MODUL PERKULIAHAN Modul 11 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA Fakultas Program Studi Ekonomi dan Bisnis Manajemen Tatap Muka 12 Kode MK Disusun Oleh 90003 Syahlan A.Sume,SE,MM Abstract Kompetensi Manusia sebagai warga negara adalah juga makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaanya. Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia juga mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepadaNya dalam bentuk penyembahan atau ibadah yang diajarkan oleh agama dan keyakinan yang dianutnya.. Setelah mahasiswa mempelajari materi ini diharapkan dapat : 1. Menjelaskan pengertian agama, 2. Menjelaskan hakikat agama, 3. Menjelaskan unsur agama, 4. Menjelaskan kebasan beragama HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA 1. Menjelaskan Pengertian dan Hakikat Agama 2. Definisi Menurut Beberapa Ahli 3. Diskursus dan Praktik Keagamaan 4. Unsur-unsur Agama 5. Fungsi Agama 6. Hubungan Agama dan Negara di Indonesia 7. Era Soeharto: Babak Baru Hubungan Islam dan Negara 1. Menjelaskan Pengertian dan Hakikat Agama Agama adalah sebuah koleksi teroganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah ajaran sistem yang mengatur tata keimanan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan. Kata Agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau.Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau.Setiap agama mengajarkan kebaikan dan keadilan yang patut dijalankan oleh setiap anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Agama menurut istilah adalah undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengikat manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Maka orang yang beragama adalah orang yang teratur, orang yang tenteram dan orang yang damai baik dengan dirinya maupun dengan orang lain dari segala aspek kehidupannya. Sebuah agama biasanya melingkupi tiga persoalan pokok, yaitu : 1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam. 2016 2 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya. 3. Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinan nya tersebut. (Sumber: https://dewon.wordpress.com/2007/11/04/kategori-20/, diakses 24/11/2015). Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas; Namun dalam kata-kata Emile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah “sesuatu yang nyata sosial “.Emile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Menurut Plolog Muller, akar kata bahasa Inggris “religion”, yang dalam bahasa latin teligion, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya “takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan” (kemudian Cicero menurunkan menjadi berarti “ketekunan”). Max Muller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang di sebut agama kuno hari ini, mereka akanhanya disebut sebagai “hukum”. Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hukum terdiri dari konsep-konsep seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan upacara serta tradisi praktis. Medieval Jepang pada awalnya memiliki serikat serupa antara “hukum kekaisaran” dan universal atau “hukum Buddha”, tetapi ini kemudian menjadi sumber independen dari kekuasaan. Tidak ada setara yang tepat dari “agama” dalam bahasa Ibrani, dan Yudaisme tidak membedakan secara jelas antara keagamaan nasional, rasa tau etnis. Salah satu konsep pusat adalah “halakha”, kadang-kadang diterjemahkan sebagai sebagai “hukum”, yang memandu praktek keagamaan dan keyakinan dan banyak aspek kehidupan sehari-hari. Penggunaan istilah-istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau Islam yang juga didasarkan pada sejarah tertentu dan kosa kata. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya. Agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya.Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan.Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup.Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya.Bagaimana kita makan, 2016 3 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id bagaimana kita bergaul, bersosialisasi, bagaimana kita beribadah, bagaimana kita berpolitik, bernegara dan berbangsa dan saebagainya ditentukan oleh aturan/cara agama. 2. Definisi Menurut Beberapa Ahli Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebutkan enam agama yang diakui resmi oleh Negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hidu, Budhisme, dan Khonghuchu. Sedangkan semua sitem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi”. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterprestasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat.Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, juga menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. 3. Diskursus dan Praktik Keagamaan Diskursus merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh Michel Foucault dalam karyakaryanya. Bagi Foucault, diskursus adalah sebuah sistem berpikir, ide-ide, pemikiran, dan gambaran yang kemudian membangun konsep suatu kultur atau budaya (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Diskursus, diakses 23/11/2015). Peta tentang persebaran dan populasi agama di dunia dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kategori Beberapa ahli mengklasifikasikan agama baik sebagai agama universal yang mencari penerimaan di seluruh dunia dan secara aktif mencari anggota baru, atau agama etnis yang diidentifikasikan dengan kelompok etnis tertentu dan tidak mencari orang baru untuk bertobat pada agamanya. Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi agama menjadi tiga kategori: a. agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada transcultural, agama internasional. b. agama pribumi, yang mengacu pada lebih kecil, budaya tertentu atau kelompok agama-negara tertentu. 2016 4 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id c. gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mengacu pada agama baru ini dikembangkan. 2. Kelompok agama Kelima kelompok agama terbesar menurut jumlah penduduk dunia, diperkirakan mencapai 5 miliar orang, yaitu Kristen, Islam, Budha, Hindu (dengan angka relative untuk Budha dan Hindu tergantung pada sejauh mana sinkretisme) dan agama tradisional rakyat Cina. 3. Kekerasan Perang Salib adalah serangkaian dari kampanye militer berjuang terutama antara Kristen Eropa dan Muslim.Ditampilkan disini adalah adegan pertempuran dari Perang Salib Pertama. Charles Selengut mengkarekterisasikan frase “agama dan kekerasan” sebagai “gemuruh”, menyatakan bahwa “agama dianggap menentang kekerasan dan kekuatan untuk perdamaian dan rekonsiliasi.Ia mengakui, bagaimanapun bahwa “sejarah dan kitab suci agama-agama di dunia memberitahu cerita kekerasan dan perang karena mereka berbicara tentang perdamaian dan cinta”. Hector Avalos berpendapat bahwa, karena agama mengklaim kemurahan ilahi untuk diri mereka sendiri, dan melawan kelompok lain, hal kebenaran ini mengarah pada kekerasan karena konflik klaim untuk sebuah keunggulan, berdasarkan alas an banding yang diverifikasi kepada Tuhan, yang kemudian tidak dapat diadili secara obyektif. Kritik agama dari Christopher Hitchens dan Richard Dawkins nekangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa agama luar bisa merugikan kepada masyarakat dengan menggunakan kekearasan untuk mempromosikan tujuan mereka , dengan cara yang didukung dan dimanfaatkan oleh para pemimpin mereka. Regina Schwartz berpendapat bahwa semua agama monoteistik secara inheren kekerasan karena suatu eksklusivisme yang pasti mendorong kekerasan terhadap mereka yang dianggap orang luar.Lawrence Wechsler menegaskan bahwa Schwartz tidak hanya menyatakan bahwa agama-agama Ibrahim memiliki warisan kekerasan, tetapi warisan sebenarnya genosida di alam. Byron Bland menegaskan bahwa salah satu alasan yang paling menonjol untuk “kebangkitan sekuler dalam pemikiran Barat” adalah reaksi terhadap kekerasan agama dari abad 16 dan 17. Dia menegaskan bahwa “sekuler adalah cara hidup dengan perbedaan agama yang telah menghasilkan begitu banyak horror. Dalam sekularitas, entitas politik memiliki surat perintah untuk membuat keputusan independen dari kebutuhan untuk menegakan versi tertentu ortodoksi agama. 2016 5 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Memang, mereka mungkin bertentangan dengan keyakinan tertentu yang dipegang teguh jika dibuat untuk kepentingan kesejahteraan bersama.Dengan demikian, salah satu tujuan penting dari sekuler adalah untuk membatasi “kekerasan”. Richard Dawkins telah menyatakan bahwa kekejaman Stalin dipengaruhi bukan oleh atheism tetapi dengan dogmatis Marxisme, dan menyimpulkan bahwa sementara Stalin dan Mao kebetulan adalah atheis, mereka tidak melakukan perbuatanperbuatan mereka dalam nama atheis. Pada kesempatan lain Dawkins telah membalas argument bahwa Adolf Hitler dan Josef Stalin yang antireligius dengan respon bahwa Hitler dan Stalin juga sama tumbuh kumis, dalam upaya untuk menunjukan argumen yang menyesatkan. Sebaliknya, Dawkins berpendapat dalam The God Delusion bahwa “Yang penting bukanlah apakah Hitler dan Stalin adalah atheis, namun apakah atheis secara sistematis mempengaruhi orang untuk melakukan hal-hal buruk.Tidak ada bukti terkecil tentang hal itu.“Dawkins menambahkan bahwa Hitler sebenarnya, berulang kali menegaskan keyakinan yang kuat dalam agama Kristen, tetapi kekejamannya tidak lebih disebabkan teisme ketimbang Stalin atau Mao adalah untuk atheism mereka.Dalam semua tiga kasus ini, menurutnya, tingkat pelaku’religiusitas adalah incidental.D’Souza menjawab bahwa seorang individu tidak perlu secara eksplisit memanggil atheism dalam melakukan kekejaman jika sudah tersirat dalam pandangannya, seperti halnya dalam marxime. 4. Sains Ilmu agama, menurut praktisi agama, bisa diperoleh dari para pemimpin agama, teks-teks suci, kitab suci, atau wahyu pribadi.Beberapa agama melihat pengetahuan seperti terbatas dalam lingkup dan sebatas cocok untuk menjawab pertanyaan, yang lain melihat pengetahuan agama sebagai memainkan peran yang lebih terbatas, sering sebagai pelengkap pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan fisik. Penganut berbagai agama-agama sering mempertahankan bahwa agama yang diperoleh melalui teks-teks suci atau wahyu adalah mutlak dan sempurna dan dan demikian menciptakan sebuah kosmologi agama yang menyertainya, meskipun bukti seperti yang sering disebut tautologis dan umumnya terbatas pada teks-teks agama dan wahyu yang membentuk dasar dari keyakinan mereka. Sebaliknya, metode ilmiah kemajuan pengetahuan dengan menguji hipotesis untuk mengembangkan teori-teori melalui penjelasan fakta atau evaluasi oleh eskperimen dan dengan demikian hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan kosmologi tentang alam semesta yang dapat diamati dan diukur.Ini mengembangkan teori-teori dunia yang paling sesuai dengan bukti-bukti fisik yang diamati.Semua pengetahuan ilmiah tunduk pada perbaikan di kemudian hari, atau bahkan penoalakan langsung, dalam 2016 6 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menghadapi bukti tambahan yang mendukung.Teori-teori ilmiah yang memiliki dominan besar terhadap bukti yang menguntungkan sering diperlakukan sebagai de facto verities dalam bahasa umum, seperti teori relativitas umum dan seleksi alam untuk menjelaskan masing-masing mekanisme gravitasi dan evolusi. Mengenai agama dan ilmu pengetahuan, Albert Einstein menyatakan (1940): “Untuk ilmu pengetahuan hanya bisa memastikan apa yang ada, tapi tidak apa yang seharusnya ada, dan di luar pertimbangan nilai dominannya dari segala mabam tetap diperlukan. Agama, di sisi lain, hanya berurusan dengan evaluasi pemikiran dan tindakan manusia, tidak dapat dibenarkan berbicara tentang fakta-fakta dan hubungan antara fakta…Kini meski alam agama dan ilmu pengetahuan dalam diri mereka ditandai dengan jelas keluar dari satu sama lain, namun ada di antara dua hubungan timbal balik yang kuat dan dependensi. Meskipun agama bahwa mungkin yang menentukan tujuan, dan bagaimana belajar dari ilmu pengetahuan, dalam arti yang luas, apa yang diartikan akan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuantujuan yang telah ditetapkan.” 5. Hewan Kurban Hewab kurban adalah ritual pembunuhan dan korban binatang untuk menenangkan atau mempertahankan nikmat dengan dewa.Bentuk-bentuk pengorbananan yang dipraktekkan dalam banyak agama di seluruh dunia dan telah muncul historis di hampirsemua budaya. 6. Sekularisme dan tidak beragama Sekularisme adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa akhlak dan pendidikan tidak harus didasarkan pada ajaran agama.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekularisme adalah suatu pandangan dalam hidup atau dalam satu masalah yang berprinsip bahwa agama atau hal-hal yang bernuansa agama tidak boleh masuk ke dalam pemerintahan, atau pertimbangan-pertimbangan keagamaan harus dijauhkan darinya. Tujuan dari pemikiran ini adalah untuk menghargai kaum minoritas.Karena kebijakan hidup sosial tidak terletak pada agama mayoritas tetapi pada alasan yang rasional. Ranjit Singh mendirikan sekuler di wilayah Punjab pada awal abad ke-19. Istilah “atheis” (tidak mempercayai pada setiap dewa atau Tuhan) dan “agnostic” (keyakinan namun dalam ketidaktahuan tentang keberadaan/eksistensi dewa atau Tuhan), mesikpun secara khusus bertentangan dengan para teistik (misalnya Kristen, Yahudi, dan Muslim) dalam ajaran agama, menurut definisi tidak berarti kebalikan dari “agama”. Ada agama (termasuk agama Buddha dan Taoisme) yang pada kenyataannya mengelompokkan beberapa pengikut mereka sebagai agnostic, 2016 7 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id ateis atau monoteistik.Kebalikan sebenarnya dari “agama” adalah kata “tidak beragama”. Tidak beragama menggambarkan absen terhadap agama apa pun, sedangkan anti agama menggambarkan oposisi aktif atau keengganan terhadap agama pada umumnya. Agama menjadi urusan pribadi secara lebih dalam budaya Barat, diskusi masyarakat menjadi lebih terfokus pada makna politik dan ilimiah dan sikap keagamaan (dominan Kristen) yang semakin dilihat sebagai tidak relevan untuk kebutuhan dunia Eropa. Di sisi politik, Ludwig Feuerbach merombak keyakinan Kristen dalam terang humanisme, membuka jalan bagi karakterisasi terkenal Karl Marx tentang agama sebagai “candu rakyat”.Sementara itu, dalam komunitas ilmiah, T.H. Huxley pada tahun 1869 menciptakan istilah “agnostic” istilah kemudian diadopsi oleh tokoh-tokoh seperti Robert Ingersoll bahwa, sementara secara langsung bertentangan dengan novel untuk tradisi Kristen, diterima dan bahkan memeluk di beberapa agama lain. Kemudian, Bertrand Russell mengatakan kepada dunia Mengapa Saya Bukan seorang Kristen, yang dipengaruhi beberapa penulis kemudian untuk membahas memisahkan diri mereka dari asuhan agama mereka sendiri dari Islam ke Hindu. Beberapa ateis juga membangun agama parodi, misalnya, Gereja SubGenius atau Monster Spageti Terbang, yang memparodikan argument ketika waktu yang sama yang digunakan oleh perancangan cerdas teori Kreasionisme, mungkin sulit untuk mengetahui apakah bahkan ini “serius” ketika pengikutnya tidak hanya mengambil bagian dalam sebuah lelucon yang lebih besar. Lelucon ini, pada gilirannya dapat menjadi bagian dari jalan besar menuju pencerahan dan seterusnya ad infinitum. 7. Kritik agama Kritik agama memiliki sejarah panjang, akan kembali setidaknya sejauh abad ke-5 SM. selama zaman klasik, ada kritikus agama di Yunani kuno, seperti Diagoras “eteis dari Melos, dan di abad ke-1 SM di Roma, dengan Titus Lucretius Carus’s De Rerum Natura. Selama abad pertengahan dan terus ke masa Renaissance, kritikus potensial terhadap agama dianiaya dan sebagian besar dipaksa untuk tetap diam. Ada kritikus terkenal seperti Giordano Bruno, yang dibakar di tiang karena tidak setuju dengan otoritas keagamaan. Pada abad ke-17 dan ke-18 dengan pencerahan, pemikir seperti David Hume dan Voltaire mengkritik agama.Pada abad ke-19, Charles Darwin dan teori evolusi menyebabkan meningkatnya skeptisisme tentang agama. Thomas Huxley, Jeremy Bentham, Karl marx, Charles Bradlaugh, robert Ingersol, dan Mark Twain telah tercatat dalam abad ke-19 dan kritikus awal abad ke-20. Pada abad ke-20, Bertrand 2016 8 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Russell, Sigmund Freud, dan lain-lain terus mengkritik agama. Sam Harris, Daniel Dennet, Richard Dawkins, Victor J. Stenger dan almarhum Christoper Hitchens adalah kritikus aktif selama akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Kritikus menganggap agama sudah menjadi using, berbahaya bagi individu (misalnya pencucian otak anak-anak, iman kesembuhan, mutilasi alat kelamin peremupuan, sunat), merugikan masyarakat (misalnya perang suci, terorisme, pemborosan sumber daya), menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, untuk melakukan control sosial dan untuk mendorong tindakan asusila (misalnya pengorbanan darah, diskriminasi terhadap kaum homoseksual dan perempuan, dan bentuk-bentuk tertentu dari kekerasan seksual seperti perkosaan). Sebuah kritik utama dari banyak agama adalah bahwa dari mereka membutuhkan keyakinan yang tidak rasional, tidak ilmiah, atau tidak masuk akal, karena keyakinan agama dan tradisi tidak memiliki dasar ilmiah atau rasional. Beberapa kritikus modern seperti Bryan Caplan, menahan agama yang tidak memiliki utilitas dalam masyarakat manusia; mereka mungkin menganggap agama sebagai irasional pemenang Nobel Perdamaian Shirin Ebadi telah berbicara untuk menentang Negara-negara Islam yang tidak demokratis karena m”tindakan menindas” dalam nama Islam. 8. Kerjasama antar agama Kerja sama umat beragama adalah hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kerja sama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama merupakan suatu bentuk proses sosial yang didalamnya terdapat persekutuan antara orang per orang atau kelompok manusia untuk mencapai tujuan bersama.Kerjasama di antara umat beragama merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kerjasama yang erat di antara mereka, kehidupan dalam masyarakat akan menjadi aman, tenteram, tertib, dan damai.Kerjasama merupakan kemajuan bangsa dan negara.Dengan kerjasama kita dapat menyelesaikan persoalan yang ada. Karena agama tetap diakui dalam pemikiran Barat sebagai dorongan universal, banyak praktisi agama bertujuan untuk bersatu dalam dalam dialog antaragama, kerja sama, dan perdamaian agama. Dialog utama yang pertama adalah Parlemen Agama-agama Dunia pada 1893 Chicago World Fair, yang tetap penting bahkan 2016 9 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id saat ini baik dalam menegaskan “nilai-nilai universal” dan pengakuan keanekaragaman praktek antar budaya yang berbeda. Abad ke-20 terutama telah bermanfaat dalam penggunaan dialog antar agama sebagai cara untuk memecahkan konflik etnis, politik, atau bahkan agama, dengan rekonsiliasi Kristen-Yahudi mewakili reserve lengkap dalam sikap banyak komunitas Kristen terhadap orang Yahudi. Inisiatif antaragama terbaru termasuk “A Common Word”, diluncurkan pada tahun 2007 dan difokuskan pada membawa para pemimpin Muslim dan Kristen bersamasama bersatu, yang “CI Word Dialogue”, yang “Common Ground” inisiatif antara Islam dan Buddhisme, dan PBB disponsori “Word Interfaith Harmony Week”. 9. Cara beragama Dalam praktiknya, cara beragama dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama. 2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya. 3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun. 4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. 2016 10 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua. 4. Unsur-unsur Agama Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok sebagai berikut: a. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi. b. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya. c. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama. d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi. e. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama. 5. Fungsi Agama Adapun beberapa fungsi agama dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok 2. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. 3. Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah 4. Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan 5. Pedoman perasaan keyakinan 6. Pedoman keberadaan 7. Pengungkapan estetika (keindahan) 8. Pedoman rekreasi dan hiburan 9. Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama. 6. Hubungan Agama dan Negara Di Indonesia 2016 11 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Di Indonesia terdapat berbagai macam agama, yakni meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu. Agama Islam: Kitab suci Agama Islam adalah “Al-Qur’an“. Terdiri dari beberapa bagian yang disebut dengan surah. Terdapat 114 surah dalam AL-Qur’an, yang mana dalam setiap surah terdapat beberapa ayat. Agama Kristen Protestan: Kitab suci Agama Kristen Protestan adalah “Alkitab“, yang terdiri dari 66 kitab (39 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru). Agama Katolik Kitab suci Agama Katolik adalah “Alkitab“, yang terdiri dari 72 kitab (Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab). Agama Hindu Kitab suci Agama Hindu adalah Weda, yang biasa disebut juga dengan nama Catur Weda, yaitu Regweda, Yajurweda, Samaweda dan Atharwaweda. Agama Buddha Kitab suci Agama Buddha adalah Tripitaka. Agama Kong Hu Cu Kitab suci Agama Kong Hu Cu dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut : Wu Jing (Kitab Suci yang Lima), terdiri dari : Kitab Sanjak Suci (Shi Jing), Kitab Dokumen Sejarah (Shu Jing), Kitab Wahyu Perubahan (Yi Jing), Kitab Suci Kesusilaan (Li Jing), Kitab Chun-qiu (Chunqiu Jing). Si Shu (Kitab Yang Empat), terdiri dari : Kitab Ajaran Besar (Da Xue), Kitab Tengah Sempurna (Zhong Yong), Kitab Sabda Suci (Lun Yu), Kitab Mengzi (Meng Zi). Xiao Jing (Kitab Bhakti). (Sumber: http://kamuiyakamu.com/knowledge/6-agama-diindonesia-beserta-kitab-sucinya/, diakses, 24/11/2015). Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia.Ini menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui.Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Kristen atau Buddha. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama 2016 12 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha (Sumber: http://konghucuindonesia.blogspot.co.id/, diakses 24/11/2015). Namun, melalui Keppres No 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut.Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah.Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya sedikit. Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia.Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut. Tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri Dalam Negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. SK tersebut kemudian dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi manusia. Khusus dalam agama Islam, hubungan Negara dan agama masih menjadi perdebatan panjang dan intensif di kalngan para pakar muslim. Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, yang ditulis Ubaedillah & Abdul Rojak (2013:31-34), Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani, mengatakan, “Pertdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini.”Karena menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan Negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah Negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak Negara Muslim telah berkembang secara beragam.Perkembangan wacana demokrasi di kalangan Negara-negara Muslim dewasa ini semakin menambah marak perdebatan Islam dan Negara. Perdebatan Islam dan Negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik.Dari pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah).Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW di Madinah. 2016 13 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Di kota hijrah ini, Nabi Mauhammad SAW berperan ganda, sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala Negara yang memimpin sebuah sistem pemerintah awal Islam yang kebanyakkan pakar, sangat modern di masanya. Posisi ganda Nabi Muhammad SAW di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identic dengan Negara, atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk Negara, mengingat sepeninggal Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (AlQuran) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik dan Negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama Islam. Pendapat ini bersandar pada ayat AlQuran (QS.57:25) yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan agar manusia berlaku adil, dan Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan menolong Rasul-Nya yang ghaib (daripadanya).”Sehingga Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petun juk dan “pedang” penolong.Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Adapun politik tidak lain sebatas alat untuk mencapai tujuan-tujuan luhur agama. Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan kedalam tiga pandangan: Integralistik, Simbiotik, dan Sekularistik. Paradigma Integralistik: Paradigma integralistik hampirsama persis dengan negara pandangan negara teokrasi isalm. Psaradigma ini menganut faham dan konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan.Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu integratif, faham in i juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama, jadi konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah). Dalam pemahaman agama dan negara moderen pola hubunan integaratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama dan negara, yang berarti bahwa kehidupan kebegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan, dari sinilah muncul paradigma integralistik indentik dengan faham Islam dan Islam sebagai agama dan negara. Paradigama Simbiotik: 2016 14 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Menurut paradigma simbiotik, hubunagn agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita) dalam pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama, begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral etika dan spiritualitas warganegaranya. Paradigma ini juga sependapat dengan Ibnu Taimyah yang mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak, jadi pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitemasi bahwa anatara agama dan negara merupakan entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Paradigma Sekularistik: Paradigma sekularistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan negara.Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu samalain memiliki garapan masing-masing sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu samalain melakukan intervensi.Negara dalah urusan publik sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara itu sendiri. Pengalaman Negara dan agama Islam di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Uniknya, Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam.dari keunikan ini perdebatan pola hubungan islam dan Negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung selesai. Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalisme Muslim dan nasionalisme sekuler 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan Negara pada kurun waktu selanjutnya. Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep Negara sekuler diwakili masing-masing oleh nasionalisme Muslim Mohammad natsir, dan Soekarno, dari kelompok nasionalis sekuler. Menurut Ubaedillah & ASbdul Rojak (2013: 135-137), Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani mengatakan bahwa perdebatan islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaks pada persidangan formal dalam siding-sidang majelis BPUPKI bentukan pemerintah Jepang, 1945. Para tokoh Muslim seperti H. agus Salim, KH Mas Mansyur, dan KH Wahid Hasyim, menyuarakan suara aspirasi Islam dengan mengajukan konsep Negara islam dengan menjadikan Islam sebagai dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Usulan ini bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam sebagai agama dan keyakinannya. Alasan kelompoknasionalis Muslim ini ditentang oleh kalangan nasionalis sekuler yang mengajukan konsep Negara sekuler.Menurut para nasionalis sekuler, kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alasan mereka menolak 2016 15 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id konsep Negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim.Bagi mereka, Indonesia yang majemuk baik agama, suku, dan bahsa harus melandasi berdirinya Negara monogama (sekuler).Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, tokoh nasional sekuler Soekarno merujuk pada pengalman Turki Modern di bawah Kemal Ataturk dengan konsep Negara sekulernya. Lebih lanjut, Soekarno kembali menyuarakan konsep sekulernya tentang lima dasar Negara Indonesia yang kemudian dikenal Pancasila. Tentu saja paham kebangsan Pancasila tidak mudah diterima oleh kelompok nasionalis Muslim. Bagi mereka selain alasan mayoritas penduduk islam memeluk Islam, Islam agama ciptaan Allah yang bersifat universal dan lengkap harus diajukan dasar dalam tata kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Akhir dari perdebatan konstitusional BPUPKI menghasilkan kekhawatiran bagi kelompok nasionalis dari kawasan Indonesia Timur.Kekhawaturan mereka diwujudkan melalui keinginan mereka mendirikan Negara sendiri dengan memisahkan diri konsep NKRI. Ancaman pemisahan diri dari konsep NKRI melahirkan kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis yang tengah berdebat tentang masa depan Indonesia. Namun demikian, dibalik sengitnya perdebatan tentang dasar dan bentuk Negara, terjadi kesepakatan atau kompromi politik di kalangan tokoh-tokoh nasionalis baik Muslim maupun sekuler. Klimaks dari siding BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis Muslim untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia.Demi persatuan dan kesatuan terselenggarakannya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dari cengjeraman penjajah, mereka menerima konsep kalangan nasionalis sekuler, dengan catatan Negara menjamin dijalankannya syariat islam bagi pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis sekuler dikenal dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan Negara dibawah kepemimpinan Soekarno kembali mengalami ketegangan.Sumber ketegangan itu berpusat pada perdebatan seputar tafsir klausul Sila Pertama Pancasila, “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya.”Alotnya perdebatan tersebut berakhir pada pemahaman di kalangan tokoh nasional bahwa NKRI adalah bukan Negara agama (Islam) dan juga Negara sekuler. 7. Era Soeharto: Babak Baru Hubungan Islam dan Negara Kepemimpinan Presiden Soeharto menjadikan babak baru dalam hubungan Islam dengan Negara Indonesia.Menurut Imam Azis, dalam Ubaedillah & Abdul Rojak (2004:138), pola hubungan antara keduanya secara umum dapat digolongkan ke dalam dua pola: 2016 16 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id antagonistis dan akomodatif. Pola antagonistis merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Islam dengan Negara Orde Baru, sedangkan pola akomodatif menunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok Islam dan Negara Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian sebelum mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Azis Thaba, telah terjadi hubungan agama dan Negara Orde baru yang bersifat resiprokal kritis yakni awal dimulainya penurunan ketegangan antara agama dan Negara Indonesia. Hubungan antagonistis anatara Negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang dilakukan pemerintahan Orde baru.Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasional sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era 1950-an. Lalu pada pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam.Menurut Efendy lagi, kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik selanjutnya baik struktural maupun structural. Pengesahan RUU Pendidikan Agama, pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi Muslim di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI), dan lahirnya yayasan Amal Bakti Pancasila yang dipimpin oleh presiden soeharto merupakan indikator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan oleh elit penguasa Orde baru terhadap Islam. Selanjutnya Islam dan Negara pasca Orde Baru harus kembali melestarikan komitmen suci para pendiri bangsa (sacred commitment founding father) untuk menjaga kesepakatan membangun masa depan demokrasi Indonesia harus diletakan dalam tataran Indonesia yang plural dalam bingkai NKRI. jadi dapat dirangkumkan, bahwa hubungan agama dan Negara di Indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teokrasi.Kesimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan antara agama dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya.Agama tetap memiliki daya kritis terhadap Negara dan Negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Daftar Pustaka 1. Arissetyanto Nugroho dkk, Etika Berwargawarganegara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2015. 2016 17 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 2. https://id.wikipedia.org/wiki/Diskursus 3. https://dewon.wordpress.com/2007/11/04/kategori-20/ 4. http://kamuiyakamu.com/knowledge/6-agama-di-indonesia-beserta-kitab-sucinya/ 5. http://konghucuindonesia.blogspot.co.id/ 2016 18 Kewarganegaraan Syahlan A. Sume,SE.,MM Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id