BAB 1 PSIKOLINGUISTIK A. Pendahuluan Ruang lingkup isi dari Bab 12 meliputi: 1) Pengertian Psikolinguistik dan 2) Tahapan psikolinguistik. 1. Kompetensi Dasar Memahami ruang lingkup psikolinguistik dan perkembangan ilmu psikolinguistik. 2. Tujuan Pembelajaran Dengan membaca dan memahami bab 1 diharapkan Anda memiliki pengetahuan dan pemahaman yang terarah mengenai psikolinguistik. 3. Indikator a. Menjelaskan psikolinguistik b. Menjelaskan tahapan-tahapan psikolinguistik B. URAIAN MATERI 1. Pengertian Psikolinguistik Psikolinguistik adalah ilmu hibrida, yakni ilmu yang menggabungkan antara dua ilmu, yaitu psikologi dan lingusitik (Dardjowidjojo, 2012: 2). Menurut Mar’at, 2011:1 psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan bahasa dan perolehan bahasa oleh manusia. Psikolinguistik umum ialah satu studi mengenai bagaimana pengamatan atau persepsi orang dewasa tentang bahasa dan bagaimana ia memproduksi bahasa. Ilmu psikolinguistik sudah ada sejak abad 20 tatkala psikolog Jerman Wilhelm Wundt yang menyatakan “Bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis (Kess dalam Dardjowidjojo, 2012: 2). Pada waktu itu, telaah bahasa mengalami perubahan dari sifatnya yang estetik dan kultural ke suatu pendekatan ilmiah. Di Benua Amerika pun kaitan antara bahasa dan ilmu jiwa juga mulai tumbuh. Aitchison dalam (Dardjowidjojo, 2012: 7) mendifinisikan psikolinguistik sebagai suatu studi tentang bahasa dan minda. Harley dalam (Dardjowidjojo, 2012: 7) menyebutkan, psikolinguistik ialah sebagi suatu studi tentang proses-proses mental dan pemakaian bahasa.” Clark dan Clark dalam (Dardjowidjojo, 2012: 7) menyatakan bahwa psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu komprehensi, psikologi, dan pemerolehan bahasa. Jadi, psikolinguistik ialah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam berbahasa. Pemakaian bahasa merupakan cerminan kemampuan, hanya manusialah yang dapat melakukannya. Dalam berbahasa kita seringkali melakukan kesalahan ucap atau keliru dalam berbicara yang disebut juga dengan kilir lidah. Namun, pilihan kata yang keliru pastinya tidak akan jauh dari kata yang diinginkan. Kalau kita bermaksud mengucapkan imunisasi misalnya, kemungkinan kata yang terucap menjadi imunisiasi. Tidak mungkin kata yang muncul terlalu jauh dari yang dimaksud, misalnya imunisasi jadi kolonisasi, dll. 2. Tahapan Psikolinguistik Kess dalam (Dardjowidjojo, 2012: 3) menyatakan ada empat tahap dalam perkembangan psikologi, sebagai berikut. a. Formatif Pada tahapan formatif ini para ahli banyak melakukan hal yang berhubungan dengan ilmu jiwa dan ilmu bahasa yang menyimpulkan bahwa kedua keilmuan tersebut memiliki hubungan erat satu sama lain. Akhirnya, pada saat itulah psikolinguistik pertama kali digunakan. b. Linguistik Perkembangan ilmu linguistik yang awalnya berorientasi pada aliran behaviorisme kemudian menjadi nativisme pada 1957 dengan diterbitkannya buku Chomsky, syntatic structures mengkritik aliran behavioristik B.F. Skinner yang membuat psikolinguistik banyak diminati. Hal ini makin berkembang karena pandangan Chomsky tentang universal bahasa makin mengarah pada pemerolehan bahasa, khususnya pertanyaan “mengapa anak di manapun juga memperoleh bahasa mereka dengan memakai strategi yang sama.” Studi dalam neurolinguistik menunjukkan bahwa manusia ditakdirkan memiliki otak yang berbeda dengan primata lain, baik secara struktur maupun fungsinya. Pada manusia ada bagian-bagian otak yang khsusus untuk kebahasaan, sedangkan pada primata lain tidak ada. Dari segi biologi manusia juga ditakdirkan memiliki struktur biologi yang berbeda dengan binatang. Mulut manusia memungkinkan manusia untuk mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda. Ukuran ruang mulut dalam bandingannya dengan lidah, kelenturan lidah, dan tipisnya bibir membuat manusia mampu untuk mengerak-gerakkannya secara mudah untuk menghasilkan bunyibunyi yang distingtif. Biolingusitik merupakan ilmu hibrida antara biologi dan linguistik. Ilmu ini menjawab lima pertanyaan sentral seperti yang dikemukakan oleh Chomsky: 1) Apa yang dimaksud dengan pengetahuan bahasa (knowledge of language)? Hal ini merujuk pada pengetahuan kebahasaan manusia, yaitu pengetahuan seperti apa yang dimiliki manusia sehingga dapat berbahasa. 2) Bagiamana pengetahuan itu diperoleh? Dalam kaitannya dengan pertanyaan di atas, yakni dari mana datangnya pengetahuan itu. Apakah pengetahuan sudah ada sejak manusia dilahirkan (innate) atau diperoleh dari lingkungan. 3) Bagaimana pengetahuan diterapkan? Pertanyaan ini menjawab masalah bagaimana pengetahuan yang dimiliki diterapkan pada data yang masuk. Parameter apa yang digunakan untuk mengolah input yang masuk. 4) Mekanisme otak mana yang relevan? Pertanyaan ini menyangkut peran otak manusia yang membedakannya dari otak binatang. 5) Bagaimana pengetahuan ini berperan pada species manusia? 6) Pertanyaan ini merujuk pada ihwal yang membedakan manusia dari binatang, yakni apakah pengetahuan dan kemampuan berbahasa itu milik ekslusif manusia? Keterkaitan antara bahasa dan neurobiologi ini mendukung pandangan Chomsky yang mengatakan, pertumbuhan bahasa pada manusia terprogram secara genetik. Waktu dilahirkan manusia sudah dibekali kapling minda yang salah satu bagiannya khusus diciptakan untuk pemerolehan bahasa. Menurut Chomsky, manusia memiliki bekal kodrati (innate properties) waktu lahir dan bekal inilah yang kemudian membuatnya mampu untuk mengembangkan bahasa. Orang telah banyak melakukan penelitian dan mencoba mengajar binatang untuk berbahasa, tetapi tidak ada yang berhasil. Ketidakberhasilan ini membuktikan bahwa pemerolehan bahasa bersifat unik untuk manusia. Hanya manusialah yang dapat berbahasa. Makhluk lain dapat melakukan banyak hal, seperti yang dilakukan manusia, tetapi kemampuan mereka terbatas hanya pada ihwal nonverbal. c. Kognitif Pada tahap ini, psikolinguistik mulai mengarah pada peran kognisi dan landasan biologis manusia dalam pemerolehan bahasa. Chomsky mengatakan, linguis sebenarnya adalah psikologi kognitif. Di sini orang mulai membicarakan operan bilogi dalam bahasa karena mereka merasakan biologi merupakan landasan bahasa itu tumbuh. Chomsky dan Lenneberg mengatakan, pertumbuhan bahasa seorang manusia terkait secara genetik dengan pertumbuhan biologinya. d. Teori Psikolingusitik Pada tahapan ini psikolinguistik tidak lagi terdiri dari psiko dan linguistik, tetapi juga menyangkut ilmu-ilmu lain, seperti neurologi, filsafat, primatologi, dan genetika. Neurologi mempunyai peran yang sangat erat dengan bahasa karena kemampuan manusia berbahasa ternyata bukan karena lingkungan, tetapi karena kodrat neurologis yang dibawanya sejak lahir. Primatologi dan genetika mengkaji sampai seberapa jauh bahasa itu milik khusus manusia dan bagaimana genetika terkait dengan pertumbuhan bahasa. C. PENUTUP 1. Rangkuman Psikolinguistik ialah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam berbahasa. Pemakaian bahasa merupakan cerminan kemampuan, hanya manusialah yang dapat melakukannya.Pertumbuhan bahasa pada manusia terprogram secara genetik. Waktu dilahirkan manusia sudah dibekali kapling minda yang salah satu bagiannya khusus diciptakan untuk pemerolehan bahasa. Menurut Chomsky, manusia memiliki bekal kodrati (innate properties) waktu lahir dan bekal inilah yang kemudian membuatnya mampu untuk mengembangkan bahasa. Neurologi mempunyai peran yang sangat erat dengan bahasa karena kemampuan manusia berbahasa ternyata bukan karena lingkungan, tetapi karena kodrat neurologis yang dibawanya sejak lahir. Primatologi dan genetika mengkaji sampai seberapa jauh bahasa itu milik khusus manusia dan bagaimana genetika terkait dengan pertumbuhan bahasa. 2. Latihan Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jelas dan lengkap! a) Apa yang dimaksud ilmu psikolinguistik? b) Bidang ilmu apa saja yang memiliki kaitan erat dengan ilmu psikolinguistik? c) Sejak kapan telaah bahasa mengalami perubahan dari sifatnya yang estetik dan kultural ke suatu pendekatan ilmiah? d) Mengapa neurologi mempunyai peran yang sangat erat dengan bahasa? e) Mengapa pemerolehan bahasa yang digagas Chomsky semakin berkembang dibandingkan gagasan yang diungakpakan oleh pakar linguistik lain? BAB 2 HAKIKAT BAHASA MANUSIA A. PENDAHULUAN Ruang lingkup isi dari Bab 2 meliputi: 1) Hakikat Bahasa Manusia, 2) Fungsi Bahasa dan 3) Proses Berbahasa secara reseptif dan produktif 1. Kompetensi dasar Memahami hakikat bahasa, fungsi bahasa, dan proses berbahasa secara reseptif dan produktif. 2. Tujuan Pembelajaran Dengan membaca dan memahami bab2 diharapkan Anda memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai hakikat bahasa manusia. 3. Indikator Menjelaskan hakikat dan fungsi bahasa. Menentukan proses berbahasa secara reseptif dan produktif. B. URAIAN MATERI 1. Hakikat Bahasa Manusia Seperti kita ketahui bahwa selama ini para pakar linguistik mendeskripsikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer untuk berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa bukan merupakan sistem tunggal, melainkan dibangun oleh berbagai subsistem (subsistem fonologi, sintaksis, dan leksikon). Sistem lambang bahasa itu berupa bunyi tidak berupa gambar atau tanda lainnya. Bunyi itu adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sama halnya dengan sistem lambang lain, sistem lambang bahasa bersifat arbitrer. Artinya antara lambang yang berupa bunyi itu tidak memiliki hubungan wajib dengan konsep yang dilambangkannya. Contoh mengapa, bianatang yang berleher dan berkaki panjang bernama jerapah. Hal tersebut tidaklah bisa djelaskan. Namun, dengan perkembangan bahasa karena bahasa bersifat dinamis nama jerapah mungkin saja berubah menjadi lambang bunyi yang lain. Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap lambang bahasa, baik kata, frasa, klausa, kalimat, maupun wacana memiliki makna tertentu yang suatu saat bisa berubah. 2. Fungsi Bahasa Menurut Chaer, 2009: 33 mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat interaksi sosial sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, dan perasaan. Kinneavy dalam Chaer: 2009: 33 menyebutkan bahwa bahasa mencakup lima fungsi dasar, yaitu: a. fungsi ekspresi; b. fungsi informasi c. fungsi eksplorasi; d. fungsi persuasi; e. fungsi entertainmen. Bahasa merupakan alat untuk melahirkan beragam ungkapan yang ingin disampaiakan. Bisa ungkapan sedih, bahagia, senang, benci, marah, kagum, jengkel, dan lain-lain yang semuanya diungkapkan dengan bahasa. Tentu saja mimik atau gerak tubuh dan tingkah laku juga berperan penting dalam pengungkapan ekspresi. Fungsi informasi adalah fungsi untuk menyampaikan pesan atau amanat kepada orang lain. Fungsi ekspresi adalah penggunaan bahasa untuk menjelaskan suatu hal, perkara, dan keadaan. Fungsi persuasi adalah penggunaan bahasa yang bersifat memengaruhi atau mengajak orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara baik-baik. Fungsi entertaimen adalah penggunaan bahasa dengan maksud menghibur, menyenangkan, atau memuaskan perasaan batin. Dalam berkomunikasi antarindividu setiap kalimat yang diucapkan mempunyai fungsi khusus. Fungsinya dapat memberitahukan, menanyakan, atau memperingatkan tentang suatu fakta. Dalam berkomunikasi, pembicara mengharapkan dari kalimat yang diucapkan pembicara tersebut. Tiga aspek penting fungsi bahasa, yakni: a. speech act; b. propositional content; c. thematic structure. Speech Act Pada saat seseorang sedang berbicara, ia sebenarnya memperlihatkan suatu speech act tertentu yang action-nya bisa berupa meyakinkan, meminta, memerintah, bersumpah, atupun berjanji. Dalam berbicara dapat dilakuakn secara langsung maupun tidak langsung. Contoh kalimat langsung: Belikan buku tulis di toko depan masjid. Contoh kalimat tidak langsung: Hari ini cuaca sangat panas, ada yang bisa menyalakan AC? Pada umumnya, speech act yang sering dijumpai adalah bertanya, memberitahukan, dan perintah. Dalam bertutur untuk menemukan fungsi yang dimaksud peran intonasi dan konteks pembicaraan mempunyai peranan penting dalam membantu pendengar. Peranan berpikir dan fungsi-fungsi penting lainnya dapat membantu menentukan bagaimana suatu kalimat dimengerti fungsinya oleh pendengar sebagai kalimat perintah atau memberitahu. Thematic Structure Thematic Structure ialah penilaian tentang keadaan mental (mental state) pendengar pada saat seseorang berbicara. Seorang pembicara harus dapat memperkirakan apa yang sebenarnya ada dalam pikiran pendengarnya pada waktu sedang berbicara. Pembicara pun harus dapat memperkirakan hal-hal apa yang sudah diketahui atau belum diketahui oleh pendengarnya. Oleh karena itu, pembicara tidak perlu menceritakan sesuatu yang telah diketahui oleh pendengar dan hal-hal yang belum diketahuinya. Seorang pembicara pun harus dapat mengarahkan percakapan karena masing-masing penutur ingin memuaskan apa yang diinginkan oleh pembicara dan pendengar. ` Thematic Structure mempunyai fungsi sama pada semua bahasa yang umumnya mempunyai tiga fungsi utama. 1. Menyampaikan informasi baru dan informasi lama (informasi yang sudah ada). 2. Menyampaikan subjek dan predikat. 3. Menyampaikan kerangka (frame) dan sisipan (insert). (Clark & Clark dalam Mar’at 2011: 33) Dalam menyampaikan atau menggunakan kalimat pembicara harus mempertimbangkan bermacam-macam hal dan harus melakukan kerjasama dengan pendengarnya. Bentuk dan isi kalimat akan ditentukan oleh informasi tentang apa yang sudah diketahui dan yang harus disampaikan. Hal penting lainnya juga harus menetapkan pokok pembicaraan (subjek) dan keterangan (predikat) untuk pebicaraan tersebut. Dalam suatu pembicaraan, informasi baru itu akan diberi tekanan suara (vocal stress) pada bagian kalimat tertentu, misalnya dengan nada tinggi atau dengan jeda. Selain tekanan suara sebagai tanda adanya informasi baru, predikatdalam kalimat biasanya juga merupakan informasi baru, sedangkan subjek merupakan informasi yang sudah ada. Hal ini disebabkan bahwa dalam suatu pembicaraan biasanya pendengar mengetahui tentang hal yang dibicarakan (subjek) oleh pembicara, tetapi belum mengetahui keterangan tentangnya. Propositional Content Kalimat yang dipilih harus merefleksikan jalan pikiran pembicara mengenai objek, kejadian, dan fakta yang ada seperti dimaksudkan oleh speech act karena pembicara ingin menyampaikan ide-ide tertentu kepada pendengarnya. Jadi, kalimat itu mempunyai fungsi memerinci ide-ide yang menjadi kerangka speech act yang disebut sebagai a ideationalcontent dari sebuah kalimat. Hal tersebut dalam ilmu psikolinguistik disebut propositional content. Jika pendengar dapat menangkap ide yang terdapat dalam sebuah kalimat, berarti sebuah kalimat tersebut atau propositional content-nya sudah memenuhi syarat sebagai proper idea. Jadi, propositional content dalam suatu kalimat merupakan kombinasi dari proposisi yang diekspresikan ( Clark & Clark dalam Mar’at 2011: 34). 3. Proses Berbahasa Proses mental yang terjadi pada waktu berbicara atau pun proses mental yang menjadi dasar pada waktu mendengar, mengerti, dan mengingat dapat diterangkan dengan suatu sistem kognitif yang ada pada manusia. Sama halnya dengan kemampuan berpikir, bercakap-cakap, bersuara, dan bersiul, berbahasa pun merupakan salah satu perilaku dari kemampuan manusia. Berbahasa merupakan gabungan antara dua proses, yaitu proses produktif dan reseptif. Proses produktif berlangsung padadiri pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa. Proses produksi atau proses rancangan berbahasa yang disebut encode, sedangkan proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebut proses dekode. Kode diartikan sebagai isyarat atau tanda dalam penyampaian informasi, sedangkan enkode berarti peristiwa atau proses pemunculan kode tersebut dan dekode berarti peristiwa atau proses penerimaan kode. Proses rancangan berbahasa produktif dimulai dengan enkode semantik, yakni proses penyusunan konsep, ide, atau pengertian. Selanjutnya, enkode gramatikal, yakni penyususnan ide atau kosep dalam bentuk satuan gramatikal. Diteruskan dengan enkode fonologi ialah penyusunan unsur bunyi dari kode itu. Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi ialah penerimaan unsur-unsur bunyi melalui telinga pendengar. dilanjutkan dengan dekode gramatikal adalah pemahamn bunyi tentang satuan gramatikal. Diakhiri dengan dekode semantik adalah pemahaman akan konsep-konsep atau ide yang yang dibawa oleh kode tersebut. Di antara proses enkode dan dekode terjadilah proses transmisi ialah pemindahan atau pengiriman kode yang terdiri atas ujaran manusia yang disebut kode bahasa. Proses ini terjadi anatar mulut mansia hingga telinga pendengarnya. Proses dari semua itu terjadilah yang disebut dengan proses komunikasi. Proses berbahasa produktif dan reseptif dapat dianalisis dengan pendekatan perilaku (behaviourisme) dan pendekatan kognitif. Proses berbahasa merupakan proses komunikasi yang bermakna dan berguna. Jadi, yang dikomunikasikan dan ditangkap atau diterima adalah juga makna yang berupa pesan atau perasaan. Hal yang dikembangkan dalam pembelajaran bahasa adalah pendekatan komunikatif. Kegiatan menghasilkan berita, pesan, dan amanat disebut produktif. Adapun proses menerima berita, pesan, atau amanat disebut proses reseptif. Proses produktif dimulai dengan tahapan pemunculan ide,gagasan, atau perasaan, dan apa pun yang ada dalam pemikiran pembicara yang disebut dengan tahap idealisasi. Selanjutnya, ada tahap perancangan yakni pemilihan bentuk-bentuk bahasa untuk mewadahi gagasan, ide, ataupun perasaan. Perancangan ini meliputi komponen bahasa sintaksis, semantik, dan fonologi. Manusia mempunyai suatu sistem penggunaan bahasa dan psikologi bahasa mempelajari cara kerja sistem tersebut. Sistem ini dapat menerangkan bagaimana manusia dapat menyampaikan pikiran dengan isi pikiran atau makna suatu kalimat yang diucapkan atau ditulis (persepsi bahasa). G. Kempen mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan perihal persepsi dan produksi bahasa. Model tersebut menjelaskan bahwa setiap penggunaan bahasa itu terdiri dari sistem bagian-bagian yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain secara erat dan masing-masing bagian memiliki tugas berbeda. Fungsi setiap sistem dalam pemakaian bahasa bertujuan mengenal bunyi-bunyi, analisis kalimat, sistem konseptual, artikulator, dan leksikol. 1. Mengenal Bunyi-Bunyi (The Speech Recognize) Sistem ini berfungsi untuk mengenal bunyi-bunyi yang diucapkan manusia sebagai suatu bahasa tertentu. Langkah pertama untuk mengerti pembicaraan lawan tutur adalah dengan jalan mengenal atau mendeteksi adanya kesatuan fonologi yang berupa fonem-fonem dari sinyal-sinyal bicara yang kita tangkap. Jadi, serentetan bunyi-bunyi merupakan ujaran yang kita dengar. Untuk itu, kita harus tahu fonem-fonem yang ada dalam bahasa tersebut. Di samping sinyal bicara, peranan sistem lainnya dalam model tersebut sangat penting untuk membantu identitas sinyal tersebut. 2. Analisis Kalimat atau Parser Fungsi analaisis kalimat adalah menganalisis struktur kalimat. Ia harus dapat mendeteksi bagaimana hasil proses kerjasama antara tiga sistem, yaitu antara speech recognizer (pengenalan bunyi), sistem konsepsi, dan leksikan (kamus dalam sistem kognisi). Menurut G. Kempen, ada dua proses analisis yang terjadi secara stimulan, yakni: a. Conceptually Guided Analysis, yaitu mencari arti untuk yang diidentifikasikan itu, dengan bantuan konteksnya dan dari antisipasi si pendengar (proses inferensipendengar). b. Syntactically Guided Analysis, yaitu mencari sifat atau kualitas kata yang diidentifikasi dengan jalan membuat kalimat sedemikian rupa sampai struktur kalimat tersebut mempunyai arti. 3. Sistem Konseptual (The Conceptual System) Sistem konseptual merupakan inti dari penggunaan bahasa oleh manusia. Hal tersebut terjadi karena proses berpikir yang mendasari tingkah laku manusia, seperti problem solving (pemecahan masalah), decision making (membuat keputusan), penggunaan bahasa, dan lain-lain terdapat dalam sistem konseptual. Sistem konseptual menyangkut dua hal penting, yaitu: a. adanya pengertian-pengertian atau konsep-konsep; b. adanya alat-alat operasional untuk konsep-konsep tersebut. Adabeberapa kategori dari konsep-konsep dalam jaringan tersebut, yaitu: a. Konseptual nominal (nominal concept) = N b. Konsep penentu aksi =A c. Konseptual penentu aksi = PA d. Konseptual penentu nominal = PN Konsep-konsep tersebut dalam suatu jaringan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan ini oleh Schank disebut depedencies atau ketergantungan. Schankmengadakan pengelompokan konsep-konsep elementer menjadi tiga kelompok konseptualisasi, yaitu: a. konseptualisasi keadaan (state); b. konseptualisasi perubahan keadaan (state change); c. konseptualisasi kejadian-kejadian (events). Sistem konseptual tidak hanya memproduksi konseptualisasi, melainkan juga dapat membentuk konseptualisasi baru dengan cara inferensi. Inferensi ialah menurunkan suatu kesimpulan baru dari pengertian-pengertian yang sudah ada atau mengubah suatu pengertian yang sudah ada (Kempen dalam Mar’at 2011:40). Mengenai sistem konseptual ini yang dianggap penting dalam psikologi bahasa ialah bagaimana pembicara mengubah struktur konseptual ke dalam sistem konseptual dari pendengar. Hasil dari aktivitas ini adalah terbentuknya struktur konseptual yang sama pada diri si pendengar. 4. Generator Kalimat (The Sentence Generator) Sesudah struktur konseptual terbentuk pada seseorang, selanjutnya bagaimana mengekspresikannya ke dalam bahasa ucapan. Tugas ini dilakukan dalam dua tahapan: a. Memilih tema dari bahan-bahan pembicaraan dan menyusun sedemikian rupa supaya dapat dicerna oleh pendengarnya. Informasi yang ada pada tema ini tidak asing bagi pendengar sehingga ia dapat menangkap isi pembicaraan. b. Formulator mendapat pesan (massage) dari konseptualisator dalam bentuk struktur konseptual yang harus diubahnya ke dalam bentuk ucapan. Untuk itu, terjadi leksikalisasi, struktur kalimat, dll. Selain itu juga agar pembentukan kalimat janggal dihindari. 5. Artikulator Sistem ni berfungsi untuk mengucapkan kata-kata. Artikulator bertugas menyampaikan susunan yang dibentuk oleh generator kalimat pada bagian artikulasi. Aktivitas ini merupakan proses yang cukup rumit. 6. Leksikon Leksikon mental meliputi semua pengetahuan yang dipunyai pemakai bahasa, yang berhubungan dengan kata-kata atau arti kata, ciri morfologi, ciri sintaksis, cara pengucapan, cara mengeja ( Kempen dalam Mar’at, 2011: 41). Tugas leksikon adalah mengerti arti dari suatu pengertian yang ingin atau akan kita ucapkan. Oleh karena itu, akan dicari dalam “kamus mental” yang ada dalam sistem kognitif. Selain itu, ia juga harus memperhatikan informais-informasi apa saja yang sudah ada, misalnya: a. Informasi tentang fonologi, yaitu bagaimana suatu kata harus diucapkan. b. Informasi tentang sintaksis, yaitu jenis kata dan tempatnya dala suatu kalimat. C. PENUTUP 1. Rangkuman Sama halnya dengan sistem lambang lain, sistem lambang bahasa bersifat arbitrer atau mana suka. Artinya antara lambang yang berupa bunyi itu tidak memiliki hubungan wajib dengan konsep yang dilambangkannya.Berbahasa merupakan gabungan antara dua proses, yaitu proses produktif dan reseptif. Proses produktif berlangsung pada diri pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa. Proses produksi atau proses rancangan berbahasa yang disebut encode, sedangkan proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebut proses dekode. Kode diartikan sebagai isyarat atau tanda dalam penyampaian informasi, sedangkan enkode berarti peristiwa atau proses pemunculan kode tersebut dan dekode berarti peristiwa atau proses penerimaan kode. Setiap lambang bahasa, baik kata, frasa, klausa, kalimat, maupun wacana memiliki makna tertentu yang suatu saat bisa berubah. Fungsi setiap sistem dalam pemakaian bahasa bertujuan mengenal bunyi-bunyi, analisis kalimat, sistem konseptual, artikulator, dan leksikol. 2. Latihan Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jelas dan lengkap! a) Para pakar linguistik mendeskripsikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer. Jelaskan yang dimaksud dengan makna arbitrer? b) Mengapa setiap lambang bahasa, baik kata, frasa, klausa, kalimat, maupun wacana memiliki makna tertentu yang suatu saat bisa berubah? c) Sebutkan lima fungsi dasar bahasa menurut Kinneavy! d) Apa yang dimaksud dengan fungsi khusus bahasa dalam berkomunikasi? e) Dalam berbahasa manusia mempunyai sistem psikologi. Jelaskan dengan sistem psikologi tersebut! BAB 3 BERBAHASA DAN BERPIKIR A. PENDAHULUAN Ruang lingkup isi dari Bab 3 meliputi: 1) Berbahasa dan berpikir, 2) Pengaruh Bahasa terhadap pikiran, 3) Otak manusia sebagai pusat bahasa dan 4) Hipotesis Shafir Worf tentang Bahasa dan Pikiran. 1. Kompetensi dasar Memahami berbahasa dan berpikir, pengaruh bahasa terhadap pikiran,otak manusia sebagai pusat bahasa dan hipotesis shafir worf tentang bahasa dan pikiran. Tujuan Pembelajaran Dengan membaca dan memahami bab3 diharapkan Anda memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai berbahasa dan berpikir. 2. Indikator Menjelaskan berbahasa dan berpikir. Menjelaskan pengaruh bahasaterhadap pikiran. Menjelaskan otak manusia sebagai pusat bahasa. Menjelaskan Hipotesis Shafir Worf tentang Bahasa dan Pikiran. B. URAIAN MATERI 1. Berbahasa dan Berpikir Jika kita berbicara tentang bahasa dan pikiran, yang muncul dalam benak kita adalah bagaimana kaitannya antara bahasa dan pikiran. Sekaitan dengan hal tersebut maka muncullah berbagi pertanyaan. a. Apakah kita memakai pikiran saat berbahasa. b. Dapatkah kita berbahasa tanpa pikiran atau mungkin sebaliknya? c. Dapatkah kita berpikir tanpa bahasa? d. Apakah bahasa memengaruhi cara kita berpikir? e. Apakah cara kita berpikir juga menentukan bahasa? Sebagai ilustrasi, dalam setiap permainan, apakah kita memakai bahasa dalam memperhitungkah langkah –langkah atau strategi? Pada masa lalu tentang hubungan antara pikiran dan bahasa ini banyak diperbincangkan oleh para filosof. Walaupun di antara mereka tidak ada kesepakatan karena sebagian mereka masih berpandangan bahwa orang dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, sementara yang lain berpandangan bahwa orang dapat berpikir pasti menggunakan bahasa. Bahkan, Muller dalam Dardjowidjojo, 2012: 283 berpendapat bahwa bahasa dan pikiran tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan hasil penelitian Piaget dalam Dardjowidjojo, 2012: 283 terhadap anak-anak untuk menemukan bagiamana keterkaitan bahasa dan pikiran, ditemukan bahwa ada dua macam modus pikiran. Ada yang disebut dengan pikiran terarah (directed) atau pikiran inteligent dan pikiran tak terarah atau pikirn autistik (autistic). Pieget dalam Dardjowidjojo, 2012: 283 yakin bahwa ketika anak sedang berbicara kepada orang lain maupun kepada dirinya terjadi munikabilitas. Bentuk tengah ini dia namakan sebagai pikiran egisentris dan bentuk bahasanya sebagai bahasa egosentris. Bahkan menurutnya, semakin besar sosialisasi anak, ujaran-ujaran egosentrisnya akan semakin mengecil dan lama kelamaan akan hilang. Berbeda dengan psikolog Rusi Vygotsky dalam Dardjowidjojo, 2012: 283 yang berpandangan bahwa ujaran egosentris tidak akan hilang, tetapi mengalami transformasi genetik dan berubah menjadi inner speech. Inner speech dan eksternal speech harus memanfaatkan bunyi karena ujaran hanya dapat terwujud dengan bunyi fonetik. Jadi, pada saat anak-anak tumbuh, berpikir yang terujarka menjadi makin kecil dan setelah dewasa, berpikir tidak lagi dilakukan dengan memakai kata-kata yang terujarkan. Jarak yang makin jauh antara inner speech dan bunyi fonetik yang dipakai untuk mewakilinya mempercepat proses berpikirnya. Universal Versus Relativitas Pengertian bahwa bahasa dan pikiran saling terkait, telah lama juga diperbincangkan tentang pengaruh bahasa terhadap pikiran. Pemikiran tersebut dimulai di Jerman pada abad ke-18 oleh Johan Herder dalam Dardjowidjojo, 2012: 284. Dengan memperhatikan bahasa-bahasa Indian yang merupakan rumpun di luar rumpun Indo – Eropa Boas Dardjowidjojo, 2012: 284 melihat bahwa cara berpikir orang-orang dipengaruhi oleh struktur bahasa yang mereka pakai. Jadi, bahasa mampu membimbing mereka untuk melihat dan mengategorikan fenomena alam sekitarnya. Konsep yang sama dapat diterapkan pada bahasa-bahasa di Indonesia. Sebagai contoh, orang Sunda memiliki variasi yang sangat banyak kategori untuk nasi, seperti pare, beas, beunyeur, sangu, serah, dll. Dengan bahasa seperi ini, orang Sunda memandang dunia makanan sangat berbeda dengan negara lain, misalnya Amerika yang hasnya mengenal rice. Orang Amerika tidak akan dapat mengungkapkan pikiran orang Sunda yang dalam kalimat bahasa Sunda Mun dahar sanguna haneut, pasti ngeunah wae. Kalau makan nasinya hangat, pasti selalu enak. Pandangan atau hipotesis yang mengatakan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir penuturnya dirujuk dengan nama hipotese relativitas lingusitic. Boas dalam Dardjowidjojo, 2012: 283 memberikan tiga argumen untuk mendukung hipotesisnya, yaitu. 1. Bahasa mengklasisfikasikan pengalaman Pengalaman manusia tidak ada batasnya. Karena itu, bahasa harus membagi pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam kelompok yang sama atau mirip demi terwujudnya ujaran. 2. Bahasa yang berbeda-beda mengklasifikasikan pengalaman dengan cara yang berbeda pula Berbeda dengan ilustrasi tentang nasi di atas, orang Sunda hanya mengaenal kata roti, sedangkan orang Amerika mengenal lebih banyak kata untuk kategori roti, yaitu bread, sandwich, loaf, toast, dan crumb. 3. Fenomina linguistik bersifat taksadar, mungkin karena produksi ujaran bersifat otomatis. Hal ini berbeda dengan fenomina-fenomina lain yang umumnya disadari oleh orang yang mengalaminya. Kita dapat dengan sadar dan otomatis menggunakan kata menikahi seperti dalam kalimatAhsan menikahi Ina kemarin. Kita sadar akan adanya aturan bahwa subjek untuk menikahi haruslah seorang pria. Hal ini mungkin berbeda denga yang ada di negara lain. Hipotesis relativitas linguistik bermula dari Boas, tetapi orang yang paling gigih mengumandangkan teori ini adalah Whorf. Whorf Dardjowidjojo, 2012: 286 mengatakan bahwa kita membelah dunia sesuai dengan bahasa yang kita pakai. Penggagas lain, yaitu Edward Sapir dalam Dardjowidjojo, 2012: 286 mengatakan bahwa sebenarnya kita hidup atas belas kasihan bahasa. Penelitian kedua tokoh tersebut menghasilkan hipotese reativitas linguistik yang dikenal dengan Hipotese Sapir-Whorf. Hipotese Sapir-Whorf memunculkan kontroversi dalam dua hal: 1. Apakah benar bahwa struktur bahsa mennetukan cara kita berpikir dan bukan malah sebaliknya? 2. Bukankah justru pikiran kita yang justru menentukan struktur bahasa? Sehubungan dengan adanya kontroversi tersebut, pandangan Humboldt dalam Sapir-Whorf merupakan penengah dari kontroversi yang mengatakan bahwa manusia pada mulanya memang memakai pikiran untuk mengategorikan dunia dan mencantumkannya dalam bahasa. Akan tetapi, begitu bahasa itu terbentuk manusia menjadi terikat oleh sesuatu yang mereka ciptakan sendiri. Kontroversi kedua adalah dalam kaitannya dengan universal bahasa. Kalau anak dapat memperoleh bahasa manapun yang diterimanya dan strategi dalam pemerolehan itu sama bagi semua anak di manapun. Pada bahasa manapaun ada kata-kata yang termasuk kategori nomina, ada juga yang verba. Pada bahasa manapun ada aturan yang mengurutkan entitas yang universal. Keuniversalan ini sudah ada pada manusia sejak lahir sehingga tidak perlu dipelajari. Hal yang perlu dipelajari adalah bagaimana urutan itu dilakuakna pada bahasa yang sedang dipelajari anak – verba lalu nomina atau nomina lalu verba. Kompleksitas dalam Ujaran dan Pikiran Pada umumnya suatu ujaran yang kompleks akan dinyatakan dalam kalimat yang kompleks pula. Kalimat yang komplek akan mengungkapkan pikiran secara kompleks. Kompleksitas makna dalama kalimat kompleks muncul karena dalam suatu kalimat selalu terdapat proposisi yang jumlahnya lebih banyak. Proposisi tersebut dapat dipadatkan dengan piranti yang diguankan untuk menambahkan anak kalimat pada induk kalimat. Secara teoretis, kalimat dapat diperpanjang tanpa batas dengan menggunakan kalimat relatif selama kalimat tersebut berkahiran nomina. 2. Otak Manusia Sebagai Pusat Bahasa Sudah sejak lama para ilmuwan membahas tentang otak dan bahasa, seperti Aristoteles dan Leonardo da Vinci. Berdasarkan struktur otak, tergambarkan bahwa otak memegang peranan sangat penting dalam berbahasa. Setelah diteriima, dicerna, dan diolah maka bunyi bahasa itu akan dikirim ke daerah wernicke untuk diinterpretasikan. Di wernicklah bunyi-bunyi bahasa dipilah-pilah menjad sukukata, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Setelah dipahami dan diberi makna ada dua jalur masukan. Jika masukannya hanya berupa informasi yang tidak perlu ditanggapi masukannya cukup disimpan dalam memori karena mungkin suatu saat nanti informasi itu diperlukan lagi. Jika masukan itu perlu ditanggapi secara verbal, interpretasinya dikirimke daerah broca melalui fasikulus arkuat. Di daerah brocaprosespenanggapan dimulai. Jika telah diputuskan, bunyi verba itu seperti apa, daerah broca akan memerintahkan motor korteks untuk melaksanakannya. Dalam hal ini, motor korteks harus mempertimbangkan tidak hanya berupa urutan kata dan urutan bunyi, tetapi juga urutan dari fitur-fitur pada tiap bunyi yang harus diujarkan. Contoh: Dia datang terlambat Perpindahan bunyi /d/ ke /i/ kemudia ke /a/ untuk kata dia juga memerlukan koordinasi yang sangat akurat. Ujung lidah yang menempel pada daerah alveolar di mulut untuk bunyi /d/ yang harus dengan tepat berubah bentuk menjadi lengkung dan tinggi depan untuk /i/. Hal tersebut harus dikoordinasikan dengan rapi sehingga hasilnya benarbenar mencerminkan bunyi yang natif. Tanpa adanya ketepan seperti ini, ucapan para pembicara akan kedengaran seprti orang asing. Masukan itu tidak harus berbentuk lisan karena bisa saja berbentuk tulisan maka jalur pemprosesanya pun akan berbeda. Masukannya tidak ditanggapi oleh korteks primer pendengaran, tetapi oleh korteks visual di lobe osipital. Masukannya tidak langsung dikirim ke daerah wernicke, tetapi harus melewati girus anguler yang mengoordinasikan daerah pemahaman dengan daerah opisital. Proses selanjutnya, input tadi dipahami oleh daerah wernicke kemudian dikirim ke daerah broca jika diperlukan tanggapan verbal. Jika tanggaannya berupa visual, informasi dikirim ke daerah parietal untuk memproses visualisasi. 3. Hipotesis Sapir-Worf Tentang Bahasa Dan Pikiran Sapir dalam Chaer, 2009: 52 mengatakan bahwa manusia dalam hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Sapir juga mengatakan bahwa segala hal yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang merupakan sifat-sifat atau tabiat bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahulu. Lee Worf dalam Chaer 2009: 52 mengatakan bahwa bahasa dan berpikir tidak bisa berdiri sendiri. jadi, bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling diterjemahkan satu sama lain. Menurut Whorf, sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyeruakan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu merupakan program kegiatan mental seseorang. Dengan demikian, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang. Setelah melakukan penelitian terhadap bahasa Hopi (bahasa Indian di California, Amerika Serikat, Worf mengajukan hipotesis yang disebut dengan hipotesis Sapir-Whorf mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis tersebut bahwa bahasa-bahasa yang berbeda “membedah” alam ini dengan cara yang berbeda sehingga tercipta satu relativitas sistem konsep yang bergantung pada bahasa yang beragam. Tata bahasa suatu bahasa bukan merupakan alat untuk mengeluarkan bermacam-macam ide, tetapi merupakan pembentuk ide. Tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran, bukan kata-kata. Jadi, menurut hipotesis Sapir-Whorf bahwa hidup dan pandangan hidup bangsabangsa di Asia itu sama karena mereka mempunyai struktur yang sama. Namun, hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa Cina, Jepang, Eropa, dan Amerika berbeda karena struktur bahasa mereka berbeda. C. PENUTUP 1. Rangkuman Bahasa dan pikiran memegang peranan penting dan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Cara berpikir orang-orang dipengaruhi oleh struktur bahasa yang mereka pakai. Bahasa mampu membimbing mereka untuk melihat dan mengategorikan fenomena alam sekitarnya. Hipotese relativitas linguistik yang paling terkenal adalah Hipotese Sapir-Whorf yang memunculkan kontroversi. Sehubungan dengan adanya kontroversi tersebut, pandangan Humboldt merupakan penengah dari kontroversi yang mengatakan bahwa manusia pada mulanya memang memakai pikiran untuk mengategorikan dunia dan mencantumkannya dalam bahasa. Akan tetapi, begitu bahasa itu terbentuk manusia menjadi terikat oleh sesuatu yang mereka ciptakan sendiri. Lee Worf mengatakan bahwa bahasa dan berpikir tidak bisa berdiri sendiri. Bahasa merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling diterjemahkan satu sama lain. Menurut Whorf, sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyeruakan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu merupakan program kegiatan mental seseorang. Dengan demikian, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang. 2. Latihan Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jelas dan lengkap! a. Bagaimana kaitan antara bahasa dan pikiran? b. Dapatkah bahasa dan pikiran berdiri sendiri, mengapa? Berikan alasannya! c. Jelaskan hipotesis Sapir-Whorf mengenai relativitas bahasa! d. Mengapa hipotese Sapir-Whorf memunculkan kontroversi di kalangan para pakar bahasa? e. Mengapa otak memegang peranan penting dalam BAB 4 PEMEROLEHAN BAHASA A. PENDAHULUAN Ruang lingkup isi dari Bab 4 meliputi: 1) Pengertian dan sejarah singkat pemerolehan bahasa, 2) Teori-teori pemerolehan bahasa dan 3) Beberapa isu dalam pemerolehan bahasa. 1. Kompetensi dasar Memahami pemerolehan bahasa, teori-teori pemerolehan bahasa danbeberapa isu dalam pemerolehan bahasa. 2. Tujuan Pembelajaran Dengan membaca dan memahami bab4 diharapkan Anda memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pemerolehan bahasa. 3. Indikator Menjelaskan Memahami pemerolehan bahasa, teori-teori pemerolehan bahasa danbeberapa isu dalam pemerolehan bahasa. B. URAIAN MATERI 1. Pengertian Pemerolehan Bahasa Istilah pemerolehan bahasa berasal dari bahsa Inggris acquisition yang bermakna proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu anak belajar bahasa ibunya (native language). Berbeda dengan makna pemerolehan, pembelajaran ialah proses (umumnya orang dewasa) yang belajar di kelas. Bahasa ibu ialah bahasa pertama yang dikuasai atau diperoleh anak. Bahasa Indonesia untuk anak dan orang Indonesia adalah bahasa ibu. Begitu juga jika anak Indonesia lahir dan dibesarkan di luar negeri dan dari kecil ia menggunakan bahasa Inggris misalnya, bahasa Inggris adalah bahasa ibunya. 2. Sejarah Singkat Telaah Pemerolehan Bahasa Penelitian terhadap minat bagaimana anak memperoleh bahasa sudah ada sejak lama. Seperti halnya yang sudah dilakaukan oleh raja Mesir pada abad ke-7 sebelum Masehi, Psammetichus dalam Darjdjowidjojo, 2012: 226 yang meminta bawahannya untuk mengisolasi dua anaknya untuk mengetahui bahasa apa yang akan dikuasai anakanaknya. Sebagai raja Mesir, ia berharap bahasa yang digunakan anak-anaknya adalah bahasa Arab, tetapi ternyata harapannya tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada anaknya. Penelitian yang dilakukan terhadap anaknya juga pernah dilakukan oleh Charles Darwin dalam Darjdjowidjojo, 2012: 226 yang meneliti tentang perkembangan bahasa anak lelakinya. Ingram dalam Darjdjowidjojo, 2012: 226 membagi perkembangan studi tentang pemerolehan bahasa dibagi menjadi tiga tahap: a. periode buku harian; b. periode sampel besar; c. periode kajian longitudinal. Periode buku harian berlangsung antara 1876-1926. Pada periode ini, kajian pemerolehan bahasa anak dilakukan dengan jalan mencatat apa pun yang diujarkan anak dalam suatu buku harian. Data yang ada dalam buku harian kemudian dianalisis untuk disimpulkan hasilnya. Periode sampel besar berlangsung dari 1926-1957. Pada periode ini ditandai dengan munculnya aliran baru dalam ilmu jiwa yang bernama behaviorisme yang menekankan peran lingkungan dalam pemerolehan pengetahuan, termasuk pengetahuan bahasa. Dengan pandangan behavioristik, metode kuantitatif dianggap sebagai metode yang paling tepat. Untuk mendapatkan hasil yang benar dan akurat diperlukan sampel besar. Diharapkan dengan sampel besar ini generalitas, hipotese atau hukum yang ditemukan akan lebih benar. Periode kajian longitudinal menurut Ingram dalam Darjdjowidjojo, 2012: 226, periode ini dimulai dengan terbitnya buku Chomsky yang berjudul Syntactic Structure (1975) yang merupakan titik awal tumbuhnya aliran mentalisme atau nativisme pada ilmu linguistik. Aliran yang berawalan dengan behaviourisme ini menegaskan adanya bekal kodrati yang dibawa pada waktu anak dilahirkan. Bekal kodrati inilah yang membuat anak di manapun juga memakai strategi yang sama dalam pemerolahan bahasa. Ciri utama periode ini adalah bahwa studi longitudinal memerlukan jangka panjang karena hal yang diteliti adalah masalah perkembangan yang sedang dikaji dari suatu waktu ke waktu yang lain. 3. Teori-Teori Pemerolehan Bahasa Sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa, yaitu nativisme, behaviourisme, dan kognitivisme. Nativisme berpandangan bahwa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat alamiah (nature). Pandangan behaviourisme berpendapat bahwa penguasan bahasa pada kanak-kanak bersifat “suapan” (nurture). Pandangan ketiga muncul di Eropa dan Jean Piaget dalam Chaer: 2009, 221 berpendapat bahwa penguasaan bahasa adalah kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif dan pandangannya disebut kognitivisme. Pandangan nativisme diwakili oleh Naom Chomsky. Pandangan behaviourisme diwakili oleh B.F. Skinner. Pandangan kognitivisme diwakili oleh Jean Peaget. Pandangan Nativisme Nativisme berpendapat bahwa selama proses pemerolehan bahasa pertama, manusia membuka kemampuan lingualnya secara genetis diprogramkan. Pandangan ini menganggap bahwa bahasa merupakan unsur biologis dan menganggap lingkungan tidak mempunyai pengaruh dalam pemerolehan bahasa. Karena itu, pandangan ini disebut “hipotesis pemberian alam.” Kaum nativisme berpendapat bahwa bahasa itu terlalu rumit dan kompleks sehingga tidak mungkin dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui metode seperti “peniruan” (imitation). Jadi, dalam hal ini sudah ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah. Menurut Chomsky dalam Chaer: 2009, 222 bahwa bahasa itu bukan hanya kompleks, tetapi banyak mengalami kesalahan dalam penyimpangan kaidah dalam hal pengucapan dan pelaksanaan bahasa (performans). Menurut Chomsky dalam Chaer: 2009, 222 bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia karena binatang tidak mungkin menguasai bahasa manusia. Pendapat ini didasarkan pada asumsi sebagai berikut. 1. Perilaku berbahasa merupakan sesuatu yang diturunkan (genetik). Jadi, bahasa bersifat universal karena pola perkembangan bahasa pada semua bahasa dan budaya sama. Lingkungan hanya memiliki peranan kecil dalam proses pematangan bahasa. 2. Bahasa dapat dikuasai dalam waktu singkat. Anak berusia empat tahun sudah dapat berbicara layaknya orang dewasa. 3. Lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data secukupnya bagi penguasaan tata bahsasa yang rumit dari orang dewasa. Pandangan Behaviorisme Kaum behaviorisme berpendapat bahwa proses pemerolahan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri anak, yaitu dari lingkungannya. Istilah bahasa bagi kaum behaviorisme dianggap tidak tepat karena bahasa dianggap sebagi wujud, bukan tindakan. Padahal, bahasa baginya merupakan salah satu perilaku dari sekian banyak perilaku yang ada. Karena itu, kaum behaviorisme menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior). Menurut kaum behavioris, kemampuan berbicara anak dipengaruhi oleh lingkungan. Anak pun menjadi penerima pasif karena tidak memiliki peranan aktif dalam proses perkembangan perilaku verbal. Bahkan, kaum behaviorisme pun tidak mengakui kematangan si anak. Perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya. Menurut Siknner dalam Chaer: 2009, 223 bahwa kaidah gramatikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengtakan sesuatu. Jika anak dapat berbicara bukan karena penguasaan kaidah karena anak tidak dapat mengausai kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor dari luar dirinya. Kaum behavioris tidak mengakui bahwa anak mengusasi bahasa dan memiliki kemampuan mengabstrakan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkungannya. Akan tetapi, lingkungan memperkuat kemampuan berbahasa anak. Pandangan Kognitivisme Jean Piaget dalam Chaer: 2009, 223 mengatakan bahwa bahasa bukan merupakan suatu ciri alamiah yang terpisah, tetapi merupakan saalha satu kemampuan dari kematangan kognitif. Chomsky daam Chaer: 2009, 223 pendapat Piaget yang mengatakan bahwa mekanisme umum dari perkemabngan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Jadi, bahasa itu harus terstruktur dan kaidahnya harus diterimanya secara alamiah. Kalau Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak berpengaruh besar terhadap pada proses pematangan bahasa. Piaget berpendapat bahwa lingkungan juga tidak berpengaruh besar teradap perkembangan intelektual anak. Perkembangan atau perubahan intelektual anak sangat bergantung pada keterlibatan anak secara aktif dengan lingkungannya. Hubungan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa anak menuerut Piaget dalam Chaer: 2009, 224 bahwa tahap perkembangan anak dari lahir sampai berusia 18 bulan disebut sebagai tahap “sensori motor.” Pada tahap ini anak dianggap belum memiliki bahasa karena anak belum menggunakan lambang untuk mengungkapkan sesuatu. Pada tahap ini anak memahami dunia melalui alat indranya (sensory) dan gerak yang dilakukannya (motor). Menjelang usia 13 bulan barulah anak tahu bahwa objek itu ada walaupun tidak ada di depan matanya. Perkembangan bahasa, baik menurut nativisme, kognitivisme, dan behaviorisme selalu berkaitan dengan perkembangan-perkembangan lain yang dialami anak. 4. Beberepa Hipotesisdalam Pemerolehan Bahasa Pemerolehan bahasa atau disebut juga akuisisi bahasa ialah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak-anak ketika dia memperoleh bahasa pertama atau bahasa ibunya. Ada dua prores yang terjadi ketika seorang anak memperoleh bahasanya: a. proses kompetensi; b. proses performansi. Kompetensi ialah proses penguasaan tata bahasa yang terjadi secara tidak disadari. Proses kometemsi merupakan syarat terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan seseorang dalam mengamati kemampuan mempersepsi kalimat yang didengarnya. Kemampuan menerbitkan merupakan kemampuan menerbitkan atau mengeluarkan kalimatnya sendiri. Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau menerbitkan kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan atau pelaksanaan bahasa atau performansi. Pada umumnya komponen pemerolehan bahasa terdiri dari pemerolehan sintaksis, semantik, dan fonologi. Ketiga komponen bahasa diterima dan diperoleh secara bersamaan. Beberapa Hipotesis yang Berkaitan dengan Pemerolehan Bahasa a. Hipotesis Nurani Dalam pemerolehan manusia, yang diperoleh anak-anak adalah kompetensi dan performansi bahasa pertamanya. Komponen yang berupa semantik, sintaksis, dan fonologi adalah yang terlebih dahulu dikuasai anak-anak dalam pemerolehan bahasa. Alat yang digunakan anak-anak untuk memperoleh kemampuan berbahasanya menurut Lenneberg dan Chomsky dalam Chaer, 2009: 168 adalah hipotesis nurani (the innateness hypothesis). Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang menghasilkan sebagai berikut. 1. Semua kanak-kanak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja “diperkenalkan pada bahasa ibunya tersebut. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari bahasa ibunya tersebut. 2. Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kanak-kanak. Artinya, baik anak cerdas maupun yang tidak cerdas tetap akan memperoleh bahasa. 3. Kalimat yang didngar kanak-kanak sering tidak gramatikal, tidak lengkap, dan jumlahnya sedikit. 4. Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain. Hanya manusialah yang dapat berbahasa. 5. Proses pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak di manapun sesuai dengan proses pematangan jiwa knak-kanak. 6. Struktur bahasa sangat kompleks, rumit, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai kanak-kanak dalam waktu singkat, yaitu dalam waktu tiga sampai empat tahun. Jadi, sejak lahir manusia sudah dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Alat yang dimaksud adalah hipotesis nurani (innate: dibawa sejak lahir, berada di dalam, atau semula jadi). Ada dua macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme. Menurut hipotesis nurani bahwa sebagain atau semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari atau diperoleh, tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisme manusia. Hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekaniskme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman. Jadi, perbedaan antara nurani bahasa dan nurani umum adalah kalau hipotesis nurani bahasa menekankan pada terdapatnya suatu benda nurani yang dibawa sejak lahir yang dikuhususkan untuk bahasa dan berbahasa. Hipotesis nurani mekanisme adalah terdapatnya suatu benda nurani berbentuk mekanisme yang umum untuk semua kemampuan manusia. Bahasa dan berbahasa hanyalah sebagian dari yang umum. Mengenai hipotesis nurani bahasa Chomsky dan Miller dalam Chaer: 2009, 169 menyebutkan perlunya alat khusus yang dimiliki setiap anak sejak lahir untuk dapat berbahasa, alatnya itu bernama LAD (Language Acquisition Device) yang berfungsi untuk memungkinkan seorang anak memperoleh bahasa ibunya. Hipotesis ini menjelaskan bahwa sejak lahir anak-anak sudah memperoleh bahasa ibunya. Seorang pakar pemerolehan bahasa Eva Clark dalam Chaer: 2009, 170 menyimpulakn bahwa kanak-kanak tidak mungkin menguasai sintaksis bahasa kalau tidak dianugerahi nurani khusus untuk bahasa bagi tujuan pemerolehan bahasa. Jadi fungsi masukan hanyalah untuk menggiatkan mekanisme nurani yang khas untuk memperoleh bahasa itu. Tanpa mekanisme nurani, pemerolehan bahasa tidak mungkin terjadi. Jadi, yang sangat penting bagi LAD adalah masukan linguistik. Faktor-faktor nonlinguistik, seperti masukan penglihatan, perasaan, dan pengetahuan bukan linguistik tidak begitu penting bagi pemerolehan bahasa. Sekarang ini, hipotesis nurani bahasa lebih dikenal dengan nama nania yang diusulkan oleh Mc. Neil dalam Chaer: 2009, 171 sebagai hipotesis linguistik kuat (strongs linguistic universal)atau versi kuat hipotesis nurani (strongs version of the innatensis hypothesis). Hipotesis nurani mekanisme disebut kesemstaan lingusitik lemah atau versi lemah hipotesis nurani. b. Hipotesis Tabularasa Tabularasa secara harfiah bermakna “kosong” artinya belum ditulis apa-apa. Hipotesis tabularasa menyatakan bahwa pada waktu dilahirkan otak bayi sama seperti kertas kosong yang nantinya akan diisi atau ditulis dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis tabularasa pertama dikenalkan oleh John Locke seorang tokoh empiris yang kemudian dianut dan disebarkan oleh John Watson. Meurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa linguistik yang dialami dan diamatinya. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan lingusitik terdiri dari hanya rangkaian hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran S – R (Stimulus – Respons). Cara pembelajaran S – R yang terkemukan adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi menjadi teori-teori pembelajaran bahasa. Bahasa kanak-kanak berkembang setahap demi setahap, mulai dari bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Menurut teori behaviorisme bahasa adalah sekumpulan tabiat atau perilaku yang akan dituliskan pada kertas kosong tabularasa otak anak karena saat pertamakali perkemabangan/pemerolahan bahasanya selalu diberi ganjaran beruapa hadiah. Menurut pakar teori generatif transformasi, teori behaviorisme tidak mampu menerangkan proses pemerolehan bahasa. Kritik dari pakar teori generatif tranformasi, terutama dari Chomsky membuat Jenskin melontarkan penjelasan mengenai kreativitas bahasa berdasarkan kerangka behaviorisme. Jenkin memperkenalkan satu teori yang disebut teori mediasi atau penengah yang disebut rantaian respons (respons chaining). Faktor mediasi yang dimainkan oleh otak telah memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran “rantaian respons.” Rantaian respons yang dimaksud Jeklin adalah mengetahui hubungan antara suatu benda dan benda lainnya yang jauh akan lebih mudah karena peranan yang dimainkan oleh faktor penengah atau mediasi.Kesamaan stimulus adalah prinsip misalnya mempelajari hubungan antara dua benda jauh lebih mudah jika hubungan keduanya telah terlebih dahulu dipelajari atau diketahui. Kesamaan respons adalah prinsip bahwa mempelajari hubungan antara dua benada juga akan jauh lebih mudah jika hubungan di antara kedua benda itu dengan respons yang sama telah lebih dahulu dipelajari. Skinner memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa yang hampir mirip fungsinya dengan ucapan, yaitu mands, tacts, echoics, textuals, dan intra verbaloperant. 1. Mand Mand berasal dari akar kata command, demand, dll. Dalam tata bahasa mand ini sama dengan kalimat imperatif. Mand muncul sebagai kalimat imperatif, permohonan, dan rayuan jika penutur ingin mendapatkan sesuatu. Mand memerlukan satu interaksi khusus antara keadaan dulu yang sama dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis pengukuhan. 2. Tacts Adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul akibat adanya stimulus. Dalam tata bahasa tacts ini sama dengan menamai atau menyebut nama suatu benda atau peristiwa. Contoh: Jika kita melihat sebuah mobil sebagai stimulus maka kita akan mengeluarkan satu tacts “mobil” sebagai respons. 3. Echoics Adalah suatu perilaku berbahasa yang dipengaruhi oleh respons orang lain sebagai stimulus dan kita meniru ucapannya. Contoh: Kalau ada orang yang menyebutkan kata “motor” kita pun akan mengatakan kata “motor” sebagai respons. 4. Textual Adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis. Korelasi yang dimaksud adalah hubungan sistematik antara sistem penulisan (ejaan) suatu bahasa dan respons ucapan jika membacanya secara langsung. Contoh: Jika melihat kata “kucing” sebagai stimulus maka kita akan memberi respons “kucing.” 5. Intraverbal operant Adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu yang dilakukan atau dialami oleh penutur. Contoh kata “terima kasih” akan membangkitkan kata “kembali” sebagi respons. c. Hipotesis Kesemestaan kognitif Dalam kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenalkan oleh Piaget digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa untuk kanakkanak. Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur kesemestaan kognitif dari motor. Struktur ini diperoleh anak-anak melalui interaksi dengan orang-orang di sekitarnya. Urutan pemerolehannya sebagai berikut. 1. Antara usia 0-1,5 tahun anak-anak mengembangkan pola aksi dengan bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola ini kemudian diatur menjadi struktur akal (mental). Berdasarkan struktur akal ini anak mulai membangun satu dunia benda kekal yang disebut kekebalan benda. 2. Setelah struktur aksi dinuranikan, anak-anak memasuki tahap representasi kecerdasan yang terjadi antar 2-7 tahun. Pada tahap ini anak telah mampu membentuk representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar, dll. 3. Setelah tahap representasi kecerdasan, dengan representasi simboliknya berakhir maka bahasa anak-anak semakin berkembang dan mendapat nilai-nilai sosialnya. Sinclair-de Zwart dalam Chaer: 2009, 179 yang merumuskan tahap-tahap pemerolehan bahasa anak-anak sebagai berikut. 1. Anak-anak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan satu pola aksi. 2. Jika gabungan bunyi-bunyi pendek dipahami, anak-anak akan menggunakan seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa. 3. Tahap berikutnya munculnya bunyi atau bahasa yang pertama, yaitu subjek- perdikat dan objek asli yang menghasilkan struktur Subjek – verbal – objek Atau Agen – aksi – penderita. C. PENUTUP 1. Rangkuman Pemerolehan bahasa memiliki makna yang berbeda dengan pembelajaran. Pemerolehan bermakna proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu anak belajar bahasa ibunya (native language). Pembelajaran bahasa ialah proses (umumnya orang dewasa) yang belajar di kelas. Teori perkembangan bahasa terdiri dari nativisme, behaviourisme, dan kognitivisme. Nativisme berpandangan bahwa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat alamiah (nature). Pandangan behaviourisme berpendapat bahwa penguasan bahasa pada kanak-kanak bersifat “suapan” (nurture). Pandangan kognitivisme berpendapat bahwa penguasaan bahasa adalah kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Beberapa hipotesis yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa terdiri dari hipotesis nurani dan hipotesis tabularasa. Menurut hipotesis nurani bahwa sejak lahir manusia sudah dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Alat yang dimaksud adalah hipotesis nurani (innate: dibawa sejak lahir, berada di dalam, atau semula jadi). Menurut hipotesis tabularasa bahwa pada waktu dilahirkan otak bayi sama seperti kertas kosong yang nantinya akan diisi atau ditulis dengan pengalaman-pengalaman. 2. Latihan Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jelas dan lengkap! a. Jelaskan perbedaan antara pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa? b. Sejak kapan manusia memperoleh bahasanya, mengapa? Jelaskan! c. Faktor apa saja yang dapat memengaruhi anak dalam berbahasa, jelaskan! d. Mengapa Jenkin merasa perlu memperkenalkan teori mediasi? e. Sebutkan teori yang paling terkenal yang dikemukana oleh John Locke dan jelaskan!