Uji Toksisitas dan Efektivitas Metabolit Sekunder dari Hydroid

advertisement
Uji Toksisitas dan Efektivitas Metabolit Sekunder dari Hydroid
Aglaophenia cupressina Lamoureoux sebagai antibakteri.
Eva Johannes
Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Isolasi, Karakterisasi Senyawa
Metabolit Sekunder dari hydroid Aglaophenia cupressina Lamoureoux yang bertujuan
mengetahui tingkat toksisitas serta efektivitas senyawa metabolit sekunder tersebut
sebagai antibakteri.
Metode penelitian yang digunakan untuk penentuan sifat –sifat bioaktif adalah uji
bioaktivitas primer yang biasa digunakan pada ekstrak maupun senyawa-senyawa
bahan alam adalah Brine Shrimp Lethality Test (BST) dengan menggunakan udang laut
Artemia salina Leach. Untuk uji antibakteri digunakan bakteri Salmonella thipy dan
Staphylococcus aureus
Hasil penelitian ini ditemukan senyawa :(1) asam heksadekanoat dengan tingkat
toksisitas sangat tinggi (LC50) 29,54 µg/ml dan bersifat antibakteri, dan (2) β-sitosterol
tidak memiliki sifat antibakteri.
Kata kunci : Uji toksisitas, Metabolit sekunder Hydroid Aglaophenia cupressina
Lamoureoux, antibakteri.
PENDAHULUAN
Perkembangan resistensi terhadap berbagai jenis obat adalah masalah utama
dalam pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen.
Hal ini menjadi fokus penting dari penelitian senyawa bioaktif baru
untuk melawan
patogen yang resisten terhadap berbagai jenis obat.
Pengadaan bahan baku obat terus menerus dikembangkan karena tingginya
kasus infeksi baik endemik maupun epidemik serta penggunaan obat-obat yang terus
menerus menyebabkan terjadinya resistensi. Ketersediaan bahan baku, keterjaminan
akan kebenaran khasiat, mutu, dan keabsahan obat yang beredar pada masyarakat
merupakan faktor yang sangat menentukan (Yuliani, 2001).
Biota laut telah menjadi topik untuk investigasi sejumlah produk alami. Kondisi
laut yang ekstrim, yang berbeda dari teresterial, mampu menghasilkan jenis senyawa
aktif yang berbeda. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa senyawa bioaktif dari
karang laut berkhasiat sebagai antimikroba, antikanker, dan antiinflamasi (Satari, 1999)
Rahmaniar (2003) meneliti ekstrak spons koleksi taman laut Bunaken, mendapatkan
hasil ekstrak ,aktif terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella thyphii, dan
Echerichia coli, serta jamur Candida albicans pada konsentrasi pemberian 1000 mg/ml.
Salah satu biota laut kaya akan senyawa bioaktif adalah Cnidaria yang memiliki
alat pertahanan diri yaitu nematosyst, mengandung semacam zat kimia yang dapat
menyebabkan gatal-gatal bahkan iritasi apabila tersentuh kulit. Hydroid Aglaophenia
cupressina Lamoureoux termasuk dalam filum Cnidaria hidup melekat pada spons,
melepaskan zat-zat toksik untuk menangkap mangsa dan sebagai alat pertahanan diri.
Racun tersebut menyebabkan rasa gatal bahkan iritasi pada kulit sensitive sesaat
setelah kontak.
Hasil penelitian Paradise, et al., (2006) diketahui zat toksik pada
nematocyst hydroid Aglaophenia cupressina Lamoureoux juga mengandung histamine,
liberator histamine dan protein, diduga masih banyak senyawa bioaktif lainnya, dari
Hydroid Aglaophenia cupressina Lamoureoux perlu diteliti dalam bidang biokimia
maupun farmakologi (Mellissa, et al., 1999).
Kompleksnya komponen kimia dari ekstrak biota laut
telah memacu
berkembangnya usaha isolasi dan karakterisasi senyawa . Seperti yang telah dilakukan
oleh Johannes E., (2008) melalui isolasi dan karakterisasi metabolit sekunder Hydroid
Aglaophenia cupressina
Lamoureoux
karboksilat yaitu asam heksadekanoat,
menemukan senyawa (1)
golongan asam
dan (2) golongan steroid yaitu β-sitosterol.
Namun sejauh mana tingkat toksisitas dan efektivitas senyawa bioaktif tersebut perlu
diteliti lebih lanjut.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan untuk mengetahui tingkat toksisitas
dari senyawa
asam heksadekanoat dan β-sitosterol yang dihasilkan oleh hydroid
Aglaophenia cupressina Lamoureoux melalui uji toksisitas pada udang laut Artemia
saina Leach , dan efektivitas kedua senyawa tersebut sebagai antibakteri dengan uji
antibakteri pada Salmonella thypii, dan Staphilococcus aureus.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat –alat yang digunakan pada penelitian ini adalah botol pengencer, cawan petri,
drigle sky, incubator, labu ukur 50 ml, laminar air flow, lampu spritus, mikropipet (1001000 µl), mikroplate, tabung eppendorf, lampu pencahayaan, wadah penetasan benur,
lemari pendingin, spoit dan mikroskop serta sarung tangan.
Bahan yang digunakan adalah asam heksadekanoat dan β-sitosterol dari hydroid, air
suling bebas protozoa, amonia, biakan murni ( Staphylococcus aureus, salmonella
thypii), DMSO (dimetil sulfoksida) (E. Merck), kloramfenikol (PT Alpharma), NaCl
fisiologis 0,9%, medium GNA (glukosa Nutrien agar), medium NA (nutrien Agar),
medium NB (Nutrien Broth), Medium MHA (Muller Hinton Agar), Telur udang A. salina
Linch.
Prosedur Kerja
Persiapan Bakteri Uji
Bakteri yang digunakan adalah Staphylococcus aureus dan Salmonella thypii. Masingmasing bakteri berasal dari biakan murni diambil satu ose diinokulasi dengan cara
digores pada medium Nutrrrien Agar (NA) miring, dan diinkubasi pada suhu 37˚C
selama ± 24 jam.
Suspensi Bakteri Uji
Bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonella thypii yang telah diremajakan selama ±
24 jam, masing masing diambil satu ose disuspensikan ke dalam larutan NaCl fisiologis
steril 0,9%. Kemudian dilakukan pengenceran suspense bakteri uji hingga diperoleh
transmitan 25% pada spektrofotometer, dengan panjang gelombang 580 nm. Sebagai
blanko digunakan NaCl steril 0,9%.
Larutan Kontrol Baktri
Larutan control positif menggunakan klorampenikol dan sebagai control negative
dignakan DMSO (Dimetil Sulfoksida).
Uji Toksisitas dengan Menggunakan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST).
Prosedur uji yang dilakukan terhadap benur udang A. salina Leanch adalah sebagai
berikut :
Masing –masing sebanyak 1 mg sampel (asam heksadekanoat, β-sitosterol)
dalam tabung eppendorf dilarutkan dengan DMSO sebanyak 100 µl, kemudian
ditambahkan 150 µl aquades. Dari pengenceran tersebut diambil 200 µl diencerkan lagi
dengan 600 µl aquades. Selanjutnya pengenceran dilakukan dalam mikroplet dengan
konsentrasi yang divariasikan dan volume sampel tiap tabung 100 µl secara triplo.
Benur udang A. salina Leanch yang berumur 48 jam dipipet sebanyak 100 µl dengan
jumlah benur 7-15 ekor, dimasukkan dalam mikroplate (96-wellplate) yang berisi sampel
kemudian diinkubasi selama 24 jam, dilakukan juga pada DMSO tanpa sampel sebagai
control negatif. Selanjutnya dihitung udang yang mati dan yang hidup, serta ditentukan
letal konsentrasi (LC50) dengan program “Bliss mehode”.
Pengujian Aktivitas Antibakteri dengan Metode Difusi Agar.
Medium Muller Hinton Agar (MHA) steril dituangkan secara aseptis kedalam
cawan petri sebanyak 20 ml dan dibiarkan menjadi padat sebagai lapisan dasar atau
“base layer”. Setelah itu dimasukkan suspensi bakteri uji masing-masing 1 ml ke dalam
10 ml medium di atas lapisan base layer dan dibiarkan setengah padat sebagai lapisan
pembenihan atau “seed layer”. Setelah itu 6 buah pencadang dengan diameter 5 mm,
diameter luar 8 mm, tinggi 10 mm diletakkan secara aseptis dengan pinset steril pada
permukaan medium dengan jarak pencadang satu dengan yang lain 2-3 cm dari pinggir
cawan petri, disimpan pada suhu kamar.
Masing-masing pencadang diisi dengan 0,25 ml asam heksadekanoat dan βsitosterol pada konsentrasi 1%. Demikian pula larutan kloramfenikol sebagai control
positif dan DMSO sebagai control negative, masing-masing 0,25ml. Selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37˚C selama 24 jam dan 48 jam.
Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter hambatan pertumbuhan
bakteri di sekeliling pencadang dengan menggunakan jangka sorong, untuk melihat
kemampuan senyawa bioaktif hydroid Aglaophenia cupressina Lamaureoux
menghambat pertumbuhan bakteri uji.
Hasil pengukuran daya hambat pada 24 jam dan 48 jam ditabulasi dan dianalisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Uji toksisitas dengan menggunakan metode BrineShrimp Lethality Test
(BST)
Uji aktivitas dalam letal konsentrasi (LC50) dalam µg/ml terhadap benur udang A.
salina Leanch adalah sebagai berikut :
(1) Asam heksadekanoat memiliki aktivitas (LC50 ) sebesar 29,54 µg/ml. Data
tersebut menunjukkan toksisitas yang sangat tinggi. Menurut Anderson et al.,
(1991) ketentuan suatu senyawa murni dikatakan aktif apabila nilai (LC 50)
dibawah atau sama dengan 200 µg/ml dan 500 µg/ml untuk ekstrak atau fraksi.
Dengan toksisitas (LC50) 29,54µg/ml menunjukkan senyawa tersebut memiliki
sifat bioaktivitas sangat tinggi.
(2) β-sitosterol tidak dilakukan uji toksisitas karena senyawa tersebut tidak larut
dalam DMSO.
b. Uji Antibakteri
Dari hasil pengukuran diameter hambatan pada konsentrasi 1% terhadap kedua
jenis bakteri patogen setelah 24 jam dan 48 jam diperoleh hasil sebagai berikut :
Fraksi
Zona Hambatan
Fraksi
Zona Hambatan
A = asam
Heksadekanoat
15,40 mm
A = Asam
Heksadekanoat
14,75 mm
14,85 mm
B
= Senyawa (2)
C
= β-sitosterol
D
= Kontrol (+)
E
= Kontrol (-)
14,10 mm
B = Senyawa (2)
12,10 mm
10,40 mm
C = β-sitosterol
16,35 mm
15,65 mm
D = Kontrol (+)
0
mm
0
mm
E = Kontrol (-)
Fraksi
Zona Hambatan
Fraksi
Zona Hambatan
A = Asam
Heksadekanoat
14,50 mm
A = Asam
Heksadekanoat
13,60 mm
14,00 mm
B
= Senyawa (2)
C
= β-sitosterol
D
= Kontrol (+)
E
= Kontrol (-)
13,25 mm
B = Senyawa (2)
0
mm
0
mm
C = β-sitosterol
16,35 mm
15,75 mm
D = Kontrol (+)
0
mm
0
mm
E = Kontrol (-)
Asam heksadekanoat dengan konsentrasi 1% memperlihatkan sifat bakteriostatik
karena menunjukkan daya hambat pertumbuhan bakteri Salmonella thypii dan
Staphylococcus aureus pada selang waktu 24 jam dengan rata-rata diameter zona
hambatan 15,40 mm dan 14,75 mm, meskipun pada 48 jam memperlihatkan penurunan
daya hambatan 14,50 mm dan 13,60 mm. Sesuai dengan pendapat Wattimena (1991),
suatu senyawa mempunyai sifat antibakteri maupun antijamur apabila rata-rata
diameter zina hambatan > 14 mm. Jika konsentrasi asam heksadekanoat ditingkatkan
5-10% diduga senyawa tersebut bersifat mematikan atau bakteriosid.
Adanya perbedaan diameter hambatan pada bakteri Salmonella thypii dan
Staphylococcus aureus dapat disebabkan karena perbedaan kepekaan organism
terhadap zat aktif yang digunakan.
Hasil uji β-sitosterol menunjukkkan senyawa tersebut tidak memiliki sifat antibakteri,
terlihat hasil diameter zona hambatan pada bakteri Salmonella thypii dan
Staphylococcus aureus adalah 12,10 mm dan 10,40 mm.
KESIMPULAN
Senyawa asam heksadekanoat dari golongan asam karboksilat memiliki sifat toksisitas
sangat tinggi dengan (LC50) 29,54 µg/ml dan bersifat antibakteri Sedangkan senyawa βsitosterol dari golongan steroid, tidak memiliki sifat antibakteri.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J. E., Goetz, C. M., and McLaughlin J. L., 1991. A Blind Comparison of
Simple Branch-Top Bioassay ad Human Tumor Cell Cytotoxicities as Anti Tumor
Prescreen. Phytochemical Analysis, 6; 107-111.
Johannes E., (2008). Isolasi, Karakterisasi da Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder dari
Hydroid Aglaophenia cupressina Lamoureoux Sebagai Bahan Dasar Antimikroba.
Program PascaSarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mellisa, K., Johnson, Karen E., Alexander Niels Lindquist and George Loo, 1999.Activity
Antioksidan Potential of Hydroid. Department of Nutrition and Foodservice System.
School of Human Enviromental Science niversity of North Carolina at Chapel Hill.
Biochemical Pharmacology. Vol 58. 1313-1319.
Paradise, M. A. Grassi, G. Conti, F. Passareli and M. G. Curci Abu Erra, 2006. Fir Coral
Persistant Cutaneous Reaction (online), (http:jr.science.wep.Muhio,edu/filedcourse
diakses 7 maret 2007).
Rachmaniar, R., 2003. Antikanker Swinholide A dari spons Theonella Swinhoei. Jurnal
Bahan Alam Indonesia. Vol. 2 No. 4, 122.
Wattimena, J. R., 1991. Farmakodinami dan Terapi Antibiotik. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Yuliani, S., 2001. Prospek Pengembangan Obat Tradisional Menjadi Obat Fitofarmaka.
Jurnal Litbang Pertanian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obata. Bogor. 20(3).
Download