(TGF-β) pada Sel T Regulator (Treg)

advertisement
ARTIKEL ASLI
Ekspresi Transforming Growth Factor–Beta (TGF-β) pada Sel T Regulator
(Treg) dari Lesi Kulit Pasien Kusta
(Expression of Transforming Growth Factor–Beta (TGF-β) on Regulatory T
(Treg) Cell from Skin Lesion of Leprosy’s Patient)
Kristina Sihaloho, Afif Nurul Hidayati, Indropo Agusni
Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRAK
Latar Belakang: Gejala klinis penyakit kusta tergantung respons imun penjamu (host). Sel T regulator (Treg) dikenal
dengan CD4+CD25+FOXP3+ berperan dalam mengatur respons imun untuk mempertahankan homeostasis. Transforming
growth factor (TGF)-β merupakan salah satu sitokin yang disekresikan oleh sel Treg. Sel Treg diduga sebagai sel T yang
tidak reponsif (anergi) terhadap kuman Mycobacterium leprae dan menyebabkan perjalanan kusta lebih berat ke arah tipe
lepromatosa. Tujuan: Mengevaluasi ekspresi TGF-β pada sel Treg dari lesi pasien kusta. Metode: Desain penelitian adalah
deskriptif observasional potong lintang dengan 18 subjek penelitian yaitu pasien kusta yang datang ke Divisi Kusta Unit
Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Pengambilan sampel dengan biopsi lesi
kulit dan dilanjutkan pemeriksaan histopatologis. Penentuan tipe kusta berdasarkan pemeriksaan klinis dan histopatologis.
Ekspresi TGF-β pada sel Treg dilakukan dengan pemeriksaan double staining imunohistokimia di Laboratorium
Biomolekuler dan Patologi Anatomi Universitas Brawijaya Malang. Hasil: Jumlah pasien kusta tipe mid-borderline (BB)
adalah 2 orang (11,1%), kusta tipe borderline lepromatosa (BL) sebanyak 9 orang (50%), dan kusta tipe lepromatosa (LL)
sebanyak 7 orang (38,9%). Rata-rata ekspresi TGF-β pada sel Treg dari lesi kulit pasien kusta tipe BB adalah 12 ± 2,12 sel
per lapangan pandang, pada tipe kusta BL adalah 16 ± 3,64 sel per lapangan pandang, dan pada tipe kusta LL adalah 22 ±
3,69 sel per lapangan pandang. Simpulan: Ekspresi TGF-β pada sel Treg yang meningkat pada pasien kusta dapat
bermanfaat sebagai indikator prognostik perjalanan penyakit ke arah lebih berat (tipe lepromatosa).
Kata kunci: imunohistokimia, kusta, Morbus Hansen, sel T regulator, TGF-β.
ABSTRACT
Background: Clinical manifestations of leprosy depends on host’s immunity. Regulatory T (Treg) cells are known as
CD4+CD25+FOXP3+ have roles in immune respons to maintain homeostasis. Transforming growth factor (TGF)-β are one of
cytokine that is secreted by Treg cells. Treg cells are thought as unresponsiveness T cells (anergy) to Mycobacterium leprae
and caused disease’s progression to lepromatosa. Purpose: To evaluate expression of TGF-β on Treg cells from patient
leprosy’s skin lession. Methods: Design of study was cross-sectional, descriptive observation involving 18 leprosy patients
who visited the Leprosy Division, Dermatology and Venereology Outpatient Clinic, Dr. Soetomo General Hospital,
Surabaya. Biopsy from skin lession were performed then continued with histopathological examination. The type of leprosy
was determined by clinical and histopathological examinations. Expression of TGF-β on Treg cell were performed by double
staining immunohistochemistry in Biomoleculer and Pathology and Anatomy Laboratory at Brawijaya University, Malang.
Result: Numbers of mid-borderline type (BB) leprosy’s patients were 2 (11,1%), 9 (50%) patients with borderline
lepromatosa (BL) type, and 7 (38,5%) patients with Lepromatosa (LL) type. Mean expression of TGF-β on Treg cells from
skin lession’s leprosy on BB type was 12 ± 2,12 cells/field of view, on BL type was 16 ± 3,64 cells/fields of view and on LL
type was 22± 3,69 cells/field of view. Conclusion: Expression of TGF-β on Treg cells are increasing on skin lession’s
leprosy patients might as prognostic indicator of severity of leprosy (lepromatosa type).
Key words: immunohistochemistry, leprosy, Morbus Hansen, regulatory T cell, TGF-β.
Alamat korespondensi: Kristina Sihaloho, Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo No. 6-8
Surabaya 60131, Indonesia. Telepon: +62315501609, e-mail: [email protected]
1
Artikel Asli
PENDAHULUAN
Kusta dikenal dengan Hansen’s disease atau
Morbus Hansen, merupakan penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang
umumnya menyerang kulit dan syaraf, serta dapat
menyerang jaringan lainnya seperti mata, mukosa
saluran nafas, otot, tulang, dan testis.1 Kusta yang
menyerang saraf perifer menyebabkan kelemahan
otot, hilangnya sensasi pada tangan, kaki, dan mata
yang memicu ulserasi dan deformitas.2 Jumlah kasus
kusta mengalami peningkatan di 10 negara yaitu
India, Brazil, Myanmar, Nepal, Mozambique,
Madagaskar, Angola, Republik Afrika Pusat,
Republik Demokrasi Kongo, dan Republik Tanzania.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008
melaporkan lebih dari 1000 kasus baru berasal dari
negara-negara tersebut, dan berkontribusi 94% dari
seluruh kasus baru yang ditemukan di dunia.2 Tahun
2010, Asia Tenggara merupakan daerah dengan
prevalensi kusta yang tinggi yaitu 120,456 kasus per
10.000 populasi. Tahun 2009, WHO melaporkan
kasus kusta baru di Indonesia sekitar 133,717 kasus.3
Data rekam medis di Divisi Kusta Unit Rawat Jalan
(URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo pada tahun 2011-2013 menunjukkan jumlah
kasus kusta baru sebesar 434 kasus.
Gejala klinis penyakit kusta tergantung respons
imun penjamu (host). Respons imun seluler pada M.
leprae berperan penting, karena M. leprae merupakan
bakteri obligat intraseluler. Ridley dan Jopling
mengklasifikasikan kusta berdasarkan respons imun
seluler yaitu tipe tuberkuloid, borderline, dan
lepromatosa. Respons imun seluler terutama berperan
pada kusta tipe tuberkuloid dan respons imun humoral
berperan pada kusta tipe lepromatosa.4 Penelitian
terbaru menyatakan adanya sel T regulator (Treg)
yang berperan dalam mengatur respons imun untuk
mempertahankan
homeostasis.
Penemuan
sel
CD4+CD25+FOXP3+ sebagai supresor pada respons
autoimun menjelaskan konsep sel T yang dapat
mengatur respons imun dalam mempertahankan
hemostasis dan dikenal sebagai sel Treg.
Transforming growth factor (TGF)-β merupakan
salah satu sitokin yang disekresikan oleh sel Treg.5
Makrofag yang terinfeksi M. leprae menginduksi
produksi sitokin TGF-β oleh sel Treg selama
perkembangan respons imun pada penyakit kusta.
TGF-β sebagai sitokin supresor akan menginaktivasi
makrofag dan menghambat kerja tumor necrotizing
factor (TNF)-α yang mengakibatkan peningkatan
proliferasi kuman.5,6 Penelitian terbaru tentang
ekspresi TGF-β pada sel Treg menyatakan bahwa
TGF-β yang disekresikan oleh sel Treg meningkat
pada lesi kusta tipe lepromatosa. Sel Treg diduga
2
Ekspresi Transforming Growth Factor–Beta (TGF-β) pada Sel T
Regulator (Treg) dari Lesi Kulit Pasien Kusta
sebagai sel T yang tidak responsif (anergi) terhadap
kuman M. leprae dan menyebabkan perjalanan kusta
lebih berat ke arah tipe lepromatosa.5 Penelitian ini
ditekankan pada ekspresi TGF-β dan sel Treg pada
lesi kulit pasien kusta.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi ekspresi
TGF-β pada sel Treg dari lesi pasien kusta dengan
berbagai spektrum klinis menggunakan metode
imunohistokimia. Hal itu diharapkan berguna untuk
menilai kondisi status imunitas host yang
menggambarkan prognosis perjalanan penyakit kusta.
METODE
Penelitian ini bersifat deskriptif observasional
potong lintang. Penelitian dilakukan selama tiga bulan
yaitu pada bulan Maret sampai dengan Mei 2015 di
Divisi Kusta URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Populasi penelitian
adalah semua pasien kusta baru yang datang ke Divisi
Kusta URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Sampel penelitian adalah semua
pasien kusta yang memenuhi kriteria penerimaan
sampel yaitu pasien kusta yang didiagnosis secara
klinis dan bakteriologis, berusia ≥ 5 tahun, belum
pernah mendapatkan terapi atau sudah diterapi MDT
kurang dari 3 bulan dan bersedia mengikuti penelitian
dengan menandatangani informed consent. Kriteria
penolakan sampel yaitu pasien kusta yang sedang
mengalami reaksi, wanita hamil dan menyusui, pasien
dengan
riwayat penyakit kronis (tuberkulosis,
diabetes melitus, dan human immunodeficiency virus)
yang ditegakkan berdasarkan anamnesis. Pengambilan
sampel penelitian dilakukan secara consecutive
sampling dari pasien yang memenuhi kriteria
penerimaan sampel sampai sejumlah 18 orang.
Alur penelitian dimulai dengan pemeriksaan
pasien melalui anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan bakteriologis. Dilakukan pengambilan
sampel jaringan dengan biopsi pada lesi kusta dan
dilanjutkan pemeriksaan secara histopatologis.
Ekspresi TGF-β pada sel Treg dilakukan dengan
pemeriksaan double staining imunohistokimia di
laboratorium Biomolekuler dan Patologi Anatomi
Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini
menggunakan monoklonal anti CD25 (SantaCruz
Inc.) dan anti TGF-β (SantaCruz Inc.). Data dan hasil
yang diperoleh dimasukkan dalam lembar pengumpul
data untuk dilakukan analisis data.
HASIL
Tabel 1 menunjukkan 18 pasien kusta yang ikut
serta dalam penelitian, didapatkan laki-laki (72,2%)
lebih banyak dibandingkan perempuan (27,8%)
dengan usia terbanyak adalah 15-24 tahun pada 7
BIKKK – Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and Venereology
pasien (38,9%). Pekerjaan terbanyak dalam penelitian
ini adalah swasta dan pelajar/mahasiswa masingmasing 7 pasien (38,9%), serta didapatkan 11 pasien
berdomisili di Surabaya (61,6%).
Sampel pasien kusta seluruhnya memiliki
keluhan bercak mati rasa (100%). Dua orang pasien
(11,1%) memiliki keluhan lain selain bercak mati
rasa, yaitu kesemutan atau jari tangan kaku. Lama
sakit terbanyak adalah kurang dari 3 bulan pada 7
pasien (38,9%). Penelitian ini menunjukkan pasien
memiliki jenis lesi kulit lebih dari satu. Lesi kulit
yang terbanyak adalah makula hipopigmentasi pada 9
pasien (50%), disusul lesi punch out pada 7 pasien
(38,9%), makula eritematosa pada 6 pasien (33,5%),
plak eritematosa dan kulit kering masing-masing
pada 5 pasien (27,8%). Gangguan sensibilitas
didapatkan pada seluruh pasien. Gangguan sensibilitas
terbanyak adalah hipoestesi (66,7%) dan paling
Vol. 28 / No. 1 / April 2016
sedikit adalah penebalan saraf (16,7%). Hasil
pemeriksaan indeks bakteriologis (IB) dan indeks
morfologis (IM) terbanyak adalah 0 pada 13 pasien
(72,2%). Hasil pemeriksaan IB tertinggi yaitu +3
pada 1 pasien (5,6%) dan hasil IM tertinggi yaitu
lebih dari 3% didapatkan pada 2 pasien (11,1%).
Gambar 1 di penelitian ini menunjukkan bahwa
tipe kusta terbanyak adalah borderline lepromatosa
(BL) pada 9 pasien (50%). Tabel 2 menunjukkan ratarata jumlah sel Treg yang mengekspresikan TGF-β
adalah 18 ± 4,80 sel per lapangan pandang. Jumlah
terendah adalah 10 sel per lapangan pandang dan
jumlah tertinggi adalah 25 sel per lapangan pandang.
Tabel 3 menunjukkan rata-rata tertinggi sel Treg yang
mengekspresikan TGF-β dari lesi pasien kusta
berdasarkan tipe kusta yang didapatkan dari pasien
tipe lepromatosa (LL), yaitu 22 ± 3,69 sel per
lapangan pandang.
Tabel 1. Karakteristik umum pasien kusta di URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Karakteristik
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kelompok Umur
1-4
5 – 14
15-24
25-34
35-44
45-54
55-64
≥ 65
Pekerjaan
Pelajar/mahasiswa
Swasta
Ibu rumah tangga
Petani
Tidak bekerja
Domisili
Surabaya
Luar Surabaya
Bangkalan
Gresik
Sidoarjo
Pasuruan
Sampang
Keluhan Utama
Bercak mati rasa
Bercak mati rasa, kesemutan
Bercak mati rasa, kaku jari tangan
Bercak mati rasa, luka, jari tangan
memendek
Jumlah (N)
Persentase (%)
13
5
72,2 %
27,8 %
Tidak diambil data
1
7
0
6
0
2
2
Tidak diambil data
5,6 %
38,9 %
0
33,3 %
0
11,1 %
11,1 %
7
7
1
1
2
38,9 %
38,9 %
5,6 %
5,6 %
11,1 %
11
7
3
1
1
1
1
61,1 %
38,9 %
42,8 %
14,3 %
14,3 %
14,3 %
14,3 %
13
2
2
1
72,2 %
11,1 %
11,1 %
5,6 %
3
Ekspresi Transforming Growth Factor–Beta (TGF-β) pada Sel T
Regulator (Treg) dari Lesi Kulit Pasien Kusta
Artikel Asli
Karakteristik
Jumlah (N)
Lama sakit
<3 bulan
3-<6 bulan
6-<12 bulan
>12 bulan
7
2
4
5
38,9 %
11,1 %
22,2 %
27,8 %
Jumlah lesi
1-5
>5
7
11
38,9 %
61,1 %
Gangguan sensibilitas
Anestesi
Hipoestesi
Hipoestesi, penebalan saraf
6
9
3
33,3 %
50,0 %
16,7 %
Tipe
Kusta
TT
0
BT
0
BB
Persentase (%)
11,1%
BL
50%
LL
38,9%
0
10
20
30
40
(%)
50
60
Keterangan: BB= borderline; BL= borderline lepromatosa; BT= borderline tuberkuloid; LL= lepromatosa; TT=
tuberkuloid
Gambar 1. Distribusi klasifikasi tipe kusta pada pasien kusta di URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
Tabel 2. Jumlah sel Treg yang mengekspresikan TGF-β dari lesi pasien kusta di URJ Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Jumlah sel Treg yang
mengekspresikan
TGF- β
N
Maksimum
(sel per lapangan
pandang)
Minimum
(sel per lapangan
pandang)
Mean ± SD
(sel per lapangan
pandang)
18
25
10
18 ± 4,80
Tabel 3. Jumlah sel Treg yang mengekspresikan TGF-β dari lesi pasien kusta berdasarkan kelompok tipe kusta
di URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya
4
Diagnosis kusta
N
TT
BT
BB
BL
LL
0
0
2
9
7
Maksimum
(sel per lapangan
pandang)
0
0
13
22
25
Minimum
(sel per lapangan
pandang)
0
0
10
10
15
Mean ±SD
(sel per lapangan
pandang)
0
0
12 ± 2,12
16 ± 3,64
22 ± 3,69
BIKKK – Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and Venereology
PEMBAHASAN
Keluhan utama bercak mati rasa didapatkan pada
seluruh sampel penelitian. Keluhan lain yaitu rasa
kesemutan pada ekstremitas dan kaku jari tangan
didapatkan sebanyak 11,1%. Penelitian ini serupa
dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan dan
kawan-kawan (2012) di Pakistan bahwa keluhan
bercak mati rasa ditemukan pada seluruh pasien
dengan berbagai tipe kusta.7 Penelitian Jain dan
kawan-kawan (2014) menunjukkan gangguan
deformitas pada 9,5% kasus, diantaranya gangguan
sensasi (3%) serta gangguan deformitas seperti claw
hand dan ulkus (6,6%).8 Keluhan kaku pada jari
tangan merupakan kecacatan terbanyak yang
didapatkan.
Keluhan rasa kesemutan dan kaku pada jari
tangan cukup mengganggu aktivitas pasien, sehingga
mendorong mereka untuk memeriksakan diri. Lama
sakit yaitu jarak antara awal pasien mengetahui
adanya kelainan kulit sampai mencari pengobatan.9
Lama sakit terbanyak pada penelitian ini adalah
kurang dari 3 bulan (38,9%). Keluhan bercak mati
rasa merupakan masalah yang cukup penting bagi
pasien karena jarak waktu timbulnya bercak mati rasa
dengan pencarian pengobatan kurang dari 3 bulan.
Hal itu lebih baik dari data penelitian retrospektif
pasien kusta dengan ulkus oleh Dharmasanti (20062008) yang menyatakan bahwa lama sakit terbanyak
lebih dari 12 bulan.9 Terdapat peningkatan kesadaran
dan pemahaman masyarakat tentang kondisi
kesehatannya. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Khan dan kawan-kawan (2012) di Pakistan
menunjukkan lama sakit pasien kusta sekitar 5 bulan7 tahun, dengan rata-rata lama sakit sekitar 1,6 tahun.7
Lesi pada 1 pasien di penelitian ini lebih dari 1
jenis yaitu dapat berupa makula hipopigmentasi,
makula eritematosa, makula hiperpigmentasi, lesi
punch out, atau plak eritematosa. Kelainan lain yang
ditemukan berupa claw hand, ulkus, xerosis cutis, dan
infiltrat. Kelainan kulit terbanyak adalah makula
hipopigmentasi didapatkan pada 9 pasien (50%),
disusul lesi punch out sebanyak 7 pasien (38,9%).
Penelitian
Khan
dan
kawan-kawan
(2012)
menunjukkan dari 7 pasien tipe kusta TT, terdapat 6
pasien dengan makula eritematosa dan sisanya dengan
makula hipopigmentasi. Didapatkan 18 pasien dengan
lesi punch out, 2 pasien dengan plak eritematosa, 1
pasien dengan makula hipopigmentasi, dan 7 pasien
dengan ulkus di tangan dan kaki pada 25 pasien kusta
tipe BT. Didapatkan makula eritematosa dan infiltrat
pada keseluruhan 3 pasien kusta tipe BL. Tiga belas
pasien dengan kusta tipe LL memiliki gambaran klinis
berupa nodul pada 9 pasien, makula eritematosa pada
Vol. 28 / No. 1 / April 2016
2 pasien, serta ulkus di tangan dan kaki pada 2
pasien.7
Penegakan diagnosis kusta oleh WHO tipe
pausibasiler (PB) yaitu makula hipopigmentasi atau
eritematosa yang berjumlah 1-5 buah, tipe
multibasiler (MB) jumlah lesi > 5 buah. Penelitian ini
menunjukkan jumlah lesi 1-5 didapatkan pada 7
pasien (38,9%) dan jumlah lesi > 5 pada 11 pasien
(61,1%). Penelitian yang dilakukan oleh Rao dan
kawan-kawan (2004) di India menyatakan bahwa
pasien dengan jumlah lesi 1-5 didapatkan secara klinis
pada 1 pasien tipe TT, 53 pasien tipe BT, dan 4 pasien
tipe indeterminate (IL). Pasien dengan jumlah lesi > 5
didapatkan secara klinis pada 8 pasien tipe BT, 4
pasien tipe BB, 27 pasien tipe BL, dan 11 pasien tipe
LL.10 Gangguan sensibilitas pada seluruh pasien di
penelitian ini berupa anestesi pada 6 pasien (33,3%),
hipoestesi pada 12 pasien (66,7%), dan penebalan
saraf yang hanya didapatkan pada 3 pasien (16,7%).
Diagnosis kusta berdasarkan WHO adalah gangguan
sensibilitas (terutama suhu dan tekanan) berupa
anestesi dan hipoestesi. Hal tersebut didapatkan pada
seluruh sampel penelitian ini.11,12
Hasil pemeriksaan IB dan IM terbanyak pada
penelitian ini adalah 0 pada 13 orang pasien (72,2%).
Hal itu tidak sesuai dengan data klinis yang
ditemukan terbanyak pada penelitian ini adalah tipe
MB. IB lebih dari +2 dikategorikan pada tipe MB.
Ketidaksesuaian ini mungkin karena banyak dari
pasien kusta tipe MB adalah tipe BB, sehingga bakteri
yang ada hanya sedikit dan relatif sulit ditemukan.
Alasan lain kemungkinan karena teknik pemeriksaan
yang kurang tepat.13 Ekspresi TGF-β yang tinggi pada
lesi kulit pasien dapat dikaitkan dengan
ketidakmampuan makrofag dalam membunuh bakteri.
Nilai IB dan IM yang terbanyak didapatkan adalah 0
menunjukkan jika makrofag masih bekerja dengan
baik.14
Penegakan diagnosis kusta secara klinis dan
histopatologis pada penelitian ini berdasarkan kriteria
WHO dan Ridley–Jopling yaitu tipe TT, BT, BB, BL,
dan LL. Penelitian ini tidak menemukan tipe TT dan
BT. Tipe BB ditemukan sebanyak 2 pasien (11,1%),
tipe BL sebanyak 9 pasien (50%), dan tipe LL
sebanyak 7 pasien (38,9%). Penelitian retrospektif di
India pada tahun 2014 menemukan kasus kusta tipe
MB lebih banyak sekitar 57% kasus dibandingkan
kasus PB.8 Penemuan kasus MB yang banyak dapat
disebabkan karena kusta tipe MB merupakan sumber
penularan yang besar dan berisiko tinggi
menimbulkan reaksi. Gejala klinis yang dirasakan
oleh pasien tipe PB lebih ringan. Pasien kusta tipe MB
menunjukkan gejala klinis yang lebih jelas dan berat
5
Artikel Asli
dibandingkan dengan tipe PB sehingga pasien MB
akan segera mencari pengobatan.8,15
Ekspresi TGF-β pada sel Treg dari lesi pasien
kusta pada penelitian ini diperiksa dengan metode
imunohistokimia. Pemeriksaan tersebut menggunakan
monoklonal anti CD25 (SantaCruz Inc.) dan
monoklonal anti TGF-β (SantaCruz Inc.). Pengamatan
ekspresi TGF-β pada sel CD25 dilakukan dengan
menggunakan teknik immunodoublestaining. Hasil
pemeriksaan
imunohistokimia
dikelompokkan
berdasarkan jumlah sel yang terwarnai, yaitu
dikatakan positif bila terdapat warna merah pada
membran sel (CD25) dan warna coklat pada
sitoplasma sel (TGF-β) seperti yang ditunjukkan
Gambar 2.
Gambar 2. Ekspresi TGF-β pada sel Treg dari lesi
pasien kusta tipe BB (didapatkan CD25
yang berwarna merah pada membran sel
di dermis dan TGF-β berwarna coklat
pada sitoplasma sel).
Penelitian ini menunjukkan variasi jumlah
ekspresi TGF-β pada sel Treg dari lesi kulit pasien
kusta. Rata-rata secara keseluruhan jumlah sel Treg
yang mengekspresikan TGF-β dari lesi 18 pasien
kusta adalah 18 ± 4,80 sel per lapangan pandang.
Jumlah terendah dari ekspresi TGF-β pada sel Treg
adalah 10 sel per lapangan pandang dan jumlah
tertinggi adalah 25 sel per lapangan pandang. Ekspresi
TGF-β pada sel Treg berdasarkan tipe kusta. Pasien
dengan tipe BB menunjukkan sel Treg yang
mengekspresikan TGF-β berkisar antara 10-13 sel per
lapangan pandang, dengan rata-rata 12 ± 2,12 sel per
lapangan pandang. Sel Treg yang mengekspresikan
TGF-β dari lesi pasien tipe BL berkisar 10-22 sel per
lapangan pandang, dengan rata-rata 16 ± 3,64 sel per
lapangan pandang. Pasien dengan tipe LL
menunjukkan sel Treg yang mengekspresikan TGF-β
dari lesi pasien kusta berkisar antara 15-25 sel per
lapangan pandang, dengan rata-rata 22 ± 3,69 sel per
lapangan pandang. Ekspresi TGF-β pada sel Treg
yang terendah didapatkan pada pasien tipe BB. Hal itu
dapat disebabkan pasien kusta tipe BB masih
6
Ekspresi Transforming Growth Factor–Beta (TGF-β) pada Sel T
Regulator (Treg) dari Lesi Kulit Pasien Kusta
memiliki sitokin proinflamasi yang tinggi dan bekerja
membunuh kuman M. Leprae. Penelitian ini tidak
mendapatkan pasien tipe TT dan BT sehingga ekpresi
TGF-β pada sel Treg tidak bisa dinilai. Jumlah
ekspresi TGF-β pada sel Treg yang semakin
meningkat ke arah kusta tipe LL pada penelitian ini
sesuai dengan teori, yaitu semakin tinggi ekspresi
TGF-β pada sel Treg maka pasien tersebut akan
semakin anergi terhadap kuman M.leprae.5,16
Hasil penelitian ini sesuai dengan berbagai
penelitian tentang ekspresi TGF-β dan sel Treg yang
telah banyak dilakukan, tetapi memiliki perbedaan
dengan penelitian Goulart dan kawan-kawan (1996)
yang menggunakan persentase sel TGF-β yang positif
terwarnai. Goulart dan kawan-kawan menemukan 7080% TGF-β pada lesi kusta tipe LL, 50-60% TGF-β
pada lesi kusta tipe BL, dan 30-40 % TGF-β pada lesi
kusta tipe BB, sedangkan pada tipe BT dan TT tidak
didapatkan TGF-β pada dermis.14
Penelitian Young dan kawan-kawan (1998)
menyatakan bahwa TGF-β didapatkan pada lesi
seluruh pasien kusta, walaupun terbanyak pada tipe
lepromatosa.17 Penelitian Venturini dan kawan-kawan
(2010) di Brazil, pada lesi kulit pasien kusta tipe BT
dan BL menunjukkan bila TGF-β lebih banyak
didapatkan pada lesi kulit pasien tipe BL. TGF-β
ditemukan berkorelasi positif dengan indeks bakteri.
Keberadaan TGF-β membantu kuman bertahan hidup
di granuloma karena dapat menekan respons imun
kuman M. leprae. Hal itu menyebabkan ekpresi TGFβ yang tinggi pada kusta tipe lepromatosa (BL dan
LL).16 Hasil penelitian ini menunjukkan ekspresi
TGF-β di sel Treg meningkat pada kusta tipe
lepromatosa. Hal itu menunjukkan prognosis
perjalanan penyakit kusta ke arah yang lebih berat.
KEPUSTAKAAN
1. Bhat RM, Prakash C. Leprosy: An overview of
pathophysiology. Interdiscip Perfect Infect Dis
2012: 1-6.
2. Thorat M, Sharma P. Epidemiology. In: Kar
HK, Kumar B, editors. IAL Textbook of
Leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers(P) Ltd; 2010. p.24-31.
3. World Health Organization. World Health
Organization Expert Comittee on Leprosy: Eight
report. Rome:World Health Organization; 2012.
4. Sengupta U. Immunopathology of leprosy: A
state of the art. Int J Lep 2001; 69(2): S36-41.
5. Saini C, Ramesh V, Nath I. Increase in TGF-β
secreting CD4+CD25+FOXP3+ T regulatory cells
in anergic lepromatous leprosy patients. PLoS
Negl Trop Dis 2014; 8: e2639.
BIKKK – Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and Venereology
6.
Quaresma JAS, De Almaeida FAC, Aarao TLS,
Soares LPM, Magno IMN, Fuzi HT, et al.
Transforming growth factors-β and apoptosis in
leprosy skin lessions: possible relationship with
the control of tissue immune response in
Mycobacterium leprae infection. Microbes and
Infection 2012; 14: 696-701.
7. Khan
I,
Khan
AR,
Khan
MS.
Clinicopathological study of 50 cases of leprosy
in Nothern Pakistan. J Pakistan Ass Derm 2012;
22(3): 200-6.
8. Jain S, Mishra MK, Gupta SK, Jain V, Balpande
L. A retroseptive study of epidemiological trends
of leprosy in an urban leprosy centre of Madya
Pradesh. Natl J Community Med 2014; 5(1):
114-7.
9. Dharmasanti PA, Martodiharjo S. Profil
penderita kusta yang dirawat di Instalasi Rawat
Inap Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr.
Soetomo Surabaya (periode Januari 2003Desember 2005). BIPKK 2006; 18(2): 108-21.
10. Rao PN, Sujai S, Srinivas D, Lakshmi SS.
Comparison of two systems of classification of
leprosy based on number of skin lesions and
number of body areas involved- A
clinicopathological concordance study. Indian J
Dermatol Venereol Leprol 2005; 7(1): 14-9.
11. Moschella SL. An update on the diagnosis and
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Vol. 28 / No. 1 / April 2016
treatment of leprosy. J Am Acad Dermatol 2004;
51(3): 417-26.
Breycesen A, Pfaltzgraff RE. Medicine in
Tropics, Leprosy. 3rd edition. Singapore:
Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd; 1990.
Naik VB, Naik UB, More S, Rao VP. Evaluation
of signifinance of skin smears in leprosy for
diagnosis, follow up, assesment of treatment
outcome and relapse. Asiatic J Biotech Res
2011; 2(5): 547-52.
Goulart IMB, Figueiredo F, Coimbra T, Foss
NT. Detection of transforming growth factor-β1
in dermal lesions of different clinical forms of
leprosy. Am J Pathol 1996; 148: 911–7.
Jindal N, Shanker V, Tegta GR, Gupta M,
Verma GK. Clinico-epidemiological trends of
leprosy in Himachal Pradesh: a five year study.
Indian J Lepr 2009; 81: 173-9.
Venturini J, Soares CT, Belone A, Barreto JA,
Lauris JRP, Vilani Moreno FR. In vitro and skin
lesion cytokine profile in Brazilian patients with
borderline
tuberculoid
and
borderline
lepromatous leprosy. Lepr Rev 2011; 82: 25-35.
Young SK, Snowdown D, Lockwood DNJ.
Immunocytochemical localization of inducible
nitric oxide synthase and transforming growth
factor-beta (TGF-β) in leprosy lessions. Clin Exp
Immunol 1998; 113: 438-42.
7
Download