Uploaded by User149666

PSI SOSIAL RUU PENYIARAN

advertisement
a. Deskripsi Fenomena Sosial
Revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran sedang ramai dibincangkan di berbagai media
masa. Bagaimana tidak, draf revisi RUU Penyiaran yang terbaru berpotensi mengekang
kebebasan pers, serta membatasi keberagaman konten yang tersedia di ruang digital. Setelah
20 tahun RUU ini diolah, akhirnya pada kepengurusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia periode sekarang, RUU ini mulai disahkan dan direvisi atas usulan dari beberapa
anggota DPR yakni, Teuku Riefkz Harsya dari partai Demokrat, Abdul Kharis Almasyhar dan
Sukamnta dari partai PKS, dan Bobby Abdhityo Rizaldi dari partai Golkar. Alasan terjadinya
revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah karna menurut
DPR Undang-Undang Penyiaran yang lama sudah “Ketinggalan Zaman” dan perlu untuk
diperbarui.
Perkembangan teknologi di masa sekarang sudah berkembang pesat, khususnya
pada ruang digital kini muncul platform-platform OTT atau Over-The-Top media service seperti
Netflix, Disney+, Prime Video dan juga Platform UGC atau User Generated Content seperti
Youtube, Youtube Music, Spotify yang kini tersedia di ruang digital nasional maupun
internasional. Selain itu juga muncul beragam media sosial yang membuat khalayak umum
bisa aktif membuat karya mereka sendiri. Menurut pemerintah platform OTT, UGC, dan media
sosial perlu untuk diberi regulasi dan pengawasan, karena menurut pemerintah platform
tersebut perlu memberikan edukasi yang baik bagi masyarakat.
Pada umumnya draf RUU Penyiaran yang terbaru memperluas definisi Penyiaran
sehingga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan mendapatkan wewenang untuk mengurus
regulasi terkait konten yang ada dalam media digital. Pada satu sisi UU Penyiaran yang lama
memang perlu untuk diperbarui, namun yang dipermasalahkan oleh sebagian besar
masyarakat adalah beberapa pasal yang terkandung dalam RUU Penyiaran yang berpotensi
akan mengekang kebebasan berkespresi dan membatasi keberagaman konten yang tersedia
di ruang digital.
b. Identifikasi Fenomena Sosial
Draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang sedang ramai diperbincangkan adalah dua
draf yang berisikan perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Setelah adanya UU tentang Penyiaran pada tahun 2002 silam. Wacana revisi UU NO. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran kembali mengemuka pada awal tahun ini, atau bahkan sudah sejak
tahun 2023. Terdapat dua draf RUU yang disusun oleh DPR, yakni draf November 2023 yang
kemudian diperbarui menjadi draf Maret 2024. Banyak koalisi masyarakat sipil berpendapat
bahwa draf RUU Penyiaran harus ditolak karena bersifat cacat secara prosedur maupun
substansi. Serta kewenangan pengawasan konten digital yang diberikan kepada KPI dinilai
terlalu berlebihan dan dikhawatirkan bisa mengakibatkan terjadinya sensor dan pembatasan
akses informasi yang tidak proporsional.
Secara prosedur, Rancangan Undang - Undang ini disusun secara terburu-buru dan
tidak transparan serta minimnya partisipasi publik. Sebagaimana instrumen regulasi lain yang
disusun secara serupa (misal: Undang-Undang Cipta Kerja dan Revisi Undang - Undang KPK),
substansi pada RUU ini juga sarat akan kepentingan elite dan berpotensi menjadikan
masyarakat sebagai korban. Sedangkan secara substansial, revisi RUU ini mengandung
berbagai masalah, mulai dari sensor yang berlebihan atas konten digital, melegalkan
konglomerasi media penyiaran, menyematkan kekuatan yang terlalu besar untuk KPI,
mengancam kebebasan pers, mengekang hak sosial-politik-ekonomi, kebebasan berekspresi,
dan kebebasan untuk melakukan kesenian di dunia digital. Terdapat juga bayang-bayang
upaya pembungkaman pers melalui RUU ini, serta upaya melemahkan masyarakat pada dunia
digital dan pelemahan terhadap demokrasi. Draf revisi RUU Penyiaran yang terbaru juga
berpotensi menghalangi kebebasan berekspresi dan mengandung makna yang ambigu serta
rentan mengkriminalisasi pendapat dan ekspresi perempuan dan pembela Hak Asasi Manusia.
Pelarangan terhadap jurnalistik investigasi juga berpotensi menghambat proses
pengungkapan kasus-kasus yang merugikan negara.
c. Penyebab Fenomena Sosial Terjadi
PENYUSUNAN YANG TERBURU - BURU DAN TIDAK PARTISIPATIF
Hingga detik ini draf Rancangan Undang - Undang Penyiaran sedang berada di Badan Legislasi
(Baleg) untuk disesuaikan. DPR mengatakan bahwa RUU ini sudah harus disahkan sebelum
masa akhir jabatan DPR periode 2019-2024. Atau dengan kata lain sebelum 30 September
2024.
Yang menjadi masalah pertama adalah, target untuk disahkannya RUU ini pastinya terlalu
singkat. Dalam proses yang normal, waktu kurang dari lima bulan tidaklah cukup untuk proses
legislasi di tingkat satu dan dua. Apalagi RUU ini masih dalam tahap penyusunan, yang artinya
masih harus melewati serangkaian tahapan seperti pembahasan, pengesahan, hingga
pengundangan. Dalam sebuah diskusi publik, salah satu anggota Komisi I DPR RI menyatakan
bahwa “pengebutan” ini dilakukan agar RUU Penyiaran tidak menjadi beban bagi DPR periode
selanjutnya. Argumen ini dianggap tidak masuk akal mengingat kinerja legislatif tidak hanya
dinilai dari kuantitas produk legislasi yang dihasilkan namun perlu diseimbangi dengan kualitas
yang dihasilkan melalui produk legislasi tersebut. DPR tidak perlu untuk menghasilkan banyak
produk legislasi, namun yang perlu dilakukan DPR adalah memastikan apakah produk legislasi
tersebut dapat menjawab persoalan yang berkembang di masyarakat.
Selain itu, informasi mengenai perkembangan proses revisi RUU Penyiaran terbaru tidak
dimutakhirkan dalam situs resmi DPR, yang artinya tidak transparan. Progres terakhir terkait
UU Penyiaran dipublikasikan di situs DPR pada 2020. Keterangan mengenai progres revisi UU
Penyiaran hanya disampaikan secara langsung oleh anggota DPR setelah terlebih dahulu
mendapatkan tekanan yang kuat dari masyarakat sipil, misalnya seperti yang telah terjadi dala
sebuah diskusi publik yang diselenggarakan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Sikap ini
bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU NO. 13 Tahun 2022 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 13/2022), yang mengharuskan naskah
akademik dan draf Rancangan Undang - Undang dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat. Atau sesuai apa yang terkandung dalam UU NO. 13 Tahun 2022 Pasal 94 Ayat 4
“Setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat
diakses dengan mudah oleh masyarakat” (UU 13/2022 Pasal 96 Ayat 4).
Selain terburu-buru dan tidak transparan, proses revisi UU Penyiaran juga mengandung
masalah prosedural ketiga yakni tidak partisipatif. Pemangku kepentingan seperti jurnalis,
masyarakat sipil, kelompok masyarakat rentan, industri digital, atau pelaku kesenian tidak
dilibatkan dalam penyusunannya, padahal RUU ini memiliki dampak yang besar terhadap
kelompok-kelompok tersebut. Hal ini lagi-lagi bertentangan dengan semangat meaningful
participation, UU NO. 13 Tahun 2022 Pasal 96 Ayat 1 yang menegaskan hak masyarakat untuk
dilibatkan dalam setiap tahapan pembentukan Undang-Undang. “Masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan” (UU 13/2022 Pasal 96 Ayat 1).
MENGATUR KONTEN DIGITAL
Jika RUU ini disahkan maka konten digital akan diatur, diawasi, dan disensor layaknya konten
penyiaran konvensional (TV/Radio). Ini merupakan konsekuensi dari perluasan definisi
“penyiaran” yang termaktub dalam Pasal 1 Ayat 2 draf RUU Penyiaran Maret 2024. Terdapat
dua karakteristik penyiaran yang ditambahkan melalui pasal ini, yakni aktivitas transmisi sinyal
yang menggunakan internet atau frekuensi elektromagnetik lainnya, dan transmisi sinyal yang
dapat diterima secara bersamaan dan/atau dapat diakses kembali (on-demand). Dua hal ini
jelas merupakan karakteristik dari platform digital yang tidak ada dalam definisi UU Penyiaran
yang sedang berlaku (UU 32/2002).
Berikut tabel perbandingan definisi penyiaran dalam Undang - Undang Penyiaran yang sedang
berlaku dan Rancangan Undang Undang Penyiaran yang akan disahkan
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran.
Draf Rancangan Undang – Undang Penyiaran
Maret 2024.
Pasal 1 ayat 2
Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan
siaran melalui sarana pemancaran dan/atau
sarana transmisi di darat, di laut atau di
antariksa dengan menggunakan spektrum
frekuensi radio melalui udara, kabel,
dan/atau media lainnya untuk dapat diterima
secara serentak dan bersamaan oleh
masyarakat dengan perangkat penerima
siaran.
Pasal 1 ayat 2
Penyiaran adalah suatu kegiatan atau
tindakan mentransmisikan sinyal Siaran
dengan menggunakan bagian dari spektrum
frekuensi radio melalui transmisi terestrial,
kabel, satelit, internet, atau sistem transmisi
lainnya, atau dengan menggunakan spektrum
elektromagnetik lainnya yang sesuai dengan
perkembangan teknologi untuk dapat
diterima secara bersamaan dan/atau dapat
diakses kembali oleh masyarakat dengan
perangkat penerima Siaran.
Pertanyaan yang sedang ramai di publik adalah, jenis platform digital apa yang hendak diatur
melalui RUU ini? Apakah regulasi ini hendak mengatur platform Over-The-Top media service,
user generated content (UGC), atau bahkan keduanya? Terlihat bahwa pada RUU ini KPI
disematkan wewenang untuk mengatur segala jenis platform penyiaran, baik OTT (Netflix,
Prime Video, Disney+, dll.) maupun UGC (YouTube, Spotify, dll.)
MELEGALKAN KONGLOMERASI MEDIA PENYIARAN
Pada Undang - Undang NO. 32 Tahun 2002 secara filosofis hendak mendorong keberagaman
kepemilikan dan keberagaman konten. Keberagaman kepemilikan dapat mencegah media
menjadi alat propaganda segelintir pemiliknya, sedangkan keberagaman konten dapat
menghalau penyeragaman pikiran. Oleh karena itu, UU yang saat ini sedang berlaku
membatasi konsentrasi kepemilikan dan kepemilikan silang serta menerapkan Sistem Siaran
Jaringan (SSJ) sebagai sistem penyiaran nasional. Dengan SSJ, stasiun TV hanya boleh
bersiaran di satu wilayah siar (lokal) dan dapat bersiaran di wilayah lain jika membentuk
jaringan dengan televisi lokal di daerah tersebut. Kepemilikan jaringan stasiun TV di bawah
satu orang atau badan hukum pun dibatasi. Dengan demikian, ini memecah konsentrasi
geografis dan ekonomi yang selama ini terpusat di Jakarta dan tangan segelintir konglomerasi
media. Dampak yang diharapkan adalah adanya stasiun TV lokal yang berkontribusi pada
ekonomi lokal sekaligus memproduksi informasi dan hiburan yang relevan bagi masyarakat
dan budaya lokal dengan adanya kuota produksi tayangan lokal.
Namun, draf RUU Penyiaran menghapus pasal terkait konsentrasi kepemilikan dan
kewajiban SSJ, sehingga “melegalkan” konglomerasi media serta konsentrasi kepemilikan dan
konten. Beberapa pasal yang berkaitan dengan pembatasan kepemilikan dan sistem SSJ yang
diubah dan/atau dihapus dalam draf RUU Penyiaran antara lain pasal 5, pasal 18, pasal 20,
dan pasal 31. Berikut ini merupakan tabel perbandingan regulasi pembatasan kepemilikan dan
sistem SSJ dalam Undang - Undang Penyiaran yang sedang berlaku dan Rancangan Undang Undang Penyiaran.
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pasal 5
Penyiaran diarahkan untuk :
Menjunjung tinggi pelaksanaan
Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Menjaga dan meningkatkan
moralitas dan nilai-nilai agama serta
jati diri bangsa;
Meningkatkan kualitas sumber daya
manusia;
Menjaga dan mempererat
persatuan dan kesatuan bangsa;
Meningkatkan kesadaran ketaatan
hukum dan disiplin nasional;
Menyalurkan pendapat umum serta
mendorong peran aktif masyarakat
dalam Pembangunan nasional dan
Draf Rancangan Undang – Undang
Penyiaran Maret 2024.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pasal 5
Penyiaran diarahkan demi
terwujudnya:
Kepatuhan hukum;
Keselarasan dengan agenda dan
tujuan pembangunan nasional;
Siaran yang informatif, mendidik,
dan menghibur;
Industri Penyiaran yang sehat;
Inovasi penyelenggaraan Platform
Digital Penyiaran dan platform
teknologi Penyiaran lainnya sesuai
dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi; dan
Dukungan pengembangan
kreativitas dalam penelitian,
pendidikan, pemajuan Kebudayaan,
dan inovatif ekonomi kreatif dalam
penyelenggaraan Penyiaran
daerah serta melestarikan
lingkungan hidup;
7. Mencegah monopoli kepemilikan
dan mendukung persaingan yang
sehat di bidang penyiaran;
8. Mendorong peningkatan
kemampuan perekonomian rakyat,
mewujudkan pemerataan, dan
Memperkuat daya saing bangsa
dalam era globalisasi;
9. Memberikan informasi yang benar,
seimbang, dan bertanggung jawab;
10. Memajukan kebudayaan nasional.
Nasional maupun penyebarluasan
informasi kebhinnekaan dan jati diri
budaya Indonesia kepada dunia.
Pasal 18
1. Pemusatan kepemilikan dan
penguasaan Lembaga Penyiaran
Swasta oleh satu orang atau satu
badan hukum, baik di satu wilayah
siaran maupun di beberapa wilayah
siaran, dibatasi.
2. Kepemilikan silang antara Lembaga
Penyiaran Swasta yang
menyelenggarakan jasa penyiaran
radio dan Lembaga Penyiaran
Swasta yang menyelenggarakan
jasa penyiaran televisi, antara
Lembaga Penyiaran Swasta dan
perusahaan media cetak, serta
antara Lembaga Penyiaran Swasta
dan lembaga penyiaran swasta jasa
penyiaran lainnya, baik langsung
maupun tidak langsung, dibatasi.
PASAL 18 DIHAPUS dan ada
ketentuan 17 Ayat 2:
1. Perubahan kepemilikan saham dan
larangan kepemilikan asing,
pemusatan kepemilikan, dan
kepemilikan silang diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Indikator praktik monopoli (UU
Persaingan Usaha 1999, pasal 17(2):
a. barang dan atau jasa yang
bersangkutan belum ada
substitusinya; atau b.
mengakibatkan pelaku usaha lain
tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sama; atau c. satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pasal 20
Lembaga Penyiaran Swasta jasa
penyiaran radio dan jasa penyiaran
televisi masing-masing hanya dapat
menyelenggarakan 1 (satu) siaran
dengan 1 (satu) saluran siaran pada
1 (satu) cakupan wilayah siaran.
Pasal 31
1. Lembaga penyiaran yang
menyelenggarakan jasa penyiaran
radio atau jasa penyiaran televisi
PASAL 20 DIHAPUS
PASAL 31 DIHAPUS dan ada ketentuan:
Pasal 20B ayat 2
terdiri atas stasiun penyiaran
jaringan dan/atau stasiun penyiaran
lokal.
2. Lembaga Penyiaran Publik dapat
menyelenggarakan siaran dengan
sistem stasiun jaringan yang
menjangkau seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.
3. Lembaga Penyiaran Swasta dapat
menyelenggarakan siaran melalui
sistem stasiun jaringan dengan
jangkauan wilayah terbatas.
LPS dapat memancarluaskan siaran di lebih
dari satu wilayah siar melalui SSJ.
KOMISI PENYIARAN INDONESIA MENJADI LEMBAGA SUPER
Selain memperluas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia ke ranah digital, seperti OverThe-Top media service atau User Generated Content. Rancanga Undang-Undang ini juga
menyematkan kewenangan yang terlalu besar bagi Komisi Penyiaran Indonesia. Padahal,
seperti yang diketahui bahwa dalam demokrasi, keberadaan suatu institusi dengan
kewenangan sangat besar harus dicegah. Dengan kata lain beberapa isi yang terkandung
dalam RUU ini secara terang-terangan berlawanan dengan prinsip demokrasi.
Terdapat beberapa wewenang baru yang disematkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia
yang tercantum pada draf RUU Penyiaran. Contohnya :
1. Komisi Penyiaran Indonesia mendapatkan wewenang untuk dapat memberikan
“tanda lulus Kelayakan Isi Siaran” bagi Lembaga Penyiaran, dan kewajiban “verifikasi
konten siaran” bagi Penyelenggara Platform Digital Penyiaran. Artinya, Komisi
Penyiaran Indonesia memiliki wewenang untuk memeriksa tayangan lembaga
penyiaran konvensional sebelum nantinya ditayangkan dan disaksikan oleh khalayak
umum, serta mewajibkan platform digital untuk verifikasi kontennya. Wewenang ini
persis dengan kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga Sensor Film (LSF) dan dapat
berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan.
Kewenangan tersebut tercantum pada draf RUU Penyiaran :
 “Kewajiban Penyelenggara Platform Digital Penyiaran dan/atau platform
teknologi Penyiaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34C huruf b:
(e) melakukan verifikasi Konten Siaran ke KPI sesuai dengan P3 dan SIS;” (Draf
Rancangan Undang - Undang Penyiaran Maret 2024 Pasal 34F).
 “(2) Penyelenggara Platform Digital Penyiaran wajib menyiarkan Konten
Siaran yang sesuai dengan verifikasi Konten Siaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34F ayat (2) huruf e.” (Draf Rancangan Undang - Undang
Penyiaran Maret 2024 Pasal 36).
2. Komisi Penyiaran Indonesia mendapatkan kewenangan untuk menangani sengketa
jurnalisme penyiaran. Padahal, jika mengacu pada UU Pers, sengketa jurnalisme
merupakan ranah kewenangan Dewan Pers. Dalam UU Penyiaran yang saat ini berlaku
(UU 32/2002), disebutkan juga bahwa kegiatan jurnalistik harus tunduk pada kode
etik jurnalistik. Sementara itu, dalam RUU ini, muatan jurnalistik harus tunduk pada
peraturan KPI (P3-SIS). Artinya, klausul ini juga berpotensi menyebabkan tumpang
tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. Bahkan,
aturan ini mengancam independensi pers mengingat Komisi Penyiaran Indonesia
adalah lembaga bentukan politik dengan komisioner yang dipilih negara dan DPR,
sementara Dewan Pers adalah bentukan komunitas pers sebagai usaha regulasi
mandiri pers berdasarkan kode etik jurnalistik.
Kewenangan tersebut tercantum pada draf Rancangan Undang - Undang Penyiaran :
 “Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan
P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.” (Draf Rancangan
Undang - Undang Penyiaran Maret 2024 Pasal 42 ayat 1).
 “Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran
dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.” (Draf Rancangan Undang - Undang
Penyiaran Maret 2024 Pasal 42 ayat 2).
3. Komisi Penyiaran Indonesia juga mendapatkan wewenang baru memberikan
rekomendasi kepada pemerintah untuk memutus akses publik terhadap konten
digital yang dianggap melanggar ketentuan. Kewenangan ini termaktub dalam Pasal
36 Ayat 3 draf RUU Penyiaran Maret 2024.
Kewenangan tersebut tercantum pada draf Rancangan Undang - Undang Penyiaran :
 “Komisi Penyiaran Indonesia dapat merekomendasikan kepada Pemerintah
untuk melakukan pemutusan akses terhadap Konten Siaran Penyelenggara
Platform Digital yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.”
(Draf Rancangan Undang - Undangan Penyiaran Maret 2024 Pasal 36A ayat
3).
d. Kaitan Fenomena Sosial Dengan Teori Psikologi Sosial
Fenomena ini memicu kontroversi di masyarakat umum bukan hanya karena prosedur dan
substansi yang terkandung pada draf RUU Penyiaran yang dianggap cacat. Namun juga karena
pada draf RUU Penyiaran yang terbaru, pemerintah memberikan kewenangan yang terlalu
besar kepada KPI.
Berdasarkan Teori Sikap menurut Carl I. Hovland sikap dapat diubah secara persuasif
jika mementingkan elemen seperti, Siapa? Berkata apa? dan Apa efeknya? Fenomena ini
memicu kontroversi dikarenakan pemerintah menyematkan kewenangan yang terlalu besar
kepada Komisi Penyiaran Indonesia, padahal sebagian besar masyarakat Indonesia
mengetahui bahwa kinerja KPI tidak dapat dianggap baik dan layak untuk mendapatkan
kewenangan sebesar itu untuk mengatur konten yang tersedia di ruang digital.
Dengan kata lain, kredibilitas KPI tidak layak untuk mendapatkan kewenangan untuk
menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A Ayat (1) huruf a hingga q,
Khususnya menyelesaikan sengketa jurnalistik, karena berpotensi menyebabkan tumpang
tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers.
e.
Download