II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Nila

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan Nila Oreochromis niloticus
Pada awalnya dalam klasifikasi ikan nila memiliki genus Tilapia yang
akhirnya mengalami perubahan oleh Dr. Trewavas. Perubahan klasifikasi ini
menyebabkan genus
Tilapia
terbagi
menjadi
tiga genus
yaitu,
genus
Oreochromia, genus Sarotherodon dan genus Tilapia. Penggolongan ini
berdasarkan perilaku kepedulian induk ikan terhadap telur dan anak-anaknya.
Adapun klasifikasi lengkap yang telah dirumuskan oleh Trewavas (1982) adalah
sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Sub-filum
: Vertebrata
Kelas
: Osteichtyes
Sub-kelas
: Acanthoptherigii
Ordo
: Percomorphi
Sub-ordo
: Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus
Ikan nila termasuk kelompok Tilapia yang memiliki bentuk tubuh
memanjang, ramping dan relatif pipih. Ikan nila dapat hidup di perairan yang
dalam dan luas maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Ikan nila juga dapat
hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya, di waduk, danau, rawa, sawah,
tambak air payau atau di dalam jaring terapung. Salah satu sifat biologi ikan nila
yang penting sehingga ikan ini cocok untuk dibudidayakan adalah respon yang
luas terhadap pakan yakni dapat tumbuh dengan memanfaatkan pakan alami
serta pakan buatan (Khoironi, 1996).
Walaupun ikan nila termasuk ikan air tawar, ikan ini bersifat euryhaline dan
dapat bertahan, tumbuh, dan beberapa spesies dapat memijah pada perairan
yang bersalinitas 40 mg/l. Aktivitas makan ikan akan berkurang pada suhu di
bawah 20oC dan berhenti makan pada suhu 16oC (Lovell, 1989). Nila adalah
spesies akuakultur yang cukup menarik karena pertumbuhannya cepat, trofik
level feeding-nya rendah sehingga dapat digunakan sebagai filter feeder,
reproduksinya cepat dan mampu menstabilkan kelimpahan fitoplankton (Turker
et al., 2003).
4
2.2 Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila
Kebutuhan nutrisi ikan akan terpenuhi dengan adanya pakan. Komponen
pakan yang berkontribusi terhadap penyediaan materi dan energi tumbuh adalah
protein, karbohidrat dan lemak. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya ukuran ikan, temperatur air, kadar pemberian pakan,
kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein
(Furuichi, 1988).
Protein merupakan molekul kompleks yang terdiri dari asam amino
esensial dan non esensial. Protein adalah nutrien yang sangat dibutuhkan untuk
perbaikan jaringan tubuh yang rusak, pemeliharaan protein tubuh untuk
pertumbuhan, materi untuk pembentukan enzim dan beberapa jenis hormon, dan
juga sebagai sumber energi (NRC, 1993). Sekitar 65-75 % dari tubuh ikan dalam
berat kering merupakan protein (Halver, 1989). Ikan menggunakan protein
secara efisien sebagai sumber energi (Lovell, 1989).
Pertumbuhan maksimum pada ikan nila didapat dengan level protein 3550%, tetapi level optimum dalam pakan komersil untuk ikan nila juvenil sampai
dengan dewasa biasanya 25-35% (Popma and Lovshin, 1996). Sedangkan pada
kolam atau tambak yang memiliki pakan alami yang dapat menyumbangkan
protein bagi ikan, maka kadar protein dalam pakan yang memadai untuk ikan
dapat berkisar antara 20-25% (Newman, et.al., 1979: Lovell, 1980
dalam
Webster dan Lim, 2002).
Jika ikan kekurangan sumber protein, maka pertumbuhan akan terhambat
dikarenakan
protein
yang
dimakan
oleh
ikan
akan
digunakan
untuk
mempertahankan fungsi jaringan tubuh yang lebih penting. Hal ini bahkan dapat
menyebabkan terjadinya penurunan bobot ikan karena protein yang terkandung
dalam jaringan tubuh ikan dipecah kembali untuk mempertahankan fungsi
jaringan tubuh yang lebih penting tersebut (NRC, 1993; Halver, 1989).
Lemak sebagai salah satu makronutrien bagi ikan karena selain berfungsi
sebagai sumber energi non protein dan asam lemak essensial, juga berfungsi
memelihara bentuk dan fungsi fosfolipid, membantu dalam absorbsi vitamin yang
larut dalam lemak dan mempertahankan daya apung tubuh (NRC, 1993).
Lemak pakan merupakan sumber asam lemak esensial (essential fatty acid
=EFA) yang dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan metabolisme
tubuh (NRC, 1993). Dalam satu gram lemak memiliki energi dalam pakan (gross
5
energy) sebesar 9,4 kkal, sedangkan dalam protein dan karbohidrat sebesar 5,6
dan 4,1 kkal (Watanabe, 1988).
6,
Jenis asam lemak yang dibutuhkan ikan diantaranya asam lemak
3 dan
berupa
asam
asam
eicosapentaenoic
linolenat
(EPA,
(18:3 3),
20:5 3),
asam
linoleat
dan decosahexaenoic
(18:2 6),
(DHA,
22:6 3)
(Millamena dalam SEADFEC, 2002). Akan tetapi menurut Takeuchi et al (1983)
dalam Watanabe (1988), jenis asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh ikan
nila adalah 18:2 6 0,5% asam lemak linoleat. Kadar lemak dalam pakan sebesar
5% sudah mencukupi untuk kebutuhan ikan nila, tetapi jika kadar lemak dalam
pakan ditingkatkan menjadi 12% akan memberi pengaruh berupa perkembangan
maksimal pada ikan nila (Chou dan Shiau, 1996 dalam Webster, 2002).
Menurut Takeuchi, Satoh, dan Watanabe (1983) dalam Lovell (1989)
Sumber lemak yang baik untuk ikan nila adalah berasal dari minyak nabati
seperti minyak jagung atau minyak kedelai yang memiliki kandungan 18:2 6
(linoleat) yang ditunjukkan dengan pertumbuhan yang baik pada ikan
dibandingkan dengan minyak ikan yang memiliki kandungan asam lemak 20:5 3
(EPA). Kekurangan kadar asam lemak omega 3 dan omega 6 pada pakan dapat
menyebabkan nafsu makan ikan menurun, pertumbuhan yang lambat, dan
pembengkakan pada ikan, pucat, dan lemak pada hati (Lovell, 1989).
Karbohidrat
merupakan
sumber
energi
yang
murah
dan
dapat
menggantikan atau menghemat penggunaan protein (protein sparing effect)
yang lebih mahal sebagai sumber energi (Millamena dalam SEADFEC, 2002).
Karbohidrat dalam pakan dapat berupa serat kasar serta bahan ekstrak tanpa
nitrogen (BETN) (NRC, 1993). BETN mengandung banyak gula dan pati yang
bersifat mudah dicerna sedangkan serat kasar kaya akan lignin dan selulosa
yang sukar untuk dicerna. Sedangkan Lovell (1989) mengemukakan bahwa
pemberian tingkat energi optimum dalam pakan sangat penting karena kelebihan
dan kekurangan energi dapat menurunkan pertumbuhan ikan.
Pemanfaatan karbohidrat oleh ikan berbeda-beda bergantung kepada
kompleksitas karbohidrat. Kadar optimum karbohidrat dalam pakan ikan sulit
untuk ditentukan karena protein dan lemak mendahului fungsi karbohidrat
sebagai sumber energi (Furuichi, 1988). Ikan-ikan karnivora tidak mampu
memanfaatkan karbohidrat kompleks seperti glukosa, sukrosa dan laktosa
sebagai energi utama dalam pakannya pada level yang tinggi. Ikan-ikan
omnivora dan herbivora dapat mencerna karbohidrat yang berasal dari tumbuh-
6
tumbuhan (Yamada, 1983). Ikan-ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat
optimum pada tingkat 10 - 20% dalam pakannya sedangkan ikan-ikan omnivora
mampu memanfaatkan karbohidrat optimum sebesar 30 - 40% dalam pakan
(Furuichi, 1988).
Komponen lain yang dibutuhkan dalam pakan ikan yaitu vitamin dan
mineral. Jumlah yang dibutuhkan dari vitamin dan mineral dalam pembuatan
pakan sangatlah kecil namun kehadirannya dalam pakan sangat penting karena
dibutuhkan tubuh ikan untuk tumbuh dan menjalani beberapa fungsi tubuh. NRC
(1993) menjelaskan bahwa mineral merupakan senyawa yang digunakan untuk
proses respirasi, osmoregulasi, dan pembentukan kerangka tulang. Vitamin
merupakan senyawa organik kompleks yang diperlukan untuk tumbuh secara
normal, reproduksi, kesehatan, dan metabolisme secara umum.
2.3 Distillers Dried Grains With Solubles (DDGS)
Distillers Dried Grains with Solubles (DDGS) merupakan hasil samping
pada industri penyulingan etanol. Sebagian besar DDGS berbahan dasar jagung.
Pada proses pembuatan etanol terdapat residu yang diperoleh setelah jagung
yang telah digiling dan difermentasikan oleh ragi Saccharomyces cerevisiae
mengalami proses destilasi. Residu tersebut kemudian dipadatkan dan
dikeringkan hingga menjadi 75 % dari bobot awal (Hertrampf dan Pascual, 2000).
Komposisi kimia DDGS dipengaruhi oleh bahan dasarnya, proses, dan alat
yang digunakan pada saat destilasi. DDGS yang berasal dari jagung
mengandung protein 27,8 % , lemak 10 % , abu 4,7 % , serat kasar 10,9 % , dan
kadar air sebesar 9,2 % (Hertrampf dan Pascual, 2000).
Menurut Hertrampf dan Pascual (2000), DDGS dapat berfungsi sebagai
sumber protein maupun energi. Penambahan lysine dibutuhkan pada DDGS
yang berbahan dasar jagung. Variasi kandungan mineral dari DDGS sangat
tinggi. DDGS merupakan sumber fosfor yang baik, namun rendah akan kalsium.
DDGS mengandung 0.15 % kalsium dan 0.7 % fosfor. Secara umum DDGS
dapat digunakan untuk ikan dengan jumlah 10-35 % (Hertrampf dan Pascual,
2000).
2.4 Palm Kernel Meal (PKM)
Perkembangan produksi kelapa sawit di Indonesia terus meningkat. Pada
tahun 2005 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 39,35% dari ekspor
7
minyak sawit dunia, dan pada periode yang sama, pangsa ekspor minyak sawit
Malaysia sekitar 50,68%. Pada tahun 2006 pangsa ekspor minyak sawit
Indonesia mencapai 39,18% dari ekspor minyak sawit dunia dan Malaysia sekitar
50,31%. Dengan demikian, pangsa pasar Malaysia cenderung menurun,
sebaliknya pangsa pasar Indonesia makin meningkat seiring dengan peningkatan
produksi minyak sawit Indonesia (Anonim, 2007)
Pada tahun 2010 jumlah ekspor minyak sawit Indonesia diproyeksikan
akan menyamai Malaysia dan sedikit di atas jumlah ekspor Malaysia pada tahuntahun berikutnya. Dalam periode 2006-2010, harga minyak sawit di pasar Eropa
diperkirakan relatif stabil pada kisaran USD 388,48-USD 521,85/ ton. Stabilitas
harga ini tidak terlepas dari berkembangnya pasar minyak sawit, terutama di
negara-negara berkembang (Anonim, 2007).
Melihat kenyataan ini bungkil kelapa sawit cukup potensial untuk
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ikan. Protein tepung kelapa sawit berkisar
antara 13 - 22% (Sundu et al., 2003). Berdasarkan hasil analisis ini terlihat
bahwa kandungan protein kasar dari bungkil kelapa sawit cukup baik dijadikan
sebagai bahan pakan ikan. Profil asam amino pada tepung kelapa sawit rendah
akan lisin dan metionin (Hertrampf dan Pascual, 2000). Kadar serat yang tinggi
yaitu 23% bobot kering (Tang, 2004) membuat kecernaannya rendah, selain itu
dalam PKM terdapat karbohidrat yang sebagian besarnya berupa 78% mannan
yang bersifat tidak tercerna dan tidak larut dalam air (Sundu dan Dingle, 2003).
Bahan baku pakan yang berasal dari biji-bijian tumbuhan seperti biji
gandum dan minyak tumbuhan mengandung jumlah protein yang signifikan dan
berpotensi untuk menggantikan tepung ikan. Namun jika dibandingkan dengan
tepung ikan dan tepung daging, kandungan karbohidrat yang dikandung biji-bijian
jauh lebih besar, walaupun masih sangat sedikit dimanfaatkan oleh berbagai
spesies ikan (Stone, 2003).
Penggunaan PKM 20% (bobot kering) dalam pakan ikan nila tilapia
(Oreochromis sp) tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan
dan efisiensi pakan bila dibandingkan dengan pakan kontrol yang menggunakan
tepung ikan 21,19% dan tepung bungkil kedelai 30,73% sebagai sumber protein.
Namun jika PKM diberikan dengan menggunakan enzim maka penggunaan PKM
40% akan memberikan pertumbuhan yang lebih baik dari penggunaan PKM
tanpa ada perlakuan enzim. Semakin tinggi penggunaan PKM dalam pakan ikan
8
nila tilapia (Oreochromis sp) akan semakin menurunkan tingkat kecernaan
protein, lemak dan energi (Ng, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Lim (2001) pada ikan tilapia (Oreochromis
mossambicus) menunjukkan bahwa penggunaan PKM 30% dalam pakan
memberikan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan ikan yang diberi
pakan kontrol yang menggunakan tepung ikan 43% dan tepung bungkil kedelai
20,75% sebagai sumber protein walaupun tingkat kecernaan proteinnya lebih
rendah dari pakan kontrol.
2.5 Cairan Rumen dan Pemanfaatannya
Perut hewan ruminansia terdiri atas rumen, retikulum, omasum, dan
abomasum. Volume rumen pada ternak sapi dapat mencapai 100 liter atau lebih
dan untuk domba berkisar 10 liter. Rumen diakui sebagai sumber enzim
pendegradasi polisakarida. Polisakarida dihidrolisis di rumen disebabkan
pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks mikroorganisme, terutama
sellulase dan xillanase (Trinci et el., 1994). Ada dua grup jenis mikroorganisme
yang diyakini pada cairan rumen (liquid phase) dan yang menempel pada digesta
rumen.
Enzim
yang
aktif
mendegradasi
struktural
polisakarida
hijauan
kebanyakan aktif pada mikroorganisme yang menempel pada partikel pakan.
Di dalam retikulo rumen terdapat mikroba rumen yang terdiri atas protozoa
dan bakteri yang berfungsi melaksanakan fermentasi untuk mensintesis asam
amino, vitamin B-komplek dan vitamin K sebagai sumber zat makanan bagi
hewan induk (Hungate, 1966). Mikroba-mikroba rumen mensekeresikan enzimenzim pencernaan
ke dalam cairan rumen untuk membantu mendegradasi
partikel makanan. Enzim-enzim tersebut antara lain enzim yang mendegradasi
substrat
selulosa,
yaitu
selulase,
hemiselulosa/xylosa
adalah
hemiselulase/xylanase, pati adalah amilase, pektin adalah pektinase, lipid/lemak
adalah lipase, protein adalah protease dan lain-lain (Kamra, 2005). Aktivitas
enzim dalam cairan rumen juga tergantung dari komposisi atau perlakuan
makanan (Moharery dan Das, 2001).
Lee et al. (2002) memetakan enzim-enzim dalam cairan rumen domba.
Enzim-enzim yang terdapat dalam cairan rumen domba antara lain adalah
enzim-enzim selulotik terdiri atas beta-D-endoglukanase, beta-D-exoglukanase,
beta-D-glukosidase dan beta-D-fucosida fucohydrolase, enzim-enzim xylanolitik
terdiri atas beta-D-xylanase, beta-D-xylosidase, acethyl esterase dan alfa-L-
9
arabinofuranosidase, enzim-enzim pektinolitik terdiri atas polygalakturonase,
pectate lyase dan pectin lyase, dan enzim-enzim lain yang terdiri atas betaamilase, endo-arabilase, beta-D-gluanase (laminarinase), beta-D-glucanase
(Lichenase), beta-D-glucanase (Pechimanase) dan protease. Beberapa enzim
dalam cairan rumen dan aktivitas enzimnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi enzim cairan rumen domba
Lee et al. (2002)1
Enzim hanya
Enzim dalam semua
dalam cairan
isi rumen domba
rumen domba
Total Enzim (IU)
Selulase
- CMCase
362,7 12,80
1183,7 20,39 (IU/ml enzim/menit)
(IU/ml
enzim/menit)
Hemiselulase
- Xylanase
528,6 29,03
1751 26,53 (IU/ml enzim/menit)
(IU/ml
enzim/menit)
- Amilase
439,0 16,53
637,9 14,80 (IU/ml enzim/menit)
(IU/ml
enzim/menit
- Protease
84,80 2,52
125,6 3,83 (IU/ml enzim/menit)
(IU/ml
enzim/menit)
Aktivitas Spesifik (IU/mg protein)
Selulase
- CMCase
206,7 9,03
720,2 19,43 (IU/mg protein/menit)
(IU/mg
protein/menit)
Hemiselulase
- Xylanase
300,2 11,34
1068,6 53,48 (IU/mg protein/menit)
(IU/mg
protein/menit)
- Amilase
250,90 14,82
390,2 25,68 (IU/mg protein/menit)
(IU/mg
protein/menit)
- Protease
48,30 1,85
76,7 4,70 (IU/mg protein/menit)
(IU/mg
protein/menit)
Keterangan :
1) Domba dewasa yang diberi makan ransum dasar alfalfa
2) Enzim dari caira rumen anak domba yang diberi makan air susu
minggu
Sumber : (Moharrery and Das, 2001).
Enzim
Agarwal et al. (2003)2
3,60 0,63 umol
glukosa/jam/ml
0,29 0,05 umol
xylosa/menit/ml
0,33 0,09 (umol
glukosa/menit/ml)
452,7 154,3 Ug hidrolisis
protein/jam/ml)
dan konsentrat sampai umur 9
2.6 Enzim Pencernaan dan Peranannya dalam Proses Pencernaan
Pemanfaatan materi dan energi pakan untuk pertumbuhan terlebih dahulu
melalui suatu proses pencernaan dan metabolisme. Dalam proses pencernaan,
makanan yang tadinya merupakan senyawa kompleks akan dipecah menjadi
senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah diserap malalui dinding usus
dan disebarkan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Protein
terhidrolisis manjadi asam amino bebas dan peptida-peptida pendek, karbohidrat
dipecah menjadi gula-gula sederhana dan lemak menjadi asam-asam lemak dan
10
gliserol. Proses-proses di atas dilakukan oleh enzim-enzim pencernaan (Tillman
et al. 1991).
Enzim adalah katalisator biologis dalam reaksi kimia yang sangat
dibutuhkan dalam kehidupan. Enzim adalah protein, yang disintesis di dalam sel
dan dikeluarkan dari sel yang membentuknya melalui proses eksositosis. Enzim
yang disekresikan ke luar sel digunakan untuk pencernaan di luar sel (di dalam
rongga pencernaan) atau disebut extra celluler digestion, sedangkan enzim yang
dipertahankan di dalam sel digunakan untuk pencernaan di dalam sel itu sendiri
atau disebut intra celluler digestion (Affandi et al, 1992).
Enzim pencernaan yang disekresikan dalam rongga pencernaan berasal
dari sel-sel mukosa lambung, pilorik kaeka, pankreas, dan mukosa usus. Oleh
karena
itu,
perkembangan
sistem
pencernaan
erat
kaitannya
dengan
perkembangan aktivitas enzim di dalam rongga saluran penceranan (Watford
dan Lam, 1993). Enzim-enzim tersebut berperan sebagai katalisator dalam
hidrolisis protein, lemak dan karbohidrat menjadi bahan-bahan yang sederhana.
Sel-sel mukosa lambung menghasilkan enzim protease dengan suatu aktivitas
proteolitik optimal pada pH rendah. Pilorik kaeka yang merupakan perpanjangan
usus terutama mensekresikan enzim yang sama seperti yang dihasilkan pada
bagian usus yaitu enzim pencernaan protein, lemak, dan karbohidrat yang aktif
pada pH netral dan sedikit basa. Cairan pankreatik kaya akan tripsin, yaitu suatu
protease yang aktivitasnya optimal sedikit di bawah pH basa. Selain itu, cairan ini
juga mengandung amilase, maltase, dan lipase. Ikan yang tidak memiliki
lambung dan pilorik kaeka, aktivitas proteolitik terutama berasal dari cairan
pankreatik.
Kemampuan ikan dalam mencerna makanan sangat bergantung pada
kelengkapan organ pencernaan dan ketersediaan enzim
pencernaan.
Perkembangan saluran pencernaan tersebut berlangsung secara bertahap dan
setelah
mencapai
ukuran/umur
tertentu
saluran
pencernaan
mencapai
kesempurnaannya. Perkembangan struktur alat pencernaan ini diikuti oleh
perkembangan enzim pencernaan dan perubahan kebiasaan makan (food habit).
Kandungan nutrien pakan nampaknya berpengaruh pada aktivitas enzim
pencernaan. Kuzmina (1996) mengungkapkan bahwa tersediannya substrat
merupakan faktor yang nyata dalam pengaturan aktivitas enzim pada ikan dan
mamalia. Kandungan protein pakan yang tinggi dikaitkan dengan kandungan
selulosa yang rendah umumnya meningkatkan aktivitas protease pada ikan
11
rainbow trout (Hepher, 1990). Peningkatan proporsi pati kentang dalam pakan
dari 10 menjadi 90% yang diiukuti penurunan proporsi tepung ikan akan
meningkatkan aktivitas enzim maltase dan amilase pada ikan mas, dan adaptasi
enzim karbohidrase ini terhadap komposisi pakan sudah terlihat kurang dari satu
minggu (Kawai dan Ikeda, 1972).
Stickney dan Shumway (1974) menyatakan bahwa enzim selulosa
diproduksi oleh mikroflora usus, yang dihubungkan dengan aktivitas selulase
dalam usus dengan jumlah selulase/bakteri selulotik. Das dan Tripathi (1991)
mendapatkan kemunduran drastis dalam aktivitas selulase ketika ikan grass carp
diberi pakan dari makanan yang mengandung tetrasiklin. Beberapa penelitian
telah melaporkan bahwa ikan tidak memiliki enzim selulosa dan kemungkinan
adanya populasi mikroba selulotik di saluran pencernaan ikan juga masih
menjadi kontrofersi di kalangan peneliti (Stickney dan Shumway, 1974).
Enzim
protease
menguraikan
rantai-rantai
peptida
dari
protein.
Bergantung pada letak ikatan peptida pada tengah atau akhir molekul, peptidase
diklasifikasikan menjadi endopeptidase dan eksopeptidase. Endopeptidase
menghidrolisis protein dan peptida-peptida rantai panjang menjadi peptidapeptida pendek. Endopeptidase antara lain pepsin yang dihasilkan dari zimogen
pepsinogen, tripsin dan tripsinogen, dan kimotripsin dari kimotripsinogen.
Eksopeptidase menghidrolisis peptida menjadi asama amino. Karboksipeptidase,
aminopeptidase, dan dipeptidase termasuk dalam kelompok eksopeptidase. Alfa
amilase adalah enzim yang bertanggung jawab menghidrolisis pati menjadi
glukosa. Enzim ini memutuskan ikatan 1,4
-glukosidik dan mengubah pati
menjadi glukosa dan maltosa. Sedangkan lipase adalah enzim penting dalam
pencernaan lemak. Lipase memecah lemak menjadi gliserol dan asam lemak
(Steffens, 1989; Hepher, 1990).
Enzim berperan dalam mengubah laju reaksi sehingga kecepatan reaksi
yang diperlihatkan dapat dijadikan ukuran kreativitas enzim. Satu unit aktivitas
enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim adalah jumlah yang menyebabkan
pengubahan 1 mikromol substrat permenit pada suhu 25oC pada keadaan
pengukuran optimal (Lehninger, 1982). Aktivitas enzim bergantung pada
konsentrasi enzim dan substrat, suhu, pH, dan inhibitor (Poedjiadi, 1994).
Download