dan agama - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Modul 11
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
HUBUNGAN NEGARA
DAN AGAMA
Fakultas
Program Studi
Ekonomi dan Bisnis
Manajemen
Tatap Muka
12
Kode MK
Disusun Oleh
90003
Syahlan A.Sume,SE,MM
Abstract
Kompetensi
Manusia sebagai warga negara adalah
juga makhluk sosial dan makhluk
Tuhan. Sebagai makhluk sosial,
manusia mempunyai kebebasan untuk
memenuhi dan memanifestasikan
kodrat kemanusiaanya. Namun, sebagai
makhluk Tuhan, manusia juga
mempunyai kewajiban untuk mengabdi
kepadaNya dalam bentuk
penyembahan atau ibadah yang
diajarkan oleh agama dan keyakinan
yang dianutnya..
Setelah mahasiswa mempelajari materi
ini diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pengertian agama,
2. Menjelaskan hakikat agama,
3. Menjelaskan unsur agama,
4. Menjelaskan kebasan
beragama
HUBUNGAN NEGARA
DAN AGAMA
1. Menjelaskan Pengertian dan Hakikat Agama
2. Definisi Menurut Beberapa Ahli
3. Diskursus dan Praktik Keagamaan
4. Unsur-unsur Agama
5. Fungsi Agama
6. Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
7. Era Soeharto: Babak Baru Hubungan Islam dan Negara
1. Menjelaskan Pengertian dan Hakikat Agama
Agama adalah sebuah koleksi teroganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan
dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah ajaran sistem yang mengatur tata keimanan
kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungan. Kata Agama berasal dari bahasa Sansekerta dari
kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu
yang tidak kacau.Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang
atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya
tidak kacau.Setiap agama mengajarkan kebaikan dan keadilan yang patut dijalankan oleh
setiap anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Agama menurut istilah adalah undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengikat
manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama
manusia dan hubungan manusia dengan alam. Maka orang yang beragama adalah orang
yang teratur, orang yang tenteram dan orang yang damai baik dengan dirinya maupun
dengan orang lain dari segala aspek kehidupannya. Sebuah agama biasanya melingkupi
tiga persoalan pokok, yaitu :
1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural
yang diyakini mengatur dan mencipta alam.
2016
2
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan
kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan
ketundukannya.
3. Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam
semesta
yang
dikaitkan
dengan
keyakinan
nya
tersebut.
(Sumber:
https://dewon.wordpress.com/2007/11/04/kategori-20/, diakses 24/11/2015).
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau
kadang-kadang mengatur tugas; Namun dalam kata-kata Emile Durkheim, agama berbeda
dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah “sesuatu yang nyata sosial “.Emile Durkheim
juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.
Menurut Plolog Muller, akar kata bahasa Inggris “religion”, yang dalam bahasa latin
teligion, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya “takut akan Tuhan atau dewa-dewa,
merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan” (kemudian Cicero menurunkan
menjadi berarti “ketekunan”). Max Muller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia,
termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang memiliki struktur kekuasaan yang
sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang di sebut agama kuno hari ini, mereka
akanhanya disebut sebagai “hukum”.
Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hukum terdiri dari konsep-konsep seperti penebusan
dosa melalui kesalehan dan upacara serta tradisi praktis. Medieval Jepang pada awalnya
memiliki serikat serupa antara “hukum kekaisaran” dan universal atau “hukum Buddha”,
tetapi ini kemudian menjadi sumber independen dari kekuasaan.
Tidak ada setara yang tepat dari “agama” dalam bahasa Ibrani, dan Yudaisme tidak
membedakan secara jelas antara keagamaan nasional, rasa tau etnis. Salah satu konsep
pusat adalah “halakha”, kadang-kadang diterjemahkan sebagai sebagai “hukum”, yang
memandu praktek keagamaan dan keyakinan dan banyak aspek kehidupan sehari-hari.
Penggunaan istilah-istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau Islam yang juga
didasarkan pada sejarah tertentu dan kosa kata. Agama merupakan suatu lembaga atau
institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal
sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya.Dalam pengertian agama terdapat
3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan.Maka suatu paham atau ajaran yang
mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup.Yakni bahwa seluruh
aktivitas lahir batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya.Bagaimana kita makan,
2016
3
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bagaimana kita bergaul, bersosialisasi, bagaimana kita beribadah, bagaimana kita berpolitik,
bernegara dan berbangsa dan saebagainya ditentukan oleh aturan/cara agama.
2. Definisi Menurut Beberapa Ahli
Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebutkan enam agama yang diakui
resmi oleh Negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hidu, Budhisme, dan Khonghuchu.
Sedangkan semua sitem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut
“religi”.
Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan
tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterprestasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini
sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran
mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk
untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat.Karena itu pula agama dapat menjadi bagian
dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan, juga menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para
anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan
ajaran-ajaran agamanya.
3. Diskursus dan Praktik Keagamaan
Diskursus merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh Michel Foucault dalam karyakaryanya. Bagi Foucault, diskursus adalah sebuah sistem berpikir, ide-ide, pemikiran, dan
gambaran yang kemudian membangun konsep suatu kultur atau budaya (Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Diskursus, diakses 23/11/2015).
Peta tentang persebaran dan populasi agama di dunia dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kategori
Beberapa ahli mengklasifikasikan agama baik sebagai agama universal yang
mencari penerimaan di seluruh dunia dan secara aktif mencari anggota baru, atau
agama etnis yang diidentifikasikan dengan kelompok etnis tertentu dan tidak mencari
orang baru untuk bertobat pada agamanya.
Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi agama menjadi tiga
kategori:
a. agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada transcultural,
agama internasional.
b. agama pribumi, yang mengacu pada lebih kecil, budaya tertentu atau
kelompok agama-negara tertentu.
2016
4
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
c. gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mengacu pada agama baru ini
dikembangkan.
2. Kelompok agama
Kelima kelompok agama terbesar menurut jumlah penduduk dunia, diperkirakan
mencapai 5 miliar orang, yaitu Kristen, Islam, Budha, Hindu (dengan angka relative
untuk Budha dan Hindu tergantung pada sejauh mana sinkretisme) dan agama
tradisional rakyat Cina.
3. Kekerasan
Perang Salib adalah serangkaian dari kampanye militer berjuang terutama antara
Kristen Eropa dan Muslim.Ditampilkan disini adalah adegan pertempuran dari
Perang Salib Pertama.
Charles Selengut mengkarekterisasikan frase “agama dan kekerasan” sebagai
“gemuruh”, menyatakan bahwa “agama dianggap menentang kekerasan dan
kekuatan untuk perdamaian dan rekonsiliasi.Ia mengakui, bagaimanapun bahwa
“sejarah dan kitab suci agama-agama di dunia memberitahu cerita kekerasan dan
perang karena mereka berbicara tentang perdamaian dan cinta”.
Hector Avalos berpendapat bahwa, karena agama mengklaim kemurahan ilahi untuk
diri mereka sendiri, dan melawan kelompok lain, hal kebenaran ini mengarah pada
kekerasan karena konflik klaim untuk sebuah keunggulan, berdasarkan alas an
banding yang diverifikasi kepada Tuhan, yang kemudian tidak dapat diadili secara
obyektif.
Kritik agama dari Christopher Hitchens dan Richard Dawkins nekangkah lebih jauh
dan menyatakan bahwa agama luar bisa merugikan kepada masyarakat dengan
menggunakan kekearasan untuk mempromosikan tujuan mereka , dengan cara yang
didukung dan dimanfaatkan oleh para pemimpin mereka.
Regina Schwartz berpendapat bahwa semua agama monoteistik secara inheren
kekerasan karena suatu eksklusivisme yang pasti mendorong kekerasan terhadap
mereka yang dianggap orang luar.Lawrence Wechsler menegaskan bahwa Schwartz
tidak hanya menyatakan bahwa agama-agama Ibrahim memiliki warisan kekerasan,
tetapi warisan sebenarnya genosida di alam.
Byron Bland menegaskan bahwa salah satu alasan yang paling menonjol untuk
“kebangkitan sekuler dalam pemikiran Barat” adalah reaksi terhadap kekerasan
agama dari abad 16 dan 17. Dia menegaskan bahwa “sekuler adalah cara hidup
dengan perbedaan agama yang telah menghasilkan begitu banyak horror. Dalam
sekularitas, entitas politik memiliki surat perintah
untuk membuat keputusan
independen dari kebutuhan untuk menegakan versi tertentu ortodoksi agama.
2016
5
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Memang, mereka mungkin bertentangan dengan keyakinan tertentu yang dipegang
teguh jika dibuat untuk kepentingan kesejahteraan bersama.Dengan demikian, salah
satu tujuan penting dari sekuler adalah untuk membatasi “kekerasan”.
Richard Dawkins telah menyatakan bahwa kekejaman Stalin dipengaruhi bukan oleh
atheism tetapi dengan dogmatis Marxisme, dan menyimpulkan bahwa sementara
Stalin dan Mao kebetulan adalah atheis, mereka tidak melakukan perbuatanperbuatan mereka dalam nama atheis. Pada kesempatan lain Dawkins telah
membalas argument bahwa Adolf Hitler dan Josef Stalin yang antireligius dengan
respon bahwa Hitler dan Stalin juga sama tumbuh kumis, dalam upaya untuk
menunjukan argumen yang menyesatkan. Sebaliknya, Dawkins berpendapat dalam
The God Delusion bahwa “Yang penting bukanlah apakah Hitler dan Stalin adalah
atheis, namun apakah atheis secara sistematis mempengaruhi orang untuk
melakukan hal-hal buruk.Tidak ada bukti terkecil tentang hal itu.“Dawkins
menambahkan bahwa Hitler sebenarnya, berulang kali menegaskan keyakinan yang
kuat dalam agama Kristen, tetapi kekejamannya tidak lebih disebabkan teisme
ketimbang Stalin atau Mao adalah untuk atheism mereka.Dalam semua tiga kasus
ini, menurutnya, tingkat pelaku’religiusitas adalah incidental.D’Souza menjawab
bahwa seorang individu tidak perlu secara eksplisit memanggil atheism dalam
melakukan kekejaman jika sudah tersirat dalam pandangannya, seperti halnya dalam
marxime.
4. Sains
Ilmu agama, menurut praktisi agama, bisa diperoleh dari para pemimpin agama,
teks-teks suci, kitab suci, atau wahyu pribadi.Beberapa agama melihat pengetahuan
seperti terbatas dalam lingkup dan sebatas cocok untuk menjawab pertanyaan, yang
lain melihat pengetahuan agama sebagai memainkan peran yang lebih terbatas,
sering sebagai pelengkap pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan fisik.
Penganut berbagai agama-agama sering mempertahankan bahwa agama yang
diperoleh melalui teks-teks suci atau wahyu adalah mutlak dan sempurna dan dan
demikian menciptakan sebuah kosmologi agama yang menyertainya, meskipun bukti
seperti yang sering disebut tautologis dan umumnya terbatas pada teks-teks agama
dan wahyu yang membentuk dasar dari keyakinan mereka.
Sebaliknya, metode ilmiah kemajuan pengetahuan dengan menguji hipotesis untuk
mengembangkan teori-teori melalui penjelasan fakta atau evaluasi oleh eskperimen
dan dengan demikian hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan kosmologi tentang
alam semesta yang dapat diamati dan diukur.Ini mengembangkan teori-teori dunia
yang paling sesuai dengan bukti-bukti fisik yang diamati.Semua pengetahuan ilmiah
tunduk pada perbaikan di kemudian hari, atau bahkan penoalakan langsung, dalam
2016
6
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menghadapi bukti tambahan yang mendukung.Teori-teori ilmiah yang memiliki
dominan besar terhadap bukti yang menguntungkan sering diperlakukan sebagai de
facto verities dalam bahasa umum, seperti teori relativitas umum dan seleksi alam
untuk menjelaskan masing-masing mekanisme gravitasi dan evolusi.
Mengenai agama dan ilmu pengetahuan, Albert Einstein menyatakan (1940): “Untuk
ilmu pengetahuan hanya bisa memastikan apa yang ada, tapi tidak apa yang
seharusnya ada, dan di luar pertimbangan nilai dominannya dari segala mabam
tetap diperlukan. Agama, di sisi lain, hanya berurusan dengan evaluasi pemikiran
dan tindakan manusia, tidak dapat dibenarkan berbicara tentang fakta-fakta dan
hubungan antara fakta…Kini meski alam agama dan ilmu pengetahuan dalam diri
mereka ditandai dengan jelas keluar dari satu sama lain, namun ada di antara dua
hubungan timbal balik yang kuat dan dependensi. Meskipun agama bahwa mungkin
yang menentukan tujuan, dan bagaimana belajar dari ilmu pengetahuan, dalam arti
yang luas, apa yang diartikan akan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuantujuan yang telah ditetapkan.”
5. Hewan Kurban
Hewab kurban adalah ritual pembunuhan dan korban binatang untuk menenangkan
atau mempertahankan nikmat dengan dewa.Bentuk-bentuk pengorbananan yang
dipraktekkan dalam banyak agama di seluruh dunia dan telah muncul historis di
hampirsemua budaya.
6. Sekularisme dan tidak beragama
Sekularisme adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa akhlak dan
pendidikan tidak harus didasarkan pada ajaran agama.Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, sekularisme adalah suatu pandangan dalam hidup atau dalam
satu masalah yang berprinsip bahwa agama atau hal-hal yang bernuansa agama
tidak boleh masuk ke dalam pemerintahan, atau pertimbangan-pertimbangan
keagamaan harus dijauhkan darinya. Tujuan dari pemikiran ini adalah untuk
menghargai kaum minoritas.Karena kebijakan hidup sosial tidak terletak pada agama
mayoritas tetapi pada alasan yang rasional.
Ranjit Singh mendirikan sekuler di wilayah Punjab pada awal abad ke-19. Istilah
“atheis” (tidak mempercayai pada setiap dewa atau Tuhan) dan “agnostic”
(keyakinan namun dalam ketidaktahuan tentang keberadaan/eksistensi dewa atau
Tuhan), mesikpun secara khusus bertentangan dengan para teistik (misalnya
Kristen, Yahudi, dan Muslim) dalam ajaran agama, menurut definisi tidak berarti
kebalikan dari “agama”. Ada agama (termasuk agama Buddha dan Taoisme) yang
pada kenyataannya mengelompokkan beberapa pengikut mereka sebagai agnostic,
2016
7
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
ateis atau monoteistik.Kebalikan sebenarnya dari “agama” adalah kata “tidak
beragama”. Tidak beragama menggambarkan absen terhadap agama apa pun,
sedangkan anti agama menggambarkan oposisi aktif atau keengganan terhadap
agama pada umumnya.
Agama menjadi urusan pribadi secara lebih dalam budaya Barat, diskusi masyarakat
menjadi lebih terfokus pada makna politik dan ilimiah dan sikap keagamaan
(dominan Kristen) yang semakin dilihat sebagai tidak relevan untuk kebutuhan dunia
Eropa. Di sisi politik, Ludwig Feuerbach merombak keyakinan Kristen dalam terang
humanisme, membuka jalan bagi karakterisasi terkenal Karl Marx tentang agama
sebagai “candu rakyat”.Sementara itu, dalam komunitas ilmiah, T.H. Huxley pada
tahun 1869 menciptakan istilah “agnostic” istilah kemudian diadopsi oleh tokoh-tokoh
seperti Robert Ingersoll bahwa, sementara secara langsung bertentangan dengan
novel untuk tradisi Kristen, diterima dan bahkan memeluk di beberapa agama lain.
Kemudian, Bertrand Russell mengatakan kepada dunia Mengapa Saya Bukan
seorang Kristen, yang dipengaruhi beberapa penulis kemudian untuk membahas
memisahkan diri mereka dari asuhan agama mereka sendiri dari Islam ke Hindu.
Beberapa ateis juga membangun agama parodi, misalnya, Gereja SubGenius atau
Monster Spageti Terbang, yang memparodikan argument ketika waktu yang sama
yang digunakan oleh perancangan cerdas teori Kreasionisme, mungkin sulit untuk
mengetahui apakah bahkan ini “serius” ketika pengikutnya tidak hanya mengambil
bagian dalam sebuah lelucon yang lebih besar. Lelucon ini, pada gilirannya dapat
menjadi bagian dari jalan besar menuju pencerahan dan seterusnya ad infinitum.
7. Kritik agama
Kritik agama memiliki sejarah panjang, akan kembali setidaknya sejauh abad ke-5
SM. selama zaman klasik, ada kritikus agama di Yunani kuno, seperti Diagoras “eteis
dari Melos, dan di abad ke-1 SM di Roma, dengan Titus Lucretius Carus’s De Rerum
Natura.
Selama abad pertengahan dan terus ke masa Renaissance, kritikus potensial
terhadap agama dianiaya dan sebagian besar dipaksa untuk tetap diam. Ada kritikus
terkenal seperti Giordano Bruno, yang dibakar di tiang karena tidak setuju dengan
otoritas keagamaan.
Pada abad ke-17 dan ke-18 dengan pencerahan, pemikir seperti David Hume dan
Voltaire mengkritik agama.Pada abad ke-19, Charles Darwin dan teori evolusi
menyebabkan meningkatnya skeptisisme tentang agama. Thomas Huxley, Jeremy
Bentham, Karl marx, Charles Bradlaugh, robert Ingersol, dan Mark Twain telah
tercatat dalam abad ke-19 dan kritikus awal abad ke-20. Pada abad ke-20, Bertrand
2016
8
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Russell, Sigmund Freud, dan lain-lain terus mengkritik agama. Sam Harris, Daniel
Dennet, Richard Dawkins, Victor J. Stenger dan almarhum Christoper Hitchens
adalah kritikus aktif selama akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.
Kritikus menganggap agama sudah menjadi using, berbahaya bagi individu
(misalnya pencucian otak anak-anak, iman kesembuhan, mutilasi alat kelamin
peremupuan, sunat), merugikan masyarakat (misalnya perang suci, terorisme,
pemborosan sumber daya), menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, untuk
melakukan control sosial dan untuk mendorong tindakan asusila (misalnya
pengorbanan darah, diskriminasi terhadap kaum homoseksual dan perempuan, dan
bentuk-bentuk tertentu dari kekerasan seksual seperti perkosaan). Sebuah kritik
utama dari banyak agama adalah bahwa dari mereka membutuhkan keyakinan yang
tidak rasional, tidak ilmiah, atau tidak masuk akal, karena keyakinan agama dan
tradisi tidak memiliki dasar ilmiah atau rasional.
Beberapa kritikus modern seperti Bryan Caplan, menahan agama yang tidak
memiliki utilitas dalam masyarakat manusia; mereka mungkin menganggap agama
sebagai irasional pemenang Nobel Perdamaian Shirin Ebadi telah berbicara untuk
menentang Negara-negara Islam yang tidak demokratis karena m”tindakan
menindas” dalam nama Islam.
8. Kerjasama antar agama
Kerja sama umat beragama adalah hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi
dengan
toleransi,
saling
pengertian,
saling
menghormati,
saling
menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam
kehidupan masyarakat dan bernegara.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kerja sama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang untuk
mencapai tujuan bersama. Kerja sama merupakan suatu bentuk proses sosial yang
didalamnya terdapat persekutuan antara orang per orang atau kelompok manusia
untuk mencapai tujuan bersama.Kerjasama di antara umat beragama merupakan
bagian yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dengan kerjasama yang erat di antara mereka, kehidupan dalam
masyarakat akan menjadi aman, tenteram, tertib, dan damai.Kerjasama merupakan
kemajuan bangsa dan negara.Dengan kerjasama kita dapat menyelesaikan
persoalan yang ada.
Karena agama tetap diakui dalam pemikiran Barat sebagai dorongan universal,
banyak praktisi agama bertujuan untuk bersatu dalam dalam dialog antaragama,
kerja sama, dan perdamaian agama. Dialog utama yang pertama adalah Parlemen
Agama-agama Dunia pada 1893 Chicago World Fair, yang tetap penting bahkan
2016
9
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
saat
ini
baik
dalam
menegaskan
“nilai-nilai
universal”
dan
pengakuan
keanekaragaman praktek antar budaya yang berbeda. Abad ke-20 terutama telah
bermanfaat dalam penggunaan dialog antar agama sebagai cara untuk memecahkan
konflik etnis, politik, atau bahkan agama, dengan rekonsiliasi Kristen-Yahudi
mewakili reserve lengkap dalam sikap banyak komunitas Kristen terhadap orang
Yahudi.
Inisiatif antaragama terbaru termasuk “A Common Word”, diluncurkan pada tahun
2007 dan difokuskan pada membawa para pemimpin Muslim dan Kristen bersamasama bersatu, yang “CI Word Dialogue”, yang “Common Ground” inisiatif antara
Islam dan Buddhisme, dan PBB disponsori “Word Interfaith Harmony Week”.
9. Cara beragama
Dalam praktiknya, cara beragama dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi.
Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang
dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada umumnya
kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau
pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di
lingkungannya atau masyarakatnya.
Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan
tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama.
Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau
masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama
jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada
minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya
mengenai
hal-hal
yang
mudah
dan
nampak
dalam
lingkungan
masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya.
Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran
agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa
berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan
orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan
hati (perasaan) di bawah wahyu.
2016
10
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran
agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).Mereka
selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu
agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari
Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan,
mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
4. Unsur-unsur Agama
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok sebagai
berikut:
a. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan
lagi.
b. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan-Nya, dan
hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran
agama.
d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang
dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.
5. Fungsi Agama
Adapun beberapa fungsi agama dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
2. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
manusia.
3. Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
4. Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
5. Pedoman perasaan keyakinan
6. Pedoman keberadaan
7. Pengungkapan estetika (keindahan)
8. Pedoman rekreasi dan hiburan
9. Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
6. Hubungan Agama dan Negara Di Indonesia
2016
11
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Di Indonesia terdapat berbagai macam agama, yakni meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, Kong Hu Cu.
Agama Islam:
Kitab suci Agama Islam adalah “Al-Qur’an“.
Terdiri dari beberapa bagian yang disebut dengan surah.
Terdapat 114 surah dalam AL-Qur’an, yang mana dalam setiap surah terdapat beberapa
ayat.
Agama Kristen Protestan:
Kitab suci Agama Kristen Protestan adalah “Alkitab“, yang terdiri dari 66 kitab (39 kitab
Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru).
Agama Katolik
Kitab suci Agama Katolik adalah “Alkitab“, yang terdiri dari 72 kitab (Perjanjian Lama terdiri
dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab).
Agama Hindu
Kitab suci Agama Hindu adalah Weda, yang biasa disebut juga dengan nama Catur Weda,
yaitu Regweda, Yajurweda, Samaweda dan Atharwaweda.
Agama Buddha
Kitab suci Agama Buddha adalah Tripitaka.
Agama Kong Hu Cu
Kitab suci Agama Kong Hu Cu dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut :

Wu Jing (Kitab Suci yang Lima), terdiri dari : Kitab Sanjak Suci (Shi Jing), Kitab
Dokumen Sejarah (Shu Jing), Kitab Wahyu Perubahan (Yi Jing), Kitab Suci
Kesusilaan (Li Jing), Kitab Chun-qiu (Chunqiu Jing).

Si Shu (Kitab Yang Empat), terdiri dari : Kitab Ajaran Besar (Da Xue), Kitab Tengah
Sempurna (Zhong Yong), Kitab Sabda Suci (Lun Yu), Kitab Mengzi (Meng Zi).

Xiao Jing (Kitab Bhakti). (Sumber: http://kamuiyakamu.com/knowledge/6-agama-diindonesia-beserta-kitab-sucinya/, diakses, 24/11/2015).
Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau
kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia.Ini menyebabkan banyak pemeluk
kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5
agama yang diakui.Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan
komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu
agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Kristen atau Buddha. Klenteng yang
merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama
2016
12
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha
(Sumber: http://konghucuindonesia.blogspot.co.id/, diakses 24/11/2015).
Namun, melalui Keppres No 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan
tersebut.Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang
mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah.Ada juga penganut agama Yahudi,
Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang
No.5/1969
tentang
Pencegahan
Penyalahgunaan
dan
Penodaan
agama
dalam
penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian
besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh
dan berkembang di Indonesia.Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu
perkembangan agama-agama tersebut.
Tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi
di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri
Dalam Negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya
menyatakan kelima agama tersebut. SK tersebut kemudian dianulir pada masa Presiden
Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi manusia.
Khusus dalam agama Islam, hubungan Negara dan agama masih menjadi perdebatan
panjang dan intensif di kalngan para pakar muslim. Sebagaimana dikatakan Azyumardi
Azra, yang ditulis Ubaedillah & Abdul Rojak (2013:31-34), Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education) Pancasila, Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani, mengatakan,
“Pertdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga
dewasa ini.”Karena menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan
Negara dalam islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai
agama (din) dan Negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk
menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim.
Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah Negara di dunia, penyelarasan din dan
dawlah di banyak Negara Muslim telah berkembang secara beragam.Perkembangan
wacana demokrasi di kalangan Negara-negara Muslim dewasa ini semakin menambah
marak perdebatan Islam dan Negara.
Perdebatan Islam dan Negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah
sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehidupan manusia,
termasuk persoalan politik.Dari pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini
pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik
(dawlah).Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW di Madinah.
2016
13
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Di kota hijrah ini, Nabi Mauhammad SAW berperan ganda, sebagai seorang pemimpin
agama sekaligus sebagai kepala Negara yang memimpin sebuah sistem pemerintah awal
Islam yang kebanyakkan pakar, sangat modern di masanya.
Posisi ganda Nabi Muhammad SAW di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan
ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identic
dengan Negara, atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang
bentuk Negara, mengingat sepeninggal Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas
menyampaikan ajaran (AlQuran) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah,
kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan
kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik dan Negara dalam
Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama Islam. Pendapat ini
bersandar pada ayat AlQuran (QS.57:25) yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keterangan-keterangan, dan Kami turunkan
bersama mereka Kitab dan timbangan agar manusia berlaku adil, dan Kami turunkan besi,
padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah
mengetahui
siapa
yang
menolong-Nya
dan
menolong
Rasul-Nya
yang
ghaib
(daripadanya).”Sehingga Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib
memiliki buku petun juk dan “pedang” penolong.Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan
politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi
kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Adapun politik tidak lain sebatas alat untuk
mencapai tujuan-tujuan luhur agama.
Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan kedalam tiga
pandangan: Integralistik, Simbiotik, dan Sekularistik.
Paradigma Integralistik:
Paradigma integralistik hampirsama persis dengan negara pandangan negara teokrasi
isalm. Psaradigma ini menganut faham dan konsep agama dan negara merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat di pisahkan.Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu
integratif, faham in i juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga
politik dan sekaligus lembaga agama, jadi konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam
tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah). Dalam
pemahaman agama dan negara moderen pola hubunan integaratif ini kemudian melahirkan
konsep tentang agama dan negara, yang berarti bahwa kehidupan kebegaraan diatur
dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan, dari sinilah muncul paradigma
integralistik indentik dengan faham Islam dan Islam sebagai agama dan negara.
Paradigama Simbiotik:
2016
14
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut paradigma simbiotik, hubunagn agama dan negara berada pada posisi saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita) dalam pandangan ini, agama
membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama,
begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral etika dan
spiritualitas warganegaranya.
Paradigma ini juga sependapat dengan Ibnu Taimyah yang mengatakan bahwa adanya
kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling
besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak, jadi pendapat
Ibnu Taimiyah tersebut melegitemasi bahwa anatara agama dan negara merupakan entitas
yang berbeda, tetapi saling membutuhkan.
Paradigma Sekularistik:
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan
negara.Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu samalain
memiliki garapan masing-masing sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh
satu samalain melakukan intervensi.Negara dalah urusan publik sementara agama
merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara itu sendiri.
Pengalaman Negara dan agama Islam di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di
dunia. Uniknya, Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam.dari keunikan ini perdebatan pola
hubungan islam dan Negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung
selesai. Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalisme
Muslim dan nasionalisme sekuler 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan
Negara pada kurun waktu selanjutnya. Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep
Negara sekuler diwakili masing-masing oleh nasionalisme Muslim Mohammad natsir, dan
Soekarno, dari kelompok nasionalis sekuler.
Menurut Ubaedillah & ASbdul Rojak (2013: 135-137), Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education) Pancasila, demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani mengatakan bahwa
perdebatan islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaks pada
persidangan formal dalam siding-sidang majelis BPUPKI bentukan pemerintah Jepang,
1945. Para tokoh Muslim seperti H. agus Salim, KH Mas Mansyur, dan KH Wahid Hasyim,
menyuarakan suara aspirasi Islam dengan mengajukan konsep Negara islam dengan
menjadikan Islam sebagai dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Usulan ini bersandar
pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam sebagai agama
dan keyakinannya.
Alasan kelompoknasionalis Muslim ini ditentang oleh kalangan nasionalis sekuler yang
mengajukan konsep Negara sekuler.Menurut para nasionalis sekuler, kemajemukan
Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alasan mereka menolak
2016
15
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
konsep Negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim.Bagi mereka,
Indonesia yang majemuk baik agama, suku, dan bahsa harus melandasi berdirinya Negara
monogama (sekuler).Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, tokoh nasional sekuler
Soekarno merujuk pada pengalman Turki Modern di bawah Kemal Ataturk dengan konsep
Negara sekulernya. Lebih lanjut, Soekarno kembali menyuarakan konsep sekulernya
tentang lima dasar Negara Indonesia yang kemudian dikenal Pancasila.
Tentu saja paham kebangsan Pancasila tidak mudah diterima oleh kelompok nasionalis
Muslim. Bagi mereka selain alasan mayoritas penduduk islam memeluk Islam, Islam agama
ciptaan Allah yang bersifat universal dan lengkap harus diajukan dasar dalam tata
kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Akhir dari perdebatan konstitusional
BPUPKI menghasilkan kekhawatiran bagi kelompok nasionalis dari kawasan Indonesia
Timur.Kekhawaturan mereka diwujudkan melalui keinginan mereka mendirikan Negara
sendiri dengan memisahkan diri konsep NKRI. Ancaman pemisahan diri dari konsep NKRI
melahirkan kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis yang tengah berdebat tentang
masa depan Indonesia. Namun demikian, dibalik sengitnya perdebatan tentang dasar dan
bentuk Negara, terjadi kesepakatan atau kompromi politik di kalangan tokoh-tokoh
nasionalis baik Muslim maupun sekuler.
Klimaks dari siding BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis Muslim untuk
tidak
memaksakan
kehendak
mereka
menjadikan
Islam
sebagai
dasar
Negara
Indonesia.Demi persatuan dan kesatuan terselenggarakannya kemerdekaan bagi bangsa
Indonesia dari cengjeraman penjajah, mereka menerima konsep kalangan nasionalis
sekuler, dengan catatan Negara menjamin dijalankannya syariat islam bagi pemeluk Islam di
Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis
sekuler dikenal dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam
Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan Negara dibawah kepemimpinan Soekarno
kembali mengalami ketegangan.Sumber ketegangan itu berpusat pada perdebatan seputar
tafsir klausul Sila Pertama Pancasila, “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pemeluknya.”Alotnya perdebatan tersebut berakhir pada pemahaman di kalangan tokoh
nasional bahwa NKRI adalah bukan Negara agama (Islam) dan juga Negara sekuler.
7. Era Soeharto: Babak Baru Hubungan Islam dan Negara
Kepemimpinan Presiden Soeharto menjadikan babak baru dalam hubungan Islam dengan
Negara Indonesia.Menurut Imam Azis, dalam Ubaedillah & Abdul Rojak (2004:138), pola
hubungan antara keduanya secara umum dapat digolongkan ke dalam dua pola:
2016
16
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
antagonistis dan akomodatif. Pola antagonistis merupakan sifat hubungan yang mencirikan
adanya ketegangan antara Islam dengan Negara Orde Baru, sedangkan pola akomodatif
menunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok Islam dan Negara Orde
Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun
demikian sebelum mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Azis Thaba, telah terjadi
hubungan agama dan Negara Orde baru yang bersifat resiprokal kritis yakni awal dimulainya
penurunan ketegangan antara agama dan Negara Indonesia.
Hubungan antagonistis anatara Negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari
kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang dilakukan pemerintahan Orde
baru.Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasional sekuler terhadap
kelompok Islam, khususnya di era 1950-an. Lalu pada pertengahan 1980-an merupakan
awal perubahan pendulum hubungan Islam dan Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya
kebijakan-kebijakan politik Presiden soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam.Menurut
Efendy lagi, kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik
selanjutnya baik struktural maupun structural.
Pengesahan RUU Pendidikan Agama, pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi Muslim
di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI), dan lahirnya
yayasan Amal Bakti Pancasila yang dipimpin oleh presiden soeharto merupakan indikator
adanya hubungan akomodatif yang dilakukan oleh elit penguasa Orde baru terhadap Islam.
Selanjutnya Islam dan Negara pasca Orde Baru harus kembali melestarikan komitmen
suci para pendiri bangsa (sacred commitment founding father) untuk menjaga kesepakatan
membangun masa depan demokrasi Indonesia harus diletakan dalam tataran Indonesia
yang plural dalam bingkai NKRI.
jadi dapat dirangkumkan, bahwa hubungan agama dan Negara di Indonesia lebih menganut
pada
asas
keseimbangan
yang
dinamis,
jalan
tengah
antara
sekularisme
dan
teokrasi.Kesimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan antara agama dan politik,
namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya.Agama tetap
memiliki daya kritis terhadap Negara dan Negara punya kewajiban-kewajiban terhadap
agama.
Daftar Pustaka
1. Arissetyanto Nugroho dkk, Etika Berwargawarganegara, Graha Ilmu, Yogyakarta,
2015.
2016
17
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Diskursus
3. https://dewon.wordpress.com/2007/11/04/kategori-20/
4. http://kamuiyakamu.com/knowledge/6-agama-di-indonesia-beserta-kitab-sucinya/
5. http://konghucuindonesia.blogspot.co.id/
2016
18
Kewarganegaraan
Syahlan A. Sume,SE.,MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download