II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Nila Oreochromis niloticus Pada awalnya dalam klasifikasi ikan nila memiliki genus Tilapia yang akhirnya mengalami perubahan oleh Dr. Trewavas. Perubahan klasifikasi ini menyebabkan genus Tilapia terbagi menjadi tiga genus yaitu, genus Oreochromia, genus Sarotherodon dan genus Tilapia. Penggolongan ini berdasarkan perilaku kepedulian induk ikan terhadap telur dan anak-anaknya. Adapun klasifikasi lengkap yang telah dirumuskan oleh Trewavas (1982) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub-filum : Vertebrata Kelas : Osteichtyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus Ikan nila termasuk kelompok Tilapia yang memiliki bentuk tubuh memanjang, ramping dan relatif pipih. Ikan nila dapat hidup di perairan yang dalam dan luas maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Ikan nila juga dapat hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya, di waduk, danau, rawa, sawah, tambak air payau atau di dalam jaring terapung. Salah satu sifat biologi ikan nila yang penting sehingga ikan ini cocok untuk dibudidayakan adalah respon yang luas terhadap pakan yakni dapat tumbuh dengan memanfaatkan pakan alami serta pakan buatan (Khoironi, 1996). Walaupun ikan nila termasuk ikan air tawar, ikan ini bersifat euryhaline dan dapat bertahan, tumbuh, dan beberapa spesies dapat memijah pada perairan yang bersalinitas 40 mg/l. Aktivitas makan ikan akan berkurang pada suhu di bawah 20oC dan berhenti makan pada suhu 16oC (Lovell, 1989). Nila adalah spesies akuakultur yang cukup menarik karena pertumbuhannya cepat, trofik level feeding-nya rendah sehingga dapat digunakan sebagai filter feeder, reproduksinya cepat dan mampu menstabilkan kelimpahan fitoplankton (Turker et al., 2003). 4 2.2 Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila Kebutuhan nutrisi ikan akan terpenuhi dengan adanya pakan. Komponen pakan yang berkontribusi terhadap penyediaan materi dan energi tumbuh adalah protein, karbohidrat dan lemak. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya ukuran ikan, temperatur air, kadar pemberian pakan, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein (Furuichi, 1988). Protein merupakan molekul kompleks yang terdiri dari asam amino esensial dan non esensial. Protein adalah nutrien yang sangat dibutuhkan untuk perbaikan jaringan tubuh yang rusak, pemeliharaan protein tubuh untuk pertumbuhan, materi untuk pembentukan enzim dan beberapa jenis hormon, dan juga sebagai sumber energi (NRC, 1993). Sekitar 65-75 % dari tubuh ikan dalam berat kering merupakan protein (Halver, 1989). Ikan menggunakan protein secara efisien sebagai sumber energi (Lovell, 1989). Pertumbuhan maksimum pada ikan nila didapat dengan level protein 3550%, tetapi level optimum dalam pakan komersil untuk ikan nila juvenil sampai dengan dewasa biasanya 25-35% (Popma and Lovshin, 1996). Sedangkan pada kolam atau tambak yang memiliki pakan alami yang dapat menyumbangkan protein bagi ikan, maka kadar protein dalam pakan yang memadai untuk ikan dapat berkisar antara 20-25% (Newman, et.al., 1979: Lovell, 1980 dalam Webster dan Lim, 2002). Jika ikan kekurangan sumber protein, maka pertumbuhan akan terhambat dikarenakan protein yang dimakan oleh ikan akan digunakan untuk mempertahankan fungsi jaringan tubuh yang lebih penting. Hal ini bahkan dapat menyebabkan terjadinya penurunan bobot ikan karena protein yang terkandung dalam jaringan tubuh ikan dipecah kembali untuk mempertahankan fungsi jaringan tubuh yang lebih penting tersebut (NRC, 1993; Halver, 1989). Lemak sebagai salah satu makronutrien bagi ikan karena selain berfungsi sebagai sumber energi non protein dan asam lemak essensial, juga berfungsi memelihara bentuk dan fungsi fosfolipid, membantu dalam absorbsi vitamin yang larut dalam lemak dan mempertahankan daya apung tubuh (NRC, 1993). Lemak pakan merupakan sumber asam lemak esensial (essential fatty acid =EFA) yang dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan metabolisme tubuh (NRC, 1993). Dalam satu gram lemak memiliki energi dalam pakan (gross 5 energy) sebesar 9,4 kkal, sedangkan dalam protein dan karbohidrat sebesar 5,6 dan 4,1 kkal (Watanabe, 1988). 6, Jenis asam lemak yang dibutuhkan ikan diantaranya asam lemak 3 dan berupa asam asam eicosapentaenoic linolenat (EPA, (18:3 3), 20:5 3), asam linoleat dan decosahexaenoic (18:2 6), (DHA, 22:6 3) (Millamena dalam SEADFEC, 2002). Akan tetapi menurut Takeuchi et al (1983) dalam Watanabe (1988), jenis asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh ikan nila adalah 18:2 6 0,5% asam lemak linoleat. Kadar lemak dalam pakan sebesar 5% sudah mencukupi untuk kebutuhan ikan nila, tetapi jika kadar lemak dalam pakan ditingkatkan menjadi 12% akan memberi pengaruh berupa perkembangan maksimal pada ikan nila (Chou dan Shiau, 1996 dalam Webster, 2002). Menurut Takeuchi, Satoh, dan Watanabe (1983) dalam Lovell (1989) Sumber lemak yang baik untuk ikan nila adalah berasal dari minyak nabati seperti minyak jagung atau minyak kedelai yang memiliki kandungan 18:2 6 (linoleat) yang ditunjukkan dengan pertumbuhan yang baik pada ikan dibandingkan dengan minyak ikan yang memiliki kandungan asam lemak 20:5 3 (EPA). Kekurangan kadar asam lemak omega 3 dan omega 6 pada pakan dapat menyebabkan nafsu makan ikan menurun, pertumbuhan yang lambat, dan pembengkakan pada ikan, pucat, dan lemak pada hati (Lovell, 1989). Karbohidrat merupakan sumber energi yang murah dan dapat menggantikan atau menghemat penggunaan protein (protein sparing effect) yang lebih mahal sebagai sumber energi (Millamena dalam SEADFEC, 2002). Karbohidrat dalam pakan dapat berupa serat kasar serta bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) (NRC, 1993). BETN mengandung banyak gula dan pati yang bersifat mudah dicerna sedangkan serat kasar kaya akan lignin dan selulosa yang sukar untuk dicerna. Sedangkan Lovell (1989) mengemukakan bahwa pemberian tingkat energi optimum dalam pakan sangat penting karena kelebihan dan kekurangan energi dapat menurunkan pertumbuhan ikan. Pemanfaatan karbohidrat oleh ikan berbeda-beda bergantung kepada kompleksitas karbohidrat. Kadar optimum karbohidrat dalam pakan ikan sulit untuk ditentukan karena protein dan lemak mendahului fungsi karbohidrat sebagai sumber energi (Furuichi, 1988). Ikan-ikan karnivora tidak mampu memanfaatkan karbohidrat kompleks seperti glukosa, sukrosa dan laktosa sebagai energi utama dalam pakannya pada level yang tinggi. Ikan-ikan omnivora dan herbivora dapat mencerna karbohidrat yang berasal dari tumbuh- 6 tumbuhan (Yamada, 1983). Ikan-ikan karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat optimum pada tingkat 10 - 20% dalam pakannya sedangkan ikan-ikan omnivora mampu memanfaatkan karbohidrat optimum sebesar 30 - 40% dalam pakan (Furuichi, 1988). Komponen lain yang dibutuhkan dalam pakan ikan yaitu vitamin dan mineral. Jumlah yang dibutuhkan dari vitamin dan mineral dalam pembuatan pakan sangatlah kecil namun kehadirannya dalam pakan sangat penting karena dibutuhkan tubuh ikan untuk tumbuh dan menjalani beberapa fungsi tubuh. NRC (1993) menjelaskan bahwa mineral merupakan senyawa yang digunakan untuk proses respirasi, osmoregulasi, dan pembentukan kerangka tulang. Vitamin merupakan senyawa organik kompleks yang diperlukan untuk tumbuh secara normal, reproduksi, kesehatan, dan metabolisme secara umum. 2.3 Distillers Dried Grains With Solubles (DDGS) Distillers Dried Grains with Solubles (DDGS) merupakan hasil samping pada industri penyulingan etanol. Sebagian besar DDGS berbahan dasar jagung. Pada proses pembuatan etanol terdapat residu yang diperoleh setelah jagung yang telah digiling dan difermentasikan oleh ragi Saccharomyces cerevisiae mengalami proses destilasi. Residu tersebut kemudian dipadatkan dan dikeringkan hingga menjadi 75 % dari bobot awal (Hertrampf dan Pascual, 2000). Komposisi kimia DDGS dipengaruhi oleh bahan dasarnya, proses, dan alat yang digunakan pada saat destilasi. DDGS yang berasal dari jagung mengandung protein 27,8 % , lemak 10 % , abu 4,7 % , serat kasar 10,9 % , dan kadar air sebesar 9,2 % (Hertrampf dan Pascual, 2000). Menurut Hertrampf dan Pascual (2000), DDGS dapat berfungsi sebagai sumber protein maupun energi. Penambahan lysine dibutuhkan pada DDGS yang berbahan dasar jagung. Variasi kandungan mineral dari DDGS sangat tinggi. DDGS merupakan sumber fosfor yang baik, namun rendah akan kalsium. DDGS mengandung 0.15 % kalsium dan 0.7 % fosfor. Secara umum DDGS dapat digunakan untuk ikan dengan jumlah 10-35 % (Hertrampf dan Pascual, 2000). 2.4 Palm Kernel Meal (PKM) Perkembangan produksi kelapa sawit di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2005 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 39,35% dari ekspor 7 minyak sawit dunia, dan pada periode yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Malaysia sekitar 50,68%. Pada tahun 2006 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 39,18% dari ekspor minyak sawit dunia dan Malaysia sekitar 50,31%. Dengan demikian, pangsa pasar Malaysia cenderung menurun, sebaliknya pangsa pasar Indonesia makin meningkat seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit Indonesia (Anonim, 2007) Pada tahun 2010 jumlah ekspor minyak sawit Indonesia diproyeksikan akan menyamai Malaysia dan sedikit di atas jumlah ekspor Malaysia pada tahuntahun berikutnya. Dalam periode 2006-2010, harga minyak sawit di pasar Eropa diperkirakan relatif stabil pada kisaran USD 388,48-USD 521,85/ ton. Stabilitas harga ini tidak terlepas dari berkembangnya pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang (Anonim, 2007). Melihat kenyataan ini bungkil kelapa sawit cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ikan. Protein tepung kelapa sawit berkisar antara 13 - 22% (Sundu et al., 2003). Berdasarkan hasil analisis ini terlihat bahwa kandungan protein kasar dari bungkil kelapa sawit cukup baik dijadikan sebagai bahan pakan ikan. Profil asam amino pada tepung kelapa sawit rendah akan lisin dan metionin (Hertrampf dan Pascual, 2000). Kadar serat yang tinggi yaitu 23% bobot kering (Tang, 2004) membuat kecernaannya rendah, selain itu dalam PKM terdapat karbohidrat yang sebagian besarnya berupa 78% mannan yang bersifat tidak tercerna dan tidak larut dalam air (Sundu dan Dingle, 2003). Bahan baku pakan yang berasal dari biji-bijian tumbuhan seperti biji gandum dan minyak tumbuhan mengandung jumlah protein yang signifikan dan berpotensi untuk menggantikan tepung ikan. Namun jika dibandingkan dengan tepung ikan dan tepung daging, kandungan karbohidrat yang dikandung biji-bijian jauh lebih besar, walaupun masih sangat sedikit dimanfaatkan oleh berbagai spesies ikan (Stone, 2003). Penggunaan PKM 20% (bobot kering) dalam pakan ikan nila tilapia (Oreochromis sp) tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan efisiensi pakan bila dibandingkan dengan pakan kontrol yang menggunakan tepung ikan 21,19% dan tepung bungkil kedelai 30,73% sebagai sumber protein. Namun jika PKM diberikan dengan menggunakan enzim maka penggunaan PKM 40% akan memberikan pertumbuhan yang lebih baik dari penggunaan PKM tanpa ada perlakuan enzim. Semakin tinggi penggunaan PKM dalam pakan ikan 8 nila tilapia (Oreochromis sp) akan semakin menurunkan tingkat kecernaan protein, lemak dan energi (Ng, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Lim (2001) pada ikan tilapia (Oreochromis mossambicus) menunjukkan bahwa penggunaan PKM 30% dalam pakan memberikan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan ikan yang diberi pakan kontrol yang menggunakan tepung ikan 43% dan tepung bungkil kedelai 20,75% sebagai sumber protein walaupun tingkat kecernaan proteinnya lebih rendah dari pakan kontrol. 2.5 Cairan Rumen dan Pemanfaatannya Perut hewan ruminansia terdiri atas rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Volume rumen pada ternak sapi dapat mencapai 100 liter atau lebih dan untuk domba berkisar 10 liter. Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi polisakarida. Polisakarida dihidrolisis di rumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks mikroorganisme, terutama sellulase dan xillanase (Trinci et el., 1994). Ada dua grup jenis mikroorganisme yang diyakini pada cairan rumen (liquid phase) dan yang menempel pada digesta rumen. Enzim yang aktif mendegradasi struktural polisakarida hijauan kebanyakan aktif pada mikroorganisme yang menempel pada partikel pakan. Di dalam retikulo rumen terdapat mikroba rumen yang terdiri atas protozoa dan bakteri yang berfungsi melaksanakan fermentasi untuk mensintesis asam amino, vitamin B-komplek dan vitamin K sebagai sumber zat makanan bagi hewan induk (Hungate, 1966). Mikroba-mikroba rumen mensekeresikan enzimenzim pencernaan ke dalam cairan rumen untuk membantu mendegradasi partikel makanan. Enzim-enzim tersebut antara lain enzim yang mendegradasi substrat selulosa, yaitu selulase, hemiselulosa/xylosa adalah hemiselulase/xylanase, pati adalah amilase, pektin adalah pektinase, lipid/lemak adalah lipase, protein adalah protease dan lain-lain (Kamra, 2005). Aktivitas enzim dalam cairan rumen juga tergantung dari komposisi atau perlakuan makanan (Moharery dan Das, 2001). Lee et al. (2002) memetakan enzim-enzim dalam cairan rumen domba. Enzim-enzim yang terdapat dalam cairan rumen domba antara lain adalah enzim-enzim selulotik terdiri atas beta-D-endoglukanase, beta-D-exoglukanase, beta-D-glukosidase dan beta-D-fucosida fucohydrolase, enzim-enzim xylanolitik terdiri atas beta-D-xylanase, beta-D-xylosidase, acethyl esterase dan alfa-L- 9 arabinofuranosidase, enzim-enzim pektinolitik terdiri atas polygalakturonase, pectate lyase dan pectin lyase, dan enzim-enzim lain yang terdiri atas betaamilase, endo-arabilase, beta-D-gluanase (laminarinase), beta-D-glucanase (Lichenase), beta-D-glucanase (Pechimanase) dan protease. Beberapa enzim dalam cairan rumen dan aktivitas enzimnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi enzim cairan rumen domba Lee et al. (2002)1 Enzim hanya Enzim dalam semua dalam cairan isi rumen domba rumen domba Total Enzim (IU) Selulase - CMCase 362,7 12,80 1183,7 20,39 (IU/ml enzim/menit) (IU/ml enzim/menit) Hemiselulase - Xylanase 528,6 29,03 1751 26,53 (IU/ml enzim/menit) (IU/ml enzim/menit) - Amilase 439,0 16,53 637,9 14,80 (IU/ml enzim/menit) (IU/ml enzim/menit - Protease 84,80 2,52 125,6 3,83 (IU/ml enzim/menit) (IU/ml enzim/menit) Aktivitas Spesifik (IU/mg protein) Selulase - CMCase 206,7 9,03 720,2 19,43 (IU/mg protein/menit) (IU/mg protein/menit) Hemiselulase - Xylanase 300,2 11,34 1068,6 53,48 (IU/mg protein/menit) (IU/mg protein/menit) - Amilase 250,90 14,82 390,2 25,68 (IU/mg protein/menit) (IU/mg protein/menit) - Protease 48,30 1,85 76,7 4,70 (IU/mg protein/menit) (IU/mg protein/menit) Keterangan : 1) Domba dewasa yang diberi makan ransum dasar alfalfa 2) Enzim dari caira rumen anak domba yang diberi makan air susu minggu Sumber : (Moharrery and Das, 2001). Enzim Agarwal et al. (2003)2 3,60 0,63 umol glukosa/jam/ml 0,29 0,05 umol xylosa/menit/ml 0,33 0,09 (umol glukosa/menit/ml) 452,7 154,3 Ug hidrolisis protein/jam/ml) dan konsentrat sampai umur 9 2.6 Enzim Pencernaan dan Peranannya dalam Proses Pencernaan Pemanfaatan materi dan energi pakan untuk pertumbuhan terlebih dahulu melalui suatu proses pencernaan dan metabolisme. Dalam proses pencernaan, makanan yang tadinya merupakan senyawa kompleks akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah diserap malalui dinding usus dan disebarkan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Protein terhidrolisis manjadi asam amino bebas dan peptida-peptida pendek, karbohidrat dipecah menjadi gula-gula sederhana dan lemak menjadi asam-asam lemak dan 10 gliserol. Proses-proses di atas dilakukan oleh enzim-enzim pencernaan (Tillman et al. 1991). Enzim adalah katalisator biologis dalam reaksi kimia yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Enzim adalah protein, yang disintesis di dalam sel dan dikeluarkan dari sel yang membentuknya melalui proses eksositosis. Enzim yang disekresikan ke luar sel digunakan untuk pencernaan di luar sel (di dalam rongga pencernaan) atau disebut extra celluler digestion, sedangkan enzim yang dipertahankan di dalam sel digunakan untuk pencernaan di dalam sel itu sendiri atau disebut intra celluler digestion (Affandi et al, 1992). Enzim pencernaan yang disekresikan dalam rongga pencernaan berasal dari sel-sel mukosa lambung, pilorik kaeka, pankreas, dan mukosa usus. Oleh karena itu, perkembangan sistem pencernaan erat kaitannya dengan perkembangan aktivitas enzim di dalam rongga saluran penceranan (Watford dan Lam, 1993). Enzim-enzim tersebut berperan sebagai katalisator dalam hidrolisis protein, lemak dan karbohidrat menjadi bahan-bahan yang sederhana. Sel-sel mukosa lambung menghasilkan enzim protease dengan suatu aktivitas proteolitik optimal pada pH rendah. Pilorik kaeka yang merupakan perpanjangan usus terutama mensekresikan enzim yang sama seperti yang dihasilkan pada bagian usus yaitu enzim pencernaan protein, lemak, dan karbohidrat yang aktif pada pH netral dan sedikit basa. Cairan pankreatik kaya akan tripsin, yaitu suatu protease yang aktivitasnya optimal sedikit di bawah pH basa. Selain itu, cairan ini juga mengandung amilase, maltase, dan lipase. Ikan yang tidak memiliki lambung dan pilorik kaeka, aktivitas proteolitik terutama berasal dari cairan pankreatik. Kemampuan ikan dalam mencerna makanan sangat bergantung pada kelengkapan organ pencernaan dan ketersediaan enzim pencernaan. Perkembangan saluran pencernaan tersebut berlangsung secara bertahap dan setelah mencapai ukuran/umur tertentu saluran pencernaan mencapai kesempurnaannya. Perkembangan struktur alat pencernaan ini diikuti oleh perkembangan enzim pencernaan dan perubahan kebiasaan makan (food habit). Kandungan nutrien pakan nampaknya berpengaruh pada aktivitas enzim pencernaan. Kuzmina (1996) mengungkapkan bahwa tersediannya substrat merupakan faktor yang nyata dalam pengaturan aktivitas enzim pada ikan dan mamalia. Kandungan protein pakan yang tinggi dikaitkan dengan kandungan selulosa yang rendah umumnya meningkatkan aktivitas protease pada ikan 11 rainbow trout (Hepher, 1990). Peningkatan proporsi pati kentang dalam pakan dari 10 menjadi 90% yang diiukuti penurunan proporsi tepung ikan akan meningkatkan aktivitas enzim maltase dan amilase pada ikan mas, dan adaptasi enzim karbohidrase ini terhadap komposisi pakan sudah terlihat kurang dari satu minggu (Kawai dan Ikeda, 1972). Stickney dan Shumway (1974) menyatakan bahwa enzim selulosa diproduksi oleh mikroflora usus, yang dihubungkan dengan aktivitas selulase dalam usus dengan jumlah selulase/bakteri selulotik. Das dan Tripathi (1991) mendapatkan kemunduran drastis dalam aktivitas selulase ketika ikan grass carp diberi pakan dari makanan yang mengandung tetrasiklin. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa ikan tidak memiliki enzim selulosa dan kemungkinan adanya populasi mikroba selulotik di saluran pencernaan ikan juga masih menjadi kontrofersi di kalangan peneliti (Stickney dan Shumway, 1974). Enzim protease menguraikan rantai-rantai peptida dari protein. Bergantung pada letak ikatan peptida pada tengah atau akhir molekul, peptidase diklasifikasikan menjadi endopeptidase dan eksopeptidase. Endopeptidase menghidrolisis protein dan peptida-peptida rantai panjang menjadi peptidapeptida pendek. Endopeptidase antara lain pepsin yang dihasilkan dari zimogen pepsinogen, tripsin dan tripsinogen, dan kimotripsin dari kimotripsinogen. Eksopeptidase menghidrolisis peptida menjadi asama amino. Karboksipeptidase, aminopeptidase, dan dipeptidase termasuk dalam kelompok eksopeptidase. Alfa amilase adalah enzim yang bertanggung jawab menghidrolisis pati menjadi glukosa. Enzim ini memutuskan ikatan 1,4 -glukosidik dan mengubah pati menjadi glukosa dan maltosa. Sedangkan lipase adalah enzim penting dalam pencernaan lemak. Lipase memecah lemak menjadi gliserol dan asam lemak (Steffens, 1989; Hepher, 1990). Enzim berperan dalam mengubah laju reaksi sehingga kecepatan reaksi yang diperlihatkan dapat dijadikan ukuran kreativitas enzim. Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim adalah jumlah yang menyebabkan pengubahan 1 mikromol substrat permenit pada suhu 25oC pada keadaan pengukuran optimal (Lehninger, 1982). Aktivitas enzim bergantung pada konsentrasi enzim dan substrat, suhu, pH, dan inhibitor (Poedjiadi, 1994).