BAB VI. PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN PENDAHULUAN Sebagai tujuan akhir dari suatu diagnosis penyakit tumbuhan adalah untuk mengetahui cara-cara yang dapat diterapkan sebagai suatu upaya pengendalian penyakit agar kerugian yang ditimbulkan dapat sekecil mungkin. Ada beberapa teknik pengendalian penyakit tumbuhan yang dapat diaplikasikan, namun untuk menerapkan berbagai teknik ttersebut perlu diperhatikan berbagai faktor yang dapat mendukung usaha pengendalian yang akan dilakukan, sehingga keberhasilan upaya pengendalian dapat maksimal. Dalam topik ini akan disampaikan beberapat teknik pengendalian penyakit tumbuhan yang dikelompokkan dalam beberapa cara yaitu, cara kuktur teknis, penggunaan kultivar tahan, penggunaan undang-undang (karantina), cara kimiawi dan juga sistem pengendalian hama terpadu yang memadukan berbagai teknik pengendalian yang ada. Setelah mengikuti perkuliahan yang disampaikan dalam waktu 5 kali tatap muka (5 x 2 jam pertemuan) ini, diharapkan mahasiswa akan dapat memahami berbagai teknik pengendalian penyakit tumbuhan yang dapat diterapkan pada sistem pertanian kita. PENYAJIAN Sejak mulai membudidayakan tanaman, manusia sudah mulai merasakan adanya gangguan yang berupa penyakit. Pada awalnya mereka melakukan pemberantasan berdasarkan pengalaman mereka, namun seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan mulai ditemukannya fungisida sederhana yang dikenal dengan nama Bubur Bordeaux, manusia mulai merasakan adanya senjata ampuh yang dapat digunakan untuk menyelamatkan tanamannya, sehingga manusia menjadikan pestisida sebagai senjata utama dalam upaya pengendalian tanpa memperhatikan faktor-faktor yang lain. Sampai dengan tahun 1960-an manusia masih mengupayakan suatu lingkungan yang bersih dari organisme pengganggu, sehingga usaha mereka dikatakan ingnin melakukan pemberantasan yang berarti memang melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk Universitas Gadjah Mada meniadakan organisme pengganggu, dan mereka juga menginginkan produk pertaniannya bersih tanpa cacat. Akhirnya disadari bahwa usaha tersebut tidak praktis secara ekonomi dan juga tidak memungkinkan secara ekologi, dan sistem tersebut sulit untuk dipadukan dalam sistem produksi tanaman. Setelah dirasa bahwa usaha pemberantasan tidak mungkin untuk dilakukan, dan juga karena adanya pengaruh kata berbahasa Inggris control maka dimulailah pemakaian katan pengendalian yang menunjukkan bahwa usaha tersebut tidak bertujuan untuk membersihkan pengganggu dan juga sudah mencerminkan tidak adanya dominansi manusia. Pengendalian merupakan salah satu fungsi terakhir dalam managemen, dan istilah "Pengendalian Hama dan Penyakit" menunjukkan bahwa usaha baru dilakukan setelah terjadi gangguan, sedangkan usaha untuk mengurangi populasi organisme pangganggu ke taraf yang tidak merugikan perlu diintegrasikan dengan sistem produksi sehingga harus ditangani secara tern menerus sejak perencanaan. Oleh karena itu penggunaan kata pengendalian dirasa kurang tepat, sehingga pemakaian kata pengelolaan dirasa lebih sesuai karena pengelolaan juga meliputi fungsi perencanaan. Pengendalian penyakit dengan peraturan (Undang-undang) Peraturan yang dimaksud di dini adalah peraturan pemerintah. Peraturan ini dimaksudkan untuk membersihkan patogen yang baru saja masuk ke suatu wilayah baru (eradikasi) dan usaha mencegah masuknya suatu patogen ke suatu wilayah baru yang masih bebas patogen (karantina) Usaha pengendalian dengan cara eradikasi perlu dilakukan secara masal oleh semua penanam, dan yang hams dimusnahkan bukan hanya tanaman yang sudah menunjukkan gejal akan tetapi juga tanaman yang belum menunjukkan gejala, bahkan tumbuhan lain yang diduga merupakan inang alternatif bagi patogen. Tanpa peraturan yang tegas usaha ini tidak akan berhasil karena adanya keengganan bagi penanam untuk membongkar tanamannya, apalagi bila tanaman tersebut tidak menunjukkan gejala sakit. Eradikasi hanya dapat diterapkan pada penyakit-penyakit yang meluas dengan lambat, sedangkan untuk penyakit yang bersifat air borne yang dipencarkan oleh udara teknik ini tidak dapat dilaksanakan. Istilah karantina (quarantine) berasal dari kata quaranta yang berarti "empat puluh", karena dulu jika ada kapal yang membawa penumpang yang berpenyakit menular, Universitas Gadjah Mada kapal itu hams menunggu selama empat puluh hari di pelabuhan, dan setelah jangka waktu itu orang-orang yang masih hidup dianggap telah bebas dari penyakit dan diizinkan turun ke darat. Karantina tumbuhan bertujuan untuk mencegah pemasukan dan penyebaran hama dan penyakit tumbuhan dengan menggunakan Undang-undang, sehingga terutama hanya akan berguna bagi penyakit yang disebarkan lewat perdagangan. Yang dimaksud dengan tumbuhan (plant) di sini adalah semua atau bagian tumbuhan hidup termasuk di dalamnya biji, dan yang dimaksud dengan hasil tumbuhan (plant product) adalah bahan mentah atau bahan yang telah diolah yang berasal dari tumbuhan, bahkan beberapa negara memasukkan semua faktor yang memungkinkan untuk dipergunakan oleh hama dan penyakit sebagai medium tumbuh ataupun yang mungkin mengalami kontaminasi oleh parasit-parasit, misalnya pembungkus, kompos, tanah, dll. Pada umumnya penularan jarak jauh yang efektif dilakukan oleh manusia, baik secara tidak disengaja maupun terbawa bersama dengan bahan tanaman yang dibawa. Sehubungan dengan semakin majunya sistem transportasi, dengan mudah manusia dapat mengangkut bahan tumbuhan dari suatu tempat ke tempat lain dalam waktu yang relatif singkat, sehingga bahaya pemasukan organisme pengganggu menjadi lebih besar, dan pemeriksaan kesehatan tumbuhan tidak dapat dilakukan dengan teliti. Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1992, telah disebutkan bahwa petugas karantina berhak pengasingan, melakukan pengamatan, tindakan perlakuan karantina yang (treatment), berupa pemeriksaan, panahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Bahan yang akan diekspor maupun diimpor hams diperiksa terlebih dahulu dan harus mendapatkan sertifikat kesehatan, sedangkan seluruh biaya tindakan karantina ditanggung oleh pembawa bahan tumbuhan. Pengendalian dengan cara kultur teknis Untuk mendapatkan suatu pertanaman yang sehat, perlu dilakukan pemeliharaan tanaman yang sebaik-baiknya dimulai sejak pemilihan lahan, benih, perlindungan dari serangan patogen, pemungutan hasil, sampai dengan pasca panennya. Pemilihan lahan yang tepat akan sangat menentukan dalam proses budidaya selanjutnya. Pemilihan lahan yang bebas penyakit dalam arti tanah yang relatif atau sama sekali bebas dari patogen yang dapat merugikan tanaman yang akan ditanam di tempat tersebut, hal ini terutama untuk menghindari penyakit-penyakit bawaan tanah. Universitas Gadjah Mada Tanah yang belum pernah diusahakan sering merupakan tanah yang tidak berpenyakit, sedangkan tanah bekas hutan biasanya sudah menyimpan bibit penyakit apalagi kalau di tempat tersebut akan ditanami dengan tanaman keras. Upaya pergiliran tanaman dapat memperkecil propagul patogen di dalam tanah terutama apabila pergiliran dilakukan dengan tanaman yang bukan inang patogen atau tanaman yang tidak rentan, serta dapat juga dilakukan pergiliran dengan sistem pemberoan. Rotasi dan pemberoan juga akan meningkatkan kesuburan tanah sehingga tanaman akan tumbuh dengan baik dan menjadi lebih tahan terhadap penyakit. Usaha sanitasi dimaksudkan untuk mengurangi ketersediaan sumber makanan bagi patogen yang dapat dilakukan dengan menghilangkan sisa-sisa tumbuhan sakit ataupun dengan mencegah penggunaan kompos atau bahan organik yang mengandung penyebab penyakit. Disinfestasi tanah sering dilakukan untuk pengendalian patogen yang ada di dalam tanah, namun hal ini hanya dapat dilakukan secara terbatas. Pemilihan benih atau bibit yang sehat akan sangat membantu dalam mengatasi penyakit-penyakit yang terbawa biji, serta penyakit yang terbawa bersama bahan tanaman yang bersifat vegetatif. Biji dan bibit yang sehat sejak awal (uninfected) dapat diperoleh dari tumbuhan yang ditanam di daerah yang benar-benar bebas penyakit, atau dari petakpetak yang memang dipersiapkan untuk memproduksi benih atau bibit, sehinga dipelihara secara intensif. Pemeliharaan tanaman yang baik akan dimulai sejak melakukan pemilihan tempat yang bebas bibit penyakit, penyiapan tanah yang intensif, peningkatan kesuburan tanah, penyebaran benih yang baik dan benar, pengaturan drainase dan irigasi, pemeliharaan pertumbuhan tanaman seperti pemangkasan, sanitasi, pengaturan jarak tanam, dll. yang dilakukan dengan baik, sampai dengan pemungutan hasil yang harus hati-hati jangan sampai menimbulkan luka, merupakan tindakan yang akan memperkecil kerugian akibat serangan patogen. Sanitasi lahan dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan tempat bersarangnya patogen yang dilakukan dengan mengatur gulma maupun tanaman pembantu seperti, tanaman penutup tanah maupun tanaman pelindung, membongkar tanaman yang merupakan inang alternatif dari patogen, menghilangkan tanaman sakit yang dapat menjadi sumber inokulum sesegera mungkin setelah munculnya gejala, maupun dengan menghilangkan bagian tanaman yang sakit. Universitas Gadjah Mada Pengendalian dengan penggunaan kultivar tahan Di alam sebenarnya sudah terjadi seleksi ketahanan. Dengan adanya serangan patogen, genotip-genotip yang rentan akan musnah, sehingga yang tersisa hanyalah genotip-genotip yang tahan yang dapat mempertahankan diri, berkembang dan berbiak serta mewariskan sifat ketahannya kepada generasi berikutnya. Keturunan ini juga akan mendapatkan serangan dari patogen dan akan tetap terjadi seleksi alam, sehingga akan terjadi keseimbangan yang dinamis antara tanaman dengan patogen. Tumbuhan yang sudah mengalami ko-evolusi ini dikenal dengan nama ras pribumi (land race) yang mempunyai ketahanan horizontal yang tinggi. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, para pakar Pemulia Tanaman dan Ilmu Penyakit Tumbuhan dapat melakukan pemeliharaan, pemilihan, pembiakan individuindividu yang tahan, mengadakan hibridisasi, serta mengadakan infeksi buatan untuk mempercepat proses seleksi, sehingga diperoleh kultivar yang tahan. Salah satu kendala upaya memperoleh kultivar tahan adalah bahwa ketahanan terhadap suatu penyakit belum tentu diikuti pula dengan ketahanan terhadap penyakit yang lainnya, karena pada umumnya satu pasang gen hanya membawa ketahanan terhadap satu ras atau satu jenis patogen saja. Beberapa kendala pada usaha pemulian antara laian adalah; (a) tidak tersedianya sumber gen tahan terutama untuk petogen-patogen yang bersifat polifag. Pada umumnya pilihan pertama bagi tetua yang akan digunakan sebagai sumber gen tahan adalah ras pribumi; (b) Sumber gen tahan mungkin mempunyai perbedaan yang terlalu jauh dengan tanarnan yang akan ditingkatkan ketahannya. Pada umumnya gen tahan terdapat pada tanaman liar yang sulit disilangkan dengan tanaman yang dibudidayakan atau kalau disilangkan akan didapatkan keturunan yang mandul; (c) Gen yang menentukan ketahanan sukar digabungkan dengan gen lain yang diinginkan, karena adanya hubungan genetik yang erat antara kerentanan dengan sifat-sifat baik (kualitas dan kuantitas tinggi), sehingga keduanya tidak dapat digabungkan dalam satu tanaman; (d) Pada umumnya gen yang menetukan ketahanan terhadap suatu ras patogen berbeda dengan gen penentu ketahanan terhadap ras yang lainnya dari jenis patogen yang sama, sehingga untuk mendapatkan kultivar yang tahan perlu dilakukan perakitan banyak gen dalam satu tanaman dan itu merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit dan memakan waktu yang lama; (e) Adanya Universitas Gadjah Mada peningkatan virulensi pada patogen setting dengan peningkatan ketahanan inang, karena pada umumnya kultivar baru yang berhasil diciptakan mempunyai ketahanan vertikal, sehingga akan terjadi tekanan seleksi dan akan meningkatkan virulensi populasi patogen tersebut. Oleh karena itu penggunaan tanaman tahan yang biasanya mempunyai ketahanan vertikal tidak dapat diterapkan pada tanaman tahunan, karena apabila terjadi ketahanan yang patah maka kultivar tersebut harus segera diganti; (f) Adanya penurunan sifat ketahanan yang dapat terjadi karena terjadinya perkawinan silang. Penurunan sifat ketahanan dapat diantisipasi apabila pembiakan dilakukan secara vegetatif. Pengendalian secara biologi Pengendalian biologi adalah merupakan setiap usaha untuk mengurangi intensitas penyakit tumbuhan dengan memakai bantuan satu atau lebih jasad hidup, selain tumbuhan inang dan manusia. Beberapa mekanisme pengendalian biologi antara lain; (a) Antagonisme. Pada teknik ini usaha pengendalian dilakukan dengan manfaatkan jasadjasad antagonis yang dapat berperan sebagai musuh alami dari patogen seperti ; pemanfaatan jamur saprofitik yang mempunyai daya antagonis terhadap patogen (Trichoderma spp, Gliocladium spp.), penggunaan patogen-patogen yang tidak virulen, ataupun jasad-jasad sejenis yang bersifat non-patogenik. (b) Penggunaan Plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR) yaitu suatu jasad yang mempunyai aktivitas pengendalian biologis msekipun jasad ini sendiri tidak berpengaruh secara langsung terhadap patogen. (c) Pengimbasan ketahanan (imunisasi), yaitu suatu usaha untuk mendapatkan kultivar tahan dengan menginokulasi tanaman menggunakan jasad ataupun senyawa yang dapat mengimbas tanaman untuk membentuk suatu ketahanan terhadap patogen. Jasad pengimbas dapat berupa patogen yang bersifat avirulen, jasad berbeda jenis yang bersifat non patogen, metabolit mikrobia, sisa-sisa tumbuhan, maupun senyawa-senyawa tertentu yang mampu bertindak sebagai pengimbas. (d) Proteksi silang (cross protection) yaitu tanaman diinokulasi dengan strain virus yang lemah sehingga akan terlindung dari infeksi oleh strain yang kuat. (e) Tanaman campuran dengan tanaman lain yang diketahui merupakan inang bagi jasad antagonis. Pengendalian biologi merupakan teknik pengendalian yang relatif aman, namun hasilnya tidak dapat segera terlihat karena memerlukan waktu untuk terjadinya interaksi Universitas Gadjah Mada antara jasad agen pengendali biologi dengan patogen, sehingga hasil interaksi tersebut tidak segera kelihatan. Pengendalian kimiawi Pengendalian kimiawi yang dimaksud di sini terutama adalah penggunaan pestisida (fungisida, bakterisida, nematisida) untuk mengendalikan patogen tumbuhan. Pengendalian dengan cara ini memerlukan biaya yang tinggi, namun kebanyakan petani lebih menyukai teknik ini karena hasilnya segera kelihatan sesaat setelah aplikasi dan usaha pengendalian ini dapat dilakukan oleh tenaga-tenaga yang kurang terdidik, serta pengendalian dengan memanfaatkan pestisida tidak bersifat spesifik lokasi. Penggunaan pestisida diawali oleh penemuan Bubur Bordeaux pada tahun 1883 oleh Millardet, yang merupakan campuran kapur dengan terusi. Sejak saat itu manusia seolah mempunyai senjata ampuh yang dapat digunakan untuk mengendalikan patogen dan dengan menggunakan senjatanya tersebut manusia bermaksud untuk menghilangkan jasad pengganggu dari pertanaman mereka. Namun akhirnya diketahui bahwa pengendalian dengan menggunakan pestisida ini ternyata mempunyai beberapa dampak negatif antara lain; (a) terjadinya reaksi ketahanan dari patogen sehingga terjadi resistensi, (b) kematian jasad bukan sasaran (antagonis), (c) fitotoksisitas (keracunan tanaman oleh pestisida), (d) keracunan pada manusia maupun hewan, (e) merusak lingkungan karena terjadinya pencemaran lingkungan dengan tertinggalnya residu baik di alam maupun pada produk pertanian. Untuk melindungi keselamatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam khususnya kekayaan alam hayati, dan agar penggunaan pestisida dapat digunakan secara efektif, peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida di wilayah Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973. Pelaksanaan peraturan tersebut ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 280/1973 dan No. 944/1984 tentang Prosedur Permohonan Pendaftaran dan Izin Pestisida, dan No. 429/1973 tentang Syarat-syarat Pembungkusan dan Pemberian Label Pestisida. Fungisida merupakan pestisida yang digunakan untuk mengendalikan jamur patogen tumbuhan. Sampai masa perang Dunia H hampir seluruh fungisida yang digunakan merupakan fungisida anorganik yang terdiri atas fungisida tembaga dan belerang anorganik. Fungisida-ungisida ini dikenal dengan fungisida generasi pertama. Universitas Gadjah Mada Setelah Perang dunia H mulai berkembang pestisida organik, yaitu fungisida karbamat yang dianggap sebagai fungisida generasi kedua. Mulai tahun 1960-an fungisida sistemik dengan bahan aktif oksatiin yang dapat diserap tumbuhan dan diangkut melalui xilem yang terdiri atas sel-sel mati dari bawah ke atas yang dikenal dengan fungisida generasi ketiga. Akhirnya berkembang fungisida sistemik yang dapat diangkut ke atas melalui xilem maupun ke bawah melalui floem, antar lain fungisida yang berbahan aktif asilalanin yang dikenal sebagai fungisida generasi keempat. Mekanisme kerja bahan aktif pestisida pada umumnya belum diketahui dengan pasti. Pada umumnya bahan aktif fungisida dipakai karena toksisitasnya yang langsung terhadap patogen dan hanya efektif sebagai protektan pada titik masuknya patogen. Fungisida sistemik dan antibiotika diserap oleh tanaman inang, ditranslokasikan di dalam badan tumbuhan, dan erfektif terhadap patogen pada tempat infeksi, sebelum maupun setelah terjadinya infeksi. Beberapa bahan kimia dapat mengurangi infeksi karena meningkatkan resistensi inang terhadap patogen. Pengendalian patogen dengan pestisida dapat terjadi melalui beberapa mekanisme antara lain; (a) berpengaruh terhadap enzim dan protein; (b) berpengaruh terhadap permeabilitas membran sehingga akan menyebabkan gangguan pada metabolisme patogen; (c) berpengaruh terhadap sintesis dinding sel dan pembelahan sel; (d) mengadakan khelasi dan presipitasi, sehingga metabolit yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan patogen menjadi tidak tersedia; (e) substitusi kompetitif beberapa metabolit sel yang normal, sehingga jika senyawa ini saling mengganti, maka pengaruh fisiologisnya dapat berefek mematikan; (f) mempengaruhi sintesis protein. Pengendalian Penyakit dengan Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Yang dimaksud sebagai hama dalam hal ini adalah hama (pest) dalam arti luas yang berarti hama atau omo (jawa), jadi mencakup hama, penyakit, maupun gulma. Sejak tahun 1950-an orang mulai menyadari bahwa usaha untuk memperoleh pertanaman yang bersih dari organisme pengganggu tumbuhan (OPT), terlalu mahal dan selalu menghadapi kegagalan. Serangga hama dan jamur manjadi resisten terhadap pestisida, tanaman yang tahan menjadi rentan, serta terjadi epidemi hama dan penyakit pada pertanaman monokultur. Selain itu juga diketahui bahwa usaha pengendalian suatu jasad pengganggu sering mendorong berkembangnya jasad pengganggu yang lain, sehingga disadari bahwa Universitas Gadjah Mada bermacam-macam jasad pengganggu yang menyerang pertanaman perlu dihadapi secara terpadu tanpa memperhatikan apakah jasad pengganggu tersebut hama, penyakit, ataukah gul ma. Hal-hal tersebut mendorong tercetusnya gagasan mengenai Pengeiolaan Hama yang mempunyai asas sebagai berikut; 1. Secara terpadu memperhatikan semua hama yang penting (key pest) 2. Tidak bertujuan untuk mendapatkan suatu keadaan yang bebas hama, tetapi untuk mengendalikan populasi hama agar kerusakan yang terjadi selalu berada di bawah ambang ekonomi (economic thresold) 3. Menggabungkan berbagai cara yang kompatibel, sesedikit mungkin memakai cara buatan (artificial method), tetapi lebih mementingkan penekanan hama oleh faktor alami. 4. Selalu didasari oleh pertimbangan ekologi Dalam pengelolaan hama, pestisida harus digunakan secara tepat dan hanya dipakai apabila usaha-usaha yang lain tidak memberikan hasil. Pembatasan pemakaian pestisida ini dimaksudkan untuk mengurangi polusi di dalam lingkungan, sehingga pengelolaan hama akan mempunyai manfaat jangka panjang dan luas, bukan hanya temporer atau setempat, sehingga akan tercapai pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Jadi dalam konsep ini kita tidak anti pestisida, akan tetapi pestisida kita pilih sebagai alternatif terakhir apabila alternatif yang lain sudah tidak mungkin untuk dilakukan. Upaya pengendalian dalam sistem ini harus diusahakan dengan memadukan beberapa cara yang kompatibel, tidak hanya tergantung pada satu cara saja. Pengelolaan didasari pada kesadaran akan biaya; pengendalian dilakukan jika biaya yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan dengan hasil yang akan dapat diselamatkan. Pengelolaan juga didasari dengan kesadaran akan lingkungan; baik menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk penyakit, maupun tidak melakukan usaha yang dapat merusak atau mencemari lingkungan, bahkan apabila semua usaha pengendalian yang dilakukan sudah tidak memberikan basil, sering kali tanaman yang bersangkutan harus ditinggalkan. Jadi kita harus dapat hidup bersama dengan hama, penyakit dan gulma. Universitas Gadjah Mada PENUTUP Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat memahami berbagai dasar perlindungan tanaman dalam rangka pengendalian penyakit tumbuhan, yang didasari oleh berbagai faktor yang terkait dengan usaha pertanian yang dilakukan, sehingga dalam mengambil keputusan untuk menentukan tindakan pengendalian yang akan dilakukan dapat tepat dan memberikan basil yang maksimal. REFERENSI Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. 3d Ed. Academic Press, New York. 803p. Anonim, 1992. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1992 tentang Ssistem Budidaya Tanaman. Anonim, 1992. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Fry, W.E., 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press. New York, 378p. Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. 754p. Universitas Gadjah Mada