Dukungan Psikososial: Satu Nama Dengan Banyak ’Wajah’ Nathanael Sumampouw April 2008 Istilah “dukungan psikososial” di Indonesia menjadi semakin mengemuka sejak terjadinya bencana tsunami yang mahadahsyat di Aceh yang diikuti dengan hadirnya begitu banyak lembaga bantuan kemanusiaan level nasional maupun internasional. Berbagai lembaga dengan berbagai core business‐nya berusaha untuk menjalankan program dukungan psikososial. Konsekuensinya, tampilan dari program “dukungan psikososial” yang dijalankan oleh berbagai lembaga sangatlah bervariasi. Mulai dari menjalankan bantuan yang sangat psikologis, seperti: konseling/terapi melalui berbagai metode dari yang sederhana sampai yang ‘canggih’ seperti: EMDR (Eye Movement Desensitization Reprocessing), EFT (Emotion Freedom Technique), dll. Selain itu, program yang berfokus pada community development seperti: program income generating, program pengadaan air bersih dan sanitasi yang higienis pun merupakan salah satu tampilan dari program yang diberi judul: “dukungan psikososial”. Bahkan program yang memfokuskan pada upaya advokasi dan promosi hak asasi manusia dan keadilan pun dipayungi oleh judul “dukungan psikososial”. Keberagaman tampilan ini sangat dipengaruhi oleh tipe sumber daya dan ekspertise dari lembaga pemberi bantuan. Jadi seperti apakah dukungan psikososial tersebut? mengapa tampil dalam ‘wajah’ yang sangat beragam? Dalam kata “psikososial” terdapat 2 konsep utama, yaitu: “psiko” dan “sosial”. “Psiko” mengacu pada kondisi psikologis individual sedangkan “Sosial” mengacu pada “dunia” sosial individu. Psikososial menekankan pada kedekatan hubungan antara aspek psikologis (pikiran, emosi dan perilaku) dengan pengalaman sosial (relasi sosial, tradisi dan budaya). Dukungan psikososial melibatkan 3 domain utama sumber daya dalam komunitas, yaitu: human capital, social capital dan cultural capital. Human capital menjelaskan sumber daya seperti kesehatan dan kesejahteraan fisik dan psikologis, keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki, termasuk didalamnya mata pencaharian anggota komunitas. Sedangkan social capital menggambarkan sumber daya suatu komunitas yang berupa relasi sosial di dalam keluarga, kelompok sebaya, institusi agama dan budaya, akses terhadap layanan publik yang disediakan pemerintah, dll. Sumber daya yang tidak kalah pentingnya adalah cultural capital: nilai, norma, belief dan tradisi yang hidup dan dihayati di dalam komunitas. Ketiga domain ini saling berhubungan satu sama lain, misal: kondisi psikologis yang baik akan mendukung efektifnya jaringan sosial dan pada akhirnya berkontribusi terhadap tetap langgengnya nilai kekeluargaan/gotong‐royong yang dianggap penting dalam suatu komunitas tertentu. Program apapun dengan fokus pada 3 domain tersebut dapat disebut sebagai suatu intervensi psikososial yang bertujuan pada pencapaian kesejahteraan psikososial yang bersumber tidak hanya dari kondisi psikologis individu tetapi juga relasi sosial dan keterikatan dengan budaya tempat individu hidup dan berkembang. Komunitas pun bukanlah suatu entitas yang statis, melainkan sangat dinamis. Implikasinya dalam intervensi psikososial adalah tujuan intervensi bukan hanya untuk merestorasi komunitas pada keadaan sebelum suatu pengalaman sulit terjadi tetapi juga meningkatkan kemampuan komunitas untuk memberdayakan sumber daya yang ada dalam menghadapi keadaan yang dinamis. Sehingga pada akhirnya, tanpa dukungan eksternal komunitas mampu secara independen menghadapi berbagai tantangan yang ada.