eufemisme bahasa

advertisement
EUFEMISME DALAM BAHASA INDONESIA
Telaah Psikosemantis
Alex djawa
FKIP Universitas PGRI NTT
E-mail: [email protected]
Abstrak
Bahasa adalah lembaga sosial. Sebagai lembaga sosial, pemilihan dan
penggunaan bahasa harus memerhatikan kepentingan, pikiran, dan perasaan orang
yang mendengarnya. Pemilihan dan penggunaan bahasa yang halus dan santun akan
menjaga relasi sosial, karena dengan bahasa yang halus dan santun, kita menghargai,
menghormati, dan menjaga matabat mereka. Kita juga ikut merasakan apa yang
dirasakan oleh mereka.
Kata kunci: bahasa, lembaga sosial, kata, bentuk ungkapan, halus dan santun
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah lembaga sosial. Dengan kata lain, bahasa adalah jumlah total
sistem-sistem bahasa yang disimpan oleh setiap anggota masyarakat dalam benak
mereka masing-masing. Jika kita dapat meresapi jumlah total citra-citra verbal yang
tersimpam dalam benak setiap individu, maka kita dapat menghayati hubungan sosial
yang membentuk bahasa.
Dalam setiap peristiwa komunikasi (pembicara-pendengar/penutur-petutur)
selalu menggunakan bahasa sebagai sarananya. Dalam komunikasi itu, keterlibatan
pembicara-pendengar/penutur-petutur sangat dipengaruhi oleh apa yang secara mental
dipikirkan dan dirasakan oleh mereka. Semua yang dipikirkan dan dirasakan
dinyatakan dalam bentuk perilaku berbahasa. Karena itu, untuk menelaah masalah
perilaku berbahasa ini tidak terlepas dari kajian psikologi sebagai suatu kajian metal
dan perilaku.
1
Psikologi adalah studi ilmiah tentang perilaku dan mental (Santrok,2013:4)
Chaer (2003:2) mengatakan psikologi diartikan sebagai satu bidang ilmu yang
mencoba mempelajari perilaku manusia. Menurut Alwi, dkk. (2003:859) perilaku
adalah tanggapan atau reaksi terhadap rangsangan atau lingkungan. Sedangkan mental
bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan. Mentalitas
adalah keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan (Alwi, dkk,
2003: 733).
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan salah satu
bentuk perilaku manusia. Perilaku berbahasa diekspresikan oleh manusia sebagai alat
atau sarana komunikasi. Perilaku berbahasa melibatkan mental manusia. Dengan
bahasa yang digunakan oleh seseorang dapat diketahui keadaan jiwa atau suasana
kebatinan dan watak pemakai bahasa itu. Pemilihan dan penggunaan bahasa yang
yang halus menujukkan cara berpikir yang baik dan berwatak halus dan santun,
sedangkan penggunaan bahasa yang kasar tentu juga menunjukkan karakter yang
kasar. Karena itu. bahasa sebagai alat untuk berinteraksi atau alat untuk
berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau
juga perasaan. Sebagai alat komunikasi, bahasa yang dipilih untuk digunakan tidak
terlepas dari apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh mereka yang terlibat di dalam
komunikasi tersebut.
Sedangkan kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal
dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata
2
kerjanya semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud
dengan tanda
atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda
linguistik. (Perancis: signé linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand
Saussure (1966), yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang menggantikan, yang
berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan (2) komponen yang diartikan atau makna
dari komponen yang pertama itu. kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau
lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di
luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk. Oleh karena itu, kata
semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu
dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantic (Chaer, 2002:2).
Pemahaman tersebut mengingatkan kita pada segitiga Ogden & Richard
(dalam Idat, 1994:1) mengenai hubungan proposisi dengan thought of referensce
(makna-konsep). Djajasudarma (1999: 11) menggunakan makna referensial yang
adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referen (acuan),
makna referensial disebut juga makna kognitif, karena memiliki acuan. Makna ini
memiliki hubungan dengan konsep, sama halnya dengan konsep tentang sesuatu yang
telah disepakati bersama (oleh masyarakat bahasa), seperti terlihat di dalam hubungan
antara konsep (reference) dengan acuan (referen) pada segi tiga di bawah ini.
3
(b) konsep
(a) kata
(c) acuan
Hubungan yang terjalin antara sebuah bentuk kata dengan barang, hal, atau
kegiatan (peristiwa) di luar bahasa tidak bersifat langsung, ada media yang terletak di
antaranya. Kata merupakan lambang (simbol) yang menghubungkan konsep dengan
acuan.
Pemilihan dan penggunaan bahasa tertentu tergantung pada partisipan, situasi,,
topik, dan tujuan pembicaraan. Penggunaan bahasa dalam konteks sosial ada beberapa
persoalan yang harus dipertimbangkan, antara lain: (1) keadaan peserta bicara, (2)
tempat dan waktu terjadinya pembicaraan, (3) topik pembicaraan, dan (4) perasaan
yang menyertai pembicaraan (Darma, 2014:84). Menyimak poin (4) di atas, bahwa
perasaan seseorang sangat menentukan pilihan bahasa yang digunakan dalam interaksi
dengan sesamanya. Pemilihan dan penggunaan bahasa sangat memengaruhi emosi
baik penutur maupun penutur dalam komunikasi yang kontekstual. Tidak akan pernah
terjadi dalam setiap komunikasi emosi atau perasaan tidak ikut memengaruhi apa yang
dibicarakan.
4
Menurut Alwi, dkk. (2003:298) dinyakatakan bawa emosi adalah (1) luapan
perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; (2) keadaan dan reaksi
psikologis dan fisiologis (seperti: kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); dan
keberanian yang bersifat subjektif); dan (3) marah. Jadi, dalam setiap komunikasi yang
berlangsung keterlibatan emosi atau perasaan dalam pembicaraan ikut memengaruhi
hasil pembicaraan. Hasil pembicaraan itu menyenangkan atau membahagiakan orang
lain atau membuat orang marah, jengkel, dan benci. Bahkan dengan keterlibatan emosi
dalam komunikasi dapat menyebabkan orang menjadi sangat ramah, baik, mau
menolong, tetapi juga bisa terjadi pertengkaran, perkelahian, bahkan pembunuhan.
1.2 Masalah
Masalah dalam penulisan ini adalah:
Bagaimana perilaku berbahasa yang halus dan santun yang digunakan oleh
pembicara/penutur kepada pendengar/petutur?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah:
Untuk mendeskripsikan kata-kata atau bentuk-bentuk ungkapan yang halus dan
santun, sehingga bisa menjadi pembelajaran dan contoh bagi masyarakat
pendukungnya.
II. PEMBAHASAN
Robert Lado (dalam Pateda, 1990:11) mengatakan psikolinguistik adalah
pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi
5
pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal yang
ada kaitannya dengan itu yang tidak begitu mudah dicapai atau didekati melalui salah
satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah atau sendiri-sendiri. Menurut Lado
psikolinguistik
hanya
merupakan
pendekatan.
Pendekatan
untuk
menelaah
pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, perubahan bahasa, dan hal-hal lain yang ada
kaitannya dengan aspek-aspek ini.
Pengetahuan bahasa bersangkut-paut dengan masalah kognitif karena unusr
bahasa yang diketahui yang kemudian siap digunakan
dan dipahami pendengar,
sebenarnya berproses di dalam otak, baik otak pembicara maupun otak pendengar.
Pemakaian bahasa berkaitan dengan praktik pengetahuan bahasa. Apa yang kita
ketahui, kita kemukakan dalam wujud pemakaian bahasa. Perubahan bahasa
menyangkut akuisisi bahasa
dan tahap-tahap perkembangannya, terutama ketika
manusia masih kanak-kanak. Aspek-aspek pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa,
dan perubahan bahasa, sulit didekati baik oleh psikologi maupun oleh linguistik.
Untuk itu diperlukan ilmu gabungan, yakni psikolinguistik.
Menurut
Langacker
(dalam
Pateda,
1990:12)
mengemukakan
“psycholinguistics is the study of language acquisition ang linguistic behavior, as well
as the psychological mechanisms reponsble for them”. (Psikolinguistik merupakan
telaah akuisisi bahasa dan tingkah laku linguistik terutama mekanisme psikologis
yang bertanggung jawab atas kedua aspek itu. batasan ini menekankan akuisisi
bahasa dan tingkah laku linguistik. Akuisisi bahasa bersangkut-paut dengan proses
6
pemerolehan bahasa, sedangkan tingkah laku linguistik mengacu pada proses
kompetensi dan performansi bahasa. Proses-proses ini tetap berada di dalam otak
(mind). Dengan kata lain mekanisme psikologis sangat berperan.
Menurut
Chomsky
(dalam
Tarigan
1989:
28)
“second-generation
transformational grammar” istilah kompentensi (atau competence)
mengandung
makna sebagai “Pengetahuan pembicara-pendengar asli secara tidak sadar, diamdiam/tidak diucapkan, intrisik/hakiki, implisit, dan tidak terbatas terhadap bahasanya;
informasi yang tersedia bagi seorang pembicara yang fasih yang berhubungan dengan
bahasanya yang memungkinkannya memahami serta menghasilkan kalimat-kalimat
yang tidak pernah didengar atau diucapkan sebelumnya dan mengadakan pembedaan
antara kalimat-kalimat yang bermakna ganda dan yang tidak bermakna ganda, yang
ambigu dan yang tidak ambigu, kalimat-kalimat yang bersinonim dan tidak
bersinonim, kalimat-kalimat yang berterima dan yang tidak berterima, dsb; sistem
kaidah-kaidah yang abstrak dan tidak terbatas yang mendasari perilaku linguistik
seorang pembicara/penutur yang mengizinkan/memungkinkannya menganalisis dan
menyintesiskan secara tepat hubungan bunyi-makna sejumlah kalimat yang tidak
tentu; potensi performansi seorang pembicara pembicara-pendengar idaman/ideal yang
tidak terpengaruh oleh perilaku yang tak teramalkan atau tak dapat diprakirakan
seperti keragu-raguan, salah mula, hilangnya ingatan, ucapan yang jelek/tidak rapi,
dsb..
7
Sedangkan perfomansi adalah teori penggunaan bahasa; penggunaan aktual
bahasa (Comsky dalam Tarigan, 1989:29); apa yang dilakukan oleh pembicarapendengar secara actual berdasarkan pengetahuannya mengenai seuatu bahasa;
ujaran/tuturan aktual ; subjek teori psikologis yang menggarap bagaimana caranya
komptensi linguistik digunakan dalam produksi dan komprehensi tuturan.
Menurut Palmer dalam Djajasudarma (1999:3) salah satu dari empat aspek
mana adalah feeling ‘perasaan’. Aspek makna perasaan berhubungan dengan sikap
pembicara dengan situasi pembicaraan. Di dalam kehidupan sehari-hari kita selalu
berhubungan dengan perasaan (misalya: sedih, panas, dingin, gembira, jengkel, gatal).
Pernyataan situasi
yang berhubungan dengan aspek makna perasaan tersebut
digunakan kata-kata yang sesuai dengan situasinya.
Eufemisme adalah salah bentuk pilihan dan penggunaan kata atau bentukbentuk performansi bahasa. Eufemisme merupakan bentuk penggunaan aktual bahasa.
Penggunaan aktual bahasa yang melibatkan pembicara-pendengar asli berdasarkan
kompetensi dan performasi bahasanya. Pembicara-pendengar asli dapat memahami
bentuk-bentuk bahasa yang halus, santun, dan yang kasar yang digunakan dalam
komunikasi atau interaksi.
Eufemisme adalah kata atau bentuk ungkapan yang halus dan santun sebagai
ganti
ungkapan yang dirasakan
kasar, yang dianggap merugikan
atau tidak
menyenangkan (Alwi, dkk. 2003:310). Kridalaksana (1984: 42) mengatakan
efeumisme adalah pemakaian kata atau bentuk
8
lain untuk menghindari bentuk
larangan atau tabu. Sedangkan Chaer (2002:144) menggunakan istilah ufemia
(penghalusan) dengan mengatakan kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki
makna yang lebih halus atau lebih sopan daripada yang akan digantikan.
Berikut penggunaan kata atau bentuk-bentuk ungkapan yang lain yang
menunjukkan kehalusan atau kesantunan berbahasa dalam komunikasi.
1. Penggunaan kata meninggal, wafat, mangkat, tutup usia, pergi untuk selamanya,
gugur, tewas, mampus, dan mati.
Penggunaan kata-kata dan bentuk-bentuk ungkapan, seperti meninggal,
wafat, mangkat, tutup usia, pergi untuk selamanya, gugur di atas menunjukkan bahwa
orang yang menggunakan kata-kata seperti di atas adalah orang-orang yang memiliki
rasa empati terhadap keluarga yang merasakan dukacita. Rasa empati adalah keadaan
mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dalam
keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain (Alwi,
dkk, 2003:299).
Orang yang menggunakan kata-kata atau bentuk-bentuk ungkapan itu di dalam
pikiran atau kognitifnya memiliki perbendaharaan kata dan ungkapan mengenai hal
‘mati’, sehingga mampu memilih kata atau ungkapan yang menyenangkan dan
menghargai keluarga yang mengalami dukacita. Orang yang menggunakan kata-kata
atau bentuk-bentuk ungkapan itu adalah orang yang memiliki perasaan yang halus dan
kesantunan.
9
Berbeda jika menggunakan kata mati, tewas, dan mampus. Kata-kata ini
rasanya tidak menyenangkan didengar oleh orang yang mengalami dukacita. Orang
yang menggunakan kata-kata ini tidak memiliki rasa yang halus dan santun. Mungkin
saja karena kebencian, sehingga orang itu menggunakan kata mampus atau tewas
terhadap orang yang mati itu.
2. Penggunaan kata kerempeng, kurus, dan langsing.
Menurut Alwi, dkk. (2003:551) kata kerempeng berarti sangat kurus sehingga
tuang rusuk tampak menonjol. Kata kurus berarti kurang berdaging; tidak gemuk
(tentang tubuh, dsb) (Alwi, dkk. 2003: 618). Sedangkan kata langsing adalah ramping
badannya (Alwi, dkk. 2003:636).
Dari ketiga kata tersebut di atas, yang menyenangkan hati wanita adalah
langsing. Walaupun faktanya wanita yang kerempeng, kurus, atau langsing keadaan
tubuhnya kurang berdaging. Pemilihan dan penggunaan kata-kata tersebut, sudah tentu
melalui pertimbangan perasaan atau emosi baik pada penutur maupun pada petutur
untuk menyenangkan dan membuat orang yang dimaksud bahagia.
3. Penggunaan kata lanjut usia, uzur, sudah tidak muda lagi, dan tua.
Bentuk-bentuk ungkapan dan kata lanjut usia, uzur, sudah tidak muda lagi
adalah ungkapan atau kata yang dalam pilihan dan penggunaannya dapat membuat
seseorang yang sudah tua tidak marah atau jengkel pada orang yang menggunakan
ungkapan
tersebut.
Penggunaan
ungkapan
atau
kata
tersebut
menujukkan
penghormatan, penghargaan, sekaligus rasa yang halus dan santun dalam diri orang
10
yang menggunakannya. Sedangkan penggunaan kata tua menunjukkan perasaan tidak
halus dan tidak santun oleh orang yang menggunakannya.
4. Penggunaan kata lembaga pemasyarakatan, penjara, dan bui
Ketiga kata tersebut di atas mengandung pengertian yang berbeda. Lembaga
pemasyarakatan adalah tempat nara pidana (orang yang melakukan tindakan kriminal
ditahan dan dibina menjadi manusia yang baik dan kelak ketika bebas dari lembaga
pemasyarakatan menjadi orang yang baik dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan
penjara dan bui berarti bangunan tempat mengurung orang
hukuman (KBBI,
2003:850).
Karena itu, menggunakan bentuk ungkapan lembaga pemasyarakatan lebih
manusiawi, halus dan santun. Lembaga pemasyarakatan sebagai tempat orang dibina
dan diperbaiki cara berpikir dan perilakunya daripada menggunakan kata penjara atau
bui sebagai tempat mengurung orang yang melakukan tindakan kriminal atau
kejahatan.
5. Penggunaan kata wts, psk, kupu-kupu malam, wanita penghibur, pelacur, dan
wanita panggilan.
Wanita yang berprofesi sebagai wanita tunasusila adalah manusia juga yang
memiliki emosi dan perasaan. Ia dapat marah tetapi juga dapat merasa senang dan
bahagia ketika dihargai oleh orang lain. Pemilihan dan penggunaan kata atau bentuk
11
ungkapan yang berhubungan dengan profesinya sebagai manusia, tentu sangat
memengaruhi emosi dan perasaannya.
6.
Pemilihan dan penggunaan kata wts, psk, kupu-kupu malam, wanita penghibur
tentu dari segi emosi dan perasaan kata-kata itu memiliki nilai yang lebih manusiawi
dan menghargainya sebagai manusia yang bermartabat. Kata-kata atau bentuk
ungkapan itu, adalah kata atau bentuk ungkapan yang menghaluskan dan santun
terhadap wanita yang berprofesi sebagai wanita tuna susila. Sedangkan pemilihan dan
penggunaan pelacur, dan wanita panggilan menunjukkan penghinaan orang yang
mengungkapkan kata-kata itu kepada wanita yang berprofesi sebagai wts. Perasaan
terhina dapat menimbulkan kemarahan, kejengkelan, dan kebencian yang dirasakan
oleh wanita tersebut. Hal lain yang juga penting disadari bahwa orang yang memilih
untuk menggunakan kata-kata tersebut adalah orang yang tidak memiliki kesantunan
dan kehalusan dalam persaannya. Selain itu, orang tersebut di dalam pikiran atau
kognitifnya tidak mampu memilah dan memilih kata-kata atau bentuk ungkapan yang
halus dan santun yang digunakan untuk menghargai dan menghormati wanita
sekalipun pekerjaannya atau profesinya adalah wts atau pelacur.
7. Penggunaan kata buta dan tuna netra
Dalam Alwi, dkk. (2003:182) dinyatakan buta adalah tidak dapat melihat
karena rusak matanya; tunanetra. Dua kata buta dan tuna netra ini ada dalam kognisi
atau pikiran orang. Dua kata ini dapat digunakan secara bergantian dalam komunikasi.
Tetapi yang harus diingat bahwa kedua kata ini ketika digunakan ikut memengaruhi
12
emosi atau perasaan orang yang mengalami kebuataan itu. Orang akan sangat marah,
jengkel, bahkan membenci orang yang menggunakan kata buta. Orang yang
menggunakan kata buta dianggap sebagai orang yang tidak memiliki perasaan atau
kehalusan, kesantunan, dan penghargaan, bahkan dianggap sebagai penghinaan
terhadap orang buta. Sedangkan penggunaan kata tunanetra menujukkan bahwa orang
yang menggunakannya adalah orang yang menghargai orang lain sekalipun orang itu
cacat. Selain itu, orang itu juga memiliki emosi atau perasaan yang halus dan santun.
III. Simpulan dan Saran
3.1 Simpulan
Simpulan dalam penulisan ini adalah:
Penggunaan kata atau bentuk ungkapan yang halus dan satun:
-
Menghormati dan menghargai orang yang merasakannya.
-
Menjaga martabat orang yang merasakannya.
-
Merasakan apa yang dirasakan orang yang merasakannya.
-
Menjaga relasi sosial dalam lembaga sosial bahasa.
3.2 Saran
Saran dalam penulisan ini adalah:
-
Hendakanya menghormati dan menghargai orang lain yang menjadi tujuan
kata atau bentuk ungkapan itu.
13
-
Menjaga martabat orang sama dengan menjaga martabat kita sendiri.
-
Ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
-
Menjaga relasi sosial dalam lembaga sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul & Agustina Leonie 2010. Sosiolingustik Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliyah, 2014. Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif. Bandung:
Rineka Aditama.
Djajasudarma, T. Fatimah 1999. Sematik 2 Pamahaman Ilmu Makna. Bandung:
Refika Aditama.
Kridalaksana, Harimurti 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Leech, Geoffrey 2003. Semantik (diterjemahkan oleh Paina Partana) Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Pateda, Mansoer 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Yogyakarta: Kanisius.
Santrock, John. W. 2013. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Tarigan, Guntur Henry 1989. Pengajaran Pemeroleh Bahasa. Jakarta: Depdikbub.
Tarigan, Guntur Henry 1989. Pengajaran Kompetensi Bahasa. Suatu Penelitian
Kepustakaan. Jakarta: Depdikbub.
Tarigan, Guntur Henry 1989. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Ullman, Stephenn 1986. Pengantar Semantik. (diterjemahkan oleh Sumarsono)
Singaraja: Universitas Udayana.
14
15
16
Download