BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan makro yang dijalankan
oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal
yang dijalankan oleh pemerintah dapat terlihat melalui kebijakan anggaran.
Kebijakan anggaran di Indonesia ditujukan untuk mendukung kegiatan ekonomi
nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan
kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengurangi
kemiskinan.
Kebijakan
anggaran
memiliki
instrumen
berupa
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan penjabaran rencana
kerja para penyelenggara negara untuk kurun waktu satu tahun yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang
memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran
(1 Januari hingga 31 Desember)1.
Indikator makroekonomi yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan
kebijakan anggaran (APBN) adalah sebagai berikut:
a. Pertumbuhan ekonomi
e. Harga minyak internasional
b. Inflasi
f. Produksi minyak Indonesia
c. Nilai tukar
d. Suku bunga SBI
1
Nota Keuangan dan APBN dari berbagai edisi. 2
Kebijakan anggaran di suatu negara dalam prakteknya memiliki tiga
kondisi, antara lain berimbang, surplus dan defisit. Anggaran negara yang
berimbang memang terlihat sebagai kondisi paling ideal bagi pemerintah karena
total pengeluaran pemerintah seimbang dengan total penerimaan dan juga
merupakan indikator yang berguna untuk kesehatan makroekonomi. Namun tidak
sedikit ekonom yang menentang hal di atas karena kondisi tersebut tidak optimal
untuk pertumbuhan ekonomi dan menganggap bahwa surplus atau defisit
anggaran yang lebih optimal.
Menurut Mankiw (2000), kebijakan fiskal yang optimal pada suatu negara
sebagian besar membutuhkan kondisi defisit atau surplus pada anggarannya
karena setidaknya ada tiga alasan, yaitu alat stabilisasi, tax smoothing dan
redistribusi intergenerasi. Pada umumnya, negara berkembang dan maju
mengadopsi
kebijakan
defisit
anggaran
yang
sering
disebabkan
untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat,
rendahnya daya beli masyarakat, melemahnya nilai tukar, pengeluaran akibat
krisis global, dan pengeluaran berlebih karena inflasi. Kebijakan defisit anggaran
merupakan kondisi dimana total pengeluaran pemerintah (belanja negara) lebih
besar dari total penerimaan pemerintah (pendapatan negara ditambah hibah).
Kebijakan anggaran di Indonesia juga menerapkan kebijakan defisit
anggaran yang terlihat dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) mulai dari rezim Orde Baru hingga tahun 2000, pemerintah selalu
menetapkan kebijakan fiskal ekspansif. Walaupun sejak pemerintahan Orde Baru
dinyatakan bahwa APBN selalu bersendikan pada prinsip anggaran berimbang
3
dan dinamis, namun sebenarnya lebih bersifat politis (agar sesuai dengan GBHN),
karena secara konseptual dan faktual APBN selalu mengalami defisit (Basri,
2000). Setelah krisis multidimensional tahun 1997-1998, Indonesia juga masih
menjaga konsistensi defisit anggarannya dibawah 3 persen dari PDB, seperti yang
terlihat pada Gambar 1.1.
4
3.5
3
2.5
2
BUDEF (% PDB)
1.5
1
0.5
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber : Nota Keuangan dari berbagai tahun, diolah.
Gambar 1.1. Ringkasan Defisit APBN Indonesia Periode 1999-2009
Berdasarkan Gambar 1.1, terlihat bahwa sebelas tahun sesudah krisis
ekonomi yang mengguncang negara-negara di Asia Tenggara pada tahun 19971998, pemerintah Indonesia ternyata tetap melakukan ekspansi fiskal untuk
melanjutkan program pemulihan krisis, namun secara bersamaan juga
menyehatkan APBN dengan menurunkan defisit anggaran hingga dibawah 3
persen dari nilai PDB. Seperti pada tahun 1999, persentase defisit anggaran
terhadap PDB mencapai 3,9 persen dan berfluktuasi menurun hingga tahun 2005
mendekati 0,5 persen. Namun setelah tahun 2005, terus mengalami kenaikan
hingga mencapai 2,5 persen pada tahun 2009.
4
Dalam perkembangannya, kebijakan defisit anggaran juga tidak bisa lepas
dari pro dan kontra mengenai waktu dan pembiayaan terhadap defisit tersebut
karena selain kebijakan moneter, keseimbangan fiskal (anggaran) juga merupakan
indikator untuk melihat kesehatan makroekonomi. Persepsi yang berkembang
adalah kebijakan anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama
seringkali menjadi akar permasalahan dari ketidakstabilan makroekonomi seperti
inflasi yang tinggi, defisit current account yang besar, kewajiban utang yang
besar dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Pada negara industri maju,
beberapa publikasi memperlihatkan hubungan antara defisit anggaran dengan
ketidakseimbangan indikator makroekonomi sulit dijelaskan tapi bisa lebih
dikaitkan dengan bagaimana defisit anggaran tersebut dibiayai dan untuk berapa
lama terjadi (Hossain dan Chowdhury, 1998). Sedangkan menurut Lozano (2008),
hasil di negara berkembang, seringkali inflasi yang tinggi terjadi ketika
pemerintah menghadapi defisit yang besar dan terus-menerus yang kemudian
dibiayai oleh penciptaan uang (money creation) sehingga sering disebut inflasi
yang timbul karena fiscal driven monetary phenomenon.
Pembiayaan defisit anggaran di Indonesia, fakta sebelum diberlakukannya
UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia adalah sebagai bendahara pemerintah
yang mempunyai kewajiban untuk mendanai pengeluaran pemerintah (defisit
anggaran) dengan mencetak uang (money creation), tentu saja pembiayaan ini
akan menyebabkan meningkatnya base money (M0) dan mempengaruhi money
supply (M1 dan M2) yang dapat berimbas pula pada tingkat inflasi. Seperti yang
terjadi pada tahun 1960 hingga 1970, tingkat inflasi Indonesia yang terus naik
5
hingga mencapai lebih dari 1000 persen atau bisa dikatakan hyperinflation yang
disebabkan oleh kebijakan fikal pemerintah yang terlalu ekspansif dan tidak
prudent. Hal tersebut menyebabkan Bank Indonesia melakukan pencetakan uang
secara berlebihan untuk membiayai defisit anggaran yang sangat besar (proyekproyek mercusuar atau pengeluaran untuk militer) namun berhasil diturunkan
dengan solusi alternatif pembiayaan defisit anggaran, yaitu berupa pinjaman luar
negeri (Chowdhury dan Sugema, 2006).
Setelah diberlakukan pada tahun 2000, transmisi pengaruh defisit
anggaran terhadap variabel moneter melalui jalur moneter secara institusional
berubah. Bank Indonesia tidak diperbolehkan memberikan dana talangan terhadap
pengeluaran pemerintah dan atau bahkan membiayai defisit rekening pemerintah
(Net Claim on Government) di Bank Indonesia. Hal ini berarti Bank Indonesia
hanya sebagai pemegang rekening pemerintah dan tidak akan mengeluarkan dana,
jika pemerintah tidak memiliki dana di rekeningnya (Maryatmo, 2004). Selain itu,
Bank Indonesia juga mulai menempuh langkah-langkah untuk semakin
meningkatkan tingkat independensi, transparansi, dan akuntabilitas. Hal ini dapat
dilihat dengan penerapan kerangka kerja kebijakan moneter berdasarkan suatu
kerangka yang dikenal dalam literature ekonomi dan praktek di bank-bank sentral
lain dengan sebutan Inflation Targetting Framework (ITF).
Prinsip dasar dari ITF adalah sasaran akhir dari kebijakan moneter
diutamakan untuk mencapai dan memlihara laju inflasi yang rendah dan stabil.
Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan pokok yaitu laju inflasi yang tinggi
menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat dan kebijakan
6
moneter jangka menengah-panjang hanya berpengaruh pada inflasi dan bukan
pada pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat
Friedman dalam Mishkin (2001) yang menyatakan bahwa pergerakan ke atas pada
tingkat harga adalah sebuah fenomena moneter yang hanya akan terjadi apabila
pergeseran tersebut adalah sebuah proses yang berkelanjutan, sehingga inflasi
merupakan fenomena moneter dan sumber dari segala inflasi adalah pertumbuhan
money supply yang tinggi.
Agar sasaran akhir utama ITF yaitu tingkat inflasi yang rendah dan stabil
dapat diterapkan, maka ITF memiliki beberapa syarat yang salah satunya adalah
tidak adanya dominasi sektor fiskal (fiscal dominance). Hal tersebut berarti Bank
Indonesia harus dilindungi undang-undang dan dibebaskan dari segala pengaruh
atau kewajiban untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Ekspansi
moneter untuk pembiayaan pengeluaran fiskal telah terbukti secara nyata
berdampak pada tidak terkendalinya uang beredar dan memperlemah efektifitas
kebijakan moneter dalam mempengaruhi dan mencapai sasaran inflasi yang telah
ditetapkan (Warjiyo, 2004).
Menurut Lozano (2008), hubungan antara defisit anggaran, pertumbuhan
uang, dan inflasi selalu menjadi isu penting dalam literatur ekonomi moneter di
dunia. Beberapa literatur telah mencoba untuk melihat kemungkinan hubungan
sebab-akibat antara pembiayaan defisit anggaran dan tingkat harga secara umum.
Secara teori, paling tidak ada empat pandangan yang berbeda untuk melihat
hubungan ketiga variabel tersebut. Pertama, pandangan kaum Monetaris Ortodoks
dengan dasar teori kuantitas uang menjelaskan bahwa bila terjadi perubahan pada
7
kuantitas uang secara nominal akan menyebabkan perubahan yang sama pada
tingkat harga dan perubahan kuantitas uang bisa disebabkan karena penciptaan
uang (money creation) yang digunakan untuk membiayai defisit anggaran.
Kedua, The Fiscal Theory of Price Level (FTPL) atau yang dikenal
sebagai teori kuantitas utang pemerintah, menjelaskan dimana tingkat harga bisa
dipengaruhi oleh aksi kebijakan fiskal sehingga defisit anggaran merupakan salah
satu faktor perhitungan inflasi dalam jangka panjang dengan pertumbuhan uang
yang tidak berperan dalam sistem tersebut. Ketiga, pandangan kaum Keynesian
dimana berkesimpulan inflasi yang tinggi tidak disebabkan oleh kebijakan fiskal
saja tetapi banyak faktor yang lain dan lebih memfokuskan pada efek defisit
anggaran yang temporer pada tingkat inflasi dan bukan seperti inflasi pada
umunya dimana terjadi peningkatan tingkat harga secara terus-menerus.
Pandangan yang terakhir adalah pandangan kaum Ricardian Equivalence (RE)
dimana defisit anggaran pemerintah bersifat netral atau tidak akan berpengaruh
pada perekonomian (neutrality preposition).
Oleh karena dampak defisit anggaran dapat mempengaruhi variabel
moneter berupa pertumbuhan uang dan tingkat inflasi, maka penelitian tentang
hubungan defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi menarik untuk diteliti.
Walaupun kerangka kerja Inflation Targetting (kebijakan moneter) sudah
diterapkan di Indonesia, bukan tidak mungkin pengaruh defisit anggaran
(kebijakan fiskal ekspansif) tetap dapat mempengaruhi jumlah uang beredar dan
tingkat inflasi, antara lain seperti adanya jangka waktu (lag of time) antara
8
pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik
maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat.
1.2. Perumusan Masalah
Defisit anggaran yang besar dan terjadi secara terus-menerus dapat
menjadi
akar
dari
permasalahan
makroekonomi
seperti
hyperinflation,
ketergantungan terhadap utang luar negeri, dan pertumbuhan ekonomi yang
rendah.
Apabila
ketidakseimbangan
makroekonomi
terjadi
maka
akan
membahayakan bagi kelanjutan perekonomian. Fakta di Indonesia, sebelum
diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999, Indonesia telah mengalami
hyperinflation karena pencetakan uang (money creation) secara berlebihan oleh
Bank Indonesia untuk membiayai defisit anggaran pemerintah akibat kebijakan
fiskal yang terlalu ekspansif. Namun setelah diberlakukan, kerangka kerja
Inflation Targetting (kebijakan moneter) oleh Bank Indonesia, hal ini
menunjukkan bahwa era fiscal dominance sudah tidak akan terjadi lagi di
Indonesia.
Perubahan institusional tersebut secara empiris tidak menghalangi
kemungkinan adanya pengaruh defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif)
terhadap jumlah uang beredar maupun variabel moneter (inflasi). Pengaruh
tersebut dimungkinkan misalnya saja karena adanya jangka waktu antara
pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik
maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat.
9
Permasalahan yang dirumuskan secara spesifik dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah hubungan jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang dan defisit
anggaran di Indonesia? Apakah defisit anggaran pemerintah (kebijakan fiskal
ekspansif) berpengaruh terhadap variabel moneter yaitu pertumbuhan uang dan
inflasi di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini secara rinci adalah mengidentifikasi persamaan
jangka panjang inflasi, pertumbuhan uang, dan defisit anggaran. Menganalisis dan
mengetahui apakah defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) mempengaruhi
pertumbuhan uang dan inflasi serta teori yang mendasarinya.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai dampak defisit
anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) terhadap variabel moneter yaitu
pertumbuhan uang dan inflasi di Indonesia. Hasil dari penelitian ini dapat
digunakan oleh pihak-pihak yang berwenang sebagai referensi untuk harmonisasi
dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat bagi pembacanya dan sebagai referensi untuk penelitian
lebih lanjut. Bagi penulis sendiri, penelitian ini merupakan wadah pembelajaran
untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Institut
Pertanian Bogor.
Download