BAB VI. PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN

advertisement
BAB VI. PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN
PENDAHULUAN
Sebagai tujuan akhir dari suatu diagnosis penyakit tumbuhan adalah untuk
mengetahui cara-cara yang dapat diterapkan sebagai suatu upaya pengendalian
penyakit agar kerugian yang ditimbulkan dapat sekecil mungkin. Ada beberapa teknik
pengendalian penyakit tumbuhan yang dapat diaplikasikan, namun untuk menerapkan
berbagai teknik ttersebut perlu diperhatikan berbagai faktor yang dapat mendukung
usaha pengendalian yang akan dilakukan, sehingga keberhasilan upaya pengendalian
dapat maksimal. Dalam topik ini akan disampaikan beberapat teknik pengendalian
penyakit tumbuhan yang dikelompokkan dalam beberapa cara yaitu, cara kuktur teknis,
penggunaan kultivar tahan, penggunaan undang-undang (karantina), cara kimiawi dan
juga sistem pengendalian hama terpadu yang memadukan berbagai teknik
pengendalian yang ada.
Setelah mengikuti perkuliahan yang disampaikan dalam waktu 5 kali tatap
muka (5 x 2 jam pertemuan) ini, diharapkan mahasiswa akan dapat memahami
berbagai teknik pengendalian penyakit tumbuhan yang dapat diterapkan pada sistem
pertanian kita.
PENYAJIAN
Sejak mulai membudidayakan tanaman, manusia sudah mulai merasakan
adanya gangguan yang berupa penyakit. Pada awalnya mereka melakukan
pemberantasan berdasarkan pengalaman mereka, namun seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan mulai ditemukannya fungisida sederhana yang dikenal dengan
nama Bubur Bordeaux, manusia mulai merasakan adanya senjata ampuh yang dapat
digunakan untuk menyelamatkan tanamannya, sehingga manusia menjadikan
pestisida sebagai senjata utama dalam upaya pengendalian tanpa memperhatikan
faktor-faktor yang lain. Sampai dengan tahun 1960-an manusia masih mengupayakan
suatu lingkungan yang bersih dari organisme pengganggu, sehingga usaha mereka
dikatakan ingnin melakukan pemberantasan yang berarti memang melakukan hal
tersebut dengan tujuan untuk
Universitas Gadjah Mada
meniadakan organisme pengganggu, dan mereka juga menginginkan produk
pertaniannya bersih tanpa cacat. Akhirnya disadari bahwa usaha tersebut tidak praktis
secara ekonomi dan juga tidak memungkinkan secara ekologi, dan sistem tersebut
sulit untuk dipadukan dalam sistem produksi tanaman.
Setelah dirasa bahwa usaha pemberantasan tidak mungkin untuk dilakukan,
dan juga karena adanya pengaruh kata berbahasa Inggris control maka dimulailah
pemakaian katan pengendalian yang menunjukkan bahwa usaha tersebut tidak
bertujuan untuk membersihkan pengganggu dan juga sudah mencerminkan tidak
adanya dominansi manusia. Pengendalian merupakan salah satu fungsi terakhir dalam
managemen, dan istilah "Pengendalian Hama dan Penyakit" menunjukkan bahwa
usaha baru dilakukan setelah terjadi gangguan, sedangkan usaha untuk mengurangi
populasi organisme pangganggu ke taraf yang tidak merugikan perlu diintegrasikan
dengan sistem produksi sehingga harus ditangani secara tern menerus sejak
perencanaan. Oleh karena itu penggunaan kata pengendalian dirasa kurang tepat,
sehingga pemakaian kata pengelolaan dirasa lebih sesuai karena pengelolaan juga
meliputi fungsi perencanaan.
Pengendalian penyakit dengan peraturan (Undang-undang)
Peraturan yang dimaksud di dini adalah peraturan pemerintah. Peraturan ini
dimaksudkan untuk membersihkan patogen yang baru saja masuk ke suatu wilayah
baru (eradikasi) dan usaha mencegah masuknya suatu patogen ke suatu wilayah baru
yang masih bebas patogen (karantina)
Usaha pengendalian dengan cara eradikasi perlu dilakukan secara masal oleh
semua penanam, dan yang hams dimusnahkan bukan hanya tanaman yang sudah
menunjukkan gejal akan tetapi juga tanaman yang belum menunjukkan gejala, bahkan
tumbuhan lain yang diduga merupakan inang alternatif bagi patogen. Tanpa peraturan
yang tegas usaha ini tidak akan berhasil karena adanya keengganan bagi penanam
untuk membongkar tanamannya, apalagi bila tanaman tersebut tidak menunjukkan
gejala sakit. Eradikasi hanya dapat diterapkan pada penyakit-penyakit yang meluas
dengan lambat, sedangkan untuk penyakit yang bersifat air borne yang dipencarkan
oleh udara teknik ini tidak dapat dilaksanakan.
Istilah karantina (quarantine) berasal dari kata quaranta yang berarti "empat
puluh", karena dulu jika ada kapal yang membawa penumpang yang berpenyakit
menular,
Universitas Gadjah Mada
kapal itu hams menunggu selama empat puluh hari di pelabuhan, dan setelah jangka
waktu itu orang-orang yang masih hidup dianggap telah bebas dari penyakit dan
diizinkan turun ke darat. Karantina tumbuhan bertujuan untuk mencegah pemasukan
dan penyebaran hama dan penyakit tumbuhan dengan menggunakan Undang-undang,
sehingga terutama hanya akan berguna bagi penyakit yang disebarkan lewat
perdagangan. Yang dimaksud dengan tumbuhan (plant) di sini adalah semua atau
bagian tumbuhan hidup termasuk di dalamnya biji, dan yang dimaksud dengan hasil
tumbuhan (plant product) adalah bahan mentah atau bahan yang telah diolah yang
berasal dari tumbuhan, bahkan beberapa negara memasukkan semua faktor yang
memungkinkan untuk dipergunakan oleh hama dan penyakit sebagai medium tumbuh
ataupun yang mungkin mengalami kontaminasi oleh parasit-parasit, misalnya
pembungkus, kompos, tanah, dll. Pada umumnya penularan jarak jauh yang efektif
dilakukan oleh manusia, baik secara tidak disengaja maupun terbawa bersama dengan
bahan tanaman yang dibawa. Sehubungan dengan semakin majunya sistem
transportasi, dengan mudah manusia dapat mengangkut bahan tumbuhan dari suatu
tempat ke tempat lain dalam waktu yang relatif singkat, sehingga bahaya pemasukan
organisme pengganggu menjadi lebih besar, dan pemeriksaan kesehatan tumbuhan
tidak dapat dilakukan dengan teliti.
Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1992, telah disebutkan bahwa petugas
karantina
berhak
pengasingan,
melakukan
pengamatan,
tindakan
perlakuan
karantina
yang
(treatment),
berupa
pemeriksaan,
panahanan,
penolakan,
pemusnahan dan pembebasan. Bahan yang akan diekspor maupun diimpor hams
diperiksa terlebih dahulu dan harus mendapatkan sertifikat kesehatan, sedangkan
seluruh biaya tindakan karantina ditanggung oleh pembawa bahan tumbuhan.
Pengendalian dengan cara kultur teknis
Untuk
mendapatkan
suatu
pertanaman
yang
sehat,
perlu
dilakukan
pemeliharaan tanaman yang sebaik-baiknya dimulai sejak pemilihan lahan, benih,
perlindungan dari serangan patogen, pemungutan hasil, sampai dengan pasca
panennya.
Pemilihan lahan yang tepat akan sangat menentukan dalam proses budidaya
selanjutnya. Pemilihan lahan yang bebas penyakit dalam arti tanah yang relatif atau
sama sekali bebas dari patogen yang dapat merugikan tanaman yang akan ditanam di
tempat tersebut, hal ini terutama untuk menghindari penyakit-penyakit bawaan tanah.
Universitas Gadjah Mada
Tanah yang belum pernah diusahakan sering merupakan tanah yang tidak
berpenyakit, sedangkan tanah bekas hutan biasanya sudah menyimpan bibit penyakit
apalagi kalau di tempat tersebut akan ditanami dengan tanaman keras. Upaya
pergiliran tanaman dapat memperkecil propagul patogen di dalam tanah terutama
apabila pergiliran dilakukan dengan tanaman yang bukan inang patogen atau tanaman
yang tidak rentan, serta dapat juga dilakukan pergiliran dengan sistem pemberoan.
Rotasi dan pemberoan juga akan meningkatkan kesuburan tanah sehingga tanaman
akan tumbuh dengan baik dan menjadi lebih tahan terhadap penyakit. Usaha sanitasi
dimaksudkan untuk mengurangi ketersediaan sumber makanan bagi patogen yang
dapat dilakukan dengan menghilangkan sisa-sisa tumbuhan sakit ataupun dengan
mencegah penggunaan kompos atau bahan organik yang mengandung penyebab
penyakit. Disinfestasi tanah sering dilakukan untuk pengendalian patogen yang ada di
dalam tanah, namun hal ini hanya dapat dilakukan secara terbatas.
Pemilihan benih atau bibit yang sehat akan sangat membantu dalam mengatasi
penyakit-penyakit yang terbawa biji, serta penyakit yang terbawa bersama bahan
tanaman yang bersifat vegetatif. Biji dan bibit yang sehat sejak awal (uninfected) dapat
diperoleh dari tumbuhan yang ditanam di daerah yang benar-benar bebas penyakit,
atau dari petakpetak yang memang dipersiapkan untuk memproduksi benih atau bibit,
sehinga dipelihara secara intensif.
Pemeliharaan tanaman yang baik akan dimulai sejak melakukan pemilihan
tempat yang bebas bibit penyakit, penyiapan tanah yang intensif, peningkatan
kesuburan tanah, penyebaran benih yang baik dan benar, pengaturan drainase dan
irigasi,
pemeliharaan
pertumbuhan
tanaman
seperti
pemangkasan,
sanitasi,
pengaturan jarak tanam, dll. yang dilakukan dengan baik, sampai dengan pemungutan
hasil yang harus hati-hati jangan sampai menimbulkan luka, merupakan tindakan yang
akan memperkecil kerugian akibat serangan patogen.
Sanitasi lahan dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan tempat
bersarangnya patogen yang dilakukan dengan mengatur gulma maupun tanaman
pembantu seperti, tanaman penutup tanah maupun tanaman pelindung, membongkar
tanaman yang merupakan inang alternatif dari patogen, menghilangkan tanaman sakit
yang dapat menjadi sumber inokulum sesegera mungkin setelah munculnya gejala,
maupun dengan menghilangkan bagian tanaman yang sakit.
Universitas Gadjah Mada
Pengendalian dengan penggunaan kultivar tahan
Di alam sebenarnya sudah terjadi seleksi ketahanan. Dengan adanya serangan
patogen, genotip-genotip yang rentan akan musnah, sehingga yang tersisa hanyalah
genotip-genotip yang tahan yang dapat mempertahankan diri, berkembang dan berbiak
serta mewariskan sifat ketahannya kepada generasi berikutnya. Keturunan ini juga
akan mendapatkan serangan dari patogen dan akan tetap terjadi seleksi alam,
sehingga akan terjadi keseimbangan yang dinamis antara tanaman dengan patogen.
Tumbuhan yang sudah mengalami ko-evolusi ini dikenal dengan nama ras pribumi
(land race) yang mempunyai ketahanan horizontal yang tinggi.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, para pakar Pemulia Tanaman dan
Ilmu Penyakit Tumbuhan dapat melakukan pemeliharaan, pemilihan, pembiakan
individuindividu yang tahan, mengadakan hibridisasi, serta mengadakan infeksi buatan
untuk mempercepat proses seleksi, sehingga diperoleh kultivar yang tahan. Salah satu
kendala upaya memperoleh kultivar tahan adalah bahwa ketahanan terhadap suatu
penyakit belum tentu diikuti pula dengan ketahanan terhadap penyakit yang lainnya,
karena pada umumnya satu pasang gen hanya membawa ketahanan terhadap satu
ras atau satu jenis patogen saja.
Beberapa kendala pada usaha pemulian antara laian adalah; (a) tidak
tersedianya sumber gen tahan terutama untuk petogen-patogen yang bersifat polifag.
Pada umumnya pilihan pertama bagi tetua yang akan digunakan sebagai sumber gen
tahan adalah ras pribumi; (b) Sumber gen tahan mungkin mempunyai perbedaan yang
terlalu jauh dengan tanarnan yang akan ditingkatkan ketahannya. Pada umumnya gen
tahan terdapat pada tanaman liar yang sulit disilangkan dengan tanaman yang
dibudidayakan atau kalau disilangkan akan didapatkan keturunan yang mandul; (c)
Gen yang menentukan ketahanan sukar digabungkan dengan gen lain yang
diinginkan, karena adanya hubungan genetik yang erat antara kerentanan dengan
sifat-sifat baik (kualitas dan kuantitas tinggi), sehingga keduanya tidak dapat
digabungkan dalam satu tanaman; (d) Pada umumnya gen yang menetukan
ketahanan terhadap suatu ras patogen berbeda dengan gen penentu ketahanan
terhadap ras yang lainnya dari jenis patogen yang sama, sehingga untuk mendapatkan
kultivar yang tahan perlu dilakukan perakitan banyak gen dalam satu tanaman dan itu
merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit dan memakan waktu yang lama; (e)
Adanya
Universitas Gadjah Mada
peningkatan virulensi pada patogen setting dengan peningkatan ketahanan inang,
karena pada umumnya kultivar baru yang berhasil diciptakan mempunyai ketahanan
vertikal, sehingga akan terjadi tekanan seleksi dan akan meningkatkan virulensi
populasi patogen tersebut. Oleh karena itu penggunaan tanaman tahan yang biasanya
mempunyai ketahanan vertikal tidak dapat diterapkan pada tanaman tahunan, karena
apabila terjadi ketahanan yang patah maka kultivar tersebut harus segera diganti; (f)
Adanya penurunan sifat ketahanan yang dapat terjadi karena terjadinya perkawinan
silang. Penurunan sifat ketahanan dapat diantisipasi apabila pembiakan dilakukan
secara vegetatif.
Pengendalian secara biologi
Pengendalian biologi adalah merupakan setiap usaha untuk mengurangi
intensitas penyakit tumbuhan dengan memakai bantuan satu atau lebih jasad hidup,
selain tumbuhan inang dan manusia. Beberapa mekanisme pengendalian biologi
antara lain; (a) Antagonisme. Pada teknik ini usaha pengendalian dilakukan dengan
manfaatkan jasadjasad antagonis yang dapat berperan sebagai musuh alami dari
patogen seperti ; pemanfaatan jamur saprofitik yang mempunyai daya antagonis
terhadap patogen (Trichoderma spp, Gliocladium spp.), penggunaan patogen-patogen
yang tidak virulen, ataupun jasad-jasad sejenis yang bersifat non-patogenik. (b)
Penggunaan Plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR) yaitu suatu jasad yang
mempunyai aktivitas pengendalian biologis msekipun jasad ini sendiri tidak
berpengaruh secara langsung terhadap patogen. (c) Pengimbasan ketahanan
(imunisasi),
yaitu
suatu
usaha
untuk
mendapatkan
kultivar
tahan
dengan
menginokulasi tanaman menggunakan jasad ataupun senyawa yang dapat mengimbas
tanaman untuk membentuk suatu ketahanan terhadap patogen. Jasad pengimbas
dapat berupa patogen yang bersifat avirulen, jasad berbeda jenis yang bersifat non
patogen, metabolit mikrobia, sisa-sisa tumbuhan, maupun senyawa-senyawa tertentu
yang mampu bertindak sebagai pengimbas. (d) Proteksi silang (cross protection) yaitu
tanaman diinokulasi dengan strain virus yang lemah sehingga akan terlindung dari
infeksi oleh strain yang kuat. (e) Tanaman campuran dengan tanaman lain yang
diketahui merupakan inang bagi jasad antagonis.
Pengendalian biologi merupakan teknik pengendalian yang relatif aman, namun
hasilnya tidak dapat segera terlihat karena memerlukan waktu untuk terjadinya
interaksi
Universitas Gadjah Mada
antara jasad agen pengendali biologi dengan patogen, sehingga hasil interaksi
tersebut tidak segera kelihatan.
Pengendalian kimiawi
Pengendalian kimiawi yang dimaksud di sini terutama adalah penggunaan
pestisida (fungisida, bakterisida, nematisida) untuk mengendalikan patogen tumbuhan.
Pengendalian dengan cara ini memerlukan biaya yang tinggi, namun kebanyakan
petani lebih menyukai teknik ini karena hasilnya segera kelihatan sesaat setelah
aplikasi dan usaha pengendalian ini dapat dilakukan oleh tenaga-tenaga yang kurang
terdidik, serta pengendalian dengan memanfaatkan pestisida tidak bersifat spesifik
lokasi.
Penggunaan pestisida diawali oleh penemuan Bubur Bordeaux pada tahun
1883 oleh Millardet, yang merupakan campuran kapur dengan terusi. Sejak saat itu
manusia
seolah
mempunyai
senjata
ampuh
yang
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan patogen dan dengan menggunakan senjatanya tersebut manusia
bermaksud untuk menghilangkan jasad pengganggu dari pertanaman mereka. Namun
akhirnya diketahui bahwa pengendalian dengan menggunakan pestisida ini ternyata
mempunyai beberapa dampak negatif antara lain; (a) terjadinya reaksi ketahanan dari
patogen sehingga terjadi resistensi, (b) kematian jasad bukan sasaran (antagonis), (c)
fitotoksisitas (keracunan tanaman oleh pestisida), (d) keracunan pada manusia
maupun hewan, (e) merusak lingkungan karena terjadinya pencemaran lingkungan
dengan tertinggalnya residu baik di alam maupun pada produk pertanian.
Untuk melindungi keselamatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam
khususnya kekayaan alam hayati, dan agar penggunaan pestisida dapat digunakan
secara efektif, peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida di wilayah
Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973. Pelaksanaan
peraturan tersebut ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Pertanian No.
280/1973 dan No. 944/1984 tentang Prosedur Permohonan Pendaftaran dan Izin
Pestisida, dan No. 429/1973 tentang Syarat-syarat Pembungkusan dan Pemberian
Label Pestisida.
Fungisida merupakan pestisida yang digunakan untuk mengendalikan jamur
patogen tumbuhan. Sampai masa perang Dunia H hampir seluruh fungisida yang
digunakan merupakan fungisida anorganik yang terdiri atas fungisida tembaga dan
belerang anorganik. Fungisida-ungisida ini dikenal dengan fungisida generasi pertama.
Universitas Gadjah Mada
Setelah Perang dunia H mulai berkembang pestisida organik, yaitu fungisida karbamat
yang dianggap sebagai fungisida generasi kedua. Mulai tahun 1960-an fungisida
sistemik dengan bahan aktif oksatiin yang dapat diserap tumbuhan dan diangkut
melalui xilem yang terdiri atas sel-sel mati dari bawah ke atas yang dikenal dengan
fungisida generasi ketiga. Akhirnya berkembang fungisida sistemik yang dapat
diangkut ke atas melalui xilem maupun ke bawah melalui floem, antar lain fungisida
yang berbahan aktif asilalanin yang dikenal sebagai fungisida generasi keempat.
Mekanisme kerja bahan aktif pestisida pada umumnya belum diketahui dengan
pasti. Pada umumnya bahan aktif fungisida dipakai karena toksisitasnya yang
langsung terhadap patogen dan hanya efektif sebagai protektan pada titik masuknya
patogen.
Fungisida
sistemik
dan
antibiotika
diserap
oleh
tanaman
inang,
ditranslokasikan di dalam badan tumbuhan, dan erfektif terhadap patogen pada tempat
infeksi, sebelum maupun setelah terjadinya infeksi. Beberapa bahan kimia dapat
mengurangi infeksi karena meningkatkan resistensi inang terhadap patogen.
Pengendalian patogen dengan pestisida dapat terjadi melalui beberapa mekanisme
antara lain; (a) berpengaruh terhadap enzim dan protein; (b) berpengaruh terhadap
permeabilitas membran sehingga akan menyebabkan gangguan pada metabolisme
patogen; (c) berpengaruh terhadap sintesis dinding sel dan pembelahan sel; (d)
mengadakan khelasi dan presipitasi, sehingga metabolit yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan patogen menjadi tidak tersedia; (e) substitusi
kompetitif beberapa metabolit sel yang normal, sehingga jika senyawa ini saling
mengganti, maka pengaruh fisiologisnya dapat berefek mematikan; (f) mempengaruhi
sintesis protein.
Pengendalian Penyakit dengan Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Yang dimaksud sebagai hama dalam hal ini adalah hama (pest) dalam arti luas
yang berarti hama atau omo (jawa), jadi mencakup hama, penyakit, maupun gulma.
Sejak tahun 1950-an orang mulai menyadari bahwa usaha untuk memperoleh
pertanaman yang bersih dari organisme pengganggu tumbuhan (OPT), terlalu mahal
dan selalu menghadapi kegagalan. Serangga hama dan jamur manjadi resisten
terhadap pestisida, tanaman yang tahan menjadi rentan, serta terjadi epidemi hama
dan penyakit pada pertanaman monokultur. Selain itu juga diketahui bahwa usaha
pengendalian suatu jasad pengganggu sering mendorong berkembangnya jasad
pengganggu yang lain, sehingga disadari bahwa
Universitas Gadjah Mada
bermacam-macam jasad pengganggu yang menyerang pertanaman perlu dihadapi
secara terpadu tanpa memperhatikan apakah jasad pengganggu tersebut hama,
penyakit, ataukah gul ma.
Hal-hal tersebut mendorong tercetusnya gagasan mengenai Pengeiolaan
Hama yang mempunyai asas sebagai berikut;
1. Secara terpadu memperhatikan semua hama yang penting (key pest)
2. Tidak bertujuan untuk mendapatkan suatu keadaan yang bebas hama,
tetapi untuk mengendalikan populasi hama agar kerusakan yang terjadi
selalu berada di bawah ambang ekonomi (economic thresold)
3. Menggabungkan berbagai cara yang kompatibel, sesedikit mungkin
memakai cara buatan (artificial method), tetapi lebih mementingkan
penekanan hama oleh faktor alami.
4. Selalu didasari oleh pertimbangan ekologi
Dalam pengelolaan hama, pestisida harus digunakan secara tepat dan hanya
dipakai apabila usaha-usaha yang lain tidak memberikan hasil. Pembatasan
pemakaian pestisida ini dimaksudkan untuk mengurangi polusi di dalam lingkungan,
sehingga pengelolaan hama akan mempunyai manfaat jangka panjang dan luas,
bukan hanya temporer atau setempat, sehingga akan tercapai pertanian yang
berkelanjutan (sustainable agriculture). Jadi dalam konsep ini kita tidak anti pestisida,
akan tetapi pestisida kita pilih sebagai alternatif terakhir apabila alternatif yang lain
sudah tidak mungkin untuk dilakukan.
Upaya pengendalian dalam sistem ini harus diusahakan dengan memadukan
beberapa cara yang kompatibel, tidak hanya tergantung pada satu cara saja.
Pengelolaan didasari pada kesadaran akan biaya; pengendalian dilakukan jika biaya
yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan dengan hasil yang akan dapat diselamatkan.
Pengelolaan juga didasari dengan kesadaran akan lingkungan; baik menciptakan
lingkungan yang tidak kondusif untuk penyakit, maupun tidak melakukan usaha yang
dapat
merusak
atau mencemari
lingkungan,
bahkan apabila
semua
usaha
pengendalian yang dilakukan sudah tidak memberikan basil, sering kali tanaman yang
bersangkutan harus ditinggalkan. Jadi kita harus dapat hidup bersama dengan hama,
penyakit dan gulma.
Universitas Gadjah Mada
PENUTUP
Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat memahami
berbagai dasar perlindungan tanaman dalam rangka pengendalian penyakit tumbuhan,
yang didasari oleh berbagai faktor yang terkait dengan usaha pertanian yang
dilakukan, sehingga dalam mengambil keputusan untuk menentukan tindakan
pengendalian yang akan dilakukan dapat tepat dan memberikan basil yang maksimal.
REFERENSI
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. 3d Ed. Academic Press, New York. 803p.
Anonim, 1992. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1992 tentang
Ssistem Budidaya Tanaman.
Anonim, 1992. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 1992 tentang
Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
Fry, W.E., 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press. New York,
378p.
Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University
Press. 754p.
Universitas Gadjah Mada
Download