PERILAKU MORAL SEBAGAI PERILAKU YANG DI GARISKAN A. RANGKUMAN Pada BAB ini akan dijelaskan tentang Pendekatan yang akan membahas tentang interaksi yang dilakukan begitu kompleks antara pribadi sebagai pelaku moral dan pengambil keputusan dengan jalinan aturan dan peranan yang dirumuskan secara sosial sehingga menjadi suatu sistem sosial. Pendekatan ini menganggap bahwa sebagian besar bentuk perilaku manusia (Bahasa, hukum, sains dan logika, konvensi dan moralitas) dapat dikonseptualisasikan sebagai contoh perilaku yang digariskan oleh aturan tertentu. Di samping itu dalam BAB ini terdapat 2 teori yang akan menjadi pokok bahasan, yaitu teori peranan psikososial dan hakikat moralitas, agar lebih jelasnya akan kita bahas satu demi satu. A.1 Teori Peranan Psikososial Moralitas itu di konseptualisasikan sebagai suatu jalinan aturan yang menggariskan relasi antar individu yang terlibat dalam suatu sistem tertentu. Ditinjau dari perspektif ini, dilema moral di lihat sebagai konflik antara berbagai aturan dan peranan dalam sistem, sedang dalam pertimbangan moral dianggap sebagai keputusan yang menyangkut prioritas secara relatif dari aturan-aturan moral. Sedang perilaku moral dikonseptualisasikan sebagai perilaku yang sesuai atau disesuaikan dalam aturan-aturan tersebut. Oleh karena pertentangan antara berbagai peraturan dalam suatu sistem tidak terelakkan, dan oleh karena penyelesaian pertentangan seperti itu bagi sistem-sistem tertentu bersifat relatif, maka menurut pandangan ini, pertimbangan moral itu merupakan keputusan sulit yang keabsahannya pada akhirnya tidak dapat dipastikan. Ada empat asumsi mengenai hakikat tindakan insani yang mendasari pendekatan yang diajukan yaitu : 1. Digariskan oleh aturan, bahwa tindakan tersebut selaras dengan aturan, baik eksplisit maupun implisit, serta dengan konvensi-konvensi tertentu yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi tindakan. 2. Bertujuan atau intensional, artinya tindakan tersebut berlangsung dalm situasi tindakan yang ditentukan oleh maksud, tujuan oleh hasil. 1 3. Antropomorfik, yang berarti bahwa manusia itu merupakan makhluk yang dapat mengarahkan diri, yang dalam rangka mencari maksud dan tujuannya itu mampu merealisasikan macam-macam aturan, rencana atau srategi. 4. Sosial, artinya dalam situasi yang bersangkutan, perilaku tertentu berlangsung dalam konteks struktural bagi tindakan-tindakan yang digariskan aturan. Adapun aturan sistem yang mendasari urutan perilaku tersebut, yaitu : Aturan moralitas yang diharuskan dan dilarang, yaitu aturan moralitas yang mengharuskan atau melarang perbuatan atau tindakan tertentu. Hak pemeran yang bersifat timbal balik, yaitu hak secara moral yang bersifat timbal balik yang terdapat antara para pemeran dalam sistem tersebut. Prinsip moral yang mendasari aturan dan hak, yaitu prinsip-prinsip moral yang mendasari aturan dan hak itu. Ditinjau dari perspektif teori peranan psikososial, perkembangan penalaran moral mencakup perubahan-perubahan yang berkaitan dengan perkembangan pula dalam pemikiran anak mengenai aturan moral. Perubahan-perubahan ini berlangsung melalui 3 dimensi ukuran (keluasaan) persediaan aturan moral, kesadaran si anak akan aturan, dan struktur persediaan aturan moral yang dimiliki anak itu. Dilihat dari sudut ukuran, perubahan yang berkaitan dengan perkembangan ini berlangsung dengan cara yang linier melaui dimensi dari sedikit dan sederhana ke arah banyak dan kompleks. Dilihat dari sudut kesadaran akan aturan, perkembangan ini berlangsung melalui dimensi heteronom ke arah otonomi dan mencakup 3 tahapan, yaitu : Tahapan individualistik, yang digariskan oleh pemanfaatan aturan-aturan itu secara instrumental, tanpa disertai suatu pemahaman secara sadar bahwa penggunaanaturanaturan tersebut sungguh-sungguh merupakan suatu kewajiban. Tahapan heteronomi, pada tahapan ini hakikat aturan sebagai suatu kewajiban mulai dikenali, akan tetapi pada persepsi si anak, sumber kewajiban itu masih bersifat lahiriah (eksternal) dan bertopang pada suatu kekuasaan atau otoritas yang bersifat unggul (unilateral). 2 Tahapan otonomi, dalam tahapan ini aturan dianggap anak sebagai suatu kewajiban yang bersifat internal dan lahir dari persetujuan bersama dan timbal balik. A.2 Pengambilan Keputusan Dalam tipologi keputusan moral maupun suatu model berkenaan dengan proses pengambilan keputusan. Secara singkat, ada tiga tahapan pengambilan keputusan, yaitu : 1. Tahap 1, Aturan dan Konvensi, Yaitu suatu seleksi penerapan aturan moral yang tepat. 2. Tahap 2, Hak dan Kewajiban, Yaitu, suatu tes yang bersangkutan dengan persoalan pertentangan antara aturan dan hak atau kewajiban moral dari lapisan yang lebih tinggi, yang bersesuaian. 3. Tahap 3, Prinsip, Yaitu, suatu tes yang bersangkutan dengan persoalan pertentangan antara hak atau kewajiban dengan prinsip-prinsip moral dari lapisan yang lebih tinggi, yang bersesuaian. A.3 Penelitian Penelitian yang digariskan di sini, telah dilaporkan secara lebih terinci pada tulisan lain (Kurtines, catatan 1) memusatkan perhatiannya pada inetraksi antara proses pengambilan keputusan secara individual dengan persoalan struktur sistem yang mengkarakterisasi situasi yang memerlukan pengambilan keputusan moral. Dalam studi ini ada 3 buah penelitian, yaitu : 1. Pengaruh situasi terhadap pengambilan keputusan Ada 3 prinsip yaitu Keadilan, Manfaat, dan Pragmatisme. Tiga dari enam situasi mengandung keputusan perilaku (behavioral), kepada para responden diminta untuk membuat suatu keputusan berkaitan dengan dusta, pelanggaran janji dan pencurian. Kedua kemungkinan perangkat tindakan dari setiap keputusan perilaku itu (misalnya, mencuri atau tidak mencuri) mengandung konsekuensi yang secara potensial dapat bersifat negatif untuk salah satu dari kedua karakter prinsip yang diajukan. Kriteria mengenai keadilan digunakan untuk keseluruhan tes itu untuk menjadikan situasisituasi pararel. Dari hasil penelitian, prinsip moral yang paling sering digunakan adalah prinsip keadilan, sedangkan yang paling sedikit adalah prinsip pragmatisme. 2. Pengaruh pribadi terhadap pengambilan keputusan 3 3. Pengaruh pribadi dan situasi terhadap pengambilan keputusan moral Yaitu meliputi keseluruhan dari varians (variabel) yang mencakup variabel pribadi dan situasi, proporsi varians yang lebih tinggi (dibandingkan dengan faktor-faktor yang bersangkutan dengan pribadi), dan pengambilan keputusan yang menyebar (secara konsisten lebih tinggi dibanding dengan situasi behavioral). Pertimbangan moral dan tindakan moral itu di pandang sebagai bentuk-bentuk paradigmatik dari perilaku yang telah digariskan oleh aturan. Dampaknya dapat melebihi perkembangan prilaku moral dan perkembangan moral. karena sifat perilaku manusia yang digariskan itu berbeda secara fundamental dengan perilaku fenomena alam yang digariskan oleh hukum, kerja seperti itu membarikan sumbangannya dalam menata unsur kebebasan dan kreativitas yang merupakan ciri khas dari tindakan daan keberadaan manusia. Perilaku manusia tidak harus tunduk pada suatu perangkat universal. Jadi manusia tidak hanya menyelaraskan diri dengan aturan, melainkan bebas untuk mengubah dan menciptakan yang baru. Karena keputusan moral merupakan keputusan yang sulit, bukan semata-mata keputusan yang kompleks melainkan keputusan moral itu merupakan keputusan yang tidak di dapatkan pembenaran yang tuntas dan mutlak. Dan prinsi-prinsip moral tidak mempunyai arti pembenaran di luar penggunaan manusia. Suatu kasus yang terjadi akan menyebabkan konsep yang lengkap menuntut model-model teoritis itu memperhatikan komponenkomponen sosial dari moralitas, yang mungkin memunculkan masalah siapa yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan moral. Selanjutnya, Bab ini akan di jelaskan lebih rinci pada bab pembahasan. 4 B. PEMBAHASAN B.1 Teori Peranan Psikososial Pada teori peranan psikososial ini didasarkan pada tindakan manusia. Di dalamnya terdapat dua tahapan dimana tahapan makro yang bertopang pada teori sistem terbuka sedangkan pada tahapan mikronya bertopang pada pendekatan yang mengusahakaan untuk mengintegrasikan tiga perspektif tindakan manusia diantaranya aturan, peranan, dan sistem. Suatu perkembangan moral dianggap sebagai keputusan yang menyangkut prioritas secara relatif dari dari aturan moral. Dan perilaku moral dikonsepkan sebagai perilaku yang disesuaikan dengan aturan tersebut. Oleh karena peraturan pertentangan antar berbagai aturan dan penyelesainannya bersifat relatif maka pertimbangan moral merupakan keputusan yang tidak dapat dipastikan. Ada 4 macam tindakan manusia diantaranya: 1. Yang digariskan oleh aturan: tindakan tersebut selaras dengan aturan. 2. Bertujuan/ intensional: tindakan tersebut memiliki maksud, tujuan, dan hasil. 3. Antropomorfik: manusia merupakan makhluk yang mampu mengarahkan diri untuk meraih tujuannya. 4. Sosial: situasi yang bersangkutan dalam sistem ini berlangsung pada jaringan yang lebih luas sehingga melahirkan konteks keorganisasian bagi tindakan yang digariskan aturan Teori ini menyimpulkan bahwa kondisi psikologis seseorang dapat mempengaruhi tindakan yang akan di ambilnya dan juga menentukan sikapnya dalam bertindak. Suatu contoh orang yang memiliki masalah akan bersikap arogan dan sensitif kepada orang lain dan juga sebaliknya B.2. HAKIKAT MORALITAS Struktur dasar pada konsep moralitas dapat dirumuskan sebagaimana berikut ini : Tahapan 1 : aturan moralitas yang mengharuskan atau melarang perbuatan / tindakan tertentu. 5 Tahapan 2 : hak secara moral yang bersifat timbale balik yang terdapat pada system tersebut. Tahapan 3 : prinsip – prinsip yang mendasari terbentuknya moral itu sendiri. Dilihat dari perspektif sistem ini moralitas dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu jalinn dan aturan yang berfungsi untuk memelihara integrasi sistem. Jadi menurut pendekatan ini moralitas memiliki dua struktur yaitu struktur permukaan dan struktur dalam. Struktur permukaan tersusun atas hal yang bersifat objektif misalnya data yang didapatkan dari pengamatan secra langsung, sedangkan struktur dalam meliputi 1. Perbuatan melarang suatu tindakan tertentu. 2. Hak moralyang bersifat timbal balik antara para pelaku dalam sistem moral tersebut. 3. Terdapat prinsip-prinsip moral yang mendasari aturan dan hak tersebut. B.3. Perkembangan Moral Perkembangan penalaran mengenai peraturan-peraturan moral pada anak-anak berlangsung malalui tiga tahapan. Tahapan pertama adalah tahapan individualistik. Pada tahapan ini anak tanpa sadar memahami kewajiban penggunaan aturan-aturan. Tahapan kedua adalah tahapan heteromoni, pada tahapan ini aturan sebagai kewajiban mulai dikenali. Namun, masih bersifat lairiah (eksternal) dan bertopang paa suatu kekuasaan yang bersifat tunggal (unilateral). Tahapan ketiga adalah tahapan otonomi, pada tahapan ini anak sudah menganggap bahwa suatu aturan itu merupakan kewajiban yang bersifat internal dan lahir dari persetujuan bersama dan timbal balik. B.4. Pengambilan keputusan Keputusan behavioral terdapat konsekuensi bagi si pengambil keputusan dan orang lain untuk memutuskan antara mengambil tindakan tertentu atau tidak . Sebaliknya keputusan yang bersifat distributif memberi kesempatan kepada pengambil keputusan untuk memilih antara dua atau lebih kemungkinan terhadap suatu tindakan, misalnya suatu keputusan tentang pembagian hadiah atau hukuman Model pengambilan keputusan ini terdiri atas tiga tahapan “rintangan yang berkesinambungan”. Model yang melalui berbagai tahapan ini dimaksudkan untuk mempermudah menuju suatu keputusan moral tertentu. Tahapan pengambilan keputisan 6 tersebut adalah : (1)seleksi dan aturan moral yang tepat (2) suatu tes yang bersangkutan dengan persoalan pertentangan anyara aturan dan hak atau kewajiban moral dari lapisan yang lebih tinggi, yang bersesuaian (3) suatu tes yang bersangkutan dengan persoalan pertentangan antara hak dan kewajiban dengan prinsip-prinsip moral dari lapisan yang lebih tinggi, yang bersesuaian. Studi 1 : Pengaruh Situasi Terhadap Pengambilan Keputusan Moral Selama proses pengambilan keputusan faktor situasi mempengaruhi pengambilan keputusan dengan jalan mempengaruhi kebenaran yang diharapkan secara subjektif dikaitkan dengan kemungkinan penyebaran atau distribusi. Prinsip moral yang paling diprioritaskan adalah ialah prinsip keadilan sedangkan dalam keputusan Behavioral, prinsip pragmatisme lah yang paling banyak diberikan sebagai priorotas.Kemudian disuusul prinsip manfaat.Kedua prinsip itu merupakan prinsip bersifat teleologis. jadi situasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penentuan prinsip moral yang dianggap lebih tepat untuk diprioritaskan oleh pelaku tindakan moral. Seperti misalnya apabila x menemukan sebuah handphone di pinggir jalan. Apabila kita berada dalam posisi sangat membutuhkan uang, maka kita pasti akan mengambilnya dan tidak mengembalikannya, akan tetapi apabila kita sedang barada dalam situasi tidak mendesak kita pasti akan mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya. Studi 2 : Pengaruh pribadi terhadap pegambilan keputusan Kepribadian sesorang juga mempengaruhi pada pengambilan keputusan pada suatu tindakan moral. jadi seorang mengambil sebuah keputusan moral sangat tergantung pada sifat individual masing-masing. Seperti misalnya : saat x sedang berjalan kemudian menemukan sebuah dompet dipinggir jalan. Apabila kita berasal dari lingkungan baik-baik, maka kita pasti akan mengembalikannya. Akan tetapi apabila kita berada dalam lingkungan yang kurang baik maka kita pasti akan mengambilnya dan tidak mengembalikannya. Studi 3 : Pengaruh pribadi dan situasi terhadap pengambilan keputusan moral. 7 Pada studi 3 ini terdapat keterpaduan antara studi 1 dan studi 2, dimana kepribadian seseorang dalam situasi tertentu juga mempengaruhi pengambilan suatu keputusan. Misalnya : saat x sedang berjalan kemudian menemukan sebuah dompet yang berisi uang dipinggir jalan. Pada waktu itu dia tidak mempunyai uang, sedangkan dia butuh untuk makan. Dengan situasi tersebut yang pada awalnya pribadinya baik dengan situasi tersebut dia berubah menjadi pribadi yang jelek dengan mengambil uang pada dompet tersebut untuk kepentingan sendiri. 8 C. KESIMPULAN Individu merupakan pelaku tindakan moral dan keputusannya berlangsung dalam suatu tatanan sistem sosial. Ada 4 macam tindakan individu diantaranya: 1.Yang digariskan oleh aturan: tindakan tersebut selaras dengan aturan, 2. Bertujuan/ intensional: tindakan tersebut memiliki maksud, tujuan, dan hasil, 3. Antropomorfik: manusia merupakan makhluk yang mampu mengarahkan diri untuk meraih tujuannya, 4. Sosial: situasi yang bersangkutan dalam sistem ini berlangsung pada jaringan yang lebih luas sehingga melahirkan konteks keorganisasian bagi tindakan yang digariskan aturan. Dalam suatu moralitas dihadapkan pada: 1. Perbuatan melarang suatu tindakan tertentu. 2. Hak moralyang bersifat timbal balik antara para pelaku dalam sistem moral tersebut. 3. Terdapat prinsip-prinsip moral yang mendasari aturan dan hak tersebut. Setiap individu dihadapkan pada situasi yang serba sulit dan kompleks dalam melakukan tindakan moral untuk sebuah pengambilan keputusan. Disini kami menyimpulkan bahwa pertanggung jawaban suatu pengambilan keputusan moral berada pada setiap individu masing-masing dan tidak ada pada sistem atau pun prinsip. 9 DAFTAR PUSTAKA Allport, f. H. A theory of enestruence (event stucture theory): Report of progress. American psychologist, 1967, 22, 1-24 Banton, M. Roles: An introduction to the studi of social relations. New York: basic books, 1965. Kohlberg, L. Stages and sequence: The cognitif-development approach. Dalam T. Lickona (Ed.), Moral development and behavior: Theory, research, and social issues. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1976. 10