DISKRIMINASI MASYARAKAT TIONGHOA: TINJAUAN SOSIOLOGIS DALAM NOVEL BONSAI, HIKAYAT SATU KELUARGA CINA BENTENG KARYA PRALAMPITA LEMBAHMATA JURNAL SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Strata I dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Muhamad Musmualim Sahfan A2A007022 JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013 ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Diskriminasi Masyarakat Tionghoa: Tinjauan Sosiologis Dalam Novel Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng”. Novel Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng adalah novel Tionghoa mutakhir karena ditulis tahun 2011 karya Pralampita Lembahmata. Novel ini bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga Tionghoa Benteng dalam menghadapi perlakuan diskriminasi keturunan Tionghoa sejak masa penjajahan Belanda hingga akhir rezim Orde Baru. Novel Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng dikaji menggunakan metode struktural sebelum melakukan analisis kandungan isi. Metode ini diperlukan sebagai upaya menemukan tema, alur, latar dan pelataran, tokoh dan penokohan, sudut pandang, dan amanat. Hasil dari analisis struktur cerita rekaan kemudian dilakukan analisis tentang kandungan isi menggunakan metode sosiologi yang menitikberatkan pada aspek sosial. Selain aspek sosial, novel ini menggunakan latar belakang sejarah, maka diperlukan analisis perbandingan (korelasi) antara aspek sosial novel dengan catatan sejarah Indonesia. Dalam penelitian ini, disimpulkan dua (2) hal. Pertama, melalui analisis sosiologi diungkap bahwa diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa selama ini terjadi karena “adu domba“dan kesalahpahaman. Kedua, dengan menggunakan perbandingan novel Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng dengan buku-buku sejarah Indonesia dan sejarah Tionghoa di Indonesia, terjadi sinkronisasi atau persamaan waktu dan tempat kejadian. Kata kunci: Sosiologi, diskriminasi, keturunan Tionghoa, karya sastra Tionghoa I. PENDAHULUAN Sastra merupakan cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban dan perjalanan waktu lebih dari ribuan tahun lalu. Kehadirannya tidak dapat ditolak, bahkan cenderung diterima dan dibutuhkan sebagai bentuk realitas dan harapan masyarakat disuatu zaman (Semi, 1993:1). Karya sastra merupakan fakta sejarah karena ia merupakan salah satu hasil ciptaan manusia pada suatu zaman yang membawa semangat zamannya. Kesusastraan Melayu Tionghoa merupakan salah satu dari beberapa kesusastraan yang tumbuh di Nusantara sejak zaman kolonial hingga sekarang. Sastra yang ditulis oleh keturunan Tionghoa memiliki peranan besar dilihat berdasarkan karya-karya yang telah dilahirkannya, meskipun pernah dikucilkan dan bahkan dilarang. Tahun 1966, ketika dikeluarkannya peraturan oleh pemerintah untuk menutup semua sekolah yang berbahasa pengantar Tionghoa, banyak peranakan Tionghoa masih berkarya, tetapi tidak menggunakan bahasa Melayu-Rendah lagi. Proses mengindonesiakan bahasa dan budaya golongan Tionghoa bukan berarti tidak ada lagi orang-orang Tionghoa yang bergerak dalam bidang kesusastraan, bahkan salah satu genre sastra ini, yakni cerita silat, masih terus hidup. Penulis-penulis keturunan Tionghoa seperti Marga T., Mira W., Veronika H., The Eng Gie (Yogya) yang berkarya pada tahun 1970-an sudah menjadi “warga negara” kesusastraan Indonesia sepenuhnya (Sumardjo, 2004:48-49). Masyarakat keturunan Tionghoa telah melakukan banyak hal demi kemajuan Indonesia, namun pada saat terjadinya G30S/PKI justru etnis Tionghoa menjadi sasaran pelampiasan masa yang dipolitisir. Ada anggapan bahwa Tionghoa pasti komunis. Memang benar negara Tionghoa berfaham komunis, tetapi tidak bisa dikatakan semua orang Tionghoa, termasuk keturunannya di Indonesia berfaham komunis. Berbagai peristiwa tersebut telah mengilhami sastrawan keturunan Tionghoa dalam menghasilkan karya sastra. Salah satunya adalah novel yang berjudul Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng yang lahir dari keturunan Tionghoa pada masa modern. Novel Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng (selanjutnya disingkat Bonsai) menceritakan sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Benteng, Tangerang, dengan latar belakang sejarah Indonesia sejak pendudukan Belanda hingga masa reformasi 1998. Bagaimana perjalanan keluarga keturunan Tionghoa dari masa ke masa, kerusuhan, kebijakan pemerintah yang diskriminatif, serta semua perasaan keturunan Tionghoa digambarkan dalam novel ini. Tentu penggunaan bahasa yang tidak lagi Melayu-Rendah seperti masa lampau. Setelah membaca novel Bonsai berulang-ulang, penulis merasa perlu meneliti novel Bonsai karena selain menggunakan latar belakang sejarah, novel ini menceritakan bagaimana kehidupan keturunan Tionghoa di daerah Tangerang mengalami perlakuan istimewa oleh pemerintah kolonial, kejinya perlakuan Jepang, hingga berbagai kejadian yang dituduhkan kepada keturunan Cina Benteng dengan atau tanpa alasan yang mereka ketahui pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Melalui tuturan keturunan Tionghoa dalam novel Bonsai yang merasa dirugikan akibat kejadian di masa lalu yang belum terselesaikan akan membuka mata para pembaca khususnya sastrawan dan ahli sejarah untuk mulai berpikir dan meneliti kembali catatan sejarah Indonesia. Oleh karena itu, penulis berusaha meneliti latar belakang dan kecocokan kejadian dengan catatan sejarah Republik Indonesia. Penulis menganggap unsur sejarah dalam novel Bonsai perlu diteliti karena menyangkut sejarah keturunan Tionghoa di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran representasi masyarakat Tionghoa di Indonesia dalam novel Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng? 2. Apa korelasi masyarakat Tionghoa dalam Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng dengan sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia. Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian novel Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng adalah sebagai berikut: 1. menguraikan dan menyajikan gambaran representasi masyarakat Tionghoa di Indonesia dalam novel Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng; 2. menguraikan dan menyajikan korelasi masyarakat Tionghoa dalam novel Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng dengan sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dengan penelitian ini, penulis berharap akan mendapatkan sebuah fakta baru tentang sejarah bangsa Tionghoa di Indonesia. Penulis juga berharap melalui penelitian ini, penulis bisa lebih memahami arti pentingnya perjuangan bangsa Tionghoa terhadap Indonesia dan lebih menghargai perjungan para pahlawan yang mungkin tidak hanya dari bangsa pribumi sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan karena bahan dan data penelitian seluruhnya bersumber dari bahan tertulis. Objek material penelitian ini adalah sebuah novel berjudul Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Tionghoa Benteng karya Pralampita Lembahmata Adapun objek formalnya adalah representasi masyarakat Tionghoa di Indonesia dan korelasi masyarakat Tionghoa dalam novel Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng dengan sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode sosiologi sastra dengan memanfaatkan teori struktur dan sosiologi budaya. Sebagai bentuk kegiatan ilmiah, penelitian memerlukan landasan kerja atau alat analisis yang berupa teori. Teori merupakan hasil perenungan yang mendalam, tersistem, dan terstruktur terhadap gejala-gejala alam yang berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan (Soeratno, 2003:13). Dalam penelitian ini digunakan teori struktural dan sosiologi, yaitu teori struktur cerita rekaan dan sosiologi. Teori struktural dipakai untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam novel Bonsai, sedangkan teori sosiologi digunakan untuk mengkaji aspek sosial dan sejarah sebagai representasi masyarakat Tionghoa dan kaitannya dengan sejarah. Metode adalah cara atau strategi untuk memahami objek yang dijadikan bahan penelitian serta langkah-langkah sistematis untuk memecahkan masalah dalam penelitian (Ratna, 2009:34). Metode mencakup langkah operasional kerja yang akan memberikan analisis terhadap permasalahan yang dikaji. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka metode yang akan penulis gunakan adalah metode sosiologi karya sastra. Yang dimaksud metode sosiologi karya sastra (sosiologi teks) adalah pendekatan yang digunakan untuk mengetahui aspek-aspek sosial yang ada di dalam karya sastra, yaitu aspek sosial, politik, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Damono, 2002:12). II. PENELITIAN SEBELUMNYA DAN LANDASAN TEORI Penelitian kesusastraan Melayu Tionghoa di Indonesia dapat dikatakan masih belum banyak dilakukan dibanding penelitian terhadap kesusastraan Indonesia sendiri. Berdasarkan data tersebut serta penelusuran melalui media internet, tidak ditemukan penelitian terhadap novel Bonsai. Hal ini dapat juga dimungkinkan bahwa novel Bonsai merupakan novel Tionghoa mutakhir yang diluncurkan tahun 2011. Semi menjelaskan bahwa jika hendak meneliti dan mangkaji karya sastra (fiksi), yang harus dikaji dan diteliti adalah aspek yang membangun karya sastra tersebut seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan, serta hubungan harmonis antaraspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra (1993:67). Dengan dasar penjelasan tersebut, penulis akan mulai memaparkan dari tema, kemudian berturut-turut adalah alur, latar, tokoh dan penokohan, dan amanat. Pendekatan sosiologis betolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan masalah kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Menurut Wellek dan Warren sastra adalah kegiatan kreatif suatu karya seni (melalui Semi, 1993:3). Sastra memiliki dua istilah penting yang perlu diketahui, yaitu seni sastra dan ilmu sastra. Seni sastra yaitu sastra sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa yang bersifat estetis dalam arti seni. Ilmu sastra yaitu sastra memiliki ciri-ciri ilmu yaitu: objek, teori, dan metode (Noor, 2005:9). Damono berpendapat bahwa sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan dan aspirasi manusia; oleh karena itu, ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial (2002:12). Jadi, antara sosiologi dengan sastra sebenarnya sangat dibutuhkan dalam penelitian ini, karena karya sastra yang menggunakan latar belakang sosial, tidak hanya dibutuhkan alat berupa ilmu sastra saja, namun lebih baik lagi digunakan juga ilmu bantu yang lebih melingkupi wilayah kajian sosial juga. Maka dalam meneliti novel Bonsai, penulis menggunakan metode sosiologi sastra dengan ilmu bantu struktur cerita rekaan dengan harapan dapat mencapai tujuan dari penelitian ini. III. REPRESENTASI MASYARAKAT TIONGHOA DI INDONESIA DALAM NOVEL BONSAI, HIKAYAT SATU KELUARGA CINA BENTENG Terjadi kecemburuan sosial antara pribumi dengan keturunan Tionghoa, dan akhirnya menjadi sikap rasis yang berakhir tragis. Kehidupan sosial keturunan Tionghoa melatari cerita dan perbedaan strata sosial dan ekonomi yang menjadi kemarahan rakyat pribumi yang terpendam selama ratusan tahun. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema utama adalah diskriminasi masyarakat keturunan Tionghoa dan tema tambahannya adalah kecemburuan sosial. Novel Bonsai memiliki lebih dari satu alur, karena memiliki beberapa plot dan sub-plot. Dan plot-plot tersebut tentu saja saling berkaitan erat dalam menciptakan sebuah cerita. Dalam penceritaannya, novel ini cenderung berkembang sehingga banyak tokoh-tokoh tambahan muncul. Tokoh-tokoh tersebut muncul dan menyebabkan banyaknya peristiwa tambahan dan dalam setiap peristiwa tambahan berisi berbagai pesan moral yang menyebabkan lambatnya ketegangan cerita. Kejadian demi kejadian dalam novel Bonsai diceritakan tidak secara kronologis/ runtut atau biasa disebut regresif (berurutan mundur), itulah pengaluran novel Bonsai. Latar Tempat novel Bonsai menyaran pada satu tempat terjadinya peristiwa dalam novel Bonsai yaitu Tangerang. Tempat dimana berdirinya benteng yang dibangun VOC di sisi Timur Cisadane yang kemudian biasa disebut Benteng. Latar waktu novel Bonsai terjadi sejak penjajahan Belanda. Keserakahan dan kesewenangan seorang keturunan Tionghoa yang menjadi pachter terhadap pribumi. Hingga terjadi kerusuhan berwarna rasial tahun 1998. Novel Bonsai menggunakan teknik pelataran sejalan yaitu ada kesesuaian latar yang dilukiskan dengan peristiwa yang sedang dialami oleh tokoh-tokoh utama. Penggunaan bahasa dan pelukisan latar yang sesuai dengan keadaan pada masa itu. Dalam novel Bonsai semua tokoh didominasi oleh keturunan Tionghoa, yaitu Boenarman, Boenadi, Meily, dan Feily. Juga seorang tokoh penting lain yaitu Eng Kiat sebagai seorang yang berjasa besar bagi keluarga Boenarman. Pralampita berusaha menggambarkan tokoh-tokohnya dengan fisik yang menarik. Dengan mendeskripsikan secara langsung, tentu pembaca dapat membayangkan dengan jelas sebagaimana yang diuraikan. Ketika gambaran fisik telah terbentuk, pembaca akan semakin merasa mengenal tokoh dan merasakan simpati, hingga membuat pembaca seakan-akan berada di tengah-tengah cerita. Awal kedatangan bangsa Tionghoa ke Indonesia dilatarbelakangi oleh perdagangan. Keuletan membawa mereka hingga kestrata sosial yang lebih tinggi dari pribumi. Oleh Jan Pieterszoon Coen orang Tionghoa Banten dipaksa pindah ke Batavia untuk membangun ekonomi Batavia dengan harapan dapat mengalahkan pelabuhan di Banten. Kehebatan orang Tionghoa dalam berbisnis diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Orang keturunan Tionghoa diperlakukan berbeda dari pribumi karena kemahiran dalam berdagang selain kekayaannya. Pada saat VOC terancam bangkrut, VOC menyewakan lahan kepada orang Tionghoa, bahkan sebagian tanah dijual kepada keturunan Tioghoa. Politik Etis yang diterapkan Belanda pun tidak mampu menggeser posisi orang Tionghoa. Diskriminasi sosial-ekonomi terhadap keturunan Tionghoa sangat terasa setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Akhir tahun 1950-an terjadi gerakan Anti-Cina yang bertujuan memperkokoh ekonomi pribumi. Gerakan itu disebut Politik Benteng dengan maksud untuk menasionalisasi perdagangan ekspor-impor dan membatasi peran Tionghoa dalam kehidupan ekonomi. Meskipun bisa dikatakan bahwa proses asimilasi berjalan dengan baik, namun jurang pemisah dari segi ekonomi tidak dapat mencairkan hubungan antara orang Tionghoa dengan pribumi. Maka muncul pendapat bahwa kaya adalah Tionghoa, orang Tionghoa adalah kaya. Kaya dalam pengertian terjadi kecurangan, sukses karena fasilitas, koneksi, nepotisme. Sebuah pendapat akibat dari kejadian di masa lampau ketika Soeharto menjabat menjadi Presiden Republik Indonesia, kejadian dimana modal asing yang masuk tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak. Sebagian besar masuk kantong penguasa dan kroni presiden. Pengusaha menggaet pengusaha Cina untuk bekerja sama. Akibatnya, pemandangan yang menyolok adalah segelintir pengusaha Cina yang kaya luar biasa dalam memiliki hubungan erat dengan pejabat tinggi dan para jenderal. Pembedaan perlakuan sosial-politik terhadap keturunan Tionghoa sudah dilakukan sejak pemerintah Belanda. Pertama kali diterapkannya kebijakan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa adalah Wijkenstelsel atau peraturan bermukim untuk keturunan Tionghoa sehingga terciptalah sebuah pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di kota-kota besar. Kemudian Belanda mengeluarka kebijakan berupa Politik Etis, sebuah kebijakan untuk memperbaiki nasib pribumi dalam bidang ekonomi dan pendidikan dan hanya untuk pribumi. Keturunan Tionghoa juga dikenakan pajak ganda, yaitu pajak penghasilan dan pajak kekayaan. Dalam membatasi pergerakan keturunan Tionghoa dalam bergerak, baik ekonomi maupun politik, Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan Passenstelsel, yaitu surat jalan yang hanya dikenakan oleh keturunan Tionghoa yang hendak pergi keluar daerah, tentu saja untuk membuatnya dikenakan biaya yang tidak murah. Memasuki masa kemerdekaan, arah politik keturunan Tioghoa yang tidak jelas membuat mereka mulai peduli dan membuat organisasi yang menampung aspirasi golongan Tionghoa, yaitu Tiong Hoa Hwe Koan (THHK). Sikap keturunan Tionghoa yang menjunjung tinggi kulturpolitik negeri Cina ini dianggap tidak loyal dan dianggap memperlemah ekonomi penduduk pribumi. Perkembangan organisasi politik orang Tionghoa semakin mengkhawatirkan sehingga pemerintah Indonesia mengeluarkan Politik Benteng pada tahun 1950-an. Pemerintah juga mengeluarkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang sangat mendiskriminasikan keturunan Tionghoa, untuk mengurus KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, dan lain-lain. Kemudian peraturan ini dihapus tahun 1999 oleh Presiden B. J. Habiebie namun cenderung diabaikan untuk memeras warga Tionghoa. Munculnya Partai Komunis Indonesia semakin memojokkan etnis Tionghoa di Indonesia. Adanya anggapan bahwa komunis adalah Cina membuat semakin lebar jurang pemisah dengan pribumi, ditambah lagi kejadian gerakan komunis Paraku/PGRS yang dibantu oleh Cina. Pada masa pemerintahan Orde Baru, seluruh kegiatan politik keturunan Tionghoa mati, bahkan adat istiadat, kebudayaan, agama, semua yang berhubungan dengan Cina dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Semua cara dilakukan agar tidak muncul persoalan SARA dilakukan pemerintah, bahkan pemerintah tidak segan-segan menutup semua kegiatn dan aktifitas bersifat eksklusif. IV. PENUTUP Dalam novel Bonsai digambarkan kehidupan tokoh-tokoh yang terlibat konflik baik berupa ideologi maupun fisik. Penggunaan latar belakang sejarah yang detail dibumbui konflik yang berujung diskriminasi rasial membuat penulis menyebut novel ini sebagai novel sosial-politik dan sejarah. Dari hasil analisis terhadap novel Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng penulis dapat menyimpulkan bahwa Pralampita Lembahmata yang juga seorang keturunan Tionghoa merasakan apa yang dirasakan etnisnya, yaitu rasa diasingkan, dipandang sebelah mata, merasa didiskriminasi karena apa yang telah terjadi masa lalu. Perasaan tersebut dituangkan dalam novel Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng, dengan tujuan menceritakan dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi menurut kaca mata keturunan Tionghoa. Penulis menangkap bahwa Pralampita mencoba mengembalikan kedudukan keturunan Tionghoa agar masyarakat luas lebih menghargai dan saling mernghormati, karena antara keturunan Tionghoa, pribumi, dan keturunan lainnya bertetangga, saling berdekatan, dan sama-sama berada di atas bumi Indonesia yang merdeka. Dalam hubungannya dengan sejarah Tionghoa di Indonesia, penulis melihat ada warna baru dalam sejarah Tionghoa di Indonesia meskipun belum terbukti kebenaran faktanya. Sejauh ini, buku-buku referensi yang penulis gunakan hanya menginformasikan tentang situasi ekonomi dan politik secara luas, sedangkan novel Bonsai bercerita tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik melalui sebuah keluarga keturunan Tionghoa dalam lingkungan heterogen di daerah Tangerang. Penulis menyimpulkan bahwa latar waktu yang digunakan dalam novel Bonsai sama dengan catatan sejarah Indonesia, tetapi hanya kejadian-kejadian penting, selebihnya Pralampita hanya menggunakan latar waktu berdasarkan keadaan. Catatan sejarah yang dibuat dengan tujuan melanggengkan kekuasaan Orde Baru tidak dapat disebut catatan sejarah yang otentik. Seperti yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, bahwa novel tidak tidak dapat digunakan sebagai acuan otentik untuk mengetahui sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia karena novel bukan sebagai dokumentasi sejarah yang otentik, tetapi jika catatan sejarah ditulis dengan tujuan tertentu, maka catatan sejarah tidak lagi menjadi acuan otentik karena bersifat subjektif. Keturunan Tionghoa telah didiskriminasi sejak penjajahan kolonial Belanda. Dalam lingkup ekonomi, sikap diskriminasi justru terjadi setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Diskriminasi dilakukan oleh orang-orang sebangsa, sikap tersebut terjadi karena segelintir pengusaha Cina kaya yang dekat dengan pejabat tinggi mengakibatkan seluruh keturunan Tionghoa di Indonesia terkena dampak negatifnya. Orang awam memandang kekayaan dan kesuksesan keturunan Tionghoa didapat karena terjadi kecurangan, fasilitas dan koneksi dari pejabat tinggi dan pemerintah, dan nepotisme. Pembedaan sikap dalam lingkup politik terhadap keturunan Tionghoa sudah terjadi sejak penjajahan kolonial dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang memberatkan keturunan Tionghoa. Setelah kemerdekaan justru bangsa sendiri yang mendiskriminasi ruang gerak berpolitik keturunan Tionghoa. Namun semua itu hanya dimanfaatkan untuk memeras orang Tionghoa dan para pengusaha kaya keturunan Tionghoa. V. DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor. http://goesprih.blogspot.com (Analisis Tokoh dan Penokohan) diakses pada selasa, 11 september 2012. Indratno, A. Ferry T., dkk.. 2007. Sejarah, Untuk SMA/MA Kelas IX IPA. Jakarta: Grasindo. Lembahmata, Pralampita. 2011. Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Tionghoa Benteng. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Noor, Redyanto. 2005. Pangantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Salmon, Claudine. 2010. Sastra Indonesia Awal, Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Sagita, Fery. 2006. Skripsi: Representasi Masyarakat Tionghoa dan Hegemoni dalam Ca Bau Kan Karya Remy Silado. Semarang: Universitas Diponegoro. Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press. Taher, Muslim Haji. 1997. Masyarakat Tionghoa Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia. Jakarta: Censis.