1 Telaah Konsep Pembaharu Teologi TELAAH KONSEP PEMBAHARU TEOLOGI (PERSPEKTIF KALAM KONTEMPORER I) A. ISMAIL AL-FARUQI 1. Riwayat Singkat Isamil Al-faruqi Ismail Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 januari 1921 di Jaffa Palestina. Pendidikan dasarnya di mulai di madrasah, lalu pendidikan menengah di College des Freres St. Joseph, dengan bahasa pengantar Perancis. Pada tahun 1941, Al-Faruqi mengambil kuliah filsafat diAmerican University, Beirut. Setelah tamat dan meraih gelar Bachelor of Arts. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintahan Inggris yang memegang mandate atas Palestina ketika saat itu selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Pada tahun 1948, Palestina dijarah Israel dan Faruqi, seperti warga Palestina lainnya, terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah Palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun berikutnya, 1949, Faruqi hijrah ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar Master Filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master filsafat kembali ia raih dari Universitas Harvard. Di Harvard inilah pengalaman mengajarinya, yakni belajar tanpa dukungan finansial itu sulit. Biaya kuliah yang tinggi di AS mengharuskannya untuk bekerja. Dengan uang US$1.000 (dariAmerican Council of Learned Sociates hasil dari menerjemahkan dua buku Bahasa Arab) ia memasuki bisnis konstruksi. Dengan menspesialisasikan diri pada bangunan rumah, kesempatan untuk menjadi kaya semakin terbuka baginya. Akan tetapi hasrat dan bakat bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke Universitas Indiana pada 1952 ia meraih gelar Ph.D filsafat dengan desertasi berjudul On Justifiying the God: Metaphysics and Epistemology of Value. Merasa kurang pengetahuannya mengenai Islam walaupun sudah bergelar doctor Faruqi lalu pergi ke Mesir selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di Al-Azhar. Karena kuat dorongan belajarnya itu pulalah, Faruqi memenuhi undangan Wilfred C.Smith untuk bergabung dengan Institut of Islamic Studies di Universitas McGill, Canada. Ia disana selama dua tahun, yaitu pada 1959-1961. Selain mengajar, ia mempelajari etika yahudi dan Kristen. Pada tahun 1964, Faruqi kembali ke AS. Pertama-tama yang dia kerjakan adalah menjadi guru besar tamu pada Universitas Chicago dan Associate professor bidang agama padaUniversitas Syracuse. Lalu pada tahun 1968 hingga wafatnya ia menjabat guru besar agama pada Universitas Temple. Bersamaan itu juga ia menjabat sebagai professor studi keislaman pada Central Institute of Islamic Research, Karachi. Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 2 Telaah Konsep Pembaharu Teologi 2. Pemikiran Kalam Al-Faruqi Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri melalui karyanya yang berjudul,Tahwid : Its Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tuahid). Sesuai dengan judulnya, buku ini mengupas hakikat tauhid secara mendalam. Al-Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut: a. Tauhid Sebagai Inti Pengalaman Agama Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat Syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim . Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam Islam tidak lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia. b. Tauhid Sebagai Pandangan Dunia Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, dan waktu, sejarah manusia, dan takdir. c. Tauhid Sebagai Intisari Islam Dapat dipastikan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri, dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid Islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna. d. Tauhid Sebagai Prinsip Sejarah Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu ketika keberhagaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Ia terlahir lengkap dalam Al-Quran, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Ia dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan diatas bumi. e. Tauhid Sebagai Prinsip Pengetahuan Berbeda dengan “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang sulit dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran. Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 3 Telaah Konsep Pembaharu Teologi f. Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika Dalam Islam, Islam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, bertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam. g. Tauhid Sebagai Prinsip Etika Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi, amanat yang mereka hindari dengan penuh ketakutan. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsure etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dpat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya. h. Tauhid Sebagai Prinsip Ummah Al-Faruqi menjelaskan tentang prinsip ummah tauhidi dengan tiga identitas: pertama, menentng etnosentrisme. Maksudnya, tata sosial Islam adalah Universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua Universalisme. Maksudnya Islam bersifat universal dalam arti meliputi seluruh umat manusia.cita-cita komunitas universal adalah cita-cita Islam yang diungkapkan dalam ummah dunia. Ketiga, Totalisme. Maksudnya, Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia. Totalisme sosial Islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuannya di masa mereka saja, tetapi mencakup seluruh aktivitas di setiap masa dan tempat. Keempat, kemerdekaan. Maksudnya, tata sosial Islam adalah kemerdekaan. Jika dibangun dengan kekerasan atau dengan memaksa rakyat, Islam akan kehilangan sifatnya yang khas. i. Islam Sebagai Prinsip Tata Sosial Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara manusia satu dan lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap atapun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus berusaha mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya. Selanjutnya, ia mungkin akan terus hidup sebagai komunitas Islam yang lain, atau oleh komunitas non-islam. j. Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan komunisme dan ideology-ideologi barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukannya yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar untuk tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminasi oleh hubungan erat dengan tauhid. Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 4 Telaah Konsep Pembaharu Teologi k. Tauhid Sebagai Prinsip Tata Politik Al-Faruqi mengaitkan tata politik tauhidi dengan kekhalifahan. Kekhalifahan didefinisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yakni kesepakatan wawasan (ijma ar-ru’yah), kehendak (ijma al-iradah) dan tindakan( ijma al-amal). Wawasan yang dimaksuf Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi juga apa yang disebutnya ashabiyyah, yakni kepedulian kaum muslimin menanggapi peristiwa-peristiwa dan situasi dengan satu cara yang sama, dalam kepatuhan yang padu terhadap seruan Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah pelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan. l. Tauhid Sebagai Prinsip Tata Ekonomi Al-Faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi Islam untuk tata ekonomi melahirkan dua prinsip utama: pertama, bahwa tak ada seorang atau kelompok pun boleh memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri. m. Tauhid sebagai prinsip estetika Tauhid tidak menentang kreativitas seni; juga tidak menentang kenikmatan dan keindahan. Sebaliknya, Islam memberkati keindahan islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya. Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 5 Telaah Konsep Pembaharu Teologi B. HASAN HANAFI 1. Riwayar Singkat Hidup Hasan Hanafi Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Ia berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa di Tsanawiyah, ia aktif mengikuti dislusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin. Oleh karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran yang dikembangkan kelompok itu dan aktivitas sosialnya. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan social. Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia. 2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi a. Kritik Terhadap Teologi Tradisional Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode klonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual yang baru berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern. Selanjutnya Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik social politik. Oleh karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologis berasal dari kata Theos dan Logos, melainkan ilmu tentang kata (ilm al-kalam). Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahtu. Ilmu kata adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentukbentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 6 Telaah Konsep Pembaharu Teologi dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan. Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken of granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis mapun eidetis. Secara praxis, Hanafi juga menunjukkan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah “pandangan yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit umat manusia. Secara praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya dengan kalangan umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun social, umat ini dilanda keterceraiberaikan dan terkoyak-koyak. Secara individual, pemikiran manusia terputus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan mudah melahirkan sikap-sikap moral ganda (an-nifaq hypocrisy) atau sinkretisme kepribadian (muzawij: assyahszyyali). Fenomena sinkretis ini tampak dalam kehidupan umat islam saat ini: sinkretisme antara kultur keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan modern (peradaban), antara Timur dan Barat (politik), antara konservatisme dan progresivisme (sosial) dan antara kapitalisme dan sosialisme (ekonomi). Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat dengan konflik sosial-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: pertama, pada tingkat teoritis, yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis, dan kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme. b. Rekonstruksi Teologi Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistemilogi lama yang rancu dan palsu menuju epistimologi baru yang shahih dan signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia. Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan bangunan sosial tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan sosial sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam ( alaglabiyah assfimitah: the majority) sehingga sistem kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama di masa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu. Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 7 Telaah Konsep Pembaharu Teologi Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal berikut: 1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideology. 2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideology sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-negara muslim. 3. Kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya “teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde. Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang konkrit bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensial, kognitif, maupun kesejarahan. Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu: 1) Analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah warisan nenek moyang di bidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah-istilah khas seperti Allah¸ iman¸ akhirat. Menurut Hanafi, semuanya ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat. 2) Analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing ke arah mana teologi kontemporer harus diorientasikan. Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 8 Telaah Konsep Pembaharu Teologi C. HARUN NASUTION 1. Riwayat Hidup Harun Nasution Harun Nasution lahir pada hari selasa 23 september 1919 di Sumatera. Ayahnya, Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya dimulai di sekolah HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia meneruskan ke MIK (modern islamietische kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan di Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar, ia kuliah pula di Universitas Amerika di Mesir. Pendidikannya lalu di lanjutkan di Mc. Gill, Kanada, pada tahun 1962. Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat sejak paruh kedua dasarwasra 70-an. Sentralitas Harun Nasution didalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam kapasitas akhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan anatara Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiswanya. 2. Pemikiran Kalam Harun Nasution a. Peranan Akal Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi dalam suatu aliran sangat menentukan dinamis tidaknya pemaham seorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini Harun Nasution menulis demikian,” Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah akal manusia bertambah rendah pulalah kesanggupan menghadapi kekuatan-kekuatan yang lain. Tema Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution , terutama dalam buku akal dan wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Alir an-aliran, Sejarah, Analisis Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi rasional Muhammad Abduh. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakain akal dalam Islam diperintahkan Al-Quran sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan Islam sendiri maupun dikalangan non Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional. b. Pembaharuan Teologi Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 9 Telaah Konsep Pembaharu Teologi Pembahruan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaknya mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah. c. Hubungan Akal dan Wahyu Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyan, tetapi keduanya tidak menimbulkan pertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Dalam pemikiran islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya untuk memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang menjadi pertentangan dalam sejarah pemikiran islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain. Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 10 Telaah Konsep Pembaharu Teologi BAB III PENUTUP Kesimpulan Pemikiran kalam kontemporer merupakan gabungan dari pemikiran klasik yang masih relevansi dan sesuai dengan perkembangan zaman dengan pemikiran modern yang baru dikemukakan oleh para tokoh-tokoh guna memberikan kontribusi bagi kemajuan umat Islam yang semakin lemah dan kurang termotivasioleh karena kemudnduran yang dialami umat Islam. Adapun tokoh-tokoh serta pendekatannya adalah sebagai berikut : a. Ismail Al-Faruqi Beberapa pendapat Ismail Al-Faruqi dalam kajian Kalam antara lain : a. Tauhid Sebagai Inti Pengalaman Agama b. Tauhid Sebagai Pandangan Dunia c. Tauhid Sebagai Intisari Islam d. Tauhid Sebagai Prinsip Sejarah e. Tauhid Sebagai Prinsip Pengetahuan f. Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika g. Tauhid Sebagai Prinsip Etika h. Tauhid Sebagai Prinsip Ummah i. Islam Sebagai Prinsip Tata Sosial j. Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga k. Tauhid Sebagai Prinsip Tata Politik l. Tauhid Sebagai Prinsip Tata Ekonomi m. Tauhid sebagai prinsip estetika b. Hasan Hanafi Beberapa corak pemikiran Hasan Hanafi berusaha untuk memperbaiki corak pemikiran para teologi tradisional. Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode klonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual yang baru berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern. Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution 11 Telaah Konsep Pembaharu Teologi c. Harun Nasution a. Peranan Akal Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi dalam suatu aliran sangat menentukan dinamis tidaknya pemaham seorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini Harun Nasution menulis demikian,” Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah akal manusia bertambah rendah pulalah kesanggupan menghadapi kekuatan-kekuatan yang lain. b. Pembaharuan Teologi Pembahruan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaknya mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah. c. Hubungan Akal dan Wahyu Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyan, tetapi keduanya tidak menimbulkan pertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Kritik dan Saran Dengan segala kekurangan yang ada dalam penyusunan dan penjelasan dalam makalah ini, hati dan tangan senantiasa terbuka untuk menerima kritik dan saran. Semoga kita bisa mengambil manfaat serta mampu mengamalkan apa yang telah kita dapat dari makalah ini. Dan semoga Allah senantiasa membimbing dan meridhoi setiap gerak langkah kita. Aamiin. Ismail Al Faruqi Hasan Hanafi Harun Nasution