PENGEMBANGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL DOSEN DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CTL) DI PERGURUAN TINGGI Andika Hendra Mustaqim Akademi Bahasa Asing BSI Jl Pondok Labu, Fatmawati, Jakarta Selatan Email: [email protected] Blog: www.andikahendramustaqim.blogspot.com www.nyongandikahendra.blogspot.com Abstract Contextual Teaching and Learning (CTL) is a education concept which focus on combining between subject of study and social of life. The successfull of CTL must be supported by the lecturer. Without them, CTL is can done effectively. Supporting the lecture on handling CTL, they must develope the interpersonal communication so the activities in the class run smoothly. The aspects of emerging the competence of interpersonal communication, such as interpersonal perception, self concept, interpersonal attraction, and interpersonal relationship. The lecture must strenght to develope and implicate these elements on CTL. Keywords: Interpersonal Communications, Context Teaching and Learning (CTL) I. PENDAHULUAN William Shakespeare mengungkapkan: ”No man is lord of anything, though in and of him there be much consisting, till he communicate his part to other.” Paling tidak kita harus menguasai empat jenis keterampilan dasar dalam komunikasi, yaitu menulis, membaca (bahasa tulisan), mendengar, dan berbicara (bahasa lisan). Hampir setiap saat kita menghabiskan waktu untuk mengerjakan setidaknya salah satu dari keempat hal itu. Oleh karena itu, kemampuan untuk menguasai keterampilan dasar komunikasi dengan baik mutlak kita perlukan demi efektifitas dan keberhasilan kita. Apalagi, tenaga pendidik terutama dosen memerlukan kemampuan komunikasi yang diatas rata-rata dibandingkan profesi lainnya. Kenapa? Dosen bukan hanya menyampaikan pesan yang ada di dalam dirinya semata. Tetapi dosen juga memberikan pemahaman mengenai pesan yang disampaikan dan memadukannya bukan saja dari pemikiran pribadi tetapi juga teori dari buku dan kontekstual di lingkungan masyarakat. Untuk itu, dosen pun perlu mengembangkan kemampuan komunikasi interpersonal dalam berkomunikasi dengan mahasiswanya dalam proses pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan strategi pembelajaran yang sangat tepat diterapkan di perguruan tinggi menawarkan program akademi atau diploma 3 yang lebih mengutamakan perkuliahan lebih aplikatif dan teori yang diajarkan sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan masyarakat. Tujuan selanjutnya dengan peningkatan kemampuan komunikasi intepersonal pada dosen maka akan seiring dengan proses komunikasi yang berjalan efektif antara pendidik dan mahasiswa. “In every organization, the choice in teaching effective communication is where you begin,” demikian diungkapkan Ethan F. Becker dan Jon Wortmann dalam buku berjudul “Mastering Communication At Work How To Lead, Manage, And Influence” (2009:216). II. TINJAUAN PUSTAKA A. Komunikasi Komunikasi berasal dari kata communicare yang berarti “membuat sama”. Menurut Effendy (2003:9) istilah komunikasi (communication) berasal dari kata latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Lebih mudahnyanya, komunikasi merupakan proses penyampaikan pesan atau makna dari komunikator kepada komunikan menggunakan media. Komunikasi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Tak ada manusia yang hidup di dunia ini tanpa berkomunikasi. Peranan komunikasi yang tak dapat ditinggalkan menjadi manusia sering tergantung dengan komunikasi. Jika komunikasi yang dilakukan manusia mengalami kesalahan, maka yang resiko yang dihadapi sangat berbahaya. 1 Fungsi komunikasi pada umumnya seperti dikemukanan oleh William I. Gorden (dalam Deddy Mulyana, 2005:5-30) mengkategorikan fungsi komunikasi menjadi empat, yaitu: 1. Sebagai komunikasi sosial. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan hubungan orang lain. Dalam komunikasi terdapat beberapa tujuan lainnya seperti pembentukan konsep diri. Pertama, konsep diri adalah pandangan kita mengenai diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita.Kemudian, komunikasi sebagai pernyataan eksistensi diri. Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri terlihat jelas misalnya pada penanya dalam sebuah seminar. Meskipun mereka sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjang lebarm mengkuliahi hadirin, dengan argumen-argumen yang terkadang tidak relevan. Ketiga adalah untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh kebahagiaan. Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memnuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. 2. Sebagai komunikasi ekspresif. Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan perasaanperasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat katakata, namun bisa disampaikan secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orang dapat menyalurkan kemarahannya dengan mengumpat, mengepalkan tangan seraya melototkan matanya, mahasiswa 3. 4. memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa kampus dengan melakukan demontrasi. Sebagai komunikasi ritual. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, dan lain-lain. Sebagai komunikasi instrumental. Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan tindakan, dan juga menghibur. B. Strategi Pembelajaran Kontekstual Menurut Sudirdja dan Siregar (2004:6), strategi pembelajaran adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat dipermudah pencapaiannya. Strategi mencerminkan keharusan untuk mempermudah tujuan pembelajaran. Tanpa strategi, maka pembelajaran tidak akan terarah dan tidak mencapai target yang telah ditentukan. Miarso (2004:530) berpandangan bahwa strategi pembelajaran merupakan pendekatan yang menyeluruh dalam sebuah sistem pembelajaran dalam bentuk pedoman dan kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan umum pembelajaran. Miarso menekankan bahwa strategi mencerminkan pendekatan mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu, Kunandar (2007: 271) dalam bukunya berjudul “Guru Profesional” mengemukakan bahwa pembelajaran kontekstual (CTL) merupakan konsep belajar yang beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak “bekerja” dan “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar mengetahuinya. Dengan demikian, CTL menekan siswa bukan hanya sekedar memahami materi perkuliahan, tetapi juga mengalami dengan cara mempelajarinya. Dalam proses CTL bukan hanya berfokus kepada hasil, tetapi lebih mengutamakan proses pembelajaran. Selanjutnya Sanjaya (2005:115) memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain: (1) CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa perperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif. 2 (2) Dalam pembelajaran CTL siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran. (3) Dalam CTL pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak. (4) Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan. (5) Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka. (6) Dalam CTL, tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman, atau sakadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru. (7) Dalam CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain. (8) Dalam pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran. (9) Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas. (10) Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran diukur dari tes. biasanya hanya C. Hakikat Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2000: 73) Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang membutuhkan respon cepat dari komunikan sehingga komunikator pun harus memberikan pesan yang jelas. Untuk itu, ambiguitas harus dihilangkan dalam penyampaian makna tersebut. Komunikasi interpersonal adalah “interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula” (Hardjana, 2003:85). Kebanyakan komunikasi interpersonal berbentuk verbal disertai ungkapan-ungkapan nonverbal dan dilakukan secara lisan. Cara tertulis diambil sejauh diperlukan, misalnya dalam bentuk memo, surat atau catatan. Komunikasi interpersonal bukan hanya tatap muka semata. Kini, teknologi telah berkembang pesat, percakapan melalui internet dan jejaring sosial juga termasuk dalam komunikasi interpersonal. Dalam buku Inter-Personal Skills, Astrid French dalam Elfiky (2009:83) mengatakan, “kecakapan interpersonal adalah segala sesuatu yang kita gunakan ketika kita berkomunikasi langsung dengan orang lain.” Pada kenyataannya, apapun yang kita katakan dan lakukan, meninggalkan kesan serta pengaruh pada diri seseorang. Singkatnya, pesanpesan yang kita komunikasikan bisa saja membantu atau menghambat sebuah hubungan. III. METODE PENELITIAN Penulis menggunakan dua pendekatan penelitian, yakni studi literatur dan pengambilan kesimpulan. 1. Studi Literatur Studi literatur dilakukan dengan membaca buku literatur tentang krisis ekonomi dan Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu juga melakukan pencarian data di Internet tentang, rencana pelaksanaan Otoritas Jasa Keuangan. 2. Pengambilan Kesimpulan 3 Setelah proses analisa telah selesai dilakukan, maka dilakukan pengambilan kesimpulan dengan cara menarik kesimpulan dari analisa data literatur dilakukan sebelumnya. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengembangan Komunikasi Interpersonal Menurut Rakhmat (2007:80) mengemukakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan komunikasi interpersonal terdiri dari (1) persepsi interpersonal, (2) konsep diri, (3) atraksi interpersonal, dan (4) hubungan interpersonal. 1. Persepsi Interpersonal. Yang perlu diketahui lebih dahulu adalah adanya perbedaan antara persepsi objek dengan persepsi interpersonal. Menurut Rakhmat (2007:8182), ada empat perbedaan antara persepsi objek dengan persepsi interpersonal. Pertama, pada persepsi objek, stimulus ditangkap oleh alat indera kita melalui benda-benda fisik; gelombang, cahaya, gelombang suara, temperature, dan sebagainya; pada persepsi interpersonal, stimulus mungkin sampai kepada kita melalui lambang-lambang verbal atau grafis yang disampaikan pihak ketiga. Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi sifatsifat luar obyek itu; kita tidak meneliti sifat-sifat batiniyah obyek itu. Ketiga, ketika kita mempersepsi objek, objek tidak bereaksi kepada kita; kita pun tidak memberikan reaksi emosional padanya. Keempat, objek relatif tetap, sedangkan manusia berubah-ubah. Sebagai pendidik, menurut penulis, harus pandai memainkan persepsi untuk memberikan opini sehingga mempengaruhi pikiran mahasiswa serta menciptakan atmosfir untuk mendukung pembelajaran. Persepsi pendidik yang tepat akan menjadi modal utama untuk membangun kelancaran dalam proses pembelajaran di kelas. Tidak boleh ketinggalan dalam memberikan persepsi jangan sampai berlebihan dalam hal membangun emosional karena bisa berakibat kekecewaan. Selanjutnya, ada faktor-faktor situasional yang mempengaruhi persepsi interpersonal yakni deskripsi verbal, petunjuk prosemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistik, dan petunjuk artifaktual. Deskripsi Verbal sendiri dalam pandangan Solomon E. Asch, bahwa kata yang disebutkan pertama akan mengarahkan penilaian selanjutnya dan dikenal dengan primacy effect. Sedangkan, proksemik adalah studi tentang penggunaan jarak daam menyamaikan pesan; istilah ini dilahirkan oleh antroplog interkultural Eward T. Hall. Hall membagi jarak ke dalam empat corak; jarak publik, jarak sosial, jarak personal, dan jarak akrab. Kalau petunjuk kinesik adalah persepsi yang didasarkan kepada gerakan orang lain yang ditunjukkan kepada kita. Nah, petunjuk Wajah sendiri dianggap menjadi elemen terpenting dalam perasaan persona stimuli. Kenapa? Petunjuk wajah dapat mengungkapkan emosi, tidak semua orang mempersepsi emosi itu dengan cermat. Selanjutnya adalah paralinguistik ialah cara orang mengucapkan lambang-lambang verbal yakni tinggi-rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek), dan interaksi (perilaku ketika melakukan komunikasi atau obrolan). Sedangkan, Petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan (appearance) sejak potongan tubuh, kosmetik yang dipakai, baju, pangkat, badge, dan atribut-atribut lainnya (Rakhmat, 2007:82-89) Tak dapat dipungkiri, menurut penulis, seorang dosen ketika berbicara di depan kelas harus mengatur mimik wajah dan ekspresi tubuh lainnya untuk menarik perhatian dari mahasiswa. Seorang dosen bukan hanya sekedar berbicara saja, tetapi harus menghibur anak didik dengan gerak tubuh. Selain itu, menurut Rakhmat (2007: 89-91), persepsi interpersonal juga dipengaruhi oleh faktofaktor personal seperti pengalaman, motivasi, dan kepribadian. Dalam hal pengalaman, hal itu tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi. Kalau motivasi yang membantu dalam proses konstruktif yang banyak mewarnai persepsi interpersonal juga sangat banyak melibatkan unsur-unsur motivasi. Sedangkan, kepribadian dimana dalam psikoanalisis dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara tidak sadar. Memang, pengalaman menjadi latarbelakang manusia untuk berpikir, menurut penulis, pengalaman juga mampu membantu para pendidik sebagai pemahaman. Kalau motivasi yang paling tepat adalah yang datang dari sendiri. Sedangkan motivasi yang datang orang lain itu hanya dijadikan pendukung saja. Nah, kepribadian seorang pendidik juga harus diutamakan. Setelah itu, bergabungnya faktor personal dan situasional maka akan mengarah pada proses persepsi interpersonal. Nah, proses tersebut terdapat stereotyping, yakni menjelaskan terjadinya primacy effect dan halo effect. Primacy effect secara sederhana menunjukkan bahwa kesan pertama amat menentukan; karena kesan itulah yang menentukan kategori. Begitu pula, halo effect. Persona stimuli yang sudah kita senangi telah mempunyai kategori tertentu yang positif, dan pada kategori itu sudah disimpan semua sifat yang baik. (Rakhmat, 2007:92) 4 Lebih jauh mengenai proses persepsi interpersonal juga terdapat, implicit personality theory ialah memberikan kategori berarti membuat konsepsi tentang sifat-sifat apa yang berkaitan dengan sifat-sifat apa. Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membuat kesan tentang orang lain. (Rakhmat, 2007:93) Kemudian, menurut Baron dan Byrne, (1979:56) dalam Rakhmat (2007:93), atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak. Sekarang bagaimana kita dapat menyimpulkan bahwa persona stimuli jujur atau munafik (atribusi kejujuran-attribution of honesty)? Menurut Robert A. Baron dan Donn Byrne (1979:70-71) dalam Rakhmat (2007:95), kita akan memperhatikan dua hal: (1) sejauh mana pernyataan orang itu menyimpang dari pendapat yang popular dan diterima orang, (2) sejauh mana orang itu memperoleh keuntungan dari kita dengan pernyataan itu. Setelah itu, proses pengelolaan pesan. Peralatan lengkap yang kita gunakan untuk menampilkan diri ini disebut front. Front terdiri dari panggung (setting), penampilan (appearance), dan gaya bertingkah laku (manner). Panggung adalah rangkaian peralatan ruang dan benda yang kita gunakan. Penampilan berarti menggunakan petunjuk artifaktual. Gaya bertingkah laku menunjukkan cara kita berjalan, duduk, berbicara, memandang, dan sebagainya. (Rakhmat:2007:96) Dalam komunikasi interpersonal adalah ketika para pendidik itu menampilkan proses komunikasinya di depan anak didiknya. Pertama, panggung, para pendidik harus benar-benar menyiapkan kelas sebagai panggung bagi aksi komunikasi interpersonalnya. Kelas harus ditata dan dikuasi seseuai dengan keinginan dosen. Minimal, mulai penyejuk udara dan perlengkapan pendukung lainnya harus siap mendukung penampilan sang pendidik. Kedua adalah penampilan. Penampilan di sini bukan hanya pakaian semata, tetap ada sesuatu yang keunikan dari apa yang melekat pada tubuh kita yang menarik perhatian, misalnya memakai topi dan gaya rambut seperti anak didik. Kemudian, gaya tingkah laku adalah bagaimana para pendidik membawa diri dalam pembelajara, mulai dari gaya berbicara, lelucon yang diberikan untuk mencairkan suasana, dan memoderisasi diskusi. 2. Konsep Diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri antara lain orang lain dan kelompok rujukan (Rakhmat:2007:100-104). Dalam konteks para pendidik, konsep diri tidak dapat dilepaskan. Memang dasarnya konsep diri mengacu kepada orang lain, misalnya tokoh-tokoh pendidikan atau idola dari para dosen tersebut itu yang akan mempengaruhi konsep diri. Kemudian, mengenai kelompok rujukan lebih mengacu kepada organisasi dosen atau komunitas dimana dia berbagai dan mengembangkan konsep diri. Konsep diri mempengaruhi komunikasi interpersonal dengan nubuat yang dipenuhi sendiri, membuka diri, percaya diri, dan selektivitas (Rakhmat: 2007:100-104). Menurut penulis, sangat jelas bahwa para pendidik harus bersikap sesuai dengan konsep dirinya. Semua yang dilakukan merupakan cerminan konsep diri. Kemudian, mengenai membuka diri, bagaimana pendidik itu menghadapi kehidupan yang sehatrusnya bersikap terbuka dan menerima pengetahuan dan pengalaman yang dirasa baik. Sedangkan percaya diri menjadi ruh konsep diri karena mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam berkomunikasi. Percaya diri harus dipupuk terus karena sebandingkan dengan jam terbang. Seorang dosen untuk mengembangkan konsep diri dapat melakukan seleksi terhadap hal-hal yang dianggap negatif, dan menerapkan hal-hal positif. Adanya penggabungan tersebut akan mengerucut kepada konsep diri seorang pendidik itu. Jangan malu untuk berbeda. 3. Atraksi Interpersonal. Menurut Rakhmat (2007:111-113), faktorfaktor personal yang mempengaruhi atraksi interpersonal meliputi kesamaan karakteristik personal, tekanan emosional, harga diri yang rendah, dan isolasi sosial. Secara singkat, dalam kesamaan karakteristik personal ditinjau dari Teori Cognitive Consistency (Fritz Heider) menyebutkan bahwa orang akan mencari, berusaha mencapai konsistensi dalam sikap dan perilakunya, kita cenderung menyukai orang, kita ingin mereka memilih sikap yang sama dengan kita, dan jika kita menyukai orang, kita ingin mereka memilih sikap yang sama dengan kita hal ini supaya seluruh unsur kognitif kita konsisten. Seorang pendidikan harus memiliki karakteristik yang menonjol, tentunya kharakteristik yang positif. Karakteristik pendidik yang harus dipertahankan adalah disiplin dan kreativitas dalam mengajar. Kalau tekanan emosional lebih berkaitan dengan mood atau situasi hati pendidik. Ini merupakan hal yang wajar karena pendidik juga manusia biasa yang menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Mengenai harga diri yang rendah dan isolasi sosial tidak berpengaruh banyak kepada pendidik. 5 Belum cukup faktor personal semata, tetapi atraksi sosial juga didukung faktor-faktor situasional yang meliputi daya tarik fisik, ganjaran, familiarity, kedekatan, dan kemampuan. (Rakhmat:2007:114117). Daya tarik fisik, dalam penelitian Dion, Berscheid dan Alster menyimpulkan penilaian pada orang-orang yang memiliki wajah yang cantik mereka cenderung menilai akan lebih berhasil dalam hidupnya dan dianggap memiliki sifat-sifat yang baik. Kemudian, Ganjaran dimana kita menyenangi orang yang memberikan ganjaran kepada kita berupa bantuan, dorongan moral, pujian atau hal-hal yang meningkatkan harga diri kita. Kalau, familiarity yakni sering kita lihat atau sudah kita kenal dengan baik. Orang cenderung tertarik dengan orang yang sudah akrab dengan mereka. Selanjutnya adalah kemampuan dengan banyak orang cenderung menyenangi orang lain yang memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan dirinya. Kemudian, Kedekatan Proximity, dimana orang cenderung menyenangi mereka yang tempat tinggalnya berdekatan, persahabatan akan lebih mudah tumbuh diantara tetangga yang saling berdekatan (Whyte, 1956). Hal terpenting tersebut, menurut penulis adalah ganjaran. Dosen mendapatkan ganjaran berupa dosen akan mampu meningkatkan prestasi. Di sisi lain, dosen juga harus memberikan ganjaran kepada mahasiswa untuk mendorong mereka untuk terus berprestasi. Unsur kedua yang penting adalah kemampuan. Dengan semangat para pendidik untuk terus berinovasi dalam meningkatkan kemampuan mengajar dan mengembangkan kreativitas dalam mendidik mahasiswa. Apa yang disampaikan dosen bukan hanya materi ilmu pengetahuan semata, tetapi juga bagaimana cara menyampaikan ilmu pengetahuan. 4. Hubungan Interpersonal. Menurut Arnold W. Goldstein (1975) dalam (Rakhmat, 2007:120) hubungan interpersonal ada tiga yaitu: (1) makin baik hubungan interpersonal seseorang maka semakin terbuka individu mengungkapkan perasaannya; (2) makin baik hubungan interpersonal seseorang maka semakin cenderung individu meneliti perasaannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog); (3) makin baik hubungan interpersonal seseorang maka makin cenderung individu mendengarkan dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasehat penolongnya. Menurut Rahkmat (2007:129-133), ada beberapa yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal meliputi percaya (trust), sikap sportif, dan sikap terbuka. Percaya (trust). Secara ilmiah, “percaya” didefinisikan sebagai “mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko” (Griffin, 1967:224-234). Dengan adanya percaya dapat meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi, serta memperluas peluang komunikan untuk mencapai maksud tertentu. b. Sikap suportif. Sikap suportif adalah adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi seseorang bersikap defensif apabila tidak menerima, tidak jujur, tidak empatis. Dengan sikap defensif komunikasi interpersonal akan gagal. c. Sikap terbuka (open mindedness). Sikap terbuka amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif. Lawan dari sikap terbuka adalah dogmatisme, sehingga untuk memehami sikap terbuka, kita harus mengidentifikasi lebih dahulu kharakteristik orang dogmatis. Tujuan utama komunikasi personal adalah hubungan interpersonal. Menurut penulis, hubungan interpersonal menjadi titik klimak dalam proses pembelajaran. Kenapa? Jika sudah adanya kepercayaan, sikap saling mendukung, dan sikap keterbukaan maka proses pembelajaran dapat dikatakan sukses. Semuanya saling mendukung satu sama lain. Sedangkan menurut Devito (1997:259-264) menyebutkan efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality). Keterbukaan bakal terjadi jika komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Kemudian, empati dalam pandangan Henry Backrack (1976) menyebutkan empati sebagai ”kemampuan seseorang untuk „mengetahui‟ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Kalau, sikap mendukung (supportiveness) dengan catatan memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic, dan (3) provisional (syarat), bukan sangat yakin. Selanjutnya, sikap positif, dengan (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif a. 6 mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sedangkan, kesetaraan dimana dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Sementara itu, menurut Ron Ludlow & Fergus Panton, ada hambatan-hambatan yang menyebabkan komunikasi tidak efektif yaitu adalah (1992:10-11): 1. Status effect. Adanya perbedaan pengaruh status sosial yang dimiliki setiap manusia. Misalnya karyawan dengan status sosial yang lebih rendah harus tunduk dan patuh apapun perintah yang diberikan atasan. Maka karyawan tersebut tidak dapat atau takut mengemukakan aspirasinya atau pendapatnya. 2. Semantic Problems. Faktor semantik menyangkut bahasa yang dipergunakan komunikator sebagai alat untuk menyalurkan pikiran dan perasaanya kepada komunikan. Demi kelancaran komunikasi seorang komunikator harus benar-benar memperhatikan gangguan sematis ini, sebab kesalahan pengucapan atau kesalahan dalam penulisan dapat menimbulkan salah pengertian (misunderstanding) atau penafsiran (misinterpretation) yang pada gilirannya bisa menimbulkan salah komunikasi (miscommunication). Misalnya kesalahan pengucapan bahasa dan salah penafsiran seperti contoh: pengucapan demonstrasi menjadi demokrasi, kedelai menjadi keledai dan lain-lain. 3. Perceptual distorsion. Perceptual distorsion dapat disebabkan karena perbedaan cara pandangan yang sempit pada diri sendiri dan perbedaaan cara berpikir serta cara mengerti yang sempit terhadap orang lain. Sehingga dalam komunikasi terjadi perbedaan persepsi dan wawasan atau cara pandang antara satu dengan yang lainnya. 4. Cultural Differences. Hambatan yang terjadi karena disebabkan adanya perbedaan kebudayaan, agama dan lingkungan sosial. Dalam suatu organisasi terdapat beberapa suku, ras, dan bahasa yang berbeda. Sehingga ada beberapa kata-kata yang memiliki arti berbeda di tiap suku. Seperti contoh: kata “jangan” dalam bahasa Indonesia artinya tidak boleh, tetapi orang suku jawa mengartikan kata tersebut suatu jenis makanan berupa sup. 5. Physical Distractions. Hambatan ini disebabkan oleh gangguan lingkungan fisik terhadap proses berlangsungnya komunikasi. Contohnya: suara riuh orang-orang atau kebisingan, suara hujan atau petir, dan cahaya yang kurang jelas. 6. Poor choice of communication channels. Adalah gangguan yang disebabkan pada media yang dipergunakan dalam melancarkan komunikasi. Contoh dalam kehidupan sehari-hari misalnya sambungan telephone yang terputus-putus, suara radio yang hilang dan muncul, gambar yang kabur pada pesawat televisi, huruf ketikan yang buram pada surat sehingga informasi tidak dapat ditangkap dan dimengerti dengan jelas. 7. No Feed back. Hambatan tersebut adalah seorang sender mengirimkan pesan kepada receiver tetapi tidak adanya respon dan tanggapan dari receiver maka yang terjadi adalah komunikasi satu arah yang sia-sia. Seperti contoh: Seorang manajer menerangkan suatu gagasan yang ditujukan kepada para karyawan, dalam penerapan gagasan tersebut para karyawan tidak memberikan tanggapan atau respon dengan kata lain tidak peduli dengan gagasan seorang manajer. Menurut Stephen P. Robbin (2008:408) bahwa hambatan terbagi dalam; Penyaringan, Persepsi Selektif, Informasi Berlebih, Emosi, Bahasa, Kegelisahan Komunikasi. Penyaringan mengarah kepada pengirim yang memanipulasi informasi sedemikian rupa sehingga akan tampak lebih menguntungkan di mata si penerima. Persepsi selektif, konsep ini muncul karena penerima dalam proses komunikasi secara selektif melihat dan mendengar berdasarkan kebutuhan, motivasi, pengalaman, latarbelakang, dan karakteristik, personal lainnya. Informasi berlebih, batas setiap individu dalam mengolah data terbatas dalam kapasitas tertentu. Emosi adalah perasaan penerima pesan pada saat menerima komunikasi yang akan mempengaruhi cara dia menginterpretasikan. Bahasa, kata-kata bisa memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda pula. Kegelisahan Komunikasi merupakan hambatan terbesar terhadap komunikasi yang efektif. Orang yang menderita kegelisahan komunikasi mengalami ketegangan dan kecemasan yang tidak pada tempatnya dalam komunikasi lisan, tulisan, atau keduanya. B. Strategi Pembelajaran Kontekstual (CTL) Johnson (2010:67) mengemukakan sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan kesehatrian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan komponen sebagai berikut: membuat keterkaitan-kterakitan yang bermakna, melaukan pekerjaan yang berarti, melakukan 7 pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunaan penilaian autentik. Dalam konsep CTL, menurut penulis, menganggap institusi pendidikan tidaklah sebagai ranah suci, melainkan sebagai ranah publik yang menggodok berbagai persoalan kehidupan untuk dianalisis dan dikritisi kemudian memberikan sebuah solusi. Konsep ini telah sukses dilaksanakan di Amerika Serikat. CTL membiasakan anak didik untuk terus berpikir kreatif dan kritis terhadap segala permasalahan. Dengan demikian, anak didik pun siap setelah lulus kuliah dan memasuki dunia kerja. Dalam pembelajaran kontekstual tugas dosen adalah memfasilitasi mahasiswa dalam menemukan sesuatu yang baru (pengetahuan dan ketrampilan) melalui pembelajaran sendiri bukan apa kata guru atau dosen (Kunandar, 2007:271). Siswa benar-benar mengalami dan menemukan sendiri apa yang dipelajari sebagai hasil rekonstruksi sendiri sehingga siswa lebih produktif dan inovatif. Menurut Natawidjaja (1985) dalam Kunandar (2007:272), pembelajaran kontekstual atau lazim disebut CTL akan mendorong ke arah belajar aktif yakni sistem belajar mengajar yang menekankan keaktivan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Menurut penulis, dalam CTL merupakan strategi pembelajaran yang paling oyektif dan aplikatif. Kenapa demikian? Obyektif karena pembelajaran ini lebih menekankan kepada konteks sosial sehingga mengacu kepada fakta dan peristiwa yang ada di dalam masyarakat, itu kalau berkaitan dengan pelajaran sosial. Sedangkan, untuk pelajaran berkaitan dengan teknik dan sains, juga dapat mengaitkan fenomena alam atau kejadian di sekitar serta perusahaan-perusahaan untuk dijadikan bahan pengembangan materi. Jadi, semuanya sangat obyektif dan tidak hanya bermain pada wacana semata. Mengenai aplikatif, semua pembahasan dalam materi CTL berbasis pada aplikasi. Semuanya dapat diterapkan di masyarakat, mulai dari hal yang abstrak hingga realitas. Ini menjadikan mahasiswa lebih sadar bahwa kehidupan ini sangatlah praktis dan bisa dicarikan solusinya karena terbiasa analisis dan kritis. Lebih lanjut, dalam CTL, menurut penulis, dosen bukan lagi sebagai sumber ilmu, guru hanya sebagai moderator. Meski sebagai moderator, dosen juga memiliki peran dalam mengarahkan anak didik dengan konsep dan teori yang benar. Dosen bukan lagi sebagai pusat bagi mahasiswa, dosen lebih bersifat mengantarkan mahasiswa masuk ke ranah diskusi dalam struktur yang teratur. Dengan demikian dosen memiliki peranan lebih besar, karena sebagai sutradara yang mengatur dan bertanggungjawab dalam proses CTL. Menurut Johnson (2010:65) dan Kunandar (2007:274-275) mengemukakan delapan komponen dalam sistem CTL sebagai berikut: 1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Artinya siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secar individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing) (Kunandar, 2007:274). Sedangkan menurut Johnson (2010:100-147), hal terpenting dalam CTL yakni mengaitkan dengan ruang kelas, menambah dan menyisipkan mata pelajaran yang berbeda, mata pelajaran yang saling berhubungan, mata pelajaran terpadu, menggabungkan sekolah dan pekerjaan, dan kuliah kerja nyata (praktek lapangan) 2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan artinya siswa membuat hubungan-hubungan di antara kampus dengan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat (Kunandar, 2007: 275). 3. Belajar yang diatur sendiri (Kunandar, 2007: 275). CTL, dalam pandangan Johnson (2010:175), menuntut pembelajaran mandiri untuk mengembangkan pengetahuan dan keahlian yang tidak dapat mereka kembangkan hanya dari belajar dan menjawab pertanyaanpertanyaan faktual mengenai topik yang sempit. 4. Bekerjasama artinya siswa dapat bekerja sama, guru atau dosen membantu anak didik untuk bekerja secara efektif dalam kelompok membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi (Kunandar, 2007: 275). 5. Berpikir kritis dan kreatif. Artinya anak didik diajak untuk berpikir lebih tinggi secara kreatif dan kritis sehingga dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan dan menggunakan logika serta buktibukti (Kunandar, 2007: 275). Johnson (2010:192-199) memberikan delapan langkah dalam langkah-langkah berpikir kritis yakni (1) apa sebenarnya isu, masalah, keputusan atau kegiatan yang sedang dipertimbangkan, (2) apa sudut pandangnya? (3) apa alasan yang diajukan? (4) asumsi-asumsi apa saja yang dibuat? (5) apakah bahasanya jelas? (6) apakah 8 alasan didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan? (7) kesimpulan apa yang ditawarkan (8) apakah implikasi dari kesimpulan-kesimpulan yang telah diambil. Mengenai kreativitas, Johnson (2010:215) menyatakan, berpikir kreaitif membutuhkan ketekunan, disiplin diri dan perhatian penuh, meliputi aktivitas mental seperti (1) mengajukan pertanyaan, (2) mempertimbangkan informasi baru dan ide yang tidak lazim dengan pikiran terbuka, (3) membangun keterkaitan, khususnya di antara hal-hal yang berbeda, (4) menghubungkan-hubungkan berbagai hal yang bebas, (5) menerapkan imajinasi pada setiap situasi untuk menghasilkan hal baru dan berbeda, dan (6) mendengarkan intuisi. 6. Mengasuh atau memelihara pribadi anak didik sehingga memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi, dan memperkuat diri karena mereka tidak akan berhasil tanpa dukungan orang dewasa (Kunandar, 2007:275). 7. Mencapi standar yang tinggi dengan mengidentifikasi tujuan dan memotivasi anak didik untuk mencapainya (Kunandar, 2007:275). Untuk mencapai standar yang tinggi, menurut Johnson (2010: 265), para pendidikan memiliki pemahaman yang unggul dibidangnya dan mengadopsi standar dari luar agar memiliki keuntungan karena dapat menempatkan pandangan pribadi mereka dalam konteks yang lebih luas. 8. Mengunakan penelian autentitik (Kunandar, 2007:275). Johnson (2010:291-299), penilian otentik dapat berupa portofolio, proyek, dan pertunjukan. Menurut penulis, dari komponen utama CTL itu mengarah pembelajaran yang bertujuan untuk membentuk rasa keingintahuan mendalam pada diri mahasiswa. Tanggungjawab tersebut terletak di tangan dosen. Dosen harus berusaha keras memacu dan memicu mahasiswa untuk memiliki rasa keingintahuan yang luas. Caranya? Dosen dapat saja mengajukan pertanyaan, memberikan motrivasi, bermain retorika, serta mengemukakan argumen yang menantang kepada mahasiswa. Dengan demikian, mahasiswa pun tertantangan untuk mengutamakan opini mereka dan terus berkeinginan untuk belajar dan belajar. Jonhson (2010:68-89) mengemukakan tiga prinsip ilmiah dalam CTL: 1. Prinsip Ketergantungan. Prinsip ini mengajak para pendidik ilmiah mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, dengan siswasiswa mereka, dengan masyarakat, dengan bumi. Prinsip ini mendesak bahwa sekolah adalah sebuah sistem kehidupan, dan bahwa bagianbagian dari sistem itu–para siswa, para guru, koki, tukang kebun, tukang sapu, pegawai administrasi, sekretaris, sopir bus, orang tua dan teman-teman masyarakat–berada di dalam sebuah jaringan hubungan yang menciptakan lingkungan belajar. 2. Prinsip Diferensiasi. Prinsip ini menyumbangkan kreativitas indah yang berdetak di seluruh alam semesta dan menunju keragaman yang tak terbatas, dan hal itu menjelaskan kecenderungan entitas-entitas yang berbeda untuk bekerja sama dalam bentuk yang disebut dengan simbiosis. Jika para pendidikan percaya dengan para ilmuwan modern bahwa prinsip diferensiasi yang dinamis itu meliputi dan memengaruhi bumi dan semua sistem kehidupan, maka mereka pasti ingin mengajar sesuai dengan prinsip karena prinsip tersebut menuju kreativitas, keunikan, keragaman, dan kerjasama. 3. Prinsip Pengaturan-Diri. Prinsip ini meminta para pendidik untuk mendorong setiap siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya yakni menolong siswa agar mencapai keunggulan akademik, memperoleh ketrampilan karie dan mengembangkan karakter dengan menghubungkan tugas sekolah dengan pengalaman serta pengetahuan pribadinya, di mana ketika siswa menghubungkan materi akademik dengan konteks keadaan pribadi mereka, mereka terlibat dalam kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan diri. Dengan demikian, proses CTL membentuk kesadaran diri mahasiswa untuk terus belajar dan belajar. Menurut penulis, kesadaran ini harus dibentuk sehingga mahasiswa belajar bukan karena akan menghadapi ujian atau hanya mengejar nilainilain yang bagus. Tetapi, mahasiswa ditata sedemikian bahwa belajar itu harus terus dipertahankan karena selama hidup mereka karena ilmu itu sangat berguna sebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan kepada semua permasalahan. Hanya saja, untuk membangun kesadaran tersebut memerlukan waktu yang lama dan tidak mudah. Tetapi, seorang dosen dalam CTL berkewajiban untuk menumbuhkan kesadaran diri. Caranya? Dengan menantang mahasiswa untuk terus bermanfaat bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga masyarakat dan lingkungan sekitar. Selanjutnya adalah strategi CTL yang telah ditetapkan Kementerian Pendidikan Nasional seperti dikutip dari Kunandar (2007:283-293): 1. Konstruktivisme (Constructivism). Menekankan bahwa pembelajaran tidak semata sekedar menghafal, mengingat pengetahuan. Akan tetapi 9 merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang didasari oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya. 2. Menemukan (Inquiry). Menemukan merupakan bagian inti dari aktivitas pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan dari hasil mengingat fakta-fakta melainkan dari hasil menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), Mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), dan penyimpulan (conclusion). 3. Bertanya (Questioning). Bertanya adalah strategi utama pembelajaran berbasis kontekstual. Bertanya bermanfaat untuk: a. Menggali informasi b. Menggali pemahaman siswa c. Membangkitkan daya respon siswa d. Mengetahui sampai sejauh mana keinginan dan minat siswa e. Memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru f. Membangkitkan lebih luas lagi pertanyaan dari siswa, dalam rangka menyegarkan kembali Pengetahuan siswa. 4. Masyarakat belajar (Learning Community). Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran didapat dari hasil kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari “sharing” antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Masyarakat belajar akan berjalan baik jika terjadi komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat aktif dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. 5. Pemodelan (Modeling). Membahasakan yang ada dalam pemikiran adalah salah satu bentuk dari pemodelan. Jelasnya pemodelan adalah membahasakan yang dipikirkan, memdemonstrasi bagaimana guru menghendaki siswanya untuk belajar dan melakukan sesuatu. Dalam pembelajaran kontekstual, Guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa atau bisa juga mendatangkan dari luar. 6. Refleksi (Reflection). Refleksi merupakan cara berpikir atu merespon tentang apa yang baru dipelajari. Berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Pengejawantahannya dalam pembelajaran adalah guru menyiapkan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang sudah diperoleh pada hari itu. 7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru, agar siswa dapat memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual. Evaluasi dilakukan terhadap proses maupun hasil. Dengan demikian, kampus sebagai institusi pendidikan harus benar-benar menerapkan tri dharma perguruan tinggi yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian. Menurut penulis, itu tidak hanya sebagai semboyan semata. Tetapi benar-benar dipraktekkan sebagai ritual semata, tetapi harus diterapkan sebagai bentuk strategi untuk menempatkan institusi pendidikan sebagai agen perubahan di masyarakat, bukan sebagai agen penonton saja. C. Hubungan Komunikasi Inter-personal Dosen dengan CTL Dalam CTL tidak dapat dilepaskan dari kemampuan komunikasi interpersonal dosen. Ini tidak lepas karena komunikasi interpersonal memiliki beberaapa tujuan. Di sini akan dipaparkan 6 tujuan, antara lain (Muhammad:2004, 165-168 ): a. Menemukan Diri Sendiri. Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada kita untuk berbicara tentang apa yang kita sukai, atau mengenai diri kita. b. Menemukan Dunia Luar. Hanya komunikasi interpersonal menjadikan kita dapat memahami lebih banyak tentang diri kita dan orang lain yang berkomunikasi dengan kita. c. Membentuk Dan Menjaga Hubungan Yang Penuh Arti. Salah satu keinginan orang yang paling besar adalah membentuk dan memelihara hubungan dengan orang lain. d. Berubah Sikap Dan Tingkah Laku. Banyak waktu kita pergunakan untuk mengubah sikap dan tingkah laku orang lain dengan pertemuan interpersonal. Kita boleh menginginkan mereka memilih cara tertentu, misalnya mencoba diet yang baru, membeli barang tertentu, melihat film, menulis membaca buku, memasuki bidang tertentu dan percaya bahwa sesuatu itu benar atau salah. e. Untuk Bermain Dan Kesenangan. Bermain mencakup semua aktivitas yang mempunyai tujuan utama adalah mencari kesenangan. f. Untuk Membantu. Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi menggunakkan 10 komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan kliennya. Fungsi utama komunikasi interpersonal dalam pembelajaran di kampus adalah membantu dosen untuk memperlancar penyampaian materi dan menghidupkan suasana kelas. Dosen adalah tetap menjadi fokus utama dalam pembelajaran, sehingga perlu memiliki komunikasi interpersonal yang dapat diandalkan. Menurut penulis, jelas sekali bahwa CTL menuntut dosen untuk mampu melibatkan siswa bukan hanya belajar tetapi juga mengajak mereka untuk menyusun materi pembelajaran berdasarkan pengalaman kehidupan mereka. Dalam ini, kemampuan komunikasi interpersonal dosen untuk menghipnotis mahasiswa agar dapat belajar lebih kreatif dan mencari sesuatu yang baru dalam proses pembelajaran. CTL juga mendorong mahasiswa untuk menganalisis dan mengkritis hal-hal kehidupan. Dalam hal ini, penulis menganggap bahwa kemampuan komunikasi interpersonal dosen diasah agar dapat mampu menciptakan suasana yang saling asosiatif dan produktif di tengah banyaknya gagasan dan penemuan mahasiswa. Diperlukan kemampuan komunikasi yang mampu mengayomi semua suara di kalangan mahasiswa yang ingin memberikan pendapatnya. Syarat mutlak seorang dosen adalah bukan hanya mengajak untuk belajar bersama, tetap meminta para siswa mengaplikasikan semua materi yang telah dipelajari di kelas ke dalam kehidupan. Misalnya, mendiskusikan mengenai desain iklan dan mengaitkan dengan desain produk iklan yang bertebaran di televisi dan majalah. Kemudian, mahasiswa pun dituntut membuat desain yang menarik sesuai dengan selera pasar. Hanya saja, dalam CTL, menurut penulis, peranan dosen adalah bagaimana mengkomunikasikan dengan baik bahwa ilmu yang ada di dalam masyarakat itu bukan sebagai patokan utama, tetapi itu hanya menjadi pengetahuan. Melainkan, dosen harus memberikan tangan untuk menghasilkan karya yang mampu berbeda dengan produk yang telah ada di masyarakat. Peranan komunikasi interpersonal dalam pembelajaran, menurut penulis, juga harus mengeksplorasi mental dosen dan siswa untuk terus berpikir ke depan. Menciptakan sesuatu yang baru, dan menganggap masa adalah sebagai sejarah. Itu semua harus dilakukan dengan mengoptimalkan mental yakni keberanian dalam berkomunikasi antara guru dan mahasiswa. Jangan sampai terjadi kebuntuan dalam berkomunikasi. Itu semua dapat dicapai dengan salah satu cara yakni komunikasi dua arah yang berjalan tanpa henti untuk mencapai sebuah titik temu. Tentunya, komunikasi tersebut harus berdasarkan kepada pakemnya yakni kurikulum dan tujuan pembelajaran. Selama proses CTL di kelas tak dapat dilepaskan dari komunikasi. Gaya komunikasi yang dilakukan oleh dosen di depan mahasiswa juga tidak akan dilupakan sepanjang hayat mereka. Itu bahkan menjadi panduan mereka. Untuk itu, gaya komunikasi interpersonal dosen harus terus dikembangkan agar mahasiswa pun mencontohkan hal baik, bukannya jelek dari segi komunikasi para pendidiknya. Pasalnya, komunikasi interpersonal dosen itu menjadi karakter dan doktin yang akan tertanam di alam bawah sadar mahasiswa karena proses interaksi berlangsung terus menerus. Dalam proses CTL, proses komunikasi yang dilakukan oleh para pendidikan seyogyanya menempatkan mahasiswa bukan sebagai obyek, melainkan sebagai subyek. Komunikasi dengan mahasiswa pun dilakukan dalam proses sejajar dan tidak ada tingkatan atau pun struktural di dalam kelas Kedua belah pihak, baik dosen dan mahasiswa merupakan berstatus pembelajar. Mahasiswa juga sebagai manusia merdeka yang selalu memiliki keunikan dan kebaruan dalam berpendapat. Dalam proses komunikasi dalam CTL, dosen juga dapat menerapkan pendekatan deduktif. Bagaimana caranya? Pembelajaran dimulai dengan mengungkapkan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan khusus. Model ini sebenar terlalu konvensional karena tidak memicu keinginan tahuan mahasiswa. Pasalnya, pendekatan ini dibermula dari teori kemudian ke praktek. Nah, pendekatan modern menggunakan sistem induktif dimana, langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif; (2) menyajikan contoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh itu; (3) disajikan bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4) disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah yang terdahulu. Dengan pendekatan induktif akan memicu mahasiswa untuk terus berpikir dan beranologi untuk menghasilkan suatu hal yang memiliki hakekat dan sulit untuk lupa karena terlalu rapi disimpan di dalam otak. IV. KESIMPULAN 11 CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi perkuliahan dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata. Tujuannya agar mahasiswa mampu mengaitkan dan menerapkan ilmu di dunia kerja nantinya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka sangat perlu dosen meningkatkan kemampuan dalam hal komunikasi personal. Pengembangan komunikasi personal menjadi jaminan seorang dosen untuk mampu mengembangkan kompetisi pedagogiknya di depan mahasiswa. Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapai Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajagrafindo Persada. DAFTAR PUSTAKA Sendjaja,Sasa Djuarsa. 1994. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Hartley, Peter. 1993. Interpersonal communication. New York: Routledge Johnson, Eliane B. 2010. Contextual Teaching and Learning. (Terj. Ibnu Setiawan). Bandung: Kaifa Learning. Littlejohn, Stephen W. 2001. Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Publishing. Rakhmat, J. 2007. Psikologi komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Fajar Interpratama Offset. Wills, Wesley R. 1986. Make Your Teaching Count!. Illinois: Victor Books. 12