Coping Stress pada Wanita yang mengalami Baby Blues Syndrom

advertisement
Coping Stress pada Wanita yang Mengalami
Baby Blues Syndrom
DISUSUN OLEH :
Rini Indryawati
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
PENDAHULUAN
Masa dewasa merupakan masa manusia tumbuh dan berkembang secara produktif.
manusia berada di puncak kesehatan, kekuatan, energi, daya tahan, dan fungsi motorik.
Kehidupan pun mulai berubah dari remaja menjadi dewasa muda, penyesuaian diri terhadap
tangggung jawab baru, harapan-harapan baru, sosial baru, serta kehidupan baru diharapkan
mampu menjalankan sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya. Pada fase ini pula
kebanyakan orang membuat pilihan hidup, pendidikan, pekerjaan, dan menjalin hubungan
yang intim dengan lawan jenis, memilih pendamping hidup, menikah dan menjadi pasangan
yang harmonis (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).
Pada umumnya dalam mengelola rumah tangga serta membina keluarga, berkeinginan
dan mengharapkan kehadiran seorang anak, buah hati dari jalinan cinta sepasang suami istri
agar memiliki regenerasi atau keturunan. Hal inilah yang menjadi indikasi adanya peralihan
tugas perkembangan baru yang harus dijalankan orang dewasa dalam peralihan peran
menjadi suami atau istri dan orangtua. Sekilas pemaparan diatas, sasaran penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi ini adalah penyesuaian pada ibu setelah persalinan.
Kehamilan merupakan suatu masa di mana seorang wanita membawa embrio atau
fetus dalam rahimnya, merupakan awal dari berbagai perubahan fisik dan psikis. terjadinya
perubahan ini merupakan dukungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin (Zan &
Lumongga,2010).
Kehamilan termasuk salah satu periode krisis dalam kehidupan wanita. Setiap proses
biologis dari fungsi keibuan dan reproduksi, yaitu sejak turunnya bibit dalam rahim ibu
sampai saat kelahiran bayi senantiasa dipengaruhi (distimulir atau justru di hambat) oleh
pengaruh-pengaruh psikis tertentu. Reaksi psikis terhadap kehamilan sangat dan bervariasi
sifatnya. artinya dari masing-masing wanita ketika hamil mempunyai perasaan yang berbedabeda dan reaksi yang muncul pun berbeda ada kehawatiran, ketakutan atau kebahgiaan.
Faktor yang datang itu bisa dari ibu hamil itu sendiri, suami, rumah tangga dan lingkungan
sekitarnya, pengaruh yang lebih luas bisa pada adat istiadat, tradisi, dan kebudayaan, dari
kehamilan hingga kelak melahirkan saling keterkaitan baik fisik maupun psikis (Kartono,
2007)
Melahirkan merupakan suatu peristiwa penting yang dinantikan oleh sebagian besar
perempuan karena membuat perempuan telah menjadi berfungsi utuh dalam kehidupanya
(Sylvia, 2006). Hal ini menjadi peristiwa yang menyenangkan, karena telah berakhirnya masa
kehamilan, semua keperluan serta kebutuhan calon bayi akan disambut dengan segala
kemampuan yang ada serta perhatian yang besar, terutama ibu yang ingin memberikan
terbaik pada anaknya (Zein & Suryani, 2005), akan tetapi tidak jarang ketika hamil hingga
proses persalinan terdapat permasalahan gangguan psikologis maupun fisik yang datang,
Gangguan yang sering muncul pada ibu hamil sampai pada persalinan yakni terdapat
kecemasan dan ketakutan serta kekhawatiran pada calon bayi, misalkan kekhawatiran dalam
persalinan normal atau caesar, ketidakmampuan untuk memberi yang terbaik pada bayi, atau
si ibu tidak mempunyai rasa percaya diri selama mengalami kehamilan serta proses
persalinan yang akan dihadapi.
Ini menunjukkan bahwa beberapa hari setelah melahirkan, kebanyakan wanita akan
mengalami perubahan emosional, yaitu mereka merasa bahagia beberapa saat saja kemudian
merasa sedih tanpa sebab, merasa tak mampu atau takut tak dapat menjadi ibu yang baik dan
sebagainya (Suririnah, 2009), Peristiwa seperti ini biasanya dianggap wajar, akan tetapi jika
di biarkan maka akan berdampak buruk bagi ibu, bayi, serta keluarganya.
Gejala yang ditemukan berkaitan dengan fungsi peran dan tanggungjawab sebagai
ibu, terutama dalam merawat atau mengurus bayi gejala-gejala tersebut yaitu adanya perasaan
sedih, mudah marah, gelisah, hilangnya minat dan semangat yang nyata dalam aktivitas
sehari-hari yang sebelumnya disukai, enggan dan malas mengurus anaknya, sulit tidur atau
terlalu banyak tidur, nafsu makan menurun atau sebaliknya meningkat sehingga mengalami
penurunan atau kenaikan berat badan yang bermakna, merasa lelah atau kehilangan energi,
kemampuan berfikir dan konsentrasi menurun, merasa bersalah, merasa tidak berguna hingga
putus asa hingga terkadang mempunyai ide-ide kematian, berupa ingin bunuh diri atau
bahkan ingin bunuh bayinya (Sylvia, 2006).
Menurut Pusparwadani (2011) hal ini terjadi karena tubuh sedang mengadakan
perubahan fisikal yang besar setelah melahirkan, hormon-hormon dalam tubuh juga akan
mengalami perubahan besar dan baru saja mengalami proses persalinan yang melelahkan,
perasaan sedih dan gundah yang di alami oleh sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan, dan
cenderung lebih buruk sekitar hari ketiga atau keempat setelah persalinanan, Tofan (Adi,
2006) mengatakan bahwa stres pada ibu setelah melahirkan atau yang biasa disebut dengan
baby blues syndrome kondisi yang biasa terjadi dan mengenai hampir 50% ibu baru, biasa
terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan dan cenderung lebih buruk sekitar hari
ketiga atau keempat persalinan. Mengacu pada hasil seminar para ahli kandungan seIndonesia menemukan bahwa di Indonesia 50%-70% ibu setelah persalinan mengalami baby
blues syndrome. Meski banyak angka yang menunjukkan ibu yang mengalami baby blues
syndrome. Meski dengan jumlah angka cukup tinggi ibu yang mengalami baby blues
syndrome, akan tetapi hanya sebagian ibu saja yang berkeinginan dijadikan subjek penelitian.
Padahal ketika individu berkeinginan dalam berbagi, mencari apa yang sebenarnya terjadi
dalam dirinya, maka individu itu telah melakukan yang cukup berarti terhadap inidividu yang
lain.
Seorang ibu membutuhkan kesiapan yang matang untuk mengantisipasi terjadinya
baby blues syndrome agar tidak berlanjut pada postpartum depression, khususnya ibu yang
baru saja mengahadapi proses persalinan. Tak jarang memang wanita yang melahirkan
mengalami kecemasan yang berlebihan, perlu pengetahuan yang cukup serta mampu
mengaplikasikan, saat ibu melewati masa persalinannya, ada beberapa ibu yang berhasil
mengatasi perasaan-perasaannya artinya mampu menanggulangi stres setelah persalinan,
akan tetapi ada sebagian wanita yang mungkin tidak mampu menanggulanginya. Saat-saat
inilah perilaku coping diperlukan ibu, agar ibu yang mengalami baby blues syndrome tidak
mengalami gangguan dalam tahap perkembangannya. Ibu yang mengalami baby blues
syndrome biasanya akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri karena mengalami
ketidakseimbangan dalam diri ibu yang telah melewati persalinan, maka dari itu agar mampu
menyeimbangan dan menyesuaikan diri perlu adanya perilaku coping diharapkan dapat
membantu ibu dalam kondisi yang seimbang, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Lyrakos (2012) pada mahasiswa di Eropa, menemukan tingkat stres berkorelasi negatif
dengan coping yang bersifat positif, sedangkan stres akan semakin meningkat bila subjek
penelitian melakukan coping negatif. Coping merupakan istilah yang sering digunakan ketika
seseorang berusaha mengatasi peristiwa yang stressfull atau peristiwa yang menekan.
Menurut Lazarus & Folkman (1984) coping merupakan bentuk penyesuaian diri dan cara
mengatasi masalah yang dilakukan individu.
Istilah coping menurut Sunberg, Winebager dan Taplin, (2007) biasa juga dikaitkan
dengan mekanisme pertahanan diri, akan tetapi mekanisme pertahanan diri yang
dikembangkan oleh Freud lebih mengarah pada perilaku akibat unsur ketidaksadaran,
sedangkan coping lebih ke perilaku yang disadari, baik coping yangsifatnya positif maupun
negatif. Studi yang dilakukan oleh Amodeo dkk, (2007) menunjukkan bahwa coping stres
wanita berkulit hitam dari keluarga yang dibesarkan dalam keluarga alkoholik lebih
cenderung pada bentuk coping menghindar. Hal ini juga dialami oleh anak yang dibesarkan
dari lingkungan negtif dan dukungan sosial yang kurang memperlihatkan bentuk coping
menghindar. Terkait coping yang dilakukan pada ibu yang mengalami baby blues syndrome
menarik untuk diteliti, harapannya dapat melihat bentuk penanggulangan seorang ibu yang
pernah mengalami baby blues syndrome serta dinamika coping yang digunakan.
Menurut Taylor (1999) coping didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku yang
digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang
menekan.Baron & Byrne (1991) menyatakan bahwa coping adalah respon individu untuk
mengatasi masalah, respon mentolerir dan mengurangi efek negative dari situasi yang
dihadapi. Menurut Chaplin (2006) coping juga di definisikan sebagai perilaku individu dalam
melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu
tugas atau masalah.
Jadi dapat disimpulkan coping adalah berbagai usaha individu untuk mengatur
kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan individu
dalam memenuhi tuntutan tersebut.
Folkman & Lazarus (Sarafino, 2006) secara umum membedakan bentuk dan fungsi
coping dalam dua klasifikasi yaitu :
1). Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan
kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan, artinya coping
yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari
cara-cara keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika
mereka
percaya
bahwa
tuntutan
dari
situasi
dapat
diubah.
2). Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk
mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon
emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral
adalah penggunaan alkohol, narkoba, mencari dukungan emosional dari teman-teman dan
mengikuti berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat
mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan
bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif,
individu melakukan defenisi kembali terhadap situasi yang menekan seperti membuat
perbandingan dengan individu lain yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu
yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika
mereka percaya mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang
menekan.
Pendapat di atas sejalan dengan Skinner (Sarafino, 2006) yang mengemukakan
pengklasifikasian bentuk coping sebagai berikut :
a. Perilaku coping yang berorientasi pada masalah (Problem-focused-coping)
1) Planfull problem solving Individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang
beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat dan
pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi, bersikap hatihati sebelum
memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan.
2) Direct action Meliputi tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara
langsung serta menyusun secara lengkap langkah-langkah yang diperlukan.
3) Assistance seeking Individu mencari dukungan dan menggunakan bantuan dari orang lain
berupa nasehat maupun tindakan didalam menghadapi masalahnya.
4) Information seeking Individu mencari informasi dari orang lain yang dapat digunakan
untuk mengatasi permasalahan individu tersebut.
b Perilaku coping yang berorientasi pada emosi (Emotional Focused Coping).
1) Avoidance Individu menghindari masalah yang ada dengan cara berkhayal atau
membayangkan seandainya berada pada situasi yang menyenangkan.
2) Denial Individu menolak masalah yang ada dengan menganggap seolah-olah masalah
individu tidak ada, artinya individu tersebut mengabaikan masalah yang dihadapinya.
3) Self-criticism Keadaan individu yang larut dalam permasalahan dan menyalahkan diri
sendiri atas kejadian atau masalah yang dialaminya.
4) Positive reappraisal Individu melihat sisi positif dari masalah yang dialami dalam
kehidupannya dengan mencari arti atau keuntungan dari pengalaman tersebut. Dapat
diambil kesimpulan bahwa aspek coping adalah usaha yang dilakukan individu dalam
mengatas masalah yang dialami dengan mengoptimalkan potensi diri dalam menghadapi
suatu bentuk permasalahan.
Menurut Lazarus & Folkman (1984) faktor yang mempengaruhi coping antara lain
penilaian kognitif, yang akan mempengaruhi penggunaan coping seseorang dalam
menghadapi masalah. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping menurut Aldwin &
Revenson (1987) antara lain :
1. Jenis Kelamin, perempuan lebih rentan mengalami stres dibanding dengan lakilaki.
Oleh karena itu perempuan lebih sering melakukan coping daripada laki-laki
2. Tahap perkembangan dan usia, tahap dan perkembangan seseorang mempengaruhi
pemilihan coping yang digunakan, karena semakin bertambah umur maka menunjukkan
semakin matang seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dan semakin
baik copingnya.
3. Tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rentan
seseorang mengalami stress. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan
semakin baik pula coping yang dilakukan.
4. Situasi dan kondisi dalam keadaan stres dalam mengambil keputusan dengan tergesagesa dan kadang tidak memikirkan akibatnya.
Lazarus & Folkman (1984), menyatakan bahwa coping yang efektif adalah coping yang
membantu seseorang untuk menoleransi dan menerima situasi yang menekan, serta tidak
merisaukan tekanan yang tidak dapat diatasi.
Sedangkan Baby blues syndrome atau postpartum blues dapat didefenisikan yakni
perubahan suasana hati pada wanita yang setelah melahirkan. Satu menit mereka merasa
bahagia, menit berikutnya mereka mulai menangis. Karena bisa jadi ada perasaan sedikit
tertekan, sulit memiliki waktu untuk berkonsentrasi, kehilangan nafsu makan atau bahkan
tidak bisa tidur karena ingin menjaga bayinya. Gejala ini biasanya mulai sekitar tiga sampai
empat hari setelah melahirkan dan dapat berlangsung beberapa hari. Jika seorang ibu baru
memiliki gejala-gejala ini, seorang ibu berarti mengalami “the blues” dianggap sebagai
bagian normal dan biasanya hilang dalam waktu 10 hari setelah melahirkan, namun beberapa
wanita memiliki gejala atau gejala berlangsung lebih lama ini disebut “postpartum depresi”
(Czarkowski,1999)
Siswuharjo & Chakhrawati (2002) mengatakan bahwa baby blues syndrome adalah suatu
gangguan psikologi sementara yang ditandai dengan memuncaknya emosi pada minggu
pertama pasca persalinan. Penderita akan merasakan suasana hati yang bahagia namun
menjadi labil. Gejala yang sering menandai seorang mengalami baby blues Syndrome adalah
mengalami sulit tidur (insomnia), sering menangis, cemas, konsentrasi menurun, serta mudah
marah. Gejala-gejala yang muncul merupakan gejala ringan berlangsung beberapa jam atau
hari dan akan hilang dalam waktu 2 minggu pertama pasca melahirkan. Penyebab baby blues
syndrome di duga karena perubahan hormonal di dalam tubuh wanita setelah melalui
persalinan.
Baby blues syndrome atau postpartum blues dibedakan dari depresi postpartum dilihat
pada jangka waktunya dan segi intensitasnya. Depresi postpartum terjadi secara konstan dan
terus-menerus, sedangkan pada baby blues syndrome lebih ringan. Wanita yang mengalami
baby blues syndrome masih bisa menikmati tidur nyenyak apabila dijauhkan dari kewajiban
mengurus bayinya. Selain itu, hiburan tertentu masih dapat mengembalikan kegembiraannya
(Hadi, 2004).
Demikian dari berbagai pengertian dapat disimpulkan bahwa baby blues syndrome
adalah suatu gangguan psikologis, yang ditandai dengan perubahan suasana hati atau emosi
pada wanita setelah melahirkan, gejala yang muncul yakni sering menangis, murung, kecewa,
takut, merasa letih, susah tidur, hilang nafsu makan, mudah marah, dan masih banyak yang
menandakan gejala-gejala yang muncul, setiap ibu biasanya bervariatif. Yang pada umumnya
terjadi 14 hari pertama. Marmi (2012) mengatakan bahwa adapun gejala yang biasanya
muncul antara lain :
a. Cemas tanpa sebab
b. Menangis tanpa sebab
c. Tidak sabar
d. Tidak percaya diri
e. Sensitif
f. Mudah tersinggung
g. Merasa kurang menyayangi bayinya
Hal ini jika dibiarkan maka akan berlanjut menjadi depresi postpartum, gejala-gejala
yang muncul tersebut merupakan kempensasi dari perubahan hormon yang cukup drastis.
Tubuh seolah berada di ambang batas toleransinya rangsangan karena kelelahan fisik dan
mental. Ibu merasa tidak sangggup lagi menerima rangsangan fisik dan mental karena
energinya seolah tersedot habis tanpa sebab yang pasti. Kecemasan dalam menghadapi peran
barunya sebagai ibu juga bisa menjadi pencentus baby blues syndrome. Tubuh yang
seharusnya beristirahat setelah proses persalinan justru harus bekerja ekstra untuk
menyesuaikan diri dengan tugas-tugas baru. Selain itu, tubuh juga menghadapi ritme biologis
yang baru. (Nurdiansyah, 2011)
Ciri menunjukan bahwa baby blues syndrome bervariasi bentuk dan tidak semua ibu
yang mengalami baby blues mempunyai ciri yang sama, akan tetapi terkadang
berkemungkinan ciri tersebut bisa muncul di luar ciri yang tertera. Sejauh ini jika banyak
individu yang paham akan pentingnya mengetahui gejala yang dialami pasca melahirkan,
maka hal tersebut akan mudah diantisipasi oleh diri sendiri ataupun lingkungannya, tinggal
bagaimana kita menyikapinya serta membuat ringan tanpa beban. Sehingga jauh dari stres
atau depresi ringan
METODE PENELITIAN
Pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian kualitatif.
Poerwandari (2007) mengatakan bahwa penelitian kualitatif sengaja dilakukan dengan tujuan
eksplorasi dan deskripsi, namun menurut Glesser dan Strauss, mengatakan bahwa
pengembangan teori dari dasar, pendekatan kualitatif tidak berhenti pada tahap eksplorasi dan
deskripsi saja namun sangat mungkin menemukan dan membangun suatu teori baru.
Penelitian yang menggunakan rancangan fenomenologi ini bertujuan untuk mengklarifikasi
situasi yang dialami dalam kehidupan seseorang sehari-hari. Dengan mengandaikan para
individu menjadi pihak pertama dalam mendeskripsikan kehidupan mereka. analisis
fenomenologi berusaha melihat esensi psikologis dari fenomena. dengan kata lain,
fenomenologi berusaha menemukan makna-makna psikologis yang terkandung dalam
fenomena melalui penyeledikan dan analisis (Smith, 2009). Analisis yang dipilih analisis isi
(content analys) menurut (Muhajir, 2000) analisis isi merupakan analisis ilmiah tentang pesan
suatu komunikasi, teknis analisis isi mencakup upaya klasifikasi tanda-tanda yang dipakai
dalam komunikasi menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi, dan menggunakan analisis
tertentu sebagai pembuat prediksi.
Pemilihan subjek dalam penelitian kualitatif sangat tepat jika didasarkan pada tujuan dan
masalah penelitian yang dikaji. Pemilihan berdasarkan tujuan (purposive sampling), subjek
pada penelitian ini adalah individu yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Ibu yang pernah mengalami baby blues syndrome
2. Ibu primIpara (melahirkan anak pertama)
3. Bersedia menjadi subjek
Dalam hal ini pemilihan sampling yang dilakukan dengan cara bola salju(snowball/chain
sampling), menurut (Moleong, 2012) pengambilan sampel bola salju / berantai dilakukan
dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya.
Cara ini dilakukan ketika seorang peneliti tidak memiliki banyak informasi tentang populasi
penelitiannya. Peneliti hanya mengetahui satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya
bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak informasi, peneliti
kemudian meminta kepada sampel pertama untuk menunjukkan orang lain yang dapat
dijadikan sampel. Dalam hal ini peneliti mendapatkan informasi subjek pertama dari salah
satu dosen psikologi di Universitas perguruan tinggi swasta, hingga akhirnya subjek bersedia
dan subjek kedua di informasikan dari subjek pertama, yang kebetulan temannya sendiri.
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (in dept
interview) dan mencari dari berbagai sumber terpecaya (significant person).
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan situasi dan
kondisi subjek, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan komunikasi antara subjek dengan
peneliti. Penelitian akan dilakukan pada ibu yang telah mengalami baby blues syndrome
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, setelah menentukan subjek penelitian hal
selanjutnya yang dilakukan adalah mengambil data dengan wawancara. Sebelum penelitian
dilakukan peneliti membuat guide wawancara untuk memudahkan dalam melakukan
penelitian. Data yang telah diperoleh dari wawancara oleh peneliti akan dibuat transkrip
sebelum melakukan analisis data. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis isi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk Coping yang Digunakan pada penelitian ini subjek menggunakan
problemfocused coping yang berfokus pada masalah akan tetapi subjek juga pernah
menggunakan emotional focused coping hal ini yang berfokus pada emosi dalam mengatasi
perasaan-perasaan ketika subjek mengalami baby blues syndrome.
Lazarus dkk, (Sarafino, 2006) membagi strategi penanggulangan ke dalam dua jenis,
yaitu:
1). Strategi penanggulangan yang berfokus pada masalah, yaitu bertujuan mengurangi
tuntutan-tuntutan akibat situasi stressfull, atau mengembangkan sumber-sumber dalam
individu untuk mengatasi situasi tersebut.
2). Strategi penanggulangan yang berfokus pada emosi, yaitu bertujuan mengontrol
respon emosional terhadap situasi stressfull, baik melalui pendekatan behavioral maupun
kognitif.
Individu yang melakukan problem focused coping akan menilai dan percaya dapat
mengubah sumber-sumber dalam dirinya atau tuntutan situasi stressfull akan cenderung
menggunakan pendekatan yang berfokus pada masalah, sedangkan emotional subjek yang
menilai dan percaya bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun untuk mengubah situasi
stressfull akan cenderung menggunakan pendekatan yang berfokus pada emosi.
Terkait coping yang digunakan pada kedua subjek ketika mengalami baby blues
syndrome, subjek lebih banyak menggunakan problem focused coping pada aspek assistance
seeking, Information seeking, direct action, dan subjek juga pernah menggunakan emotional
focused coping yakni self critism dan positif reappraisal. Kehidupan manusia merupakan
suatu proses penyesuaian diri yang berlangsung kontinu yang mendorong manusia berjuang
memenuhi kebutuhan dan memelihara hubungan agar tetap harmonis, ketika orang dapat
mengatasi masalah – masalah yang dihadapi secara efektif terhadap tuntutan dalam dan luar
diri, maka dia dikatakan sebagai orang yang mampu menyesuaikan diri dengan baik, akan
tetapi sebaliknya apabila masalah yang dihadapi orang tersebut dirasakan terlalu berat
sehingga menimbulkan gejala rasa cemas, tidak berdaya, tidak bahagia atau gejala lainnya
maka orang itu dikatakan sebagai orang yang gagal dalam menyesuaikan diri (Zan &
Lumongga, 2010).
Pada subjek pertama memiliki perasaan-perasaan ketika itu panik, merasa orang yang
paling mederita sedunia, merasa tidak bahagia, dan terkadang merasa tidak bersyukur, dan itu
terjadi ketika bayinya menangis, subjek akan ikut menangis, hal ini dipertegas dengan
suaminya yang menjadi significant person dalam penelitian ini, yang mengatakan bahwa
subjek mempunyai perasaan belum bisa memberikan yang terbaik buat bayinya, menangis
terus-menerus dan merasa down. Ketika hamil NS dan suaminya sudah mempersiapkan
segala kebutuhan bayi. Akan tetapi subjek dan suaminya tidak begitu banyak ilmu terkait
merawat bayi, sehingga membuat subjek bingung, panic dan stres.
Sedangkan pada subjek kedua sendiri ketika itu mempunyai perasaan bingung, takut,
berdebar-debar, sensitif, khawatir tidak mengerti atas ketidakmampuannya dalam merawat
bayi. ketakutan ketika bayi subjek menangis, serta memegang bayinya. Hal ini juga
dipertegas oleh suami subjek yang menjadi significant person pada penelitian ini yang
mengatakan bahwa sebelum hamil subjek memang temasuk orang yang mudah panic,
ditambah lagi saat LP melahirkan dan mempunyai anak, subjek bertambah panic dan stress,
suami menganggap selain bawaan karena ketika itu subjek dan suaminya kurang detail
mempersiapakan ilmu pengetahuan dalam merawat bayi. Yang paling memicu subjek
mengalami baby blues syndrome karena terpengaruh lingkungan terkait mitos-mitos tetang
bayi. Proses adaptasi psikologis ibu hamil sudah dimulai sejak kehamilan dan persalinan ini
merupakan peristiwa yang normal tejadi dalam hidup tetapi demikian banyak ibu yang
mengalami distres yang tidak seharusnya dan kecemasan hanya karena mereka tidak
mengantisipasi (Marmi, 2011)
Perubahan kedua subjek terjadi karena adanya proses adaptasi pasca melahirkan,
menurut Zan & Lumongga (2010) proses terjadinya perubahan perilaku disebabkan oleh :
1. Perubahan secara alamiah (natural change) Perilaku manusia cendrung selalu
berubah-ubah dan hampir sebagian besar perubahannya dilungkungan sosial, budaya dan
ekonomi, maka seorang atau sekelompok orang juga cendrung ikut mengalami perubahan.
2. Perubahan terencana (planed change) Perubahan perilaku juga dapat terjadi akibat
direncanakan sendiri.
3. Penerimaan informasi atau pengetahuan. Banyak tidaknya informasi atau
pengetahuan yang diterima seseorang atau sekelompok orang memengaruhi perubahan
perilaku.
Kedua subjek ketika itu mengalami perubahan perilaku serta kondisi suasana hati
yang disebabkan karena kurangnya kesiapan dari masing-masing subjek terkait informasi
dan pengetahuan khususnya dalam merawat serta membesarkan bayi sehingga subjek
melakukan self critism yakni larut dalam permasalahan dan menyalahkan diri sendiri atas
kejadian atau masalah yang dialaminya, merasa tidak mampu dalam membahagiakan
anaknya dan menyalahkan dirinya sendiri, coping tersebut termasuk bentuk coping
emotional focused coping.
Setelah subjek memahami dan menyadari perasaan-perasaan yang dirasakan sedikit
berlebihan, kemudian subjek mencoba mencari dukungan ke suami, orang tua, dan temanteman subjek serta llingkungan sekitarnya, Skinner mengatakan (Sarafino, 2006) ketika
subjek mencari dukungan meminta bantuan, berupa nasehat maupun tindakan dari orang
lain untuk mengatasi masalahnya hal ini disebut dengan assistance seeking.
Hoffenar dkk, (2010) dalam penelitiannya menemukan adanya tingkat stres,
kecemasan, serta depresi para ibu yang baru memiliki anak, akan tetapi perasaan positif
meningkat dan perasaan negatif menurun sejak ibu meluangkan waktu menjalin ralasi baik
dengan orang lain maupun keluarga, dengan dukungan serta bantuan dari orang terdekat
serta lingkungan sekitarnya, subjek sedikit lebih kuat dan terbantu, sehingga subjek subjek
merasa lebih baik dan dengan kondisi subjek yang sedikit agak membaik subjek mulai
melakukan sesuatu yang dapat menyelesaikan masalahanya dengan cara mencari
informasi, terkait masalah yang ia hadapi dengan cara bertanya mecari informasi ke orang
lain, mencari tahu pada ahli dan pada orang yang mungkin lebih berpengalaman, serta
mencari artikel-artikel di internet agar ilmu pengetahuannya semakin bertambah dan
mampu menyelesaikan masalahnya dan memberikan yang terbaik buat anaknya. Terkait
hal ini Skinner (Sarafino, 2006) mengatakan hal ini disebut dengan information seeking,
coping tersebut termasuk problem focused coping, sehingga subjek mendapat dukungan
dan pemahaman yang lebih mendalam terkait ilmu serta pengetahuan khususnya tekait
pada masalah baby blues syndrome yang subjek alami. Hal inilah yang mampu membawa
subjek keluar dari ketidaknyamanannya yakni bertindak sesuai apa yang subjek inginkan
dalam merealisasikan sesuai dengan yang dibutuhkan pada ia maupun bayinya. Menurut
Skinner (Sarafino, 2006) hal ini disebut direct action yakni meliputi tindakan yang
ditunjukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun secara lengkap
apa yang di perlukan, coping tersebut termasuk problem focused coping
Usaha subjek dalam melakukan coping bertujuan agar subjek mampu keluar dari
perasan-perasan yang membuat subjek dan lingkungan merasa tidak nyaman, dan subjek
tidak terlalu larut dalam kesedihan atas ketidak mampuannya dalam memberikan yang
terbaik pada bayinya, ketika individu mampu memahami dan memaknai setiap kejadian,
maka semua yang dilakukan akan bernilai positif. Khosla (2006) menjelaskan bahwa
coping digunakan untuk mengatasi stres dan menghasilkan serta mempertahankan
pengaruh positif dalam diri. Menurut Skinner (Sarafino, 2006) positive reappraisal melihat
sisi positif dari masalah yang dialami dalam kehidupannya dengan mengambil manfaat
atau keuntungan dari pengalaman tersebut. Permasalahan ini membuat kondisi subjek
lebih baik daripada sebelumnya, subjek merasa lebih tenang dalam menghadapi setiap
persoalan, percaya diri, dan akan merangsang subjek semangat mencari pengetahuan lebih
banyak serta mampu memberi dukungan pada siapapun khususnya bagi ibu yang
mengalami baby blues syndrome.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
dapat disimpulkan secara ringkas bahwa coping yang digunakan pada ibu yang mengalami
baby blues syndrome menggunakan problem focused coping, akan tetapi subjek juga
pernah menggunakan emotional focused coping. Penggunaan variasi coping ini tidak
mengindikasikan bahwa strategi yang diambil, diputuskan tanpa adanya pertimbangan
penyelesaian masalah. Adanya variasi dalam penggunaan strategi coping dapat disebabkan
karena strategi penanggulangan tidak harus berakhir dengan penyelesaian masalah
sekaligus (Sarafino, 2006), seorang ibu yang mengalami baby blues syndrome tidak serta
merta mengenali sumber-sumber yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah sehingga
perlu dilakukan sejumlah strategi sebelum pada akhirnya menemukan strategi yang paling
tepat untuk menanggulanginya.
Manfaat coping pada subjek mampu mengatasi permasalahan terkait baby blues
syndrome pasca melahirkan, subjek lebih memahami makna dari setiap hal yang tidak
menyenangkan, rasa sedih, menangis, sensitive, khawatir, panic, stress, bingung tidak
mampu memberikan yang terbaik pada bayi, telah berubah menjadi lebih tenang, percaya
diri serta mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa, baik itu tentang persiapan
pengetahuan, kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi permasalahan, serta
menjadikan subjek lebih percaya diri dalam bertindak.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa kekurangan. adapun kekurangan
dalam penelitian ini adalah sulitnya menemukan individu yang benarbenar bersedia
dijadikan subjek penelitian dan literatur mengenai topik baby blues syndrome. Karena
jadwal subjek yang begitu padat beberapa kali wawancara sempat tertuda, selain itu juga
kurpangnya sumber observasi dikarenakan fenomena yang diteliti sudah lama terjadi,
Sehingga peneliti tidak dapat mengetahui respon subjek secara langsung terkait fenomena
yang diteliti serta kurangnya validitas penelitian, maka dari itu perlu adanya evaluasi serta
pembelajaran untuk dapat melakukan penelitian yang lebih baik.
1) Saran Praktis
a. Khususnya ibu yang akan atau sedang menghadapi proses persalinan. butuh persiapan
ilmu serta pengetahuan yang cukup untuk mengantisipasi terjadinya baby blues
syndrome
b. Bagi keluarga yang anggota keluarganya yang mengalami baby blues syndrome harus
senantiasa memotivasi dan mendukung dalam proses penyesuaian khususnya pada
suami-suami harus terus mendapingi serta mencari pertolongan. Sebab ketika hal itu
dibiarkan maka akan berdampak buruk.
c. Bagi masyarakat dan keluarga sebagai tempat tinggal diharapkan memberikan support
mental / dukungan, bantuan, serta pengertian agar subjek yang mengalami baby blues
syndrome mampu menyesuaikan diri dengan baik.
2) Saran Teoritis
a. Para profesional di bidang psikologi ataupun praktisi kesehatan sebaiknya juga lebih
memperhatikan setiap perkembangan ibu hamil dalam mempersiapkan fisik, sosial,
emosi dan psikologis dalam menghadapi persalinan, karena bantuan praktis dan
pemahaman secara intelektual tetang perubahan-perubahan yang mungkin terjadi akibat
melahirkan.
b. Coping pada ibu yang mengalami baby blues syndrome sangat jarang diteliti dan
literatur yang tersedia sangat terbatas , maka akan sangat bermanfaat jika peneliti tertarik
untuk menggali lebih dalam mengenai coping pada ibu yang mengalami baby blues
syndrome dengan subjek yang melahirkan anak yang kedua, ketiga, atau keempat atau
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya coping. dengan harapan terdapat
pertumbuhan pribadi menuju perubahan yang lebih positif.
c. Diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk dapat menyempurnakan penelitian ini,
tidak membawa asumsi atau penilaian yang telah diketahui sebelumnya. Peneliti
berharap hasil penelitian ini dapat memperkaya ilmu dan memunculkan pemahaman
yang lebih luas dibidang psikologi klinis dan psikologi perkembangan khususnya pada
tahap dewasa
DAFTAR PUSTAKA
Adi. (2006). Liputan6.com. http://adipsi.blogspot.com/2010/06/pengertian-babybluessyndrome.html. Di unduh tanggal 18 November 2012
Aldwin, L.M & Revenson, T.A. (1987). Does coping help? A reexamination of relation
between coping and mental healty. Journal of Personality and Social Psychology. Vol: 53,
337-348
Amadeo, M., Griffin, M. L. Fassler, I., Clay, C., dkk. (2007). Coping with stressful events:
Influence of parental alcoholism and race in a community sample of women. Health and
Social Work. 32 (4): 247-257.
Baron, R.A & Byrne, D. (1991). Social Psychology: Understanding human interaction.
Boston: Allyn & Barceln
Chaplin, J.P. (2006). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Czarkowski. C., (1999). Information your family doctor: Postpartum depression and the
“baby blues”. American Academy of Family Physicians. 59 (8): 2259- 2260.
Mengenal
dan
Mengatasi
Baby
Blues
Syndrome
-Bidanku.com
http://bidanku.com/mengenal-dan-mengatasi-baby-blues-syndrome#ixzz3aZcivZ4t
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental; Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya. Yogyakarta:
Andi Sunaryo. 2002.
Download