawat dengan identitas merah putih mengangkasa yang diterbangkan oleh Komodor Udara Agustinus Adisutjipto pada tanggal 27 Oktober 1945. Operasi Udara yang pertama kali dilaksanakan pada tanggal 29 Juli 1947, yaitu merupakan serangan balas terhadap Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947, kemudian pada tanggal 17 Oktober 1947 dilaksanakan Operasi Lintas Udara di Kalimantan. Sejarah juga mencatat tokoh-tokoh yang ikut membesarkan TNI Angkatan Udara pada periode awal pendiriannya antara lain, Suryadi Suryadarma, Abdulrachman Saleh, Agustinus Adisutjipto, Halim Perdanakusuma, Iswahjudi, Suharnoko Harbani, Mulyono, Sutardjo Sigit, dan H.M. Sudjono. Pada dekade tahun 50-an TNI Angkatan Udara mulai diperkuat dengan pesawatpesawat yang lebih modern seperti P-51 Mustang, B-25 Mitchel, B-26 Invander, C-47 2 Dakota, AT-16 Harvard, AT-6G Harvard, Piper Cub L-4J, Cessna L-19, Cessna 180, Albatros, Vampire Trainer DH-115, Piper Cub, Mark-2 Auster, PBY Catalina, IL-28 Ilyusin, Avia-14, Mig-15, Mig-17, Bell 47G-2 Trooper, MI-4, SM-1, IL-14 Avia (Dolok Martimbang), BT-13 Valiant, Hiller-360 Utility, Bell-47G. Pada dekade 50-an TNI Angkatan Udara juga mulai mendatangkan serta mengoperasikan Radar Nysa maupun Radar Decca. Dengan alutsista tersebut TNI Angkatan Udara ikut berperan dalam berbagai operasi keamanan dalam negeri, seperti penumpasan PRRI, Permesta, RMS, DI/TII serta berbagai gangguan keamanan dalam negeri lainnya. Dekade 60-an, TNI Angkatan Udara memasuki masa jayanya dan bahkan menjadi Angkatan Udara yang paling disegani di kawasan Asia Tenggara karena memiliki alutsista udara yang cukup besar dan handal baik yang berasal dari Eropa Barat maupun dari Eropa Timur. TNI AU pada dekade tersebut melakukan penambahan kekuatan dengan mendatangkan alutsista baik dari jenis yang sudah ada maupun jenis baru. Adapun alutsista tersebut diantaranya adalah Mig-19, Mig-21, AN-12 Antonov, C-130 Hercules, C-140 Jet Star, TU-16 Badger A, TU-16 KS-1 Badger B, Helikopter MI-4, MI-6, Bell-47J Ranger, Bell-204B Iroquis, S-58T Sikorsky, T-34A Mentor, L-29 Dholphin, Rudal SAM-75, Rudal KS, Radar Nysa, Radar Decca, serta Radar P-30. Kekuatan dan kemampuan alutsista yang dimiliki tersebut ikut menentukan keberhasilan Operasi Trikora untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Demikian juga dalam Operasi Dwikora dan penumpasan pemberontakan PKI, TNI Angkatan Udara senantiasa ikut di dalamnya. Awal dekade 70-an, kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara mengalami penurunan, namun pada pertengahan tahun 70-an secara bertahap Angkatan Udara mulai bangkit kembali. Masuknya beberapa alutsista seperti pesawat OV-10 Bronco, F-86 Sabre, T-33 Thunder Bird, Fokker F-27, T-34C Mentor Charlie, Helikopter Puma SA330 yang serba guna, Helikopter Latih bell 47G Sioux, Bell-204B Iroquis, AT-16 Harvard, serta L-100-30 Hercules, merupakan angin segar setelah beberapa alutsista produk negara Timur mengalami kesulitan dalam pengadaan suku cadangnya. Dekade 80-an, TNI Angkatan Udara memasuki era supersonik, dengan hadirnya pesawat tempur F-5 Tiger II, pesawat A-4 Sky Hawk dan pesawat latih jenis Hawk MK-53. Disamping pesawat tersebut TNI Angkatan Udara juga diperkuat oleh pesawat Boeing 3 737 yang mampu mengamati wilayah permukaan serta pesawat angkut ringan Cassa CN-212-200. Dengan datangnya pesawat Multirole F-16 Fighting Falcon pada akhir tahun 1989 menambah keperkasaan TNI Angkatan Udara. Kemampuan TNI Angkatan Udara makin meningkat dengan tambahan kemampuan pengamatan udara dan pengawasan dini dari radar Thomson dan Plessey. Demikian juga untuk membentuk penerbang- penerbang muda didatangkan pesawat AS 202/ 18 A Bravo sebagai pesawat latih mula. Memasuki periode 1990-an kebutuhan akan alutsista yang lebih modern dibutuhkan TNI Angkatan Udara dalam rangka menjawab tantangan tugas yang diamanatkan Undang-Undang. Adapun pengadaan alutsista pada periode ini diantaranya melengkapi sepuluh pesawat F-16 Fighting Falcon yang sudah datang sebelumnya, CN-235, NAS 332 Super Puma, dan Radar Plessey AR 325. Pada dekade ini juga lahir sebuah Tim Aerobatik yang cukup melegenda, yaitu Tim Elang Biru, yang dapat disejajarkan dengan Tim Aerobatik kelas dunia. Demikian juga disusul beberapa tahun kemudian dengan Jupiter Aerobatic Team dengan pesawat Hawk MK-53. Armada udara TNI Angkatan Udara juga diperkuat oleh pesawat tempur jenis Hawk 100/200 yang ditempatkan di Skadron Udara 12 dan Skadron Udara 1. Memasuki milenium ke III, TNI Angkatan Udara melengkapi teknologi Barat yang sudah ada dengan teknologi dari Timur, yaitu dengan hadirnya pesawat Sukhoi SU-27 dan SU-30 yang ditempatkan di Skadron Udara 11, serta pesawat latih dasar KT-1 Woong Bee dari Korea Selatan, Helikopter SC-120 Colibri buatan Perancis, CN-235 -220 MPA buatan PT Dirgantara Indonesia. Kehadirannya semakin mewarnai angkasa Indonesia dan tentunya akan memperkuat pertahanan udara nasional dalam rangka menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia di udara. Dengan alutsista yang dimilikinya, Angkatan Udara sejak awal berdirinya telah melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan juga Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Operasi bakti dan tugas-tugas kemanusiaan di dalam negeri dan luar negeri merupakan darma bhakti TNI AU dalam menyikapi kepedulian terhadap kesulitan yang dihadapi bangsa dan negara lain. Bencana alam gempa bumi dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, gempa bumi dan tsunami di Sumatera Barat, banjir bandang di Wasior, bencana 4 merapi di Yogyakarta serta di Timor Leste, Pakistan, India, dan Philipina merupakan bukti nyata keikutsertaan TNI AU dalam OMSP. Semua yang diupayakan dan diusahakan TNI Angkatan Udara, tidak lain adalah guna mewujudkan The First Class Air Force, sebuah angkatan udara yang handal dan mampu menghadapi setiap ancaman yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai tugas yang diamanatkan dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004. Dirgahayu Angkatan Udara.