(BCMV) DARI BENIH KACANG PANJANG

advertisement
DETEKSI SEROLOGI BEAN COMMON MOSAIC (BCMV)
DARI BENIH KACANG PANJANG (Vigna sinensis)
KOMERSIL DAN PETANI DI BALI
TRISNA AGUNG PHABIOLA, SP.,MSi
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN .....................................................................................
1.1 Latar Belakang .................................................................................................
1.2 Tujuan Kusus ...................................................................................................
1.3 Manfaat Penelitian ...........................................................................................
1
1
2
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
2.1 Budidaya Tanaman Kacang Panjang ................................................................
2.2 Hama dan Penyakit pada Tanaman Kacang Panjang .........................................
2.3 Virus BCMV ....................................................................................................
2.4 Deteksi BCMV.................................................................................................
2
2
3
3
5
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................
3.1 Bahan dan Alat ................................................................................................
3.2 Perbanyakan Inokulum BCMV ........................................................................
3.3 Penanaman Tanaman Uji .................................................................................
3.4 Inokulasi BCMV pada Lima Varietas Kacang Panjang ....................................
3.5 Pengamatan Gejala ..........................................................................................
3.6 Konfirmasi Infeksi Virus Melalui Pengujian Serologi ......................................
6
6
6
7
7
7
8
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
8
BAB V. KESIMPULAN ....................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 12
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu jenis tanaman yang
sering ditemui di pasar tradisiaonal atau swalayan, menempati urutan ke -8 dari 20 jenis
sayuran yang dikonsumsi di Indonesia (Karsono 1997). Kacang panjang sebagai sumber
vitamin dan mineral menjadi salah satu manfaat dalam upaya peningkatan gizi
masyarakat. Kacang panjang banyak mengandung vitamin A dan vitamin C
serta
mengandung mineral terutama pada polong muda. Biji kacang panjang mengandung
protein, lemak, dan karbohidrat, sehingga kacang panjang merupakan sumber protein
nabati yang baik bagi manusia (Haryanto dkk., 1999).
Luas panen kacang panjang pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadi
456.254 ton (BPS, 2012). Terjadinya fluktuasi kualitas dan kuantitas produksi dapat
disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah penyakit tanaman, yang ditemui pada
tanaman kacang panjang adalah penyakit mosaik yang disebabkan oleh beberapa jenis
virus yang berasosiasi, diantaranya Bean common mosaic virus (BCMV), Cowpea aphid
born mosaic virus (CABMV) dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV) (Damayanti
dkk., 2009).
Salah satu penyakit penting pada tanaman kacang panjang yaitu penyakit dengan
gejala mosaik yang disebabkan oleh BCMV yang baru-baru ini ditemukan pada
pertanaman kacang panjang di daerah Bali. Infeksi BCMV menyebabkan kerugian
sebesar 65.87% (Kuswanto dkk., 2007) dan BCMV dilaporkan sebagai salah satu
penyebab mosaik kuning kacang panjang yang menginfeksi secara tunggal ataupun
bersama CMV di Jawa Barat (Damayanti dkk., 2009).
Virus BCMV merupakan virus yang tergolong kedalam genus potivirus (400-800
nm)yang mempunyai kisaran inang yang cukup luas, dapat ditularkan oleh kutu daun
secara non persisten (Sutic et al., 1999), dan bersifat tular benih (Udayashankar et al.,
2010).Beberapa tanaman yang menjadi inang Potyvirus yaitu Capsicum frutescens,
Capsicum annuum, Solanum tuberosum, Lycopersicon esculentum, Solanum melongena,
Datura stramonium, Nicotiana spp, dan Chenopodium spp (Green et al., 1999). Namun
infeksi BCMV pada tanaman lain selain kacang panjang belum banyak yang meneliti .
Gejala mosaik yang muncul pada kacang panjang yang diinfeksi
BCMV
ditunjukkan berupa lepuhan, pola warna kuning dan hijau pada daun, malformasi daun
1
(Setyastuti, 2008). Pengendalian yang dapat dilakukan terhadap BCMV yaitu dengan
pergiliran tanaman , mengendalikan vektor penyebab penyakit (kutu daun), dan dapat
dilakukan dengan mencabut tanaman kacang panjang yang terinfeksi BCMV kemudian
dibakar. Meskipun sudah dilakukan pengendalian terhadap BCMV , virus ini masih
bertahan, karena virus ini memiliki inang alternatif. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kisaran inang alternatif dari BCMV.
1.2. Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon lima varietas kacang panjang
(Vigna sinensis L.) yaitu KPK, Aura, Pusaka Hijau, Panah Merah dan benih petani
terhadap infeksi BCMV dan mengetahui variasi gejala yang muncul.
1.3. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah pengetahuan dasar dalam
menyusun strategi pengendalian penyakit mosaik dengan mengetahui berbagai respon
tanaman kacang panjang yang sering digunakan oleh petani sehingga dapat digunakan
varietas tahan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budidaya Tanaman Kacang Panjang
Kacang panjang termasuk dalarn divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae,
subkelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Leguminosae, genus Vigna, spesies Vigna
sinensis L. Budi daya kacang panjang dapat dilakukan di dataran rendah maupun dataran
tinggi dengan ketinggian antara 0-1500 m di atas permukaan laut (dpl). Namun demikian
tanaman ini tumbuh lebih baik pada ketinggian kurang dari 600m dpl, sehingga kacang
panjang banyak diusahakan di dataran rendah dan digolongkan dalam sayuran dataran
rendah. Sebelum dilakukan penanaman benih kacang panjang perlu dilakukan
pengolahan tanah terlebih dahulu seperti penggemburan, pembuatan bedengan, dan
pengapuran. Tanaman kacang panjang membutuhkan tanah yang gembur yaitu tanah
yang kaya akan bahan organik atau ditambah pupuk kandang pada saat pengolahan tanah
agar tumbuh dengan baik. Pemeliharaan yang umum dilakukan pada pertanaman kacang
2
panjang adalah penyulaman, penyiangan, penyiraman, pemangkasan cabang, dan
pemupukan.Tanaman kacang panjang mulai berbunga pada umur 30 hari setelah tanam
dan pemanenan polong kacang panjang dapat dilakukan setelah tanaman berumur 45 hari
(Susila, 2005).
2.2 Hama dan Penyakit pada Tanaman Kacang Panjang
Kendala utama pada budidaya tanaman kacang panjang adalah adanya gangguan
dari hama dan penyakit. Hama penting yang dilaporkan menyerang kacang panjang
antara lain, tungau merah Tetranychus bimaculatus (Acarina: Tetranychidae), kutu kebul
Bemisia tabaci (Hemiptera : Aleyrodidae), penggerek polong Riptortus linearis
(Hemiptera: Alydidae), dan kutu daun Aphis craccivora (Hemiptera : Aphididae). Upaya
yang banyak dilakukan untuk mengendalikan hama-hama tersebut adalah dengan
melakukan pergiliran tanaman, melakukan pengendalian secara biologi dengan
menggunakan musuh alaminya yaitu kumbang Scymnus sp. (Anwar dkk., 2005).
Penyakit yang menyerang tanaman kacang panjang diantaranya layu cendawan
(Fusarium sp.), antraknosa (Colletotricum lindemuthianum), puru akar (Meloidogyne
sp.), penyakit sapu (Cowpea Witches-broom Virus/Cowpea Stunt Virus), layu bakteri
(Pseudomonas solanacearum) dan penyakit mosaik yang disebabkan oleh Bean common
mosaic potyvirus (BCMV), Bean yellow mosaic potyvirus (BYMV) dan Cowpea aphid
borne mosaic potyvirus (CABMV) (Anwar dkk.,2005).
2.3 Virus BCMV
BCMV termasuk ke dalam familia Potyviridae dan genus Potyvirus. Potyvirus
merupakan kelompok virus tumbuhan terbesar yang diketahui saat ini (Agrios, 2005).
Partikel BCMV mempunyai panjang 720 – 770 nm dan lebar 12 – 15 nm. Partikel
virusnya terdiri dari 95% protein dan 5% RNA utas tunggal. Kestabilan virus dalam sap
tanaman tergantung dari strain virus dan waktu infeksinya. Virus ini mempunyai titik
panas inaktivasi 50 – 60oC (CABI, 2007). Potyvirus mempunyai partikel berbentuk
batang lentur dan mengandung genom monopartit berupa RNA (ribonucleic acid) untai
tunggal yang terdiri dari 9830 nukleotida (Nicolas and Laliberte, 1992).
Genom Potyvirus mempunyai satu open reading frame (ORF) yang mengkode
340-350 KDa prekursor poliprotein. Translasi RNA Potyvirus dimulai dari kodon awal
AUG pada posisi nukleotida 145-147 dari ujung 5’ genom Potyvirus, stop kodon terletak
3
pada nukleotida ke 9525- 9589 dari ujung 3’ genom Potyvirus dan diikuti oleh sikuen
poliadenilasi (poly A) (Gambar 2.1).
Genom Potyvirus diekspresikan melalui translasi poliprotein dari genom virus.
Poliprotein mengalami pemotongan menjadi protein fungsional dan struktural sesuai
dengan gen yang disandikannya yang terjadi di dalam sitoplasma. Selama dan sesudah
translasi terjadi pemotongan poliprotein oleh protease yang berasal dari ekspresi dari
genom Potyvirus. Poliprotein yang diekspresikan oleh genom virus diproses menjadi 10
protein fungsional oleh tiga jenis enzim proteinase yang dihasilkan oleh virus itu sendiri
(Hull, 2002).
BCMV dapat ditularkan secara mekanis melalui beberapa spesies kutu daun
secara non persisten dan melalui benih. Adapun beberapa spesies kutu daun yang dapat
menjadi vektor BCMV antara lain Aphis gossypii, A. craccivora, A. medicanigis, A.
rumicis, Hyalopterus atriplicis, Macrosiphum ambrosiae, M. pisi dan M. solanifolii
(Morales & Bos, 1988). Kutu daun menularkan virus ini secara non persisten, dimana
kutu daun mendapat virus dengan mengisap tanaman yang terinfeksi hanya dengan waktu
beberapa detik, kemudian kutu daun akan menularkan virus dengan cepat, setelah itu dia
akan kehilangan virus dan tidak mampu lagi menularkan virus. virus ini juga ditularkan
melalui penggunaan alat budidaya yang tidak steril sehingga ketika melukai tanaman lain
dapat terinfeksi virus (Millah, 2007).
Tanaman yang terinfeksi secara sistemik menunjukkan gejala daun dengan pola
mosaik, daun menggulung dan malformasi daun pada daun-daun muda. Secara umum
tanaman yang diinokulasi dengan virus biasanya gejala akan muncul pada 7-10 hari
setelah inokulasi (Djikstra & De Jager, 1998). Kisaran inang dari BCMV yaitu
kalopogonium/kacang asu (Jawa) (Calopogonium mucuniodes), kacang ercis (Pisum
sativum), buncis (Phaseolus vulgaris L.) dan kacang tolo (Vigna unguiculata) (CABI,
2007). Pengendalian BCMV dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa ekstrak
tanaman. BCMV dilaporkan dapat ditekan dengan menggunakan ekstrak bunga
Clerodendrum japonicum (bunga pagoda), Mirabilis jalapa (bunga pukul empat), dan
Andrographis paniculata (sambiloto). Ekstrak bunga pagoda dan ekstrak bunga pukul
empat mampu menghambat infeksi virus hingga 90% (Kurnianingsih, 2010).
Penyemprotan kitosan pada daun mampu menghambat BCMV dan menekan persentase
penyakit masing-masing sebesar 84.8% dan 62.1% (Haryanto, 2010). Pengendalian yang
4
lain yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan benih sehat, menghilangkan
tanaman terinfeksi, menggunakan varietas tahan, dan penyemprotan insektisida untuk
mengendalikan serangga vektor (Saleh, 1997).
2.4 Deteksi BCMV
Deteksi BCMV dapat dilakukan berdasarkan karakter biologi dan molekuler.
Deteksi berdasarkan karakter biologi dapat dilakukan melalui pengujian kisaran inang
dan tanaman indikator. Sedangkan deteksi menggunakan karakter molekuler umumnya
dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat asam nukleat dengan PCR
(Polymerase chain reaction)/RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase chain
reaction) dan berdasarkan sifat protein dengan uji serologi yaitu DIBA (Dot
Immunobinding assay) dan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) (Foster and
Taylor, 1998).
Deteksi berdasarkan karakter biologi yaitu dengan pengujian kisaran inang dan
tanaman indikator yaitu dilakukan dengan mengamati gejala penyakit yang muncul.
Namun pengamatan terhadap gejala saja tidak cukup untuk menditeksi virus pada
tanaman, karena beberapa virus dapat menimbulkan gejala yang sama pada tanaman yang
sama, satu virus dapat menghasilkan variasi gejala tergantung strain virusnya. Selain itu
suatu virus dapat menimbulkan gejala yang berbeda pada tanaman yang berbeda. Kondisi
lingkungan dan iklim dapat berpengaruh terhadap tipe gejala yang muncul (Hull, 2002).
Oleh karena itu perlu dilakukan cara mendeteksi virus secara akurat. Deteksi yang umum
digunakan yaitu deteksi secara serologi yaitu dengan uji ELISA.
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) merupakan uji serologi yang
umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa
keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki
sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter
Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi
di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor. Prinsip serologi
adalah mereaksikan antara antigen dan antiserum pada lubang plat mikrotiter yang
terbuat dari bahan polystyrene. Zat-zat yang dapat mengindikasi terbentuknya antibodi di
dalam serum disebut antigen. Antigen umumnya adalah protein. Serum yang
mengandung antibodi disebut antiserum. Interaksi antara antigen dan antiserum bersifat
spesifik, artinya antiserum hanya mengenali satu jenis epitop pada antigen. Epitop
5
merupakan bagian dari antigen yang dapat dikenali oleh antibody atau bagian dari antigen
yang dapat berinteraksi dengan antibody (Crowther, 1996).
ELISA memiliki 2 metode, yaitu direct ELISA (ELISA langsung) salah satunya
adalah DAS-ELISA (direct double antibody sandwich), dan indirect ELISA (ELISA
tidak langsung). Perbedaan metode ELISA tersebut yaitu pada direct ELISA enzim
konjugat terdapat pada molekul immunoglobulin pertama yang langsung bereaksi dengan
antigen. Sedangkan pada metode indirect ELISA enzim konjugat terdapat pada molekul
immunoglobulin kedua yang bereaksi dengan antivirus. Untuk metode DAS-ELISA
dalam satu sumuran plat terdapat dua antibody yang mengapit antigen yang berada
ditengah (Crowther, 1996)
Beberapa kelebihan ELISA dibandingkan dengan uji serologi yang lain yaitu konsentrasi
virus yang diperlukan untuk pendeteksian sangat rendah, antiserum yang diperlukan
sedikit, sehingga sesuai untuk pengujian sampel skala besar dan hasil pengujiannya
bersifat kuantitatif (Dijkstra and De jagger, 1998)
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa reagen DAS-ELISA, polybag,
tanah subur, arang sekam, bufer fosfat, kapas steril, daun tanaman kacang panjang yang
telah terinfeksi BCMV, tanaman uji yaitu tanaman kacang panjang komersial dengan
jenis Panah Merah, KPK, Aura, Pusaka hijau dan benih petani.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mortar, timbangan digital,
gunting, pinset, gelas ukur, erlenmeyer, pipet mikro, lemari es, kamera digital, kotak
keranjang pembibitan (tray), plate Elisa, ELISA reider, dan alat tulis.
3.2 Perbanyakan Inokulum BCMV
Isolat BCMV yang digunakan adalah isolat yang berasal dari tanaman kacang
panjang yang telah terinfeksi BCMV yang didapat dari pertanaman kacang panjang milik
petani di Desa Perean, kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan.
6
3.3 Penanaman Tanaman Uji
Bibit tanaman uji ditanam dalam polybag yang berukuran 10 x 10 x 10 cm yang
berisi campuran tanah dan arang sekam dengan perbandingan 1:2. Setiap polybag
ditanami 3 benih kacang panjang dengan kedalaman 2 cm. Pada umur satu MST,
dilakukan
penyiangan
dan
pemilihan
satu
bibit
terbaik
untuk
tahapan
selanjutnya.Pemeliharan tanaman dilakukan dengan menyiram tanaman setiap hari
hingga siap untuk pengujian respon ketahanan terhadap BCMV.
3.4. Inokulasi BCMV pada Lima Varietas Kacang Panjang
Inokulasi dilakukan secara mekanis menggunakan cairan perasan tanaman (sap)
sakit. Sap dibuat dari daun tanaman yang terinfeksi BCMV. Daun yang terinfeksi digerus
sebanyak 1 gr sampai halus didalam mortar dimana sebelumnya ditambahkan bufer fosfat
(0.01M; pH 7.0) dengan perbandingan 1:5. Daun tanaman kacang panjang yang akan
diinokulasi sebelumnya ditaburi dengan carborundum (600 mesh). Sap dioleskan pada
permukaan daun dengan menggunakan kapas steril dimulai dari bagian pangkal daun ke
ujung secara searah dengan tidak mengulangi pada daerah yang sama. Setelah pengolesan
sap selesai, daun tanaman disiram dengan air mengalir untuk membersihkan sisa-sisa sap
yang masih melekat. Tanaman yang sudah diinokulasi dipelihara dan dirawat sampai
muncul gejala.
3.5 Pengamatan Gejala
Pengamatan secara kualitatif dilakukan dengan mengamati gejala yang muncul
dari tanaman kacang panjang. Pengamatan dilakukan setiap hari selama dua bulan setelah
dilakukan inokulasi. Pengamatan gejala dan lamanya masa inkubasi dilakukan selama 30
hari setelah inokulasi. Masing- masing tanaman uji terdiri atas 10 ulangan. Pengamatan
persentase gejala timbul dihitung berdasarkan rumus berikut: (Zadocks & Schein, 1979).
Jumlah tanaman bergejala virus
Persentase tanaman bergejala virus =------------------------------------------ X 100%
Populasi tanaman
Konfirmasi pengamatan persentase kejadian penyakit ditentukan berdasarkan
hasil uji ELISA.
7
3.6 Konfirmasi Infeksi Virus Melalui Pengujian Serologi.
Untuk mengkonfirmasi infeksi virus pada jaringan tanaman cabai dilakukan
melalui uji ELISA sebagai berikut: Sebanyak 0,5 ul antiserum terhadap virus TMV,
CMV dan ChiVMV (Agdia, USA) di campurkan ke dalam 100 ul coating buffer (0.1 g
magnesium klorid, 0,2 g sodium azid, dan 97 ml dietanolamin dilarutkan dalam 1000 ml
dengan ph akhir 9,8) dan dimasukkan ke plat mikrotiter sebanyak 100 ul tiap sumuran
plat kemudian diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 2 jam atau -4ºC selama semalam.
Selanjutnya plat mikrotiter dicuci sebanyak 6 kali dengan bafer PBST 1X (8 g sodium
klorid, 1,15 g sodium fosfat dibasic, 0,2 g potassium fosfat monobasic, dan 0,5 g
tween-20 yang dilarutkan dalam 1 l air dengan pH 7,4). Sebanyak 0,1 g jaringan daun
pisang bergejala dilumatkan dengan mortar dalam 1 ml general extract buffer ( 1,3 g
sodium sulfite, 20 g polyvinylpyrolidone, 0,2 g sodium azide, 2 g powdered egg (chiken)
albumin, dan 20 g tween-20 yang dilarutkan ke dalam 1 l PBST 1X dengan pH 7,4.
Cairan perasan (sap) yang dihasilkan diambil sebanyak 100 ul kemudian dimasukkan ke
dalam sumuran plat mikrotiter dan kemudian diinkubasikan selama waktu seperti tahap
sebelumnya. Selanjutnya plat mikrotiter dicuci lagi sebanyak 6 kali dengan PBST 1X.
Setelah dicuci dengan bufer PBST 1X, pada sumuran yang sama diisi 100 ul enzim
konjugat yang sudah diencerkan dengan buffer ECI (2 g bovine serum albumin, 20 g
polyvinylpyrrolidone, dan 0,2 g sodium azide yang dilarutkan dalam 1 l PBST 1X dan ph
7,4) dan diinkubasi pada 37ºC selama 2 jam. Setelah pencucian, sumuran kemudian
ditambah 100 ul larutan PNP (1 mg/ml p-nitrophenyl phosphate dalam 10%
triethanolamine, pH 9,8) dan diinkubasi sampai muncul warna kuning (+ 30 menit). Nilai
absorban diukur pada 405 nm dengan ELISA Reader.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil inokulasi mekanik (Tabel, 1) memperlihatkan gejala ringan setelah masa
inkubasi. Semua varietas yang berhasil diinokulasi memperlihatkan gejala berat, gejala
mosaik diikuti oleh malformasi dan penghambatan pertumbuhan. Demikian juga, masa
inkubasi untuk semua varietas hamper sama, yang menandakan bahwa tidak ada varietas
yang mempunyai mekanisme ketahanan berupa penundaan gejala.
8
Tabel 1. Hasil inokulasi mekanik BCMV pada beberapa varieatas kacang panjang.
Varietas
KPK
AURA
PUSAKA HIJAU
PANAH MERAH
PETANI
Ket:
MasaInkubasi
(HIS)
15
13
8
5
7
Persentase
tanaman (%)
70
70
70
100
100
Gejala
Hasil elisa
m
m, f
m,f
m, f
m
+
+
+
+
+
HSI
= hari setelah inokulasi
Kejadian Penyakit adalah proporsi tanaman bergejala/tanaman yang diinokulasi
m
= mosaik
f
= malpormasi
Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel beberapa jenis kacang panjang yang biasa
ditanam petani di Bali yang sebelumnya diinokulasi dengan sumber inokulum yang
menginfeksi kacang panjang di lapangan dengan gejala vein banding mosaic pada reaksi
ELISA dengan menggunakan antiserum Potyvirus
Sampel
Kacang Panjang KPK
Kacang Panjang AURA
Kacang Panjang Pusaka Hijau
Kacang Panjang Panah Merah
Kacang Panjang Petani
Kacang panjang sehat
Kontrol negative
Absorban Rata-ra
sampel
ta
1
2
0.129
0.130
0.136
0.349
0.354
0.351
0.349
0.350
0.348
0.358
0.455
0.388
0.346
0.350
0.346
0.128
0.145
0.138
0.144
0.137
0.141
Bufer
0.058
0.056
0.058
Kontrol positif
0.346
0.342
0.344
Keterangan
+
+
+
+
+
-
Keterangan: Reaksi ELISA adalah positif apabila nilai absorbansi sampel sama dengan
2x atau lebih besar dari nilai absorbansi control negatif atau buffer.
Konsentrasi BCMV dipresentasikan oleh nilai absorban hasil uji ELISA relatif
tinggi pada semua varietas kacang panjang yang diinokulasi. Hal ini menandakan bahwa
semua varietas kacang panjang memberikan keleluasaan BCMV untuk bereplikasi
optimal, tidak ada satupun varieatas yang mempunyai sifat ketahanan berupa
penghambatan replikasi virus.
Variabel untuk mengukur infeksi BCMV pada lima varietas uji terdiri dari masa
inkubasi, kejadian penyakit, type gejala dan hasil uji Elisa. Masa inkubasi BCMV
berkisar antar 7-15 hari. Gejala pertama kali terlihat pada hari ke 5 setelah inokulasi
9
(HIS) yaitu pada varietas panah merah, sedangkan gejala paling lama munculnya pada
varietas KPK (Tabel 1). Perbedaan masa inkubasi dapat disebabkan oleh sifat dan
kecepatan perkembangan virus dalam jaringan serta tingkat kerentanan tanaman terhadap
infeksi virus.Masa inkubasi erat kaitannya dengan kemampuan virus menyebar dari
tempat inokulasi ke bagian tanaman lainnya dan kemudian menunjukkan gejala. Virus
mampu menyebar ke bagian tanaman yang masih muda dengan cepat karena tanaman
muda belum memiliki system pertahanan yang kuat terhadap infeksi virus.
Kejadian Penyakit pada lima varietas mencapai 70-100 % (Tabel 1). Tingginya
kejadian penyakit tersebut menunjukkan bahwa kelima varietas kacang panjang tidak
tahan terhadap infeksi BCMV. Hasil penelitian ini memastikan bahwa varietas kacang
panjang yang dibudidayakan di Bali sangat rentan terhadap BCMV. Hasil ini menjadi
salah satu faktor terjadinya epidemi penyakit mosaik vein banding di daerah ini.
Gejala infeksi BCMV pada lima varietas kacang panjang terdiri atas mosaik
ringan ,sedang , berat dan dikuti dengan malformasi daun dengan tipe gejala melepuh,
mengkerut dan pengerdilan. Gejala pertama kali muncul berupa pemucatan tulang daun
(vein clearing) padaun bergelombang dan permukaan daun tidak merata. Gejala lanjut
akan menunjukkan lepuhan, pengerdilan dan akhirnya layu (Gambar 1).Semua varietas
menunjukkan gejala malformasi. Varietas Panah Merah dan benih petani menunjukkan
gejala lebih parah dibandingkan tiga varietas lainnya, karena tanaman yang terinfeksi
mengalami pengerdilan (Gambar 4.d).
10
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5.1 Gejala serangan BCMV pada tanaman kacang panjang. (A) mosaik ringan;
(B) mosaik sedang; (C) mosaik berat dan daun mengecil; (D) malformasi
daun dan pengerdilan tanaman; (E) daun tanaman sehat (Susetio, 2014).
Menurut Matthews (1991) factor genetic inang mempengaruhi tipe gejala
tanaman yang terinfeksi, sedangkan Agrios (2005) berpendapat bahwa factor genetic
tidak hanya mempengaruhi tipe gejala tetapi juga variasi dalam kerentanan terhadap
pathogen yang disebabkan perbedaan jenis dan jumlah gen yang mengatur ketahanan
pada setiap jenis varietas.
BAB V. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
di atas maka dapat disimpulkan : Varietas kacang panjang Panah Merah dan Benih Petani
menunjukkan respon sangat rentan terhadap Infeksi BCMV dengan persentase tanaman
bergejala 100 % dan gejala berat berupa malformasi daun dan kekerdilan tanaman.
11
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, GN. 1997. Plant Pathology. Ed ke-4. New York:Academic Press
Agrios, GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York:Academic Press
Anwar, A, Sudarsono, S. Ilyas, 2005. Indonesian Vegetable Seeds: Current Condition and
Prospects in Business of Vegetable seeds. Bul Agron 33: 38-47.
Bos, L.1994. Pengantar Virology Tumbuhan. Penerjemah Triharso. Gajah Mada
University Press.
Bos, L. 1990. Pengantar virology tumbuhan. Triharso, Penerjemah.Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction to Plant Virology.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2012. Produksi sayuran di Indonesia. Jakarta [ID]: Badan
Pusat Tersedia pada: http://www.bps.go.id /tab_sub/view.php.
CABI [Central of Agricultural and Biosciences International]. 2005. Corp Protection
Compendium. CAB International, Wallingford.
Damayanti, T.A.,O.J. Alibi, R.A., Naidu, dan A. Rauf. 2009. Severe Outbreak of a
Yellow Mosaic Disease on the Yard Long Bean in Bogor, West Java. Hayati
Journal of Biosciences 16: 78-82.
Djikstra, J. and De Jegger. 1998. Practical Plant Virology: protocol and Exercise.
Boston: Springer.
Fraser, R.S.S. 1998. The Genetic of Plant Virus Interaction Implication for Plant
Breeding. Euphytica 63:175-185.
Gibbs A.J., and B.D. Harrison. 1976. Plant Virology: The Principles. London: Edwad
Arnold.
Green, S.K., Y. Hiskias, D.E. Lesemann, and H.J. Vetten. 1999. Characterization of
Chilli Veinal Mottle Virus as a Potyvirus Distinct from Pepper Veinal Mottle
Virus. Petria 9: 332.
Haryanto, E., T. Suhartini, dan E. Rahayu . 1999. Budidaya Kacang Panjang. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Matthews, R.E.F. 1992. Fundamentals of plant virology.Academic Press Inc. San Diego.
403p
Matthews, R.E.F. 2002. Plant Virologi.4thEd.Academic Press. San Francisco.
Morales, F.J., and Bos L. 1988.Bean Common Mosaic Virus.Description of Plant Viruses
37.
Russel, G.E. 1981. Plant Breeding For Pest And Disease Resistance. Butterworths.
Toronto. 427p.
12
Setyastuti, L. 2008. Tingkat Ketahanan Sembilan Kultivar Kacang Panjang terhadap
Infeksi Bean Common Mosaic Virus (BCMV). [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Suryadi, Luthfy, Y. Kusandriani, dan Gunawan. 2003. Karakteristik dan Deskripsi
Plasma Nutfah Kacang Panjang. Buletin Plasma Nutfah 9(1): 1-10.
Susila, A.D. 2005. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bogor: IPB Press.
Sutic, D.D., R.E. Ford, and M.T. Tosic. 1999. Handbook of Plant Virus Diseases.
CRC Press: 174-176.
Udayashankar, A.C., S.C. Nayaka, H.B. Kumar, C.N. Mortensen, H.S. Shetty, and H.S.
Prakash. 2010. Establishing Inoculum Threshold Levels for Bean Common
Mosaic Virus Strain Blackeye Cowpea Mosaic Infection in Cowpea Seed.
African Journal of Biotechnology. 9(53):8958-8969.
Walkey David, G.A. 1991. Applied Plant Virology.Ed ke-2. London: Chapman and Hall.
13
Download